Halaman Budaya Sahewan Panarung | 22 Oktober 2023 | Cerpen Andriani SJ Kusni JEMBATAN RT 2

RT 2 adalah salah satu dari lima RT di Kampung Darung Bawan, nama seorang tokoh legendaris dalam cerita rakyat Daerah Aliran Sungai Katingan. Penamaan demikian bukanlah kebetulan karena mayoritas warganya berasal dari Katingan. Saya belum menelusuri musabab mengapa banyak Uluh Katingan memilih bertempat tinggal di RT ini sehingga bahasa pergaulan yang digunakan di RT ini pun otomatis adalah Bahasa Katingan, bukan Bahasa Indonesia dan Bahasa Ngaju. Sikap Uluh Katingan yang demikian sesuai dengan amanat Sumpah Pemuda 1928 yang menyebutkan bukan berbahasa satu yaitu Bahasa Indonesia, tapi “Menjunjung Bahasa Nasional, Bahasa Indonesia”. Dengan ‘menjunjung’ maka Bahasa Daerah tidak ditelan oleh Bahasa Nasional. Nasionalisme tidak berarti melenyapkan kebhinnekaan.

Dibandingkan dengan RT-RT lain, penduduk RT 2 ini berjumlah paling banyak sehingga administrasi publik di tingkat lebih tinggi, suka tidak suka niscaya memperhitungkan mereka ditambah lagi oleh watak Katingan mereka yang gampang bertindak ekstrim jika merasakan ketidakadilan sedang berlangsung dan mendekati garis batas.

RT 2 dikitari oleh parit-parit besar sehingga kalau hujan deras, berapa lama dan sederas apa pun, RT 2 tidak pernah terancam banjir seperti tidak sedikit RT-RT lain yang umumnya dibangun di atas lahan gambut. Di bagian belakang mengalir sebuah anak sungai yang masih jernih dinaungi oleh pepohonan rindang–suatu kekecualian langka di tengah kerusakan alam Kalimantan Tengah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh penduduk daerah.

Dedaunan yang dahulu tak tertembus matahari, bersamaan dengan invasi besar-besaran para investor, hutan dibabat, matahari pun seperti kuda liar berlari ke segala arah di padang lapang. Sungai yang tadinya jernih, sekarang keruh warna lumpur dan jadi tong sampah besar. Air raksa di dalamnya membinasakan jutaan ikan yang dahulu pada musim bertelur, berenang ke hulu membuat permukaan sungai bergelombang. Anak-anak milenial sekarang tidak bisa membayangkannya dengan alat tercanggih terbaru sekalipun karena teknologi tidak bisa memutar kembali waktu.

Dengan keadaan geografis yang demikian, jembatan-jembatan dari kayu besi atau dari kayu biasa lebih besar dari badan mobil, banyak dibangun agar bisa memasuki RT 2. Kampung dikelilingi air mengingatkan saya akan bangunan kuta-kuta, kampung-benteng Dayak zaman dahulu dalam upaya menghadapi serangan dari luar.

Ulin pun bahan utamanya, ulin tetap kayu yang tidak mampu melawan kuasa waktu dan hukum gerak abadi yang mampu merapuhkan segala. Dua jembatan utama masuk RT menampakkan tanda-tanda kerusakannya. Politik dana bantuan Inpres telah melenyapkan budaya harubuh dalam menanggulangi persoalan-persoalan bersama. Jembatan utama dibiarkan tak diurus sehingga makin gampang matahari, air curahan langit dan waktu memperparah kondisi jembatan yang terus menua. Gelontoran bantuan dana dari para ‘dewa pemegang kuasa’ seperti Godot yang ditunggu-tunggu, tak juga kunjung tiba.

Pada saat pemilu, RT 2 dengan jumlah penduduknya yang banyak, menjadi RT yang selalu ramai dikunjungi para kandidat, entah itu mereka yang merindukan kedudukan di Badan Legislatif atau menjadi orang pertama atau kedua tertinggi di kota. Para pengunjung ini dengan gaya ‘bajenta-bajurah’, entah asli atau dibuat-buat, sangat mengincar suara pemilih RT 2. Cuan pun dengan gampang keluar dari kocek.

Warga RT 2 sangat paham perangai para pengunjung istimewa dan musiman ini. Uluh Katingan yang dewasa dengan harga diri yang tinggi memandang dari jauh, menyuruh anak-anak kecil mereka mengerumuni para pengunjung istimewa musiman sambil menunggu remah-remah keluar dari saku celana yang licin disetrika diiringi hamburan senyum lebar. Saat mendapatkan lembaran-lembaran warna hijau atau merah, anak-anak dengan girang melambai-lambaikan kertas tersebut sambil berseru-seru dengan riuh.

“Terima kasih, Bué. Terima kasih, Bué.”

Juru potret para pengunjung istimewa musiman itu sibuk memainkan kamera menangkap suasana untuk kemudian muncul di berbagai media ataupun menjadi latar baliho melukiskan kedekatan mereka dengan masyarakat bawah.

Beberapa tahun lalu, ketika menemani para pengunjung istimewa musiman itu berkeliling kampung, Markoni, Ketua RT 2 dan perangkatnya berkata, “Nanti, kalau Bapak-Ibu terpilih, kami minta dua jembatan utama masuk kampung ini tolong mendapat perhatian agar segera diperbaiki. Dua jembatan yang Bapak-Ibu lihat tadi  sangat penting bagi warga kami.”

 “Pasti, pasti, Pak Markoni. Tak perlu khawatir akan hal itu.”

Dengan suara warga RT 2 yang  tidak sedikit, di antara para pengunjung istimewa musiman itu, ternyata ada yang terpilih, bahkan ada yang menjadi orang pertama kota.

Lima tahun berlalu. Dua jembatan utama masuk ke RT 2 bukan hanya belum diperbaiki, tapi justru makin parah keadaannya. Hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Itu pun dengan penuh kehati-hatian kalau tidak ingin jatuh ke air parit selebar lima meter dengan kedalaman serupa. Untuk masuk ke kampung, mobil dan sepeda motor harus mengambil jalan memutar, masuk  menggunakan jembatan kayu lain yang masih aman berfungsi sebagai jembatan.

Dalam rapat RT 2 dengan perangkat lengkapnya, Markoni yang masih menjabat Ketua RT menanyakan pada para hadirin sidang, “Ini pemilu segera tiba lagi. Seperti pemilu yang lalu, kali ini pun  para pengunjung istimewa musiman itu pasti akan kemari lagi. Kita apakan dua jembatan itu? Apa kita perbaiki bersama-sama agar para pengunjung istimewa musiman itu bisa masuk dengan gampang, tak perlu mengambil jalan memutar? Kas RT masih ada untuk memperbaikinya, apalagi jika dilakukan dengan harubuh?”

Seperti paduan suara, para peserta rapat serentak menjawab marah.

“Bodoh sekali kalau kita memperbaikinya. Biarkan mereka datang. Melalui jalan mana dan bagaimana, bukan urusan kita. Mereka perlu suara kita.”

”Pertimbangkan dengan tenang, bukan dengan rasa marah,” ujar Markoni. ”Kalau mereka datang, kan kita dapat cuan,” tambah Markoni lagi menahan tawa.

“Emang harga diri kita cuma lima puluhan ribu atau ratusan ribu rupiah?” ujar yang lain tetap dengan suara berang.

”Ambil uangnya. Seperempat untuk kas RT, tiga perempat untuk yang menerima, tapi jangan pilih mereka lagi. Jembatan kita hancurkan sebagai tanda kemarahan kita atas pengingkaran janji,” terdengar usul baru dari peserta rapat kampung.

“Suara kita untuk mereka kali ini harus nol. Yang memberikan mereka suara, sama dengan pengkhianat kampung ini,” ujar yang lain lagi.

Setelah berdiskusi panjang lebar, rapat perangkat RT 2 memutuskan dua jembatan utama masuk RT 2 dihancurkan. Bahkan anak-anak beramai-ramai menuju ke arah jembatan. Kurang dari satu jam, dua jembatan utama yang sudah rusak itu hanya tinggal bekasnya saja.

Seperti biasa, dalam rangka kampanye, para pengunjung istimewa musiman itu kembali datang. Perangkat RT dan penduduk dari seberang parit memandang mereka yang berdiri di seberang lain. Mereka saling pandang.

“Bagaimana kami menyeberang?” tanya salah seorang dari para pengunjung istimewa musiman itu.

“Gampang, Pak. Kami bikin jembatan darurat,” ujar salah seorang perangkat RT.

Sesuai rencana, mereka dengan cekatan menbentangkan tiga keping papan dan beberapa batang bambu di sampingnya, sebagai jembatan darurat. Seorang dari perangkat RT itu berjalan di atasnya sebagai bukti bahwa jembatan darurat itu bisa diandalkan.

“Silahkan nyeberang, Bapak-Ibu,” ujarnya ketika berada di samping para para pengunjung istimewa musiman itu.

Setelah berpandangan sebentar dengan anggota rombongannya, salah seorang, nampaknya orang terpenting dari para pengunjung istimewa musiman itu berkata, ”Baik, saya akan menyeberanginya.”

Semua perhatian dan mata tertuju pada lelaki 50-an tahun, berkacamata dan perut sedikit ke depan. Tas hitam di tangan. Ketika sampai di tengah-tengah jembatan darurat itu, ia nampak kehilangan keseimbangan lalu jatuh seperti setangkai dahan patah ke air selokan. Seluruh tubuhnya sempat tak kelihatan. Tas hitam nampak hanyut dibawa arus, dikejar ajudannya, sedangkan kacamata hitamnya tak lagi nampak. Entah di mana. Barangkali di dasar selokan.

Melihat keadaan itu, anak-anak kecil RT 2 tak bisa menahan ketawa bahkan ada yang secara spontan beteriak, “Horeeeee …  ”

Markoni, sambil menahan senyum, hanya berkata kepada bocah-bocah itu, “Husshhh, jangan ngetawain orang.”

Anak-anak itu memandang Markoni sambil menutup mulut dengan kedua tangan kecil mereka. Sempat saya dengar salah seorang bocah berbisik kepada temannya, “Seperti tikus kena perangkap.”

“Husshhh,” ujar temannya sambil mencubit. Keduanya cubit-cubitan tapi tidak bisa mengalihkan perhatian rombongan para pengunjung istimewa musiman itu pada lelaki yang jatuh.

Sejenak mereka nampak berunding.

“Lain kali kami datang lagi,” ujar lelaki yang basah kuyup itu sambil berjalan, tanpa kacamata lagi, menuju kendaraan roda empatnya.

Para pengguna lalu lintas lainnya, berhenti sejenak memperhatikan keadaan yang tak biasa itu. Warga RT melepas para pengunjung istimewa musiman itu dengan pandangan geli. Kendaraan para pengunjung istimewa musiman itu melaju meninggalkan debu disambut lepasnya gelak-bahak seluruh warga RT 2, tak memperdulikan hidup yang lama dipenuhi debu. Langitnya pun kelabu abu.

Saya jadi teringat perangai Ayah mertuaku yang kocak dan berakal. Beliau selalu tertawa, caranya berpikir. Menjadi manusia berakal dan bisa menertawai diri adalah pesannya kepadaku. Almarhum adalah Damang Katingan yang kehadirannya kembali kulihat di RT 2 ini.[]


Alibi Kebhinnekaan?

Oleh: Lidia Kristina* | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Foto: Oki Sobara Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Carnaval_baju_daerah.jpg

Indonesia sangat terkenal dengan sebutan negara multikultural. Dengan demikian, banyak suku yang mendiami wilayahnya. Keberadaaan suku-suku ini menjadi tanda pulau yang menjadi tempat mereka tinggal. Salah satu dari sekian banyak suku di tanah air itu adalah Suku Dayak yang berada di Pulau Kalimantan.

Jika mendengar kata ‘suku’ di Kalimantan, pikiran akan segera tertuju pada Suku Dayak, walaupun masih terdapat suku-suku lain. Mengapa? Karena Suku Dayak merupakan suku tertua yang mendiami wilayah ini, jadi Kalimantan tidak akan asing dengan kata “Uluh Itah” yang artinya ‘Orang-Orang Dayak’.

Kalimantan mempunyai begitu banyak keunikan, mulai dari sumber daya alam yang kaya dan menjadi salah satu alasan yang membuat suku-suku lain berimigrasi ke Kalimantan seperti Suku Batak yang berimigrasi dari Pulau Sumatera, Suku Jawa dari Pulau Jawa dan masih banyak lagi sehingga tidak terelakkan pencampuran budaya berlangsung antar mereka.

Nah, pertanyaan selanjutnya: Bagaimana berbagai etnik yang berbeda-beda dengan latar budaya yang berbeda-beda pula,  seniscayanya berinteraksi atau berperilaku satu terhadap yang lain di Pulau Kalimantan?

Dayak sendiri juga memiliki kelompok etnik dan sub-etnik yang bermacam-macam tapi mereka bisa saling menghargai satu sama lain. Sikap menghargai suku-suku lain non-Dayak ini pun telah ditunjukkan oleh Orang Dayak, tapi apakah suku-suku lain non-Dayak itu sudah menghargai Orang Dayak sebagai penduduk lokal lebih awal secara semestinya juga?

Jika menoleh ke belakang, terutama ke Tragedi Sampit pada tahun 2000 di mana perseteruan berdarah antara Suku Dayak dengan Suku Madura terjadi yang  memakan korban jiwa cukup banyak dan harta-benda yang tidak kecil: Mengapa hal ini bisa terjadi padahal Indonesia memiliki semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua sehingga seharusnya tragedi itu tidak terjadi?

Tragedi seperti ini bukan hanya terjadi di wilayah Kalimantan saja tetapi juga di  berbagai  tempat di tanah air sehingga oleh tragedi demi tragedi seperti ini, masalah ‘kesatuan’ menjadi tidak nyata adanya. Apakah ada yang salah dengan semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’? Kalau ada, di mana letak kekeliruan itu? Upaya seperti apa yang seyogyanya dilakukan agar peristiwa perpecahan seperti ini tidak terulang lagi?

Menurut hemat saya, sesuatu yang harus dibenahi adalah ‘pendidikan moral dan karakter’.

Dulu bahkan sampai dengan saat ini, masih banyak yang hanya berfokus pada bagaimana melestarikan dan mencintai suku dan budaya identitas. Oleh kecintaan pada suku dan identitasnya, maka mereka melihat bahwa suku lain adalah saingan. Begitu pula sebaliknya. Suku ‘asing’ menstigma suku asli dengan menganggap mereka lemah dan tidak memiliki kemampuan membangun daerahnya sendiri. Anggapan seperti ini tentu saja menjadi penyebab utama meletusnya konflik.

Dalam mengejawantahkan semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’, hal yang perlu menjadi titik perhatian adalah ‘pendidikan karakter’. Pendidikan berwawasan budaya dan etika akan mengajarkan niscayanya memiliki karakter dan sikap benar dan baik. Kunci dalam mengembangkan pendidikan yang berkarakter dan beretika ini adalah lembaga pendidikan yang seharusnya tidak hanya fokus mengajarkan ilmu pengetahuan.

Moral dalam menerapkan ilmu pengetahuan juga harus ditanamkan sejak awal, apalagi dalam melakukan interaksi sosial, nilai-nilai etika sepatutnya dijadikan pedoman. Dengan demikian, bisa diharapkan bahwa konsep Bhinneka Tunggal Ika akan semakin nyata adanya dan tidak hanya semboyan semata.[]

*  Penulis, mahasiswi FISIPOL Jurusan Sosiologi, Universitas Palangka Raya; anggota Komunitas Belajar Menulis Palangka Raya


Sajak Andriani SJ Kusni

Métu adalah Sebutan Tepat

Aku tak tahu persisnya berapa diberikan kepala perusahaan kepada penembak itu
Tapi benar akan senantiasa begini:
Nurani yang dijual adalah wujud perbudakan modern
Mereduksi manusia jadi mesin kejahatan
Siang-malam yang berat mereka taburi kotoran
Seragam polisi dan seluruh tubuh jiwa mereka berlumur darah
Dan amis bangkai kerna profesi mereka memang pembunuh bayaran
Agaknya Republik tak cermat merekrut komandan dan awak pasukan
Sehingga penjara, rumah tanahan penuh, warga bermatian
Bukan, bukan salah rekrut. Penjelasannya:
Republik telah dikudeta oligark tapi menggunakan tatanan semula
Pembunuh bayaran yang menembak mati Dayak Seruyan itu
Oleh serba kekurangan di bawah oligark lalu menjual nuraninya
Tidak mengherankan jika mereka bukan lagi manusia
Métu! Istilah Orang Katingan
Penyelenggara Negaranya?
Ah, kau namai sendiri sesukamu
Yang pasti bukan dari Republik Indonesia!

2023


Halaman Budaya Sahewan Panarung Asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 22 Oktober 2023.

Sajak Tenri D. Limboto*: Berdagang Duka dan Bayang-Bayang

Radar Sampit, Minggu 11-7-2021, Halaman Budaya Sahewan Panarung

Dari Jakarta, Makassar dan Jogja
Dari tempat-tempat jauh dan dekat  
Berita-berita kematian merapat 
Angin pun bau mayat

“Kawan-kawan kita satu demi satu meninggal” 
Tami memintaku menulis obituari upacara virtual

Aku menoleh kiri-kanan kotaku kategori merah
Ada polisi meronda, ada kekosongan di wajah-wajah
Karena diberitahukan: kematian ada di kiri kanan   

Oleh bencana yang menggelombangkan ketakutan massal
Tak terbilang rencana terbengkalai 
Kehidupan ibarat kucing patah kaki

Hari ini kematian seperti duka yang setia
Menjadi dekat sedekat bayang-bayang
Tapi sungguh bukan cerita
Hari ini di banyak kota, olehnya
Lahan kuburan sudah persoalan

Lebih di luar nalar
Juga bukan main-main
Bukan khayalan
Ada masih yang mendagangkan
Duka dan bayang-bayang itu

Palangka Raya, 2021

*Penyair asal Sulawesi Tengah, tinggal di Palangka Raya


Mama Tak Bisa Ke Hutan

Tersingkirnya Perempuan Papua dari Hutannya

Oleh: Luviana* | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Hutan Papua sudah beralih tangan dan beralih fungsi. Riset yang dilakukan Rasella Malinda bersama Yayasan Pusaka Bentala Rakyat mengungkap tentang hutan di Papua yang telah menyingkirkan mama-mama dan perempuan di sana.

“Awas ya, kalau menolak.”

Rika Ampera, salah satu aktivis dan perempuan pembela HAM di Papua menerima ancaman jika ia melawan.

Perusahaan datang, lengkap dengan izin pemerintah yang telah mereka bawa, lalu hutan yang selama ini dikelola para mama dan perempuan Papua puluhan tahun, diambil dengan dalih “dipinjam” untuk sementara waktu, namun tanah itu tak kembali lagi.

Cuplikan penyataan ini merupakan bagian dari peluncuran hasil riset “Mama ke Hutan: Perempuan Papua dalam Kecamuk Sumber Daya Alam” yang diselenggarakan Yayasan Pusaka Bentala Rakyat pada 12 April 2021 melalui daring.

Para perempuan Papua menyatakan, “Padahal hutan tidak boleh ditebang, hutan tak boleh dihabiskan, nanti kita tak bisa makan sagu.” Hutan di Papua sudah beralih tangan dan beralih fungsi.

Tigor Hutapea, salah seorang peneliti riset ini mengatakan, ada banyak pembalakan terjadi di sana, tanah Papua sejengkal pun tak ada yang kosong, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan dan perijinan untuk korporasi dan ditakutkan ada bencana ketika tidak ada sumber daya alam di Papua. Korporasi dan negara ini kemudian mengorbankan perempuan. “Padahal selama ini, perempuan hidup dari sumber daya alam ini, mendapatkan pangan, obat dari hutan yang mereka pelihara tiap hari,” kata Tigor Hutapea.

Riset ini merupakan proses laporan empirik perempuan Papua yang dilakukan Rasella Malinda bersama tim peneliti dari Yayasan Pusaka Bentala Rakyat.

Selama ini, ada 1,5 juta hektar lahan dalam 20 tahun yang telah berpindah pengelolaan, salah satunya sawit yang cukup masif. Persoalan lain ada omnibus law untuk percepatan industri, energi terbarukan dan otonomi khusus Papua yang juga mengancam perempuan sedangkan pengakuan untuk masyarakat adat ada, namun setengah hati.

“Ada perempuan adat yang tak mendapatkan pengakuan atas hak tanah ini karena tanah diyakini sebagai milik laki-laki. Perempuan tak dilibatkan dalam keputusan atas perjanjian hutan karena hanya punya hak kelola, tapi bukan hak memiliki,” kata Rasella Malinda.

Dalam riset yang dilakukan di tahun 2020 juga terungkap tentang wajah akuisisi lahan yang tidak demokratis, ada ancaman, kekerasan terhadap perempuan dan para pembela HAM. “Mereka mengatakan, tanah ini kami pinjam pakai selama 30 tahun, padahal jika sudah ada Hak Guna Usaha atau HGU negara, maka akan dikembalikan, namun nyatanya tidak.”

Mempertahankan Lahan Bukan Perkara Mudah

Mempertahankan lahan bukan perkara mudah di Papua. Perempuan pembela HAM mengalami ancaman pembunuhan, ancaman verbal dan fisik, mekanisme tidak adil dan perlakuan diskriminatif terhadap perempuan. Padahal bagi perempuan, hutan adalah ruang hidup bagi perempuan, ada obat-obatan, tanaman untuk dimakan, situs kerja produktif dan reproduktif untuk perempuan. Hutan juga tempat healing terbaik bagi perempuan.

Sejarah tentang hutan dan perempuan ini telah berubah ketika perempuan tak bisa lagi mengelola hutan. Sejak ada perusahaan yang masuk kesana, fungsi perempuan berpindah dari peramu menjadi buruh upahan. Jadi ketika hutannya diambil, maka ini dengan sendirinya menyingkirkan perempuan, mereka terlempar sebagai buruh upahan, rentan ancaman kekerasan seksual.

Pendeta Magda Kafiar dari Papua Women Working Group mengungkap, ini menunjukkan pola perubahan hidup perempuan Papua yaitu dari peramu menjadi buruh upahan. Negara menggunakan militer untuk mempermudah proses penguasaan perusahaan yang sudah dimulai sejak sejarah Papua ketika ada pihak yang datang ingin menguasai Papua. “Penaklukan atas perempuan dan alam ini kemudian dilegitimasi oleh banyak pihak.”

Tieneke Rieke Atmo, seorang akademisi Papua menyatakan bahwa seharusnya pengakuan diberikan pada perempuan yang selama ini memiliki kearifan dan  pengetahuan dalam memelihara hutan sebagaimana perjuangan indigenous feminist yaitu memelihara dan kemudian memanfaatkannya. “Sejarah dulu pada masyarakat, perempuan diposisikan sebagai ahli dan memproduksi pengetahuan di dalam hutan karena mereka dianggap orang yang paling tahu, jika dikonversi, betapa kerja kerasnya perempuan selama ini.”

Atnike Sigiro, Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan menyatakan jika ada yang menganggap perempuan terlalu romantik, terlalu banyak bicara soal personal seperti yang dilakukan oleh mama-mama Papua untuk mempertahankan hutannya, ini justru merupakan serangan terhadap perjuangan nyata yang dilakukan mama dan perempuan di sana. “Perempuan dianggap tidak mengerjakan pekerjaan ekonomis, padahal peran perempuan itu kunci. Lalu bagaimana kebertahanan perempuan selanjutnya? Mengapa perempuan tidak ada disini? Ini yang harus ditanya.”

Komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini mengatakan, selama ini, kondisi inilah yang selalu terjadi di Papua. Perempuan posisinya berada di pusaran kepentingan. Di tahun 2016-2019, ada 20 pengaduan kasus penguasaan lahan yang merugikan perempuan yang diterima Komnas Perempuan dan di tahun 2020 juga ada banyak sekali pengaduan yang sama. Hal ini disebabkan paket pembangunan yang bertumpu pada kebijakan luar negeri seperti kebijakan WTO, IMF dan kebijakan yang mendorong liberalisasi sumber daya alam yang banyak mengorbankan perempuan. “Dan inilah yang kemudian mendorong kriminalisasi, pelecehan perempuan, perempuan sebagai alat komoditi, pengabaian peran perempuan, kesehatan reproduksi perempuan yang bermasalah, terjadinya kekerasan terhadap perempuan, anak perempuan dan perempuan pembela HAM.” Budaya patriarki yang kuat juga menambah kerentanan ini, belum ada perhatian khusus dan layanan publik yang sulit diakses. “Saya ke Papua tahun lalu dan semua ini masih sulit untuk diakses dan diselesaikan. Minimnya dialog, lalu yang terjadi adalah rasisme dan stigmatisasi.”

Dalam kebijakan, Komnas Perempuan akan memperjuangkan bahwa dalam Cedaw atau konvensi anti diskriminasi terhadap perempuan seharusnya tak boleh ada diskriminasi. Namun di perkebunan sawit misalnya, para buruh perempuan masih mendapatkan upah murah, jam kerja panjang, tanpa perlindungan, kekerasan seksual, pestisida yang berbahaya yang banyak menyerang pekerja perempuan sawit.

Komnas Perempuan akan memperjuangkan kebijakan afirmasi partisipasi politik perempuan, upaya perlindungan pada perempuan dan pembela HAM, juga memperkuat mekanisme perlindungan perempuan

*Luviana, setelah menjadi jurnalis media arus utama selama 20 tahun, kini menjadi pemimpin redaksi http://www.konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Catatan Pengasuh: Tulisan ini disiar ulang dari http://www.konde.co sebagai bahan edukasi dan informasi.



Cerpen Supadilah Iskandar: Industri Hiburan

Ilustrasi | Cerpen Supadilah Iskandar: Industri Hiburan | Halaman Budaya Sahewan Panarung, Radar Sampit, Minggu, 14/02/2021
[Net] Kasih sayang telah hangus

Sulit sekali bagi saya bercerita tentang dunia industri hiburan. Di samping banyak istilah yang tidak saya pahami, juga banyak persoalan internal yang seakan hanya menjadi rahasia perusahaan. Tapi supaya Anda tidak mudah terhipnotis oleh industri yang meninabobokan itu, ingin saya ceritakan pengalaman saya pribadi, bersama teman saya yang merambah ke dunia industri hiburan, dengan bahasa sederhana sesuai kemampuan saya.

Teman saya itu bernama Mahmud Sukmara, yang kemudian berganti nama menjadi Mara Sukma. Lebih dari enam tahun kami menjalin pertemanan sejak kelas satu SMP hingga kelas tiga SMU. Kemudian, selama belasan tahun kami berpisah sejak kami menduduki bangku kuliah. Saya kuliah di kota Serang provinsi Banten, sedangkan Mara Sukma melanjutkan di kota metropolitan, Jakarta.

 Dulu, semua teman di sekolah paham betul bahwa Mara Sukma lebih tampan dan ganteng ketimbang saya. Posturnya tinggi, dadanya bidang dan kulitnya putih. Kepribadiannya juga terbilang menawan, santun dan baik, tidak banyak membuat ulah seperti teman-teman lainnya.

Ia hidup dari keluarga berkecukupan. Bapaknya seorang pedagang dan pemilik toko sembako di Pasar Baru Cilegon. Sepertinya ia dibesarkan dengan kebutuhan yang selalu tercukupi, meskipun ia bukan tergolong laki-laki yang mudah menghamburkan uang. Selain itu, ia pun selalu berpenampilan menarik, dengan kegemaran mengenakan kemeja atau baju batik. Pada saat olahraga basket di sekolah, ia merasa senang dengan mengenakan kaos yang berkerah ketimbang berstelan oblong atau singlet.

Pada hari Minggu, biasanya kami pergi ke kolam renang, dan apabila saya tak punya uang untuk membeli karcis, ia tak segan-segan mentraktir, bahkan dalam hal jajanan di kantin kolam renang sekalipun.

Di musim-musim kampanye politik, biasanya ia berkecimpung menyuarakan partai atau calon presiden berhaluan liberal. Secara akademik, meskipun wawasannya biasa-biasa saja, tapi ia tergolong pelajar yang nilainya lumayan. Sewaktu SMU, kami pernah juga disatukan dalam satu grup musik. Saya memegang gitar bass, sedangkan dia sebagai drummer. Grup musik yang disukainya terbilang ngetren pada masa itu, seperti Pearl Jam, Metallica, Soundgarden hingga Guns N’Roses. Sedangkan grup band lokal yang digemarinya adalah Dewa 19, Ungu, Sheilla On 7, dan lain-lain.

Bagaimanapun, Mara Sukma adalah pelajar yang amat populer di mata gadis-gadis SMU, meskipun ia bukanlah tipe laki-laki yang mudah gonti-ganti pasangan. Dia cuma punya satu pacar, seorang gadis kelas tiga SMU, yang seringkali diajaknya nonton di salah satu bioskop Twenty One pada minggu sore. Paling tidak, itulah sekilas saya ceritakan tentang pengalaman saya dengan Mara Sukma. Pendek kata, dulu ia terbilang laki-laki serba kecukupan, tanpa kekurangan suatu apa.

Sewaktu menginjak di bangku kelas tiga SMP, kami sering mendengar musik bersama-sama. Ketika Mara mempunyai album baru, biasanya ia menyampaikannya di sekolah, lalu saya pun bertandang ke rumahnya seusai pelajaran sekolah. Begitupun kalau ia memiliki novel terbaru. Novel-novel romantis yang paling disukainya adalah karya-karya Nicholas Sparks, Jane Austen, Eric Segal hingga Charlotte Bronte dan lain-lain.

Saya masih ingat setelah lulus SMU dan kami mengalami euphoria bersama sambil mencorat-coret baju sekolah dengan spidol, Mara meminta saya membubuhkan tandatangan di bagian punggung, lalu malam harinya mengajak saya dan pacar saya menonton bareng ke bioskop bersama dia dan pacarnya. Setelah itu, saya mendengar kabar bahwa Mara melanjutkan kuliah ke Jakarta dan pertemanan kami pun terputus sampai di situ.

Belasan tahun saya tak pernah jumpa dengannya. Meskipun samar-samar saya menerima kabar bahwa dia bekerja di salah satu stasiun televisi bersamaan dengan maraknya para pengusaha industri hiburan yang membuka siaran-siaran televisi swasta. Tapi entah dia bekerja di televisi mana, saya kurang tahu.

***

Sore itu, ketika saya menghadiri undangan untuk acara “Temu Sastrawan Nasional” di salah satu hotel bintang lima di Jakarta, saya menyempatkan diri duduk-duduk di samping kolam renang di lantai dasar hotel. Entahlah, apa yang ada di pikiran mereka dengan melibatkan saya sebagai pihak yang diundang. Padahal, saya cuma penulis amatiran biasa yang selalu mengalami kesulitan menuangkan gagasan ke dalam karya sastra. Tetapi, sebagai penghormatan kepada para sastrawan senior, lebih baik saya memutuskan untuk turut serta menghadirinya. Lagipula, acara tersebut memiliki tema unik dan menarik: Sastrawan Kita Harus Menjadi ”Manusia Selesai”.

Singkat kata, di sekitar kolam renang, sore itu, tiba-tiba muncul seorang laki-laki bertubuh kekar dan dada bidang, mengambil posisi duduk di sebelah saya. Seketika saya amati dengan ekor mata saya yang tertutup kacamata hitam. Ah, bukan salah lagi, dialah Mara Sukma! Sahabat saya yang tak pernah berjumpa selama belasan tahun.

Kelihatannya dia masih ganteng dan tampan seperti dulu. Tentu usianya sepantaran saya sekitar tigapuluh dua tahun, atau paling berselisih satu tahun. Dia menunjukkan ekspresi dan pesona yang saya sudah kenal sebelumnya. Boleh jadi di lingkungan tempatnya bekerja, pesona itu menyebar hingga tak urung para wanita meliriknya, dan ingin menjadi kekasihnya.

Saat itu juga, Mara tidak menyadari kalau saya sedang duduk-duduk santai di sampingnya. Saya agak melengos sedikit sambil membetulkan posisi kacamata hitam yang menggelayut di pipi. Seketika saya putuskan bahwa saya tak perlu menyapanya, dan dengan kacamata hitam berlensa agak lebar, saya merasa yakin kalau dia tak bakalan mengenali saya.

Tak berapa lama, muncullah sesosok wanita cantik yang siapapun tahu dialah Nikita Thalia, seorang artis ibukota terkenal yang tiba-tiba mengambil posisi duduk di samping Mara. Sesaat saya menggerutu sendirian di dalam hati:

Waduh, kenapa tadi memutuskan tidak menyapa Mara? Rupanya artis kondang itu mengenali dia, bahkan sangat membutuhkannya.  Kenapa saya pakai melengos sambil membetulkan kacamata hitam segala? Untuk apa saya bersikap tak acuh, padahal dia adalah sahabat karib saya, yang dulu mentraktir nonton, serta meminjamkan album-album musik terbaru, yang justru beberapa koleksi musiknya masih saya simpan hingga kami lepas dari pertemanan sejak lulus SMU?

Tapi kalaupun saya menyapanya kemudian berbincang-bincang dengannya, masalahnya apa yang akan kami perbincangkan? Soal spidol dan corat-coret baju seragam ketika lulus SMU? Atau tentang beberapa album musik dan novel miliknya yang belum sempat saya kembalikan sampai sekarang? Waduh, tentang apa lagi ya?

Tentu saya akan kelimpungan dan kehabisan bahan pembicaraan. Akhirnya, saya putuskan untuk membiarkan mulut terkunci sebagai alasan tak punya nyali untuk menegur apalagi mengajak ngobrol dengannya. Maka, saya biarkan tatapan mata agak melengos sedikit, sambil pura-pura membaca buku, karena saya sempat menenteng dua buah buku saat keluar kamar hotel tadi.

***

Biarpun mata tertutup kacamata hitam, tapi kuping toh bisa mendengar jelas apa-apa yang mereka bicarakan, lebih tepatnya apa-apa yang mereka pertengkarkan di sore itu.

Artis terkenal itu tiba-tiba berteriak memaki-maki Mara, “Taik kucing! Mau berbohong lagi, Kamu?”

“Taik kucing bagaimana? Saya tidak bercanda, saya serius!”

“Justru saya yang serius! Kamu sendiri yang banyak cengar-cengir!”

Dengan suara mengiba, Mara menimpali, “Kamu jangan memandang saya seperti itu! Seharusnya kamu ngerti kalau saya ini bicara apa kata atasan. Saya hanya menjalankan tugas, Nikita!”

“Atasan lagi, atasan lagi… emangnya kamu itu bukan atasan saya?”

“Bukan begitu, maksud saya, kamu harus punya cara pandang berbeda, jangan cuma menurut kemauan kamu…”

“Omong kosong! Kamu ngomong kayak begitu karena kamu ingin menghindar dari tanggung jawab, iya kan?”

Mara tidak membalas, hanya menghela napas dalam-dalam.

Tapi sebelumnya, saya ingin perjelas dulu pembicaraan mereka yang ngalor-ngidul dan panjang lebar. Barangkali memerlukan puluhan halaman jika saya tuangkan sepenuhnya dalam tulisan ini. Tapi seperti yang saya sampaikan terdahulu, saya kurang banyak menguasai seluk-beluk industri hiburan. Maka, saya persingkat saja bahwasanya – seperti yang dikatakannya – saat itu Mara Sukma sudah menjadi sutradara di salah satu siaran televisi swasta di Jakarta. Artis senior yang terkenal itu rupanya telah diputus kontrak lantaran cuitannya (di medsos) diperkarakan suatu lembaga kepemudaan kepada pihak kepolisian. Atau barangkali juga lantaran kepopulerannya yang sudah menurun.

Dari yang saya dengar, sepertinya Mara sudah menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya.

“Jadi, pada dasarnya kita tak dapat berbuat banyak tanpa adanya iklan dan sponsor… saya kira kamu ngerti deh masalah bisnis ini…”

“Alaah, bilang saja kamu memang nggak punya tanggung jawab untuk menjelaskan masalah ini…”

“Bukan begitu, Nikita… saya hanya ingin mengatakan bahwa secara pribadi saya tidak dapat berbuat banyak, ngerti kan?”

“Omong kosong!”

Obrolan itu lagi-lagi menemui jalan buntu. Artis cantik itu sepertinya ingin tahu seberapa besar usaha Mara dalam memperjuangkan hak-haknya. Di sisi lain, Mara beralasan, bahwa ia sudah berusaha keras dan telah berbuat apa yang mesti diperbuat. Tapi si artis terus mendesak agar ia menunjukkan bukti pengorbanannya.

Rupanya artis senior itu sangat mencintai Mara. Menurut dugaan saya, setelah mereka saling cekcok lalu terdiam dalam waktu yang cukup lama, persoalannya baik-baik saja dan selesai sampai di situ. Si artis bangkit membetulkan posisi duduknya, lalu katanya dengan suara mendesah, “Ya, sudahlah kalau begitu…. Coba tolong pesankan somay sama jus melon, traktir saya ya?”

“Oke, siap!”

Dan Mara pun bersejingkat dari duduknya, langsung menuju gerai makanan dan minuman.

 berapa lama, Mara kembali dengan satu piring somay dan dua gelas jus melon. Sambil menyuguhkan ke hadapan artis, ia pun berkata menenangkan, “Makanlah somay ini, saya sudah makan sebelum ke kolam renang tadi… tapi sudahlah, mulai saat ini, persoalan itu tak perlu …”

Belum selesai ia bicara, artis senior itu mencengkeram somay di atas piring, lalu meraupkannya ke wajah Mara. Setelah itu, ia mengguyur kepalanya dengan dua gelas jus melon, hingga percikan airnya mengenai tubuh saya.

Dengan tatapan garang, artis itu kemudian ngeloyor pergi tanpa menengok kanan-kiri lagi. Mara – dan saya di sebelahnya – hanya duduk terpana. Seisi hotel menatap kami dengan kaget dan penuh tanda-tanya.

Mara segera mengendalikan suasana, seraya meminta maaf sambil menyodorkan handuk kepada saya.

“Ah, nggak apa-apa,” balas saya, “sebentar lagi juga saya mau mandi sore…”

Dengan rasa kesal, Mara menarik kembali handuk itu dan mengeringkan dirinya sendiri.

“Maaf ya, Mas, tapi setidaknya biarlah saya akan ganti dua buku yang sedang Mas baca.”

“Nggak apa-apa.”

“Biar nanti saya belikan, buku apa itu, Mas, coba lihat!”

Dua buah buku itu adalah novel “Pikiran Orang Indonesia” karya seorang penulis asal Banten, sedangkan satunya lagi berjudul “The Notebook” karya Nicholas Sparks. Buku kedua ini adalah buku yang pernah saya pinjam belasan tahun lalu, dan pada cover depannya tertera nama asli dari Mara Sukma, yakni “Mahmud Sukmara”.***

*Supadilah Iskandar, asal Banten, penulis esai dan kritik sastra di berbagai media massa lokal dan nasional. Cerpen-cerpennya tersebar di berbagai media daring, seperti www.kabarmadura.id, www.kawaca.com, www.inilahbanten.co.id, www.simalaba.com dan lain-lain. Redaksi mengucapkan terima kasih atas partisipasi memeriahkan Ruangan ini. Salam untuk kawan-kawan di Banten. (Red)


Halaman Budaya Sahewan Panarung, Harian Radar Sampit, Minggu, 14/02/2021