Apakah Adat dan Apa Pula Kebudayaan?*

Radar Sampit, Minggu, 19 Maret 2023

Oleh: Sita Rohana | Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

Jika kita ingin melestarikan budaya, kita harus terus menciptakannya.
–          Johan Huizinga

Salah satu bentuk kebudayaan Flores (https://floresku.com/read/jika-ke-labuan-bajo-jangan-lupa-jelajah-kampung-budaya-compang-toe-melo-desa-liang-ndara).

Adat dalam Pengertian Melayu

Berikut ini adalah gambaran mengenai adat di kalangan orang Rimba (dikutip dari Steven Sager, 2008):

Sejak dir’i bumi setumpang tijak
langet solebor payung,
adat nenek puyong kito,
hidup, mati, do posko posko jugo nang dopakos yah
 
(Sejak bumi sekecil tapak [kaki]
dan langit selebar payung
adat nenek-moyang kita
hidup, mati, jadi pusaka)
 
Maknanya, adat diwariskan oleh nenek-moyang, pusaka yang harus selalu dipegang sebagai pedoman atau pegangan sepanjang hidup dikandung badan.
 
Hatop, belangit
lantoi, begebun
Iyoi, kami adat Rimba
 
(Atap langit
berlantai kebun
Iya, inilah adat Rimba kami)
 
Kalu balok rimba kami, maju kiamat
Kalu pemer’intah tetap kami de dusun
bunuh adat nenek puyong kami, bunuh hidup kami
Samo lah, bunuh hidup kami
Adat kini sodah bebeda jedi,
kami deri nenek puyong dulu duduk de rimba
sampoi putoi patah leher kami, piado endok ikut hidup de dusun
 
(Kalau rimba kami ditebang, kiamatlah
kalau pemerintah paksa kami tinggal di dusun
bunuh adat nenek-moyang kami, bunuh hidup kami
Sama dengan membunuh kami
Adat kini sudah berbeda
Kami sedari nenek-moyang dulu tinggal di rimba
Sampai putus-patah leher, kami tak kan hidup di dusun)

Adat Orang Rimba mencakup alam lingkungan tempat hidup mereka, rimba. Rimba dalam arti tempat dan ruang. Tanah rimba tempat kaki berpijak. Langit biru menaungi. Udara yang mereka hirup berasal dari rumput basah, semak belukar dan dedaunan dari pepohonan. Karenanya, kalau rimba ditebang berarti kiamat, akhir kehidupan mereka.

Bagi Orang Rimba, kiamat sedang berlangsung. Luasan rimba telah tercabik. Bagai paru-paru yang berlubang, kemampuannya untuk bernafas pun terancam. Perubahan lingkungan ini akan membawa pada kebinasaan kehidupan Orang Rimba beserta adatnya. Apabila Orang Rimba dijauhkan dari rimba, maka adat rimba pun akan menghilang.

Dari kutipan di atas tergambar bahwa ada upaya pemerintah untuk “memaksa” mereka keluar dari hutan. Relokasi masyarakat adat merupakan program yang sejak tahun 1970-an dijalankan. Tujuannya untuk menyejahterakan masyarakat adat, yang dianggap sebagai kelompok tertinggal. Namun, karena program ini tidak dirancang dengan memperhatikan kebutuhan masyarakat adat sendiri, program ini justru seringkali membuat masyarakat adat semakin terpuruk. Sebagaimana Orang Laut di Kepulauan Riau yang “dipaksa” untuk menjalani kehidupan daratan, akhirnya hidup sebagai kelompok masyarakat miskin. Dan, yang lebih mengenaskan, adat yang berkaitan dengan lautan lepas pun kemudian hilang karena tidak punya relevansi lagi dengan kehidupan baru yang mereka jalani. Apabila Orang Rimba harus hidup di kampung-kampung, maka tradisi dan adat rimba mereka pun akan menghilang.

Apakah adat itu?

Di dalam semua kamus yang memberikan keterangan tentang asal (etimologi) suatu kata, disebutkan bahwa kata ‘adat’ berasal dari bahasa Arab, adah. Di dalam semua kamus bahasa Melayu, baik yang ekabahasa (tradisinya dimulai oleh Raja Ali Haji pada paruh kedua abad ke-19 lewat bukunya yang berjudul Kitab Pengetahuan Bahasa Melayu Johor-Riau), maupun yang dwibahasa (seperti kamus bahasa Melayu-Belanda, bahasa Melayu-Inggris, bahasa Melayu-Italia, sampai ke bahasa Indonesia-Prancis), kata ‘adat’ tidak pernah dijelaskan dengan arti tunggal dan ringkas. Keragaman arti suatu kata dalam sebuah kamus lazimnya menandakan kata itu bersifat konseptual, dengan penggunaan yang subur dan multi-dimensional dalam suatu kebudayaan.

Di dalam kamus berjudul Nieuw Maleisch-Nederlandsch Woordenboek met Arabisch Karakter (Kamus Baru Bahasa Melayu-Belanda dengan Huruf Arab) yang mulai disusun Klinkert tahun 1860-an, kata ‘adat’ dijelaskan berpanjang-lebar, sampai hampir 300 kata. Kamus Klinkert ini dianggap sebagai kamus Melayu-Belanda yang paling berwibawa di lingkungan pengkaji alam Melayu di Eropa dan Asia era kolonial.

Di dalam kamus dwibahasa lainnya, A Malay-English Dictionary (Romanised), Kamus Melayu-Inggris dalam huruf Latin yang disusun Wilkinson mulai akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, kata ‘adat’ memerlukan sekitar 450 kata penjelas. Sama dengan kamus Melayu-Belanda Klinkert, kamus Wilkinson ini dianggap sebagai kamus Melayu-Inggris yang paling komprehensif di zamannya.

Benang merah pengertian kata ‘adat’ dalam kamus-kamus itu dan kamus-kamus bahasa Melayu lainnya (termasuk kamus bahasa Indonesia), adalah ‘hukum’. Pusaran arus makna kata ‘adat’ berada di ranah: hukum alam, hukum buatan manusia, dan kelaziman sosial. Ketiga ranah hukum itu maujud ke dalam sebutan-sebutan kategoris: ‘adat sebenar adat’, ‘adat yang diadatkan’, dan ‘adat istiadat’.

‘Adat sebenar adat’, secara luas merujuk kepada kepastian dan keniscayaan alamiah: adat air itu cair, api itu panas, buah jatuh tak jauh dari pohonnya, dan seterusnya. Pada tahap awal, hukum atau dalil yang seperti itu diperoleh manusia dari penyimakannya terhadap alam fenomena. Setelah Islam merasuki religiusitas sebagian besar Alam Melayu, ‘adat sebenar adat’ mengalami proses konfirmasi dengan wahyu yang diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. ‘Adat sebenar adat’ dalam bahasa Islam adalah segala sesuatu yang bersifat sunatullah.

‘Adat yang diadatkan’, ialah hukum buatan manusia, produk politik untuk menata dan mengendalikan perkembangan hasrat, tindakan, dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan sesama, dengan dunia konkrit, dan dengan metafisik. Sebagai hukum, ia wujud dalam bentuk aturan yang dirumuskan ‘pucuk jala pumpunan ikan’ yaitu para elit dalam suatu kelompok sosial seperti raja, datuk-datuk dan pucuk-pucuk adat, dan lain-lain. Setelah Islam menjadi anutan umum di alam Melayu, aturan-aturan tersebut dirujukkan ke syari’at: hukum yang dirumuskan dari wahyu, yang penerapannya diteladankan oleh Muhammad Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Sebagai produk politik, ‘adat yang diadatkan’ baru memperoleh legitimasi bila sesuai dengan syari’at Islam seperti tergambar dari ungkapan “adat bersendi syara’, syara’ bersendi kitabullah”.

‘Adat istiadat’ pula, ialah kebiasaan sosial yang tumbuh dan berkembang dari keinginan memberi keistimewaan pada titik-titik tertentu dalam siklus kehidupan individu dan sosial. Di tanah Melayu, ia disebut ‘adat yang teradatkan’ dan wujud dalam aneka bentuk serta susunan upacara dan semua kegiatan yang kini kita sebut tradisi masyarakat.

Pengertian tersebut terangkum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dalam penjelasan mengenai lema adat: 1. aturan (perbuatan dsb) yg lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala: menurut – daerah ini, laki-lakilah yg berhak sbg ahli waris; 2. cara (kelakukan dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; kebiasaan: demikianlah –nya apabila ia marah; (pd) –nya; 3. wujud gagasan kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma hukum, dan aturan yg satu dng lainnya berkaitan menjadi suatu sistem.

Pengertian adat seperti di atas sering tidak dipahami oleh peneliti Barat. Marsden (2013: 255) dalam bukunya Sejarah Sumatra yang ditulis pada akhir abad ke-18, mengatakan bahwa tidak ada istilah lokal yang jelas merujuk pada hukum. Ia mengatakan bahwa penyelesaian berbagai sengketa berpedoman pada adat istiadat yang diwariskan secara turun-temurun yang isinya dibuat berdasarkan peristiwa yang telah terjadi atau kesepakatan umum. Sementara bila ada permasalahan yang belum pernah terjadi di masa lalu, mereka akan merundingkan penyelesaiannya.

Tulisan Marsden ini menyiratkan tidak adanya hukum yang tegas sebagaimana perspektif hukum Barat. Bahkan ia menyebut sistem peradilan berdasar adat ini sebagai “cacat”. Sejalan dengan pandangan tersebut, Gubernur Jenderal Inggris, Mr. Hastings, kemudian memerintahkan penyusunan hukum formal di seluruh wilayah Sumatra kepada pejabat Kompeni dengan bantuan penduduk lokal yang berpengalaman dan kompeten. Inti dari ilustrasi ini adalah bahwa bagi orang Melayu, adat adalah pedoman hidup, di dalamnya ada aturan yang harus dipatuhi dan sanksi bagi pelanggarnya. Dalam makna ini, adat adalah hukum.

Kebudayaan dalam Perspektif Antropologi

Bagian ini membahas mengenai keterkaitan antara konsep adat yang telah dibahas di atas dengan konsep kebudayaan. Hal ini dikarenakan sering terjadi tumpang-tindih dan salah-tafsir mengenai kedua kata di atas.

Para peneliti, khususnya antropolog, turun ke lapangan dengan membawa konsep “kebudayaan”. Sementara, kata ini asing bagi orang Melayu. Tulisan ini berusaha untuk mencari pijakan bagi istilah “kebudayaan” untuk mendapatkan padanan yang paling pas dalam pengertian Melayu. Setidaknya dapat membawa konsep akademis agar lebih membumi.

Salah satu definisi yang paling sering dirujuk mengenai kebudayaan adalah dari Koentjaraningrat (2000: 181). Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan berasal dari kata budhayah dalam bahasa Sanskerta yang merupakan bentuk jamak dari buddhi yang berarti budi atau akal dalam bahasa Indonesia. Jadi, budaya adalah “daya budi” yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Sedangkan kebudayaan adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu. Dalam antropologi, budaya dan kebudayaan memiliki substansi yang sama. Definisi mengenai kebudayaan ini dijabarkan sebagai keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar.

Definisi di atas dikembangkan dari definisi E. B. Taylor (dalam Koentjaraningrat, 2000) yang mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat.

Sementara itu, Clifford Geertz (dalam Koentjaraningrat, 2000) mengatakan bahwa kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsi-konsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik yang dengan cara ini manusia dapat berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan dan sikapnya terhadap kehidupan.

Ketiga definisi ini menjabarkan konsep kebudayaan sebagai kompleks gagasan yang menjadi pedoman hidup, terkandung di dalamnya pengertian tata cara, aturan, dan hukum dalam bentuk yang khas dan disepakati bersama, serta telah melewati proses pewarisan dari generasi ke generasi.

Dengan demikian, pengertian adat sebagaimana dijabarkan dalam bagian awal tulisan ini sejalan dengan pengertian mengenai kebudayaan dalam perspektif antropologi. Walaupun seringkali dalam implementasinya, fokusnya sedikit berbeda. Adat lebih banyak ditafsirkan sebagai hukum. Misalnya dalam Pokok-Pokok Adat Pucuk Jambi Sembilan Lurah yang diterbitkan oleh Lembaga Adat Provinsi Jambi pada tahun 2001. Dalam buku pedoman ini, adat dijabarkan sebagai hukum. Di dalamnya ada aturan dan sanksi bagi pelanggarannya. Aturan ini mencakup perkara hukum perdata maupun pidana. Hukum adat ini, di antaranya adalah Induk Undang Yang Lima, Pucuk Undang Yang Delapan, dan Anak Undang yang Dua Belas bersumber pada ketentuan hukum Islam.

Sementara, kebudayaan dalam perspektif antropologi tidak hanya berkenaan dengan aturan dan sanksi, melainkan mencakup representasinya dalam ketiga wujud kebudayaan yaitu: ide atau gagasan, tindakan, dan budaya materi. Dalam kerangka ini, hukum hanya bagian dari wujud kedua yaitu tindakan. Ketiga wujud kebudayaan ini yang paling mendasar yaitu ide atau gagasan karena di sinilah terletak landasan konseptual dari keseluruhan tindakan manusia diatur dalam pola-pola yang telah disepakati bersama dan yang menghasilkan budaya materi yang khas.

Meskipun ada perbedaan fokus dalam implementasinya, baik adat maupun kebudayaan sama-sama mengandung makna yang merujuk pada kekhasan suatu kelompok masyarakat. Dengan kata lain, keduanya merujuk pada identitas suatu kelompok yang membedakannya dari kelompok lainnya.

Semoga dengan tulisan ini, konsep lokal seperti adat dapat menjadi konsep yang bersifat akademis. Tinjauan akademis mengenai kebudayaan masyarakat semestinya berangkat dari konsep-konsep lokal sehingga pengertiannya dapat sedekat mungkin sesuai dengan yang dimaksudkan.***

* Judul dari Redaksi


Pertanyaan untuk Pemerintah Provinsi, Kota dan Kabupaten di Kalimantan Tengah

Andriani SJ Kusni

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan telah diterbitkan oleh Pemerintah  pada 29 Mei 2017. Undang-Undang tersebut menetapkan sepuluh (10) obyek pemajuan kebudayaan yaitu: (1) Tradisi lisan; (2) Manuskrip; (3) Adat-istiadat; (4) Ritus; (5) Pengetahuan tradisional; (6)  Teknologi tradisional; (7) Seni; (8) Bahasa; (9) Permainan rakyat, dan (10) Olahraga tradisional.

Sehubungan dengan amanat Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan ini, yang ingin saya tanyakan yaitu langkah-langkah konkret apa yang sudah dilakukan oleh pemerintah provinsi, kota dan kabupaten untuk melaksanakan amanat Undang-Undang tersebut?

Dalam upaya pemajuan ini, dalam twitternya yang dipostingkan pada 26 Juni 2017, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) menulis bahwa “Setiap warga negara dapat berperan aktif dalam pemajuan kebudayaan”. Dapat tentu saja berbeda dengan wajib. Pertanyaan saya: Apakah penyelenggara negara tingkat provinsi, kota dan kabupaten mendorong dan mendukung secara konkret warga negara yang secara berprakarsa dan konkret melakukan pemajuan kebudayaan? Seberapa jauh penyelenggara negara melibatkan para pekerja budaya setempat dalam upaya pemajuan kebudayaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut?

Kemudian, Kemdikbud RI (lihat infografis teserta) juga berbicara tentang pokok-pokok pikiran kebudayaan kabupaten/kota dan provinsi, kemudian tentang strategi kebudayaan dan rencana induk pemajuan kebudayaan.

Tentu akan menggembirakan apabila pemerintah kabupaten/kota dan provinsi menyebarluaskan pokok-pokok pikiran kebudayaan, strategi kebudayaan dan rencana induk pemajuan kebudayaan dari pemerintah kabupaten/kota dan provinsi sehingga warga Kalimantan Tengah mengetahuinya. Saya tidak  melihat alasan rasional bahwa  pokok-pokok pikiran kebudayaan, strategi kebudayaan dan rencana induk pemajuan kebudayaan pemerintah itu bersifat rahasia dan membahayakan jika disebarluaskan.

Rubrik Kebudayaan Harian Radar Sampit ini akan gembira turut serta menyiarkan pokok-pokok pikiran kebudayaan, strategi kebudayaan dan rencana induk pemajuan kebudayaan pemerintah daerah itu. Kami tunggu!***


Kusni Sulang-Andriani SJ Kusni

Jurnal Perdesaan Kusni Sulang | Ketika Léwu Berkembang Menjadi Desakota

Radar Sampit, Minggu, 12 Maret 2023

Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

Ujian terakhir dalam cara membangun peradaban ideal yang mendorong perilaku ideal manusia adalah dengan berani melihat melampaui jenis kelamin, warna kulit, asal etnis, perbedaan agama, dan perbedaan kelas untuk menemukan dan menghormati nilai setiap individu yang unik. Asli: The ultimate test on the way to establishing an ideal civilization encouraging ideal human behavior was to look bravely beyond gender, color, ethnic origin, religious difference, and class distinctions to discover and honor the value of each unique individual.
—        Aberjhani

Kita begitu cemas memikirkan masa depan, sampai-sampai kita mengabaikan masa kini, sehingga kita tidak benar-benar hidup di masa kini maupun di masa depan.
—        Paulo Coelho, Penulis dari Brazil 1947- (in: “Seperti Sungai yang Mengalir”)

Karaoke, tempat hiburan yang terletak di ujung Desakota Jakatan Raya. (Foto/Dok.: Kusni Sulang/2023)
Pasar Desakota Jakatan Raya. Foto/Dok.: Kusni Sulang /2023
Losmen Tunggal Jaya di Desakota Jakatan Raya (Foto/Dok.: Kusni Sulang/2023
Riam antara Desakota Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya. Foto/Dok.: Kusni Sulang/2023

Dalam  upaya mengembangkan Sakula Budaya mulai dari daerah perdesaan, saya dan teman-teman menjadi bolak-balik ke Linau, sebuah desa di dekat Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng).

Desa Linau, Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya terletak di tepi sungai yang sama yaitu Sungai Rungan sehingga kalau difoto dari udara agak sulit membedakan mereka dengan segera sebagaimana tidak gampang membedakan apakah itu hutan-rimba atau kebun karet atau rotan.

Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya adalah dua ‘desa’ yang terletak berhadap-hadapan berada di kedua tebing Sungai Rungan. Keduanya disambungkan oleh sebuah jembatan kecil selebar kurang lebih satu meter. Sementara, Desa Linau terletak di hulu, bisa dicapai dalam 20 menit bermobil.

Jalan menuju Desa Linau, beraspal tanpa lubang sehingga perjalanan bisa berlangsung tanpa kesulitan. Keadaan menjadi lain ketika sudah memasuki desa, apalagi pada saat atau sesudah hujan. Perbedaan keadaan  antara ‘desa’ Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya (yang berarti ‘tempat pertemuan yang ramai’), mulai dari keadaan fisik hingga ke segala bidang kehidupan.

Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya, saya sebutkan desa di antara tanda kutip sebab  saya dapatkan Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya–ibukota Kecamatan Rungan–mempunyai ciri-ciri yang tidak terdapat di daerah perdesaan sekitar, seperti di Desa Linau misalnya.

Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya walaupun masih mempunyai ciri-ciri daerah perdesaan tapi yang dominan adalah tanda-tanda kelengkapan sebuah kota. Karena itu, kedua tempat ini saya namakan desakota–bentuk permukiman yang banyak saya dapatkan di Kalimantan Tengah dewasa ini.

Bahkan ada ibukota kabupaten di di provinsi ini yang sesungguhnya belum bisa disebut sebuah kota, tapi baru berada pada taraf desakota.

Perkembangan hipotesa ini saya lihat juga di desa-desa seperti Karanganom, Jatinom dan kecamatan-kecamatan lain di Jawa Tengah (Jateng) di mana saya dibesarkan.

Desa Karanganom, Jatinom, dan lain-lain, tentu berbeda dengan kota-kota di Solo, Yogyakarta dan Klaten. Tapi sekalipun demikian, desakota-desakota tersebut mempunyai jalan-jalan yang beraspal (pada tahun 60-an, desa-desa dihubungkan oleh jalan tanah setapak), andong (kalau di Kalimantan Tengah, budaya sungai dan perahu) mulai diganti oleh sepeda motor dan mobil, mempunyai pasar dan toko-toko sebagai pusat kegiatan ekonomi (termasuk toko-toko alat bangunan), terhubungkan dengan jaringan internet dan telepon genggam, universitas tertentu mulai membuka cabang-cabangnya, mempunyai dokter dan apotik, rumah-rumah nampak kokoh sebagaimana layaknya orang tinggal menetap (sédentaire), budaya lokal mulai tergerus, para remaja mengenakan pakaian-pakaian dan berdandan ala kota yang mereka sebut sebagai ‘modern’, berbahasa pun menggunakan kosakata-kosakata yang mereka anggap sesuai zaman seperti guys, you, pergaulan muda-mudi mulai lebih leluasa, konsumerisme, hedonisme mulai dominan, dan lain-lain. Yang tidak terdapat adalah gedung-gedung kesenian atau tempat pertunjukan.

Apa yang saya lihat di desakota-desakota di Jawa Tengah, saya dapatkan kembali di Desakota Tumbang Jutuh dan Desakota Jakatan Raya dan tempat-tempat lain di Kalimantan Tengah.

Adanya perusahaan-perusahaan besar swasta (PBS) yang menyerbu Kalimantan Tengah secara masif sejak tahun 1970-an sesuai kebijakan politik dan ekonomi penyelenggara Negara (apalagi pembisnis dan politisi telah menjadi satu), menjadikan sebab pembeda penting dengan keadaan di desakota-desakota di Jawa Tengah.

Desa-desa di Kalimantan Tengah umumnya di kepung oleh PBS-PBS, entah itu HPH ataukah tambang dan perkebunan kelapa sawit. Invasi masif PBS-PBS ini, paling akhir adalah Pogram Food-Estate yang menimbulkan berbagai dampak negatif.

Tanah garapan pada tahun 2009 hanya tersisa 20 persen (penjarahan tanah ini terus berlangsung sehingga luas tanah garapan pun kian menyusut), konflik agraria terjadi dan tak selesai-selesai hingga hari ini, lapangan kerja pun menyempit terutama bagi Orang Dayak yang tidak biasa memburuh. Kegiatan-kegiatan PBS-PBS juga menyebabkan kerusakan berat terhadap lingkungan. Boleh dikatakan bahwa di antara 11 sungai besar di Kalimantan Tengah, tidak ada satupun yang bebas merkuri dan kerusakan serta tetap bisa dikonsumsi seperti sediakala. Air bersih merupakan masalah urgen mendesak.

Kalau saya perhatikan, yang dominan, apalagi di pasar Desakota Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya, bukanlah Orang Dayak, tetapi orang-orang Banjar dan Jawa. Sejak berlangsungnya invasi masif PBS, komposisi demografis provinsi ini telah berubah secara drastis. Kalimantan Tengah sudah tidak lagi menjadi Provinsi Dayak seperti yang pernah dikatakan oleh Dr. Mubyarto (alm.).

Perubahan komposisi demografis ini  berdampak pada bidang-bidang kehidupan lain termasuk dalam soal keadilan gender. Perempuan dipandang tak ubah ibarat baju. Dikenakan kalau perlu, dibuang saat dianggap tak lagi diperlukan.

Dalam kondisi begini, kawin kontrak dan atau nikah siri menjadi jamak. Saya bertanya-tanya pada diri, apakah perkawinan semacam ini bisa disebut sebagai pelacuran terselubung atau nama lain dari pelacuran model baru? Yang jelas, sependek pengetahuan saya sebagai anak damang Katingan Hilir, pada masa penjajahan Belanda dan masa awal berdirinya Republik Indonesia, hal begini dahoeloe tidak pernah terjadi sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal hukum adat Dayak berbagai Daerah Aliran Sungai (DAS). Saya tidak memandangnya sebagai suatu kemajuan yang dibawa serta oleh invasi PBS.

Desakota tumbuh dari desa memang seiring dengan invasi PBS tersebut. Di samping itu, kehadiran PBS ini membuat perdagangan narkoba, kekerasan dan pelacuran berkembang. Para pekerja PBS memerlukan doping ketika melakukan kerja fisik yang berat dan hal tersebut mereka dapatkan dari narkoba. Narkoba dan perdagangannya berada tidak jauh dari kekerasan dalam berbagai bentuk serta pelacuran baik terbuka maupun terselubung. Adanya karaoke, sebagai tempat hiburan dalam arti luas di ujung Desakota Jakatan Raya (di Kecamatan Manuhing Raya terdapat di Pasaré), tentu bukan kebetulan sebab “orang hidup tidak hanya dari dan untuk roti” (we live not for bread alone), tulis seorang sastrawan Rusia.

Di desakota-desakota di Jawa Tengah, tempat hiburan terbuka seperti ini belum pernah saya dapatkan. Benar bahwa warga desa memerlukan hiburan, tapi di Jawa Tengah mereka menggelar ketoprak dengan lakon-lakon antara lain diambil dari cerita-cerita wayang.

Kehausan akan hiburan begini, saya lihat benar ketika paman saya, Tiyel Djelau alm., membuka pasar di Kéréng Pangi, Kasongan, Katingan puluhan tahun silam. Para penambang emas terbuka di Kereng Pangi, berduyun-duyun datang dan berdangdut ria hingga larut malam. Apakah keadaan begini tidak seyogyanya membangkitkan niat untuk menggalakkan kegiatan-kegiatan hiburan sehat di perdesaan? Pelestarian budaya lokal niscayanya tidak sebatas ucapan formal standar, tapi perlu langkah-langkah konkret. Melalui kegiatan-kegiatan hiburan, kita semai nilai-nilai manusiawi dalam menyertai perubahan desa menjadi desakota–suatu perkembangan yang nampaknya ke depan akan terus berlanjut.

Guna memenuhi keperluan akan hiburan ini, di Desakota Jakatan Raya berlangsung pasar malam selama beberapa pekan. Seperti biasa, pada kesempatan ini para pedagang kecil membuka lapak dan berlangsung berbagai pertunjukan. Lagu-lagu Jawa diperdengarkan. Tapi tidak saya dengar adanya lagu-lagu Dayak. Tentu saja saya tidak berkeberatan apapun lagu-lagu Jawa atau daerah manapun diperdengarkan karena dengan cara demikian berbagai etnik bisa saling tukar budaya dan mengapa tidak kemudian saling serap.

Yang mau saya angkat di sini adalah masalah pasar malam dengan segala acara pertunjukannya sebagai sarana penyebaran budaya dan ide yang terkandung. Masalahnya di sini adalah pertahanan budaya Orang Dayak. Kalau pertahanan mereka tidak kuat, mereka akan tenggelam dan mencampakkan budaya mereka sendiri. Kalau kuat, maka apa yang dari luar itu bisa mereka jadikan acuan dalam mengembangkan budaya zamani mereka sendiri sehingga keragaman menjadi satu hal positif.

Hal-hal positif dari luar, melalui dua pemaduan, pemaduan hal-hal baik dari khazanah budaya yang sudah ada dengan hal-hal baik dari mana saja hanya akan efektif jika pertahanan budaya kita kuat. Jika tidak, kita akan menjadi epigon belaka dan atau tenggelam.

Apakah pertahanan budaya Orang Dayak cukup kuat? Tetua Desa Linau mengkhawatirkan budaya Dayak setempat makin tergerus karena itu mereka menyambut hangat adanya Sakula Budaya Bétang Tarung yang diselenggarakan di desa mereka.[**]


Kusni Sulang- Andriani SJ Kusni

Sakula Budaya Bétang Tarung: Langkah Pertama di Jalan Panjang Menuju Dayak Zamani

Radar Sampit, Minggu, 5 Maret 2023

Oleh: Pebri Ayu Lestari* | Editor: Kusni Sulang | Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata letak: Danny

“Jika kita ingin melestarikan budaya, kita harus terus menciptakannya.”
—     Johan Huizinga

“Tanpa memori, tidak ada budaya. Tanpa ingatan, tidak akan ada peradaban, tidak ada masyarakat, tidak ada masa depan.”
—     Elie Wiesel

Para peserta Sakula Budaya Bétang Tarung Desa Linau, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, sedang menunggu giliran untuk memperagakan kebolehan masing-masing. Foto: Kusni Sulang/2023

Peserta Sakula Budaya Betang Tarung sedang memperagakan kebolehan main (istilah untuk seni bela diri Dayak) tingkat batarik di depan lawang saképéng. Foto: Pebri Ayu Lestari/2023

Para peserta Sakula Budaya Bétang Tarung membersihkan sampah di sekitar tempat latihan, kegiatan sederhana yang merupakan salah satu bentuk pendidikan lingkungan secara tak langsung. Foto: Pebri Ayu Lestari/2023

Saat ini, sudah sulit dijumpai generasi muda yang memiliki keterampilan bercocok tanam dan berkeinginan apalagi bertekad kuat untuk melestarikan kebudayaan dan pola interaksi dengan hutan.

Budaya warisan leluhur Dayak hanya berada di tangan generasi tua sehingga warisan tersebut berada dalam ancaman kepunahan jika tidak segera diatasi. Padahal “orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar”, tulis Marcus Garvey.

Bahaya kepunahan budaya ini, bahaya “menjadi seperti pohon tanpa akar” bukanlah sesuatu yang ilusioner di Tanah Dayak Kalteng dan  nampaknya juga dilihat serta disadari oleh pimpinan Fair Venture World Wide–sebuah lembaga yang bergerak di bidang sosial-bisnis dan di Kalimantan Tengah (Kalteng) yang melakukan penanaman kayu séngon–terutama pimpinan yang beretnik Dayak, cq. Bu Raya yang dalam hal ini namanya patut dicatat dan disebut.

Sadar akan keadaan demikian maka Fair Venture lalu berprakarsa melakukan upaya konkret dengan membuka Sakula Budaya yang pelaksanaannya dipercayakan kepada mitra lamanya, Lembaga Swadaya Masyarakarat (LSM) Borneo Institute (BIT). LSM ini kemudian menugaskan tim guna mengejawantahkan prakarsa. Saya, salah seorang yang  berada dalam tim tersebut.

Sebagai pemrakarsa dan sekaligus sponsor, Fair Venture memandang bahwa Sakula Budaya tersebut seyogyanya dimulai dengan kelas  untuk petani séngon usia 8-14 tahun. Hal ini berangkat dari pandangan bahwa anak-anak usia demikian anak-anak relatif masih bisa dibentuk sehingga merupakan angkatan yang dapat diharapkan menjadi penyelamat, penerus dan pengembang budaya Dayak–umumnya, mayoritas penduduk desa di Kalteng adalah Dayak—bisa menjadi basis sosial dan penggerak upaya menjadi Dayak Zamani.

Di satu pihak, dengan mulai dari kelas anak-anak dipandang sebagai bentuk pendekatan lebih lanjut dengan para petani séngon sehingga hubungan Fair Venture dan para petaninya bisa terjalin kian  akrab. Di sisi lain, Fair Venture menunjukkan secara nyata bahwa mereka bukan hanya menangani soal sosial-bisnis tetapi juga merambah ke bidang pendidikan dan kebudayaan. Dengan kata lain, Fair Venture menautkan konsep sosial-bisnis dengan kebudayaan dan pendidikan sesuai dengan kode etik lembaga dan makna dari gagasan sosial-bisnis itu sendiri.

Penautan ini tentu bukan saja menguntungkan para pihak yang terlibat, tetapi juga memberi manfaat kepada warga desa non petani séngon sehingga bisa menciptakan suasana sangat menguntungkan dalam bekerja dan berusaha. Tidakkah sepatutnya perusahaan-perusahaan besar (PBS) yang beroperasi di Kalteng atau di mana saja di negeri ini, seyogyanya melakukan hal begini juga, tidak hanya memburu laba sebesar-besarnya, sehingga kehadiran PBS-PBS dirasakan manfaat langsungnya oleh warga desa sekitar dalam kehidupan sehari-hari mereka?

Untuk memulai pekerjaan melaksanakan Sakula Budaya (kelas pertama, bisa disebut kelas percobaan yang  akan berakhir pada Mei 2023), pada 5-6 Desember 2022, tim berangkat ke desa-desa Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, untuk melakukan survei awal. Adapun desa-desa yang didatangi adalah Linau, Tumbang Baringei, Jangkit, Sangal dan Batu Puter.

Survei bertujuan untuk mengetahui keadaan fisik desa-desa, jumlah penduduk, kehidupan penduduk, keadaan jaringan komunikasi baik akses ke desa maupun jaringan seluler, jumlah anak-anak, kegiatan anak-anak seusai sekolah, kemampuan baca-tulis anak, intensitas anak-anak menggunakan telepon genggam, pengetahuan anak-anak tentang cerita-cerita rakyat dan sejarah desa, bentuk-bentuk kesenian yang masih hidup, siapa-siapa yang masih menguasai bentuk-bentuk kesenian tersebut, benda-benda kesenian apa yang ada di desa, dan sebagainya yang dirasa perlu.

Tentu saja, pertama-tama percakapan dimulai dengan memaparkan tujuan tim datang dan keinginan menyelenggarakan Sakula Budaya. Selanjutnya mendengarkan tanggapan warga desa. Setelah tahap ini selesai, tim melaju ke tahap berikut yaitu megumpulkan data-data sebagai bahan dalam menyusun rencana Sakula Budaya, terutama kurikulumnya. Adapun cara menggali dan mendapatkan keterangan tentang hal-hal yang diperlukan ini dilakukan melalui perbincangan langsung dengan anak-anak, orang tua anak-anak dan tetua léwu (nama desa adat di Kalteng), termasuk dengan warga desa-desa tetangga. Kenyataan bahwa tim terdiri dari orang-orang Dayak juga sangat memudahkan komunikasi dan memperoleh data sehingga untuk mendapatkan kepercayaan warga dari semua kalangan usia, hal yang bersifat kunci, tim tidak memerlukan waktu lama.

Dari survei pertama ke berbagai desa ini, tim bukan hanya mengetahui keadaan desa-desa, warga  dan anak-anak desa, tetapi juga apa yang mendesak mereka perlukan, antara lain berupa keperluan mendesak mereka akan perlindungan hukum, perlunya dibentuk kelompok paralegal di pedesaan, dan keinginan beralih status dari desa administratif menjadi desa adat, bukan lima skema perhutanan sosial. Di samping tentu saja mengharapkan Sakula Budaya bisa diselenggarakan di desa-desa mereka.

Keinginan dan harapan-harapan ini tentu saja kami catat dan sudah kami sampaikan ke pihak-pihak yang khusus menanganinya. Dalam diskusi di Palangka Raya dengan para pihak terkait itu, ke depan, pada kelas-kelas Sakula Budaya berikut, harapan-harapan dan keinginan warga desa ini bisa dimasukkan ke dalam mata pelajaran Sakula. Sakula akan berjalan baik jika mendapat dukungan dan pelibatan dari warga desa, dukungan muncul jika sesuai dengan kepentingan konkret warga. Bukan bertolak dari keinginan subyektif  pihak luar. Keinginan subyektif tidak bisa menggantikan keadaan obyektif. Untuk tahu keadaan obyektif, untuk tahu apa yang diinginkan lapisan masyarakat akar rumput dan strata-strata lainnya, diperlukan penelitian etnografis dengan metode-metode khasnya.

Menggunakan hasil survey tahap pertama ini, di samping mempertimbangkan karakter dan psikologi anak-anak usia 8-14 tahun yang masih suka bermain, maka kurikulum pun disusun. Gembira, bermain dan menyenangkan menuju ke pembentukan karakter merupakan unsur-unsur yang diperhitungkan benar dalam menetapkan kurikulum pewarisan nilai dan khazanah kebudayaan.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan demikian maka kelas pertama Sakula Budaya ini ditetapkan mata pelajaran-mata pelajaran: (1) Main; seni beladiri Dayak Kalteng. Dahoeloe, sebelum Orde Baru mengendalikan dan menguasai Indonesia, setiap anak Dayak baik lelaki ataupun perempuan harus menguasai seni bela diri agar bisa melindungi diri dari segala ancaman fisik. Sisa-sisa tradisi ini masih terlihat nyata di masyarakat Dayak berbagai daerah aliran sungai; (2)  Sastra dan musik; melalui seni karungut. Secara singkat, karungut adalah syair, bukan pantun, yang dinyanyikan dengan iringan berbagai instrumen seperti kecapi, gong, suling balawung, rebab, gendang dan kangkanong. Sampai sekarang masih populer baik di kota maupun di daerah perdesaan; (3) Sejarah dan pengetahuan umum melalui mata pelajaran bakésah (bercerita, story telling istilah populernya); (4) Kehidupan kolektif melalui tari manasai–tari rakyat yang pada masa Pemerintahan Soekarno dahoeloe oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Prijono (yang juga seorang sastrawan dengan karya utamanya MMM)  ditetapkan sebagai tari pergaulan nasional. Tari ini masih hidup di kalangan masyarakat Dayak Kalteng. Masalah lingkungan, hidup sehat, disiplin, sopan-santun, arti penting bertani, dilakukan melalui mata pelajaran-mata pelajaran utama tersebut. Tidak dijadikan item khusus.

Dengan ketersediaan tenaga, dana dan berbagai pertimbangan lain, tim memutusan bahwa Sakula Budaya  kali ini dilangsungkan hanya di satu desa yaitu Desa Linau, Kecamatan Rungan, berjarak enam jam perjalanan berkendara mobil dari Palangka Raya.

Barangkali desa ini tidak tertera di peta, tapi ia ada dengan penduduk sekitar ratusan kepala keluarga yang semuanya dari etnik Dayak. Melalui penyelenggaraan pertama ini diharapkan akan diperoleh berbagai  pengalaman berharga untuk penyelenggaraan kelas-kelas berikut, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa yang tentu saja dengan kurikulum dan metode berbeda.

Setelah kurikulum ditetapkan, pada 13-16 Januari 2023, tim kembali ke desa untuk mensosialisasikan kurikulum dan rencana sambil meminta masukan, mendaftarkan para peserta, memastikan para pengajar dan atau pelatih, meminta jadwal latihan dan atau pengajaran, memastikan tersedianya tempat dan alat-alat latihan yang diperlukan.

Selama ini dalam melakukan program pemberdayaan di daerah perdesaan, kami menerapkan prinsip tiga perpaduan yaitu bekerja sama dengan pemerintah desa, masyarakat desa dan pendamping. Prinsip tiga perpaduan ini pun diterapkan dalam menyelenggarakan Sakula Budaya.

Tim melapor dan menjelaskan kepada kepala desa (Kades) dan camat mengenai kegiatan dan rencana tim bersama warga desa sambil mengharapkan bantuan tempat latihan dan meminta Kades memberikan sambutan serta membuka secara resmi sakula pada hari dan tanggal yang ditetapkan. Permintaan ini semuanya dipenuhi oleh Kades. Bahkan pada hari-hari latihan, ia turut hadir menyaksikannya.

Yang sedikit di luar dugaan adalah jumlah anak-anak desa yang mendaftarkan diri untuk ikut serta. Mereka berdatangan untuk mendaftar. Bahkan ketika tim sudah berada kembali di Palangka Raya, sejumlah mereka mengirim WA  pendaftaran.

“Berbayar pun saya mau, asal saya bisa ikut, Ka,” tulis seorang anak.

Dibatasi oleh syarat obyektif, tim hanya mampu menerima 30 orang terdiri dari  11 orang perempuan dan 19 laki-laki kesemuanya dari Desa Linau Hilir.

Berita adanya Sakula Budaya untuk anak-anak ini lebih cepat dari angin beredar di desa-desa Kecamatan Rungan. Pertanyaan yang diajukan kepada tim, “Kapan desa kami mendapat giliran?”

Sementara warga Desa Linau Hulu memprotes, “Mengapa yang diikutsertakan hanya anak-anak dari Linau Hilir.”

Yang menjawab pertanyaan ini adalah tetua Desa Linau Hilir.

“Kami juga tidak mengira bahwa ide para ponakan dari Palangka Raya itu sungguh-sungguh terwujud. Tapi saya kira mereka akan melanjutkan sakula ini. Pada saatnya anak-anak Linau Hulu akan mendapat giliran.”

Antusiasme terhadap adanya Sakula Budaya ini tidak hanya datang dari anak-anak tetapi lebih-lebih dari pihak orang tua.

Selain merasa anak-anak mereka diurus, Sakula Budaya ini sebagaimana tertuang dalam karungut mereka, merupakan cara merawat dan mengembangkan budaya setempat. Tetua kampung sangat khawatir budaya Dayak tergerus oleh perkembangan dan keadaan daerah. Dengan kesadaran dan semangat demikian, para pelatih atau pengajar yang semuanya berasal dari Desa Linau, bekerja dengan penuh kegairahan. Tenaga-tenaga baru muncul memberikan dukungan.

Kegembiraan dan kebanggaan warga terpancar saat menyaksikan anak-anak desa mereka latihan. Barangkali mereka teringat akan kebudayaan Dayak dahoeloe, terkenang kembali akan apa yang mereka alami saat kecil diasuh oleh orang tua mereka. Latihan-latihan Sakula Budaya ini mengangkat kembali ingatan mereka.

Pentingnya ingatan begini dijelaskan oleh seorang sastrawan Israel, Elie Wiesel: “Tanpa memori, tidak ada budaya. Tanpa ingatan, tidak akan ada peradaban, tidak ada masyarakat, tidak ada masa depan.”

Pada saat ingatan ini berkembang menjadi gerakan, gerakan kebudayaan dari bawah, boleh jadi masa depan yang disebut Elie Wiesel itu mulai memperoleh bentuknya. Kebudayaan Dayak yang terancam tergerus zaman mulai menggeliat dan berkembang jika menggunakan kata-kata Freida Pinto.

Bisa berkembang karena Dayak mempunyai khazanah budaya warisan sebagai modal awal, penciptaan oleh generasi demi generasi akan melestarikan budaya tersebut dan membuatnya zamani sebab pelestarian dan zamani itu memerlukan kreativitas, merupakan satu kesatuan siklus. “Jika kita ingin melestarikan budaya, kita harus terus menciptakannya,” ujar Johan Huizinga.

Sakula Budaya yang sekarang sedang berjalan hanyalah langkah awal suatu perjalanan panjang melestarikan dan mengembangkan kebudayaan agar zamani. Sakula ini mengumpulkan kembali ingatan kolektif sebagai modal penciptaan hari ini.

Sekolah Budaya sebagai cara-model melestarikan dan mengembangkan kebudayaan lokal pada tahun 2011 pernah dilakukan oleh Borneo Culture Indonesia (BCI), Kalimantan Barat. Untuk mengembangkan keterampilan memainkan sapé, alat musik mirip kecapi di Kalteng, BCI bahkan memberikan beasiswa kepada para peserta (https://borneocultureindonesia.wordpress.com/2011 03/14/pelaksanaan-program-beasiswa-seni-budaya-bci-angkatan-i-instrumen-sape/). Sementara kawan-kawan di Papua lebih ambisius lagi. Mereka membangun Akademi Budaya Papua.

Sari pesan dari dua contoh ini adalah pelestarian dan pengembangan zamani hanya terjadi jika dilakukan dengan sistematik. Sakula adalah cara sistematik itu. Kalteng sedang memulainya dari bawah dengan karakter sendiri. Upaya ini akan cepat berkembang jika pihak penyelenggara Negara ikut turun tangan.[***]

*Penulis adalah penanggung jawab pelaksanaan Sakula Budaya Bétang Tarung Desa Linau, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah


Kusni Sulang-Andriani SJ Kusni