SURO DIRP JAYANINGRAT
Oleh: Darminto M Sudarmo

Keterangan “Ananto pratikno.ananto@gmail.com, in: [ppiindia]” <ppiindia@yahoogroups.com> , Friday, 6 February 2015, 9:14

Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, menurut sebuah sumber berasal dari Ronggowarsito, pujangga kondang Keraton Solo (1802-1873). Dialah yang kali pertama memunculkan kalimat tersebut, yang sebenarnya bagian dari tembang ciptaannya, ’’Kinanthi’’.

Tembang itu termuat dalam Serat Ajipamasa atau Serat Witaradya. Serat itu berkisah tentang Raja Ajipamasa atau Kusumawicitra yang berkuasa di Keraton Pengging. Tembang itu berbunyi, Jagra angkara winangun/Sudira marjayeng westhi/Puwara kasub kawasa/Sastraning jro Wedha muni/Sura dira jayaningrat/ Lebur dening pangastuti.

salam,
ananto
=====

SURO DIRP JAYANINGRAT
Oleh: Darminto M Sudarmo

SURO Diro Jayaningrat. Itulah status Presiden Joko Widodo di akun Facebooknya, Minggu (25/1) pukul 16.04, di tengah memanasnya konflik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) versus Polri. Selengkapnya Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, yang berarti segala kekuatan jahat akan hancur oleh kebaikan atau kelembutan hati. Status itu disukai setidak-tidaknya 71.488 kali.

Terlepas dari belum terselesaikannya konflik antara KPK Vdan Polri hingga Kamis ini, ungkapan filosofis menyejukkan berlatar belakang budaya Jawa itu, apalagi diucapkan seorang presiden terasa menarik. Masyarakat terbawa dalam suasana cooling down, sejenak mengeliminasi agresivitas.

Pada momentum yang tepat itu, saatnya para pemimpin dan calon pemimpin bangsa merenungkan lebih dalam untuk mencari alternatif manajemen kenegaraan yang manusiawi dan berkeadilan sosial. Salah satunya, menengok sejenak warisan pusaka leluhur sebagai pemantik spirit dan inspirasi.

Tulisan ini ingin menaburkan sedikit ingatan tentang butir-butir mutiara warisan para leluhur kita yang mungkin terlupakan. Padahal butir-butir itu mengandung kekuatan penting bagi pemimpin atau calon pemimpin bangsa. Menengok sejenak ke sana, sambil berharap calon pemimpin dapat menemukan spirit dan pencerahan.

Suro Diro Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti, menurut sebuah sumber berasal dari Ronggowarsito, pujangga kondang Keraton Solo (1802-1873). Dialah yang kali pertama memunculkan kalimat tersebut, yang sebenarnya bagian dari tembang ciptaannya, ’’Kinanthi’’.

Tembang itu termuat dalam Serat Ajipamasa atau Serat Witaradya. Serat itu berkisah tentang Raja Ajipamasa atau Kusumawicitra yang berkuasa di Keraton Pengging. Tembang itu berbunyi, Jagra angkara winangun/Sudira marjayeng westhi/Puwara kasub kawasa/Sastraning jro Wedha muni/Sura dira jayaningrat/ Lebur dening pangastuti.

Syair itu menggambarkan peristiwa yang dialami Pangeran Citrasoma, putra mahkota Prabu Ajipamasa yang nyaris terjatuh dalam angkara nafsu badani karena menyukai wanita cantik yang telah bersuami. Untung, wanita itu dengan kelembutan dan kesabaran hatinya bisa menyadarkan Citrasoma sehingga skandal itu tak terjadi.

Budaya kita meninggalkan banyak pusaka leluhur yang nilai dan kegunaannya masih relevan untuk situasi saat ini. Beberapa di antaranya bahkan menyangkut ilmu manajemen kenegaraan, semisal Hasta Brata (Delapan Kebajikan bagi Pemimpin), Wulang Reh (Jalan untuk Mencapai Tujuan), dan ajaran Ki Hadjar Dewantara: ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, dan tut wuri handayani.

Pusaka-pusaka tersebut dapat menjadi pegangan nilai yang bisa menginspirasi bila ditafsir ulang secara kontekstual karena semua berbicara tentang metode kepemimpinan dalam ruang dan waktu universal. Ketika dunia begitu menggebu-gebu mengapresiasi kitab klasik Seni Perang karya Sun Tzu, mengapa kita tidak membuka diri dengan mereaktualisasi pusaka peninggalan leluhur supaya dapat memetik manfaat.

Kerinduan masyarakat mendapatkan pemimpin berkualitas yang diharapkan dapat menjadi inspirasi dan pendorong bagi kemajuan bangsa dan negara, sampai-sampai menghadirkan mimpi kehadiran sosok semacam Ratu Adil atau Satriya Piningit atau apa pun namanya.

Primodialisasi Kepentingan

Pengejawantahan kepemimpinan berbasis ajaran luhur para leluhur seperti Hasta Brata, Wulang Reh, Tripama, Dasa Darma Raja, dan versi Ki Hadjar Dewantara seharusnya menjadi pemantik inspirasi dan orientasi bagi calon pemimpin bangsa ini. Namun apa yang terjadi? Semua seakan-akan larut dalam euforia dan pusaran angin besar fenomena yang berujung primordialisasi kepentingan individu dan kelompok (parpol).

Tampaknya semangat mereaktualisasi Hasta Brata perlu dilakukan pemikir manajemen bangsa kita agar ajaran luhur itu tidak berkutat di sekitar kajian filosofis atau abstraksi semata. Ia perlu disusun ulang secara komprehensif dan holistik dari aspek filosofi hingga aplikasi praktisnya dalam kehidupan sehari-hari. Dari rumusan paling sederhana untuk konsumsi anak-anak sekolah dasar hingga rumusan komplikatif di tingkat lanjut.

Diharapkan, generasi mendatang dapat memetik manfaatnya sehingga sebagai salah satu ajaran luhur ia dapat merasuk ke dalam sikap mental dan moral etik anak bangsa. Reaktulisasi itu menjadi semakin kaya dan lengkap jika hal serupa diberlakukan untuk tafsir ulang dan segar pada Wulang Reh, Tripama, Dasa Darma Raja, dan ajaran Ki Hadjar Dewantara.

Permasalahan yang belum efektif dan menyentuh keadilan masyarakat di bidang pemberantasan korupsi, penegakan hukum, kedaulatan energi, kemiskinan, kesenjangan (pemerataan pembangunan), SDM (lapangan pekerjaan), pembangunan infrastruktur, pengurangan impor berbagai kebutuhan pokok, dan lain-lain diharapkan dapat diagendakan obat mujarabnya oleh para pemimpin secara komprehensif dan tuntas. (10)

Suara Merdeka, 05 Februari 2015
Darminto M Sudarmo, budayawan, mantan pemred HumOr

http://harian-oftheday.blogspot.com/

“…menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama…”
__._,_.___
________________________________________
Posted by: Ananto <pratikno.ananto@gmail.com>