CATATAN AKHIR Untuk Yth. DR. H. Joni, SH. MH.

DR. H. Joni, SH. MH telah menulis tiga rangkaian artikel menanggapi tulisan saya di harian ini mengenai pemberian gelar adat Dayak oleh Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah kepada Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi). Dari tiga tulisan DR. H. Joni, SH. MH. tersebut muncul berbagai anak soal yang belum saya jawab semuanya.

Melihat perkembangan diskusi, cara berdiskusi, dan manfaatnya, saya memutuskan untuk tidak lagi melayani DR. H. Joni, SH. MH. dan keluar dari forum diskusi tersebut. Jawaban saya yang ketiga ini sekaligus merupakan Catatan  Akhir.

Saya berterimakasih kepada DR. H. Joni, SH. MH. yth, yang telah menyisihkan waktu di tengah kesibukan luar biasanya untuk mengomentari tulisan saya. Terima kasih juga saya sampaikan karena DR. H. Joni, SH. MH. telah membantu saya dengan memberikan tambahan contoh tentang panorama “kecendekiawanan” di  Kalimantan Tengah.

Salam hormat,

Kusni Sulang

Harian Radar Sampit, 19 Februari 2017, Catatan Akhir

Tulisan DR. Joni, SH. MH. – doktor lulusan Universitas Mulawarman Samarinda – “Ini Soal Sambutan Gayung” lihat di Ini Soal Sambutan Gayung

Pembauran

Sepanjang perjalanan dari Palangka Raya melalui jalan ke arah Kasongan, ibukota Kabupaten Katingan, kemudian berbelok ke kanan menuju desa-desa Kabupaten Gunung Mas (Gumas), seluruh percakapan kami lakukan dengan menggunakan bahasa Dayak Ngaju. Berempat kami dalam kendaraan: Yanedi Jagau, Diego Pilalli, Akri dan saya sendiri. Canda ringan dan diskusi tema-tema serius yang tak putus-putus dimaksudkan selain untuk mencegah Jagau yang menyetir tidak mengantuk, juga memanfaatkan waktu guna bertukar pikiran. Apalagi kami memang jarang sekali bertemu, bahkan ada yang  baru saya kenal seperti Diego dan Akri.

“Siapa yang disebut Dayak itu menurut Pak Kusni?” sambil menyetir, Jagau bertanya ketika kami berbicara tentang masalah keadaan Dayak hari ini. Saya memang lama merenungkan masalah ini sehingga pertanyaan itu bisa segera saya jawab. Apalagi pertanyaan ini pun pernah  dikemukakan oleh Dirjen Promosi Pariwisata Nasional asal Bali ketika kami bertemu di Aula Jayang Tingang Kantor Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), pada masa DR. A. Teras Narang, SH. menjadi gubernur.

“Dalam pemahaman saya, Dayak adalah pertama-tama mereka yang secara genealogis Dayak tapi secara budaya tidak. Apakah orang begini bisa disebut Dayak? Saya mengatakannya tidak. Sebaliknya mereka bisa disebut Dayak sekalipun secara genealogis sama sekali tak ada kaitannya dengan Dayak. Misalnya orang asal Jawa, Tapanuli, Flores, dll. Kebudayaan sebagai “hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal”, “keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya” (Koentjaraningrat, 2004:9), memperlihatkan apa-siapa seseorang itu. Pendapat ini juga bermaksud mengatakan bahwa Dayak itu secara budaya bersifat inklusif.

Ketika berhenti di sebuah desa melihat pelaksanaan di lapangan program satu juta pohon séngon, Jagau mengatakan bahwa Akri yang sangat fasih berbahasa Dayak Ngaju bahkan dengan kosakata-kosakata “khas” yang jarang digunakan, adalah Uluh Kalteng asal Flores. Hal yang sama sekali di luar dugaan saya. Sebagai penggiat Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Akri selain bergerak di daerah perkotaan, sangat sering berada di daerah pedesaan luas Kalimantan Tengah. Orang-orang Dayak di sekitarnya dan yang  ditemuinya akan serta-merta memandangnya sebagai orang Dayak juga.

Pengalaman saya dengan Akri bukanlah hal pertama saya alami.  Ketika kecil di Kasongan, sekarang ibukota Kabupaten Katingan, saya mengenal seorang lelaki jangkung berkulit kuning. Seorang pedagang. Orang Kasongan memanggilnya Yungtai. Saya baru mengetahui bahwa Yungtai adalah warga negeri ini asal etnik Tionghoa setelah ia pindah ke Surabaya setelah puluhan tahun tinggal di Katingan.

Puluhan tahun kemudian, sekitar tahun 2009, saat membuat film “Gerilyawan-Gerilyawan Kecil” berdurasi 45 menit, berdasarkan novelet Andriani SJ Kusni, bersama TVRI Kalimantan Tengah di Kasongan, di salah sebuah rumah yang kami jadikan tempat shooting, saya bertemu dengan seorang lelaki berumur. Ia fasih berbahasa Katingan dengan logat Katingan yang kuat. Berkegiatan sebagaimana umumnya orang Katingan sehingga betul-betul menyatu dengan orang setempat. Saya baru mengetahui bahwa ia seorang Jawa berasal dari Yogyakarta setelah kami berbincang-bincang. “Saya sekarang adalah Orang Dayak Katingan, Nak. Yogyakarta adalah asal dan tempat lahir saya saja,” ujarnya menjawab pertanyaan.

Pandangan dan sikap ini juga dianut oleh mantan Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Kalteng, Salengkat Pardosi. Pardosi dengan tegas menyatakan kepada saya saat memenuhi undangan makan siang bersama di kediaman kami, “Saya Uluh Kalteng lahir di Sumatera Utara.” Serupa dengan pandangan dan sikap Salengkat Pardosi adalah pandangan dan praktek penanggung-jawab keamanan provinsi ke-17. Yang terakhir ini berasal dari Jawa. Ia mengisahkan bagaimana ia mengintegrasikan diri dengan masyarakat Dayak dimana ia bekerja selama bertahun-tahun hingga sekarang. Tidak ada acara penting yang tidak ia ikuti. Ia pun ikut turun ke ladang bekerja bersama-sama penduduk Dayak. Melalui pembauran dan bekerja bersama, ia dipandang oleh masyarakat Dayak sebagai bagian dari diri mereka sendiri. Sekat-sekat etnik runtuh. Apalagi sekat agama yang dalam sejarah dan kebudayaan Dayak Ngaju pada dasarnya tidak pernah ada. Jika ada, hal demikian merupakan perkembangan baru.

Ketika turut-serta dalam penelitian pedesaan di Kabupaten Gunung Mas baru-baru ini, saya bertemu dengan Hotlan Situmorang. Ketika berbincang-bincang selama bekerja bersama, saya sama sekali tidak menduga bahwa Hotlan bermarga Situmorang, seorang pria berasal dari Tapanuli. Bahasa pengantar yang kami gunakan adalah bahasa Dayak Ngaju yang dikuasai Hotlan dengan baik. Penguasaan bahasa lokal mempermudah komunikasi dan memungkinkan pelajar (student, orang yang mempelajarinya) mengenal budaya setempat. Penguasaan bahasa dan budaya memudahkan sekat-sekat perintang melenyap dan kerukunan terjalin.

Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Kapuas, saya juga pernah berjumpa dengan seorang asal Tapanuli. Ia sudah puluhan tahun tinggal di Kalimantan Tengah. Karena ia merasa dirinya tidak lain dari seorang Dayak juga maka secara ekstrim ia menamakan diri sebagai ‘Raja Dayak’.

Sadar akan kemajemukan masyarakat Kalimantan Tengah, maka sejak tahun 1990-an ketika kembali ke kampung kelahiran ini, saya menawarkan sebuah konsep yang saya namakan “Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng”. “Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng” tidak lain dari sebuah wacana yang disarankan kepada semua Uluh Kalteng untuk mengatur hubungan keragaman budaya dan etnik di provinsi ini dalam upaya meminimkan konflik fisik yang hanya merugikan semua pihak. Wacana tersebut juga bertujuan bagaimana keragaman itu bisa menjadi kekuatan untuk memberdayakan dan membangun Kalimantan Tengah sehingga Kalimantan Tengah menjadi tempat dimana warganya hidup secara manusiawi dengan kualitas yang terus-menerus meninggi.

Konsep Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng hanyalah pelaksanaan konkrit rangkaian nilai republikan dan berke-Indonesia-an. Konsep ini menyarankan sekat-sekat etnik, agama, keyakinan, dan aliran ditiadakan, tanpa menegasi asal etnik dan pandangan serta keyakinan dan budaya asal, sehingga yang tersisa adalah Batak Kalteng, Minang Kalteng, Jawa Kalteng, dll, bukan Batak Tapanuli, Minang Sumatera Barat, Jawa di Jawa, dll, yang diperjuangkan untuk diwujudkan di Kalimantan Tengah. Melalui pembauran sadar dengan etnik-etnik lokal dan yang lain diharapkan identitas baru yaitu identitas Kalteng, tanda telah terjadi kohesi sosial, akan lahir. Budaya baru yang mereka lahirkan melalui pembauran mendapat bahan mentah dari kemajemukan budaya. Budaya asal masing-masing boleh dibilang sebagai modal sosial-budaya Uluh Kalteng, nama bagi kohesi baru.

Oleh kohesi ini maka mereka resapi bahwa Kalimantan Tengah adalah kampung halaman mereka sendiri, bukan hanya tempat bekerja, dan apalagi bukan kebun belakang rumah mereka yang berada di tempat lain. Dengan demikian mereka akan merasa bertanggungjawab penuh terhadap timbul-tenggelamnya, maju-mundurnya Kalimantan Tengah. Tanggung jawab yang lahir dari rasa memiliki Kalimantan Tengah dan tidak menjadi wisatawan jangka panjang. Dengan menghayati Kalimantan Tengah sebagai kampung halamannya maka pepatah “di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” menjadi kadaluwarsa sebab yang kemudian menjadi relevan adalah “di mana langit dijunjung di situ bumi dibangun”.

Budaya Kalteng Beridentitas Kalteng yang merupakan budaya Uluh Kalteng karena itu bisa disebut sebagai budaya hibrida atau budaya yang diramu melalui dua pemaduan: pemaduan antara tradisi baik dan kekinian yang positif. Pekerjaan kreatif bukanlah pekerjaan sederhana. Demikian pula upaya melahirkan dan mengembangkan Budaya Kalteng Beridentitas Kalteng, sebagai pekerjaan kreatif bukanlah jalan lurus dan sekali jadi.

Dari segi ke-Indonesia-an, Budaya Kalteng Beridentitas Kalteng yang dalam proses menjadi, tidak lain dari pengejawantahan konkrit dari wacana dan politik kebudayaan sekaligus yaitu Bhinneka Tunggal Ika. Konsep ini di dunia sastra-seni ada yang menyebutnya sebagai sastra-seni kampung halaman dan atau sastra-seni pulau. Atau adakah orientasi dan cara lain?[]

Kusni Sulang

Harian Radar Sampit, 19 Februari 2017, Pembauran

Desa Bahantung

Secara relatif utuh mengenal semua strata kemudian proses perpindahan dari strata satu ke strata  yang lain dalam masyarakat, bagaimana proses peralihan strata tersebut berlangsung, dengan masuk sejauh mungkin ke dalam strata-strata sosial tersebut, nampaknya merupakan hal niscaya, paling tidak penting jika kita ingin tahu dimana berada, bagaimana keadaan sesungguhnya tempat berada tersebut, mengapa terjadi demikian, untuk kemudian menjawab pertanyaan lalu mau ke mana. Perpindahan strata sosial seperti yang oleh Orang Jawa antara diungkapkan dalam istilah “kéré munggah balé”, “Petruk jadi raja”, sedikit tertuang dalam ungkapan kekinian “cair”, “pemerataan pembangunan”, “pertumbuhan ekonomi yang berkeadilan”, dll akan mencerminkan diri dalam pola pikir dan mentalitas strata atau warga strata tersebut.  Pikiran dan mentalitas selanjutnya akan ke dalam tindakan sehingga riset sosial akhirnya merupakan awal kegiatan-kegiatan sosial yang solid. Sedangkan masyarakat, baik masyarakat kota ataupun desa, yang dalam ungkapan literer sering disebut sebagai “kehidupan” merupakan sekolah besar dengan rupa-rupa jurusan dengan semua warga sebagai para guru besarnya. Di sekolah besar ini saya selamanya adalah murid kecil dan pemula.

Keniscayaan  melakukan riset ini dalam budaya Dayak dahoeloe antara lain dirumuskan sebagai “hatamuei lingu nalata” (lihat SP Radar Sampit edisi tahun lalu), konsep kecendikawanan Dayak “Tunjung Nyahu” (mengangkat konsep-konsep ini tidaklah sama dengan chauvinis romantisme tradisionalis, tetapi sikap agar berkembang tanpa lepas akar atas nama modernitas!). Hidup dan tinggal di suatu tempat, tidak serta-merta membuat seseorang mengenal baik tempat tersebut. Berapa banyak orang yang lahir dan tinggal di Kalimantan Tengah (Kalteng) tapi tidak mengenal dan asing tentang Kalteng.

Pengenalan secara relatif utuh demikian, lebih-lebih bagi para pengambil keputusan dan kalangan-kalangan yang mau melakukan perubahan maju, diperlukan untuk tidak menerapkan “ilmu kuping”, “ilmu kira-kira”, kebijakan berdasarkan data-data “katanya”, dan langkah-langkah subyektif lainnya. Riset partisipatif juga berfungsi untuk mencocokkan informasi yang ada dengan kenyataan sesungguhnya di lapangan (cross-check atau pemeriksaan silang). Bermacam-macam cara mengenal strata-strata sosial, yang dinamakan dengan berbagai istilah seperti lapisan, kelas, golongan, kelompok, antara lain melalui buku, tulisan-tulisan yang merupakan catatan pengalaman orang lain, inspeksi mendadak, “blusukan”, turun ke bawah dengan metode partisipatif untuk kurun waktu yang cukup lama, dll.

Dengan pandangan seperti di atas, saya mengucapkan terima kasih kepada Yayasan Borneo Institute (YBIT) dan kemudian APINDO Kalimantan Tengah yang bermurah hati mengajak saya terlibat dalam pekerjaan penelitian sosial mereka. Saya juga menghargai upaya mereka melakukan penelitian karena di daerah ini penelitian belum menjadi suatu keniscayaan dalam mengawali kegiatan sosial. Memang terdapat lembaga-lembaga riset, tapi hasil pekerjaannya?

Yang juga sebenarnya akan sangat membantu untuk mengenal keadaan masyarakat, cq Kalteng, adalah jurnalisme investigasi. Bang Atal Depari Sembiring dan wartawan foto, Bina Karos Sembiring ketika membangun Harian Tabéngan, Palangka  Raya, pernah melakukan laporan investigasi tentang Pelabuhan Segintung di Kabupaten Seruyan. Jurnalisme investigasi ini barangkali yang pertama dilakukan oleh para wartawan di Kalteng, kemudian setelah ataupun sebelum itu, saya tidak pernah lagi mendapatkannya. Metode kerja jurnalis investigasi memang tidak jauh berbeda dari pekerjaan peneliti dan atau intelijen. Akurasi laporan dan keadaan menjadi sangat utama. Akurasi adalah sesuatu yang berpihak. Seperti halnya dengan yang disebut obyektivitas, selalu berpihak yaitu berpihak pada kebenaran. Obyektivitas, seperti halnya dengan sikap ilmiah, tidak berarti tidak berpihak. Tidak sama dengan banci. Obyektif yang kata dasarnya adalah ‘obyek’, saya kira berarti sesuai dengan keadaan sesungguhnya dari obyek yang sedang diperbincangkan atau tengah ditangani.

Walaupun pekerjaan kami dari Tim Peneliti YBIT masih baru dimulai, tapi melalui  hari-hari kerja yang sudah kami lakukan, saya mendapatkan pengetahuan-pengetahuan baru tentang budaya Dayak, soal-soal tenurial, ciri-ciri masyarakat pedesaan Dayak hari ini, kehidupan warga Dayak di pedesaan Kabupaten Gunung Mas (Gumas), daerah penelitian kami, tentang kelembagaan dan pemangku adat Dayak hari ini, adat dan hukum adat Dayak hari ini, dampak invasi besar-besaran investor, praktek-praktek kolusi antara investor dan penyelenggara negara, dll.

Tanggal 4 Februari 2017,  Tim Lima orang kami berangkat dari kota kecil ibukota Kecamatan Tumbang Talaken menuju desa tetangga Desa Tumbang Sépan, Kecamatan Tumbang Sépan. Desa ini kami datangi karena informasi awal yang kami dapatkan di Palangka Raya, semua penduduk desa ini telah dipaksa pindah oleh Perusahaan Besar Swasta (PBS) Kelapa Sawit untuk pindah ke pinggiran perkebunan. Tadinya Desa Tumbang Sépan memang berada di tengah-tengah perkebunan.

Jalan menuju Desa Tumbang Sépan masih berupa jalan tanah merah yang dikeraskan. Jalan umum tunggal ini merupakan jalan yang juga digunakan oleh truk-truk PBS sawit. Sekalipun tidak ada hujan, lubang-lubang besar sering membuat kendaraan terperosok dan harus didorong untuk keluar dari lobang besar itu. Tidak nampak tanda-tanda adanya prakarsa atau rencana untuk memperbaikinya, baik dari pemerintah kecamatan atau pemerintah kabupaten maupun dari PBS yang juga menggunakan jalan utama tunggal itu. Di jalan tanah penuh lubang begini, pengendera sepeda motor pun, harus sangat berhati-hati jika tidak ingin mendapat kecelakaan. Keadaan jalan menjadi lebih parah dan sangat sulit dilalui apabila hujan turun.

Sampai di Gerbang bertuliskan  “Desa Tumbang Sépan” kami berbelok masuk. Masuk sekitar 200 meter, kami dapatkan jalan terjal menurun yang tidak mungkin dilalui kendaraan roda empat. Tanda-tanda jalan ini digunakan oleh kendaraan roda dua ataupun roda empat, tidak nampak. Kami keluar, memasuki jalan tanah milik PBS Sawit. Dengan menelusuri jalan sawit ini, setelah berputar-putar, kami pun akhirnya sampai di desa Tumbang Sépan, terletak sekitar 5-6 km dari jalan utama.

Kami langsung mengetuk pintu rumah yang di depannya tertulis  “Sekretaris Desa Tumbang Sépan”. Kami ditemui oleh orang yang memang kami cari yaitu S.D. Tunjung yang tadinya memang Sekretaris Desa, tapi setelah Kepala Desa (Kades) lama masa jabatannya berakhir, atas persetujuan semua penduduk desa yang jumlahnya hanya 216 jiwa atau 56 KK, ditunjuk oleh kecamatan menjadi Pelaksana Teknis (Plt)  Kades.

Pada kesempatan ini, kami menanyakan berbagai soal, yang ternyata keadaannya mirip dengan keadaan desa-desa terdahulu yang sudah kami datangi. Kemiskinan, keterbelakangan dalam pendidikan, ketiadaan jalan keluar masih menghantui sekalipun dana desa sebesar satu miliar sudah digelontor. Ke mana dan untuk apa dana tersebut? Untuk infrastruktur jalan? Jalan masih jalan tanah berlubang-lubang. Untuk pendidikan? Anak-anak usia sekolah yang menghuni 26 rumah, banyak yang tidak bersekolah. Lalu bagaimana pelaksanaan Program Kalteng Harati yang sampai sekarang masih dikibarkan dengan penuh kebanggaan diri?  S.D. Tunjung mengatakan bahwa sebabnya karena Kades sebelumnya pernah mengatakan bahwa “sekolah itu tidak penting, yang penting adalah mencari duit”. Dari keterangan ini saya melihat sifat masyarakat desa yang terdorong ke pinggir oleh PBS sawit, masih berkarakter masyarakat panutan atau patron-client, dominasi hedonisme dan konsumtif. Makin dekat kota seperti Palangka Raya, Kuala Kurun, karakter hedonistik ini makin kuat. Untuk mendorong mobil terpuruk ke lumpur pun harus dibayar sesuai tuntutan mereka. Saling tolong yang sering disebut sebagai karakteristik budaya bétang sudah bukanlah kenyataan. Karakteristik ini makin menjadi-jadi oleh adanya parabola di banyak rumah yang memungkinkan penduduk di desa-desa yang kami datangi, menangkap siaran-siaran televisi dari negeri manapun. Keadaan ini membuat pertahanan budaya makin melemah. Pengaruh budaya luar masuk  tanpa penyaring (filter).

Sementara pemangku adat yang menurut Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kalimantan Tengah  a.l. berkewajiban “mengawasi dan mengantisipasi budaya luar yang dipandang negatif dan dapat mengancam keberadaan adat dan budaya Dayak” (Bab VI Pasal 10. 2.c), pada kenyataaannya sibuk dengan urusan sendiri. Apakah keadaan ini tidak termasuk program “modernisasi DAD Agustiar”? Bagaimana cara “modernisasi Agustiar” memperkuat kelembagaan adat Dayak di Kalteng, yang saya anggap berfungsi sebagai pemikir, organisator dan pemberdaya warga adat? Kalau modernitas itu suatu cita-cita, cita-cita itu saya kira tidak terlepas dari keadaan faktual hari ini dan saat ini, di sini. Jika lepas dari dari keadaan faktual hari ini dan saat ini, di sini, saya kira tidak lain dari sikap nglindur, jika menggunakan istilah Orang Jawa Tengah atau modernitas lepas akar. Korea Selatan, Jepang dan Republik Rakyat Tiongkok (RRT) melakukan “modernitas” tanpa pemutusan hari ini dari akar budaya mereka.

Sekalipun pemangku adat setempat pada kenyataannya berfungsi minim, masyarakat Dayak di Desa Tumbang Sépan, seperti halnya desa-desa lain di pedalaman Kabupaten Gumas, kuat berpegang pada adat dan hukum adat mereka. Adat dan hukum adat inilah yang menjadi pegangan mereka dalam kehidupan sehari-hari saat Negara dan pemangku adat absen. Apalagi pengetahuan mereka tentang hukum nasional formal sangat, sangat minim. Semuanya berdasarkan “Aukh” (kata), kepercayaan pada makna KATA. “Aukh” menjadi hukum faktual mereka.

Tentang kepindahan seluruh penduduk Desa Tumbang Sépan secara geografis, yang hingga hari ini telah berlangsung tiga kali, Plt.Kades menjelaskan bukan dikarenakan tekanan atau tuntutan PBS, melainkan karena kemauan semua warga. Mereka pindah karena melalui mimpi atau isyarat-isyarat alam, mereka pahami tempat yang sedang mereka diami sudah menjadi tempat tidak aman lagi. Perkebunan sawit memang tidak menyukai  Desa Tumbang Sépan berada di tengah-tengah perkebunan. Barangkali kepindahan seluruh penduduk sampai tiga kali ini terjadi karena masalah kepercayaan atau kebudayaan serta adanya dengan 1001 cara desakan dari PBS. Sekarang mereka menanti pelaksanaan relokasi yang keempat. Kali ini dilakukan oleh rencana pemerintah. Apakah rencana ini terlepas dari kepentingan ekonomi dan keinginan PBS? Politik tidak lain dari kepentingan terpusat segala kepentingan, terutama kepentingan ekonomi. Kehidupan Desa Tumbang Sépan pun tidak luput dari politik, sayangnya lebih berkarakter politisien. Program menanam “Sejuta Séngon” oleh sementara calon bupati Gumas mau dimbil sebagai program yang ia tawarkan ke para pemilih. Dengan  kata lain dipolitisasikan.

Seringnya Desa Tumbang Sépan pindah lokasi memberikan Desa Tumbang Sépan nama lain, yaitu “Desa Bahantung”, desa yang hanyut. Arus deras yang lebih menghanyutkan hari ini, apakah bukan arus modernisasi globalisasi sebagai tingkat kekinian kapitalisme. Kapitalisme disebut oleh Lu Sin, panglima kebudayaan Tiongkok Modern sebagai ”sistem manusia makan manusia”. Di tengah arus deras ini, hari ini, saya sedang melihat masyarakat Dayak Kalteng hanyut terkapai-kapai, keadaan yang sejak abad ke-19 lalu sudah diramalkan oleh Raja Putih James Brooke dari Sarawak.[]

Kusni Sulang

Harian Radar Sampit, 12 Februari 2017

Desa Bahantung

Kalau Debat Kusir dan Sibuk Mengapa Dilanjutkan

Dalam tulisan terdahulu yang terbit dalam Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, 25 Desember 2016 lalu, DOKTOR Joni, S.H., M.H. (izinkan saya singkat dengan DR. Joni, Doktor Kehutanan Unmul, Samarinda, Pengamat Hukum  dan Sosial) telah bermurah hati memberikan saya berbagai macam predikat atau sebutan serta aneka kata sifat  tanpa penjelasan. Sebutan-sebutan itu adalah “sesepuh” dan ”budayawan Dayak” sedangkan beberapa kata sifat yang dihadiahkan DR. Joni kepada saya antara lain: “romantik tradisionalis”, “tidak cerdas” (barangkali ungkapan pelembut atau eufemisme untuk “bodoh” atau “goblok”?), “tidak adil”, “abstrak dan eufimisme”. Dalam tulisannya bertajuk “Ini Soal Debat Kusir” (Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, 29 Januari 2017), DOKTOR Joni kembali menghadiahkan saya predikat baru “chauvinis romantisme masa lalu”, melakukan debat kusir, memandang pendapat saya setara dengan “kentut kuda”, tidak beretika obyektif, logika tidak cerdas, sehingga tak perlu dia pikirkan dan tak perlu “mengikuti pendapat ayahanda KS”. Kemudian DR. Joni juga merasa dirinya pintar (mungkin karena menyandar gelar akademi DOKTOR, S.H. dan M.H.?)  sebagaimana dituliskannya “Ketika kemudian cara berpikir ini tidak atau belum dipahami, ya capek menjelaskannya. … Kalau ini dinyatakan terlalu akademis, ya semakin ruwet jadinya.”

Percaya diri kuat yang menganggap diri pintar, terkesan dari lédékan sengaja DR. Joni terhadap kalimat saya: “Saya bisa memastikan DR. Joni tidak mengikuti pikiran-pikiran saya baik dalam bentuk buku-buku ataupun berupa artikel-artikel yang terbit rutin antara lain yang disiarkan melalui Harian Radar Sampit ini”. Terhadap kalimat ini DR. Joni menulis: “(buku artinya ruas?)”. Saya katakan DR. Joni nglédék karena DR. Joni yang cerdas, nampak begitu sulit memahami buku-buku yang disandingkan dengan artikel-artikel bukanlah berarti ruas walaupun memang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia salah satu arti dari buku adalah ruas (hlm.152). Lédékan ini melengkapi penilaian DR. Joni tentang pandangan-pandangan saya yang tidak lebih dari “kentut kuda”.

Karena masalah pokok yang dibicarakan bukan pada sebutan (predikat) negatif maka saya tidak mengikuti kesukaan DR. Joni memberikan bermacam sebutan itu. Atribut bukanlah argumen, apalagi predikat-predikat negatif. Apakah predikat-predikat negatif bisa disebut sebagai “kecerdikan logika” dan ketajaman argumen? Lu Sin, pengarang Tiongkok tahun 1930-an yang hidup pada masa pemerintahan Chiang Kai-shek, menyebutnya sebagai kelemahan. Selain itu, saya kira memberikan secara mudah predikat-predikat kepada interlokutornya sekaligus menunjukkan kualitas sesungguhnya dari si pembicara atau si penulis.

Saya khawatir, gejala-gejala yang ditunjukkan oleh pernyataan-pernyataan DR. Joni di atas, yang  berada di luar dugaan saya,  memperlihatkan diskusi ini boleh jadi sudah mulai tidak berada di rel yang benar. Hanya saya merasa heran, di satu pihak DR. Joni memanggil saya dengan predikat “Ayahanda”, di pihak lain ia memberikan saya dan menilai saya dengan sebutan-sebutan di atas. Hal ini mengingatkan saya pada pengalaman dengan seseorang yang secara hubungan darah adalah adik saya. Di depan, ia selalu memanggil saya “kakak”, di belakang, ia selain bergunjing dan menohok, serta melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan menjatuhkan saya sejatuh-jatuhnya.

Saya juga teringat akan adegan sebuah film Korea Selatan kekinian. Anak dan ayah berbeda pendapat. Perbedaan pendapat mereka tidak bisa dipertemukan. Tapi si anak tetap sopan dan hormat, tanpa memberikan predikat apapun pada sang ayah, sambil mengatakan dengan tegas, “Saya tidak setuju dengan pendapat ayah. Alasan-alasan saya sudah saya sampaikan.” Sang ayah kemudian mengusir si anak keluar dari rumah. Si anak tetap hormat dan sopan, berkata,  “Baik, Ayah. Saya pergi.” Saya sangat terkesan akan sikap si anak ini.

Dilihat dari sudut pandang adat, sikap si anak ini adalah sikap beradat. Dari segi asas, bisa dikatakan berada pada level asas atau berprinsip. Dari segi tata krama, sikap si anak ini adalah sikap tata krama. Sopan dan santun.  Bukan hanya sopan tapi juga santun, termasuk dalam berbahasa. Sekalipun hidup dalam masyarakat Korea Selatan kekinian, ia tidak meninggalkan unsur-unsur positif dalam kebudayaan tradisional mereka. Saya melihat pada si anak, adanya sikap yang memadukan tradisi baik dengan kekinian yang positif. Pesan lain dari sikap si anak adalah kekinian Korea Selatan bukanlah kekinian yang lepas akar. Budaya yang sudah ada mereka miliki ditapis dan yang positif dijadikan sangu budaya menghadapi zamannya. Konsep “Anak Zaman” tidak berarti menegasi budaya yang sudah ada. Pandangan dan sikap beginilah yang saya namakan Dua Pemaduan yaitu pemaduan antara tradisi baik dengan kekinian positif. Dengan menerapkan konsep dua pemaduan ini,  diharapkan kita bisa melahirkan karya-karya kekinian tanggap zaman atau zamani. Yang zamani inilah, dalam pandangan saya, yang disebut modern (sekalipun banyak teori tentang modern dan atau modernisasi yang di sini tidak saya bahas lebih jauh, untuk sederhananya di sini saya menggunakan perumusan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 1999 hlm, 662).  Kalau berbicara tentang perspektif, esok yang dituju, bagaimana cara ke tujuan tersebut, kurang-lebih demikian yang ada dalam  pandangan saya. Dengan demikian, selain menjadi Dayak atau etnik apapun, kita menjadi Indonesia dan warga dunia dengan kemanusiaannya yang tunggal sehingga menjadi Dayak tidak bertentangan dengan menjadi Indonesia, juga rasuk dengan menjadi warga bumi.

Untuk keperluan ini maka belajar, riset (bertanya dan mencari jawab pertanyaan), kajian, perbandingan dan menyerap merupakan kegiatan-kegiatan penting. Untuk itu, setelah H. Sugianto Sabran dilantik menjadi Gubernur Kalteng pada Mei 2016 lalu, melalui tulisan di Harian Radar Sampit ini, saya pernah menyarankan agar ia membangun sebuah lembaga setipe The Habibie Center.

Dari apa yang dilakukan sejak lama di negeri ini, nampak bahwa upaya-upaya dan karya-karya zamani itu memerlukan kreativitas. Menjadi tanggap zaman atau zamani tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan memerlukan penelitian, pengkajian, kerja keras dan kreativitas. Kalau di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk menjadi zamani ini, dalam teknologi misalnya, mereka menerapkan yang disebut oleh Ignacy Sachs ‘teori kotak hitam’ (‘Black Box Theory’). Di bidang kedokteran, memadukan ilmu kedokteran tradisi Tiongkok dengan ilmu kedokteran Barat dan negeri-negeri lain. Di bidang kebudayaan, menerapkan antara lain politik “biar bunga mekar bersama, seribu aliran bersaing suara”. Masing-masing bidang mempunyai cara penerapan kebidangan sendiri-sendiri.

Saya kira, tidak semua warga masyarakat kita yang hidup di zaman ini adalah anak zamannya secara budaya. Tidak sedikit orang Dayak yang lahir, besar, dan tetap tinggal di Kalteng, tidak kenal sejarah dan budayanya sendiri. Dayak tetapi tidak tahu apa-apa tentang Dayak. Keadaan ini oleh seorang pemikir Tiongkok abad ke-20 disebutnya sebagai “mengenal Yunani Kuno dan Barat tetapi tidak tahu apa-apa tentang Tiongkok”. Gejala ini oleh Bung Karno dinamakannya “Hollands Denken”.  Yang tersisa pada Dayak yang demikian tidak lain hanya garis genealogis. Secara budaya, ia/mereka kehilangan diri seperti layang-layang putus tali (lihat: Bung Karno dalam “Pidato Lahirnya Panca Sila, 1 Juni 1945). Hal ini antara lain saya dapatkan ketika saya masih menjadi guru di salah sebuah universitas di Palangka Raya. Bahkan saya melihat gejala ‘bunuh diri budaya secara kolektif’.

Jika demikian, bagaimana mereka bisa menjadi ‘anak zaman’-nya? Epigonisme, kitch-isme dan segala yang sejenis, bukanlah jalan untuk zamani. Sebagai acuan mengenai masalah zamani ini barangkali ada baiknya membaca ulang Pidato Bung Karno tentang Lahirnya Panca Sila dan Polemik Poedjangga Baroe tahun 1930. Untuk menjadi “anak zaman” diperlukan kerja keras dan tekun. Tidak serta-merta orang yang lahir di zaman ini, lalu menjadi “anak zaman’’ ini.

Kalau pengamatan saya benar, di Kalimantan Tengah terdapat tiga kategori  pandangan dan sikap budaya, yaitu: (1) Tradisionalis, lari ke masa silam; (2) Modernis, menelan mentah-mentah segala apa yang datang dari luar; (3) Pasca tradisional, memadukan unsur tradisi baik  dengan kekinian yang positif.

Ivan Nestorman, musisi Flores yang menciptakan lagu-lagu barunya menggunakan musik Manggarai, menamakan karya-karyanya sebagai Neo-Tradisi (Kompas, 24 Desember 2016). Apa yang dilakukan oleh Ivan Nestorman sebelumnya juga telah dilakukan oleh sejumlah musisi dan seniman teater ketika mengangkat roman Bugis I La Galigo yang kemudian mereka pentaskan di berbagai negeri mancanegara. Pada masa pemerintahan Soekarno, di Jawa Tengah, sejumlah seniman seperti Djoni Trisno, Sujud, dll juga telah melakukan hal serupa dalam upaya mengembangkan kesenian Jawa Tengah agar zamani, tapi tidak lepas akar dan  tanpa merusak atau apalagi menghancurkan warisan budaya yang ada. Zamani tidak identik dengan Baratisasi, Koreanisasi, Arabisasi, dll tanpa menolak unsur-unsur positif dari luar. Positif dan negatif ukurannya ditakar dengan gantang kepentingan dan kondisi (dalam arti majemuk) nasional dan kemanusiaan sebagaimana juga diterakan pada Preambul dan Pasal-Pasal terkait UUD 1945.  Inilah perspektif yang saya sarankan. Upaya seniman-seniman tersebut didahului dengan riset selama setahun konsekutif. Hal serupa juga dilakukan oleh Ansambel Tari-Nyanyi Genta Suri Jawa Timur, oleh musisi Udin dari Ansambel Tari-Nyanyi kesayangan Bung Karno, Maju Tak Gentar, Medan, Sumatera Utara. Saya memahami apa yang dilakukan oleh para seniman Jawa Tengah secara periodik dengan Festival Lima Gunung bisa ditafsirkan sebagai bentuk lanjut dari konsep dua pemaduan ini.

Dewasa ini, agaknya aliran Pasca-Tradisionalis  masih berada di pinggiran, masih berada jauh di bawah Aliran Modernis (tulisan saya tentang tema ini pernah diterbitkan oleh Harian Palangka Post beberapa tahun silam dan juga saya sampaikan dalam sebuah diskusi budaya yang diselenggarakan oleh Harian Kalteng Pos).

Apakah konsep dua pemaduan demikian bisa disebut sebagai “romantik tradisionalis”, “chauvinis romantisme masa lalu”? Apabila pandangan ini salah, lalu apa alternatif yang ditawarkan oleh DR. Joni dalam upaya membangun kebudayaan dan masyarakat Kalteng, termasuk untuk “saat ini” (istilah yang ditekan-tekankan oleh DR. Joni, barangkali untuk menunjukkan keaktualitasan dirinya dihadapkan pada saya yang ia tuding hidup di masa silam) bahkan untuk Indonesia? Sedangkan saya sejak lama  menawarkan konsep ‘’Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng’’ untuk Kalteng yang majemuk dan menangkal budaya ghetto yang nampaknya menjalar ke dunia politik menjadi budaya politik.

Konsep Trisakti Bung Karno dalam bidang kebudayaan yaitu “berkepribadian di bidang kebudayaan”, yang dikibarkan kembali oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), saya kira pelaksanaannya dilakukan dengan menerapkan konsep dua pemaduan itu. Dua pemaduan bukanlah teori pintu tertutup tapi terbuka. Tidakkah pemberian gelar kepada Presiden Jokowi secara bentuk merupakan bentuk tradisional yang dipungut dari  budaya Dayak Kalteng? Kalau mau disebut ‘modern’ boleh jadi bisa  dicarikan bentuk lain, misalnya pemberian  gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Palangka Raya, Universitas Muhammadiyah, Universitas Kristen Palangka Raya, Universitas PGRI Palangka Raya, atau Universitas Darwan Ali di Sampit. Bukan memberikan gelar adat Dayak, apalagi mengobralkannya.

Mengenai pemberian gelar adat, apabila kita mengacu pada sejarah (beritahu saya kalau keliru!), pemberian gelar adat kepada pihak luar, bukan hal lazim. Ia nampak dan menjadi lazim serta diobral, sejak DAD berdiri. Yang lazim adalah angkat anak, angkat orangtua, dan angkat saudara.

Dengan latar belakang di atas maka justru pertama-tama yang saya tanyakan kepada H. Agustiar Sabran ketika ia berbicara tentang “memodernisasikan Dewan Adat Dayak Kalteng” adalah apa yang ia maksudkan dengan ‘memodernkan DAD Kalteng’ (saya mendapat beberapa data tentang konkretisasi ide “modern”-nya ini, tapi tidak diumumkan ke publik), tapi yang dijawabnya secara singkat adalah tentang masyarakat Dayak modern sedangkan pertanyaan pertama saya sampai sekarang belum berjawab (lihat: Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit edisi akhir tahun lalu). Bagaimana memperkuat, termasuk membuat DAD zamani, secara konkret pernah saya sampaikan langsung kepada Sekretaris DAD Kalteng Yansen Binti saat kami bertemu di Kantor KONI Palangka Raya, jauh sebelum Agustiar Sabran melontarkan konsep “modernisasi DAD”-nya. Dari data-data yang saya miliki dari sumber tertentu, konsep modernisasi DAD Agustiar, sejauh ini membuat saya bertanya-tanya. Apakah demikian yang disebut “modernisasi”? Untuk memperoleh konfirmasi tentang data-data dan mendengar langsung pendapat Agustiar tentang konsep modernisasi DAD-nya dan soal-soal lain, istri saya, sebagai kontributor Halaman Budaya Harian Radar Sampit pada 20 Januari 2017 telah mengirim pesan singkat (sms) kepada Ketua DAD Kalteng, mengharapkan bersedia diwawancara. SMS tidak  berjawab. Tanggal 3 Februari 2017, istri saya menelpon Agustiar. Diangkat sebentar kemudian ditutup tanpa menjawab sepatah pun. Barangkali saja DR. Joni yang mendapat ucapan selamat melalui iklan besar di Harian Radar Sampit, bisa membantu memberitahukan saya tentang konsep modernisasi tersebut.

Joni pun yang dalam dua tulisannya menanggapi pendapat saya yang seakan-akan mengutamakan obyektivitas, bolak-balik menekankan “saat ini” dan “saat ini”, tapi tidak menjawab pertanyaan saya: apa-bagaimana konsepnya tentang modern dan bagaimana menjadi modern. Juga tidak menjawab pendapat saya tentang patokan “putera terbaik”-nya, dll. Ia hanya mengumpulkan berbagai atribut dan mengenakannya ke kepala saya, tanpa penjelasan mengapa atribut-atribut tersebut dikenakan. Dengan cara-cara ini kemudian menghimbau agar pembaca jangan mengikuti pikiran “ayahanda KS” (maksudnya saya, Kusni Sulang-KS)–inti dari dua tanggapan DR. Joni terdahulu sedangkan saya hanya mengharap agar pembaca menyimak atau membaca cermat dua tulisan DR. Joni itu agar memahami maksudnya, pikirkan baik-baik, lalu nilai sendiri kadar pendapat serta alasan-alasannya yang dia bilang beretika ‘obyektif’ itu. Hal-hal ini adalah hak pembaca sepenuhnya jika menggunakan teori Roland Barth, seorang linguis Perancis kekinian. Apalagi saya berpendapat, gelar Doktor bukanlah  identik dengan orang yang tahu segalanya, bahkan bidang kedoktorannya sendiri pun bukan tidak mungkin banyak hal yang masih berada dalam kabut misteri. Gelar Doktor bukan lambang kebenaran. Jadi gelar-gelar akademi sepanjang apapun, bahkan lebih panjang dari nama sendiri, tidak perlu dirisaukan benar dibandingkan dengan isi yang diucapkan atau yang ditulis itu benar atau salah. Banyak contohnya bahwa pendapat seorang penyandang gelar akademi doktor itu salah (mengapa di negeri-negeri yang baru mendapatkan kemerdekaan nasionalnya, orang-orang suka sekali memajangkan gelar-gelar akademi yang mereka punyai. Agar tidak ngeladrah, di sini tidak saya masuki. Ini adalah soal lain lagi).

Terhadap pertanyaan saya: ”Apakah tidak sebaiknya sebelum mengomentari pendapat pihak lain, si komentator atau penyanggah sedikit banyak mempelajari pikiran-pikiran orang yang dikritik atau dikomentarinya?” DR. Joni menjawab, “Dan itu tidak perlu legitimasi dari KS”. Barangkali karena pola pikir “tidak perlu legitimasi dari KS” ini maka Doktor dari Unmul Samarinda ini begitu royal memberikan saya berbagai atribut seperti di atas. Padahal masalahnya bukan perlu atau tidak legitimasi tetapi memahami dulu pandangan secukupnya dari yang disanggah agar sanggahan mengena. Sebagai apologi untuk semua atribut dan pola pikir di atas, DR. Joni mengatakan dirinya “bukan pakar Dayakologi” melainkan hanyalah seorang awam.

Tentang masa-lalu, Doktor dari Unmul Samarinda ini menulis: “Kita adalah anak zaman yang hidup di sini, saat ini. Jadi hanya sebuah utopia, ketika anak zaman di sini, saat ini, mencoba menembus ruang dan waktu berkontemplasi ke masa lalu. Itu mengkhayal sangat abstrak dan sia-sia”.

Terhadap pandangan sejarah Doktor dari Unmul Samarinda kita ini, izinkan saya mengutip sejarawan DR. Anhar Gonggong dalam Kata Pengantarnya untuk buku “Sejarah Kalimantan Tengah” (Penerbit: Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Palangka Raya, 2005, hlm. ix-x) berjudul “Dinamika Kalimantan Tengah di Dalam Indonesia”. Anhar antara lain menulis: “Karena buku ini menggunakan istilah sejarah (kursif dari Anhar Gonggong-KS) sebagai judulnya, maka (mungkin) ada baiknya jika kita memberikan catatan terhadap makna kata sejarah dan kata lampau, (kursif dari Anhar Gonggong-KS)  kelampauan. Sebab kedua kata itu di tengah-tengah masyarakat umum, bahkan juga oleh sementara warga masyarakat berpendidikan–kedua kata itu disamakan artinya; dan karena itu, sering diperoleh ”kerancuan” pengertian tentang keduanya. Sejarah memang, dalam pengertian penulisannya, adalah masa lampau. Tetapi tidak “keseluruhan” masa lampau adalah sejarah. Untuk mendapatkan pengertian yang jelas, ada baiknya kita perhatikan kutipan di bawah ini: “Yang jelas, sejarah dan masa lampau bukan dua hal yang sama (kursif dari Anhar Gonggong-KS). Dalam artinya yang paling luas, apa yang kita maksudkan dengan istilah sejarah bukanlah (kursif dari Anhar Gonggong-KS) masa lampau, melainkan proses pemikiran (atau hasil dari proses itu, seperti pemunculannya di atas kertas, film dan sebagainya) sehingga masa lampau itu dapat kita pahami. Ditinjau secara demikian itu, maka sejarah merupakan tafsiran suatu upaya pemikiran manusia dengan kekuatan  dan kelemahannya (kursif dari Anhar Gonggong-KS). Masa lampau itu tidak bisa dihidupkan lagi, tetapi sejarah–sebagai proses pemikiran yang digunakan manusia untuk mengerti dirinya sendiri dalam kerangka waktu – sama sekali tidak bisa dimatikan [kursif dari Anhar Gonggong-KS] (Lihat: Wlilliam H. Frederick dan Soeri  Soerato, “Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi”, LP3ES, Jakarta,1982, hlm. 4). Karena itu, seorang filosof sejarah Barat, Bergson mengatakan bahwa “sejarah itu hari ini”.

Sementara Les Annales, nama sebuah majalah ilmu sosial, terutama ilmu sejarah, kemudian menjadi nama sebuah Aliran Sejarah terkemuka di Perancis, memandang bahwa masa lalu, hari ini dan masa datang mempunyai saling hubungan. Aliran (Mazhab) Sejarah ini bahkan mempunyai pengaruh dunia.

Kalau pemahaman saya benar, agaknya DR. Joni tidak berada dalam aliran ini, tidak juga berpandangan seperti yang dikatakan oleh sejarawan DR. Anhar Gonggong. Dalam pandangan DR. Joni: “Kita adalah anak zaman yang hidup di sini, saat ini. Jadi hanya sebuah utopia, ketika anak zaman di sini, saat ini, mencoba menembus ruang dan waktu berkontemplasi ke masa lalu. Itu mengkhayal sangat abstrak dan sia-sia”.

Tentu saja memilih berada di luar pandangan di atas adalah sepenuhnya hak masing-masing. Masalahnya: Tepatkah? Sesuai kenyataankah? Obyektifkah, jika menggunakan istilah kesukaan DR. Joni? Sementara apa yang dialami oleh masyarakat Dayak hari ini, dalam pandangan saya, akan menjadi lebih jelas jika kita tidak memisahkan hari ini dari masa lalu. Apa yang terjadi hari ini, bukanlah takdir atau ada serta-merta (halaman membatasi saya untuk menguraikannya lebih lanjut. Maaf). Jika mengikuti pandangan DR. Joni, masyarakat Dayak jadinya akan dibuat menjadi masyarakat tanpa sejarah. Justru dalam pengamatan saya, fenomena kehilangan diri, ketidakmampuan memahami diri sendiri yang menjangkiti masyarakat Dayak berbagai generasi hari ini berlangsung karena kesadaran sejarah yang minim (uraiannya pun terpaksa tidak bisa saya rinci oleh alasan besaran ruang). Dilihat dari segi kesadaran sejarah ini, pandangan DR. Joni bisa dikatakan tipik masyarakat Kalteng hari ini yang didominasi oleh hedonisme. “Dia jadi béhas (tidak jadi beras)”–maka sibuk memikirkan bagaimana dapat béras, walaupun pasti DR. Joni sebagai notaris tidak kekurangan beras (tapi tetap sibuk bagaimana mendapat “beras” lebih banyak), “Émang gué pikirin”, sedangkan hidup menurut seorang pengarang Rusia, tidak hanya untuk beras semata. “Life is not for bread alone”. Bahaya hedonisme memang mereduksi nilai manusia sehingga bisa jadi komoditas. Harkat dan martabat menjadi tidak penting dibandingkan dengan “beras”. Pergeseran nilai begini, saya kira akan nampak jelas jika dilihat dengan pendekatan sejarah. Ini pun topik besar yang diangkat oleh Doktor dari Unmul Samarinda kita.

Dari segi tipikalitasnya pandangan DR. Joni ini, maka sangat tepat jika dikatakan bahwa ia adalah anak zamannya, zaman yang hedonistik. Saya sangat gembira jika DR. Joni yang anak zaman masyarakat Dayak atau Kalteng sekarang lebih banyak lagi berkomentar. Dengan demikian, pemahaman saya atas masyarakat Kalteng melalui salah seorang yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi akan makin banyak. Pandangan-pandangannya merupakan salah satu sumber data primer guna menyimak pergeseran-pergeseran nilai, pandangan dan tingkah-laku warga Kalteng.

Saya minta maaf karena harus mengakhiri Catatan ini karena dibatasi oleh Ruangan Halaman Masyarakat Adat ini. Ini pun sudah melampaui kuantitas halaman. Masalah-masalah besar yang masih mau saya komentari masih banyak, antara lain: (1) RI dan Masyarakat Dayak Kalteng; (2) Kebudayaan Nasional Yang Berkepribadian; (3) Presiden dan Organisasi Masyarakat Adat; (4) Uluh Bakasisme di Kalteng; (5) Hukum Nasional dan Hukum Adat; (6) Gelar Kehormatan dan Jasa (tentang pemberian tanda jasa ada UU khususnya, ada patokan-patokannya, bukan jadi barang obralan); (7) Kesadaran Sejarah dan Budaya dalam Masyarakat Kalteng; (8) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kalteng; (9) “Diá Jadi Béhas” dan Pandangan-Pandangan Baru sebagai Fenomena Sosial di Kalteng; (10) Masyarakat Adat dan Kelembagaan Adat di Kalteng; (11) Dayak, Indonesia dan Anak Manusia; (12) Kritik dan Otokritik dalam Masyarakat Kalteng; (13) Buku-buku (sekali lagi bukan “ruas” ya, Bung); (14) Modal Budaya Masyarakat Dayak Kalteng; (15) Organisasi dan Masyarakat “Modern”; (16) Soal-soal sampingan lainnya.

Tema-tema di atas yang karena ketiadaan tempat di halaman ini muncul dari tanggapan DR. Joni. Karena itu, saya berencana untuk menulis sebuah buku kecil (bukan “ruas”, ya Bung!) untuk membahas soal-soal tersebut, tanda bahwa saya memikirkan sungguh-sungguh pendapat orang lain, termasuk dari DR. Joni, bukan dengan sikap “émang gué pikirin”–sikap anak muda yang muda perasaan, pikiran dan perilaku. Patutkah diteladani? Kemudian kalau diskusi ini debat kusir dan tahu diri sibuk, mengapa debat dimulai dan dilanjutkan apalagi dengan seseorang yang pendapatnya “bau kentut kuda”? Betapapun juga, saya harus menyampaikan banyak terima kasih atas pandangan-pandangan Bung Joni yang menginspirasi![]

Kusni Sulang

Harian Radar Sampit, 5 Februari 2017

Tulisan DR. Joni, S.H., M.H. – doktor lulusan Universitas Mulawarman Samarinda – “Ini Soal Debat Kusir” lihat di: Ini Soal Debat Kusir

Dengan Idealisme Pragmatis Meninggalkan Keterpinggiran

Para petinggi penyelenggaraan Negara provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) selalu membanggakan pertumbuhan ekonomi provinsi yang 7,01 persen (DR. A. Teras Narang, SH, 2016), di atas pertumbuhan ekonomi nasional. Adanya pertumbuhan memang sesuatu yang baik, lebih-lebih jika ia merupakan pertumbuhan yang berkeadilan. Apakah pertumbuhan ekonomi kita pertumbuhan berkeadilan?

Dalam tulisannya di Harian  Media Indonesia, Jakarta, 20 Januari 2017 berjudul “Pertumbuhan Tidak Kurangi Kemiskinan” Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati antara lain menulis: ”Saya melihat di seluruh dunia, banyak negara yang mengalami ketimpangan pesat dari mulai 0,35% sampai mendekati 0,5%. Bahkan di Amerika Latin sampai 0,7%. Artinya betul-betul cuma segelintir orang yang merasakan kesejahteraan”. Kemudian lanjutnya: “Kalau kita lihat angka kemiskinan, yang harus diwaspadai adalah pertumbuhan kita tidak bisa mengurangi kemiskinan secara lebih cepat.”

Kesimpulan Mulyani, suatu kesimpulan yang bukan baru bahwa  “pertumbuhan (di Indonesia –KS)  tidak mengurangi kemiskinan” yang ia jadikan judul artikel, berbeda dengan pendapat para pengikut Rostowien dengan teori “trickle down effect” (kucuran ke bawah)-nya, yang dominan pada masa pemerintahan Orde Baru Soeharto.

Pertumbuhan ekonomi Kalteng yang 7,01 persen, sebagaimana yang dilihat di mana-mana oleh Menteri Mulyani, melahirkan “ketimpangan pesat”, demikian pula halnya di Kalteng. Jumlah kaum miskin di Kalteng akan lebih besar dari 5,91 persen (DR. A. Teras Narang, SH, 2016), apabila ukuran batas garis kemiskinan diperbesar dari Rp 200 – Rp 300 ribu per bulan seperti yang digunakan sekarang.

Invasi besar-besaran Perusahaan Besar Swasta (PBS) baik tambang ataupun perkebunan kelapa sawit, bukannya meredam laju kemiskinan, bahkan sebaliknya, lebih-lebih di kalangan masyarakarat adat Dayak yang terutama masih tergantung dari pertanian dan hasil hutan. Sementara di Kalteng menurut penelitian Tim 14 Peneliti dari Universitas Gadjah Mada yang dipimpin oleh DR. Purwanto dan Cornelis Lay, pada tahun 2009, lahan garapan tersisa hanya 20 persen sehingga menurut Tim dari Universitas Gadjah Mada itu, rakyat Kalteng terancam menjadi “landless people”.  Di Kabupaten Gunung Mas, menurut angka Borneo Institute, Palangka Raya, lima perusahaan sawit menguasai 70 persen lahan garapan di kecamatan Rungan Manuhing. Di Kabupaten Gunung Mas secara keseluruhan, jumlah lahan yang diserahkan kepada PBS melampaui luas kabupaten yang luasnya 10.804 km2. Apa yang dipesankan oleh Raja Putih dari Sarawak James Brooke (1841-1863) kepada masyarakat Dayak pada abad ke-19 menjadi kenyataan. Waktu itu James Brooke memesankan:

“Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik: Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah di mana kalian tinggal, sumber penghasilan kalian, dan bahkan makanan yang ada di mulut kalian. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”

Pesan senada juga telah disampaikan oleh para tetua Kalteng: ”Éla sampai témpun pétak batana saré, témpun uyah batawah bélai, témpun kajang bisa puat” (Jangan sampai punya tanah berladang di tepi, punya garam hambar di rasa, punya atap basah muatan). Keadaan hari ini bahkan lebih buruk lagi bahkan bisa dikatakan sangat darurat, karena dalam komposisi demografis, masyarakat Dayak menempati urutan empat secara jumlah setelah etnik Bugis, sebentar lagi akan menempati urutan kelima setelah etnik Batak. Perubahan komposisi demografis ini berpengaruh besar ke semua sektor. Jika masyarakat Dayak tidak segera menyiapkan diri, keadaan mereka akan lebih terpinggir lagi ketika ibukota Republik dipindahkan ke Kalteng. Berharap pada elite, terutama pada elite kekuasaan agaknya akan menambah kekecewaan seperti yang dikatakan oleh Menteri Mulyani:

”Kekecewaan terus-menerus, apalagi menjadi penyakit yang sangat sering terjadi, adalah munculnya apa yang disebut elite capture. Ada sekelompok elite atau biasanya elite di dekat mereka yang sudah menguasai negara tersebut, yang hanya terus-menerus memfokuskan policy-nya untuk kebaikan elite itu sendiri, dan itu terjadi di banyak negara. Apakah itu namanya menjadi oligarki, atau menjadi kronisme, namanya bisa macam-macam. Tetapi Anda bisa lihat dari Afrika hingga Timur Tengah, Rusia, Amerika Latin, Asia, banyak negara yang tidak pernah bisa lepas dari elite capture itu, biasanya mereka mengalami trap di tengah.”(Lihat: Media Indonesia, Jakarta, 20 Januari 2017).

Sadar akan keadaan demikian, Yayasan Borneo Institute yang dipimpin oleh Yanedi Jagau dkk, berpikir bagaimana mengatasi keadaan darurat itu. Mereka pun lalu turun ke pedesaan luas di Kabupaten Gunung Mas yang lama mereka kenal, untuk konsultasi dengan penduduk, terutama warga Dayak serta guna mengetahui apa yang harus dikerjakan, dari mana dan bagaimana mulai. Untuk mengentas kemiskinan Menteri Mulyani mengajukan konsep yang disebutnya “Penyusunan RAPBN Inklusif” (lihat: http://www.suara.com/bisnis/2016/08/30/181138/ini-resep-sri-mulyani-untuk-mengurangi-angka-kemiskinan).

Tapi bagaimana konsep  “Penyusunan RAPBN Inklusif” ini secara kongkret diterapkan di daerah atau di lapangan? Apakah RAPBN ini nanti tidak terganggu oleh bercokolnya elite caputre? Mengentas kemiskinan, keluar dari keterpinggiran adalah suatu cita-cita, sebuah idealisme, sebuah mimpi. Mimpi ini jika bisa terwujud menjadi kenyataan maka ia dirasakan manfaatnya dan bisa menggerakkan masyarakat untuk lebih lanjut bersama-sama melakukannya. Mimpi itu niscayanya mampu menjawab permasalahan mendesak dan  jangka panjang sekaligus. Cita-cita beginilah yang oleh Jagau dirumuskan sebagai “idealisme pragmatis”.

Setelah melakukan penelitian dan kajian yang terus-dilakukan sampai hari ini, Jagau dkk mengkongkretkan idealisme pragmatis mereka dalam bentuk menanam Pohon Sengon di tiga kecamatan Kabupaten Gunung Mas, yaitu kecamatan-kecamatan Rungan Barat, Manuhing, dan Manuhing Raya.

Mengapa Pohon Sengon? Sengon gampang tumbuh, dan perawatannya sederhana, walaupun memang perlu dipupuk; kayunya sangat diperlukan dunia.  Sebagai persiapan pelaksanaan program ini, Jagau dkk terlebih dahulu mencari pembelinya. Dengan adanya pembeli maka petani yang turut dalam program melihat adanya suatu perspektif bahwa mereka bekerja tidak sia-sia. Jagau dkk mendapatkan pembeli tersebut di Temanggung yaitu PT ABP. “Berapa pun produksi kalian, kami siap membelinya,” ujar PT ABP kepada Jagau dkk.

Langkah berikutnya, Yayasan Borneo Institute mulai mengorganisasi para petani dalam kelompok-kelompok tani. Pekerjaan ini tidak sederhana karena pada  umumnya masyarakat Dayak tidak mempunyai tradisi berorganisasi seperti orang-orang Jawa dengan paguyubannya. Kesulitan mengorganisasi Dayak karena sesungguhnya mereka kurang mempunyai rasa kolektivitas disebabkan basis ekonomi individual mereka. Semuanya merasa diri  hebat, dan semua pangkalima. Apabila mereka melihat hal itu menguntungkan pribadi mereka baru mereka tergerak.

Setelah berhasil meyakinkan mereka dengan menunjukkan perspektif yang mungkin mereka peroleh, para petani itu baru  membentuk kelompok-kelompok tani penanam sengon. Kepada anggota-anggota kelompok petani ini diberikan masing-masing bantuan 1000 bibit pohon sengon untuk ditanam di tanah masing-masing. Yayasan Borneo Institute juga menyarankan mereka disela-sela sengon itu ditanam terung dan cabai untuk mengefektifkan kegunaan tanah serta menambah jumlah penghasilan. Target Yayasan Borneo Institute di Kabupaten Gunung Mas akan ditanam sengon di lahan seluas satu juta hektare.

Untuk pemupukan, Borneo Institute telah membeli mesin pembuat kompos dari rumput-rumput yang dikumpulkan para petani. Hanya saja nampaknya ketekunan petani sengon dalam merawat tanamannya tidak merata. Yang dirawat baik, pohon-pohon sengonnya akan nampak lebih subur daripada yang tidak dirawat.  Melihat keadaan begini, boleh jadi, pendampingan dari Borneo Institute ataupun turun tangannya pihak Dinas Pertanian atau Perkebunan diperlukan untuk mensukseskan program dari bawah dan berperspektif baik ini.

Akan dibukanya pabrik pengolahan kayu sengon ini di Pulang Pisau akan membuka perspektif cerah baru lagi bagi program menanam sengon. Pohon sengon jika  berkembang akan merupakan jalan pemberdayaan masyarakat, terutama petani Dayak, salah satu jalan  keluar dari  keterpinggiran. Salah satu jalan “Manggatang Utus”.[]

Kusni Sulang

Harian Radar Sampit, 29 Januari 2017

Dengan Idealisme Pragmatis Meninggalkan Keterpinggiran

Mengkritisi Tanggapan Joni

Pertama-tama patut saya sampaikan terima kasih kepada DR. H. Joni, SH. MH. (selanjutnya saya singkat DR. Joni),  yang telah berkenan membaca dan meluangkan waktu untuk menanggapi tulisan saya yang terbit dalam Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit 25 Desember 2016 lalu mengenai pandangan-pandangan H. Agustiar Sabran sebagai Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Tengah (Kalteng) menggantikan Sabran Achmad. Kalau memberikan tanggapan kembali lebih rinci terhadap masalah-masalah yang diketengahkan oleh DR. Joni, barangkali sebuah buku kecil akan lahir. Dalam ruang sebesar Halaman Masyarakat Adat ini, saya nampaknya tidak bisa membahas semua masalah yang muncul dari artikel DR. Joni.

Di samping berterimakasih, saya pun merasa sangat senang atas tanggapan yang sebenarnya merupakan sanggahan atau kritik terhadap pendapat saya. Sanggahan dan atau kritik ini dibaluti dengan bungkus “melengkapi”  yang berarti “menambah apa yang kurang supaya menjadi lengkap” (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Balai Pustaka, Jakarta 1999: 584). Sanggahan atau kritik ini “dasarnya semata atau tanpa berpihak atau tanpa maksud berpihak”, demikian tulis DR. Joni. Sekalipun berpihak, saya kira hal yang wajar, apalagi jika kita sepakat dengan sosiolog Swedia Jan Myrdal (saudara kandung ekonom Gunnar Myrdal pengarang “Asian Drama”) bahwa terutama dalam ilmu sosial obyektivitas itu punya limit. Kemudian bukankah kebenaran itu sesungguhnya telah berpihak yaitu berpihak pada kebenaran, menentang kesalahan? Bahkan dalam dunia jurnalistik, yang sering disebut menjunjung obyektivitas, yang disebut obyektivitas itu pun tidak lepas dari subyektivitas, keberpihakan. Sehingga kalaupun DR. Joni dalam tulisannya ternyata melakukan pembelaan terhadap pandangan-pandangan Agustiar Sabran, bagi saya, hal demikian adalah hak dan wajar sehingga dengan  alasan-alasan tersebut mestinya DR. Joni tidak perlu mengatakan “dasarnya semata atau tanpa berpihak atau tanpa maksud berpihak”. Karena itu, tulisan DR. Joni akan lebih baik jika tidak menyertai embel-embel (barangkali dengan maksud agar terkesan ilmiah?) “dasarnya  semata atau tanpa berpihak atau tanpa maksud berpihak”.

Saya merasa senang akan sanggahan dan atau kritik DR. Joni, karena melalui media massa cetak Kalteng, saya sering membaca para pihak menghimbau agar jangan berpolemik, hentikan polemik dan memandang kritik seperti identik dengan meludahi muka orang lain di depan umum, sama dengan menghujat. Padahal kritik merupakan salah satu cara mendekati kebenaran dari berbagai segi yang mungkin tak terlihat oleh yang dikritik. Oleh karena itu maka dalam dunia ilmu pengetahuan (ilmu sosial terutama) dikembangkan pendekatan multi disipliner. Kritik, apa-bagaimana pun bentuknya akan berfungsi baik jika yang dikritik menyediakan tempat lapang bagi kebenaran orang lain, dan bersikap bahwa “yang berbicara tidak berdosa, yang mendengar patut waspada”. Sekalipun demikian, yang mengkritik niscaya melakukan penelitian agar pandangan-pandangannya dilandaskan pada argumen berdata. Untuk menekankan arti argumen berdata, secara ekstrim seorang penulis Tiongkok bahkan mengatakan “yang tidak melakukan riset tidak berhak bicara”.

Dengan cara-cara ini,  yang dikritik dan yang mengkritik  bisa terhindar dari debat yang disebut pokrol bambu, untuk tidak menggunakan istilah debat kusir yang melecehkan para kusir, atau “kampungan” yang merendahkan orang kampung, tapi bisa berada pada tingkat debat ide untuk tidak menggunakan istilah debat akademik. Kritik-otoritik yang jujur, bukan berangkat dari prinsip menang-kalah melainkan mencoba mencari kebenaran dari kenyataan. Kritik-otokritik begini sangat berguna untuk peningkatan pemahaman.

JUDUL

Tulisan DR. Joni berjudul “Kiprah Masyarakat Adat, Saat Ini, di Sini”. Dari judul ini terkesan bahwa Masyarakat Adat (Dayak) sedang ber”kiprah”? Apakah program “modernisasi” Agustiar Sabran yang  masih samar, pemberian gelar kepada Jokowi kemudian kepada Direktur Bank Indonesia, pengecatan tiang Bétang Hapakat Jalan RTA Milono, Palangka Raya,  merupakan kiprah Masyarakat Adat Dayak Kalteng ataukah kegiatan DAD Agustiar? Yang pasti adalah kegiatan-kegiatan DAD Agustiar, bukan kegiatan Masyarakat Adat Dayak Kalteng secara keseluruhan. Warga Masyarakat Adat Dayak Kalteng sibuk dengan urusan konflik lahan yang berlarut-larut, sibuk dengan menangani kehidupan mereka sehari-hari yang terungkap dalam pertanyaan: “Apa bisa jadi beras?” ketika diajak melakukan bermacam-macam kegiatan.

Apakah masyarakat Dayak secara formal diwakili oleh DAD, seperti dinyatakan oleh DR. Joni, persoalan ini masih merupakan perdebatan. Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), termasuk DAD sebagai bagian dari MADN,  memang menginginkan mereka merupakan satu-satunya organisasi formal bagi masyarakat Dayak. Tapi organisasi-organisasi lain yang lahir jauh lebih awal dari MADN dan DAD-nya menolak keinginan demikian. Jika keinginan demikian diterima, tentu tidak akan ada protes dari lima organisasi Dayak terhadap pengecatan tiang-tiang Bétang Hapakat (Lihat: Radar Palangka, 18 Januari 2017). Dan masih banyak contoh lagi. Kedekatan dengan penyelenggara Negara tidak berarti keinginan menjadi “wakil formal” masyarakat Dayak. Yang nyata adalah MADN dan DAD (nama baru Majelis Adat Dayak yang dipakai sejak tahun 2006) hanya merupakan salah satu dari sekian banyak organisasi Dayak di Kalteng serta Kalimantan dalam skala lebih luas. Keinginan dan kenyataan adalah dua hal berbeda sehingga “Kiprah Masyarakat Adat”, barangkali akan lebih persis jika ditulis sebagai “Kiprah DAD”. DAD yang mana? Yang dimaksudkan “Saat Ini” DAD periode siapa? Apa yang dimaksudkan dengan ”saat ini”? Apakah DAD ketika dipimpin Sabran Achmad dikategorikan DAD masa silam, walaupun secara kurun waktu almanak (calendrier) masih terhitung “saat ini”? Soal waktu memastikan lingkup waktu masalah yang sedang dibicarakannya setelah menegaskan wilayah persoalan. Dengan memastikan kurun waktu dan wilayah diskusi membuat pembicaraan tidak ngeladrah, tidak ke hulu ke hilir, tapi fokus. Pembaca pun bisa memahami kondisi pada tempat tertentu pada waktu tertentu itu.

Ah, mungkin saya dikatakan terlalu njelimet. Tapi kejelimetan begini barangkali diperlukan, karena jarang-jarang DR. Joni menulis dengan mencantumkan relatif semua gelar akademi yang dimilikinya, terutama gelar Doktor yang baru diperolehnya dari Samarinda. Seorang Doktor biasanya dalam tulisan dan istilah cermat dan berhitung benar. Biasanya juga kecermatan berbahasa, termasuk penggunaan istilah-istilah seorang ahli hukum, lebih-lebih notaris, sangat teliti.  Hanya saja dalam sanggahannya terhadap pendapat-pendapat saya, DR. Joni sedikit longgar dengan kecermatan ini. Kelonggaran ini nampak benar ketika DR. Joni menulis “Kalau tidak maka elaborasi mengenai masalah ini akan cenderung abstrak dan eufemisme”. Tentu DR. Joni tahu bahwa eufemisme itu adalah ungkapan pelembut terhadap kenyataan. Wabah kelaparan disebut “rawan pangan”, ditangkap dikatakan “diamankan”, dsb. Atau ada pengertian lain dari itu?

BEBERAPA PREDIKAT HADIAH

Melalui tulisannya tersebut di atas, DR. Joni telah bermurah hati memberikan saya berbagai macam predikat atau sebutan serta aneka kata sifat  tanpa penjelasan. Sebutan-sebutan itu adalah “sesepuh” dan ”budayawan Dayak”. Sedangkan beberapa kata sifat yang dihadiahkan DR. Joni kepada saya antara lain:  “romantik tradisionalis”, “tidak cerdas” (barangkali ungkapan pelembut atau eufemisme untuk “bodoh” atau “goblok”?), “tidak adil”, “abstrak dan eufemisme”.

Terhadap hadiah sebutan dan kata-kata sifat ini saya hanya mau mengomentari beberapa saja.

Tentang “sesepuh”, Bahasa Jawa ini jika diterjemahkan ke dalam bahasa Dayak Ngaju akan menjadi “uluh bakas” (saya membedakannya dengan uluh bakas yang saya terjemahkan sebagai orang tua, ayah-ibu). Uluh bakas dalam pengertian “sesepuh” adalah mereka yang dihormati, dituakan, terutama karena kaya pengalaman, banyak makan asam-garam kehidupan dan relatif berpengetahuan. Kekayaan ini membuat mereka dewasa dalam perilaku, pikiran dan perasaan. Orang berusia belum tentu memiliki kedewasaan demikian. Karena itu, bisa terjadi seseorang sudah tidak muda lagi secara usia, tapi perilaku, pikiran dan perasaannya masih balita. Yang saya khawatirkan di Kalteng adalah berkembangnya pandangan Uluh Bakas-isme. Pandangan  yang melihat bahwa kedewasaan usia identik dengan kedewasaan pikiran, perasaan dan perilaku. Karena itu uluh bakas menurut Uluh Bakas-isme sekaligus menjadi ikon kebenaran dan merasa dirinya sebagai lambang kebenaran. Mereka tak mampu menerima kritik yang dipandangnya sebagai mencemarkan martabat Uluh Bakas-nya.

Dari sisi lain, paham adanya “sesepuh” gampang tergelincir pada pandangan dan sikap  feodal dan macam-macam variannya. Karena itu saya lebih suka untuk tidak mengembangkan sesepuh-isme, tidak dalam pengertian tidak menghormati orang lain, lebih-lebih orang tua usia. Tapi kebenaran dan usia adalah dua hal berbeda. Sesepuh-isme juga bisa dimunculkan karena tingkat pendidikan, kekayaan material dan atau jabatan. Saya sempat heran, ketika seorang pejabat disebut sebagai “tokoh masyarakat”, padahal betapa pun tinggi jabatannya, jika ia tanpa prestasi berarti ia tidak lebih dari seorang pegawai biasa dalam sebuah Negara Pegawai (Beamstenstaat).

Dengan alasan ini, saya tidak merasa bangga disebut “sesepuh”, apalagi saya tidak merasa berada di posisi tersebut, dan bahkan ingin berkata: “Awas terhadap Uluh Bakas-isme atau Sesepuh-isme!”.

Tentang “Romantik Tradisionalis” yang menyanjung-nyanjung masa lalu. Apabila kata sifat ini diberikan kepada saya, saya bisa memastikan DR. Joni tidak mengikuti pikiran-pikiran saya baik dalam bentuk buku-buku ataupun berupa artikel-artikel yang terbit rutin antara lain yang disiarkan melalui Harian Radar Sampit ini. Misal dalam artikel-artikel mengenai perlunya Sekolah Adat, atau Sekolah Damang atau apapun namanya. Bahkan ketika saya mengomentari pandangan Agustiar tentang modernitas. Dalam komentar saya terhadap pandangan modernitas Agustiar, terlebih dahulu saya menjelaskan apa yang saya maksudkan dengan “modern”, “modernitas”, “modernism” dengan menggunakan perumusan sederhana Kamus Besar Bahasa Indonesia. Saya mendesak Agustiar Sabran menjelaskan konsep modernitasnya, baik terhadap DAD maupun terhadap masyarakat. Permintaan ini sekarang saya minta kepada DR. Joni yang memberi saya kata sifat “romantik tradisionalis”.  Pemberian kata sifat ini kepada saya ibarat DR. Joni memalu paku tidak pada kepalanya tapi pada papan atau benda lain. Sama halnya ketika ia mengomentari pendapat saya tentang sumber daya manusia baik untuk pemangku adat dan kelembagaan adat, maupun untuk masyarakat Kalteng. Dari komentar DR. Joni tentang masalah pendidikan, saya mendapatkan bahwa saya berbicara A, DR. Joni berbicara B. Saya merasa sungguh aneh atas ketidakcermatan seorang Doktor seperti ini. Ini juga petunjuk lain bahwa DR. Joni abai terhadap kecermatan berbicara seorang Doktor, SH dan MH. Apakah tidak sebaiknya sebelum mengomentari pendapat pihak lain, si komentator atau penyanggah sedikit banyak mempelajari pikiran-pikiran orang yang dikritik atau dikomentarinya?

TENTANG GELAR UNTUK JOKOWI

Joni menulis bahwa “Jokowi adalah putra terbaik di antara yang terbaik yang ada dalam komunitas bangsa ini, saat ini. Ia berhasil menduduki jabatan tertinggi, dst…” Karena itu pantas mendapatkan gelar tertinggi Dayak (apa benar gelar tertinggi? Coba jelaskan pada saya ranking-ranking gelar Dayak itu!).

Anggapan bahwa  “Jokowi adalah putra terbaik di antara yang terbaik yang ada dalam komunitas bangsa ini, saat ini. Ia  berhasil  menduduki jabatan tertinggi”, saya kira pandangan yang keliru. Berhasil tidaknya seseorang menduduki jabatan tertinggi, sudah menjadi pengetahuan umum, bukan karena ia terbaik. Saya tetap memandang, menilai seseorang terbaik, mediocre atau buruk, terlalu awal selagi ia masih hidup. Kalau mengikuti alur pikir DR. Joni maka semua pejabat tinggi patut diberikan gelar Dayak. Apa benar  begitu?

Berbicara soal jasa dan pemberian gelar, mestinya DR. Joni akan jelas jika membaca Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 16 Tahun 2008 Tentang Kelembagaan Adat Dayak Di Kalimantan Tengah,  BAB VI, Pasal 10 (1.a) tentang Hak, Wewenang Dan Kewajiban Damang. Pasal tersebut menyebutkan anara lain bahwa “Damang Kepala Adat (bukan DAD—KS) menganugerahkan gelar adat kepada seseorang prestasi dan jasa-jasanya yang telah berbuat untuk mengangkat harkat dan martabat Masyarakat Adat Dayak” (hlm. 14). Lalu mengapa DR. Joni seperti mengeluh dan berkata: “Duh, soal jasa? Kiranya perlu dicatat sekali lagi masyarakat Dayak adalah masyarakat yang terbuka bukan masyarakat yang ekslusif”. Apa hubungan  jasa, berjasa dengan masyarakat terbuka atau tertutup?

Besar ruangan meminta saya menyudahi tanggapan balik saya ini. Boleh jadi akan saya lanjutkan minggu depan. Terima kasih DR. Joni atas sanggahan, kritik dan hadiah berupa berbagai predikat serta kata sifat. Salam![]

Kusni Sulang

Harian Radar Sampit, 22 Januari 2017 Mengkritisi Tanggapan Joni

Tulisan DR. Joni, SH. MH. – doktor lulusan Universitas Mulawarman Samarinda – “Kiprah MA Saat Ini Disini” lihat di: Kiprah MA Saat Ini Di Sini

Elit dan Perkembangan Masyarakat

Yang saya maksudkan dengan elit di sini adalah elit kekuasaan dan elit masyarakat. Elit kekuasaan terutama mereka yang memegang tanggung-jawab dalam penyelenggaraan kekuasaan Negara, sedangkan dalam istilah elit masyarakat, adalah mereka yang merupakan tokoh-tokoh masyarakat (bukan ditokoh-tokohkan tapi muncul karena jawara dan atau prestasi yang diakui), pemuka-pemuka adat dan penanggungjawab kelembagaan adat baik yang lama ataupun yang baru seperti Dewan Adat Dayak (DAD), penanggung jawab organisasi-organisasi, termasuk organisasi politik, dll, yang bukan dari lapisan akar rumput.

Sesuai konteks kekinian, dalam catatan ini istilah elit itu saya fokuskan pada elit kekuasaan politik dan pemangku adat dan kelembagaan adat.

Dalam masyarakat primodial atau paternalistik, atau patron-client seperti di Kalimantan Tengah (Kalteng) misalnya, para elit ini merupakan panutan. Ketika menyimpulkan pengalaman hidup mereka, para tetua merumuskan peran para elit itu dalam berbagai pepatah seperti “buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya”; “sungai berair keruh tak akan mengalirkan air yang jernih”; “guru kencing berdiri, murid kecing berlari”, dll lagi.

Peran menentukan lapisan elit ini barangkali bisa ditampakkan oleh pendekatan mode of production (cara berproduksi) yang melukiskan peran balik bangunan atas (super structure) terhadap bangunan bawah (basic structure). Yang kemudian dalam  ilmu politik, oleh salah satu pandangan dirumuskan bahwa “politik merupakan pencerminan terpusat segala kepentingan, terutama kepentingan ekonomi”. Secara kebudayaan, dengan mengutip pandangan Karl Marx, Bung Karno mengatakan bahwa “kebudayaan suatu masa adalah kebudayaan kelas-kelas yang berkuasa”.  Diakui atau tidak, penyelenggaraan kekuasaan politik menjadi rebutan dalam pilkada kiranya tak lepas dari  adanya kepentingan-kepentingan ekonomi di baliknya yang kemudian dipusatkan dalam kebijakan-kebijakan politik. Dan kebijakan-kebijakan atau policy yang dipilih, akan berdampak langsung pada kehidupan publik. Karena itu kalangan elit mempunyai peran  menentukan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, apalagi jika tripartite belum berkembang, terutama ketika kesadaran mayoritas berwarganegara belum kuat, masyarakat adat lemah dan bisa dikatakan dalam keadaan kocar-kacir, sehingga daya kontrolnya bisa diabaikan.

Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, bagaimana memahami skandal perzinaan yang dilakukan Bupati Kabupaten Katingan, Yangtenglie dengan Farida Yeni, seorang perempuan yang resmi masih menjadi isteri orang lain?

Oleh skandal zina tersebut, Aliansi Masyarakat Katingan Bersatu (AMKB) menuntut Yantenglie mundur dari jabatan Bupati Katingan dengan alasan “Menolak Dipimpin Bupati Zina-Cabul”. Isyarat lampu hijau untuk pemakzulan Yantenglie pun juga sudah diberikan oleh Partai Gerindra dan Partai Bulan Bintang (PBB) yang mengusung Yantenglie dalam Pilkada Katingan 2013 lalu bersama Partai Demokrasi Pembaruan (PDP). Pihak DPRD Katingan pun nampaknya mengarah ke jurusan pemakzulan. Ketua DPRD Katingan Ignatius Mantir Ledie Nussa, mengatakan, “pemakzulan bisa dimulai dari hak menyatakan pendapat oleh pihaknya di DPRD. Setelah itu, prosesnya bisa dilanjutkan ke Mahkamah Agung” (Harian Radar Sampit, 8 Januari 2017). Tanggal 10 Januari 2017, di Palangka Raya, seorang teman yang dekat dengan Partai Gerindra memperlihatkan daftar 23 tandatangan (dari 25 seluruh) anggota DPRD Katingan yang menuntut pemakzulan Yantenglie (lihat juga: Harian Kalteng Pos, 10 Januari 2017). Metro TV Jakarta dalam berita malamnya 10 Januari 2017 melukiskan kegiatan-kegiatan Ignatius Mantir untuk menghadapi masalah Skandal Zina Bupati Katingan Yantenglie.

Di tengah desakan pemakzulan Yantenglie ini, Ketua DPD KNPI Kabupaten  Katingan Edy Ruswandi mempunyai pendapat berbeda. Menurut Edy, perzinaan Yantenglie dan Farida Yeni tidak bisa dijadikan dasar memakzulkan statusnya sebagai Bupati Katingan. Sebab pasal yang disangkakan penyidik sudah jelas yaitu Pasal 284 KUHP  tentang Perzinaan. Perzinaan dinilai dilakukan atas dasar suka sama suka.  “Jadi perzinaan itu tidak sama dengan perbuatan asusila. Kekhilafan pribadi itu tidak ada hubungannya dengan prestasi beliau sebagai bupati,” ujar Edy (Harian Radar Sampit, 8 Januari 2017), apa prestasi yang dicapai oleh Yangenglie sebagai bupati masih suatu debat tentu saja.

Pendapat Edy bahwa perzinaan yang dilakukan atas dasar suka sama suka bukanlah perbuatan asusila, untuk masyarakat Indonesia, termasuk Kalteng, saya kira suatu pendapat yang berbahaya. Ia akan  menyuburkan perzinaan, perbuatan yang diakui Edy akan kian memarakkan perzinaan sebagai “perbuatan yang tidak terpuji” di kalangan penyelenggara Negara dan petugas berbagai bidang lainnya. Dalam mata Edy, dari segi kesusilaan, zina dibenarkan apalagi jika dalam pekerjaan yang berzina itu mencapai prestasi-prestasi tertentu. Edy dengan pendapatnya itu, lupa membedakan antara perkosaan dan tindakan tidak terpuji tapi bukan tindakan asusila.

Apabila dihubungkan dengan karakter masyarakat kita yang masih bersifat panutan, pembenaran perbuatan zina Bupati Yantenglie akan ditiru oleh bawahannya dan warga masyarakat lainnya. Akibatnya poligami dan poliandri akan kian berkembang. Apakah tipe masyarakat begini yang diinginkan oleh Edy, masyarakat yang bukan tidak mungkin kemudian berkembang ke arah masyarakat promiskuitet (promiscuity society). Adat, hukum adat, hukum formal (positif) muncul pertama-tama melalui pengalaman kemudian menjadi konvensi lalu ditingkatkan menjadi hukum, termasuk “hukum adat sebagai wujud ideal dari kebudayaan” (Koentjaraningrat, 2004:10-11), justru untuk menertibkan hal-hal yang tidak beradat seperti zina.

Praktek “mangakap” dalam masyarakat Dayak, sebenarnya didasarkan atas suka sama suka. Adat dan hukum adat menghukumnya. Jangankan “mangakap”, memaki orang yang lebih tua pun dalam adat Dayak Ngaju, termasuk Dayak Katingan bisa dikenakan singer (sanksi). Dengan pendapat seperti di atas, dimana lalu Edy menempatkan adat, harkat dan martabat manusiawi, masyarakat yang berbudaya? Saya khawatir jika ide Edy ini diterapkan, ia akan membawa masyarakat Dayak yang sudah terpinggir menjadi kian terpuruk dan menjurus ke barbarisme. Membawa masyarakat kita melaju lari ke belakang kembali ke masa yang disebut kolonialisme Belanda sebagai “Dajakers”. Edy sebagai Ketua KNPI Katingan bisa disebut sebagai bagian dari elit masyarakat Katingan. Kalimat ini dimaksudkan untuk melukiskan peran elit dalam masyarakat.

Menghadapi tuntutan agar ia mundur dari jabatan bupati, Yantenglie mengatakan “Persoalan mundur atau maju itu harus dipertimbangkan matang, justru harus dipertanyakan dasar dan alasan mundur itu apa. Kemudian dampak politiknya apa.” “Dasar meminta mundur itu apa? Kan harus jelas dulu. Harus ada kejelasan faktualnya seperti apa? Sebab setiap keputusan harus berdasarkan fakta, kan begitu?” tegasnya (Harian Kalteng Pos, 10 Januari 2017).

Dari pernyataan ini nampak bahwa Yantenglie enggan mundur dari jabatan bupatinya. Ia seperti tidak mengerti dasar dan fakta-fakta yang dijadikan landasan tuntutan kepadanya tersebut. Sikap begini oleh Ketua DPRD Katingan Ignatius Mantir Ledie Nussa dinamakan sebagai “tidak punya muka”.

Tentang dampak politik yang dikhawatirkan Bupati Katingan jika mundur, saya kira alasan yang tidak perlu dikhawatirkan. Hambit Bintih ketika harus masuk penjara, kendali pemerintah Kabupaten Gunung Mas beralih ke Arton Dohong, Wakil Bupati. Aceng Bupati Garut dimakzulkan, Kabupaten Garut tidak chaos. Dengan menggunakan alasan “dampak politik” ini, saya kira, Yantenglie tidak melihat hubungan antara individu dan masyarakat (massa) serta perkembangan sejarah. Sejarah suatu bangsa tidak tergantung pada satu-dua individu. Apalagi tanpa seorang Yantenglie. Sejarah dan masyarakat Katingan akan terus melaju. Kabupaten Katingan tidak akan melenyap tanpa Yantenglie. Lebih-lebih Gerindra dan PPP sebagai partai-partai pengusung utamanya sudah memberikan lampu hijau.

Sebagai Anak Katingan, Kasus Zina Yantenglie, tidak membuat saya malu karena Katingan bukanlah Yantenglie. Apa semua Uluh Katingan berwatak seperti Yantenglie? Saya kira tidak. Jenderal Soeharto yang dalam Tragedi Nasional September 1965 telah memasakre kurang lebih 3 juta jiwa (menurut angka Jenderal Sarwo Edi), ketika berkunjung ke Philipina Selatan, antara lain disambut dengan spanduk berbunyi “Soeharto Bukan Indonsia!”. Sebab jika Soeharto adalah Indonesia maka semua orang Indonesia adalah pembunuh. Padahal tiga juta jiwa yang dibunuh dalam Tragedi Nasional September 1965 itu adalah orang-orang Indonesia juga.

Sebenarnya, akan lebih terhormat dan mulia, jika Yantenglie, secara sukarela mengundurkan diri dari jabatannya daripada dimakzulkan. Dengan mengundurkan diri secara sukarela dari jabatan, Yantenglie memperlihatkan tanggungjawab sosialnya yang besar. Sikap “katawan arepe” (tahu diri), jika menggunakan istilah Uluh Katingan. “Katawan arepe”, suatu sikap berprinsip, akan dihormati, tanda bertanggungjawab, menyisakan ruang bagi esok politik. Sedangkan orang yang “hiam hawéne” (tanpa malu), terbuka atau tertutup akan jadi bahan lelucon dalam masyarakat. Tapi sebaliknya, jika Yantenglie masih ngotot mau bertahan di jabatan bupatinya sekarang, saya khawatir, pendapat saya terhadap pendapat Edy Ruswandi, akan terwujud. Atau, boleh jadi pendapat Edy memang diambil juga oleh Yantenglie sebagai dasar pola pikir. “Dampak politik” dan dampak-dampak sosial-budaya dan dampak-dampak negatif lainnya yang dikhawatirkan oleh Yantenglie, justru akan terjadi jika ia ngotot bertahan dan menolak mundur secara seorang yang “katawan arepe”dan tékhé hawéne” (punya rasa malu). Mengundurkan diri secara sukarela adalah salah satu bentuk otokritik. Otokritik memerlukan keberanian, ke-“mamut-ménténg”-an. Tapi kritik dan apalagi otokritik merupakan barang langka di negeri ini, apalagi di Kalteng. Orang-orang takut pada diri sendiri tapi merasa diri dewa atau penunggu langit bebas kesalahan. Terakhir, dimana peran kelembagaan adat seperti DAD baik DAD Kabupaten maupun DAD Provinsi misalnya dalam kasus seperti Kasus Zina Yantenglie ini? Tidak relevankah pertanyaan ini ketika DAD diam seribu bahasa?

Ternyata “bélum bahadat” masih jauh dari kehidupan nyata Dayak Kalteng hari ini! Kalteng merupakan daerah mapan yang bertengger di atas kerusakan. Karena itu dengan meminjam istilah Jacques Derrida, filosof Perancis, agaknya masyarakat dan manusia Dayak patut  di  “destruct“ kemudian  di “reconstruct“. “Dijebol untuk kemudian dibangun kembali“ ujar Bung Karno. Perlu di “retool”. “Penjebolan“ dan retooling yang berarti, tidak bakal terjadi dengan elit yang bobrok.

Syarat untuk menjebol, meretool dan me-reconstruct yang sekarang belum tersedia ini, memang masih perlu dibangun secara solid. O, panjangnya perjalanan menuju esok bermartabat. Jadinya daya tahan seekor kuda yang baik di uji dalam perjalanan jauh memang.[]

Kusni Sulang

Harian Radar Sampit, 15 Januari 2017

Elit dan Perkembangan Masyarakat

Tenaga Lokal dan PBS

“Informasi ada beberapa perusahaan tambang yang mulai aktif, seperti PT Tamtama Perkasa (TP) dan PT Mega Multi Energi (MME). Harapan kita sebaiknya perusahaan-perusahaan ini dapat mempekerjakan masyaraat lokal untuk bekerja di perusahaan,” ujar Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Barito Utara (Batara), H. Acep Tion, SH, saat berbincang-bincang dengan para wartawan di ruang kerjanya pada Rabu, 4 Januari 2017 lalu. Acep juga mengatakan “Bukan hanya perusahaan yang bergerak di sektor tambang saja, tetapi perusahaan lainnya seperti perkebunan dan HPH (Hak Pengusahaan Hutan) juga kita harapkan dapat memberdayakan tenaga kerja lokal. Jangan sampai warga lokal di daerah ini hanya sebagai penonton  atau tidak merasakan manfaat dari keberadaan perusahaan yang ada di sekitar wilayahnya.” “Dengan demikian pengangguran di daerah ini menjadi berkurang” (Harian Radar Sampit, 5 Januari 2017).

Apa yang diharapkan oleh Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Batara ini bukanlah harapan baru yang keluar dari mulut para penyelenggara Negara di provinsi ini. Bahkan diucapkan sejak berdasawarsa, juga Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) yang sekarang, H. Sugianto Sabran. Hanya saja harapan yang berusia cukup tua ini sampai hari ini masih saja berstatus harapan yang tidak nampak pada kenyataan. Sampai hari ini saya belum melihat, langkah-langkah kongkret apa yang dilakukan oleh penyelenggara Negara baik legislatif ataupun eksekutif untuk menjelmakan harapan atau himbauan itu merupakan lukisan kenyataan sedangkan wewenang penyelenggaraan Negara berada di tangan mereka. Akan sangat gampang jika penyelenggaraan Negara cukup dengan menyampaikan harapan dan himbauan. Misal, apa tindaklanjut  yang akan dilakukan oleh Wakil Ketua II DPRD Kabupaten Batara, H. Acep Tion, SH, agar harapannya itu, terutama untuk penduduk lokal yang tidak lain adalah Orang Dayak, terwujud? Pertanyaan ini sebenarnya kemudian lebih ditujukan kepada orang pertama Kalteng yaitu Gubernur Kalteng yang baru, Sugianto Sabran yang mempunyai program menyejahterakan rakyat Kalteng, termasuk penduduk lokalnya. Sebab pada kenyataannya seperti yang ditulis oleh Kompas 2 Juli 2014 tentang keadaan di Kalimantan Timur masuknya “tambang dan kebun punahkan mata pencaharian penduduk” (http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/07/02/0005008/ Tambang.dan.Kebun. Punahkan. Mata. Pencaharian.Warga.Adat.Kalimantan).

Masyarakat adat di pedalaman Kalimantan Timur terus kehilangan mata pencaharian utama sejak kehadiran pertambangan batu bara dan mineral, industri minyak dan gas, dan perkebunan sawit.

Industri ini memerlukan lahan yang sangat luas termasuk menyita hutan dan ladang-ladang yang tadinya menjadi wilayah mata pencaharian masyarakat adat. Mantan Bupati Kabupaten Kutai Barat periode 2001-2006 yang juga Ketua Forum Dayak Menggugat (FDM) Kaltim, Rama A. Asia, mengungkap masyarakat adat kini dalam kondisi kritis sejak investasi masuk.

Kebutuhan lahan yang sangat luas untuk investasi menyebabkan wilayah kelola masyarakat adat berupa hutan dan ladang menjadi sempit. “Hutan dan tanah mereka diambil untuk investasi dengan alasan demi pertumbuhan ekonomi masyarakat. Faktanya menyebabkan kesengsaraan,” kata Rama dalam sebuah diskusi di Balikpapan, beberapa waktu lalu.

Hutan, sawah, dan ladang secara seragam jadi lahan kebun sawit dan tambang. Masyarakat yang semula mudah memperoleh buah-buahan, padi, ikan, hingga hewan buruan, di dalamnya kini mulai sulit dicari bahkan hilang di beberapa wilayah. Termasuk hilangnya madu hutan yang dulu diandalkan. Pohon Benggeris, salah satu tumbuhan yang dilindungi negara, tempat tawon madu suka hinggap dan bersarang, kini sudah tidak ada lagi. Pohon karet dan rotan yang membantu meningkatkan perekonomian masyarakat, juga habis.

“Di tempat kami, 300 jenis tanaman obat, dari pohon, perdu, bambu, hingga rumput-rumputan, habis kena tambang dan kebun sawit. Masyarakat yang tadinya mengandalkan obat itu kehilangan hak hidupnya,” kata salah seorang Kepala Adat Dayak, Elioson, yang hadir dalam diskusi ini.

Masifnya industri, kata Rama, juga mengancam kelangsungan produk budaya. Sebutlah tumbuhan doyo sebagai bahan utama serat bagi ulap atau ulos atau sejenis kain tenun tradisional produk suku asli Doyo nyaris punah. Belum lagi rotan dan karet yang digemari perkebunan warga. “Doyo itu tumbuh liar di tanah berpasir. Dulu diusahakan masyarakat Kecamatan Jempang, Kutai Barat. Sekarang Jempang penuh dengan kebun sawit. Lahan habis. Tidak ada ruang untuk tumbuh doyo itu. Tumbuh di antara sawit, malah ditebas orang. Tenun ikat doyo memang masih ada sekarang, tapi tenun lebih banyak benang,” kata Rama.

Rama mengatakan, warga yang terhimpit lalu berpindah, atau memilih meninggalkan cara hidupnya dan beralih menjadi buruh di dunia industri. Mereka yang berpindah kemudian terbentur sempitnya lahan untuk dikelola. Akhirnya, mereka mengalami konflik batas, wilayah kelola, hingga konflik tata ruang antar warga itu sendiri maupun dengan perusahaan.

Sementara itu, mereka yang tidak lagi berkebun dan berburu, memilih menjadi buruing perusahaan. Dengan keterampilan terbatas, mereka terpaksa bersaing dengan pendatang, diikat dengan sistem kontrak yang bisa diberhentikan kapan saja, diberi upah rendah dan dibedakan dengan upah para pendatang yang memiliki keterampilan lebih mumpuni.

“Pekerja pendatang digaji Rp 80.000-Rp 90.000 sehari. Orang lokal cuma Rp 50-60 ribu per hari, karena keterampilan terbatas. Karena tidak memiliki kemampuan lain, terpaksa tetap kerja di situ. Jangka lima hingga 10 tahun lagi tentu akan sengsara. Ini sama dengan memiskinkan masyarakat miskin jadi tambah miskin,” kata Rama.

Dampak terus berlanjut. Kehadiran pekerja dari luar meningkatkan prostitusi liar di seputar tambang dan perkebunan, perselingkuhan antara pekerja dengan warga, perubahan gaya hidup remaja lokal yang tertarik perputaran uang yang besar, pencemaran air dan tanah, hingga kearifan lokal yang terus terkikis.

“Hitungan politis, dari tiga juta penduduk Kaltim, 50 persen suku Jawa, 30 persen Sulawesi, 20 persen gado-gado. Lima persen (dari 20 persen) itu kira-kira orang lokal (masyarakat adat) dan tidak mendapat perhatian serius,” kata Elioson.

Apa yang terjadi terhadap penduduk lokal di Kalimantan Timur (Kaltim) tidak jauh berbeda dari apa yang mendera penduduk lokal di Kalteng hingga hari ini. Masuknya Perusahaan Besar Swasta (PBS) secara masif tidak menyejahterakan penduduk lokal malah sebaliknya. Dari segi demografis, penduduk lokal pun sudah menjadi minoritas. Keadaan mereka akan makin mengkhawatirkan pada saat ibukota Negara Republik Indonesia dipindahkan ke Kalteng dan Kalteng dimekarkan menjadi dua atau tiga provinsi. (Hal-hal yang mungkin tak terelakkan). Keterpinggiran penduduk lokal, bukan tidak mungkin bisa menjadi sebuah sumber konflik horisontal atau pun vertikal. Sumber dari kekerasan anarki, dan berbagai bentuk eskapisme seperti perjudian, mengkonsumsi obat-obat terlarang; kemudian menjadi fatalis yang menguatkan perkembangan berbagai bentuk mistisisme.

Pertanyaannya: Mungkinkah keterpinggiran penduduk lokal dicegah? Mungkinkah keadaan buruk yang mengancam itu dihindari? Saya kira, jawabannya tentu saja mungkin asal ada kemauan dan tekad politik seorang Negarawan yang mengutamakan kepentingan publik di atas kepentingan kelompok apalagi pribadi seperti yang ditulis oleh William Bodri dalam bukunya “Kuan Tzu’s Supreme Secrets for the Global CEO”, Lucky Publishers, Batam Centre, 2004). Adanya kemauan dan tekad politik Negarawan ini, akan memunculkan upaya-upaya nyata yang membuat penduduk lokal menjadi minoritas kreatif, minoritas bermutu baik secara komitmen manusiawi, prakarsa maupun secara keterampilan. Kunci untuk menjadikan penduduk lokal menjadi minoritas kreatif, saya kira terletak pada pendidikan. Pendidikan yang bersifat membebaskan dan penyadaran, menjadikan mereka sebagai daya manusia yang berdaya. Patut disadarkan bahwa untuk menjadi manusia yang berdaya dihindari benar pemburuan gelar, nilai atau ijazah instan. Dunia pendidikan kita patut ditata ulang, melenyapkan praktek mengkomoditaskan pendidikan. Minoritas Kreatif tidak akan terwujud jika menggunakan metode instan sekalipun hasilnya gelar akademi bisa panjang sejari tengah.

Apabila penyelenggara Negara dengan kemauan dan tekad politik menginginkan munculnya Minoritas Kreatif, cita-cita ini akan lebih cepat terwujud jika seperti mantan Perdana Menteri Malaysia, Moh. Mahatir, atau Presiden Perancis, untuk suatu kurun waktu tertentu menerapkan politik yang disebut ‘diskriminasi positif’. Melalui politik ini semua anak-anak warga lokal (baik mampu ataupun tidak) diberikan fasilitas beasiswa hingga jenjang tertinggi seperti S3. Kirim mereka ke sekolah-sekolah terbaik di negeri ini dan di mancanegara. Dari mana pembiayaan mereka didapat?

Pada masa jayanya HPH, untuk Yayasan Isen Mulang yang bertugas memberi beasiwa kepada anak-anak Dayak, perusahaan-perusahaan pemegang HPH dipungut Rp 1000/m3. Hanya saja uang besar tersebut raib dan menguap entah ke saku siapa. Tidak ada yang mengotak-atiknya. Sekarang menurut daftar Kementerian ESDM masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Kalteng paling tidak terdapat 543 “Certified Mining Companies”, belum dihitung PBS perkebunan dan perusahaan pemegang HPH. Saya kira mengutip dana sumbangan periodik dari PBS-PBS ini Pemerintah Kalteng mampu membiayai beasiswa untuk anak-anak penduduk lokal  mulai dari Taman Bermain hingga perguruan tinggi. Beasiswa ini disertai syarat, ia akan dicabut atau dihentikan jika menempuh jalan instan. Dana sumbangan dari PBS-PBS ini pun bisa digunakan sekaligus untuk menhdirikan Sekolah Adat yang memperkuat sumber daya manusia para pemangku adat masyarakat Dayak. Boleh jadi dengan kebijakan begini, Minoritas Kreatif akan bisa terwujud.

Kalau di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk etnik-etnik minoritas di Beijing didirikan  Universitas Minoritas (Minzu Daxué).  Etnik-etnik minoritas non-Han, selain masuk universitas-universitas umum biasa, umumnya masuk Minzu Daxué ini. Dengan cara ini penyelenggara Negara menciptakan syarat agar mereka bisa tumbuh berkembang menjadi Minoritas Kreatif. Barangkali mendirikan semacam Minzu Daxué di Indonesia, apalagi di Kalteng masih terlalu ilusioner untuk hari ini. Tapi saya menganggap jika benar-benar negeri ini dan penyelenggara Negara di provinsi ini memperhatikan penduduk lokal yang kian terpinggir, menciptakan mereka menjadi Minoritas Kreatif adalah salah satu jalan keluar strategis.

Yang tidak kurang pentingnya adalah adanya Perda Tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat  tentang kedudukan masyarakat adat dan hak-haknya atas tanah, wilayah, dan SDA. Perda itu mengatur sekaligus hak atas pembangunan, spiritualitas dan kebudayaan, lingkungan hidup, hukum dan peradilan adat, lembaga masyarakat adat, hingga kewajiban pemerintah daerah dalam hal pengakuan dan perlindungan bagi Masyarakat Hukum Adat. Apakah adanya Perda Tentang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat di Kalteng mesti  menunggu pengesahan UU PPHMHA? Jika ini yang dijadikan alasan, patut diketahui bahwa sejumlah provinsi telah menerapkan perda serupa lebih dahulu.
“Di lapangan, masyarakat membutuhkan payung hukum. Menunggu lagi, berarti pemerintah terus membiarkan kejadian-kejadian di lapangan. Jangan sampai tidak jadi (disahkan). Semua pihak sudah mengeluarkan miliaran Rupiah lewat berbagai studi banding dan diskusi. Jadi tak perlu sampai seperti Aceh dan Papua yang berdarah-darah dulu baru muncul perda,” kata kata Direktur Eksekutif STABIL, Jufriansyah.

Boleh jadi jalan Minoritas Kreatif merupakan jalan mengubah harapan dan himbauan menjadi kenyataan. Minoritas Kreatif ini akan cepat terwujud jika ada kemauan, tekad dan keberanian politik seorang Negarawan. Gubernur Kalteng Sugianto Sabran- kah itu?[]

Kusni Sulang

Dimuat di Halaman Budaya Sahewan Panarung Harian Radar Sampit 8 Januari 2017, Tenaga Lokal dan PBS