TAMAN BACA MULTATULI” Di Sebuah Desa Banten

Kolom IBRAHIM ISA
Kemis, 29 Maret 2012

TAMAN BACA MULTATULI” Di Sebuah Desa Banten

Pengelola: — Guru Desa Lebak, Ubaidillah Muchtar

in:NASIONAL-LIST YAHOOGROUPS <nasional-list@yahoogroups.com> , Thursday, 29 March 2012, 18:16

*Sahabatku Guru di Lebak, Banten, dikenal populer sebagai ***Kang
Ubay***, nama lengkapnya ***UBAIDILLAH MUCHTAR***, baru-baru ini
mengirimkan padaku tiga pasang YOUTUBE, mengabadikan laporan wartawan
Metro TV Jakarta, Kick Andy Hope , ke desa Lebak. Dengan judul ***TAMAN
BACA MULTATULI***, laporan tsb ditayangkan pada tanggal 17 Februari y.l.
Untuk melihatnya sendiri silakan klik pada link brikut ini:

Episode (1): http://www.youtube.com/watch?v=8ub5M7Bu_Sc
Episode (2) http://www.youtube.com/watch?v=R7kt18w5ezU
Episode (3) http://www.youtube.com/watch?v=2uZki0ko58s*

** * **

*Ubaidillah Muchtar bersepeda motor dari Sawangan, Depok, menuju kampung
Ciseel, desa Sobang, Kabupaten Lebak, menempuh jalan ratusan kilometer.
Disitulah Kang Ubay memperkenalkan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli
ke masyarakat Ciseel, yang langka fasilitas itu. *

*Jalan menuju Desa Ciseel berlika-liku dan tak beraspal. Kesanalah Kang
Ubay melakukan silaturahmi dengan masyarakat kemudian membentuk grup
membaca dengan bacaan utama novel ***Max Havelaar.**

*Di desa itu dimulai cerita unik pada tanggal 23 Maret 2010. *

*Pekan demi pekan, para peserta */reading group belajar kenal
dengan/*tokoh Max Havelaar dan perjuangannya di masyarakat Lebak. Suatu
perlawanan terhadap kejahatan bupati bangsa sendiri kala itu. Demikian
a.l tulis WordPress.com.*

Kini setelah setahun berlalu kegiatan tetap berlanjut dengan
perkembangan mengagumkan karena edisi Max Havelaar dalam beragam bahasa
mulai dibaca.

* * *

*Sebelumnya, — Ubay menceriterakan kepadaku bahwa, dua tahun yang
lalu, 23 Maret 2010, di Lebak telah didirikan TAMAN BACA MULTATULI.
Anak-anak didik Ubay terlibat dengan kegiatan “Reading Group Max
Hevelaar”. *

**Betul-betul tak terfikir samasekali padaku, – – – – bahwa, nun jauh di
desa CISEEL, – – – di pedalaman Lebak Banten, di sebuah kampung yang
belum tersentuh modernitas murid-murid sekolah, di bawah bimbingan
gurunya, anak-anak didik Indonesia, sejak 23 Maret 2010, melakukan
kegiatan membaca bersama di sebuah READING GROUP MAX HAVELAAR. Pembacaan
dilakukan setiap selasa pukul 16.30-18.00. Pesertanya anak-anak usia
SD-SMP-SMA desa tsb.**

*Mei lalu, ada acara SASTRA MULTATULI, 3 hari berturut-turut. Diskusi
Multatuli, menyusuri jejak Multatuli, kesenian rakyat, pemutaran film
Max Havelaar, dan trip to Baduy. Semua catatan dan foto tersimpan di :
http://www.readingmultatuli.blogspot.com/. Dan juga *drama Saijah Adinda. **

Juni tahun lalu, demikian ceritera Ubay, —- datang berkunjung
rombongan terdiri dari14 operator travel wisata ke Lebak yang dipimpin
oleh Willem van Duijen, Kurator Museum Multatuli di Amsterdam, Belanda.
Pada 2 Juni juga datang ke Taman Baca Multatuli Ciseel, Lebak, suami
istri Italia, suami istri, Carlo Laurenti dan Maria Elenora dari Reading
Group Max Havelaar, Itali — datang ke Taman Baca Multatuli.

Reading Group Max Havelaar Ciseel kini memasuki tahun ke-2. Tahun
pertama tamat selama 11 bulan (23 Maret 2010-22 Februari 2011)dengan
kerbau sungguhan. Lihat juga
http://readingmultatuli.blogspot.com/p/galeri-foto.html.”

Reading Group kini memasuki minggu ke-33 di tahun kedua. Baru tiba di
Bab 8. Pidato Havelaar. Juga tambah lagi sekarang ada Reading Group
Novelet Saija bahasa Sunda di Kamis sore…peserta tetap konsisten hadir.

Demikian cerita Ubaidillah Muchtar padaku.

* * *

*Fikirku . . . Multatuli Abad ke XIX — Prof Dr Wertheim Abad Ke
XX, Adalah Jembatan-Jembatan Yang Sesungguhnya antar Indonesia dan
Belanda.*

* * *

Siapa akan menyangka sebelumnya? Bahwa, — di bawah kekuasaan mutlak
pemerintah kolonial Hindia Belanda, pada abad ke-IX, seorang pejabat
kolonial, seorang asisten-residen Lebak, Dr. Douwes Dekker, memulai
ramuannya, berancang-ancang dalam fikirannya, apa yang kemudian ia tulis
dalm bukunya yang menggoyahkan sendi-sendi kolonialisme dan feodalisme,
‘MAX HAVELAAR”. Lengkapnya *Max Havelaar, of de Koffij-veilingen der
Nederlandsche Handel-Maatschappij. * (Edisi Indonesia: –*”Max Havelaar,
atau Lelang Kopi Perusahaan Dagang
Belanda”.* Satu-satunya novel, roman, drama, yang bagaikan dinamit-awal
menggoncang pondasi kekuasaan angkara murka kolonialisme Belanda di
Indonesia.

*Di Lebak, sebuah desa di Banten. Disitulah memancar cahaya hati nurani
seorang Belanda yang kemudian terkenal dengan nama MULTATULI. Ia
menuding, ia menggugat terbuka: KOLONIALISME BELANDA DAN FEODALISME
BANTEN — adalah PENINDAS DAN PEMERAS RAKYAT INDONESIA. *

* * *

Tidak kebetulan bahwa di sebuah desa yang jauh dari kota, terpencil, di
Lebak, Guru Ubaidillah berprakarsa mendirikan sebuah perpustakaan untuk
murid-murid sekolah di desa itu – “TAMAN BACA MULTATULI”. Peristiwa ini
menunjukkan di satu pihak kepedulian dan pengabdian seorang guru dari
generasi muda, *UBAIDILLAH MUCHTAR. *Ia mencurahkan tenaga dan
fikirannya pada masalah pendidikan anak-anak bangsa di desa yang begitu
terpencil. Disisi lainnya Ubay tergugah dan terinspirasi oleh tokoh Dr.
Edward Douwes Dekker, alias MULTATULI.

**Di kalangan budaya Belanda, Multatuli dinilai sebagai novelis terbesar
yang setara dengan penulis-penulis kaliber dunia.**

****MULTATULI (Artinya ‘Saya Yang Banyak Menderita’***) adalah sastrawan
Belanda yang terbesar di abad ke-XIX. Bahkan mungkin, demikian
dikatakan, ***Multatuli adalah penulis Belanda terbesar di sepanjang
masa***. Siapa saja yang membaca roman Multatuli ‘Max Havelaar’, akan
berkenalan dengan jiwa kritis Multatuli. Justru ini pulalah yang
membuatnya masyhur di seluruh dunia. Di salah satu bagian karya
Multatuli itu, terdapat drama tentang ***’SAIJAH Dan ADINDA’***yang
sangat menyentuh. Di negeri kita bagian dari buku Multatuli ini sering
dikutip dan dipentaskan di panggung.*

*Mengapa hal ini penting dan menarik? Karena menggugah kita orang-orang
Indonesia. Karena yang dianggap penting oleh Belanda itu, berkenaan
dengan suatu karya seni yang menyangkut NASIB RAKYAT KITA pada zaman
Hindia Belanda dulu. *

*Mutatuli menjadi amat terkenal di negerinya sampai ke mancanegara
dengan bukunya ‘Max Havelaar’, nama lengkap buku Multatuli adalah ‘Max
Havelaar, Of De Koffieveilingen der Nederlandse Handelmaatschppij’.
Multatuli, adalah nama-pena Eduard Douwes Dekker. Kiranya pembaca
Indonesia cukup mengenalnya. Buku Multauli ‘Max Havelaar’ sudah pernah
diterbitkan edisi bahasa Indonesia, dan telah dua, tiga kali dicetak ulang.
***
Buku Multatuli, ‘Max Havelaar’, terbit 1860, ditulisnya dalam jangka
waktu sebulan (1859)***, di kamar sebuah hotel kecil di Brussel, Belgia.
Oleh kalangan luas budaya di Belanda, karya Multatuli dinilai sebagai
literatur Belanda yang terpenting. ***Multatuli telah memelopori suatu
gaya penulisan yang merupakan gaya penulisan baru. Ia juga dikatakan
sebagi romantikus terbesar dalam literatur Belanda.***

Di negeri kita, Multatuli dinilai sebagai seorang sastrawan Belanda yang
progresif. Beliau dihargai dan dikagumi. Karena sebagai orang Belanda ,
bahkan pejabat kolonial Hindia Belanda, ia punya hati nurani. ***Dengan
jernih Multatuli mengisahkan nasib buruk rakyat Indonesia di bawah
kekuasaan kolonial/feodal, dalam hal ini kaum tani di Lebak, dimana
Multatuli pernah menjadi asisten residen.
***

Pada periode Orba penguasa melarang dipertunjukkannya film ‘Max
Havelaar’ produksi Belanda. Alasannya ? Sungguh memalukan. Betul-betul
mengungkap kepicikan jiwa penguasa Orba ketika itu. Sebagai alasan
penolakan atas film tsb, dikatakan bahwa film tsb menunjukkan bahwa
orang-orang Indonesia (tuan-tuan feodal yang berkuasa ketika itu)
diceriterakan sebagai ‘lebih kejam’ dari penguasa kolonial Hindia Belanda.*

*Bagi Indonesia ada arti khusus, arti besar, karena,***Multatuli dan
karyanya ‘Max Havelaar’ adalah salah satu tali penghubung dan pengikat
bagi saling mengenal dan saling merespek berkenaan dengan usaha untuk
memperbaiki lebih lanjut hubungan dua negeri dan bangsa, Indonesia dan
Nederland.***

Proses politik alami demoralitas dan rusak parah

Proses politik alami demoralitas dan rusak parah

Kamis, 29 Maret 2012 23:21 WIB | 2118 Views

Refleksi wajah dan pemikiran Busyro Muqoddas, dalam bukunya, “Busyro Muqoddas: Penyuara Nurani Keadilan”. (FOTO ANTARA/Fanny Octavianus)

…tetapi parpol bermasalah harus diproses, parpol tidak sehat harus dikontrol publik. Kita tidak bisa menata Indonesia ketika proses kaderisasi lahir dengan proses politik yang korup…

Yogyakarta (ANTARA News) – “Proses politik saat ini mengalami demoralitas, sehingga salah kaprah dan rusak parah,” kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Busyro Muqoddas.

“Kondisi itu melahirkan penegak hukum yang menjualbelikan perkara, anggota dewan yang melakukan jual beli pasal, dan anggota dewan yang merekrut pimpinan diwarnai rumor suap,” katanya di Yogyakarta, Kamis.

Dalam konteks itu, menurut dia pada diskusi publik “Menata Ulang Indonesia”, tidak bisa menata ulang Indonesia tanpa melihat partai politik ke depan seperti apa.

“Parpol memang jangan dibubarkan, tetapi parpol bermasalah harus diproses, parpol tidak sehat harus dikontrol publik. Kita tidak bisa menata Indonesia ketika proses kaderisasi lahir dengan proses politik yang korup,” katanya.

Ia mengatakan ketika kemunafikan sampai pada tataran politik, maka dampaknya akan luar biasa. Ketika mereka memegang kekuasaan, yang terjadi adalah korupsi yang dilakukan pejabat dengan posisi strategis dan menjalankan sistem politik korup.

“Situasi itu kemudian menimbulkan persoalan lebih rumit, misalnya mereka mempunyai penguatan agenda untuk mempertahankan kekuatan pada posisi politik,” katanya.

Menurut dia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah melakukan kajian tentang korupsi “by design” dan menemukan sejumlah desain izin pertambangan di Indonesia.

“Ada kabupaten tertentu yang semakin sering mengeluarkan izin pertambangan, kemudian semakin meningkat menjelang pemilihan kepala daerah (pilkada). Artinya, potensi tambang juga menjadi sasaran korupsi,” katanya.

Dalam kajian tentang minyak dan gas bumi (migas), menurut dia, KPK mendapatkan temuan pengelolaan migas di lapangan. Setiap hari sekian ribu pompa minyak menyedot minyak, tetapi yang dilaporkan hanya sebagian karena pencatatannya manual.

Ia mengatakan dengan situasi politik seperti itu diharapkan pemberantasan korupsi bisa tetap dijalankan dengan baik dan tidak ditekan banyak pihak, termasuk keinginan pihak tertentu untuk merevisi UU KPK.

“Revisi itu justru menjadi momentum konglomerat menggelontorkan uang. Jika DPR merevisi UU KPK, maka KPK akan melawan dengan cara beradab,” katanya.

(B010/H010)

Ekonom: BBM harus naik karena kelemahan pemerintah

 

 

Ekonom: BBM harus naik karena kelemahan pemerintah

Jumat, 30 Maret 2012 00:31 WIB | 2012 Views

Medan (ANTARA News) – Ekonom dari USU Prof Dr Bachtiar Hasan Miraza mengatakan, menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) merupakan keharusan yang disebabkan kelemahan dan kesalahan pemerintah dalam mengelola keuangan negara.

“Tidak adanya perencanaan yang matang dalam pengelolaan keuangan menyebabkan kenaikan harga BBM menjadi keharusan,” katanya di Medan, Kamis malam.

Menurut Hasan Miraza, pemerintah memang harus menaikkan harga BBM tersebut karena beban dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) sangat besar.

Namun beban tersebut bukan muncul karena adanya krisis keuangan tetapi lebih disebabkan ketidakmampuan dan tidak adanya kreativitas pemerintah dalam mengelola sumber daya yang ada untuk menjadi sumber keuangan.

Tidak adanya kreativitas pemerintah tersebut dapat dilihat dari minimnya solusi yang dilakukan untuk memperkuat APBN selain mengurangi subsidi BBM dan menambah hutang luar negeri.

“Hanya dua cara itu saja yang dilakukan pemerintah, yang lain tidak ada,” katanya.

Ia mengatakan, “hobinya” pemerintah dalam menambah hutang luar negeri untuk memperkuat APBN tersebut dapat dilihat dari jumlah hutang Indonesia belakangan ini yang telah mencapai sekitar Rp2.000 triliun.

“Akhirnya, hutang dalam negeri bertambah, hutang luar negeri juga `membengkak`,” katanya.

Ironisnya, kata dia, tidak ada kreativitas pemerintah dalam mengelola APBN tersebut diperparah dengan perilaku pemimpin departemen atau kementerian yang tidak mau mengurangi anggaran masing-masing.

Kondisi itu dapat dilihat dari pengajuan anggaran setiap departemen atau kementerian yang selalu meminta penambahan setiap tahun dengan berbagai alasan dan pertimbangan.

Karena itu, alasan Kementerian Perekonomian yang menyebutkan kenaikan harga BBM untuk menyelamatkan keuangan negara sangat tidak tepat karena bukan untuk kepentingan jangka panjang.

“Kenaikan BBM bukan untuk menyelamatkan keuangan negara tetapi menyelamatkan APBN,” katanya.

Dengan pertimbangan itu, kenaikan harga BBM dengan mengurangi subsidi tersebut dapat dimaklumi, bahkan keharusan yang perlu dilakukan agar beban APBN tidak terlalu berat.

“Namun (kenaikan) itu malapetaka yang dibuat sendiri,” kata Prof Hasan Miraza.

“Jika pemerintah tetap tidak kreatif, saya jamin kenaikan harga BBM tahun ini tidak menghilangkan rencana kenaikan tahun depan,” katanya menambahkan.  (I023/Z002)Editor: B Kunto Wibisono

Kampung Pluralisme Sudiroprajan

Kampung Pluralisme Sudiroprajan

Diterbitkan : 29 Maret 2012 – 2:49pm | Oleh yunita rovroy (Foto: KBR68H)

Perbedaan etnis maupun agama tidak berdampak pada sikap warga kampung Sudiroprajan di Surakarta, Jawa Tengah. Selama puluhan tahun kampung ini dihuni warga Tionghoa dan Jawa. Kontributor KBR68H di Surakarta Yudha Satriawan merekam pembauran warga kampung itu.

Mereka hidup berdampingan, saling kawin mawin, berkeluarga multi etnis dan multi agama. Seperti apa bentuk kerukunan dan toleransi di kampung tersebut?

“Dung…dung… jreng… jreng… ya inilah penampilan Liong dan Barongsai…diikuti barisan belakangnya tampak Gunungan Kue Keranjang dan Bakpao…”

Musik Tionghoa itu terdengar dari sudut jalan samping Pasar Gedhe Surakarta. Ratusan orang berpakaian adat Tionghoa tapi berwajah Jawa, muncul di tengah kerumunan. Mereka berjalan dari depan Kelurahan Sudiroprajan hingga Klenteng Tien Kok Sie.

Gerebeg Sudiro
Tari Barongsai dan Liong atau Naga mengiringi arak-arakan tumpeng setinggi dua meter berisi kue keranjang dan bakpao. Semua masuk ke dalam klenteng untuk didoakan. Ribuan warga menanti di luar klenteng. Usai didoakan, tumpengan kue-kue itu akan dibagikan ke warga.

Tokoh Masyarakat Jawa Sudiroprajan, Yunanto Nugroho mengatakan, prosesi Gunungan tersebut dikenal dengan sebutan Gerebeg Sudiro untuk merayakan tahun baru Imlek.

“Penduduk terdiri dari dua etnis, Tionghoa dan Jawa. Gerebeg Sudiro selalu bersamaan dengan perayaan tahun baru Imlek. Ikon Gerebeg ini adalah kue khas Tionghoa, Kue Keranjang, yang ada hanya di waktu Imlek. Gunungan Kue Keranjang ini berbentuk pagoda, khas Tionghoa. Selain itu, kami juga ada gunungan khas kuliner Tionghoa lainnya yaitu, Bakpao.””

Ikut merayakan
Perayaan Imlek tak hanya milik warga Tionghoa saja. Bahkan warga Surakarta yang bukan etnis Tionghoa ikut membagikan angpao kepada warga lainnya, seperti yang dilakukan Haristanto.

“Indonesia itu Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Saya warga kota Solo beretnis Jawa punya hak dan kewajiban ikut berbahagia merayakan juga, berempati pada sesama. Kita buat aksi bagi-bagi ang pao, ada duitnya di dalam amplop merah. Kita sediakan 230 amplop angpao. Ini untuk kita semua, bersenang-senang. Selamat tahun baru Imlek saudaraku. Gong Xi fa Cai.”

Pemerhati Budaya Tionghoa di Surakarta Aryanto Wong mengatakan, Gerebeg Sudiro memiliki tujuan pembauran Tionghoa dan tradisi Jawa.

“Kalau Gerebeg Sudiro itu bentuk akulturasi. Masyarakat Jawa ada tradisi Gerebeg, sedangkan kami warga Tionghoa punya kuliner khas Imlek yaitu Kue Keranjang. Ini dikawinkan. Kita membuat satu Gerebeg yang bersifat Jawa-Tionghoa yaitu Gerebeg Sudiro.”

Kawin ampyang
Bagi warga Sudiroprajan, toleransi beragama dan perpaduan budaya Tionghoa-Jawa bukan cuma sekedar ritual agama seperti saat Imlek saja. Dalam keseharian, toleransi keberagaman itu ditunjukkan dalam bentuk kawin ampyang alias kawin campur.

Setelah menyusuri perkampungan Sudiroprajan berupa gang-gang sempit, akhirnya KBR68H menemukan alamat rumah Oei Bing Kie, tokoh masyarakat Tionghoa di kampung itu. Koh Bing Kie sedang menganyam janur daun kelapa menjadi dekorasi pernikahan adat Jawa, pesanan tetangganya.

Sambil menganyam janur, Koh Bing Kie mengaku termasuk pelaku kawin ampyang atau perkawinan campur warga Tionghoa dan jawa.

“Kalau kawin ampyang di kampung ini sudah biasa. Kalau di sini itu sudah sejak dulu, sejak kakek nenek kita sudah gitu semua. Saya generasi ke-empat. Sebenarnya semua manusia itu sama saja, yang penting, kalau kita masih ada rasa perbedaan ya janganlah. Kalau kita sudah tidak ada perbedaan ya tidak akan ada masalah lagi. Sampai sekarang kami yang kawin ampyang saja tidak pernah ada masalah.”

Multi agama
Sudah 30-an tahun Oei Bing Kie menikah dengan Surip Slamet Rahayu, perempuan Jawa. Selain multi etnis, keluarga Oei Bing Kie juga keluarga yang multi agama.

“Keluarga saya itu multi agama. Saya di KTP ditulis beragama Islam, tapi kepercayaan saya sendiri Budhist. Istri saya ke gereja. Anak saya ada lima. Anak pertama dan kedua beragama Islam, anak ketiga, empat, dan lima beragama Kristen.”

Istri Oe Bing Kie, Surip Slamet Rahayu membuka toko sembako di rumah. Slamet Rahayu mengatakan meski keluarganya berbeda etnis dan agama, tak pernah ada konflik soal perbedaan itu.

“Di keluarga saya tidak pernah berselisih soal agama. Itu sudah keyakinan masing-masing. Semua anggota keluarga harus menyadari kalau keyakinan dia ibadah di Kelenteng silakan. Kalau seiman sama saya, anak ada yang mau ke gereja ya monggo. Anak saya juga ada yang mau ibadah di masjid ya silakan, nggak apa-apa, tidak usah membedakan agama. Kita tidak pernah memaksa mereka mengikuti agama orangtuanya. Jadi sudah ada pilihan masing-masing.”

Saling toleransi
Bagi Bing Kie meski dirinya hanya lulusan SD, pendidikan pluralisme dan toleransi untuk keluarganya menjadi hal yang sangat penting. Seringkali Bing Kie mengajarkan secara langsung kepada keluarganya bagaimana hidup saling toleransi.

“Saling menghormati, bekerjasama, saling pengertian. Jangan terlalu fanatik. Itu kuncinya hidup rukun beragama. Kalau ada keperluan beribadah, ya jangan diganggu. Misalkan, kalau di rumah ini kan menantu saya beragama Islam, ya harus mau mengantar istri saya ke gereja. Begitu juga anak-anak saya yang lain beda agama, ya harus mau mengantar ke masjid. Cara mendidiknya seperti itu.”

Pria yang berumur lebih dari setengah abad ini pun mengingatkan pentingnya menjunjung tinggi Pancasila yang mengakui keberagaman Bangsa Indonesia.

“Sejak dini harus ditanamkan tentang Pancasila. Kalau orang indonesia tidak bisa hidup berideologi Pancasila ya jangan hidup di Indonesia. Seluruh dunia saja mengakui dan memuji Pancasila sebagai ideologi yang bagus, penuh keberagaman. Kalau orang-orang Indonesia tidak mau lagi memakai ideologi Pancasila, wah kita semua bisa repot.”

Bisnis
Pembauran dan toleransi beragama antara warga Tionghoa dan Jawa di kampung Sudiroprajan terus berlangsung harmonis. Tokoh Tionghoa kota Surakarta, Sumartono Hadinoto pun berharap warga Tionghoa aktif dalam kegiatan kemasyarakatan, berbaur, dan tidak berkutat pada bisnis saja.

“Orde Baru memang membuat warga Tionghoa terdiskriminasi dan hanya boleh bekerja di bisnis saja. Tapi pasca reformasi, Tionghoa mempunyai hak yang sama dengan warga negara Indonesia lainnya untuk berjuang bersama melayani dan aktif di kegiatan sosial kemasyarakatan. Tionghoa jangan hanya berkutat pada bisnisnya saja. Mereka harus bisa menunjukkan punya dedikasi dan loyalitas yang tinggi untuk bersama memajukan bangsa dan menjaga Pancasila yang mengakui keberagaman dan saling toleransi.”

CARA-CARA CIA MEMBASMI KOMUNIS DAN KAUM KIRI (1)

 CARA-CARA CIA
MEMBASMI KOMUNIS DAN KAUM KIRI (1)

Suar Suroso
in:”gelora45@yahoogroups.com” <gelora45@yahoogroups.com> , Friday, 30 March 2012, 8:06

Peristiwa pembunuhan tahun 1965, pembasmian komunis dan kaum kiri di Indonesia bukanlah kejadian pembantaian manusia satu-satunya dalam sejarah. Tahun 1950, gerilya anti Jepang yang seusai Perang Dunia kedua berkembang jadi gerilya bersenjata di bawah pimpinan Huk Balahap di Filipina dibasmi liwat pembantaian, kekerasan bersenjata di bawah pimpinan CIA. Dari penyimpulan pengalamannya membasmi gerilya di Filipina, CIA merumuskan gagasan OPERASI PHOENIX. Operasi ini dijalankan di Vietnam untuk membasmi gerilya di bawah pimpinan Partai Komunis Vietnam  liwat pembunuhan besar-besaran. Cara-cara pembasmian komunis dan kaum kiri ini menjadi bahan pendidikan di akademi militer Fort Leavenworth yang mendidik perwira-perwira Vietnam Selatan dan Indonesia. Dari Indonesia terdapat antara lain, Jenderal Ahmad Yani, Brigjen Soewarto, Sarwo Edhie dll. Pada tahun 1965 di Indonesia sudah terdapat dua ribu perwira hasil didikan akademi-akademi militer Amerika.
William Colby, mantan Direktur CIA menyatakan, bahwa program pembunuhan besar-besaran di Indonesia adalah sama dengan Program Phoenix. Para pembunuh, teroris-teroris ini dididik dan dilatih di sekolah-sekolah Western Hemisphere Institute For Security Cooperation, yang dulunya The School of The Americas, Ft. Benning,  Georgia dan The Counter-Insurgency Training Center, Ft. Bragg, Fayetville, N.C. [Baca The REAL Phoenix Program, Posted By: tenavision Date: Friday, 6-Jan-2006 12:38:49] :
Program Phoenix diramu oleh Kepala Divisi Timur Jauh CIA, William Colby, dilaksanakan oleh Kepala Kantor CIA, William Casey. Tom Ridge, Oliver North dan Bob Kerry adalah diantara mata-mata pelaksana Program Phoenix. Di sekitar tahun enampuluhan, beberapa orang pengajar masalah kontra-pemberontakan datang di Indonesia memberi latihan. Latihan militer Amerika Serikat ini dilakukan dengan rahasia karena Washington menganggap pemimpin negeri ini yang netralis, Sukarno adalah dicurigai secara politik. Latihan hanya diperbolehkan, agar Amerika Serikat mendapat pengaruh dalam militer Indonesia yang dianggap dapat disandari.
Bantuan dan latihan yang diberikan Amerika secara rahasia, yang bagian terbesarnya diberi nama yang tidak menakutkan “civic action”, yang umumnya diperkirakan berarti untuk membangun jalan, memberi tenaga untuk klinik-klinik kesehatan dan bentuk-bentuk kegiatan lainnya dengan pekerja sivil berupa kegiatan-kegiatan saling-bantu. Tetapi “civic action” juga memberi syarat untuk kerja rahasia di Indonesia, demikian pula di Filipina dan Vietnam, yaitu untuk perang syaraf.
Untuk menangkal Partai Komunis Indonesia yang kuat, Beret Merah Angkatan Darat melancarkan pembunuhan ratusan ribu manusia, priya dan wanita serta kanak-kanak. Begitu banyak mayat dilemparkan masuk sungai-sungai di Jawa Timur hingga airnya menjadi merah oleh darah. Dalam taktik perang syaraf klasik, mayat-mayat yang telanjang juga mengabdi untuk peringatan bagi para penduduk di desa-desa di hilir sungai.
“Supaya tidak tenggelam, mayat-mayat itu secara sembarangan diikatkan pada pancang-pancang bambu”, tulis saksi mata Pipit Rochijat. “Dan hanyutnya mayat-mayat itu dari daerah Kediri ke daerah hilir Kali Brantas mencapai tujuan pentingnya dengan mayat-mayat itu ditumpuk di atas rakit berhiaskan  panji-panji PKI berkibar dengan bangga” [Baca Rochijat: “Am I PKI or Non-PKI?”, Indonesia, Oct. 1985]
Sementara penulis sejarah, menghubungkan kekerasan yang luarbiasa ini dengan sikap tentara yang keterlaluan kegila-gilaan yang bertindak dengan “kekejaman yang tak direncanakan” atau “histeria massa” yang menyebabkan berlangsungnya pembunuhan sampai hampir setengah juta orang Indonesia, banyak di antaranya adalah turunan Tionghoa.
Tetapi taktik yang berulang-kali menempatkan mayat secara menakutkan itu adalah cocok dengan doktrin perang syaraf militer, yang menurut seorang perwira pimpinan para pembunuh, itu adalah satu bentuk isyarat tuntutan untuk pembasmian PKI.
Sarwo Edhie, komandan para komando yang terkenal dengan pasukan Beret Merah, memberi peringatan, bahwa perlawanan komunis “jangan diberi kesempatan untuk berkonsentrasi atau mengkonsolidasi diri. Secara sistimatik harus dipukul mundur dengan segala cara, termasuk perang syaraf” [Baca The Revolt of the G30S/PKI and Its Suppression, diterjemahkan oleh Robert Cribb dalam The Indonesian Killings.] Sarwo Edhie sudah dikenal sebagai seorang penghubung CIA, ketika dia bertugas di Kedutaan Indonesia di Australia. [Baca Pacific, May-June 1968]
Dalam The Very Dark Side of U.S. History, Consortium News / By Peter Dale Scott and Robert Parry, Oct. 8, 2010, dipaparkan bahwa dalam memoirnya, Lansdale membual mengenai salah satu trick perang syaraf yang legendaris, yang dipergunakan melawan gerilya Huk, melawan mereka yang dianggap percaya akan tahayul dan takut pada makhluk seperti vampir penghisap darah, yang disebut dalam bahasa penduduk setempat asuang.
“Pasukan psy-war melakukan penghadangan di jalan yang biasanya ditempuh oleh rombongan gerilya Huk,” tulis Lansdale. “Ketika rombongan patroli Huk itu liwat di tempat penghadangan, pasukan psy-war dengan diam-diam menangkap orang yang paling belakang dari rombongan patroli Huk itu. Karena malam gelap, peristiwa ini tak diketahui oleh rombongan patroli itu. Orang yang ditangkap itu dibunuh, dengan diberi dua lobang di lehernya, sepertinya bekas gigitan vampir penghisap darah, mayat itu  ditegakkan atas tumitnya, dikeringkan darahnya, dan dibawa kembali mayat itu ke jalan semula.
Ketika rombongan gerilya Huk itu kembali mencari temannya yang hilang, menemukan mayat kawan mereka tanpa darah, maka setiap anggota patroli Huk itu akan percaya, bahwa asuang sudah menghisap darah nya” [Baca Lansdale: In the Midst of Wars ] Inilah operasi perang syaraf untuk menakut-nakuti gerilya Huk.
“Taktik khusus dari pasukan adalah mengepung suatu daerah; semua yang ada dalam daerah kepungan itu dianggap sebagai musuh” , kata seorang kolonel Filipina yang pro Amerika. “Hampir setiap hari didapati mayat mengapung di sungai, banyak diantara mereka adalah korban dari kesatuan Nenita dari pasukan mayor Napoleon Valeriano  [Baca Benedict J. Kerkvliet, The Huk Rebellion: A Study of Peasant Revolt in the Philippines.]
Kurt Nimmo menulis dalam: CIA Assassination Program Revealed: Nothing New Under the Sun, bahwa Program pembunuhan besar-besaran di Indonesia adalah didasarkan pada pengalaman-pengalaman CIA di Filipina. Para penasehat militer Amerika dari Joint US Military Advisory Group (JUSMAG) dan Kantor CIA di Manila merencanakan dan memimpin penindasan berdarah terhadap kekuatan nasionalis Hukbong Mapagpalaya ng Bayan [Catatan Roland G Simbulan: Operasi Rahasia dan CIA, Hidden History in the Philipines]
Sebuah petunjuk perintah CIA mengenai pembunuhan menyatakan, bahwa adalah perlu membunuh seorang pemimpin politik yang karirnya jelas menunjukkan bahaya bagi usaha kemerdekaan. CIA  tidak memilih-milih ketika melakukan pembunuhan sejumlah besar orang di Indonesia. Sesudah membasmi komunis di tahun 1965, perwira-perwira militer Indonesia memimpin pasukan mereka melikwidasi Partai Komunis Indonesia dan akhirnya menggulingkan Presiden Sukarno.
Peter Dale Scott menulis, bahwa tugas terbesar membasmi PKI dan pendukungnya yang berlumuran darah yang sekarang diakui oleh para sahabat Suharto sudah mengorbankan lebih dari setengah juta jiwa. Untuk pertama kalinya pejabat-pejabat Amerika mengakui bahwa tahun 1965 secara sistimatik mereka telah menghimpun daftar nama pimpinan komunis dari pimpinan atasan sampai kader-kader desa. Sebanyak 5.000 nama diserahkan kepada Tentara Indonesia, dan kemudian diperiksa oleh pejabat Amerika nama-nama mereka yang ditangkap dan dibunuh, menurut pejabat-pejabat Amerika. [Kathy Kadane menulis untuk South Carolina’s Herald Journal on May, 1990]
(Bersambung)

Indonesia’s Anti-Porn Task Force Considers Miniskirt Ban

Refl Sunny: Sebaiknya sekaligus saja disuruh pakai baju panjang tutup aurat supaya selesai masalahnya, daripada setapak demi setapak.
Indonesia’s Anti-Porn Task Force Considers Miniskirt Ban

Ezra Sihite & Michael Sianipar | March 29, 2012
sked to define pornography, an American Supreme Court justice once famously said: “I know it when I see it.”

The way Religious Affairs Minister Suryadharma Ali sees it, the answer to the same question might well be: “Miniskirts.”

The government’s controversial anti-pornography task force, headed by Suryadharma, is now working on measures to tackle the issue — a discussion that includes coming up with a broad definition of pornography, which could potentially equate to dictating how women dress.

“We think that there should be general criteria [for women’s clothing]. For example, women’s skirts should go past their knees,” Suryadharma said in Jakarta on Wednesday.

The task force, he said, is in the process of gathering suggestions from the public about what activities should be classified as pornographic and how best to cope with them.

Suryadharma admitted that the definition of pornography could be subjective, but nevertheless said: “There must a universal measure for that.”

Masruchah, the deputy head of the National Commission on Violence Against Women (Komnas Perempuan), immediately slammed the proposed legislation, calling it a violation of women’s rights.

“There are already norms and ethics in each different community. People already know what they should wear, where and when,” Masruchah said.

“The government must respect the diversity of our cultures and religions.”

She added that sexual harassment and assault had nothing to do with the availability of pornography or women’s sartorial choices.

“Data on rapes show that they don’t correlate with how the women dressed,” she said. “Many women [who were] raped happened to wear very conservative clothing. They were raped anyway.”

She added: “It’s all to do with the mind-set of men.”

After a series of sexual assaults on public minivans last year, Jakarta Governor Fauzi Bowo was criticized for telling women not to wear short skirts or pants when taking public transportation. He later apologized, but not before women donned miniskirts in a rally to protest his remarks.

In all of Indonesia, only Aceh, which implements Shariah law, regulates women’s clothing by making headscarves mandatory. West Aceh district went even further in 2010, banning women from wearing tight pants.

The creation of the anti-pornography task force, which is supposed to enforce the controversial 2008 law banning pornography, was greeted with a barrage of criticism and scorn, with many accusing the government of having lost sight of its priorities.

Politicians and activists alike said it was a distraction from many more pressing issues such as corruption prevention, the empowerment of people in villages and isolated areas, poverty eradication, health care and social conflicts.

++++
Homemade Porn for Private Use Is Legal
Arientha Primanita | April 26, 2011

The verdict is in: making your own sex video is not illegal.

In a landmark ruling on Tuesday, the Constitutional Court threw out a request for a judicial review of the 2008 Anti-Pornography Law, which sought an amendment to criminalize the filming of sex videos for private use.

Chief Justice Mahfud M.D., in rejecting the request for a review filed by controversial lawyer Farhat Abbas, said: “The plaintiffs’ argument does not have a legal basis.”

Article 4 of the law bans people from producing pornographic material, while Article 6 prohibits people from storing or broadcasting it. However, Farhat’s camp has said supplementary explanations of the law exclude materials “for personal use and interest.”

“If pornography is for ‘personal use,’ the actor might be seen as a victim [when material is distributed without consent], when in fact pornography exists because of the actors in the first place,” Muhammad Burhanuddin, one of Farhat’s lawyers, had argued.

However, Justice Ahmad Fadlil Sumadi said that while the court agreed with the plaintiffs that pornography violated norms of decency if made public, the point here was that a homemade video for private use was not meant to be made public.

“If something containing pornographic elements is used solely for one’s self, it doesn’t violate public decency or disturb public order,” he said.

He added that the court considered Articles 4 and 6 constitutional. “The court believes there is no unconstitutionality or contradiction here, as long as the material in question is for one’s own use,” Fadlil stressed.

Farhat and his camp sought the judicial review in the wake of the celebrity sex video scandal involving Nazril “Ariel” Irham, the frontman for the band Peterpan.

The videos appeared on the Internet last year. One allegedly showed Ariel with his girlfriend, Luna Maya, while another was said to show him with TV presenter Cut Tari.

Ariel has been sentenced to three and a half years in prison on a charge of distributing pornography, not for making the films, although he insists he did not upload the videos to the Internet.

Anwar Sadat, a representative for the plaintiffs, said that while the request for the judicial review had been rejected, the two women in the Ariel case should still be held accountable.

“The makers of sex videos must also be punished,” he said. “We know that Ariel has been sentenced to prison, but what about Luna Maya and Cut Tari?”

However, criminal law expert Edi Hiariej, from Yogyakarta’s Gadjah Mada University, has said the supplementary explanations to the law excluding material for personal use were the reason police would not be able to charge Ariel, Luna or Cut Tari under the pornography law.

Anwar said he was not disappointed with the Constitutional Court’s ruling but would examine the pornography law again thoroughly.

“We’ll just accept the ruling and make revisions for another request for a judicial review that we’ll file in the future,” he said.
He declined to say when the group would file the new reques

Homemade Porn for Private Use Is Legal

Indonesia’s Anti-Porn Task Force Considers Miniskirt Ban
Ezra Sihite & Michael Sianipar | March 29, 2012
sked to define pornography, an American Supreme Court justice once famously said: “I know it when I see it.”

The way Religious Affairs Minister Suryadharma Ali sees it, the answer to the same question might well be: “Miniskirts.”

The government’s controversial anti-pornography task force, headed by Suryadharma, is now working on measures to tackle the issue — a discussion that includes coming up with a broad definition of pornography, which could potentially equate to dictating how women dress.

“We think that there should be general criteria [for women’s clothing]. For example, women’s skirts should go past their knees,” Suryadharma said in Jakarta on Wednesday.

The task force, he said, is in the process of gathering suggestions from the public about what activities should be classified as pornographic and how best to cope with them.

Suryadharma admitted that the definition of pornography could be subjective, but nevertheless said: “There must a universal measure for that.”

Masruchah, the deputy head of the National Commission on Violence Against Women (Komnas Perempuan), immediately slammed the proposed legislation, calling it a violation of women’s rights.

“There are already norms and ethics in each different community. People already know what they should wear, where and when,” Masruchah said.

“The government must respect the diversity of our cultures and religions.”

She added that sexual harassment and assault had nothing to do with the availability of pornography or women’s sartorial choices.

“Data on rapes show that they don’t correlate with how the women dressed,” she said. “Many women [who were] raped happened to wear very conservative clothing. They were raped anyway.”

She added: “It’s all to do with the mind-set of men.”

After a series of sexual assaults on public minivans last year, Jakarta Governor Fauzi Bowo was criticized for telling women not to wear short skirts or pants when taking public transportation. He later apologized, but not before women donned miniskirts in a rally to protest his remarks.

In all of Indonesia, only Aceh, which implements Shariah law, regulates women’s clothing by making headscarves mandatory. West Aceh district went even further in 2010, banning women from wearing tight pants.

The creation of the anti-pornography task force, which is supposed to enforce the controversial 2008 law banning pornography, was greeted with a barrage of criticism and scorn, with many accusing the government of having lost sight of its priorities.

Politicians and activists alike said it was a distraction from many more pressing issues such as corruption prevention, the empowerment of people in villages and isolated areas, poverty eradication, health care and social conflicts.

++++
Homemade Porn for Private Use Is Legal

Arientha Primanita | April 26, 2011
The verdict is in: making your own sex video is not illegal.

In a landmark ruling on Tuesday, the Constitutional Court threw out a request for a judicial review of the 2008 Anti-Pornography Law, which sought an amendment to criminalize the filming of sex videos for private use.

Chief Justice Mahfud M.D., in rejecting the request for a review filed by controversial lawyer Farhat Abbas, said: “The plaintiffs’ argument does not have a legal basis.”

Article 4 of the law bans people from producing pornographic material, while Article 6 prohibits people from storing or broadcasting it. However, Farhat’s camp has said supplementary explanations of the law exclude materials “for personal use and interest.”

“If pornography is for ‘personal use,’ the actor might be seen as a victim [when material is distributed without consent], when in fact pornography exists because of the actors in the first place,” Muhammad Burhanuddin, one of Farhat’s lawyers, had argued.

However, Justice Ahmad Fadlil Sumadi said that while the court agreed with the plaintiffs that pornography violated norms of decency if made public, the point here was that a homemade video for private use was not meant to be made public.

“If something containing pornographic elements is used solely for one’s self, it doesn’t violate public decency or disturb public order,” he said.

He added that the court considered Articles 4 and 6 constitutional. “The court believes there is no unconstitutionality or contradiction here, as long as the material in question is for one’s own use,” Fadlil stressed.

Farhat and his camp sought the judicial review in the wake of the celebrity sex video scandal involving Nazril “Ariel” Irham, the frontman for the band Peterpan.

The videos appeared on the Internet last year. One allegedly showed Ariel with his girlfriend, Luna Maya, while another was said to show him with TV presenter Cut Tari.

Ariel has been sentenced to three and a half years in prison on a charge of distributing pornography, not for making the films, although he insists he did not upload the videos to the Internet.

Anwar Sadat, a representative for the plaintiffs, said that while the request for the judicial review had been rejected, the two women in the Ariel case should still be held accountable.

“The makers of sex videos must also be punished,” he said. “We know that Ariel has been sentenced to prison, but what about Luna Maya and Cut Tari?”

However, criminal law expert Edi Hiariej, from Yogyakarta’s Gadjah Mada University, has said the supplementary explanations to the law excluding material for personal use were the reason police would not be able to charge Ariel, Luna or Cut Tari under the pornography law.

Anwar said he was not disappointed with the Constitutional Court’s ruling but would examine the pornography law again thoroughly.

“We’ll just accept the ruling and make revisions for another request for a judicial review that we’ll file in the future,” he said.
He declined to say when the group would file the new reques

AKAR PEMBASMIAN KOMUNISME SAMPAI PENGGULINGAN BUNG KARNO (4)

AKAR PEMBASMIAN KOMUNISME
SAMPAI PENGGULINGAN BUNG KARNO (4)

Suar Suroso
in:”nasional-list@yahoogroups.com” <nasional-list@yahoogroups.com> ,Thursday, 29 March 2012, 7:57

Politik Rollback
 
Politik Rollback muncul sebagai perlawanan Partai Republik atas containment gagasan Partai Demokrat. Dibalik strategi yang baru ini terdapat ide melakukan ofensif untuk mendorong mundur komunisme, ketimbang hanya defensif menahan (membendungnya). Pengambil inisiatif dari politik rollback ini adalah John Foster Dulles. Kemudian politik rollback Dulles ini dilaksanakan oleh Pemerintahan Ronald Reagan selama tahun 1980an dan bermuara pada menghasilkan rontoknya daerah kekuasaan Sovyet, brantakannya kubu komunis di Eropa Timur dan hancurnya Uni Sovyet itu sendiri.
Dalam bahasa strategi Amerika, rollback adalah politik untuk membasmi seluruh pasukan musuh dan menduduki negerinya, seperti yang pernah berlangsung dalam Perang Dalam Negeri Amerika hingga membentuk Konfederasi, dan dalam Perang Dunia kedua seperti menghadapi Jerman dan Jepang yang sampai ditaklukkan.
Ungkapan rollback militer terhadap Uni Sovyet diusulkan oleh James Burnham dan para ahli strategi lainnya pada akhir tahun 40an, dan oleh Pemerintahan Truman dilaksanakan dalam melawan Korea Utara dengan melangsungkan Perang Korea. Banyak perdebatan waktu itu mengenai masalah apakah Amerika akan menjalankan strategi rollback melawan komunisme di Eropa Timur dalam tahun 1953-1956, putusannya adalah tidak. Sebagai penggantinya AS memulai pelaksanaan program jangka panjang dengan perang psikhologi untuk merontokkan pemerintah komunis dan pro-komunis serta dengan membantu pemberontakan-pemberontakan. Usaha-usaha ini sudah dimulai semenjak tahun 1945 di Eropa Timur, termasuk memberi bantuan senjata bagi pejuang-pejuang untuk kemerdekaan di negara-negara Baltik dan Ukraina. Usaha lainnya juga berlangsung di Albania semenjak tahun 1949, menyusul kehancuran kekuatan bersenjata komunis dalam perang dalam negeri Yunani tahun itu. Dalam hal ini, agen-agen yang didaratkan diselundupkan oleh Inggeris dan Amerika Serikat untuk memicu perang gerilya, tetapi gagal. Operasi ini sudah dikhianati oleh agen ganda Inggeris Kim Philby, yang menyebabkan tertangkap dan dibunuhnya agen-agen tersebut. Proses yang ternyata berhasil meruntuhkan pendudukan Sovyet di Afghanistan tahun 1980an.
Dalam perang Korea, Amerika Serikat dan PBB secara resmi menjalankan politik rollback – menghancurkan pemerintah Republik Rakyat Demokrasi Korea, mengirim pasukan PBB meliwati garis lintang 38 derajat untuk menduduki Korea Utara. Strategi rollback Amerika menyebabkan Tiongkok mengirim pasukan sukarela memasuki Korea memukul kembali pasukan PBB sampai ke gasrislintang 38 derajat. Kegagalan strategi rollback, menyebabkan Amerika, jenderal Douglas MacArthur kembali menempuh pelaksanaan the policy of containment tanpa rollback.
Dalam bulan November 1950 berlangsung operasi Operation Paper, termasuk mempersenjatai dan mensuplai senjata bagi sisa-sisa pasukan Kuomintang Divisi 93 dibawah komando jenderal Li Mi di Timur Birma, untuk menduduki provinsi Yunnan., mengalahkan pemerintah komunis setempat Semua pasukan Li Mi terbasmi, dan sesudah kegagalan ini, Amerika menarik bantuannya lebih lanjut.
Eisenhower and Dulles
Jurubicara Partai Republik John Foster Dulles mempelopori dalam memajukan politik rollback. Dalam tahun 1949 dia menulis; “Kita harus menjelaskan kepada jutaan rakyat di Eropa Timur dan Asia bahwa kita tidak menerima statuskuo yang ditetapkan Uni Sovyet dengan melakukan agresi dengan komunisme yang agresif yang dipaksakan pada mereka, oleh karena itu masalah pembebasan adalah suatunya yang esensial dan bagian jangka panjang dari politik luarnegeri kita”.
Dalam tahun 1952 pimpinan nasional Partai Republik menegaskan posisi ini ketika Dwight D.Eisenhower terpilih menjadi Presiden, Dulles diangkat menjadi Menteri Luarnegeri. Penasehat Eisenhower Charles Douglas Jackson untuk mengkoordinasi perang psikhologi melawan komunisme. Radio Free Europe, sebuah lembaga swasta yang dibiayai Congress beroperasi dengan diarahkan ke Eropa Timur untuk menyerang komunisme. Suatu strategi alternatif dari rollback adalah containment, Pemerintah Eisenhower menerima politik containment melalui putusan NSC dengan dokumen NSC 162/2 dalam bulan Oktober 1953, ini berarti meninggalkan pelaksanaan rollback di Eropa. 30 Oktober 1953, Presiden Eisenhower menyetujui dokumen NSC 162/2, dokumen sangat rahasia yang menegaskan bahwa gudang persenjataan nuklir Amerika tetap dipertahankan dan diperluas untuk menghadapi ancaman komunis. Dokumen itu memperingatkan bahwa Uni Sovyet sudah mempunyai cukup senjata nuklir yang mampu “melumpuhkan dasar industri Amerika”. Walaupun tampaknya dalam waktu dekat Sovyet tidak akan menggunakannya, tidaklah berarti bahwa Amerika bisa mengurangi usahanya untuk menimbun “senjata nuklir secukupnya”. Amerika Serikat harus membikin jelas kepada Uni Sovyet dan Tiongkok komunis, bahwa Amerika mempunyai maksud untuk memberi reaksi dengan kekuatan militer terhadap setiap agresi yang dilakukan kekuatan bersenjata kubu Sovyet. “Senjata nuklir tersedia untuk dipergunakan sebagaimana senjata lainnya”. NSC 162/2 menunjukkan ketergantungan Amerika Serikat untuk menangkal agresi komunis selama tahun-tahun kekuasaan Eisenhower. Eisenhower juga melancarkan politik luarnegerinya yang disebut  “New Look”, yang berarti lebih tergantung pada senjata nuklir berjuang dalam Perang Dingin.
Eisenhower bersandar pada aksi-aksi rahasia CIA untuk meruntuhkan pemerintah-pemerintah kecil yang tak bersahabat dengan Amerika, dan menggunakan bantuan ekonomi serta militer untuk memperkuat pemerintah-pemerintah yang mendukung posisi Amerika dalam Perang Dingin. Dalam pelaksanaan politik rollback dalam bulan Agustus 1953 berlangsung operasi Ayax dengan kerjasama dengan Inggeris, dibantu militer Iran dalam merestorasi kekuasaan Syah Iran.
Pelaksanaan politik rollback mendapat ujian ketika Pemerintah Hongaria dibawah Imre Nagy dalam tahun 1956 menentang kekuasaan Uni Sovyet di Hongaria dengan menyatakan menarik diri dari Pakta Warsawa, dan menyerukan pada pemerintah Barat untuk membantu melawan invasi Uni Sovyet. Ini adalah satu pemberontakan terhadap kekuasaan Uni Sovyet. Waktu itu Eisenhower membayangkan bahwa pelaksanaan politik rollback dengan memberi bantuan, akan mendatangkan bahaya terpicunya perang nuklir dengan Sovyet. Dan Menteri Luarnegeri Dulles mengira Imre Nagy adalah memihak Uni Sovyet. Ternyata Nagy digulingkan oleh Janos Kadar, Hongaria kembali ke dalam Pakta Warsawa dan tak terjadi penggulingan kekuasaan negara sosialis di Hongaria. Tanpa menjalankan politik rollback, Amerika tetap menjalankan the policy of containment terhadap Hongaria.
Doktrin Reagan
Dalam Pemerintahan Ronald Reagan, di tahun 1980an gerakan rollback mendapat kebangkitan berkat desakan dari Heritage Foundation dan lembaga-lembaga berpengaruh yang konservatif, mulai menyalurkan pengiriman senjata membantu kekuatan dan gerakan anti-komunis di Afganistan, Angola, Kamboja, Nikaragua dan negeri-negeri lainnya dan melancarkan invasi yang sukses dalam tahun 1983 di Nicaragua yang berhasil menggulingkan pemerintah yang menamakan dirinya Marxis. Ini adalah contoh gemilang melaksanakan politik rollback, menggulingkan pemerintah beraliran Marxis.
Intervensi Pemerintah Reagan terhadap negeri-negeri Dunia Ketiga dikenal sebagai Doktrin Reagan. Dalam berbagai medan pertempuran rollback, Uni Sovyet memberikan banyak konsesi, bahkan mundur dari Afganistan yang dikuasainya.
Arus kegoncangan nasionalistis melanda negeri-negeri Uni Sovyet pada tahun 1989. 15 negara anggota URSS menyatakan undang-undang mereka tidak tunduk pada Uni Sovyet, menyatakan diri sebagai negara merdeka dan berdaulat. 25 Desember 1991 Uni Sovyet resmi membubarkan diri. Inilah penggulungan komunisme di Eropa, pelaksanaan politik rollback yang dilaksanakan Ronald Reagan di Eropa.
Doktrin-Doktrin anti komunis Truman – the policy of containment, Doktrin Dulles-Eisenhower politik rollback, yang dianut dan dilaksanakan oleh semua Presiden Amerika menyusul Eisenhower: Richard Nixon, Lindon Bayne Johnson, J.F.Kennedy, Ronald Reagan, George W. Bush dan seterusnya; diikuti oleh indoktrinasi histeria anti-komunis yang intensif. Histeria anti-komunis yang dikobarkan sejak tahun 20-an, disusul dengan  kampanye anti komunis McCarthyisme, pandangan-pandangan Barry Goldwater. Demikian intensifnya indoktrinasi anti-komunis itu hingga, William Blum dalam, bukunya KILLING HOPE – US Military and CIA Interventions Since World War II, Zed Book . menulis: “Selama empat tahun seusai Perang Dunia kedua, banyak orang Amerika, termasuk pejabat-pejabat tingginya menyimpan pandangan bahwa Perang Dunia kedua adalah ‘perang yang salah, melawan musuh yang salah’ . Sesungguhnya, musuh sejati Amerika adalah komunisme. Membasmi komunisme adalah tugas sejarah Amerika. Mestinya, Nazi Hitler dibantu untuk mengarahkan serangan ke Timur, membasmi habis komunisme di muka bumi”.[Baca, William Blum, Killing Hope – US Military and CIA Interventions Since World War II, Zed Books, London, 1986]
Terhadap Indonesia, sejak masa revolusi Agustus 1945, Republik Indonesia yang dipimpin Presiden Sukarno tetap berada dalam perhatian Amerika Serikat. Ketakutan akan Indonesia dilanda kekuasaan komunisme sudah menggelisahkan Amerika. Tampilnya Amir Sjarifoeddin sebagai Perdana Menteri, menyebabkan Amerika menggalakkan usaha untuk menggusurnya. Dengan “Red Drive Proposal”nya, Indonesia jadi dilanda Peristiwa Madiun yang berdarah. Inilah realisasi the policy of containment, Doktrin Truman, di Indonesia menyusul sukses pelaksanaannya di Yunani dan Itali. Dalam Peristiwa Madiun ini, generasi pertama  pimpinan tertinggi PKI, Musso, Amir Sjarifoeddin, dapat dibasmi.
Tapi PKI tidaklah punah. Seiring dengan perkembangan gerakan kiri sedunia, dibawah generasi kedua pimpinan tertinggi PKI dengan D.N.Aidit, MH Lukman dan Njoto serta Sudisman sebagai tokoh-tokoh terkemukanya, PKI berkembang pesat dan tampil jadi partai besar keempat memenangkan Pemilihan Umum 1955 untuk parlemen; dan jadi partai pertama dalam pemilihan umum 1957 untuk Dewan-Dewan  Perwakilan  Daerah. Gagasan Bung Karno persatuan nasional berporos Nasakom, adalah sesuai dengan haluan strategi PKI, memenangkan sosialisme liwat jalan damai. Perkembangan PKI yang diiirngi oleh poilitik luarnegeri Bung Karno dengan gagasan Nasakom dalam arena internasional sungguh mengkhawatirkan Amerika Serikat. Dan kalau jadi berlangsung Pemilihan Umum menurut rencana semula, kawan dan lawan meramalkan, bahwa PKI akan mendapat kemenangan besar. Ini sungguh mengkhawatirkan Amerika Serikat. Atas usaha Nasution, Angkatan Darat pun bertindak menolak berlangsungnya Pemilihan Umum tersebut, hingga jadi ditunda. PKI maju terus dengan aksi-aksi politik yang merugikan Amerika. Mulai dari mengumandangkan semboyan imperialisme Amerika adalah musuh utama rakyat Indonesia, sampai diikuti oleh aksi-aksi mengambil alih perusahaan kapital Belanda dan akhirnya kapital raksasa Amerika: Stanvac,  Good Year, Caltex, Shell dan lain-lain. Sebelum itu, Bung Karno menunjukkan perlawanan terhadap Amerika dengan mengumandangkan seruan “Go to hell with your aids !” Tak ayal lagi, vonis pembasmian komunis Indonesia dan penggulingan Bung Karno pun dilaksanakan.
Amerika tak berhasil membasmi komunisme di Korea dengan tiga tahun Perang Korea. Amerika babak belur dalam Perang Vietnam tahun enampuluhan, walaupun mengerahkan seperempat juta pasukan, juga tak berhasil membasmi komunis Vietnam. Inilah puncak-puncak Perang Dingin di Asia. Indonesia tak boleh dibiarkan jatuh ke tangan kekuatan komunis. Inilah akar pembasmian komunis dan penggulingan Bung Karno di Indonesia..
Dengan dikerek turunnya bendera merah berpalu-arit dari puncak istana Kremlin, Uni Republik-Republik Sovyet Sosialis (URSS) buyar, lenyap dari peta politik dunia. Awal tahun 1992 dalam pedato kenegaraannya, Presiden George Bush memproklamirkan: “Perang Dingin sudah usai, Komunisme sudah mampus, dan kita menang !” [Suar Suroso, BUNG KARNO KORBAN PERANG DINGIN, Hasta Mitra, Jakarta 2007, hal. 1]
Kenyataannya, gerakan komunisme tidaklah punah. Maka arwah penganut Perang Dingin masih gentayangan di dunia. The policy of containment – politik membendung komunisme masih tetap melanda dan menghantui dunia. Termasuk menghantui Indonesia. Inilah akar dari pembasmian kaum kiri, pembasmian kaum komunis, pelarangan Partai Komunis Indonesia dan Marxisme-Leninisme di Indonesia. Dan inilah akar penggulingan Bung Karno yang berideologi kiri.
*****
28 Maret 2012.
(Bersambung)

Demokrasi dan Demokratisasi Indonesia

Oleh: Abdurrahman Wahid

in:ppiindia@yahoogroups.com,Thursday, 29 March 2012, 7:38

Demokrasi adalah keadaan tertentu yang memiliki beberapa ciri, antara lain: harus bertumpu pada kedaulatan hukum dan memberikan perlakuan yang sama pada semua warga negara di hadapan undang-undang. Ini harus ditunjang oleh kemerdekaan berbicara, kebebasan berpikir dan sikap menghormati pluralitas pandangan. Lebih jauh lagi, ia berarti keharusan memelihara dan melindungi hak-hak pihak minoritas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jadi semua hal itu mengacu kepada kepentingan umum yaitu kepentingan bersama sebagai bangsa dan negara. Dalam keadaan demokrasi itu berjalan sepenuhnya, orang tidak memiliki ketakutan akan berpendapat atau berkelakuan yang aneh-aneh. Kepentingan bangsa ditentukan oleh mayoritas pemberi suara dalam pemilihan umum yang diandaikan menjadi wahana “kedaulatan rakyat”.

Untuk mencapai demokrasi seperti itu, dibutuhkan sebuah proses demokratisasi. Proses ini berjalan lambat, dan terkadang cepat. Demokrasi akan nampak terwujud dengan membentuk lembaga-lembaga demokratis dengan cepat, walaupun adanya lembaga-lembaga itu tidak menjamin tradisi demokrasi dapat tegak dan cepat. Pemerintah Orde Baru telah membentuk DPR-RI, MPR RI, BPK dan MA; tetapi tradisi berdemokrasi ternyata tidak tumbuh di dalamnya. Sang penguasa menentukan segara–galanya, sehingga lembaga-lembaga yang mencerminkan demokrasi itu kehilangan arti bagi kita dan kita merasa terpasung dalam pemasungan kemerdekaan pers, kemerdekaan berpikir, dan bermacam-macam kemerdekaan lain. Kita merasa tercekik sehingga akhirnya pun kita tidak percaya akan tegaknya demokrasi di negeri ini. Demokratisasi telah gagal. Sekarang, kata demokrasi digantikan oleh kata reformasi.

Parpol yang semula tampak memperjuangkan kepentingan rakyat dan bangsa, ternyata hanya mementingkan kebutuhan sendiri atau kepentingan golongan. Eksekutif, kehilangan arah mana yang harus dijadikan ukuran tentang “kepentingan rakyat” itu. Akhirnya, ‘kepentingan bersama’ parpol masing-masing dijadikan ukuran hingga hancurlah ukuran-ukuran kepentingan rakyat itu, dalam artian kepentingan untuk menjaga kedaulatan partai-partai atas pemerintahan. Karena mereka telah dicap mengkhianati demokrasi, maka parpol-parpol itu lalu memanipulasi kata-kata reformasi/pembaruan. Ini berarti “pencurian di siang bolong”, padahal mereka lebih mementingkan bagaimana ‘menggunakan’ uang negara baik langsung maupun tidak langsung untuk memenangkan pemilu legislatif maupun Presiden dalam waktu dekat ini. Ada yang mengeruk habis kekayaan BUMN (sehingga diberitakan melalui kabar angin, bahwa sebuah parpol menargetkan 5 triliun rupiah untuk membiayai kemenangan pemilu tahun depan). Uang ‘amplop’ dimanfaatkan dan diminta–kalau perlu dengan cara-cara melanggar undang-undang–, setiap Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Wali Kota) “diharuskan” membayar upeti demi memenangkan partai politik yang bersangkutan dalam pemilihan yang akan
datang.

****

Dalam keadaan demikian, sudah tentu proses demokratisasi menjadi sangat terganggu. Penegakan kedaulatan hukum menjadi tidak ada, pemberantasan KKN hanya menjadi buah bibir saja, itu pun kalau masih disebut. Uang ‘aspal’ beredar dalam jumlah yang sangat besar, tanpa tindakan apa pun terhadap pelakunya. Sebenarnya nama-nama mereka yang terlibat dalam percetakan dan pengedaran uang palsu itu dapat ditanyakan, bahkan kepada “orang jalanan”. Ketika seorang anggota DPR-RI “mengancam” mempersoalkan hal itu secara terbuka, maka segera ia dihadapkan kepada kenyataan lain, bahwa parpol di mana ia sendiri turut serta di dalamnya juga lebih korup dari pihak yang ia ketahui menerima uang aspal tersebut.

Demikian jauh penegakkan kedaulatan hukum telah dilecehkan orang, sehingga banyak orang sudah mulai putus asa, dapakah hal itu diwujudkan di negeri kita? Cukup banyak orang yang berkesimpulan, bahwa demokrasi tidak mungkin diwujudkan di Indonesia saat ini, lalu dengan demikian tidak ada gunanya melakukan tindakan-tindakan mendorong kemunculannya dalam kehidupan sehari-hari berarti, tidak ada gunanya melakukan upaya demokratisasi di negeri kita. Karena itu, wajar saja jika lalu muncul “kesimpulan” bahwa bangsa kita memang lebih senang hidup di bawah pemerintahan Orde Baru di saat ini. Paling tidak, pemerintahan Orde Baru memberikan kepastian kita, apa yang harus dilakukan untuk mempertahankan tingkat hidup ada.

Jika perasaan ini cukup luas dalam masyarakat, barangkali perjuangan menegakkan demokrasi akan menjadi lebih berat daripada dahulu. Walaupun tidak ada “tragedi Trisakti” maupun “penembakan Semanggi”, tapi efek perkembangan politik “yang damai” sekarang ini jauh lebih buruk bagi proses demokratisasi. Pihak kepolisian negara dan aparat-aparat hukum lainnya, menggunakan kembali pasal-pasal lama dari undang-undang kolonial yang seharusnya sudah diubah. Karena DPR-RI sudah sibuk dengan bagi-bagi uang dan segala macam fasilitas yang memanjakan hidup para anggotanya, maka mayoritas suara menolak tiap upaya melakukan pembaharuan undang-undang. Karena pihak eksekutif telah dikuasai oleh birokrasi yang hanya mementingkan diri sendiri belaka, maka kepentingan rakyat yang hakiki akan pembaharuan hukum yang dilakukan dengan serius, dengan sendirinya tidak mungkin dilakukan. Akibatnya bunyi beberapa undang-undang seperti tentang, Otonomi Daerah dan sejenisnya hanya melahirkan “raja-raja kecil“ yang tidak dapat lagi di kontrol, dan menetapkan kebijakan secara serampangan. Bagaimana di Kutai Kartanegara dan Kab. Gorontalo ada “proyek raksasa” yang akan membuat daerah bersangkutan “cemerlang namanya” bisa dilarang oleh Gubernur yang korup.

****

Cukup banyak orang yang meminta penulis berhenti berbicara tentang demokrasi dan proses demokratisasi. Penulis menolak “ajakan” itu, karena ia masih percaya bahwa masih harus ada yang memperjuangkan kedua hal tersebut. Ini bagaikan upaya mendirikan forum demokrasi di masa lampau, jadi penulis tidak akan mundur. Memang, terdapat perbedaan kualitatif antara upaya menegakkan demokrasi yang sebenarnya dan memulai proses demokratisasi sekarang dan dahulu, setidak-tidaknya dalam hal resiko fisik yang harus dihadapi. Tetapi, bukankah esensinya sama antara kedua hal itu? Penulis mengetahui, upaya mengembangkan demokratisasi saat ini tidak dihadapi secara fisik oleh aparat negara, melainkan oleh “para preman” yang dibiarkan bersimaharajalela tanpa ada upaya menindak mereka sama sekali. Bahkan sementara aparat negara justru “membantu’ mereka secara diam-diam, karena mereka menyediakan dana bagi kepentingan aparat negara yang bersangkutan. Karenanya, mengatakan usaha demokratisasi memang mudah, tetapi mewujudkannya dalam kenyataan merupakan kerja sangat sulit, bukan?[]

Jakarta, 12 November 2003


https://harian-oftheday.blogspot.com/

“…menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama…”

Pengerahan TNI Takuti Rakyat

 

Adhi Massardi: Pengerahan TNI Takuti Rakyat

Wednesday, 28 March 2012 07:16
E-mail Print PDF
Jakarta – Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB) Adhi M Massardi menilai, pengerahan 28 ribu personel TNI dan Polri dalam pengamaaksi unjuk rasa menolak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Jakarta, sebagai upaya pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono menakut-nakuti rakyat.
“Kita lihat, ada pembohongan bahwa seakan-akan ada kerusuhan besar, sehingga suruh TNI berjaga,” ungkapnya, dalam diskusi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) di Rumah Perubahan, Komplek Duta Merlin, Jakarta, Selasa (27/3).
Menurut Adhi, berlebihannya jumlah aparat yang dikerahkan itu, pemerintah ingin menunjukkan bahwa penaikan harga BBM itu lebih besar reaksinya, sehingga dampak kenaikan BBM seolah-seolah tidak.
“Kenaikan BBM saat ini lebih besar dari reaksinya sehingga dampak kenaikan BBM seolah tidak ada masalah. Ini cara SBY menakut-nakuti. SBY ke luar negeri, tentara keluar barak, dan rakyat keluar air mata,” bebernya.
Adi menilai, penaikan harga BBM ini bagian modus partai berkuasa saat ini untuk membobol uang negara. Betapa tidak, kenaikan BBM merupakan cara mengelurkan uang negara, kemudian dijarah dan dikorupsi beramai-ramai.
“Sebetulnya harapan ya agar keluar BLT dan dikorup rame-rame. Kita lihat tata niaga minyak kita bermasalah,” ujarnya.
Mantan juru bicara Presiden Gus Dur itu  menyebutkan, permasalahan penaikan BBM memunculkan spekulasi negatif dari kalangan masyarakat karena masyarakat sudah tidak percaya pemerintah (social distrust), sehingga kebijakan apapun pemerintah akan ditentang rakyat.
Pandangan negatif rakyat terhadap pemerintah ini karena penaikan harga BBM dilakukan pada saat yang tidak tepat. Pasalnya, saat ini tingkat daya beli rakyat negeri ini tengah munurun sejak tahun 2004, sejak presiden pertama kali dipilih langsung oleh rakyat. [IS]