Pokok-Pokok Paparan untuk ICDN (Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional)
Waktu/Tempat: Sabtu, 19 November 2022/Aula Golden Christian School
Penyunting: Andriani SJ Kusni
1. Tentang Salam
Barangkali ucapan selamat begini lebih membumi. Saya juga tidak menggunakan ucapan yang disebut “Salam Dayak” versi MADN dan DAD “adil katalino, bacuramin ka saruga, baséngat kaju bata”, karena saya anggap yang disebut salam itu bukan salam tapi kalimat. Untuk mengetahui salam Dayak sebenarnya, kita dituntut melakukan penelitian atau riset.
Seberapa jauh dan seberapa sungguh-sungguh kegiatan riset telah dilakukan di provinsi yang kurang lebih mempunyai 31 lembaga pendidikan tinggi ini? Pekerjaan Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional (ICDN) tentunya tidak akan luput dari riset. Riset, bukan hanya survey sambil lalu yang dilakukan dua tiga hari atau seminggu. Di Kalteng sangat banyak yang seniscayanya diteliti.
2. Terima Kasih kepada ICDN
Niscaya saya sampaikan terima kasih kepada ICDN, secara khusus kepada sohib saya Elisae Sumandie, yang telah mengajak saya dalam seminar bertema penting ini.
Di tahun-tahun awal ICDN berdiri, saya pernah mencoba datang ke Bétang Pak Willy, ingin tahu dan melihat kemungkinan untuk serta dalam diskusi persiapan. Barangkali karena penampilan saya terlalu sederhana, saya diterima dengan acuh dan dingin. Saya paham bahwa di negeri ini penampilan fisik merupakan hal yang pertama-tama orang perhatikan. Kemudian saya pergi dengan senyum di hati. Undangan serta dalam seminar ini merupakan suatu kehormatan bagi saya.
Sebenarnya banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan ICDN, mulai dari visi-misi, program-programnya guna melaksanakan visi-misi, ICDN dan politik, ICDN dan hari esok Orang Dayak dan Tanah Dayak, ICDN dan difusi ide, ICDN dan riset, dll.
Dalam hal ini, saya tertarik dengan The Habibie Center (sekarang dipimpin oleh teman saya, seorang sastrawan Bugis Andi Makmur Makka, orang kepercayaan Habibie), sebagai sebuah lembaga yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan cukup berhasil dan berkelanjutan. Barangkali pengalaman The Habibie Center ada gunanya dipelajari seperti juga pengalaman Orang Minangkabau, Flores, Batak, dll.
Tentang visi-misi yang dapatkan di TOR Kegiatan hari ini, saya melihat ada campur-aduk antara visi dan misi yang tidak menjadi topik.
3. Tunjung Nyahu sebagai Filosofi Kecendekiawanan Dayak
Sekalipun tidak tergabung dalam ICDN, saya mengikuti dengan penuh perhatian semua kegiatan ICDN lebih daripada kegiatan-kegiatan partai politik, karena ICDN dari namanya mengatakan bahwa ia adalah organisasi para cendekiawan–khususnya cendekiawan Dayak.
Cendekiawan bagi saya lebih dari lulusan sekolah tinggi atau orang sekolahan. Lulusan sekolah tinggi belum tentu cendekiawan. Seorang cendekiawan adalah seorang peragu, penanya dan pencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Riset merupakan salah satu cara cendekiawan mengenal keadaan dan bahan penting baginya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan.
Sharif Shaary, dramawan Malaysia terkenal, mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu. Ia berkata:
“Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan… seorang cendekiawan adalah pemikir yang senantiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat.”
Sharif Shaary menegaskan bahwa seorang “cendekiawan” bukan hanya sekadar berpikir tentang kebenaran tetapi harus menyuarakannya, apapun rintangannya. Seorang cendekiawan yang benar tidak boleh netral dan harus memihak kepada kebenaran dan keadilan. Dia “tidak boleh menjadi cendekiawan bisu, kecuali dia betul-betul bisu atau dibisukan”.
Jika betul-betul bisu, seorang cendekiawan masih dapat bertindak dengan menyatakan pikiran melalui penulisan yang akhirnya akan sampai juga kepada khayalak ramai. Inilah yang dikatakan cendekiawan bisu yang tidak bisu. Sebaliknya, terdapat cendekiawan yang tidak bisu tetapi bisu. Dia menjadi bisu mungkin karena “dia takut atau berkepentingan”.
Cendekiawan palsu akan mengelabui mata dan pikiran rakyat dengan kebenaran palsu melalui penyelewengan fakta dan pernyataan keliru. Cendekiawan palsu banyak menggunakan retorika kosong (lihat: Faizal Yusup, Bicara tentang Mahathir, Pekan Ilmu Publications Sdn Bhd (2004). ISBN 983-2567-30-0).
Dalam filosofi Dayak Ngaju, kedudukan dan peran cendekiawan sebagaimana dituturkan oleh Sharif Shaary disebut sebagai “tunjung nyahu” (cahaya kilat di ketinggian) yang kemudian cahaya tersebut menerangi alam sekitar.
Berangkat dari konsep demikian maka para pendiri Provinsi Kalimantan Tengah berjuang mendirikan Universitas Palangka Raya (UPR) dengan harapan UPR bisa menjadi “Otak Kalimantan”, “Otak Kalteng”(wawancara dengan T. T. Suan, Palangka Raya, 2019). Barisan cendekiawan ‘Tunjung Nyahu’ jadinya merupakan tipe cendekiawan yang dibayangkan akan terbentuk oleh para pendiri Kalteng ketika UPR dibentuk.
Adakah cendekiawan tipe demikian di dalam sejarah Tanah Dayak Kalteng?
Saya melihat cendekiawan tipe demikian terdapat pada Hausmann Baboe–lulusan Sekolah Raja Bogor–pendiri Sjarikat Dajak 1919 yang kemudian pada 1926 berganti nama menjadi Pakat Dajak. Hausmann Baboe-lah yang mengkoreksi kesalahan-kesalahan Pertemuan Tumbang Anoi 1894–titik hitam dalam sejarah Dayak–baik secara teori maupun praktek. Sayangnya, tokoh kebangkitan Dayak ini kurang mendapat perhatian.
Sejarah mengatakan bahwa kunci kemajuan dan kemunduran terletak pada kualitas sumber daya manusia. Pada kualitas manusia daerah, etnik atau bangsa itu. Kualitas manusia, peran penting manusia ini dalam era revolusi industri 4.0 dan atau masyarakat 5.0 tetap berada posisi menentukan daripada teknologi atau mesin. Mesin diciptakan dan dikontrol oleh manusia.
Tentang hal ini, melalui riset mereka, Andrean F. Winaka dan Arlyta Dwi Anggraini sampai pada kesimpulan sbb:
“Untuk menghadapi revolusi industri 4.0, ada beberapa keahlian yang dibutuhkan agar dapat sukses dalam menghadapi dinamika dunia kerja yang terus berubah. Empat keahlian utama yang yang dibutuhkan untuk menghadapi industri 4.0. itu adalah:
Pertama, kita harus memiliki keterampilan informasi, media, dan teknologi. Dengan istilah lain, kita harus melek teknologi. Yang dimaksud dengan keterampilan informasi, media, dan teknologi meliputi literasi media, keaksaraan visual, literasi multikultural, kesadaran global, dan literasi teknologi.
Kedua, keterampilan belajar dan berinovasi yang meliputi kreativitas dan keingintahuan, pemecah masalah (problem solving), dan pengambil resiko. Ketiga, terampil dalam hidup dan belajar seperti memiliki jiwa kepemimpinan dan bertanggung jawab, memiliki nilai etis dan moral, produktivitas dan akuntabilitas, fleksibilitas dan adaptasi, sosial dan lintas budaya, inisiatif dan mengarahkan diri.
Keempat, memiliki kemampuan dalam berkomunikasi yang efektif seperti mampu bekerja dalam tim dan berkolaborasi, memiliki tanggung jawab pribadi dan sosial, dalam berkomunikasi harus interaktif, memiliki orientasi nasional dan global” (https://indonesiabaik.id/infografis/keterampilan-untuk-hadapi-revolusi-industri-40).
Bagaimana kualitas lulusan dari kurang lebih 31 lembaga pendidikan tinggi Kalteng? Sudahkah menjadi “Otak Kalimantan” dan “Otak Kalteng”?
Jawabannya terdapat pada data: 2009 di antara 28-30 orang penduduk Kalteng yang 2,5 juta terdapat seorang (1) lulusan universitas atau pendidikan tinggi. Sekarang tentu perbandingannya sudah lain lagi. Boleh jadi 15:1 atau 10:1. Apakah Kalteng maju melesat? Kalau tidak, maka pasti ada masalah di dunia pendidikan kita.
Kalau cendekiawan sebagaimana dikatakan oleh Sharif Shaary “adalah pemikir yang senantiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu”, apakah cendekiawan Dayak Kalteng berciri demikian ataukah terpenjara dalam instanisme? Saya khawatir, cendekiawan atau orang sekolahan kita lebih cenderung bangga pada kertas ijazah tapi kepala dan pengetahuan kosong.
Bukanlah kebetulan apabila gelar akademi seseorang terkadang lebih panjang dari pada nama diri, lebih-lebih di negeri-negeri atau daerah-daerah yang sedang berkembang–wujud lain daripada lebih mengutamakan bentuk atau penampilan daripada isi sebagaimana pengalaman saya pertama kali datang ke bétang Pak Willy seperti saya tuturkan di atas.
4. Guru, Generasi Muda dan Era Revolusi Industri 4.0
Saya mulai dari Revolusi Industri 4.0. Apakah Revolusi Industri 4.0?
Dimulai Sejak Revolusi Industri 1.0
Penemuan mesin uap pada abad ke-18 yang dipakai untuk proses produksi barang menandai revolusi industri 1.0. Inggris memanfaatkan mesin uap tersebut untuk meningkatkan produktivitas industri tekstil dengan menjadikannya sebagai alat tenun mekanis. Ini menjadi akhir untuk peralatan kerja yang awalnya bergantung pada tenaga hewan dan manusia.
Revolusi industri 1.0 ini membuat bangsa Eropa mampu mengirim kapal perang ke semua lokasi di dunia dalam waktu yang lebih singkat. Dampaknya berlanjut sampai pencemaran lingkungan karena asap mesin uap dan limbah-limbah pabrik lainnya.
Revolusi Industri 2.0
Terjadi pada awal abad ke-20, revolusi industri 2.0 ditandai oleh penemuan tenaga listrik. Mobil mulai secara massal diproduksi pada akhir tahun 1800-an. Masalah kendala waktu dalam proses merakit satu mobil yang harus dilakukan seorang perakit mobil dari awal hingga akhir terselesaikan saat muncul revolusi “lini produksi” yang memanfaatkan “ban berjalan” di tahun 1913. Ini mempermudah proses produksi karena tidak lagi butuh satu orang untuk merakit satu mobil karena mereka dilatih menjadi spesialis yang fokus mengurus satu bagian saja.
Revolusi Industri 3.0
Manusia masih punya peran penting dalam produk produksi barang hingga revolusi industri 2.0. Ini berubah setelah revolusi industri 3.0, abad informasi dimulai dengan munculnya mesin yang bisa bergerak dan berpikir sendiri, yaitu: komputer dan robot.
Revolusi Industri 4.0
Klaus Schwab selaku Ketua Eksekutif World Economic Forum (WEF) adalah orang yang untuk pertama kalinya memperkenalkan revolusi Industri 4.0. Dalam perkenalannya, revolusi ini disebut akan secara fundamental mengubah hidup dan kerja manusia. Dibanding pendahulunya, revolusi industri ini punya ruang lingkup, skala, dan kompleksitas lebih luas.
Sejumlah bidang yang memanfaatkan teknologi baru untuk membuat terobosan adalah:
- Robot kecerdasan buatan
- Teknologi nanoB
- Bioteknologi
- Teknologi komputer kuantum
- Blockchain
- Teknologi berbasis internet
- Printer 3D
Apa Itu Industri 4.0
Untuk mengetahui apa itu industri 4.0, Anda bisa mencari pengertiannya menurut para ahli. Secara sederhana, revolusi industri 4.0 merupakan era industri yang memungkinkan seluruh entitas di dalamnya untuk saling berkomunikasi kapan saja secara real time dengan memanfaatkan teknologi internet (dikenal dengan istilah IoE-internet of everything). Kemudahan ini mendorong tercapainya kreasi nilai baru.
Contoh penerapan revolusi industri 4.0 yang sudah terlaksana di Tanah Air adalah kebijakan e-smart Industri Kecil dan Menengah (IKM). Kebijakan tersebut membantu para pelaku usaha untuk secara lebih masif dapat mempromosikan produk mereka di platform digital.
Apa Itu Society 5.0
Semua kemajuan dan perubahan yang dibawa revolusi industri 4.0 mungkin membuat banyak orang merasa tidak ada revolusi lagi yang bisa terjadi. Namun, pikiran itu musnah setelah muncul era Society 5.0, sebuah konsep yang dihadirkan oleh Federasi Bisnis Jepang. Konsep yang sudah diusulkan dalam 5th Science and Technology Basic Plan ini dijadikan masyarakat masa depan yang harus dicita-citakan oleh Negeri Matahari Terbit ini.
Sederhananya, era society 5.0 bertujuan untuk mengintegrasikan ruang maya dan ruang fisik. Integrasi tersebut dilakukan untuk membuat semua hal menjadi lebih mudah. Keseimbangan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial dengan memanfaatkan sistem yang sangat mengintegrasikan kedua hal tersebut membuat semua hal menjadi mudah, terutama memperluas prospek kerja.
Perbedaan Mendasar antara 4.0 dan 5.0
Dari penjelasan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa secara garis besar, perbedaan mendasar antara 4.0 dan 5.0 adalah fakta bahwa revolusi industri 4.0 fokus pada aspek melakukan pekerjaan secara otomatis. Sementara itu, era society 5.0 lebih menekankan pada perluasan prospek kerja serta mengoptimalkan tanggung jawab jam kerja dalam menyelesaikan pekerjaan. Sama-sama bertujuan untuk menyejahterakan kehidupan manusia, namun dengan pendekatan yang berbeda (https://onlinelearning.binus.ac.id/2021/05/23/sejarah-revolusi-industri-4-0-dan-bedanya-dengan-society-5-0/).
Inti masalah terletak pada hubungan antara manusia dan teknologi. Akan sangat berbahaya bagi kehidupan apabila teknologi canggih berada di tangan manusia yang tidak berhati nurani atau bernurani cacat. Sehingga di era apapun, termasuk di era Revolusi Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0, manusia yang manusiawi tetap menjadi soal sentral bagi kehidupan umat manusia. Teknologi adalah salah satu sarana untuk memanusiawikan kehidupan.
Angkatan muda yang sekarang disebut Angkatan Milleniale, dulu disebut “pemuda harapan bangsa”, mereka tidak bakal menjadi harapan bangsa jika mereka hanya bersandar pada penguasaan teknologi tapi pandangan dan sikapnya tidak manusiawi. Era apapun, hati yang manusiawi dan keterampilan yang mumpuni adalah paduan yang tetap relevan. Angkatan milleniale yang nuraninya tidak manusiawi hanya akan menjadi ancaman bagi bangsa, etnik atau daerah itu.
Tugas para pendidik, baik itu guru, orang tua, berbagai macam organisasi, pemuka masyarakat atau agama adalah bagaimana melahirkan angkatan muda yang manusiawi dan berketerampilan mumpuni.
Untuk menjadi pendidik yang baik, tentu dari para pendidik itu dituntut kualitas tertentu yang padan. Sebab “buah jatuh tak jauh dari pohon”, ujar pepatah. Tuntutan ini lebih-lebih terarah kepada para guru yang profesinya memang mengajar. Guru adalah panutan. Apabila guru kencing berdiri maka murid akan kencing berlari.
Sekali lagi, sentral permasalahan tetap terletak pada pembentukan manusia yang manusiawi. Transfer pengetahuan tanpa pembentukan karakter manusiawi akan membuat peserta didik akan jadi tukang-tukang ahli. Sedangkan yang kehidupan perlukan adalah manusia yang manusiawi dan ahli.
Yang disebut ‘ahli’ adalah ‘mereka yang tahu segala tentang sesuatu dan tahu sesuatu tentang segala’. Keahlian begini tentu saja tidak bisa disandarkan pada mesin pencari Google saja. Agaknya pembentukan manusia yang manusiawi, berkarakter manusia tapi juga berkeahlian mumpuni merupakan masalah yang muncul menantang para pendidik, terutama para guru.
Selain manusiawi dan ahli, manusia yang ingin dibentuk adalah anak manusia yang zamani tapi tidak lepas akar sejarah dan budaya di mana ia berasal.
Singkatnya, manusia yang ingin dibentuk oleh para pendidik adalah yang manusiawi, ahli dan zamani. Sayangnya, di Kalteng di antara 31 lembaga pendidikan tinggi yang ada, tidak satupun yang punya jurusan atau prodi sejarah dan antropologi sehingga tidak sedikit Uluh Kalteng bahkan Uluh Itah yang tidak tahu sejarah daerah dan etniknya sendiri sehingga terancam menjadi angkatan tanpa sejarah atau paling tidak buta sejarah dan tidak tahu apa-siapa dirinya. Adanya amnesia millenial pun bukan ilusioner.
Secara kebudayaan, Kalteng dan Dayak adalah daerah dan etnik yang sedang sakit. “The sick old man”, ungkapan yang sering digunakan oleh para sejarawan.
Untuk bisa mengasuh peserta didik secara tidak lepas akar sejarah dan budaya, para pendidik dengan sendirinya perlu tahu sejarah dan budaya setempat. Tanpa pengetahuan demikian, para pendidik (baca: guru) akan membawa peserta didik ke alam antah-berantah. Guru pun jadinya dituntut menjadi ahli dan berkarakter pendidik.
5. Trilogi Manusia Dayak Ideal
Sastra lisan Dayak Kalteng mengenal Trilogi Manusia Dayak Ideal. ‘Trilogi’ artinya ketiga-tiga unsur itu tidak bisa dipisah-pisahkan karena merupakan satu kesatuan. Pemisahannya akan membawa hasil lain.
Trilogi itu adalah mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh (gagah-berani, pintar-beradat, kritis-tekun). Kritis di sini bisa dimaknai sebagai berpikir dan bertindak out of the box, atau beyond the main stream. Melawan arus.
Saya kira, trilogi ini masih relevan sampai hari ini, termasuk untuk era Revolusi Industri 4.0 dan atau Society 5.0.
6. Kearifan Lokal
Dalam upaya melahirkan dan membentuk Manusia Dayak Ideal, materi acuan penting adalah kearifan lokal.
Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat local wisdom atau pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat local genious, Fajarini (2014:123). Berbagai strategi dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menjaga kebudayaannya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Alfian (2013: 428). ‘Kearifan lokal’ diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta sebagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan mereka (https://eprints.umm.ac.id/35955/3/jiptummpp-gdl-irawansatr-48429-3-babiip-f.pdf).
Saya tidak memandang semua yang disebut kearifan lokal itu arif dan niscaya dipertahankan.
Ada yang bahkan perlu dikubur. Agar bangsa, etnik atau daerah itu bisa berkembang zamani maka perlu dilakukan dua pemaduan: pemaduan tradisi baik dengan hal-hal positif dari mana pun datangnya. Seleksi pemaduan dilakukan berdasarkan keperluan dan standar zaman.
7. Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal Kalimantan Tengah
BAB II Kurikulum Mulok, Pasal 6 menyebut bahwa mulok meliputi 12 kearifan lokal berupa:
- Bahasa dan sastra daerah
- Kesenian daerah
- Keterampilan dan kerajinan daerah
- Adat-istiadat dan hukum adat
- Sejarah lokal
- Teknologi lokal
- Lingkungan alam/ekosistem
- Obat-obatan Tradisional
- Masakan tradisional
- Obat-obatan tradisional
- Olahraga tradisional
- Nilai budaya lokal dalam perspektif global
Jam untuk mata pelajaran mulok sangat terbatas yaitu hanya dua jam per minggu. Yang terpokok adalah bahasa dan sastra daerah dan sejarah lokal. Yang lain dijadikan bagian dari kegiatan ekstra kurikulum atau pendidikan jasmani.
Belajar bahasa sama dengan belajar budaya, adat-istiadat, hukum adat, dll. Bagi Uluh Kalteng non Dayak niscaya belajar bahasa Dayak dan sejarah Kalteng. Demikian juga bagi PNS non Dayak.
8.Saran
- Standarisasi penulisan bahasa Dayak Ngaju;
- Peraturan tentang penggunaan bahasa Dayak pada hari-hari tertentu seperti yang dilakukan oleh Riban sewaktu menjabat Walikota Palangka Raya;
- Penggunaan bahasa Dayak untuk hal-hal publik di kantor-kantor dan tempat-tempat publik;
- Musik Dayak di kantor-kantor;
- Penerbitan-penerbitan dwi bahasa: Dayak dan Indonesia
Terima kasih
Palangka Raya, 19 November 2022
Kusni Sulang