RESTORAN INDONESIA: 20 TAHUN SEBUAH KOPERASI (4)
SIAPA YANG AKAN MENJADI JURUMASAK?
Kang Saikul dan Kang Luthfi yang baik,
Ketika pembersihan dan penataan ruangan yang terdiri dari dua tingkat mendekati akhirnya masalah baru yang patut dipecahkan adalah masalah jurumasak dan menu yang bakal dihidangkan. Ketika menyusun studi kelayakan menu kongkret yang disebutkan hanya makanan yang akan dijual adalah masakan spesialitas Indonesia yang belum umum dikenal di negeri ini. Berdasarkan studi kelayakan atas dasar harga pada tahun 1981/’82, restoran akan berjalan baik jika tiap hari dikunjungi oleh sekitar 60 orang langganan. Jumlah ini memang adalah kapasitas maksimal ruangan yang telah kami beli hak usahanya. Jumlah langganan akan bertambah jika pergantian arus kedatangan tamu (shift) berganda. Diperkirakan oleh studi kelayakan 1981 itu bahwa untuk mencapai angka 60 orang langganan dengan dua kali buka sehari (siang dan malam), tidaklah akan terlalu sulit. Apalagi pada tahun tersebut tidak ada satupun restoran Indonesia yang terdapat di Paris sehingga restoran ini relatif memegang posisi monopoli dalam hal masakan Indonesia.
Membuat studi kelayakan yang baik memang merupakan satu soal tersendiri tapi tidaklah terlalu asing bagi kami yang oleh Mas Samiaji sebagai orang-orang tergolong “intelektuil” (lihat: Samiaji Mengenang 20 Tahun Restoran Indonesia — Milis Cari, 11 Desember 2002). Bagi kami, kemampuan rata-rata dalam soal masak-memasak terbatas pada taraf masakan untuk diri sendiri, bukan mutu yang untuk dijual oleh sebuah restoran secara profesional. Bung Umar Said misalnya hanya lihai dalam membuat ceplok telor untuk diri sendiri. Saya sendiri suka pada membuka kaleng sardin atau membuat balado ikan. Mas Budiman almarhum tergantung pada masakan isterinya. Tinggal Bung Sobron yang paling suka masak, mungkin, didorong oleh kesukaannya akan makan. Tapi suka dan enak, antara suka dan mutu, antara suka masak dan layak jual adalah hal yang berbeda. Masalah baru menggoda kami dalam membuka restoran yang kelak jadi sandaran hidup kami. Di hadapan soal siapa yang akan menjadi jurumasak restoran — masalah pokok bagi penyelenggaraan restoran — semua kami sepakat dalam sikap bahwa “tidak ada rotan akarpun berguna”, menyelesaikan soal ini dalam proses bekerja. Restoran harus dibuka dan dijalankan.
Sebelum menggunakan “akar” yang ada di kalangan kami di Paris, kami menghitung dan membaca kemungkinan-kemungkinan kemampuan yang tersedia di kalangan sahabat-sahabat Indonesia yang tinggal di negeri-negeri lain di Eropa Barat. Dengan cara ini kami mencoba memecahkan masalah penting tersebut. Dari pembacaan peta kemampuan dan kemungkinan ini kami mendapatkan dua nama, yaitu Parmin — yang memang jurumasak profesional di sebuah hotel berbintang di Negeri Belanda, dan Else, istri mantan dutabesar Indonesia di Mali pada zaman pemerintahan Soekarno. Sekalipun bukan jurumasak profesional, tapi di kalangan kami, rasa hasil masakan Else memang sudah terkenal lezat. Yang paling ideal sebagai jurumasak dari kedua nama ini adalah Parmin memang. Tapi kami tidak mempunyai dana memadai untuk memenuhi keperluan Parmin sebagai jurumasak profesional di sebuah hotel berbintang, apalagi ia akan segera menikah. Sedangkan Else untuk menjadi jurumasak permanen juga tidak bisa karena tidak gampang meninggalkan keluarganya di Negeri Belanda ditambah lagi untuk menjadi tenaga kunci di dapur sebuah restoran diperlukan kemampuan fisik tertentu. Continue reading