Begini Cara NII Menyusup ke Mahasiswa Unair
Kamis, 28 April 2011 | 07:16 WIB
TEMPO Interaktif, Surabaya – Sekretaris Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Hadi Subhan menyatakan 2 orang mahasiswanya direkrut oleh mahasiswa dari kampus lain untuk didoktrin menjadi pengikut gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Dua mahasiswa yang menjadi korban berinisial S dan E dari Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi.
Menurut Hadi, terungkapnya kedok NII berawal dari laporan teman-teman S dan E yang curiga dengan perubahan perilaku keduanya. “Dua-duanya jadi pendiam,” kata Hadi, Rabu 27 April, Pihak rektorat kemudian mengorek keterangan dari keduanya. Berdasarkan pengakuan S dan E, mereka didekati oleh mahasiswa dari kampus lain di Surabaya yang menjadi aktivis NII.
S dan E didekati ketika tengah kuliah kerja di sebuah perkampungan di Surabaya. Selanjutnya, kata Hadi, S dan E diajak ke Jakarta dan Tangerang, Banten, untuk mengikuti baiat (sumpah setia). “Tapi, mereka lupa detail tempatnya,” ujar Hadi.
Dalam proses perekrutan, kata Hadi, S dan E diminta menyetorkan uang sebanyak Rp 30 juta dengan alasan sebagai biaya dakwah NII. Untuk memenuhi permintaan itu keduanya terpaksa berkata bohong kepada orang tuanya bahwa uang tersebut untuk kebutuhan kegiatan di kampus. “Sampai-sampai ayah salah satu dari mereka menjual sapi,” tutur Hadi.
Untuk mengantisipasi terulangnya kasus serupa, pihak universitas melaporkan kejadian itu ke Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya. Hadi berharap polisi membongkar jaringan NII yang merekrut anggota dari kampus ke kampus. “Kepada korban, kami butuh waktu beberapa minggu untuk memulihkan kondisi mentalnya,” tutur Hadi.
KUKUH WIBOWO
Empat Tersangka Teroris Diduga Teman Kuliah
Kamis, 28 April 2011 | 05:50 WIB
Rumah kontarakan yang ditempati terduga teroris Fadil warga Banda Aceh, Romi alias Pepi warga Sukabumi dan Hendi alias Joko warga Bogor, di kelurahan Taman Siswa, Banda Aceh. ANTARA/Ampelsas
TEMPO Interaktif, Jakarta – Empat tersangka bom buku dan bom Serpong ternyata teman kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah, Jakarta. “Mereka suka nongkrong,” ujar sumber Tempo yang juga alumnus UIN, Kamis pekan lalu.
Mereka adalah Pepi Fernando, Muhammad Fadil, Hendi Suhartono, dan Muhammad Maulana Sani. Sebenarnya, ujar sumber yang kenal baik dengan Pepi itu, kelompok tersebut terdiri atas 6 orang. “Lainnya adalah Culik dan Tope.”
Culik–bukan mahasiswa UIN–juga menjadi salah seorang tersangka kasus ini.
Sumber Tempo menjelaskan, sebelum memutuskan menjadi sukarelawan tsunami Aceh pada akhir 2004, Pepi dan kawan-kawan hampir setiap hari selalu bersama. Di Aceh, mereka menolong keluarga Fadil yang terkena tsunami. Sepulang dari Aceh, mereka berubah berhaluan menjadi radikal, dari sebelumnya tergolong mahasiswa biasa.
“Mereka jadi suka ngomongin agama. Ya, kami sih iya-iya saja. Enggak mau ladenin,” ujar teman sefakultas Pepi. “Mungkin mereka di Aceh ikut dengan orang-orang yang enggak jelas.”
Menurut dia, Pepi sempat beberapa kali kembali ke Aceh. Pepi juga terlihat ikut pengajian orang-orang berjenggot.
Pepi alias M. Romi alias Ahyar dan Zokaw adalah tersangka utama kasus bom ini. Pepi kuliah di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Islam UIN sejak 1997 sampai 2001. Sedangkan Zokaw baru setahun setelah itu lulus dari Fakultas Ushuluddin Jurusan Filsafat.
Fadil juga menyelesaikan studinya di Fakultas Ushuluddin Jurusan Filsafat pada 2002. Mereka satu angkatan. Fadil dijerat dengan pasal membantu pendanaan serta menyembunyikan pelaku dan informasi aksi teror pada Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme. Sedangkan Maulana alias Alan alias Asaf, 34 tahun, pernah kuliah di Jurusan Sastra Arab hingga semester IV. Alan ditangkap karena ikut membuat bom bersama Pepi dan kelompoknya.
Pepi, Zokaw, dan Fadil diringkus polisi di rumah Fadil di Merduati, Kutaraja, Banda Aceh, pada Kamis subuh, 21 April lalu. Menjelang siang, tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri menggelandang mereka ke Jakarta. Sumber Tempo menuturkan, Pepi dan Zokaw lari ke Aceh setelah meletakkan bom seberat 150 kilogram di dekat pipa gas PGN tak jauh dari Gereja Christ Cathedral, Serpong, dua hari sebelumnya. Bom sudah diatur agar meledak pada Jumat, 22 April, sekitar pukul 09.00 WIB.
Deni Carmelita, 32 tahun, istri Pepi, kemarin juga menjadi tersangka. “Dia terlibat,” kata juru bicara Mabes Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar, kemarin. Deni alias Umi Najla dituduh menyembunyikan pelaku dan rencana peledakan bom Serpong. Ia bekerja sebagai staf humas di Badan Narkotika Nasional (BNN), yang juga menjadi sasaran bom buku.
Boy menjelaskan, kelompok Pepi memang semula tak radikal, tapi kemudian berubah menjadi radikal. Motif kelompok Pepi adalah jihad, sentimen keagamaan, serta kebencian kepada tokoh. Itu sebabnya, mereka mengirim bom kepada orang-orang yang tak disukai dan meletakkan bom di dekat gereja di Serpong. Orang-orang yang dibenci adalah Ulil Abshar-Abdalla, musisi Ahmad Dani, tokoh pemuda Japto S.S., dan Kepala BNN Komisaris Jenderal Gories Mere, yang juga mantan Komandan Densus 88 Antiteror Mabes Polri.
MUSTHOLIH | RUSMAN | JOBPIE
Intelijen Fokus ke Politik, Teroris Terlupakan
Oleh Santi Andriani | Inilah – 1 jam 28 menit lalu
- Intelijen Fokus ke Politik, Teroris Terlupakan
INILAH.COM, Jakarta- Gerakan kelompok Pepi Fernando yang tidak terdeteksi oleh intelijen maupun kepolisian dinilai karena intelijen saat ini hanya memata-matai kegiatan yang bersifat politik.
“Intelijen kita selama ini digunakan untuk alat politik, akibatnya tidak concern, ngurusi politik. Yang dimata-matai mereka hanya kegiatan mahasiswa, kegiatan yang dinilai mengkritisi pemerintah. Intelijen sama sekali nggak ngurusin soal NII,” tegas anggota Komisi I dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Effendi Choirie ketika dihubungi INILAH.COM, Rabu (27/4/2011).
Sebagaimana diketahui, kelompok Pepi sudah beraksi sejak Agustus 2010, ditandai dengan pemasangan bom di bawah flyover Cawang, Jakarta Timur di seberang gedung Asabri atau di dekat Markas Kodam Jaya. Itu berarti kemungkinan kelompok Pepi sudah ada sebelum Agustus 2010.
Menurut Choirie, akibat intelijen terlalu fokus pada kegiatan politik, NII terus subur berkembang hingga saat ini bahkan anggotanya sudah menggunakan aksi terorisme untuk menunjukkan eksistensinya sekaligus menarik kader atau massa. Pepi juga mengaku ia pernah menjadi anggota NII namun keluar karena NII dinilai kurang radikal.
Padahal, lanjut Gus Choi, begitu Effendi akrab dipanggil, sebenarnya mereka sudah memiliki data atau informasi namun dalam praktiknya tidak dijalankan karena tugas intelijen sudah dibiaskan mematai-matai kegiatan politik atau yang mengkritisi pemerintah.
Belum lagi, kata Gus Choi, kesejahteraan yang belum meningkat yang lagi-lagi menjadi hambatan kerja intelijen untuk maksimal dalam tugas mendeteksi dini ancaman gangguan keamanan. “Gajinya yang kurang sepadan dengan tugas dan tanggungjawab mereka. Tapi seharusnya ini menjadi alasan kesekiannya.” [tjs]
http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/pola-baru-teroris/6072
Pola Baru Teroris
Rabu, 27 April 2011 | 14:10
Fenomena teror bom menuju babak baru setelah teror bom buku di Jakarta, bom bunuh diri di Cirebon, dan temuan bom di dekat gereja Church Cathedral Serpong, Tangerang, baru-baru ini. Bangsa ini harus lebih waspada, bekerja keras dan bahu-membahu memerangi terorisme yang berwujud pengeboman.
Rangkaian teror pengeboman mulai bom malam Natal 2002, bom Bali, dan rentetan kejadian teror ledakan bom bunuh diri di lokasi-lokasi penting di Jakarta, dilakukan oleh jaringan Jemaah Islamiah. Pada berbagai kejadian pengeboman yang menewaskan lebih dari 300 orang ini, sejumlah pelakunya ditangkap dan selesai diproses di pengadilan. Imam Samudera dkk telah dihukum mati. Sekurangnya 400an orang mendapat hukuman penjara. Para pentolan jaringan ini seperti Dr Azahari dan Noordin M Top, tewas dalam penggerebekan.
Keberhasilan Polri mengungkap rangkaian pengeboman tersebut membawa pada sejumlah kesimpulan antara lain target kelompok JI adalah negara dan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan akidah pelaku, orang-orang yang oleh pelaku dianggap kafir, serta kepentingan asing terutama Amerika dan sekutunya.
Pentolan kelompok ini rata-rata adalah mereka yang punya latar belakang pernah berjuang bersama Mujahidin di Timur Tengah atau Afghanistan. Sebagian lagi adalah mereka yang aktif dalam gerakan militansi di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina dan Thailand. Kelompok ini merekrut pelaku bom bunuh diri atau yang biasa disebut ’pengantin’, dari warga biasa. Rata-rata keluarga sang ’pengantin’ tidak tahu menahu bahwa salah satu anggota keluarganya yang menghilang sekian lama ternyata terlibat dalam kelompok teroris pengeboman.
Sejumlah kesimpulan itu kini seolah basi. Kasus bom buku, bom bunuh diri di Masjid Adz-Dzikro Mapolres Kota Cirebon, dan temuan bom di Serpong, membuka mata kita bahwa motif, modus, dan pelaku sudah berbeda dari sejumlah bom sebelumnya.
Penanganan ketiga kasus ini memang belum tuntas. Belum ada ketok palu pengadilan terhadap para pelaku yang terlibat. Polri, khususnya Detasemen Khusus (Densus) 88, masih melakukan penyelidikan dan penyidikan. Namun, tidak ada kata terlalu dini mengambil kesimpulan awal mengingat penanganan kasus terorisme perlu gerak cepat. Kesimpulan berdasarkan bukti-bukti awal sah diambil dalam rangka mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
Dari sejumlah bukti temuan polisi pada ketiga kasus teror terakhir inilah terlihat perbedaan yang cukup signifikan mengenai pola pergerakan pelaku pengeboman. Dari keterangan polisi, hal penting yang menjadi catatan kita pertama adalah setiap orang berpotensi dapat merakit bom. Ketidakterbatasan dunia maya membuat setiap orang dapat mengakses cara merakit bom. Di sisi lain, sebagian besar bahan pembuat bom pun dijual bebas.
Kedua, semakin tidak mudah merangkai hubungan para terduga pelaku di ketiga kasus tadi dengan jaringan JI. Hal ini menyadarkan kita akan perlunya mewaspadai fenomena bahwa radikalisme sempit berwahana agama telah menyebar seolah tanpa pola. Ketika para pentolan teroris diporakporandakan aparat, lapis bawah berjalan sendiri-sendiri. Sejumlah pengamat menilai kondisi ini bisa lebih berbahaya karena aksi teror menjadi tidak terkendali.
Bom Cirebon, misalnya, oleh banyak pihak disebut sebagai perbuatan konyol bila motifnya ingin berjihad. Tindakan dan sasaran yang dipilih pelaku tidak cukup efektif untuk menyampaikan pesan jihad.
Sedangkan pada kasus bom buku dan temuan sekitar 150 kg bahan bom di Serpong, Tangerang, menunjukkan bahwa perekrutan anggota jaringan sudah menyasar pada mereka yang memiliki pendidikan tinggi. Fenomena ini mencengangkan mengingat mereka yang terdidik rata-rata tidak mudah termakan pengaruh pandangan sempit, menjadi orang-orang yang tidak bisa menerima perbedaan. Sebaliknya, bila mereka yang berpendidikan cukup ini telah terjebak pada pola pikir radikal, mereka akan lebih berbahaya.
Pada kolom ini pernah ditulis bahwa prakondisi guna menghilangkan bibit radikalisme harus diwujudnyatakan. Langkah itu antara lain, meningkatkan kesejahteraan warga atau mengurangi jumlah penduduk miskin, pemerataan pendidikan, minimal hingga tingkat menengah atas, serta penegakan hukum tanpa pandang bulu.
Tak kalah penting adalah seluruh elemen bangsa harus bahu-membahu memerangi terorisme yang merupakan musuh bersama. Polri tak bisa kerja sendiri. Memang, perubahan pola perkembangan terorisme otomatis harus membuat Polri bekerja lebih keras. Densus 88 Antiteror tidak boleh ketinggalan dari langkah jaringan teroris karena kalah langkah berarti nyawa warga taruhannya.
Peran serta yang diharapkan paling menonjol adalah peran ulama dalam membina umatnya. Pada posisi ini, tak ketinggalan adalah bagaimana peran para mantan teroris yang sudah bertobat untuk meluruskan pandangan sejumlah kelompok radikal.
Sementara itu, pemerintah baik melalui Kementerian Pendidikan Nasional maupun Kementerian Agama harus lebih peka mencermati sejumlah aliran yang berbau radikalisme yang tumbuh terutama melalui lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan.