RT 2 adalah salah satu dari lima RT di Kampung Darung Bawan, nama seorang tokoh legendaris dalam cerita rakyat Daerah Aliran Sungai Katingan. Penamaan demikian bukanlah kebetulan karena mayoritas warganya berasal dari Katingan. Saya belum menelusuri musabab mengapa banyak Uluh Katingan memilih bertempat tinggal di RT ini sehingga bahasa pergaulan yang digunakan di RT ini pun otomatis adalah Bahasa Katingan, bukan Bahasa Indonesia dan Bahasa Ngaju. Sikap Uluh Katingan yang demikian sesuai dengan amanat Sumpah Pemuda 1928 yang menyebutkan bukan berbahasa satu yaitu Bahasa Indonesia, tapi “Menjunjung Bahasa Nasional, Bahasa Indonesia”. Dengan ‘menjunjung’ maka Bahasa Daerah tidak ditelan oleh Bahasa Nasional. Nasionalisme tidak berarti melenyapkan kebhinnekaan.
Dibandingkan dengan RT-RT lain, penduduk RT 2 ini berjumlah paling banyak sehingga administrasi publik di tingkat lebih tinggi, suka tidak suka niscaya memperhitungkan mereka ditambah lagi oleh watak Katingan mereka yang gampang bertindak ekstrim jika merasakan ketidakadilan sedang berlangsung dan mendekati garis batas.
RT 2 dikitari oleh parit-parit besar sehingga kalau hujan deras, berapa lama dan sederas apa pun, RT 2 tidak pernah terancam banjir seperti tidak sedikit RT-RT lain yang umumnya dibangun di atas lahan gambut. Di bagian belakang mengalir sebuah anak sungai yang masih jernih dinaungi oleh pepohonan rindang–suatu kekecualian langka di tengah kerusakan alam Kalimantan Tengah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh penduduk daerah.
Dedaunan yang dahulu tak tertembus matahari, bersamaan dengan invasi besar-besaran para investor, hutan dibabat, matahari pun seperti kuda liar berlari ke segala arah di padang lapang. Sungai yang tadinya jernih, sekarang keruh warna lumpur dan jadi tong sampah besar. Air raksa di dalamnya membinasakan jutaan ikan yang dahulu pada musim bertelur, berenang ke hulu membuat permukaan sungai bergelombang. Anak-anak milenial sekarang tidak bisa membayangkannya dengan alat tercanggih terbaru sekalipun karena teknologi tidak bisa memutar kembali waktu.
Dengan keadaan geografis yang demikian, jembatan-jembatan dari kayu besi atau dari kayu biasa lebih besar dari badan mobil, banyak dibangun agar bisa memasuki RT 2. Kampung dikelilingi air mengingatkan saya akan bangunan kuta-kuta, kampung-benteng Dayak zaman dahulu dalam upaya menghadapi serangan dari luar.
Ulin pun bahan utamanya, ulin tetap kayu yang tidak mampu melawan kuasa waktu dan hukum gerak abadi yang mampu merapuhkan segala. Dua jembatan utama masuk RT menampakkan tanda-tanda kerusakannya. Politik dana bantuan Inpres telah melenyapkan budaya harubuh dalam menanggulangi persoalan-persoalan bersama. Jembatan utama dibiarkan tak diurus sehingga makin gampang matahari, air curahan langit dan waktu memperparah kondisi jembatan yang terus menua. Gelontoran bantuan dana dari para ‘dewa pemegang kuasa’ seperti Godot yang ditunggu-tunggu, tak juga kunjung tiba.
Pada saat pemilu, RT 2 dengan jumlah penduduknya yang banyak, menjadi RT yang selalu ramai dikunjungi para kandidat, entah itu mereka yang merindukan kedudukan di Badan Legislatif atau menjadi orang pertama atau kedua tertinggi di kota. Para pengunjung ini dengan gaya ‘bajenta-bajurah’, entah asli atau dibuat-buat, sangat mengincar suara pemilih RT 2. Cuan pun dengan gampang keluar dari kocek.
Warga RT 2 sangat paham perangai para pengunjung istimewa dan musiman ini. Uluh Katingan yang dewasa dengan harga diri yang tinggi memandang dari jauh, menyuruh anak-anak kecil mereka mengerumuni para pengunjung istimewa musiman sambil menunggu remah-remah keluar dari saku celana yang licin disetrika diiringi hamburan senyum lebar. Saat mendapatkan lembaran-lembaran warna hijau atau merah, anak-anak dengan girang melambai-lambaikan kertas tersebut sambil berseru-seru dengan riuh.
“Terima kasih, Bué. Terima kasih, Bué.”
Juru potret para pengunjung istimewa musiman itu sibuk memainkan kamera menangkap suasana untuk kemudian muncul di berbagai media ataupun menjadi latar baliho melukiskan kedekatan mereka dengan masyarakat bawah.
Beberapa tahun lalu, ketika menemani para pengunjung istimewa musiman itu berkeliling kampung, Markoni, Ketua RT 2 dan perangkatnya berkata, “Nanti, kalau Bapak-Ibu terpilih, kami minta dua jembatan utama masuk kampung ini tolong mendapat perhatian agar segera diperbaiki. Dua jembatan yang Bapak-Ibu lihat tadi sangat penting bagi warga kami.”
“Pasti, pasti, Pak Markoni. Tak perlu khawatir akan hal itu.”
Dengan suara warga RT 2 yang tidak sedikit, di antara para pengunjung istimewa musiman itu, ternyata ada yang terpilih, bahkan ada yang menjadi orang pertama kota.
Lima tahun berlalu. Dua jembatan utama masuk ke RT 2 bukan hanya belum diperbaiki, tapi justru makin parah keadaannya. Hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Itu pun dengan penuh kehati-hatian kalau tidak ingin jatuh ke air parit selebar lima meter dengan kedalaman serupa. Untuk masuk ke kampung, mobil dan sepeda motor harus mengambil jalan memutar, masuk menggunakan jembatan kayu lain yang masih aman berfungsi sebagai jembatan.
Dalam rapat RT 2 dengan perangkat lengkapnya, Markoni yang masih menjabat Ketua RT menanyakan pada para hadirin sidang, “Ini pemilu segera tiba lagi. Seperti pemilu yang lalu, kali ini pun para pengunjung istimewa musiman itu pasti akan kemari lagi. Kita apakan dua jembatan itu? Apa kita perbaiki bersama-sama agar para pengunjung istimewa musiman itu bisa masuk dengan gampang, tak perlu mengambil jalan memutar? Kas RT masih ada untuk memperbaikinya, apalagi jika dilakukan dengan harubuh?”
Seperti paduan suara, para peserta rapat serentak menjawab marah.
“Bodoh sekali kalau kita memperbaikinya. Biarkan mereka datang. Melalui jalan mana dan bagaimana, bukan urusan kita. Mereka perlu suara kita.”
”Pertimbangkan dengan tenang, bukan dengan rasa marah,” ujar Markoni. ”Kalau mereka datang, kan kita dapat cuan,” tambah Markoni lagi menahan tawa.
“Emang harga diri kita cuma lima puluhan ribu atau ratusan ribu rupiah?” ujar yang lain tetap dengan suara berang.
”Ambil uangnya. Seperempat untuk kas RT, tiga perempat untuk yang menerima, tapi jangan pilih mereka lagi. Jembatan kita hancurkan sebagai tanda kemarahan kita atas pengingkaran janji,” terdengar usul baru dari peserta rapat kampung.
“Suara kita untuk mereka kali ini harus nol. Yang memberikan mereka suara, sama dengan pengkhianat kampung ini,” ujar yang lain lagi.
Setelah berdiskusi panjang lebar, rapat perangkat RT 2 memutuskan dua jembatan utama masuk RT 2 dihancurkan. Bahkan anak-anak beramai-ramai menuju ke arah jembatan. Kurang dari satu jam, dua jembatan utama yang sudah rusak itu hanya tinggal bekasnya saja.
Seperti biasa, dalam rangka kampanye, para pengunjung istimewa musiman itu kembali datang. Perangkat RT dan penduduk dari seberang parit memandang mereka yang berdiri di seberang lain. Mereka saling pandang.
“Bagaimana kami menyeberang?” tanya salah seorang dari para pengunjung istimewa musiman itu.
“Gampang, Pak. Kami bikin jembatan darurat,” ujar salah seorang perangkat RT.
Sesuai rencana, mereka dengan cekatan menbentangkan tiga keping papan dan beberapa batang bambu di sampingnya, sebagai jembatan darurat. Seorang dari perangkat RT itu berjalan di atasnya sebagai bukti bahwa jembatan darurat itu bisa diandalkan.
“Silahkan nyeberang, Bapak-Ibu,” ujarnya ketika berada di samping para para pengunjung istimewa musiman itu.
Setelah berpandangan sebentar dengan anggota rombongannya, salah seorang, nampaknya orang terpenting dari para pengunjung istimewa musiman itu berkata, ”Baik, saya akan menyeberanginya.”
Semua perhatian dan mata tertuju pada lelaki 50-an tahun, berkacamata dan perut sedikit ke depan. Tas hitam di tangan. Ketika sampai di tengah-tengah jembatan darurat itu, ia nampak kehilangan keseimbangan lalu jatuh seperti setangkai dahan patah ke air selokan. Seluruh tubuhnya sempat tak kelihatan. Tas hitam nampak hanyut dibawa arus, dikejar ajudannya, sedangkan kacamata hitamnya tak lagi nampak. Entah di mana. Barangkali di dasar selokan.
Melihat keadaan itu, anak-anak kecil RT 2 tak bisa menahan ketawa bahkan ada yang secara spontan beteriak, “Horeeeee … ”
Markoni, sambil menahan senyum, hanya berkata kepada bocah-bocah itu, “Husshhh, jangan ngetawain orang.”
Anak-anak itu memandang Markoni sambil menutup mulut dengan kedua tangan kecil mereka. Sempat saya dengar salah seorang bocah berbisik kepada temannya, “Seperti tikus kena perangkap.”
“Husshhh,” ujar temannya sambil mencubit. Keduanya cubit-cubitan tapi tidak bisa mengalihkan perhatian rombongan para pengunjung istimewa musiman itu pada lelaki yang jatuh.
Sejenak mereka nampak berunding.
“Lain kali kami datang lagi,” ujar lelaki yang basah kuyup itu sambil berjalan, tanpa kacamata lagi, menuju kendaraan roda empatnya.
Para pengguna lalu lintas lainnya, berhenti sejenak memperhatikan keadaan yang tak biasa itu. Warga RT melepas para pengunjung istimewa musiman itu dengan pandangan geli. Kendaraan para pengunjung istimewa musiman itu melaju meninggalkan debu disambut lepasnya gelak-bahak seluruh warga RT 2, tak memperdulikan hidup yang lama dipenuhi debu. Langitnya pun kelabu abu.
Saya jadi teringat perangai Ayah mertuaku yang kocak dan berakal. Beliau selalu tertawa, caranya berpikir. Menjadi manusia berakal dan bisa menertawai diri adalah pesannya kepadaku. Almarhum adalah Damang Katingan yang kehadirannya kembali kulihat di RT 2 ini.[]
Alibi Kebhinnekaan?
Oleh: Lidia Kristina* | Penyunting: Andriani SJ Kusni
Indonesia sangat terkenal dengan sebutan negara multikultural. Dengan demikian, banyak suku yang mendiami wilayahnya. Keberadaaan suku-suku ini menjadi tanda pulau yang menjadi tempat mereka tinggal. Salah satu dari sekian banyak suku di tanah air itu adalah Suku Dayak yang berada di Pulau Kalimantan.
Jika mendengar kata ‘suku’ di Kalimantan, pikiran akan segera tertuju pada Suku Dayak, walaupun masih terdapat suku-suku lain. Mengapa? Karena Suku Dayak merupakan suku tertua yang mendiami wilayah ini, jadi Kalimantan tidak akan asing dengan kata “Uluh Itah” yang artinya ‘Orang-Orang Dayak’.
Kalimantan mempunyai begitu banyak keunikan, mulai dari sumber daya alam yang kaya dan menjadi salah satu alasan yang membuat suku-suku lain berimigrasi ke Kalimantan seperti Suku Batak yang berimigrasi dari Pulau Sumatera, Suku Jawa dari Pulau Jawa dan masih banyak lagi sehingga tidak terelakkan pencampuran budaya berlangsung antar mereka.
Nah, pertanyaan selanjutnya: Bagaimana berbagai etnik yang berbeda-beda dengan latar budaya yang berbeda-beda pula, seniscayanya berinteraksi atau berperilaku satu terhadap yang lain di Pulau Kalimantan?
Dayak sendiri juga memiliki kelompok etnik dan sub-etnik yang bermacam-macam tapi mereka bisa saling menghargai satu sama lain. Sikap menghargai suku-suku lain non-Dayak ini pun telah ditunjukkan oleh Orang Dayak, tapi apakah suku-suku lain non-Dayak itu sudah menghargai Orang Dayak sebagai penduduk lokal lebih awal secara semestinya juga?
Jika menoleh ke belakang, terutama ke Tragedi Sampit pada tahun 2000 di mana perseteruan berdarah antara Suku Dayak dengan Suku Madura terjadi yang memakan korban jiwa cukup banyak dan harta-benda yang tidak kecil: Mengapa hal ini bisa terjadi padahal Indonesia memiliki semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua sehingga seharusnya tragedi itu tidak terjadi?
Tragedi seperti ini bukan hanya terjadi di wilayah Kalimantan saja tetapi juga di berbagai tempat di tanah air sehingga oleh tragedi demi tragedi seperti ini, masalah ‘kesatuan’ menjadi tidak nyata adanya. Apakah ada yang salah dengan semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’? Kalau ada, di mana letak kekeliruan itu? Upaya seperti apa yang seyogyanya dilakukan agar peristiwa perpecahan seperti ini tidak terulang lagi?
Menurut hemat saya, sesuatu yang harus dibenahi adalah ‘pendidikan moral dan karakter’.
Dulu bahkan sampai dengan saat ini, masih banyak yang hanya berfokus pada bagaimana melestarikan dan mencintai suku dan budaya identitas. Oleh kecintaan pada suku dan identitasnya, maka mereka melihat bahwa suku lain adalah saingan. Begitu pula sebaliknya. Suku ‘asing’ menstigma suku asli dengan menganggap mereka lemah dan tidak memiliki kemampuan membangun daerahnya sendiri. Anggapan seperti ini tentu saja menjadi penyebab utama meletusnya konflik.
Dalam mengejawantahkan semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’, hal yang perlu menjadi titik perhatian adalah ‘pendidikan karakter’. Pendidikan berwawasan budaya dan etika akan mengajarkan niscayanya memiliki karakter dan sikap benar dan baik. Kunci dalam mengembangkan pendidikan yang berkarakter dan beretika ini adalah lembaga pendidikan yang seharusnya tidak hanya fokus mengajarkan ilmu pengetahuan.
Moral dalam menerapkan ilmu pengetahuan juga harus ditanamkan sejak awal, apalagi dalam melakukan interaksi sosial, nilai-nilai etika sepatutnya dijadikan pedoman. Dengan demikian, bisa diharapkan bahwa konsep Bhinneka Tunggal Ika akan semakin nyata adanya dan tidak hanya semboyan semata.[]
* Penulis, mahasiswi FISIPOL Jurusan Sosiologi, Universitas Palangka Raya; anggota Komunitas Belajar Menulis Palangka Raya
Sajak Andriani SJ Kusni
Métu adalah Sebutan Tepat
Aku tak tahu persisnya berapa diberikan kepala perusahaan kepada penembak itu Tapi benar akan senantiasa begini: Nurani yang dijual adalah wujud perbudakan modern Mereduksi manusia jadi mesin kejahatan Siang-malam yang berat mereka taburi kotoran Seragam polisi dan seluruh tubuh jiwa mereka berlumur darah Dan amis bangkai kerna profesi mereka memang pembunuh bayaran Agaknya Republik tak cermat merekrut komandan dan awak pasukan Sehingga penjara, rumah tanahan penuh, warga bermatian Bukan, bukan salah rekrut. Penjelasannya: Republik telah dikudeta oligark tapi menggunakan tatanan semula Pembunuh bayaran yang menembak mati Dayak Seruyan itu Oleh serba kekurangan di bawah oligark lalu menjual nuraninya Tidak mengherankan jika mereka bukan lagi manusia Métu! Istilah Orang Katingan Penyelenggara Negaranya? Ah, kau namai sendiri sesukamu Yang pasti bukan dari Republik Indonesia! 2023