Ilmu Jiwa Dalam Sejarah Islam

Oleh: Hasanul Rizqa | Sumber: Ilmu Jiwa dalam Sejarah Islam

Abu Zaid al-Balkhi (850-934 M) merupakan sarjana Muslim yang berkontribusi besar dalam bidang psikologi. – (DOK REPRO BUKU Abu Zayd al-Balkhis Sustenance)

Di antara nasihat al-Balkhi yang terkenal ialah, “Kematian adalah keniscayaan. Janganlah engkau takut padanya. Jika engkau takut pada apa yang akan terjadi setelah kematian, perbaikilah dirimu sebelum kematian menjemputmu. Takutlah akan perbuatan-perbuatan jahat (yang engkau lakukan), bukan pada kematianmu!”

Pada masa kini, disiplin yang mengkaji aspek jiwa manusia disebut sebagai psikologi. Menurut Prof Ulfiah dalam buku Psikologi Konseling: Teori dan Implementasi (2020), kata psikologi berasal dari bahasa Yunani, yakni gabungan antara psyche yang berarti ‘jiwa’ dan logos, ‘ilmu’.

Maka, secara harfiah psikologi adalah ilmu jiwa. Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan psikologi sebagai ‘ilmu yang berkaitan dengan proses mental, baik normal maupun abnormal, dan pengaruhnya pada perilaku’. Pengertian lainnya, psikologi merupakan ‘ilmu pengetahuan tentang gejala dan kegiatan jiwa’.

Akan tetapi, Ulfiah mengatakan, gambaran yang presisi tentang jiwa tidak dapat dipastikan. Sebab, tidak ada seorang pun mengetahui secara detail tentang apa sejatinya jiwa itu. Maka dari itu, psikologi tidak mempersoalkan tentang apa itu jiwa. Disiplin ini mempelajari gejala-gejala atau fenomena kejiwaan.

Dalam sejarah keilmuan Barat, psikologi sesungguhnya dapat dilacak sejak zaman para filsuf Yunani Kuno, semisal Plato atau Aristoteles. Kedua guru-murid itu memandang, manusia merupakan kombinasi antara raga dan jiwa. Yang terakhir itu lebih mulia daripada yang terdahulu.

Sebab, jiwa lebih bersifat abadi dan transenden, sedangkan jasad selalu temporal dan profan. Khususnya bagi Aristoteles, jiwa manusia lebih mulia dibandingkan tanaman dan hewan karena esensinya adalah penalaran.

Setidaknya hingga abad ke-20, psikologi dalam tradisi keilmuan Barat masih dikaitkan dengan filsafat. Barulah sesudah itu, disiplin tersebut cenderung independen dengan menerapkan metode-metode yang ilmiah-empiris. Dengan demikian, psikologi diharapkan dapat memenuhi syarat sebagai sebuah sains modern.

Setidaknya hingga abad ke-20, psikologi dalam tradisi keilmuan Barat masih dikaitkan dengan filsafat.

Pelbagai aliran psikologi (Barat) pun bermunculan. Misalnya, aliran behaviorisme, psikoanalisis, kognitif, humanis, dan neurobiologis. Guru besar psikologi Islam Prof Abdul Mujib mengatakan, dalam perkembangannya kemudian disiplin tersebut menjadi sasaran banyak kritik.

Sebagai contoh, untuk aliran yang meletakkan basis pada kerja-kerja biologis di otak. Psikologi pun dianggap tidak lagi berbasis pada jiwa, melainkan otak. Bahkan, menurut akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu, pandangan materialistis-positivistik seperti itu menjadi arus utama dalam psikologi.

“Sekarang itu, kalau kita baca produk-produk psikologi, sulit ditemukan kata-kata atau terminologi psiko (psyche). Karena, sekarang psikologi tidak belajar lagi mengenai mindpsyche, tapi lebih mempelajari perilakunya. Jadi, psikologi sekarang bukan lagi ilmu jiwa, melainkan ilmu perilaku,” tutur Abdul Mujib kepada Republika beberapa waktu lalu.

Krisis semacam itu agaknya lebih jarang terdengar dari tradisi keilmuan Islam. Pemahaman Barat melakukan sekularisasi terhadap jiwa agar entitas itu dapat didekati secara “ilmiah”. Sementara, Islam memiliki sumber informasi yang tepercaya mengenai jiwa. Dari Alquran dan hadis, begitu banyak keterangan tentang entitas tersebut. Itulah yang menjadi pegangan para psikolog atau ahli jiwa Muslim.

Epistemologi yang dipakai psikologi—menurut Islam—tidak hanya mengandalkan yang empiris, tetapi juga metaempiris. Gangguan jiwa, umpamanya, tidak melulu dikaitkan dengan kondisi saraf atau otak seseorang.

Dalam pandangan Islam, apabila orang itu terlalu mencintai dunia (hubbud-dunya), maka ia bisa dikatakan sedang terganggu jiwanya. Agar menjadi normal lagi, jiwa manusia pun mesti kembali ke kondisi tenang dan tenteram, yang dapat ditempuh melalui penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah.

Jejak sejarah

Dr Syamsuddin Arif dalam artikelnya, “Psikologi Dalam Islam” (2009) menjelaskan corak-corak pendekatan yang muncul di sejarah Islam dalam memahami jiwa manusia.

Pertama, pendekatan Alquran-Sunnah. Menurut cara ini, keterangan tentang jiwa manusia merujuk pada dalil-dalil dari sumber ajaran Islam. Salah seorang sarjana yang menggunakan metode ini ialah Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (wafat 1350 M).

Dalam kitabnya, Ar-Ruh, murid Ibnu Taimiyyah itu menerangkan tentang nasib jiwa ketika seseorang telah meninggal. Berdasarkan pembacaannya atas ayat-ayat kitab suci dan hadis Nabi SAW, jiwa atau ruh seorang yang wafat dapat merasakan siksa atau nikmat kubur sekalipun jasadnya sudah hancur.

Kedua, pendekatan filsafat. Arif mengatakan, ancangan tersebut muncul seiring dengan maraknya penerjemahan naskah-naskah Yunani Kuno ke bahasa Arab. Peradaban Islam sejak abad ke-10 sangat gencar mengumpulkan dan menelaah pelbagai teks ilmu pengetahuan dari luar Arab. Tidak hanya Yunani, tetapi juga India, Cina, dan lain-lain.

Mulai masa itu, para sarjana Muslim yang menaruh perhatian pada masalah jiwa turut mengomentari pandangan filsafat Yunani Kuno. Mereka bahkan banyak dipengaruhi oleh teori-teori jiwa, semisal dari Plato dan Aristoteles.

Menurut Arif, hal itu tidak mengherankan. Sebab, Aristoteles memang seorang filsuf yang kerap mengupas aneka persoalan jiwa manusia dengan sangat logis dan teperinci. Teori-teorinya tertuang dalam karyanya, De Anima dan Parva Naturalia. Adapun gurunya, Plato, menjadi pemikir pertama yang tercatat dalam sejarah mengajukan teori tentang tiga aspek mental manusia: rasional, hewani (persepsi), dan vegetatif (nutrisi).

Hingga usainya era keemasan Islam, banyak filsuf Muslim yang terinspirasi dari Aristoteles dalam menelaah persoalan jiwa. Sebut saja, Ibnu Miskawaih, Abu Bakar ar-Razi, Ibnu Rusyd (Averroes), dan Abu Barakat al-Baghdadi. Mereka semua memiliki kesamaan pandangan tentang jiwa, yakni sebagai entitas yang paling signifikan dalam diri manusia. Tanpa jiwa, manusia tak berarti apa-apa.

Ketiga, pendekatan sufistik. Arif memaparkan, kaum sufi menjelaskan tentang jiwa manusia berdasarkan pada pengalaman spiritual. Dibandingkan dengan psikologi para filsuf yang terkesan sangat teoritis, lanjut akademisi Universitas Darussalam Gontor itu, apa yang ditawarkan para sufi lebih praktis dan eksperimental. Beberapa nama salik yang dapat digolongkan sebagai tokoh ancangan ini ialah Al-Hakim at-Tirmidzi (wafat 898 M), Abu Thalib al-Makki (wafat 996 M), dan Imam al-Ghazali (wafat 1111 M).

Dalam karya monumentalnya, Ihya Ulm ad-Din, al-Ghazali menjelaskan bagaimana jiwa manusia dapat dilanda pelbagai gangguan, seperti iri hati, waswas, keserakahan, dan sebagainya. Sebagai contoh, sifat dengki bisa merasuki jiwa siapapun, baik orang fasik maupun saleh.

Pemicu yang memunculkannya, antara lain, ialah fanatisme. Dengan berjiwa fanatik terhadap tokoh, golongan, atau pendapat tertentu, seseorang akan cenderung memandang yang-berbeda dengan sebelah mata alias merendahkan atau bahkan mengejek.

Prof Raghib as-Sirjani dalam buku Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia memaparkan, Islam pun berkontribusi besar dalam memajukan dunia psikologi. Peradaban Islam-lah yang pertama memiliki rumah sakit, termasuk rumah sakit jiwa.

Ratusan tahun sebelum masyarakat Eropa mengenal institusi pelayanan kesehatan mental, Dinasti Abbasiyah telah membuka rumah-rumah sakit yang khusus menangani pasien dengan gangguan kejiwaan. Pada 705 M, di Baghdad diketahui telah berdiri sebuah rumah sakit jiwa. Di sanalah, para dokter dan psikolog Muslim mengamalkan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya.

Masih pada awal abad kedelapan Masehi, peradaban Islam yang bersemi di Afrika Utara pun tak kalah menakjubkannya. Di Kota Fes, Maroko, sebuah rumah sakit jiwa didirikan. Begitu pula dengan Kota Kairo, Mesir, tepatnya pada 800 M. Setelah itu, pada tahun 1270 M, Kota Damaskus dan Aleppo (Halab), Suriah, juga mulai memiliki rumah sakit jiwa.

Pada 705 M, di Baghdad diketahui telah berdiri sebuah rumah sakit jiwa. Di sanalah, para dokter dan psikolog Muslim mengamalkan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya.

Sebagai perbandingan, Inggris baru mulai memiliki rumah sakit jiwa pada 1831 M. Namanya adalah Middlesex County Asylum yang berlokasi di Hanwell, sebelah barat London. Pemerintah setempat mendirikannya setelah muncul desakan dari publik, yang mengerucut pada disepakatinya aturan Madhouse Act pada 1828. 

Belajar dari sejarah, perkembangan keilmuan psikologi di Barat dan Islam pun hendaknya dijembatani satu sama lain. Dalam hal ini, Syamsuddin Arif menilai, masih banyak khazanah psikologi Islam yang perlu diselami dan disebarluaskan ke masyarakat.

Memang, ia mengakui, ada pelbagai kendala untuk mewujudkan upaya-upaya demikian. Sebut saja, syak wasangka terhadap dunia intelektual Islam di satu sisi yang kerap luput dipandang daripada Barat. Kedua, dan mungkin yang lebih parah, ialah fanatisme terhadap psikologi modern (Barat). Padahal, seperti sudah dijelaskan di atas, dunia keilmuan Barat pun dilanda krisis. Terkait psikologi, terasa bahwa ilmu jiwa ini justru tidak ada (membahas) jiwa.

“Psikolog Muslim tinggal memilih, mau terus-terusan merujuk Freud, Skinner, Maslow, Ellis, dan sebagainya, atau belajar dari para ahli psikologi Islam?” tanyanya retoris.

Psikolog Muslim tinggal memilih, mau terus-terusan merujuk Freud, Skinner, Maslow, Ellis, dan sebagainya, atau belajar dari para ahli psikologi Islam.

Sang Perintis Psikologi Islam

Abu Zaid al-Balkhi (850-934 M) merupakan salah satu tokoh dalam sejarah psikologi. Pemilik nama asli Ahmad bin Sahl itu sesungguhnya adalah seorang pakar multidisiplin ilmu pengetahuan (polymath). Bagaimanapun, jasanya dalam bidang ilmu jiwa begitu signifikan. Dialah yang disebut-sebut sebagai perintis psikologi Islam.

Cendekiawan Persia itu menulis banyak karya, di antaranya adalah Masalih al-Abdan wa al-Anfus. Di dalamnya, ia memperkenalkan istilah terapi kesehatan jiwa (thibb ar-ruhani). Menurutnya, pengobatan yang hanya berfokus pada kondisi fisik tidaklah cukup. Seorang dokter atau ahli medis juga perlu memperhatikan aspek mental atau kejiwaan pasien.

Dalam masa sekarang, topik yang diusung sang cendekiawan Muslim itu kerap disebut sebagai psikosomatis. Ini merupakan kondisi ketika suatu penyakit fisik yang muncul diduga disebabkan atau diperparah oleh kondisi mental seseorang. Di antara gejala-gejala psikosomatis adalah jantung yang berdebar-debar, sesak napas, dan nyeri pada seluruh tubuh.

Rihlah yang dijalani al-Balkhi hingga menjadi ahli ilmu jiwa bermula sejak dini. Seperti tampak dari namanya, lelaki ini lahir di wilayah Balkh—kini termasuk Afghanistan. Ayahnya merupakan seorang guru. Demi mendukung kesuksesan anaknya, sang bapak pun mengirimkannya ke pelbagai syekh untuk menimba ilmu.

Hingga akhirnya, al-Balkhi merantau ke Baghdad. Selama delapan tahun, dirinya belajar dan bekerja di pusat Negeri Abbasiyah tersebut. Waktu itu, Abbasiyah sedang mengalami kekacauan politik dan sosial. Bahkan, wilayah kekhalifahan ini menyusut hingga menyisakan Baghdad dan sekitarnya.

Bagaimanapun, al-Balkhi tidak begitu terpengaruh oleh kondisi negara yang carut-marut. Dirinya tetap dengan tekun menuntut ilmu, melanjutkan tradisi intelektual Islam.

Melalui Masalih, ia mengkritik dunia kedokteran di masanya yang cenderung memusatkan perhatian pada penyakit fisik pasien. Padahal, menurutnya, banyak orang yang dirawat di rumah sakit pun mengalami gangguan kejiwaan.

Malahan, ia mengajukan hipotesis, penyakit fisik patut diduga mempengaruhi kondisi kognitif dan kejiwaan si pasien. Pun berlaku sebaliknya: keadaan psikis seseorang yang terganggu bia menyebabkannya rentan terserang penyakit (fisik).

Al-Balkhi menjadi yang pertama mendeteksi perbedaan antara neurosis dan psikosis. Ia pun yang pertama kali merintis terapi kognitif dalam rangka mengkaji pengelompokan gangguan penyakit ini. Ilmuwan tersebut mengelompokkan penyakit mental-kejiwaan ke dalam empat bagian, yaitu ketakutan dan fobia (al-faza); agresi dan amarah (al-ghadab); kesedihan dan depresi (al-jaza); serta obsesi (was was al-sadr).

Sebagai contoh, untuk mengatasi al-jaza, seorang tabib dapat menerapkan terapi internal dan eksternal. Internal berarti, si pasien didorong untuk menanamkan pikiran-pikiran positif yang bisa menangkal kesedihannya.

Umpamanya, menguatkan keyakinannya bahwa kematian orang yang dikasihinya adalah takdir Allah SWT yang mengandung hikmah tertentu. Adapun terapi eksternal dapat dilakukan dengan memberikan nasihat atau membuka obrolan persuasif dengannya.

Di antara nasihat al-Balkhi yang terkenal ialah, “Kematian adalah keniscayaan. Janganlah engkau takut padanya. Jika engkau takut pada apa yang akan terjadi setelah kematian, perbaikilah dirimu sebelum kematian menjemputmu. Takutlah akan perbuatan-perbuatan jahat (yang engkau lakukan), bukan pada kematianmu!”

Antara Retorika dan Logika

Sunday, 18 September 2011

Dalam salah satu milis, ada yang menulis seperti ini (saya kutip), “Law enforcement begitu penting dalam menegakkan pemerintahan yang bersih. Permasalahannya adalah penegak hukum kita juga tidak bersih selama penegak hukum masih tunduk pada pemerintahan yang korup. Seharusnya penegak hukum tidak bertanggung jawab pada pemerintah, namun langsung bertanggung jawab kepada rakyat.” Jika disambung dengan pepatah Latin vox populi, vox dei (suara rakyat, suara Tuhan), maka langsung terjawablah permasalahan Republik Indonesia yang kata sebagian orang sedang carut-marut (awas, bukan: karut-marut) ini.

Sederhana dan mudah sekali kedengarannya. Alangkah baiknya kalau aparat (polisi) bisa bertanggung jawab langsung kepada Tuhan atau rakyat. Bukan ke pemerintah yang korup. Tapi kalau polisi harus melapor kepada Tuhan, polisi harus melapor ke Tuhan yang mana? Dimana? Tuhan agama A beda perintahnya dari agama B. Sekte X beda dari sekte Y.

Ada kalanya Tuhan menyuruh potong tangan pencuri atau tidak melarang poligami, melarang cerai, atau melarang makan makanan tertentu, tetapi ada kalanya Tuhan menyuruh mengampuni dan melarang poligami, tetapi membolehkan bercerai dan membebaskan umatnya mau makan apa saja. Kalau ikuti Tuhan A, umat B tidak senang, kalau ikut Tuhan B, rakyat A marah.

Di Afghanistan, Tuhan diwakili Taliban, maka orang tidak berjanggut bisa digantung dan janda dengan beberapa anak bisa mati kelaparan karena diharamkan wanita keluar rumah tanpa muhrim, termasuk untuk mencari nafkah sekalipun.

Di sisi lain, rakyat mana yang dimaksud? Partai Demokrat juga rakyat. PDIP, PKB, PKS, PKI dan PKL (pedagang kaki lima) juga rakyat. LSM, polisi, Pol PP, bahkan SBY dan SWS (Sarlito Wirawan Sarwono) juga rakyat. Aparat harus ikut yang mana? Melapor ke siapa? Di zaman komunis, rakyat diwakili oleh Partai Komunis. Faktanya ketika itu, di Moskow ada jalur khusus di jalan raya (sejenis busway) yang tidak boleh dilewati oleh orang lain, kecuali para kamerad pimpinan partai (yang juga korup). Di Kamboja, Jenderal Lon Nol membunuhi ribuan orang tanpa dosa (killing field). Dan di Indonesia, kekuasaan PKI berakhir dengan peristiwa G-30-S.

Dalam bahasa Yunani, kata-kata yang sangat menawan dan bisa membuat orang langsung percaya disebut rhetorikós atau dalam bahasa Ingggrisnya rethorics dan jika dibahasaindonesiakan menjadi: retorika (awas, bukan: erotika!). Yang artinya adalah seni berbicara untuk meyakinkan orang lain. Kalau kita dengar berbagai talk show di televisi, ketika para pakar berdebat tentang macam-macam hal, mulai dari kasus Bank Century sampai tewasnya istri penyanyi Saipul Jamil (sehingga DPR perlu memanggil Menteri PU), rata-rata para pembicara juga hanya menyampaikan retorika- retorika.

Sebagai contoh, apa yang bisa dilakukan oleh anggota-anggota DPR dalam menginvestigasi kecelakaan lalu-lintas yang menewaskan istri Saipul Jamil, sementara mereka sama sekali tidak menguasai perihal teknis perlalulintasan? Akhirnya dibentuk pansus ini, pansus itu, tetapi ujung-ujungnya NATO (no action talk only) semua.

Gorgias, salah satu tokoh aliran filsafat Sophisme (wisdom, bijaksana) dari era Yunani Kuno (485–380 SM) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki kemahiran retorika bisa meyakinkan orang lain dalam bidang apa saja, terlepas dari pengalaman dan keahliannya sendiri dalam bidang itu. Ibaratnya tukang jual obat tidak usah sekolah kedokteran untuk melariskan obatnya yang digelar di alun-alun.

Dan memang, kemahiran retorika ini diperlukan untuk meyakinkan massa yang masih bloon agar mereka bisa diajari tentang wisdom (yang di masa itu artinya adalah ilmu pengetahuan dan etika). Tapi Plato, seorang filsuf senior di masa itu (423–347 SM), menuding kaum Sophis menyalahgunakan retorika karena yang disampaikan bukanlah kebenaran atau wisdom (kebijaksanaan) yang sesungguhnya, melainkan kebohongan semata yang bertujuan untuk menggalang opini massa ke pihaknya. Dalam istilah sekarang: pembohongan publik (artinya: publik dibohongi, bukan: kebohongan publik yang artinya: publik berbohong).

Namun, di sisi lain, Aristoteles (384–322 SM), murid Plato, tidak sependapat dengan gurunya. Menurut Aristoteles, retorika tetap baik dan dibutuhkan untuk mendidik orang lain, khususnya awam, asalkan didasarkan pada logika, yaitu suatu cara menguji kebenaran dengan mengikuti hukum-hukum berpikir tertentu, yang dinamakan silogisme.

Dalam ilmu psikologi di Indonesia, misalnya, yang boleh dibilang sebagai “biang” bidang kreativitas adalah Prof. Dr. SC Utami Munandar (almarhumah). Tapi kalau awam mendengar ceramah beliau, rata-rata tertidur semua (kecuali para mahasiswanya, yang harus menyimak agar bisa lulus ujian).

Sementara itu yang jauh lebih terkenal dalam bidang kreativitas justru Kak Seto. Walaupun Seto Mulyadi adalah seorang doktor psikologi, murid dari Prof. Utami Munandar, tetapi kalau dia berceramah selalu dicampur dengan sulap, slides dengan gambar-gambar lucu, boneka-boneka, dan lagu-lagu yang dinyanyikannya sendiri dengan iringan organ tunggal. Dijamin tidak ada orang yang tertidur kalau Kak Seto berceramah, padahal isi ceramahnya setali tiga uang dengan isi buku-bukunya Bu Munandar.

Begitu juga salesman, pendeta atau khotib, ilmuwan, apalagi politisi. Tanpa bisa beretorika, maka mereka akan lebih banyak tinggal di kantor atau laboratorium masing-masing: meneliti, menulis, ikut rapat-rapat, dan suaranya mungkin saja didengar oleh kalangan tertentu, tetapi sangat terbatas, tidak bisa meluar, apalagi jadi selebritas.

Politisi yang ahli retorika dan sekaligus selebritas adalah Bung Karno. Setiap tanggal 17 Agustus semasa beliau jadi presiden, Bung Karno berpidato di Istana Negara selama 2–3 jam dan didengarkan oleh rakyat seluruh Indonesia lewat RRI.

Mbok Parto, pembantu keluarga istri saya ketika dia (istri saya) masih anak-anak (belum ketemu idolanya), sejak subuh sudah berdandan dan naik becak dari Grogol (rumah keluarga istri saya) ke Lapangan Merdeka (sekarang Monas) untuk mendengarkan pidato Bung Karno.

Suaranya menggelegar, naik-turun, menghipnosis pendengarnya (yang awam semua). Judul-judul pidatonya juga seru-seru seperti “Jasmerah” (Jangan Melupakan Sejarah) dan “Tavip” (Tahun Vivere Pericoloso). Maka saat rakyat disuruh menyerbu Irian Barat (Trikora) dan mengganyang Malaysia (Dwikora), ya semua taat, siap, dan bersemangat. Hidup Bung Karno! Hiduuup …! Yang orang Jawa bahkan menambahkan, “Pejah gesang nderek Bung Karno!” Artinya, “Mati atau hidup, ikut Bung Karno!” (Gesang di sini bukan nama pencipta lagu Bengawan Solo).

Tapi sejarah membuktikan bahwa retorika Bung Karno, yang tidak didukung oleh perhitungan logika yang akurat dan tepat (logistik, kekuatan militer, keuangan negara, dll), berujung dengan kebangkrutan negara. Tidak jauh berbeda dengan retorikanya George Bush ketika dia mengajak rakyat Amerika Serikat untuk memerangi Irak yang dituduhnya menyimpan senjata biologis yang sangat berbahaya (yang tidak terbukti sampai sekarang). Akibatnya, hari ini Amerika Serikat hampir bangkrut.

Celakanya, awam itu lebih percaya pada retorika daripada logika. Termasuk retorika yang sama sekali tanpa logika pun lebih dipercaya daripada logika itu sendiri. Ibaratnya disuruh menjatuhkan SBY pun rakyat hayuuuh saja walaupun argumentasinya cuma teriakan “Allahu Akbar!” Tapi bagaimana nanti setelah SBY? Siapa nanti yang akan dijadikan atau menjadikan dirinya penguasa?

Kalau SBY yang dipilih rakyat saja bisa dijatuhkan secara inkonstitusional, apakah presiden- presiden berikutnya yang naik daun karena revolusi tidak bisa digulingkan juga? Fakta sejarah membuktikan bahwa sekali terjadi kudeta, maka kudeta-kudeta berikut akan menyusul dan dalam waktu yang semakin rapat. Ini semua tidak dipikirkan, dibahas, apalagi dianalisis. Pokoknya, “Allahu Akbar! Gulingkan SBY! Vox populi,vox dei.”

SARLITO WIRAWAN SARWONO – Guru Besar Fakultas Psikologi UI

http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/428775/38/