Dalam tulisan terdahulu yang terbit dalam Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, 25 Desember 2016 lalu, DOKTOR Joni, S.H., M.H. (izinkan saya singkat dengan DR. Joni, Doktor Kehutanan Unmul, Samarinda, Pengamat Hukum dan Sosial) telah bermurah hati memberikan saya berbagai macam predikat atau sebutan serta aneka kata sifat tanpa penjelasan. Sebutan-sebutan itu adalah “sesepuh” dan ”budayawan Dayak” sedangkan beberapa kata sifat yang dihadiahkan DR. Joni kepada saya antara lain: “romantik tradisionalis”, “tidak cerdas” (barangkali ungkapan pelembut atau eufemisme untuk “bodoh” atau “goblok”?), “tidak adil”, “abstrak dan eufimisme”. Dalam tulisannya bertajuk “Ini Soal Debat Kusir” (Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, 29 Januari 2017), DOKTOR Joni kembali menghadiahkan saya predikat baru “chauvinis romantisme masa lalu”, melakukan debat kusir, memandang pendapat saya setara dengan “kentut kuda”, tidak beretika obyektif, logika tidak cerdas, sehingga tak perlu dia pikirkan dan tak perlu “mengikuti pendapat ayahanda KS”. Kemudian DR. Joni juga merasa dirinya pintar (mungkin karena menyandar gelar akademi DOKTOR, S.H. dan M.H.?) sebagaimana dituliskannya “Ketika kemudian cara berpikir ini tidak atau belum dipahami, ya capek menjelaskannya. … Kalau ini dinyatakan terlalu akademis, ya semakin ruwet jadinya.”
Percaya diri kuat yang menganggap diri pintar, terkesan dari lédékan sengaja DR. Joni terhadap kalimat saya: “Saya bisa memastikan DR. Joni tidak mengikuti pikiran-pikiran saya baik dalam bentuk buku-buku ataupun berupa artikel-artikel yang terbit rutin antara lain yang disiarkan melalui Harian Radar Sampit ini”. Terhadap kalimat ini DR. Joni menulis: “(buku artinya ruas?)”. Saya katakan DR. Joni nglédék karena DR. Joni yang cerdas, nampak begitu sulit memahami buku-buku yang disandingkan dengan artikel-artikel bukanlah berarti ruas walaupun memang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia salah satu arti dari buku adalah ruas (hlm.152). Lédékan ini melengkapi penilaian DR. Joni tentang pandangan-pandangan saya yang tidak lebih dari “kentut kuda”.
Karena masalah pokok yang dibicarakan bukan pada sebutan (predikat) negatif maka saya tidak mengikuti kesukaan DR. Joni memberikan bermacam sebutan itu. Atribut bukanlah argumen, apalagi predikat-predikat negatif. Apakah predikat-predikat negatif bisa disebut sebagai “kecerdikan logika” dan ketajaman argumen? Lu Sin, pengarang Tiongkok tahun 1930-an yang hidup pada masa pemerintahan Chiang Kai-shek, menyebutnya sebagai kelemahan. Selain itu, saya kira memberikan secara mudah predikat-predikat kepada interlokutornya sekaligus menunjukkan kualitas sesungguhnya dari si pembicara atau si penulis.
Saya khawatir, gejala-gejala yang ditunjukkan oleh pernyataan-pernyataan DR. Joni di atas, yang berada di luar dugaan saya, memperlihatkan diskusi ini boleh jadi sudah mulai tidak berada di rel yang benar. Hanya saya merasa heran, di satu pihak DR. Joni memanggil saya dengan predikat “Ayahanda”, di pihak lain ia memberikan saya dan menilai saya dengan sebutan-sebutan di atas. Hal ini mengingatkan saya pada pengalaman dengan seseorang yang secara hubungan darah adalah adik saya. Di depan, ia selalu memanggil saya “kakak”, di belakang, ia selain bergunjing dan menohok, serta melakukan tindakan-tindakan yang bertujuan menjatuhkan saya sejatuh-jatuhnya.
Saya juga teringat akan adegan sebuah film Korea Selatan kekinian. Anak dan ayah berbeda pendapat. Perbedaan pendapat mereka tidak bisa dipertemukan. Tapi si anak tetap sopan dan hormat, tanpa memberikan predikat apapun pada sang ayah, sambil mengatakan dengan tegas, “Saya tidak setuju dengan pendapat ayah. Alasan-alasan saya sudah saya sampaikan.” Sang ayah kemudian mengusir si anak keluar dari rumah. Si anak tetap hormat dan sopan, berkata, “Baik, Ayah. Saya pergi.” Saya sangat terkesan akan sikap si anak ini.
Dilihat dari sudut pandang adat, sikap si anak ini adalah sikap beradat. Dari segi asas, bisa dikatakan berada pada level asas atau berprinsip. Dari segi tata krama, sikap si anak ini adalah sikap tata krama. Sopan dan santun. Bukan hanya sopan tapi juga santun, termasuk dalam berbahasa. Sekalipun hidup dalam masyarakat Korea Selatan kekinian, ia tidak meninggalkan unsur-unsur positif dalam kebudayaan tradisional mereka. Saya melihat pada si anak, adanya sikap yang memadukan tradisi baik dengan kekinian yang positif. Pesan lain dari sikap si anak adalah kekinian Korea Selatan bukanlah kekinian yang lepas akar. Budaya yang sudah ada mereka miliki ditapis dan yang positif dijadikan sangu budaya menghadapi zamannya. Konsep “Anak Zaman” tidak berarti menegasi budaya yang sudah ada. Pandangan dan sikap beginilah yang saya namakan Dua Pemaduan yaitu pemaduan antara tradisi baik dengan kekinian positif. Dengan menerapkan konsep dua pemaduan ini, diharapkan kita bisa melahirkan karya-karya kekinian tanggap zaman atau zamani. Yang zamani inilah, dalam pandangan saya, yang disebut modern (sekalipun banyak teori tentang modern dan atau modernisasi yang di sini tidak saya bahas lebih jauh, untuk sederhananya di sini saya menggunakan perumusan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi 1999 hlm, 662). Kalau berbicara tentang perspektif, esok yang dituju, bagaimana cara ke tujuan tersebut, kurang-lebih demikian yang ada dalam pandangan saya. Dengan demikian, selain menjadi Dayak atau etnik apapun, kita menjadi Indonesia dan warga dunia dengan kemanusiaannya yang tunggal sehingga menjadi Dayak tidak bertentangan dengan menjadi Indonesia, juga rasuk dengan menjadi warga bumi.
Untuk keperluan ini maka belajar, riset (bertanya dan mencari jawab pertanyaan), kajian, perbandingan dan menyerap merupakan kegiatan-kegiatan penting. Untuk itu, setelah H. Sugianto Sabran dilantik menjadi Gubernur Kalteng pada Mei 2016 lalu, melalui tulisan di Harian Radar Sampit ini, saya pernah menyarankan agar ia membangun sebuah lembaga setipe The Habibie Center.
Dari apa yang dilakukan sejak lama di negeri ini, nampak bahwa upaya-upaya dan karya-karya zamani itu memerlukan kreativitas. Menjadi tanggap zaman atau zamani tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan memerlukan penelitian, pengkajian, kerja keras dan kreativitas. Kalau di Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk menjadi zamani ini, dalam teknologi misalnya, mereka menerapkan yang disebut oleh Ignacy Sachs ‘teori kotak hitam’ (‘Black Box Theory’). Di bidang kedokteran, memadukan ilmu kedokteran tradisi Tiongkok dengan ilmu kedokteran Barat dan negeri-negeri lain. Di bidang kebudayaan, menerapkan antara lain politik “biar bunga mekar bersama, seribu aliran bersaing suara”. Masing-masing bidang mempunyai cara penerapan kebidangan sendiri-sendiri.
Saya kira, tidak semua warga masyarakat kita yang hidup di zaman ini adalah anak zamannya secara budaya. Tidak sedikit orang Dayak yang lahir, besar, dan tetap tinggal di Kalteng, tidak kenal sejarah dan budayanya sendiri. Dayak tetapi tidak tahu apa-apa tentang Dayak. Keadaan ini oleh seorang pemikir Tiongkok abad ke-20 disebutnya sebagai “mengenal Yunani Kuno dan Barat tetapi tidak tahu apa-apa tentang Tiongkok”. Gejala ini oleh Bung Karno dinamakannya “Hollands Denken”. Yang tersisa pada Dayak yang demikian tidak lain hanya garis genealogis. Secara budaya, ia/mereka kehilangan diri seperti layang-layang putus tali (lihat: Bung Karno dalam “Pidato Lahirnya Panca Sila, 1 Juni 1945). Hal ini antara lain saya dapatkan ketika saya masih menjadi guru di salah sebuah universitas di Palangka Raya. Bahkan saya melihat gejala ‘bunuh diri budaya secara kolektif’.
Jika demikian, bagaimana mereka bisa menjadi ‘anak zaman’-nya? Epigonisme, kitch-isme dan segala yang sejenis, bukanlah jalan untuk zamani. Sebagai acuan mengenai masalah zamani ini barangkali ada baiknya membaca ulang Pidato Bung Karno tentang Lahirnya Panca Sila dan Polemik Poedjangga Baroe tahun 1930. Untuk menjadi “anak zaman” diperlukan kerja keras dan tekun. Tidak serta-merta orang yang lahir di zaman ini, lalu menjadi “anak zaman’’ ini.
Kalau pengamatan saya benar, di Kalimantan Tengah terdapat tiga kategori pandangan dan sikap budaya, yaitu: (1) Tradisionalis, lari ke masa silam; (2) Modernis, menelan mentah-mentah segala apa yang datang dari luar; (3) Pasca tradisional, memadukan unsur tradisi baik dengan kekinian yang positif.
Ivan Nestorman, musisi Flores yang menciptakan lagu-lagu barunya menggunakan musik Manggarai, menamakan karya-karyanya sebagai Neo-Tradisi (Kompas, 24 Desember 2016). Apa yang dilakukan oleh Ivan Nestorman sebelumnya juga telah dilakukan oleh sejumlah musisi dan seniman teater ketika mengangkat roman Bugis I La Galigo yang kemudian mereka pentaskan di berbagai negeri mancanegara. Pada masa pemerintahan Soekarno, di Jawa Tengah, sejumlah seniman seperti Djoni Trisno, Sujud, dll juga telah melakukan hal serupa dalam upaya mengembangkan kesenian Jawa Tengah agar zamani, tapi tidak lepas akar dan tanpa merusak atau apalagi menghancurkan warisan budaya yang ada. Zamani tidak identik dengan Baratisasi, Koreanisasi, Arabisasi, dll tanpa menolak unsur-unsur positif dari luar. Positif dan negatif ukurannya ditakar dengan gantang kepentingan dan kondisi (dalam arti majemuk) nasional dan kemanusiaan sebagaimana juga diterakan pada Preambul dan Pasal-Pasal terkait UUD 1945. Inilah perspektif yang saya sarankan. Upaya seniman-seniman tersebut didahului dengan riset selama setahun konsekutif. Hal serupa juga dilakukan oleh Ansambel Tari-Nyanyi Genta Suri Jawa Timur, oleh musisi Udin dari Ansambel Tari-Nyanyi kesayangan Bung Karno, Maju Tak Gentar, Medan, Sumatera Utara. Saya memahami apa yang dilakukan oleh para seniman Jawa Tengah secara periodik dengan Festival Lima Gunung bisa ditafsirkan sebagai bentuk lanjut dari konsep dua pemaduan ini.
Dewasa ini, agaknya aliran Pasca-Tradisionalis masih berada di pinggiran, masih berada jauh di bawah Aliran Modernis (tulisan saya tentang tema ini pernah diterbitkan oleh Harian Palangka Post beberapa tahun silam dan juga saya sampaikan dalam sebuah diskusi budaya yang diselenggarakan oleh Harian Kalteng Pos).
Apakah konsep dua pemaduan demikian bisa disebut sebagai “romantik tradisionalis”, “chauvinis romantisme masa lalu”? Apabila pandangan ini salah, lalu apa alternatif yang ditawarkan oleh DR. Joni dalam upaya membangun kebudayaan dan masyarakat Kalteng, termasuk untuk “saat ini” (istilah yang ditekan-tekankan oleh DR. Joni, barangkali untuk menunjukkan keaktualitasan dirinya dihadapkan pada saya yang ia tuding hidup di masa silam) bahkan untuk Indonesia? Sedangkan saya sejak lama menawarkan konsep ‘’Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng’’ untuk Kalteng yang majemuk dan menangkal budaya ghetto yang nampaknya menjalar ke dunia politik menjadi budaya politik.
Konsep Trisakti Bung Karno dalam bidang kebudayaan yaitu “berkepribadian di bidang kebudayaan”, yang dikibarkan kembali oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), saya kira pelaksanaannya dilakukan dengan menerapkan konsep dua pemaduan itu. Dua pemaduan bukanlah teori pintu tertutup tapi terbuka. Tidakkah pemberian gelar kepada Presiden Jokowi secara bentuk merupakan bentuk tradisional yang dipungut dari budaya Dayak Kalteng? Kalau mau disebut ‘modern’ boleh jadi bisa dicarikan bentuk lain, misalnya pemberian gelar Doktor Honoris Causa oleh Universitas Palangka Raya, Universitas Muhammadiyah, Universitas Kristen Palangka Raya, Universitas PGRI Palangka Raya, atau Universitas Darwan Ali di Sampit. Bukan memberikan gelar adat Dayak, apalagi mengobralkannya.
Mengenai pemberian gelar adat, apabila kita mengacu pada sejarah (beritahu saya kalau keliru!), pemberian gelar adat kepada pihak luar, bukan hal lazim. Ia nampak dan menjadi lazim serta diobral, sejak DAD berdiri. Yang lazim adalah angkat anak, angkat orangtua, dan angkat saudara.
Dengan latar belakang di atas maka justru pertama-tama yang saya tanyakan kepada H. Agustiar Sabran ketika ia berbicara tentang “memodernisasikan Dewan Adat Dayak Kalteng” adalah apa yang ia maksudkan dengan ‘memodernkan DAD Kalteng’ (saya mendapat beberapa data tentang konkretisasi ide “modern”-nya ini, tapi tidak diumumkan ke publik), tapi yang dijawabnya secara singkat adalah tentang masyarakat Dayak modern sedangkan pertanyaan pertama saya sampai sekarang belum berjawab (lihat: Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit edisi akhir tahun lalu). Bagaimana memperkuat, termasuk membuat DAD zamani, secara konkret pernah saya sampaikan langsung kepada Sekretaris DAD Kalteng Yansen Binti saat kami bertemu di Kantor KONI Palangka Raya, jauh sebelum Agustiar Sabran melontarkan konsep “modernisasi DAD”-nya. Dari data-data yang saya miliki dari sumber tertentu, konsep modernisasi DAD Agustiar, sejauh ini membuat saya bertanya-tanya. Apakah demikian yang disebut “modernisasi”? Untuk memperoleh konfirmasi tentang data-data dan mendengar langsung pendapat Agustiar tentang konsep modernisasi DAD-nya dan soal-soal lain, istri saya, sebagai kontributor Halaman Budaya Harian Radar Sampit pada 20 Januari 2017 telah mengirim pesan singkat (sms) kepada Ketua DAD Kalteng, mengharapkan bersedia diwawancara. SMS tidak berjawab. Tanggal 3 Februari 2017, istri saya menelpon Agustiar. Diangkat sebentar kemudian ditutup tanpa menjawab sepatah pun. Barangkali saja DR. Joni yang mendapat ucapan selamat melalui iklan besar di Harian Radar Sampit, bisa membantu memberitahukan saya tentang konsep modernisasi tersebut.
Joni pun yang dalam dua tulisannya menanggapi pendapat saya yang seakan-akan mengutamakan obyektivitas, bolak-balik menekankan “saat ini” dan “saat ini”, tapi tidak menjawab pertanyaan saya: apa-bagaimana konsepnya tentang modern dan bagaimana menjadi modern. Juga tidak menjawab pendapat saya tentang patokan “putera terbaik”-nya, dll. Ia hanya mengumpulkan berbagai atribut dan mengenakannya ke kepala saya, tanpa penjelasan mengapa atribut-atribut tersebut dikenakan. Dengan cara-cara ini kemudian menghimbau agar pembaca jangan mengikuti pikiran “ayahanda KS” (maksudnya saya, Kusni Sulang-KS)–inti dari dua tanggapan DR. Joni terdahulu sedangkan saya hanya mengharap agar pembaca menyimak atau membaca cermat dua tulisan DR. Joni itu agar memahami maksudnya, pikirkan baik-baik, lalu nilai sendiri kadar pendapat serta alasan-alasannya yang dia bilang beretika ‘obyektif’ itu. Hal-hal ini adalah hak pembaca sepenuhnya jika menggunakan teori Roland Barth, seorang linguis Perancis kekinian. Apalagi saya berpendapat, gelar Doktor bukanlah identik dengan orang yang tahu segalanya, bahkan bidang kedoktorannya sendiri pun bukan tidak mungkin banyak hal yang masih berada dalam kabut misteri. Gelar Doktor bukan lambang kebenaran. Jadi gelar-gelar akademi sepanjang apapun, bahkan lebih panjang dari nama sendiri, tidak perlu dirisaukan benar dibandingkan dengan isi yang diucapkan atau yang ditulis itu benar atau salah. Banyak contohnya bahwa pendapat seorang penyandang gelar akademi doktor itu salah (mengapa di negeri-negeri yang baru mendapatkan kemerdekaan nasionalnya, orang-orang suka sekali memajangkan gelar-gelar akademi yang mereka punyai. Agar tidak ngeladrah, di sini tidak saya masuki. Ini adalah soal lain lagi).
Terhadap pertanyaan saya: ”Apakah tidak sebaiknya sebelum mengomentari pendapat pihak lain, si komentator atau penyanggah sedikit banyak mempelajari pikiran-pikiran orang yang dikritik atau dikomentarinya?” DR. Joni menjawab, “Dan itu tidak perlu legitimasi dari KS”. Barangkali karena pola pikir “tidak perlu legitimasi dari KS” ini maka Doktor dari Unmul Samarinda ini begitu royal memberikan saya berbagai atribut seperti di atas. Padahal masalahnya bukan perlu atau tidak legitimasi tetapi memahami dulu pandangan secukupnya dari yang disanggah agar sanggahan mengena. Sebagai apologi untuk semua atribut dan pola pikir di atas, DR. Joni mengatakan dirinya “bukan pakar Dayakologi” melainkan hanyalah seorang awam.
Tentang masa-lalu, Doktor dari Unmul Samarinda ini menulis: “Kita adalah anak zaman yang hidup di sini, saat ini. Jadi hanya sebuah utopia, ketika anak zaman di sini, saat ini, mencoba menembus ruang dan waktu berkontemplasi ke masa lalu. Itu mengkhayal sangat abstrak dan sia-sia”.
Terhadap pandangan sejarah Doktor dari Unmul Samarinda kita ini, izinkan saya mengutip sejarawan DR. Anhar Gonggong dalam Kata Pengantarnya untuk buku “Sejarah Kalimantan Tengah” (Penerbit: Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Palangka Raya, 2005, hlm. ix-x) berjudul “Dinamika Kalimantan Tengah di Dalam Indonesia”. Anhar antara lain menulis: “Karena buku ini menggunakan istilah sejarah (kursif dari Anhar Gonggong-KS) sebagai judulnya, maka (mungkin) ada baiknya jika kita memberikan catatan terhadap makna kata sejarah dan kata lampau, (kursif dari Anhar Gonggong-KS) kelampauan. Sebab kedua kata itu di tengah-tengah masyarakat umum, bahkan juga oleh sementara warga masyarakat berpendidikan–kedua kata itu disamakan artinya; dan karena itu, sering diperoleh ”kerancuan” pengertian tentang keduanya. Sejarah memang, dalam pengertian penulisannya, adalah masa lampau. Tetapi tidak “keseluruhan” masa lampau adalah sejarah. Untuk mendapatkan pengertian yang jelas, ada baiknya kita perhatikan kutipan di bawah ini: “Yang jelas, sejarah dan masa lampau bukan dua hal yang sama (kursif dari Anhar Gonggong-KS). Dalam artinya yang paling luas, apa yang kita maksudkan dengan istilah sejarah bukanlah (kursif dari Anhar Gonggong-KS) masa lampau, melainkan proses pemikiran (atau hasil dari proses itu, seperti pemunculannya di atas kertas, film dan sebagainya) sehingga masa lampau itu dapat kita pahami. Ditinjau secara demikian itu, maka sejarah merupakan tafsiran suatu upaya pemikiran manusia dengan kekuatan dan kelemahannya (kursif dari Anhar Gonggong-KS). Masa lampau itu tidak bisa dihidupkan lagi, tetapi sejarah–sebagai proses pemikiran yang digunakan manusia untuk mengerti dirinya sendiri dalam kerangka waktu – sama sekali tidak bisa dimatikan [kursif dari Anhar Gonggong-KS] (Lihat: Wlilliam H. Frederick dan Soeri Soerato, “Pemahaman Sejarah Indonesia Sebelum dan Sesudah Revolusi”, LP3ES, Jakarta,1982, hlm. 4). Karena itu, seorang filosof sejarah Barat, Bergson mengatakan bahwa “sejarah itu hari ini”.
Sementara Les Annales, nama sebuah majalah ilmu sosial, terutama ilmu sejarah, kemudian menjadi nama sebuah Aliran Sejarah terkemuka di Perancis, memandang bahwa masa lalu, hari ini dan masa datang mempunyai saling hubungan. Aliran (Mazhab) Sejarah ini bahkan mempunyai pengaruh dunia.
Kalau pemahaman saya benar, agaknya DR. Joni tidak berada dalam aliran ini, tidak juga berpandangan seperti yang dikatakan oleh sejarawan DR. Anhar Gonggong. Dalam pandangan DR. Joni: “Kita adalah anak zaman yang hidup di sini, saat ini. Jadi hanya sebuah utopia, ketika anak zaman di sini, saat ini, mencoba menembus ruang dan waktu berkontemplasi ke masa lalu. Itu mengkhayal sangat abstrak dan sia-sia”.
Tentu saja memilih berada di luar pandangan di atas adalah sepenuhnya hak masing-masing. Masalahnya: Tepatkah? Sesuai kenyataankah? Obyektifkah, jika menggunakan istilah kesukaan DR. Joni? Sementara apa yang dialami oleh masyarakat Dayak hari ini, dalam pandangan saya, akan menjadi lebih jelas jika kita tidak memisahkan hari ini dari masa lalu. Apa yang terjadi hari ini, bukanlah takdir atau ada serta-merta (halaman membatasi saya untuk menguraikannya lebih lanjut. Maaf). Jika mengikuti pandangan DR. Joni, masyarakat Dayak jadinya akan dibuat menjadi masyarakat tanpa sejarah. Justru dalam pengamatan saya, fenomena kehilangan diri, ketidakmampuan memahami diri sendiri yang menjangkiti masyarakat Dayak berbagai generasi hari ini berlangsung karena kesadaran sejarah yang minim (uraiannya pun terpaksa tidak bisa saya rinci oleh alasan besaran ruang). Dilihat dari segi kesadaran sejarah ini, pandangan DR. Joni bisa dikatakan tipik masyarakat Kalteng hari ini yang didominasi oleh hedonisme. “Dia jadi béhas (tidak jadi beras)”–maka sibuk memikirkan bagaimana dapat béras, walaupun pasti DR. Joni sebagai notaris tidak kekurangan beras (tapi tetap sibuk bagaimana mendapat “beras” lebih banyak), “Émang gué pikirin”, sedangkan hidup menurut seorang pengarang Rusia, tidak hanya untuk beras semata. “Life is not for bread alone”. Bahaya hedonisme memang mereduksi nilai manusia sehingga bisa jadi komoditas. Harkat dan martabat menjadi tidak penting dibandingkan dengan “beras”. Pergeseran nilai begini, saya kira akan nampak jelas jika dilihat dengan pendekatan sejarah. Ini pun topik besar yang diangkat oleh Doktor dari Unmul Samarinda kita.
Dari segi tipikalitasnya pandangan DR. Joni ini, maka sangat tepat jika dikatakan bahwa ia adalah anak zamannya, zaman yang hedonistik. Saya sangat gembira jika DR. Joni yang anak zaman masyarakat Dayak atau Kalteng sekarang lebih banyak lagi berkomentar. Dengan demikian, pemahaman saya atas masyarakat Kalteng melalui salah seorang yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi akan makin banyak. Pandangan-pandangannya merupakan salah satu sumber data primer guna menyimak pergeseran-pergeseran nilai, pandangan dan tingkah-laku warga Kalteng.
Saya minta maaf karena harus mengakhiri Catatan ini karena dibatasi oleh Ruangan Halaman Masyarakat Adat ini. Ini pun sudah melampaui kuantitas halaman. Masalah-masalah besar yang masih mau saya komentari masih banyak, antara lain: (1) RI dan Masyarakat Dayak Kalteng; (2) Kebudayaan Nasional Yang Berkepribadian; (3) Presiden dan Organisasi Masyarakat Adat; (4) Uluh Bakasisme di Kalteng; (5) Hukum Nasional dan Hukum Adat; (6) Gelar Kehormatan dan Jasa (tentang pemberian tanda jasa ada UU khususnya, ada patokan-patokannya, bukan jadi barang obralan); (7) Kesadaran Sejarah dan Budaya dalam Masyarakat Kalteng; (8) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kalteng; (9) “Diá Jadi Béhas” dan Pandangan-Pandangan Baru sebagai Fenomena Sosial di Kalteng; (10) Masyarakat Adat dan Kelembagaan Adat di Kalteng; (11) Dayak, Indonesia dan Anak Manusia; (12) Kritik dan Otokritik dalam Masyarakat Kalteng; (13) Buku-buku (sekali lagi bukan “ruas” ya, Bung); (14) Modal Budaya Masyarakat Dayak Kalteng; (15) Organisasi dan Masyarakat “Modern”; (16) Soal-soal sampingan lainnya.
Tema-tema di atas yang karena ketiadaan tempat di halaman ini muncul dari tanggapan DR. Joni. Karena itu, saya berencana untuk menulis sebuah buku kecil (bukan “ruas”, ya Bung!) untuk membahas soal-soal tersebut, tanda bahwa saya memikirkan sungguh-sungguh pendapat orang lain, termasuk dari DR. Joni, bukan dengan sikap “émang gué pikirin”–sikap anak muda yang muda perasaan, pikiran dan perilaku. Patutkah diteladani? Kemudian kalau diskusi ini debat kusir dan tahu diri sibuk, mengapa debat dimulai dan dilanjutkan apalagi dengan seseorang yang pendapatnya “bau kentut kuda”? Betapapun juga, saya harus menyampaikan banyak terima kasih atas pandangan-pandangan Bung Joni yang menginspirasi![]
Kusni Sulang
Harian Radar Sampit, 5 Februari 2017
Tulisan DR. Joni, S.H., M.H. – doktor lulusan Universitas Mulawarman Samarinda – “Ini Soal Debat Kusir” lihat di: Ini Soal Debat Kusir