AIR BERSIH DAN MASAKRE

AIR BERSIH DAN MASAKRE
Oleh Kusni Sulang

 

Air merupakan salahsatu keperluan mutlak. Tanpa air, kehidupan takkan ada. Mutu air yang digunakan atau dikonsumsi menentukan mutu kehidupan itu. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi (MK) memandang “akses pada air merupakan bagian dari HAM”. Berdasarkan pada pandangan ini, maka pada Rabu (18/2), MK mengabulkan permohonan PP Muhammadiyah; Al Jami’yatul Wasliyah; Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha, dan Karyawan; Perkumpulan Vanaprastha; dan para tokoh, seperti Rachmawati Soekarnoputri, Fahmi Idris, Adhyaksa Dault, La Ode Ida, Amidhan, dan Marwan Batubara. Sidang dipimpin Ketua MK Arief Hidayat. Dengan pengabulan ini maka MK membatalkan semua pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air beserta enam peraturan pemerintah turunannya. Mencegah kekosongan pengaturan sumber daya air, sambil menunggu UU baru, MK menyatakan memberlakukan lagi UU No. 11/1974 tentang Pengairan.
Hakim Konstitusi Anwar Usman menyatakan, konstitusionalitas UU Sumber Daya Air telah dipertimbangkan pada putusan 058-059-060-063/ PUU-II/2004 dan 008/PUU-III/2005. Dari pembacaan kembali putusan itu, MK menyimpulkan, akses pada air bagian dari HAM. Sumber air juga diperlukan untuk memenuhi kebutuhan lain, seperti pengairan pertanian, pembangkit tenaga listrik, dan keperluan industri yang punya andil bagi kemajuan manusia dan faktor penting manusia dapat hidup layak.
”Persyaratan konstitusionalitas UU Sumber Daya Air itu, dalam pelaksanaan harus menjamin terwujudnya amanat konstitusi tentang penguasaan negara atas air. Hak penguasaan negara atas air dapat dikatakan ada bilamana negara, yang oleh UUD 1945 diberi mandat membuat kebijakan, masih memegang kendali dalam melaksanakan tindakan pengurusan, pengaturan, pengelolaan, dan pengawasan,” kata Anwar. Berdasarkan tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2004, air bukan komoditas dan tidak boleh diperlakukan sebagai barang dagangan karena harganya nanti akan mengikuti logika hukum pasar berdasarkan permintaan dan penawaran. Padahal niscayanya sesuai amanat UUD 1945 Negara, dalam hal ini penyelenggara Negara baik di Pusat mau pun di daerah, memegang monopoli atas air dan pengelolaannya. Sehingga jika air tak bisa diperoleh langsung dari sumber, Negara wajib menjamin hak setiap warga memperoleh air (tentunya air bersih!).
Apakah hak wajib ini telah dilakukan oleh penyelenggara Negara berbagai tingkat di Kalimantan Tengah yang secara otoproklamasi menyebut penyelenggaraan Negara di bawah pimpinannnya berhasil?
Kenyataan memperlihatkan bahwa air bersih seiring dengan kerusakan lingkungan yang makin menghebat, makin menjadi barang dagangan. Sehingga sangatlah ironis Kalteng yang mempunyai 11 sungai besar dan ribuan anak dan cucu sungai menjadi daerah yang rawan air bersih. Penduduk di akar rumput daerah-daerah aliran sungai (DAS) terpaksa mengonsumsi air sungai yang dipenuhi oleh airraksa (merkuri). Di berbagai kabupaten seperti di kabupaten Kotawaringin Timur misalnya, pada musim kemarau penduduk sementara kecamatan menggunakan air parit. Apakah ini wujud dari keberhasilan menyelenggarakan Negara?
Keputusan MK yang membatalkan semua pasal dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air beserta enam peraturan pemerintah turunannya dan memberlakukan lagi UU No 11/1974 tentang Pengairan bisa menjadi dasar bagi penduduk untuk menagih kepada penyelenggara Negara untuk menyediakan air bersih, bukan hanya mengumumkan air DAS ini dan atau itu sudah tak layak lagi dikonsumsi tapi apa solusinya tidak diberikan penduduk tidak mempunyai pilihan lain kecuali seperti sejak nenek-moyang kembali datang ke sungai mengonsumsi airnya. Padahal air itu sekarang mengandung racun mematikan bersifat generatif. Jika demikian, apa lalu bedanya pembiaran begini dengan masakre? Mendapatkan air bersih, bukan air selokan atau air bermerkuri, adalah hak asasi. Karena kerusakan lingkungan, termasuk air, erat hubungannya dengan kegiatan perusahaan besar swasta (PBS), maka perintah Gubernur Kalimantan Tengah A. Teras Narang,SH 10 Desember 2014 kepada bupati/walikota di Kalimantan Tengah (Kalteng) untuk mencabut 250 izin usaha pertambangan (IUP) yang berstatus non-clean and clear (NCC) sangat relevan. Ataukah perintah itu hanya untuk gagah-gagahan, bagian dari pencitraan politik sehingga pelaksanaannya bisa diabaikan?[]

 

 
Indonesia Kaya Sumber Daya Air Tapi Buruk Pengelolaannya
Oleh Reja Hidayat
in:Geo Times 21/02/2015 08:02 WIB

 
Pemerintah pusat dan daerah bertanggung jawab mengembangkan sistem penyediaan air minum untuk masyarakat. Namun, dalam praktiknya sistem atau pengelolaan air di Indonesia terburuk se-Asean.
“Indonesia merupakan lima negara besar yang mempunyai sumber daya air yang melimpah. Tapi pengelolaanya terburuk di Asean bakhan kalah dari Kamboja,” kata Koordinator Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha), Muhammad Reza dihubungi di Jakarta.
Buruknya pengelolaan air sudah terjadi sejak pemerintahan Soeharto hingga Jokowi. Tak ada perubahan terkait pengelolaan sumber daya air oleh negara. Bahkan pemerintahan Jokowi mendorong privatisasi air.
“Di banyak negara pengelolaan sanitasi air menjadi tanggung jawab negara. Bukan seperti Indonesia, semua diserahkan ke swasta,” kata Reza. “Sehingga air hanya bisa dinikmati oleh orang kaya saja.”
Menurutnya, sifat dasar air adalah natural monopoli, dia harus berada di tangan negara sehingga tidak ada kompetisi. Berdasarkan tafsir Putusan Mahkamah Konstitusi pada 2004, air bukan komoditas dan tidak boleh diperlakukan sebagai barang dagangan karena harganya nanti akan mengikuti logika hukum pasar berdasarkan permintaan dan penawaran.
Mohamad Mova Al’Afghani, pendiri Center for Water Governance, mengatakan ketika layanan air dan sanitasi menjadi bisnis dan pelayanannya diswastanisasi berdasarkan logika seluruh biaya ditanggung konsumen, seperti di Jakarta, akhirnya terjadi ketidakadilan.
Di berbagai kota di Indonesia, daerah-daerah yang memiliki saluran air dan sanitasi yang baik umumnya berada di sekitar daerah elite. Cirinya memiliki banyak taman hijau resapan, gorong-gorong, dan saluran air.
Adapun di daerah menengah ke bawah, kondisi air dan sanitasinya relatif buruk. Sarana publiknya kumuh dengan got dan kali yang kotor. Kondisi itu bukan kebetulan belaka. Sebab, urusan air dan sanitasi di Indonesia sangat bias kelas sosial.
Ambil contoh Jakarta, yang berpenduduk lebih dari 10 juta jiwa dengan Indeks Pembangunan Manusia tertinggi di Indonesia. Ternyata infrastruktur saluran pembuangan limbah di Jakarta hanya tersedia kurang 2 persen dari populasi. Itu pun sebagian besar warisan kolonial Belanda. Bisa dibayangkan ke mana selama ini limbah rumah tangga dan kotoran manusia Jakarta dibuang.
Ada sekitar 14 ribu ton tinja per hari di Jakarta yang dibuang ke badan air. Pencemaran berlangsung cukup tinggi dan kebutuhan air bersih dari sumur tanah dangkal sebagai pengganti air perpipaan yang disediakan pemerintah.
Sementara itu, Ketua Majelis Hukum dan Hak Asasi Manusia Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Syaiful Bakhri memberi apresiasi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Undang-Undang Sumber Daya Air.
“Kemenangan ini milik rakyat Indonesia, diharapkan ke depan tidak ada lagi privatisasi air tapi hak atas air dikembalikan ke negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” kata Syaiful.[*]

 

 

Cuplikan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 11 TAHUN 1974 TENTANG PENGAIRAN

 

BAB III
HAK PENGUASAAN DAN WEWENANG
Pasal 3
(1). Air beserta sumber-sumbernya, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya seperti dimaksud dalam Pasal 1 angka 3,4 dan 5 Undang-undang ini dikuasai oleh Negara.
(2). Hak menguasai oleh Negara tersebut dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang kepada Pemerintah untuk :
a. Mengelola serta mengembangkan kemanfaatan air dan atau sumber-sumber air.
b. Menyusun mengesahkan, dan atau memberi izin berdasarkan perencanaan dan perencanaan teknis tata pengaturan air dan tata pengairan;
c. Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin peruntukan, penggunaan, penyediaan air, dan atau sumber-sumber air.
d. Mengatur, mengesahkan dan atau memberi izin pengusahaan air, dan atau sumbersumber air.
e. Menentukan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum dan hubungan-hubungan hukum antara orang dan atau badan hukum dalam persoalan air dan atau sumbersumber air.
(3). Pelaksanaan atas ketentuan ayat (2) pasal ini tetap menghormati hak yang dimiliki oleh masyarakat adat setempat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional.

PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 1974
TENTANG PENGAIRAN
A. PENJELASAN UMUM

6. Seperti telah disebutkan di atas bahwa mengingat air beserta sumber-sumbernya merupakan kekayaan alam yang mutlak dibutuhkan untuk hajat hidup manusia, maka dalam Undang-undang ini dinyatakan, bahwa air beserta sumber-sumbernya dikuasai oleh negara dan pelaksanaan wewenang penguasaannya dilimpahkan kepada Pemerintah, baik Pusat maupun Daerah.
Di samping itu Undang-undang ini dapat melimpahkan wewenang tertentu dari pada Pemerintah tersebut kepada Badan-bandan Hukum tertentu, yang syarat-syaratnya diatur oleh Pemerintah, dengan menghormati hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat setempat, ialah masyarakat yang tata kehidupannya berdasarkan adat, kebiasaan dan keagamaan, termasuk Lembaga-lembaga masyarakat yang bersifat sosial religius sepanjang hak-hak itu menurut kenyataan betul-betul masih ada dan pelaksanaannya harus sedemikian rupa sehingga tidak mengganggu tercapainya tujuan-tujuan yang dicantumkan dalam Undang-undang ini dan peraturan-peraturan pelaksanaannya serta tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional.

Pasal 3
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan masyarakat adat setempat adalah masyarakat yang tata kehidupannya berdasarkan atas kebiasaan dan keagamaan, termasuk juga lembaga-lembaga masyarakat yang bersifat sosial religius.[]