Ke Mana Intelijen Saat NII Menyebar?

Gerakan Makar
Ke Mana Intelijen Saat NII Menyebar?
Maria Natalia | Pepih Nugraha | Rabu, 27 April 2011 | 20:46 WIB
GUNAWAN
Intelijen Kurang Profesional

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Lukman Hakim Saefudin menyatakan, sebagian masyarakat mempertanyakan bagaiman kinerja intelijen saat ini hingga Negara Islam Indonesia kembali tumbuh di tengah masyarakat dan melakukan tindakan radikalisme.

Menurut Lukman, gerakan ini sudah ada sejak lama dan seharusnya intelijen telah bekerja untuk menjaring gerakan yang diduga melakukan cuci otak kepada anggota yang direkrutnya.

“Kalau masyarakat sebagian besar menganggap bahwa ini semacam pembiaran sepertinya tidak ada tindakan tegas terhadap NII, saya khawatir betul terjadi distrust atau ketidakpercayaan publik terhadap institusi negara,” kata Lukman di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/4/2011).

Menurut dia, kehadiran NII menjadi pekerjaan rumah bagi intelijen untuk mengungkap siapa yang berada di balik gerakan ini. “NII bukan baru setahun, dua tahun. Ini kan sudah ada sejak tahun 1960-an. Kenapa sekarang kemudian semakin marak dan eksis? Ini yang menjadi pekerjaan rumah intelijen untuk mengungkap siapa di balik ini. Intelijen kita harus bekerja keras,” ujarnya.

Lukman menambahkan, kembalinya gerakan NII ini bahkan juga menjadi kritik untuk intelijen. Namun, menurut dia, intelijen untuk masalah ini hanya bisa melakukan aktivitas intelijen semata, bukan untuk melakukan penangkapan maupun menginterogasi dan penahanan karena itu merupakan tugas kepolisian.

“Menurut hemat saya untuk mencari gerakan-gerakan seperti ini, sebenarnya kan kerja intelijen itu mendeteksi, tidak harus kewenangan menangkap. Karena kalau menangkap kemudian tidak ada yang bisa mengontrol bagaimana jika terjadi penyalahgunaaan kewenangan,” ujarnya.

Lukman menekankan kerja intelijen perlu semakin dimaksimalkan agar gerakan-gerakan seperti NII tidak sampai mengancam keutuhan bangsa dan negara.

 

Polda Metro Jaya Petakan Basis NII

Rabu, 27 April 2011 | 20:00 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta – Kepolisian Daerah Metro Jaya sudah melakukan pemetaan daerah yang diduga sebagai basis organisasi Negara Islam Indonesia (NII).


Menurut Kepala Biro Operasional Polda Metro Jaya Komisaris Besar Sujarno, intelijen polisi memprediksi ada belasan lokasi basis NII yang ada di bawah wilayah hukum Polda Metro Jaya. “Kami sudah lakukan pemetaan, tapi saya belum bisa sebutkan satu per satu. Di antaranya wilayah Klender, Tangerang, dan Bekasi,” kata Sujarno di Polda Metro Jaya, Rabu, 27 April 2011.

Dalam pemetaan yang dilakukan Divisi Intel dan Keamanan Polda Metro Jaya itu, intelijen belum mengetahui aktivitas NII. Intelijen, lanjut Sujarno, belum melihat ada tidaknya penipuan yang dilakukan NII dalam merekrut anggota baru. “Kami tidak tahu apa aktivitasnya, karena tidak menonjol. Polisi baru tahu setelah korban ada yang lapor,” ujarnya.

Ketika ditanya apakah intelijen memantau rumah ibadah seperti masjid atau musala untuk menyelidiki kegiatan NII, Sujarno menampiknya. Menurut dia intelijen hanya memantau rumah-rumah biasa. “Selama ini ada petugas yang memantau. Tapi aktivitas mereka biasa-biasa saja,” kata dia.

CORNILA DESYANA

 
Terorisme
Kasus Terorisme Dimanfaatkan Intelijen?
Ary Wibowo | Inggried | Senin, 18 April 2011 | 18:24 WIB
DHONI SETIAWAN Usman Hamid

JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Usman Hamid menilai, negara tidak akan bisa membongkar peledakan bom dan seluruh kasus terorisme, sepanjang di dalam tubuh negara Indonesia terdapat pihak-pihak yang mempunyai kepentingan tertentu. Menurut Usman, saat ini terorisme telah dijadikan alasan untuk memperkuat kekuasaan dari intelijen yang selama ini bertanggung jawab atas kasus terorisme.

“Karena memang ada faktanya, ada koneksi, ada hubungan antara aparat keamanan Indonesia, militer dan juga intelijen yang tetap menjalin hubungan dengan kelompok-kelompok garis keras yang menggunakan agama untuk melakukan tindakan kekerasan, termasuk salah satunya dengan peledakan bom,” kata Usman kepada wartawan di Kine Forum Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Senin (18/4/2011).

Usman mencontohkan, kasus peledakan bom di Bursa Efek Jakarta, Kedutaan Filipina, hingga peledakan bom pada malam Natal pada tahun 2004 lalu. Ia menganggap kasus tersebut sebagai persoalan politik domestik dan bukan merupakan persoalan yang saat itu dihubungkan sebagai tindakan yang dilakukan oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

“Misalnya juga dalam kasus Munir. Kelihatan sekali aparat intelijen juga memiliki hubungan yang dekat dengan figur seperti Jafar Umar Thalib atau memiliki hubungan dengan orang lain seperti Abu Bakar Baasyir,” jelas Usman.

Untuk itu, lanjut Usman, jika hal tersebut terus dibiarkan, maka segala permasalahan mengenai terorisme di Indonesia tidak akan dapat terselesaikan. Menurutnya, disekitar orang-orang yang dikambing hitamkan sebagai pelaku teroris, sebenarnya ada beberapa pihak yang membangun hubungan dengan mereka.

“Jadi saya simpulkan, negara tidak akan bisa membongkar peledakan bom dan seluruh kasus teroris, sepanjang di dalam tubuh negara masih ada orang-orang yang memelihara, membina, mempersenjatai sekaligus mendanai kelompok-kelompok teroris,” pungkasnya.

Begini Cara NII Menyusup ke Mahasiswa Unair

Begini Cara NII Menyusup ke Mahasiswa Unair

Kamis, 28 April 2011 | 07:16 WIB

TEMPO/Yuyun N

TEMPO Interaktif, Surabaya – Sekretaris Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Hadi Subhan menyatakan 2 orang mahasiswanya direkrut oleh mahasiswa dari kampus lain untuk didoktrin menjadi pengikut gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Dua mahasiswa yang menjadi korban berinisial S dan E dari Jurusan Kimia Fakultas Sains dan Teknologi.

Menurut Hadi, terungkapnya kedok NII berawal dari laporan teman-teman S dan E yang curiga dengan perubahan perilaku keduanya. “Dua-duanya jadi pendiam,” kata Hadi, Rabu 27 April, Pihak rektorat kemudian mengorek keterangan dari keduanya. Berdasarkan pengakuan S dan E, mereka didekati oleh mahasiswa dari kampus lain di Surabaya yang menjadi aktivis NII.

S dan E didekati ketika tengah kuliah kerja di sebuah perkampungan di Surabaya. Selanjutnya, kata Hadi, S dan E diajak ke Jakarta dan Tangerang, Banten, untuk mengikuti baiat (sumpah setia). “Tapi, mereka lupa detail tempatnya,” ujar Hadi.

Dalam proses perekrutan, kata Hadi, S dan E diminta menyetorkan uang sebanyak Rp 30 juta dengan alasan sebagai biaya dakwah NII. Untuk memenuhi permintaan itu keduanya terpaksa berkata bohong kepada orang tuanya bahwa uang tersebut untuk kebutuhan kegiatan di kampus. “Sampai-sampai ayah salah satu dari mereka menjual sapi,” tutur Hadi.

Untuk mengantisipasi terulangnya kasus serupa, pihak universitas melaporkan kejadian itu ke Kepolisian Resor Kota Besar Surabaya. Hadi berharap polisi membongkar jaringan NII yang merekrut anggota dari kampus ke kampus. “Kepada korban, kami butuh waktu beberapa minggu untuk memulihkan kondisi mentalnya,” tutur Hadi.

KUKUH WIBOWO

 

Empat Tersangka Teroris Diduga Teman Kuliah  

Kamis, 28 April 2011 | 05:50 WIB

Rumah kontarakan yang ditempati terduga teroris Fadil warga Banda Aceh, Romi alias Pepi warga Sukabumi dan Hendi alias Joko warga Bogor, di kelurahan Taman Siswa, Banda Aceh. ANTARA/Ampelsas

TEMPO Interaktif, Jakarta – Empat tersangka bom buku dan bom Serpong ternyata teman kuliah di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah, Jakarta. “Mereka suka nongkrong,” ujar sumber Tempo yang juga alumnus UIN, Kamis pekan lalu.


Mereka adalah Pepi Fernando, Muhammad Fadil, Hendi Suhartono, dan Muhammad Maulana Sani. Sebenarnya, ujar sumber yang kenal baik dengan Pepi itu, kelompok tersebut terdiri atas 6 orang. “Lainnya adalah Culik dan Tope.”

Culik–bukan mahasiswa UIN–juga menjadi salah seorang tersangka kasus ini.

Sumber Tempo menjelaskan, sebelum memutuskan menjadi sukarelawan tsunami Aceh pada akhir 2004, Pepi dan kawan-kawan hampir setiap hari selalu bersama. Di Aceh, mereka menolong keluarga Fadil yang terkena tsunami. Sepulang dari Aceh, mereka berubah berhaluan menjadi radikal, dari sebelumnya tergolong mahasiswa biasa.

“Mereka jadi suka ngomongin agama. Ya, kami sih iya-iya saja. Enggak mau ladenin,” ujar teman sefakultas Pepi. “Mungkin mereka di Aceh ikut dengan orang-orang yang enggak jelas.”

Menurut dia, Pepi sempat beberapa kali kembali ke Aceh. Pepi juga terlihat ikut pengajian orang-orang berjenggot.

Pepi alias M. Romi alias Ahyar dan Zokaw adalah tersangka utama kasus bom ini. Pepi kuliah di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Jurusan Pendidikan Islam UIN sejak 1997 sampai 2001. Sedangkan Zokaw baru setahun setelah itu lulus dari Fakultas Ushuluddin Jurusan Filsafat.

Fadil juga menyelesaikan studinya di Fakultas Ushuluddin Jurusan Filsafat pada 2002. Mereka satu angkatan. Fadil dijerat dengan pasal membantu pendanaan serta menyembunyikan pelaku dan informasi aksi teror pada Undang-Undang Tindak Pidana Terorisme. Sedangkan Maulana alias Alan alias Asaf, 34 tahun, pernah kuliah di Jurusan Sastra Arab hingga semester IV. Alan ditangkap karena ikut membuat bom bersama Pepi dan kelompoknya.

Pepi, Zokaw, dan Fadil diringkus polisi di rumah Fadil di Merduati, Kutaraja, Banda Aceh, pada Kamis subuh, 21 April lalu. Menjelang siang, tim Detasemen Khusus 88 Antiteror Mabes Polri menggelandang mereka ke Jakarta. Sumber Tempo menuturkan, Pepi dan Zokaw lari ke Aceh setelah meletakkan bom seberat 150 kilogram di dekat pipa gas PGN tak jauh dari Gereja Christ Cathedral, Serpong, dua hari sebelumnya. Bom sudah diatur agar meledak pada Jumat, 22 April, sekitar pukul 09.00 WIB.

Deni Carmelita, 32 tahun, istri Pepi, kemarin juga menjadi tersangka. “Dia terlibat,” kata juru bicara Mabes Polri Komisaris Besar Boy Rafli Amar, kemarin. Deni alias Umi Najla dituduh menyembunyikan pelaku dan rencana peledakan bom Serpong. Ia bekerja sebagai staf humas di Badan Narkotika Nasional (BNN), yang juga menjadi sasaran bom buku.

Boy menjelaskan, kelompok Pepi memang semula tak radikal, tapi kemudian berubah menjadi radikal. Motif kelompok Pepi adalah jihad, sentimen keagamaan, serta kebencian kepada tokoh. Itu sebabnya, mereka mengirim bom kepada orang-orang yang tak disukai dan meletakkan bom di dekat gereja di Serpong. Orang-orang yang dibenci adalah Ulil Abshar-Abdalla, musisi Ahmad Dani, tokoh pemuda Japto S.S., dan Kepala BNN Komisaris Jenderal Gories Mere, yang juga mantan Komandan Densus 88 Antiteror Mabes Polri.

MUSTHOLIH | RUSMAN | JOBPIE

 

Intelijen Fokus ke Politik, Teroris Terlupakan

InilahOleh Santi Andriani | Inilah –  1 jam 28 menit lalu
  • Intelijen Fokus ke Politik, Teroris Terlupakan

INILAH.COM, Jakarta- Gerakan kelompok Pepi Fernando yang tidak terdeteksi oleh intelijen maupun kepolisian dinilai karena intelijen saat ini hanya memata-matai kegiatan yang bersifat politik.

“Intelijen kita selama ini digunakan untuk alat politik, akibatnya tidak concern, ngurusi politik. Yang dimata-matai mereka hanya kegiatan mahasiswa, kegiatan yang dinilai mengkritisi pemerintah. Intelijen sama sekali nggak ngurusin soal NII,” tegas anggota Komisi I dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Effendi Choirie ketika dihubungi INILAH.COM, Rabu (27/4/2011).

Sebagaimana diketahui, kelompok Pepi sudah beraksi sejak Agustus 2010, ditandai dengan pemasangan bom di bawah flyover Cawang, Jakarta Timur di seberang gedung Asabri atau di dekat Markas Kodam Jaya. Itu berarti kemungkinan kelompok Pepi sudah ada sebelum Agustus 2010.

Menurut Choirie, akibat intelijen terlalu fokus pada kegiatan politik, NII terus subur berkembang hingga saat ini bahkan anggotanya sudah menggunakan aksi terorisme untuk menunjukkan eksistensinya sekaligus menarik kader atau massa. Pepi juga mengaku ia pernah menjadi anggota NII namun keluar karena NII dinilai kurang radikal.

Padahal, lanjut Gus Choi, begitu Effendi akrab dipanggil, sebenarnya mereka sudah memiliki data atau informasi namun dalam praktiknya tidak dijalankan karena tugas intelijen sudah dibiaskan mematai-matai kegiatan politik atau yang mengkritisi pemerintah.

Belum lagi, kata Gus Choi, kesejahteraan yang belum meningkat yang lagi-lagi menjadi hambatan kerja intelijen untuk maksimal dalam tugas mendeteksi dini ancaman gangguan keamanan. “Gajinya yang kurang sepadan dengan tugas dan tanggungjawab mereka. Tapi seharusnya ini menjadi alasan kesekiannya.” [tjs]

 

http://www.suarapembaruan.com/tajukrencana/pola-baru-teroris/6072

Pola Baru Teroris
Rabu, 27 April 2011 | 14:10

Fenomena teror bom menuju babak baru setelah teror bom buku di Jakarta, bom bunuh diri di Cirebon, dan temuan bom di dekat gereja Church Cathedral Serpong, Tangerang, baru-baru ini.  Bangsa ini harus lebih waspada, bekerja keras dan  bahu-membahu memerangi terorisme yang berwujud pengeboman.

Rangkaian teror pengeboman mulai bom malam Natal 2002, bom Bali, dan rentetan kejadian teror ledakan bom bunuh diri di lokasi-lokasi penting di Jakarta, dilakukan oleh jaringan Jemaah Islamiah. Pada berbagai kejadian pengeboman yang  menewaskan lebih dari 300 orang ini, sejumlah pelakunya ditangkap dan selesai diproses di pengadilan. Imam Samudera  dkk telah dihukum mati. Sekurangnya 400an orang mendapat hukuman penjara. Para pentolan jaringan ini seperti Dr Azahari dan Noordin M Top, tewas dalam penggerebekan.

Keberhasilan Polri mengungkap rangkaian pengeboman tersebut membawa pada sejumlah kesimpulan antara lain target kelompok JI adalah  negara dan pemerintah yang dianggap tidak sesuai dengan akidah pelaku, orang-orang yang oleh pelaku dianggap kafir, serta kepentingan asing terutama Amerika dan sekutunya.

Pentolan kelompok ini rata-rata adalah mereka yang punya latar belakang pernah berjuang bersama Mujahidin di Timur Tengah atau Afghanistan. Sebagian lagi adalah mereka yang aktif dalam gerakan militansi di Asia Tenggara seperti Malaysia, Filipina dan Thailand. Kelompok ini merekrut pelaku bom bunuh diri atau yang biasa disebut ’pengantin’, dari warga biasa. Rata-rata keluarga sang ’pengantin’ tidak tahu menahu bahwa salah satu anggota keluarganya yang menghilang sekian lama ternyata terlibat dalam kelompok teroris pengeboman.

Sejumlah kesimpulan itu kini seolah basi. Kasus bom buku, bom bunuh diri di Masjid Adz-Dzikro Mapolres Kota Cirebon, dan temuan bom di Serpong, membuka mata kita bahwa motif, modus, dan pelaku sudah berbeda dari sejumlah bom sebelumnya.

Penanganan ketiga kasus ini memang belum tuntas. Belum ada ketok palu pengadilan terhadap para pelaku yang terlibat. Polri, khususnya Detasemen Khusus (Densus) 88, masih melakukan penyelidikan dan penyidikan. Namun, tidak ada kata terlalu dini mengambil kesimpulan awal mengingat penanganan kasus terorisme perlu gerak cepat. Kesimpulan berdasarkan bukti-bukti awal sah diambil dalam rangka mengantisipasi berbagai kemungkinan yang akan terjadi.

Dari sejumlah bukti temuan polisi pada ketiga kasus teror terakhir inilah  terlihat perbedaan yang cukup signifikan mengenai pola pergerakan pelaku pengeboman. Dari keterangan polisi, hal penting yang menjadi catatan kita pertama adalah setiap orang berpotensi dapat merakit bom. Ketidakterbatasan dunia maya membuat setiap orang dapat mengakses cara merakit bom. Di sisi lain, sebagian besar bahan pembuat bom pun dijual bebas.

Kedua, semakin tidak mudah merangkai hubungan para terduga pelaku di ketiga kasus tadi dengan jaringan JI. Hal ini menyadarkan kita akan perlunya mewaspadai fenomena bahwa radikalisme sempit berwahana agama telah menyebar seolah tanpa pola. Ketika para pentolan teroris  diporakporandakan aparat, lapis bawah berjalan sendiri-sendiri. Sejumlah pengamat menilai kondisi ini bisa lebih berbahaya karena aksi teror menjadi tidak terkendali.

Bom Cirebon, misalnya, oleh banyak pihak disebut sebagai perbuatan konyol bila motifnya ingin berjihad. Tindakan dan sasaran yang dipilih pelaku tidak cukup efektif untuk menyampaikan pesan jihad.

Sedangkan pada kasus bom buku dan temuan sekitar 150 kg bahan bom di Serpong, Tangerang, menunjukkan bahwa perekrutan anggota jaringan sudah menyasar pada mereka yang memiliki pendidikan tinggi. Fenomena ini mencengangkan mengingat mereka yang terdidik rata-rata tidak mudah termakan pengaruh pandangan sempit, menjadi orang-orang yang tidak bisa menerima perbedaan. Sebaliknya, bila mereka yang berpendidikan cukup ini telah terjebak pada pola pikir radikal, mereka akan lebih berbahaya.

Pada kolom ini pernah ditulis bahwa prakondisi guna menghilangkan bibit radikalisme harus diwujudnyatakan. Langkah itu antara lain, meningkatkan kesejahteraan warga atau mengurangi jumlah penduduk miskin, pemerataan pendidikan, minimal hingga tingkat menengah atas, serta penegakan hukum tanpa pandang bulu.

Tak kalah penting adalah seluruh elemen bangsa harus bahu-membahu memerangi terorisme yang merupakan musuh bersama. Polri tak bisa kerja sendiri. Memang, perubahan pola perkembangan terorisme otomatis harus membuat Polri bekerja lebih keras. Densus 88 Antiteror tidak boleh ketinggalan dari langkah jaringan teroris karena kalah langkah berarti nyawa warga taruhannya.

Peran serta yang diharapkan paling menonjol adalah peran ulama dalam membina umatnya. Pada posisi ini, tak ketinggalan adalah bagaimana peran para mantan teroris yang sudah bertobat untuk meluruskan pandangan sejumlah kelompok radikal.

Sementara itu, pemerintah baik melalui Kementerian Pendidikan Nasional maupun Kementerian Agama harus lebih peka mencermati sejumlah aliran yang berbau radikalisme yang tumbuh terutama melalui lembaga-lembaga pendidikan dan keagamaan.

Butuh Disiplin dan Teladan untuk seperti China

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/butuh-disiplin-dan-teladan-untuk-seperti-china/

28.04.2011 07:26

Butuh Disiplin dan Teladan untuk seperti China

Penulis : Web Warouw

BEIJING – Sebagian orang menganggap China bukan lagi menuju sosialisme, melainkan menjadi negara imperialis baru. Ini karena anggapan, tidak mungkin negara sosialis bisa menjadi modern dan makmur seperti China.

Apalagi, di kota-kota besar seperti Beijing dan Tianjin, terlihat ekspansi besar-besaran, seperti pembangunan infrastruktur jalan, pelabuhan dan terminal gabungan darat, laut, dan udara. Berbagai industri tumbuh baik dilakukan swasta, BUMN maupun kerja sama antara BUMN dan perusahaan asing.

Pusat-pusat perbelanjaan dipenuhi berbagai produk bermerek asing dari waralaba makanan, tekstil, sepatu, tas, elektronik, automotif, pesawat, dan lainnya. Semua produk bergengsi ada di etalase pusat perbelanjaan. Semua merek mobil asing ada di jalan-jalan di Beijing dan Tianjin. Namun, siapa yang sangka kalau semua produk itu adalah buah keringat kerja rakyat China.

Misalnya saja, pabrik semen Sinoma di Tianjin. Didirikan pada 1953, perusahaan milik negara ini berhasil masuk 100 perusahaan terkuat di China pada 1993. Bukan saja memproduksi semen, perusahaan itu juga memproduksi semua kebutuhan pembangunan. Industri ini ditopang lembaga riset bernama Tianjin Cement Industry Design & Research Institute (TCDRI). Total produksi semen China tahun ini saja mencapai 1,868 miliar ton, separuh dari kebutuhan dunia.

”Ada 500 pabrik semen yang tersebar di seluruh daratan China, sehingga tidak sulit untuk menyediakan permintaan pembangunan kota-kota baru,” kata Shousan salah satu Dewan Direksi TCDRI.

Menurut harian Global Times yang terbit Oktober tahun lalu, China menargetkan berdirinya 115 mega city pada 2025. Ini sebuah target yang menakjubkan mengingat saat ini Uni Eropa saja hanya memiliki 35 mega city. Ini merupakan implementasi rencana mengotakan desa, sebagai bagian dari industrialisasi pertanian. Wilayah bagian barat dan tengah yang selama ini tertinggal mulai gencar melakukan pembangunan, sehingga penduduk di sana tak lagi hijrah ke selatan dan memilih untuk bekerja di kampung halaman.

”Memang masih ada kemiskinan di desa-desa. Itu menjadi tugas partai dan pemerintah untuk meratakan kesejahteraan bagi seluruh rakyat di negeri kami. Ini tugas besar sosialisme karakter China,” kata seorang pekerja media Richard Cui. Ia bukan anggota partai tertentu, namun percaya bahwa China sedang menuju sosialisme. Oleh karena itu, sarana infrastruktur dan transportasi dibangun untuk menghubungkan ibu kota ke kota-kota lain dalam satu terminal terpadu untuk transportasi laut, udara, kereta api, dan bus.

Kontrol Langsung

Tianjin adalah kota industri yang sedang berkembang, memiliki 13 juta penduduk dengan GDP sebesar 910,8 miliar yuan. Kecepatan pertumbuhan ekonomi sebesar 17,4 persen. ”Tugas pada Tianjin saat ini adalah menjadi pelabuhan internasional untuk menyaingi Korea Selatan dan Jepang menjadi pusat ekonomi yang ramah lingkungan. Selain ekonomi, rakyat juga memiliki pekerjaan, jaminan kesehatan dan pendidikan serta tempat tinggal yang layak,” kata Ketua Kongres Rakyat Tianjin, Xiao Huaiyuan.

Untuk itu, didukung rakyat dan Partai Komunis China (PKC), Kongres Rakyat berhak dan wajib mengawasi serta menegur pemerintah dan pejabatnya dalam pembangunan Tianjin.

Di kota ini juga sebuah industri pesawat airbus berdiri pada 2005. Pada 2009 hingga saat ini industri pesawat ini setiap bulan telah memproduksi empat pesawat, dengan tipe 140 penumpang, 200 penumpang, 120 penumpang dan 100 penumpang.
Salah satu industri yang sedang pesat di China saat ini adalah industri mobil.

Sebuah pabrik mobil Beijing Hyundai Motor yang merupakan perusahaan kerja sama China-Korea berdiri pada 2002. Namun, perusahaan yang mempekerjakan 8.700 buruh di pabrik dan 608 dilernya ini pada 2003 sudah bisa memproduksi 50.000 mobil, kemudian 570.000 mobil pada 2009 dan 704.000 pada 2010. Pada 2011 ini ditargetkan 720.000.

Semua industri utama dipimpin dan dijalankan oleh serikat-serikat buruh dikontrol oleh partai dan dijalankan sebagian besar oleh robot. ”Tentu saja prioritas dari semua produksi adalah memenuhi kebutuhan dalam negeri, dan sisanya diekspor ke negara lain yang membutuhkan,” kata Perdana Menteri China Wen Jiabao saat menerima delegasi DPR yang dipimpin Marzuki Alie.

Apa pun penilaian orang lain, rakyat China telah memetik hasil dari kerja keras, mempertahankan kedaulatan yang digariskan oleh pendiri RRC. Politik PKC sampai hari ini tetap berpegang pada garis utama yang diwariskan Mao Zedong, yakni melayani rakyat (serve the people). Dengan demikian, sejak berdirinya RRC, pemerintahnya mati-matian mencari jalan terbaik dan tercepat dalam memenuhi kebutuhan rakyatnya.

Teladan dan disiplin tercermin dalam penegakan hukum sehingga rakyat ikut serta dan menjaga pelaksanaan pembangunan. Saat ini seorang mantan wali kota Shenzen sedang menunggu vonis hukuman mati karena menerima sogok dari pengusaha barat.

__._,_.___

Lawan Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan!

PERNYATAAN SIKAP

PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA

Nomor: 351/PS/KP-PRP/e/IV/11

Lawan Liberalisasi dan Komersialisasi Pendidikan!

Rakyat Bersatu, Hancurkan Rezim Neoliberal!

Salam rakyat pekerja,

Setiap akhir tahun ajaran baru, banyak sekali orang tua yang bingung dengan keberlangsungan pendidikan anak-anak mereka. Hal ini dikarenakan semakin mahalnya biaya pendidikan di Indonesia. Biaya untuk masuk SD saja bisa mencapai Rp 5 juta, Rp 7 juta, dan SMU mencapai Rp 12 juta. Sekolah yang dimaksud pun bukan sekolah yang bertitel RSBI/SBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional/Sekolah Bertaraf Internasional). Jika orangtua ingin memasukkan anaknya ke SBI untuk SMU, maka biayanya bisa mencapai Rp 31 juta per siswa. Tahun pertama dan tahun kedua, masing-masing Rp 25 juta, belum termasuk uang semester yang dibayar 6 bulan sekali.

Sementara untuk pendidikan tinggi, biaya masuk sebuah perguruan tinggi juga tidak murah. Biaya masuk perguruan tinggi negeri bisa mencapai di atas Rp 100 juta, sedangkan setiap semester dapat mencapai Rp 70 juta. Ini tentu saja akan menutup akses pendidikan bagi orang-orang miskin di negeri ini.

Kebijakan dunia pendidikan di Indonesia memang diarahkan oleh rezim neoliberal menuju liberalisasi dan komersialisasi pendidikan. Indonesia yang telah menandatangani GATS (General Agreement on Trade in Services) pada bulan Desember 2005, maka juga harus mengikuti arus liberalisasi, salah satunya di bidang pendidikan, yang dicanangkan di dalam GATS tersebut. Bagi agen-agen kapitalis internasional, pendidikan berperspektif kapitalisme didefinisikan sebagai transformasi orang yang tidak berpengetahuan dan orang tidak punya keterampilan menjadi orang berpengetahuan dan orang yang punya keterampilan. Pendidikan hanya dipandang sebagai alat untuk menciptakan tenaga kerja profesional dengan harga yang murah serta dapat dinikmati oleh orang-orang yang memiliki uang.

Dalam GATS dinyatakan, bahwa pendidikan merupakan komoditas yang tata perdagangannya diatur oleh lembaga internasional, bukan oleh otoritas suatu lembaga. World Trade Organization (WTO) berpandangan kemampuan pendanaan dan mutu pendidikan di Indonesia masih perlu ditingkatkan menuju standar internasional sehingga mampu berkompetisi dengan kepentingan pasar dunia.

Dampak dari liberalisasi pendidikan tersebut kini tampak nyata dengan dibebankannya biaya pendidikan kepada masyarakat melalui metode pembiayaan bersama dengan masyarakat dan pemotongan subsidi bagi pendidikan, terutama Perguruan Tinggi Negeri. Yang telah terjadi adalah privatisasi terhadap 6 perguruan tinggi Indonesia menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN), dan semakin menjamurnya lembaga pendidikan asing, baik tingkat dasar hingga berbagai jenis kursus yang berkualifikasi “internasional”, yang akibatnya adalah meningkatnya biaya pendidikan.

WTO, sebagai agen neoliberalisme internasional, berupaya menghilangkan hambatan-hambatan kepentingan global mereka, salah satunya melalui liberalisasi pendidikan di Indonesia. Menurut aturan dalam GATS, memprivatisasikan pendidikan akan meningkatkan kesejahteraan negara-negara peserta, termasuk negara-negera berkembang. Dan melalui persaingan bebas, biaya pendidikan dapat ditekan serta privatisasi pendidikan akan memicu peningkatan kualitas pendidikan. Namun apa yang terjadi? Makin banyak anak-anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikannya tingkat lanjut, karena orangtua mereka tidak mampu membiayai pendidikan anak-anaknya.

Proses otonomi pendidikan dasar sampai tinggi dan pencabutan subsidi pendidikan dilakukan, karena dianggap menghambat persaingan bebas dalam dunia pendidikan. Implikasinya, pendidikan murah, apalagi gratis, hanyalah isapan jempol belaka. Pemerintah hanya dijadikan regulator dan dijauhkan peranannya untuk intervensi di bidang pendidikan. Di sisi lain, investasi kapitalis domestik dan asing dalam pendidikan di Indonesia masuk secara legal, melalui UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Perpres No 77 tahun 2007, yang memperkenankan modal asing masuk ke pendidikan dasar, menengah, dan tinggi, serta pendidikan non formal.

Walaupun UU Badan Hukum Pendidikan (BHP) telah digagalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 31 Maret 2010, namun rezim neoliberal tidak berhenti mengeluarkan kebijakan baru untuk meliberalisasi pendidikan nasional. Rezim neoliberal, melalui Mendiknas, telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 66 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Penyelenggaraan Pendidikan sebagai pengganti PP 17, yang sebelumnya tertuang dalam UU BHP. Dengan demikian, menurut rezim neoliberal, segala ketentuan pengelolaan keuangan pasca dicabutnya UU BHP masih berlaku dengan landasan PP tersebut. Artinya segala kegiatan otonomi keuangan –PTN yang bertransisi menjadi BHP– dianggap sah atau legal. Dari pemberlakuan PP 66/2010 ini bertujuan untuk menciptakan PTN dapat menerima keuntungan sebesar-besarnya dari unit-unit usaha yang dibangun, seperti parkir, koperasi mahasiswa yang berorientasi pada pasar, dan lain sebagainya.

Jelaslah, bobroknya dunia pendidikan di Indonesia dikarenakan munculnya kebijakan-kebijakan rezim neoliberal yang lebih mengedepankan kepentingan para pemilik modal. Selama rezim neoliberal berkuasa, maka kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia tidak akan pernah tercapai.

Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja menyatakan sikap:

  1. Lawan liberalisasi dan komersialisasi pendidikan di Indonesia. Pendidikan adalah hak dasar setiap rakyat Indonesia dan diatur oleh Undang-Undang Dasar.

  2. Rezim neoliberal telah menghancurkan kehidupan rakyat Indonesia dengan menjual pokok-pokok kehidupan, seperti pendidikan, kepada para pemilik modal.

  3. Pendidikan ala kapitalisme hanya akan menciptakan tenaga kerja profesional dan dapat diupah murah. Pendidikan ala kapitalisme juga hanya menciptakan robot-robot penurut bagi para pemilik modal, agar dapat melipatgandakan keuntungan.

  4. Bangun kekuatan politik alternatif dari seluruh elemen gerakan rakyat Indonesia untuk menumbangkan rezim neoliberal dan menghancurkan neoliberalisme.

  5. Kapitalisme-neoliberal telah gagal untuk mensejahterakan rakyat Indonesia, dan hanya dengan SOSIALISME lah maka rakyat Indonesia akan sejahtera.

Jakarta, 28 April 2011

Komite Pusat

Perhimpunan Rakyat Pekerja

(KP-PRP)

Ketua Nasional

Sekretaris Jenderal

ttd.

(Anwar Ma’ruf)

ttd.

(Rendro Prayogo)

Contact Person:

Anwar Ma’ruf – Ketua Nasional (0812 1059 0010)

Irwansyah – Wakil Ketua Nasional (0812 1944 3307)

___*****___

Sosialisme Jalan Sejati Pembebasan Rakyat Pekerja!
Sosialisme Solusi Bagi Krisis Kapitalisme Global!
Bersatu Bangun Partai  Kelas Pekerja!

Komite Pusat
Perhimpunan Rakyat Pekerja
(KP PRP)
JL Cikoko Barat IV No. 13 RT 04/RW 05, Pancoran, Jakarta Selatan 12770
Phone/Fax: (021) 798-2566

Email: komite.pusat@prp-indonesia.org / prppusat@yahoo.com
Website: www.prp-indonesia.org

Suryadharma: NII KW 9 Tidak Bisa Dibubarkan

Kamis, 28/04/2011 14:55 WIB
Kamis, 28/04/2011 14:55 WIB
Suryadharma: NII KW 9 Tidak Bisa Dibubarkan
Rachmadin Ismail – detikNews

&ltp&gtYour browser does not support iframes.</p>
Suryadharma: NII KW 9 Tidak Bisa Dibubarkan
JakartaTampaknya ini adalah kabar gembira bagi aktivis NII KW 9 yang diduga terlibat penipuan berkedok doktrin agama. Pasalnya, Menteri Agama Suryadharma Ali berpendapat kelompok itu tak bisa dibubarkan.

Dia juga menegaskan Gerakan Negara Islam Indonesia (NII) KW 9 tidak pernah terdaftar di Kementerian Agama.

“Tentu tidak (tidak terdaftar di Kemenag),” kata Suryadharma usai menghadiri acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2012 di Gedung Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (28/4/2011).

Suryadharma berpendapat, NII KW 9 merupakan gerakan bawah tanah. “Dan secara organisasi tidak bisa dibubarkan, tidak jelas bentuknya,” ujar pria yang juga Ketum PPP ini.

Menurut dia, yang harus dibasmi justru gerakannya.

Sebelumnya, Menko Polhukam Djoko Suyanto menangkis tudingan militer dan intelijen di balik gerakan itu. Menurutnya, seperti kurang kerjaan saja bila militer dan intelijen terlibat. Sedangkan Panglima TNI mengimbau publik tidak menduga-duga TNI di balik NII KW 9.

++++
Rabu, 27/04/2011 14:27 WIB
Ketua MUI: Pemerintah Jangan Seperti Membiarkan NII
Nurvita Indarini – detikNews
Ketua MUI: Pemerintah Jangan Seperti Membiarkan NII
Amidhan
Jakarta – Kasus orang yang mengaku menjadi korban penipuan berkedok Negara Islam Indonesia (NII) satu demi satu mencuat. Kasus ini sudah lama muncul namun minim proses hukum. Seolah-olah NII gadungan ini dibiarkan.

“Soal NII, bukan domain MUI untuk melarang. Kasus-kasus orang yang mengaku korban NII itu sudah lama, pemerintah jangan seperti melakukan pembiaran,” ujar Ketua Majelis Umat Islam (MUI) Amidhan dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (27/4/2011).

Pada 2002 lalu, MUI pernah melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa ma’had Al-Zaytun (MAZ) memiliki keterkaitan dengan organisasi NII KW 9. Hubungan tersebut bersifat historis, finansial dan kepemimpinan. Namun dari segi pendidikan sebenarnya tidak terlalu masalah. Namun MUI menengarai penyimpangan paham dan ajaran Islam yang
dipraktikkan organisasi NII KW 9.

“Di sana ada kepemimpinan lingkar dalam dan lingkar luar. Yang lingkar dalam kami tidak tahu persis. Sedangkan yang lingkar luar, kalau kita datang ya semua baik, kalau ditanya ya dijawab, tidak ada masalah. Kalau yang dalam itu tidak tahu, mungkin itu yang berkaitan dengan NII KW 9,” tutur Amidhan.

Lingkar dalam tak tersentuh pihak luar karena eksklusivitas yang ada. Hal ini terkadang ditemui di beberapa kelompok.

MUI akan mengeluarkan fatwa khusus soal NII? “Fatwa yang bagaimana? Kalau di NII itu ada kegiatan makar, maka makarnya itu haram. Kami sudah lama keluarkan fatwa kalau Pancasila itu final, NKRI itu final, dan pemerintah dilihat dari fikih itu sah,” tuturnya.

Dia menambahkan, atas fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan itu, jika ada bughoh atau gerombolan pemberontak yang menentang kekuasaan negeri dengan kekerasan senjata, maka layak untuk dihukum. Amidhan menegaskan, pemerintahlah yang berhak melarang keberadaan NII.

“Ini harus diperhatikan. Karena ini merupakan gerakan yang menghancurkan bangsa, melalui penghancuran umat Islam. Kita prihatin mereka memakai nama Islam,” keluhnya.

Amidhan mengimbuhkan, MUI belum mengadakan pertemuan khusus bersifat internal untuk membahas masalah NII. Karena MUI masih disibukkan berbagai masalah umat lainnya dan juga kunjungan ke daerah-daerah.

“Tapi kita sudah lakukan antisipasi. Tindak kekerasan haram dilakukan. Kalau arahnya ke makar, makar itu haram,” tegasnya.

Sementara itu, Polda Metro Jaya telah memonitor kantung-kantung pergerakan NII yang tersebar di wilayah pinggiran Jakarta.

“Kantong NII sudah teridentifikasi. Mereka ada di wilayah-wilayah pinggiran di Bekasi, Pondok Gede dan sekitarnya. Tangerang dan seluruhnya sudah termonitor kita,” kata Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Sutarman, di Mabes Polri, Rabu (27/4/2011).

Menurutnya, gerakan yang dilakukan NII selama ini adalah mencuci otak dan menipu. Sehingga pasal yang nantinya akan dikenakan pada anggota NII adalah pasal penipuan.

Kapolda juga mengingatkan agar warga tidak mudah terprovokasi dengan mengganti Kartu Tanda Penduduk (KTP) Republik Indonesia dengan KTP NII. Hanya KTP RI yang selama ini berlaku adalah kartu pengenal yang sah.

Sedangkan Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifudin mendesak Badan Intelijen Negara (BIN) mendalami siapa di balik NII. Adapun Kejagung menunggu berkas kasus NII dari kepolisian.

__._,_.___

Rachmadin Ismail – detikNews

&ltp&gtYour browser does not support iframes.</p>
Suryadharma: NII KW 9 Tidak Bisa Dibubarkan
JakartaTampaknya ini adalah kabar gembira bagi aktivis NII KW 9 yang diduga terlibat penipuan berkedok doktrin agama. Pasalnya, Menteri Agama Suryadharma Ali berpendapat kelompok itu tak bisa dibubarkan.

Dia juga menegaskan Gerakan Negara Islam Indonesia (NII) KW 9 tidak pernah terdaftar di Kementerian Agama.

“Tentu tidak (tidak terdaftar di Kemenag),” kata Suryadharma usai menghadiri acara Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2012 di Gedung Bidakara, Pancoran, Jakarta Selatan, Kamis (28/4/2011).

Suryadharma berpendapat, NII KW 9 merupakan gerakan bawah tanah. “Dan secara organisasi tidak bisa dibubarkan, tidak jelas bentuknya,” ujar pria yang juga Ketum PPP ini.

Menurut dia, yang harus dibasmi justru gerakannya.

Sebelumnya, Menko Polhukam Djoko Suyanto menangkis tudingan militer dan intelijen di balik gerakan itu. Menurutnya, seperti kurang kerjaan saja bila militer dan intelijen terlibat. Sedangkan Panglima TNI mengimbau publik tidak menduga-duga TNI di balik NII KW 9.

++++
Rabu, 27/04/2011 14:27 WIB
Ketua MUI: Pemerintah Jangan Seperti Membiarkan NII
Nurvita Indarini – detikNews
Ketua MUI: Pemerintah Jangan Seperti Membiarkan NII
Amidhan
Jakarta – Kasus orang yang mengaku menjadi korban penipuan berkedok Negara Islam Indonesia (NII) satu demi satu mencuat. Kasus ini sudah lama muncul namun minim proses hukum. Seolah-olah NII gadungan ini dibiarkan.

“Soal NII, bukan domain MUI untuk melarang. Kasus-kasus orang yang mengaku korban NII itu sudah lama, pemerintah jangan seperti melakukan pembiaran,” ujar Ketua Majelis Umat Islam (MUI) Amidhan dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (27/4/2011).

Pada 2002 lalu, MUI pernah melakukan penelitian dan menyimpulkan bahwa ma’had Al-Zaytun (MAZ) memiliki keterkaitan dengan organisasi NII KW 9. Hubungan tersebut bersifat historis, finansial dan kepemimpinan. Namun dari segi pendidikan sebenarnya tidak terlalu masalah. Namun MUI menengarai penyimpangan paham dan ajaran Islam yang
dipraktikkan organisasi NII KW 9.

“Di sana ada kepemimpinan lingkar dalam dan lingkar luar. Yang lingkar dalam kami tidak tahu persis. Sedangkan yang lingkar luar, kalau kita datang ya semua baik, kalau ditanya ya dijawab, tidak ada masalah. Kalau yang dalam itu tidak tahu, mungkin itu yang berkaitan dengan NII KW 9,” tutur Amidhan.

Lingkar dalam tak tersentuh pihak luar karena eksklusivitas yang ada. Hal ini terkadang ditemui di beberapa kelompok.

MUI akan mengeluarkan fatwa khusus soal NII? “Fatwa yang bagaimana? Kalau di NII itu ada kegiatan makar, maka makarnya itu haram. Kami sudah lama keluarkan fatwa kalau Pancasila itu final, NKRI itu final, dan pemerintah dilihat dari fikih itu sah,” tuturnya.

Dia menambahkan, atas fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan itu, jika ada bughoh atau gerombolan pemberontak yang menentang kekuasaan negeri dengan kekerasan senjata, maka layak untuk dihukum. Amidhan menegaskan, pemerintahlah yang berhak melarang keberadaan NII.

“Ini harus diperhatikan. Karena ini merupakan gerakan yang menghancurkan bangsa, melalui penghancuran umat Islam. Kita prihatin mereka memakai nama Islam,” keluhnya.

Amidhan mengimbuhkan, MUI belum mengadakan pertemuan khusus bersifat internal untuk membahas masalah NII. Karena MUI masih disibukkan berbagai masalah umat lainnya dan juga kunjungan ke daerah-daerah.

“Tapi kita sudah lakukan antisipasi. Tindak kekerasan haram dilakukan. Kalau arahnya ke makar, makar itu haram,” tegasnya.

Sementara itu, Polda Metro Jaya telah memonitor kantung-kantung pergerakan NII yang tersebar di wilayah pinggiran Jakarta.

“Kantong NII sudah teridentifikasi. Mereka ada di wilayah-wilayah pinggiran di Bekasi, Pondok Gede dan sekitarnya. Tangerang dan seluruhnya sudah termonitor kita,” kata Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Sutarman, di Mabes Polri, Rabu (27/4/2011).

Menurutnya, gerakan yang dilakukan NII selama ini adalah mencuci otak dan menipu. Sehingga pasal yang nantinya akan dikenakan pada anggota NII adalah pasal penipuan.

Kapolda juga mengingatkan agar warga tidak mudah terprovokasi dengan mengganti Kartu Tanda Penduduk (KTP) Republik Indonesia dengan KTP NII. Hanya KTP RI yang selama ini berlaku adalah kartu pengenal yang sah.

Sedangkan Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifudin mendesak Badan Intelijen Negara (BIN) mendalami siapa di balik NII. Adapun Kejagung menunggu berkas kasus NII dari kepolisian.

__._,_.___

Kayak Nggak Punya Kerjaan Saja Intelijen dan TNI Bekingi NII

Kayak Nggak Punya Kerjaan Saja Intelijen dan TNI Bekingi NII
Kamis, 28 April 2011 , 11:30:00 WIB

Laporan: Marula Sardi
RMOL. Semua elemen masyarakat diimbau untuk mewaspadai semua tindakan yang mempengaruhi orang untuk berbuat kejahatan. Misalnya, mempengaruhi untuk berbuat bom bunuh diri, berontak terhadap negara; dan juga untuk mendirikan negara Islam.

Hal itu dikatakan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Djoko Suyanto di Hotel Bidakara, Jakarta (Kamis, 28/4), saat ditanya soal keberadaan Negara Islam Indonesia.

“Bahwa kita harus waspada iya. Tetapi apakah gerakan ini cenderung membahayakan negara saya kira kita bisa melihat sendiri. Keadaan negara kita seperti apa. Dan kalau ada gerakan seperti itu kita semua akan melawan,” tegasnya Djoko Suyanto.

Karena itu dia membantah ada pembiaran atas sepak terjang NII selama ini.

“Tidak ada itu. Itu yang ditindak atas kejadian pidana kan sudah banyak di Kepolisian. Tapi bagaimana kita menindak orang mencuci otak orang?” tanyanya.

“Jadi jangan melihat hanya ada berapa orang yang hilang. Hilang itu kan tidak harus kategorikan dicuci otak. Ada memang beberapa yang hilang itu, tidak semua dicuci otaknya. Dari Kepolisian kan sudah diselidiki,” sambung mantan Panglima TNI ini.

Tak hanya itu, dia juga membantah bahwa permainan intelijen di gerakan balik NII tersebut.

“Yang ngomong itu siapa. Kayak intelejen kurang kerjaan saja,” tegasnya.

Bagaimana dengan dugaan TNI berada di belakang TNII?

“Tidak ada, tidak ada. Isu itu dari mana. Kayak kurang kerjaan TNI sama Intelijen saja,” tandasnya. [zul]

Baca juga:

Presiden Instruksikan Tokoh Agama Sampai Kepala Desa Aktif dan Efektif
Lagi, SBY Serukan Pencegahan Terorisme dan Konflik Horisontal
Menteri Djoko Suyanto:NII Belum Jadi Ancaman Nyata bagi NKRI
PB HMI: Polisi, Intelijen, TNI Lalai!
Polisi Tak Bisa Tindak NII Bila Tak Ada Laporan dari Korban

NII Simpan Rp 46 Miliar di Bank Century

Ma’had Al Zaytun
Eks Menteri NII: Punya Aset Emas 20 Ton!
yuli | Jumat, 29 April 2011 | 06:44 WIB
facebook.com/pages/I-LOVE-AL-ZAYTUN Bekas Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso, bekas Menteri Koperasi Adi Sasono, dan bekas Menteri Penerangan Harmoko saat berkunjung ke Pondok Pesantren Al Zaytun di Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dalam peringatan 1 Muharram 1432 H yang jatuh pada 7 Desember 2010.

JAKARTA, KOMPAS.com — Bekas Menteri Peningkatan Produksi Negara Islam Indonesia (NII) Imam Supriyanto membenarkan adanya simpanan kelompok itu di Bank Century, kini jadi Bank Mutiara.

Namun, berbeda dengan data yang disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Imam Supriyanto menyebut jumlah dana justru mencapai Rp 250 miliar.

“Kalau dirupiahkan, seingat saya ada Rp 250 miliar. Itu dalam bentuk obligasi dan emas batangan lebih-kurang beratnya 20 ton,” kata Imam Supriyanto kepada Tribunnews, Kamis (28/4/2011).

Imam mengaku resmi meninggalkan NII tahun 2007 setelah mendapat nasihat ibundanya yang lebih dahulu keluar dari NII.

Eks Menteri NII itu menceritakan, dana milik NII itu disimpan atas nama Imam Besar NII Abu Maarik. “Sepertinya, rekening di Bank Century tidak satu nama. Biasanya Abu Maarik juga memakai nama anaknya di Bank Century. Abu Maarik itu adalah teman dekat Robert Tantular (bekas bos Bank Century),” kata Imam.

Menurut dia, dana yang berhasil digalang NII kemudian disimpan ke Bank Century. “Abu Maarik adalah nasabah terbaik Bank Century. Abu Maarik sangat dekat dengan Robert Tantular. Bahkan, setiap tahunnya Abu Maarik kerap dihadiahi mobil mewah,” kata Imam.

Ia mengaku bersedia bercerita apa adanya sebagai bentuk penyesalannya karena telah masuk organisasi NII. “Berkat jalan Allah melalui ibu saya, pada tahun 2007 saya bisa keluar dari organisasi yang saya geluti sejak 1987,” ungkapnya. (Rachmat Hidayat)

 

NII Simpan Rp 46 Miliar di Bank Century
yuli | Jumat, 29 April 2011 | 06:02 WIB
facebook.com/pages/I-LOVE-AL-ZAYTUN Bekas Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, disambut Syekh AS Panji Gumilang saat berkunjung ke Pondok Pesantren Al Zaytun di Desa Mekarjaya, Kecamatan Gantar, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, dalam peringatan 1 Muharram 1432 H yang jatuh pada 7 Desember 2010.
 
JAKARTA, KOMPAS.com — Kelompok Negara Islam Indonesia (NII) yang belakangan banyak disebut terkait kasus penculikan dan “cuci otak” sejumlah orang diketahui memiliki simpanan miliaran rupiah di Bank Century atau kini bernama Bank Mutiara.

Keberadaan dana simpanan NII di Bank Century pernah disampaikan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) kepada Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century, 21 Desember 2009. Dalam laporan yang ditandatangani Kepala PPATK Yunus Husein disebutkan, simpanan sebesar Rp 46,2 miliar itu atas nama Abu Maarik.

Deposan Bank Century bernama Abu Maarik tersebut diduga kuat merupakan nama lain dari Abu Toto alias Syekh Abdus Salam Panji Gumilang. Abu Maarik adalah tokoh yang terkait erat dengan NII. Ia juga dikenal sebagai pendiri Pondok Pesantren Al-Zaytun.

“Saya minta pemerintah segera melumpuhkan jaringan yang merusak negara, seperti kelompok NII, apalagi setelah ditemukan dana miliaran rupiah di Bank Century yang diduga milik NII. Ini tentu mengecewakan mengapa tidak terendus dari dulu,” ujar Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso di Jakarta, Kamis (28/4/2011).

Dalam hal ini, Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century akan mendesak aparat penegak hukum mengungkap lebih dalam dana NII di Bank Century yang kini menjadi Bank Mutiara tersebut. (Rachmat Hidayat)

 

Momok NII yang Meresahkan

Jum’at, 29 April 2011 | 00:59 WIB

Mestinya pemerintah segera bertindak saat publik resah menghadapi orang-orang yang menipu dengan kedok agama. Sepak terjang kelompok yang disebut-sebut mengimpikan Negara Islam Indonesia ini telah memakan banyak korban. Tapi anehnya, Kepolisian Republik Indonesia seolah tak mampu membongkar jaringan ini sekaligus menangkap dalangnya.

Tidaklah cukup para pejabat mengatakan masalah ini sedang diteliti atau diselidiki. Masyarakat juga tak akan puas dengan pernyataan normatif seperti disampaikan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto. Kemarin, Pak Menteri hanya meminta semua pihak ikut mewaspadai elemen yang mengajak berbuat jahat dan mendirikan negara Islam.

Sikap pemerintah itu belum bisa menenangkan masyarakat. Lihat saja yang terjadi di kampus-kampus. Para rektor sibuk berkoordinasi dengan kepolisian untuk menangkal gerilya NII. Bahkan sejumlah universitas telah mendirikan pusat krisis untuk menerima laporan mahasiswa hilang yang mungkin direkrut oleh kelompok NII.

Kepanikan publik dipicu oleh korban NII yang benar-benar ada. Korban umumnya mengalami indoktrinasi, ada yang menyebut dengan istilah cuci otak. Setelah pikiran berhasil dipengaruhi, korban mengiyakan apa saja yang diperintahkan. Mereka mengaku tak bisa menolak ketika diminta menyetorkan sejumlah uang.

Belum lama ini, seorang calon pegawai negeri sipil juga sempat menghilang, lalu ditemukan dalam keadaan labil. Hal yang sama terjadi pada sejumlah mahasiswa di Malang dan Yogyakarta. Semua diduga dipengaruhi oleh orang-orang yang mengaku kelompok NII, lalu dibaiat untuk menjadi anggota organisasi ini. Sebuah lembaga penelitian bahkan menyebut jumlah pengikut NII mencapai ratusan ribuan dan tersebar di berbagai provinsi.

Jika dugaan itu benar, sepak terjang NII tentu amat berbahaya. Bukan hanya menipu masyarakat, mereka juga bertindak makar lantaran berupaya mendirikan negara Islam. Tapi publik menjadi bingung karena para pejabat pemerintah terkesan tidak panik. Mereka pun tak mengerahkan segala kekuatan untuk membongkar, lalu menangkap penggeraknya.

Sebagian orang sering mengaitkan aktivitas kelompok NII itu dengan pemimpin Pesantren Al-Zaytun di Indramayu, Jawa Barat. Tapi Panji Gumilang, figur ini, sudah berkali-kali pula membantahnya. Kegiatan pesantren modern yang memiliki ribuan santri ini juga biasa saja. Panji pun tidak pernah disentuh oleh kepolisian, dan pesantrennya justru sering dikunjungi tokoh-tokoh politik.

Lalu siapa penggerak sebenarnya kelompok NII. Inilah teka-teki yang bertahun-tahun tak terjawab. Ada memang yang menuduh kelompok ini hanyalah proyek intelijen untuk menyudutkan Islam seperti yang terjadi di masa Orde Baru. Tapi tudingan seperti ini kemarin telah dibantah oleh petinggi negara, termasuk pejabat militer.

Tak ada cara lain, mengungkap tuntas kegiatan aneh itu merupakan satu-satunya jalan untuk menenteramkan masyarakat. Tanpa upaya ini, sama saja dengan pemerintah membiarkan publik dalam keadaan resah, bingung, dan penuh prasangka.

Sang Pejuang Ditolak di Makam Pahlawan

http://www.sinarharapan.co.id/content/read/sang-pejuang-ditolak-di-makam-pahlawan/

28.04.2011 15:31

Sang Pejuang Ditolak di Makam Pahlawan

Penulis : Ruhut Ambarita

Heru Atmojo layak dimakamkan di TMP karena telah menerima tanda kehormatan Bintang Gerilya.

Tanah liang kuburnya di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta belum kering. Masih belum juga seratus hari jenazah mantan Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara Republik Indonesia berpangkat Letnan Kolonel Penerbang ini menempati rumah peristirahatan terakhirnya.

Namun, menjelang tengah malam pada 25 Maret 2011 lalu, makam Heru Atmodjo ini dibongkar dan jenazahnya dikeluarkan dari liang kubur oleh pihak TNI AU. Pembongkaran ini tentu menyakitkan pihak keluarga, terutama bagi anak-anak Heru. Sebab, ayah mereka yang dianggap pejuang justru dipaksa keluar dari Makam Pahlawan.

Menurut Bedjo Untung dari Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966, selepas makam dibongkar, baru keesokan paginya jenazah Heru diterbangkan ke Malang, Jawa Timur. Bedjo yang mendapat cerita dari pihak keluarga mengatakan, jenazah Heru kini dimakamkan di sebelah pusara ibundanya di Desa Bangil, Sidoardjo.

Bedjo kemudian bercerita saat dirinya hadir pada pemakaman Heru di TMP Kalibata 29 Januari 2011 lalu, Heru dimakamkan layaknya seorang pejuang. Sebuah upacara militer digelar oleh TNI Angkatan Udara. Tujuh prajurit TNI AU berdiri di samping peti melakukan tembakan salvo sebagai bentuk penghormatan terakhir. “Pihak Angkatan Udara lalu menyerahkan bendera pusaka sebagai tanda penghormatan kepada Heru yang diterima oleh Suluh, kakak ipar Heru Atmodjo,” kata Bedjo.

Ternyata hampir tiga bulan kemudian, salah seorang anggota keluarga Heru memberi tahu Bedjo bahwa makam Heru akan dibongkar kembali. Sebelum pembongkaran, tujuh tentara mendatangi rumah anak pertama Heru Atmodjo, yakni Ibnu Baskoro, di Cibubur, Jakarta Timur. “Mereka tentara Angkatan Darat yang datang dari Cilangkap,” tutur Bedjo. Ia mengatakan, pembongkaran makam itu dengan dilakukan paksaan dan ancaman.

Siaran pers Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 juga menyebutkan, pemindahan jenazah Heru Atmodjo dilakukan oleh keluarga dalam keadaan terpaksa. Memang, pertengahan Maret lalu sekelompok orang dari Gerakan Umat Islam Bersatu (GUIB) berunjuk rasa di Kantor DPRD Jawa Timur. Mereka menganggap jenazah Heru tidak layak dimakamkan di TMP Kalibata karena dia komunis yang terlibat dalam G30S 1965. Tak lama kemudian, tujuh tentara Angkatan Darat yang mengaku dari Markas Besar TNI di Cilangkap, dengan berpakaian dinas dan sipil, mendatangi pihak keluarga dan meminta paksa agar mereka memindahkan jenazah Heru.

Sementara itu, Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono menjelaskan, pembongkaran makam Heru Atmodjo sudah sesuai aturan. “Sesuai perundang-undangan, tak tepat (almarhum) dimakamkan di situ, sehingga harus dipindahkan,” katanya.

Sepertinya, yang dimaksud Agus adalah UU No 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dalam UU tersebut dikatakan, orang yang berhak dimakamkan di TMP adalah warga negara Indonesia yang mendapat gelar Pahlawan Nasional, menerima tanda kehormatan Bintang Republik dan Bintang Mahaputera.

Direktur Kepahlawanan Kementerian Sosial, Hartati Soleha, mengemukakan Kementerian tidak memiliki hak untuk mengusulkan atau mencabut tanda atau bintang kehormatan atas seseorang. “Untuk perihal bintang kehormatan berada di tangan sekretaris militer,” ujarnya. Ia pun mengaku tidak tahu-menahu alasan detail mengapa makam Heru dibongkar.

Dituduh Terlibat G30S

Sejarawan Asvi Warman Adam menduga, pembongkaran makam Heru dilakukan karena Heru dituduh mengetahui rencana pemberontakan G30S tahun 1965. Namun, kata Asvi, Markas Besar TNI dan Angkatan Udara tetap harus memberi alasan yang jelas soal pembongkaran makam Heru.

Terlepas dari terlibat atau tidaknya Heru dalam G30S, menurut Asvi, Heru layak dimakamkan di TMP karena telah menerima tanda kehormatan Bintang Gerilya. Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2010, terutama Pasal 5 Ayat 3a menyebutkan: Bintang Gerilya masuk dalam salah satu kriteria Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Itu artinya Heru memiliki hak untuk dimakamkan di TMP, lanjut Asvi.

Ia menambahkan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus memperhatikan betul persoalan ini, sebab Presiden sendiri yang memberi lampu hijau agar penerima Bintang Gerilya bisa dimakamkan di TMP. Lampu hijau diberikan Presiden setelah diprotes oleh para legiun veteran yang merasa “perjuangan mereka dilupakan” lewat persyaratan UU No 20 Tahun 2009.

“Jika UU tersebut tidak direvisi, hak pejuang yang menerima Bintang Gerilya untuk dimakamkan di taman makam pahlawan bisa terancam,” kata Asvi.

Untuk itu, ia mengingatkan, yang perlu dipertanyakan adalah orang-orang yang bukan Pahlawan Nasional atau tidak pernah berjuang pada masa kemerdekaan, namun ketika zaman Soeharto mendapat tempat di Taman Makam Pahlawan karena diberi Bintang Mahaputera.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dalam suratnya tertanggal 27 April 2011 kepada Panglima TNI Laksamana TNI Agus Suhartono mengingatkan, pemindahan makam jenazah seharusnya melalui keputusan hukum yang setara, baik dengan keputusan hukum pemberian Gelar Bintang Gerilya maupun keputusan hukum yang dikeluarkan untuk pemakaman di Taman Makam Pahlawan.

Kontras juga mengatakan, dugaan keterlibatan Heru Atmodjo dalam peristiwa G30S tidak bisa hanya didasarkan pada stigma, kecurigaan, dan desakan pihak-pihak tertentu. Tetapi ini harus melihat fakta sejarah yang proporsional dan menyeluruh. Heru sendiri telah membantah keterlibatannya dalam peristiwa G30S. Apalagi, sampai saat ini belum ada proses pengadilan yang fair jauh dari intervensi politik ataupun upaya pengungkapan kebenaran terhadap mereka yang dituduh terlibat dalam peristiwa G30S.

__._,_.___

Jafar: Pemerintah Harus Bubarkan NII

Jafar: Pemerintah Harus Bubarkan NII

Kamis, 28 April 2011 19:22 WIB | 968 Views

Jafar Hafsah. (FOTO.ANTARA)
Makasar (ANTARA News) – Anggota DPR RI asal Partai Demokrat Mohammad Jafar Hafsah meminta pemerintah untuk secepatnya membubarkan organisasi Negara Islam Indonesia (NII). “Pemerintah harus segera menghapus, membubarkan NII beserta ajaran-ajarannya, doktrin-doktrinnya karena sudah menyebar luas dan mengancam negara Indonesia,” kata Jafar di sela-sela kunjungan kerjanya ke daerah pemilihan (Dapil) II Sulawesi Selatan, di Makasar, Kamis. Ketua Fraksi Partai Demokrat itu menambahkan, tindakan konkret pemerintah untuk membubarkan NII diharapkan secepatnya dilakukan. “Kita harapkan langkah kongkrit pemerintah ini dilaksanakan sesegera mungkin agar ajaran, pengaruh NII, doktrinnya tidak terlanjur menyebar karena bisa menganggu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” kata Jafar. Menurut Jafar, tindakan NII adalah untuk membangun negara di dalam negara atau merubah bentuk negara dan itu tidak dibenarkan dan tidak ada toleransi sama sekali. “Tindakan itu sudah termasuk supersif. Oleh karena itu gerakan NII dengan model dan cara pendekatannya sungguh merupakan kegiatan yang tidak bisa ditolerasi lagi,” ujar anggota Komisi IV DPR RI itu. Selain harus menghapus NII dari muka bumi Indonesia, pemerintah harus segera menangkap tokoh-tokoh NII. “Dengan demikian, NII tidak terus menyebar. Pemerintah harus menangkap tokoh-tokoh dan pengurus NII di setiap wilayah dan memprosesnya secara hukum,” kata Jafar. Ia juga berharap, pemerintah memutuskan jaringan yang telah dibuat oleh NII. Apalagi, tambahnya, aktivitas NII telah berubah menjadi bagian dari kelompok teroris dan melakukan aksi teror bom di berbagai tempat. “Pemerintah harus mengambil langkah- langkah seperti melokalisasi, mengeliminasi, bahkan memutus jaringan NII yang semakin berkembang, apalagi mereka lakukan cuci otak, melakukan aksi seperti teroris dan bom dan ini melampaui batas toleransi,” kata dia. Dalam kunjungan kerjanya di beberapa titik di Dapil II Sulawesi Selatan, Kamis malam, Jafar menghadiri wirid dan menyampaikan tausiah di Mesjid Pondok Pesantren Nurul As’diyah Callaccu, Desa Sengkang Kecamatan Tempe, Kab Wajo, Sulawesi Selatan. Dalam tausiahnya, Jafar menyinggung soal pendidikan yang dirasakan amat penting untuk membangun dan meningkatkan harga diri, keluarga dan bangsa. “Proses pendidikan adalah salah satu cara mengangkat derajat, kapasitas seseorang sehingga dapat membantu orang lain. Oleh karena itu, kita wajib mendapatkan pendidikan agar kita ke depan bisa membangun diri, keluarga dan bangsa ini,” kata Jafar. Dia juga mengucapkan terima kasih kepada masyarakat Sengkeng, Kabupaten Wajo yang telah menjadikan saya sebagai anggota DPR RI. “Dan kewajiban bagi saya untuk menyampaikan keinginan, aspirasi masyarakat di sini kepada pemerintah,” kata Jafar. Dalam kesempatan itu, Jafar juga menyampaikan sumbangan sebesar Rp5 juta kepada mesjid yang telah beberapa kali ia kunjungi itu.(*) (Zul/R009)

Bangsa yang Tak Merawat Diri


OLEH MUHIDIN M DAHLAN

Soekarno bilang, Indonesia adalah bangsa kuli dan kuli dari bangsa-bangsa.
Menurut saya, Indonesia bangsa perusak. Bangsa yang tak punya mental merawat.
Apa pun akan dirusaknya jika itu tak memberi keuntungan pragmatis. Tak peduli,
bahkan milik berharga Proklamator Indonesia . Dua warisan dari dua bapak pendiri
bangsa (founding fathers) itu, sepanjang reformasi, terkubur satu-satu.

Alkisah, Perpustakaan Idayu menyatu menjadi tanah di Sentul pada 2006.
Perpustakaan yang berdiri tahun 1966 ini menyimpan koleksi bibliografi Indonesia
sejak 1955; pertama oleh PT Gunung Agung (penerbit dan toko buku) kemudian
dialihkan ke Idayu tahun 1966, termasuk koleksi kliping koran dari tahun
1960-an, koran-koran daerah dari seluruh daerah yang selalu diterima Idayu
secara gratis.

Ada juga koleksi Books on Indonesia sebanyak 3.000 judul. Pidato Bung Karno
mulai dari yang terpendek (1949) hingga terakhir, termasuk saat menerima gelar
doktor honoris causa dari lebih 20 universitas di dalam dan luar negeri. Ada
pula foto dan film revolusi 1945 yang diperoleh dari IPPHOS. Dokumen Petisi 50
yang terkoleksi lengkap. Buku atau artikel terlarang juga ada dalam rangkaian
koleksi.

Koleksi-koleksi itu berubah menjadi tanah, dimakan rayap Sentul. Menurut Murtini
Pendit, yang 15 tahun mengurus dokumentasi Idayu, mereka sudah berupaya agar
warisan itu mendapat tempat layak.

Setelah Gedung Kebangkitan Indonesia (STOVIA) yang dipakai Idayu diambil alih
pemerintah, Idayu terusir. Mereka membujuk Perpustakaan Nasional memberi ruang
khusus untuk bibliografi, tetapi ditolak. Universitas Indonesia juga menolak.

Terakhir, mereka menyewa gedung di Sentul. Gudang itu sekaligus menjadi kuburan
akhir koleksi bibliografi Idayu.

Sepanjang reformasi, stempel ”bukan bangsa (bermental) perawat” ini mendapat
legitimasinya. Selain Idayu di Jakarta, Pemerintah Kota Bandung juga pernah
ambil ancang-ancang menghabisi Gedung Landraad, tempat di mana Soekarno diadili
pada 1930. Untunglah ada sekelompok kecil budayawan memperjuangkannya
habis-habisan hingga gedung itu kini menjadi pusat kebudayaan yang aktif.

Pada bulan Agustus 2010 mencuat peristiwa miris. Para ahli waris Inggit menjual
surat nikah berikut surat cerai Soekarno dan Inggit Garnasih karena ketiadaan
dana merawat barang-barang peninggalan keduanya, museum dan rumah sakit bersalin
Inggit Garnasih di Kota Bandung .

Di Yogyakarta, Perpustakaan Hatta, rumah bernaung buku-buku yang dibeli dan
dikumpulkan Hatta sepanjang hayatnya, akhirnya ”rebah” tahun 2007. Koleksinya
dijual ke Perpustakaan Universitas Gadjah Mada.

Rahzen (2000) pernah cerita, puluhan ribu koleksi buku Perdana Menteri Ali
Sastro Amidjojo justru didapatkannya tak sengaja di rumah jagal buku dan bersiap
dibuburkan. Demikian juga koleksi Adam Malik mblusuk-mblusuk di pasar gelap buku
bekas. Dan kita masih bisa menderetnya sepanjang-panjangnya.

Merawat memori

Mental merawat memori adalah salah satu modal dasar peradaban besar. Pada abad
ke-10—bahkan sebelumnya—Nuswantara mengalami puncak kejayaannya. Relief Candi
Cetho, Sukuh, dan Panataran, misalnya, menggambarkan relief-relief peradaban
dunia yang mengukuhkan Nuswantara sebagai pusat peradaban. Tesis ini yang
diyakini dua akademisi yang belum pernah ke Indonesia sekalipun, Stephen
Oppenheimer ( Eden in the East) dan Arysio Santos (Atlantis, The Lost Continent
Finally Found).

Ditengarai, saat itu pemerintah sadar bahwa semangat global harus diikuti
fondasi dasar bagaimana mengadopsi peradaban itu dengan semangat
mendokumentasikan seluruh khazanah keilmuan dunia yang puncaknya berlangsung
pada abad ke-14.

Seusai menyelesaikan proyek kolektif gigantik, Sadur: Sejarah Terjemahan di
Indonesia dan Malaysia (2009), Henri Chambert-Loir (2010) menyimpulkan, mental
(dukungan dan kebijakan) pemerintahlah kuncinya. Pada masa Dharmawangsa Teguh
dan beberapa generasi setelahnya, hampir semua bahasa dunia digunakan di
Nusantara karena kerajaan mendukung penuh proyek itu.

Kini, jangankan mendokumentasikan ilmu-ilmu di dunia, merawat warisan
intelektual dua Proklamator Indonesia saja pemerintah tersaruk-saruk. Jangankan
mengumpulkan buku/dokumen dari peradaban global secara sistematis seperti
dilakukan Library of Congress Amerika Serikat dengan bergerilya hingga ke
kabupaten-kabupaten kecil mencari dokumen berbahasa Indonesia , merawat rumah
peradaban yang ada saja tak sanggup.

Tumbuhlah padi

Ini soal mental merawat yang tak dipunyai. Tanpa mental merawat, jangan harap
ada visi yang menurun ke kebijakan. Mental merawat bukan retorika. Ia bersemayam
dalam sikap budaya. Bentuk mental merawat itu terangkum dalam sebait kalimat
Multatuli seperti dikutip Mohammad Hatta pada halaman akhir pleidoi Indonesia
Merdeka: ”Onhoorbaar goeit de padi (tak terdengar tumbuhlah padi)”.

Kekuatan kebudayaan yang terpendam dalam memori sejarah, dengan berbagai bentuk
medianya, sesungguhnya tak lain adalah kekuatan inti dari negara dan bangsa yang
dibangun ini. Kekuatan yang menegaskan ”jati diri”, hal yang hanya ribut di
mulut para petinggi. Dengan pelalaian sekaligus perusakan—disengaja atau tidak—
kekuatan itu penanda kuat hilangnya diri dalam kolektivitas kita sebagai bangsa
juga individualitas kita sebagai manusia.

Oleh karena itu, jangan pernah mimpi memanen kejayaan peradaban (Indonesia Jaya
2030) jika tak siap berjalan dalam kesunyian merawat, memupuk, dan menjaga
warisan masa silam dengan segenap kesadaran. Bila tidak, aparat pemerintah hari
ini akan dikutuk generasi berikutnya sebagai kutu bagi buku, rayap bagi dokumen,
dan hama bagi padi yang menghancurkan harapan ”petani-petani” peradaban.

MUHIDIN M DAHLAN Kerani di Indonesia Buku (IBOEKOE), tinggal di Yogyakarta
Sent from my BlackBerry®
powered by Sinyal Kuat INDOSAT;hernowo hasim <hernowo_mizan@yahoo.com> ,in:DikBud@yahoogroups.com,Tuesday, 26 April 2011 15:05:53