Halaman Masyarakat Adat | 6 Agustus 2023 | Catatan Kusni Sulang: APA-SIAPA SUBYEKNYA?

Radar Sampit, Minggu, 06/08/2023 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

“Hukum dan adat istiadat dapat menjadi kreatif dari sifat buruk; dan karena itu harus terus-menerus dalam proses pengamatan dan koreksi: tetapi hukum dan kebiasaan tidak dapat menciptakan kebajikan; mereka dapat mendorong dan membantu melestarikannya; tetapi mereka tidak dapat memulainya.
– Harriet Martineau (1802-1876), sosiolog perempuan pertama dan penulis Inggris

“Jika yang dibahas tentang negara (masyarakat secara umum) maka hukum konstitusi itu lebih tinggi di atas hukum agama dan adat, namun jika yang dibahas adalah masalah agama kelompok tertentu maka hukum agama atau adat lebih utama.”
– Nusron Wahid (1973-  ), birokrat dan politikus Indonesia

“Bukan alasan yang merupakan pedoman kehidupan, tetapi adat.”
– David Hume (1711-1776), filsuf, ekonom dan sejarawan Skotlandia

November 2020, warga tiga desa Manuhing Raya yang memilih desa adat melalui referendum diundang oleh DPRD Kabupaten Gunung Mas untuk Rapat Dengar Pendapat. Siswanton (sekarang Camat Manuhing Raya), Ketua Panitia Persiapan Penetapan Desa Adat Kecamatan Manuhing Raya menyerahkan sejumlah dokumen kepada Ketua DPRD. Apakah kata-kata manis yang diucapkan oleh para “wakil rakyat” Gunung Mas di acara ini sudah tidak berlaku lagi? Foto: Kusni Sulang/2020

Kantor Desa Tumbang Oroi, tempat penyelenggaraan referendum desa adat di Desa Tumbang Oroi. Foto: Kusni Sulang/2020

Sumber: BITupdates

Dari Yogyakarta, sohib kami antropolog independen yang sejak lama menggeluti masalah masyarakat (hukum) adat di negeri ini dan mempunyai andil besar dalam penyusunan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa serta menjadi penasehat Panitia Pembentukan dan Penetapan Desa Adat Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, kemarin malam mengirimkan saya sebuah berita yang ditulis oleh Kasmita Widodo (lihat: https://brwa.or.id/news/read/604?fbclid=IwAR0wq-BlkMPwISuaoce7).

Berita tersebut berjudul “Bupati Gunung Mas Menetapkan Pengakuan 14 Wilayah Adat”, lengkapnya sebagai berikut:

“Kerja kolaborasi BRWA dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung Mas membuahkan hasil. Melalui Surat Keputusan Bupati Gunung Mas Nomor 100.3.32/344/2023 ditetapkan Pengakuan dan Perlindungan 14 (Empat Belas) Masyarakat Hukum Adat di Wilayah Kabupaten Gunung Mas.  Total luas wilayah adat yang ditetapkan tersebut mencapai 305.812 hektar. Proses penyiapan peta-peta wilayah adat di Gunung Mas juga melibatkan Pengurus Daerah AMAN Gunung Mas bersama Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP).  Pada proses registrasi dan verifikasi wilayah adat, BRWA menurunkan tim kerja yang dibantu oleh 5 orang mahasiswi dan 1 orang mahasiswa yang sedang menjalankan kegiatan MBKM BRWA-UI. Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM), merupakan kerjasama Program Studi Antropologi, FISIP Universitas Indonesia dan BRWA.

Komitmen dan peran Bupati Gunung Mas sangat kami hargai dalam proses ini. Sejak awal Bupati Gunung Mas mendiskusikan agenda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, wilayah adat dan hutan adat bersama KLHK dan BRWA. Kami juga mengapresiasi keterlibatan aktif jajaran pejabat dan staf Pemda Gunung Mas, Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah, Dewan Adat Dayak (DAD) Gunung Mas, dan para akademisi dalam proses identifikasi dan verifikasi keberadaan masyarakat adat, wilayah adat dan hutan adat di lapangan. Semua komponen tersebut tergabung dalam Tim Terpadu Verifikasi Teknis Hutan Adat (Timdu HA) Kabupaten Gunung Mas yang dibentuk oleh Dirjen Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL)-KLHK. Dalam pelaksanaan kegiatan dikoordinasikan oleh Direktorat Penyelesaian Konflik Tenurian dan Hutan Adat (PKTHA), PSKL-KLHK.

SK Bupati Gunung Mas tersebut merupakan tindak lanjut dari rekomendasi Hasil kerja Timdu HA Gunung Mas yang disampaikan kepada Bupati Gunung Mas dan juga Menteri LHK.  Rekomendasi kepada Bupati Gunung Mas untuk dasar penetapan pengakuan masyarakat adat dan wilayah adat, sedangkan rekomendasi Timdu HA disampaikan kepada Menteri LHK untuk menjadi dasar penetapan pengakuan Hutan Adat.  Jadi, tidak terlalu lama lagi, SK Hutan Adat untuk 14 masyarakat adat di Kabupaten Gunung Mas akan segera diterbitkan oleh KLHK. Apresiasi untuk “tim dapur” (Sekretariat PKTHA) yang dipimpin oleh Kasubdit Hutan Adat, Bapak Prasteyo Nugroho dan Ketua Timdu Hutan Adat, Tenaga Ahli Menteri LHK,  Bapak Rivani Noor. Dan juga semua pihak yang terlibat dalam pekerjaan ini.”

“Salah satu tempat bersejarah bagi masyarakat adat Dayak di Kalimantan yaitu Tumbang Anoi yang berada di wilayah adat Kadamangan Damang Batu termasuk yang ditetapkan pengakuannya dalam SK Bupati Gunung Mas tersebut, dan juga akan ditetapkan hutan adatnya melalui SK Menteri LHK.  Semoga upaya ini dapat memberikan dampak yang luas dalam perlindungan hak-hak masyarakat adat di Kalimantan Tengah khususnya dan juga di Indonesia” (komentar dari Kasmita Widodo).

Membaca berita di atas, terkesan dengan kegembiraan besar dan menggarisbawahi arti penting pengakuan 14 Wilayah Adat di Kabupaten Gunung Mas melalui Surat Keputusan Bupati Gunung Mas Nomor 100.3.32/344/2023 ditetapkan Pengakuan dan Perlindungan 14 (Empat Belas) Masyarakat Hukum Adat di Wilayah Kabupaten Gunung Mas.

Walaupun kami telah berupaya mendapatkan teks Surat Keputusan tersebut, sampai hari ini kami belum berhasil memperolehnya. Karena itu, melalui Catatan ini saya ingin meminta penjelasan tertulis atau lisan dari pihak Pemerintah Kabupaten cq. Bupati Gunung Mas dan Timdu.

Permintaan ini saya sampaikan karena dari berita di atas terkesan kegembiraaan dan penggarisbawahan tentang arti penting pengakuan bertumpu pada pengakuan wilayah. Sementara masalah subyek yang menguasai, kurang terangkat. Padahal wilayah itu dihuni oleh manusia yang disebut warga desa dan tertata dalam suatu organisasi yang disebut léwu atau sebutan lainnya, yang saya anggap sebagai nama dari desa adat di Tanah Dayak.

Kabupaten Gunung Mas adalah salah satu bagian dari Tanah Dayak dengan kebudayaan Dayaknya yang masih cukup kental atau kuat. Pengelola wilayah adalah Orang atau warga léwu atau sebutan lainnya. Apabila hak warga léwu atau sebutan lainnya untuk mengelola wilayahnya tidak diakui dan dilindungi, apakah arti pengakuan dan perlindungan wilayah itu. Wilayah itu sekalipun disebut wilayah adat, bukan tidak mungkin oleh pengelola lain dipergunakan untuk kepentingan yang tidak menguntungkan Orang Léwu. Pengakuan dan perlindungan tanpa pengakuan dan perlindungan subyek bisa berkembang menjadi perampasan wilayah atas nama masyarakat (hukum) adat. Yang diakui sebatas kesejarahannya, bukan hak subyek yaitu léwu atau sebutan lainnya. Yang diakui adalah keberadaannya, bukan hak-haknya.

Hal lain yang ingin saya tanyakan dan mengharapkan penjelasan terbuka adalah bagaimana tindak lanjut Janji Bupati Gunung Mas di depan para warga desa-desa Kecamatan Manuhing Raya pada perayaan Hari Tani Nasional, 24 September 2022 lalu di Desa Tumbang Samuї.

Seperti tertera pada infografis di atas, Bupati Gunung Mas selain menyatakan dukungan kuatnya pada pembentukan dan penetapan desa adat yang dituntut oleh tiga desa Kecamatan Manuhing Raya, Bupati juga berjanji “siap menemani delegasi desa-desa yang meminta perubahan status desa ke tingkat nasional di Jakarta”.

Janji ini, sampai sekarang belum nampak tindak lanjut konkretnya. Dengan seperti tidak ada kesulitan, justru yang terbit adalah Surat Keputusan Bupati Gunung Mas Nomor 100.3.32/344/2023, yang sama sekali tidak menyinggung soal pembentukan dan penetapan desa adat.

Apakah janji Bupati tersebut sudah tidak berlaku lagi? Padahal integritas tidaknya seseorang atau kelompok orang, antara lain ditakar dari satunya kata dan perbuatan.

Kedudukan dan kekuasaan bersifat sementara dan bukan ukuran kualitas. Tapi kekuasaan dan hedonisme memang godaan yang tak gampang ditampik. Hanya yang berintegritas yang kuasa mengejek dan memandangnya dengan sebelah mata.

Oleh karena itu, seniscayanya tidak menyandarkan diri pada belas-kasihan dan minta-minta, tapi menjadi anak manusia yang ‘mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh’, memberi kekuatan nyata pada kata-katanya. “Bahinip kita mati”, kata seorang petani Samuda dalam kelas belajar di Sampit beberapa tahun silam yang diselenggarakan oleh Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah.

Sejarah Dayak dan Kalimantan Tengah (Kalteng) menunjukkan bahwa hal-hal menguntungkan masyarakat Dayak tidak pernah didapat sebagai hasil belas-kasihan atau minta-minta. Kalteng sebagai provinsi pun didirikan dengan darah dan air mata.

Saya tidak percaya, warga léwu Tanah Dayak ini adalah kelompok masyarakat atau jenis manusia pengemis dan peminta belas-kasihan. Ini dugaan dan harapan. Konkretnya akan diperlihatkan kembali pada Pemilu 2024, apakah mereka bisa bertindak cerdas dan menghargai nilai, tidak terperangkap oleh pandangan ‘diá jadi béhas’ (tidak menjadi beras), yang hedonistik dan memerosotkan kemanusiaan?

Apakah pertanyaan Catatan yang bersifat harapan ini akan berjawab?

Saya meyakini, yang berharap perlu siap sakit karena berharap itu seperti orang menunggu, selamanya tidak menyenangkan, bahkan terkadang lebih banyak menyakitkan. Hanya tanpa harapan, kegelitaan akan menjala hidup.

Kata-kata ini saya tulis dengan kesadaran ibarat seseorang sedang melempar kerikil ke permukaan danau, sejenak menimbulkan riak, kemudian melenyap, kerikil pun terpuruk di dasar lubuk.

Tapi kata-kata ini tetap saya tulis karena hanya inilah yang saya punya sebagai seseorang yang dikutuk menjadi laut, hanya berpinisikan pertanyaan, berlayarkan kata-kata.[]


Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu, 06/08/2023. Pengasuh: Kusni Sulang & Andriani SJ Kusni; Redaktur: Heru; Penata Letak: Rafi

Halaman Masyarakat Adat | 11 Juni 2023 | Catatan Pengantar Kusni Sulang: Pertama-tama, Konsep!

“Ini adalah suatu kemajuan yang penting dalam Revolusi Indonesia! Revolusi Indonesia tanpa land reform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Melaksanakan land reform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia. Gembar-gembor tentang revolusi sosialisme Indonesia, masyarakat adil dan makmur, amanat penderitaan rakyat tanpa melaksanakan land reform adalah gembar-gembornya tukang penjual obat di Pasar Tanah Abang atau Pasar Senen.”
– Pernyataan Presiden Soekarno saat memperbincangkan land reform, 17 Agustus 1960

“Saudara-saudara, soal persediaan Makanan Rakyat ini bagi kita adalah soal hidup atau mati! Camkan. Sekali lagi, camkan!”
– Soekarno

Catatan Pengantar Kusni Sulang

Pertama-tama: Konsep!

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Tindakan, aksi, bermula dari pikiran, yang dituangkan dalam uraian berbentuk bahasa, entah itu kemudian dinamakan narasi, diskursus, gagasan, konsep dan atau istilah-istilah lain yang berhakekat serupa.

Jean-Jacques Rousseau, seorang pemikir Perancis era Revolusi Perancis (1789), pernah berkata bahwa “walaupun saya tidak sepakat dengan kau, tapi sampai mati saya akan membela hakmu mengungkapkan pendapatmu”. Pandangan demikian diketengahkan karena Rousseau meyakini, mengemukakan pendapat sebagai hak asasi, tapi juga jalaran guna mendapatkan kebenaran relatif.

Dari segi politik, hak mengetengahkan pendapat bisa disebut sebagai bentuk kongret partisipasi warganegara dalam ber-Negara dan pengejawantahan dari berkedaulatan rakyat.

Komite Bersama Perjuangan Reforma Agraria (KBPRA) merupakan aliansi yang terdiri Agrarian Resource Center (ARC), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Aksi Kamisan Bandung, Front Mahasiswa Nasional (FMN) Bandung, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, Pembebasan Bandung, Persatuan Perjuangan Buruh (PPB) KASBI, Unit Kegiatan Studi Kemasyarakatan (UKSK) UPI Bandung, dan Women Studies Center (WSC).

Pada Hari Tani Nasional 24 September 2022 silam, mereka mengeluarkan pendapat sebagai hasil diskusi intens mereka tentang Reforma Agraria yang dilakukan oleh Pemerintah Jokowi di bawah judul “Merebut Kembali Diskursus Reforma Agraria”, yang mengisyaratkan bahwa reforma agraria yang dilakukan oleh Pemerintah Jokowi terdapat kesalahan secara konseptual. Setelah menganalisa keadaan, KBPRA sebagai organisasi front persatuan (aliansi – istilah umum hari ini) menyarankan sebuah solusi.

Setelah membaca hasil diskusi tersebut, saya berpendapat bahwa pandangan-pandangan KBPRA mengandung poin-poin hakiki yang layak dipertimbangkan dengan serius oleh semua pencinta bangsa ini. Pendapat KBPRA tidak kusam oleh waktu, apalagi memang belum sampai setahun berlalu. Pendapat dan Pernyataan KBPRA merupakan tanda keperdulian dan kecintaan mereka pada negeri dan bangsa ini, sesuatu yang patut dihargai.

“The world is a dangerous place, not because of those who do evil, but because of those who look in and do nothing (Dunia ini (termasuk negeri ini – KS) adalah tempat berbahaya, bukan karena mereka yang berbuat jahat, tapi disebabkan oleh mereka yang melihat tapi tidak berbuat apapun”, tulis  Albert Einstein. “Kadang manusia punya mulut tapi belum tentu punya pikiran”, lanjut Einstein.

Karena keterbatasan ruang, daftar bibliografi yang digunakan oleh KBPRA tidak semuanya disertakan. Maaf. KBPRA bisa dihubungi pada alamat arc.indonesia@gmail.com dan/atau WA 0895 3765 58210. ***


Komite Bersama Perjuangan Reforma Agraria (KBPRA) seusai diskusi. Foto/Dok.: ARC

Merebut Kembali Diskursus Reforma Agraria:

Sebuah Catatan dan Pernyataan di Peringatan Hari Tani 2022

Oleh: KBPRA

Gambaran Umum Amanat konstitusi dalam rangka membentuk masyarakat Indonesia baru yang mandiri hingga hari ini tidak pernah terwujud. Landreform/Reforma Agraria (LR/RA) sebagai alat untuk membangun sosialisme Indonesia telah dihentikan sepenuhnya. UUPA 1960 yang merupakan pengejawantahan dari amanat Konstitusi dikubur bersamaan dengan gelombang pembantaian massal pada Dominasi paham pembangunanisme yang diusung oleh negara-negara kapitalis di inti sistem, menjadi pertanda bahwa Indonesia telah kembali ke dalam struktur kapitalisme global. Modernisasi dan pertumbuhan ekonomi dikejar dengan bergantung kembali pada investasi asing dan utang luar negeri. LR/RA segera digantikan dengan agenda pembangunan yang hanya menguntungkan petani-petani kaya dan tuan-tuan tanah. Ini terjadi seturut dengan upaya revitalisasi perkebunan-perkebunan besar. Pemberian konsesi swasta untuk industri ekstraktif yang terus meluas telah mengorbankan banyak petani dan masyarakat adat, bersamaan dengan perusakan lingkungan yang mengiringinya. Eksploitasi tenaga kerja dan penciptaan buruh murah untuk menggerakan mesin kapitalisme pun semakin intensif. Di pedesaan, proses konsentrasi dan monopoli penguasaan tanah oleh kelas tuan tanah berlangsung secara terus-menerus.

Petani miskin, buruh tani, dan petani tak bertanah (landless) semakin banyak jumlahnya. Ketersediaan lahan yang semakin sempit membatasi kesempatan petani untuk menggarap dan bereproduksi. Di satu sisi, 40% (75 juta ha) dari total luas daratan Indonesia telah dikuasai oleh industri ekstraktif berskala besar. Di sisi lain, 120 juta ha telah dinyatakan sebagai Kawasan Hutan yang tidak boleh dilakukan kegiatan pertanian di dalamnya. Hanya tersisa 21 juta ha (2018) untuk lahan pertanian yang tidak pernah sebanding dengan populasi rumah tangga petani yang jumlahnya terus bertambah. (Lihat: Dianto Bachriadi (2020), 24.2: Manifesto Penataan Ulang Penguasaan Tanah Kawasan Hutan, ARC Books].

Hasil sensus pertanian (2018) menunjukkan rata-rata penguasaan tanah oleh rumah tangga petani hanya mencapai 0,78 ha per rumah tangga. Rumah tangga petani miskin dan tak bertanah (absolute-landless) secara berurutan telah mencapai 59% dan 36% dari total seluruh rumah tangga petani yang ada (sekitar 37 juta).

Dengan struktur penguasaan tanah yang demikian, rasio gini ketimpangan penguasaan tanah oleh rumah tangga petani sangat tinggi, tidak pernah berada di bawah 0,5 sejak enam dekade ke belakang, bahkan mencapai 0,7 pada Angka-angka ini adalah indikasi bagaimana pembangunan yang diinisiasi oleh negara tidak pernah ditujukan untuk merombak struktur penguasaan tanah yang timpang di pedesaan.

Gelombang reformasi juga tidak mengubah kondisi ketimpangan alokasi lahan dan penguasaan tanah yang menjadi penyebab kemiskinan. Sebaliknya, jumlah investasi asing dan dalam negeri untuk pembangunan infrastruktur dan industri ekstraktif semakin menguat. Pencaplokan lahan yang memicu konflik agraria dan kriminalisasi petani masih terus berlangsung di banyak daerah di Indonesia.

Di desa-desa, petani dibiarkan berproduksi di bawah hukum besi persaingan usaha tanpa perlindungan negara. Harga sewa tanah dan proposi bagi hasil yang dimonopoli oleh tuan tanah hanya merugikan petani, hingga jeratan utang dan riba dari para tengkulak yang tidak bisa dihindari. Pelepasan tanah oleh petani pun semakin sering terjadi.

Konsekuensi logisnya adalah diferensisasi kelas yang semakin mendalam. Banyak petani dan komunitas pedesaan terpaksa pindah ke kota akibat lahan yang menyempit dan sumber ekonomi di desa yang terbatas.

Kesempatan kerja di perkotaan tidak selalu berarti lebih baik secara sosial dan ekonomi. Tidak sedikit yang menggantungkan hidupnya di sektor ekonomi informal atau bekerja serabutan yang lebih rentan terhadap penindasan. Di kota, mereka juga segara dihadapi dengan harga jual/sewa tanah dan akses terhadap fasilitas publik yang tidak murah prakondisi yang mendorong mereka membangun pemukiman dan perkampungan kumuh, dan akhirnya hanya menjadi pemasok tenaga kerja murah di perkotaan.

Pada gilirannya, kampung-kampung kumuh perkotaan akan dianggap tidak produktif dan tidak memiliki nilai tukar sehingga menjadi dalih bagi pemerintah untuk mengkomodifikasi tanah dan ruang demi pembangunan perkotaan.

Hal ini pada akhirnya memungkinkan mereka kembali mengalami penyingkiran. Di saat yang sama, negara lebih senang memberikan kemudahan-kemudahan bagi perusahaan swasta melalui kebijakan-kebijakan yang dibuat khusus untuk itu. Kebijakan yang paling mutakhir terfeleksikan dari UU Cipta Kerja yang dibuat di atas asumsi bahwa investasi swasta adalah juru selamat bagi pertumbuhan ekonomi. Proses pengadaan tanah untuk korporasi pun akan semakin dipercepat melalui rencana pembentukan institusi Bank Tanah. Pembangunan dijalankan di dalam kerangka domein verklaring kolonial yang menekankan kepemilikan tanah oleh negara.

Alhasil, pencaplokan lahan dan penggusuran dengan dalih penertiban tanah negara dan untuk kepentingan pembangunan dapat terlegitimasi. Tidak hanya berimplikasi pada transformasi petani ke kelas buruh upahan murah, tapi kelompok perempuan yang terlibat dalam kegiatan produksi pun akan terus mengalami penindasan demi penindasan sambil mengabaikan kerja reproduksi sosial dan biologisnya.

Kelompok perempuan menjadi entitas paling rentan untuk dikriminalisasi dan dilecehkan. Kekerasan terhadap perempuan, dan adanya kecenderungan femisida, semakin dilanggengkan di dalam kerangka pembangunan hari ini.

UUPA 1960 telah menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia, baik laki-laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh hak atas tanah serta mendapat manfaat dari hasilnya.6 Ini berarti, pembangunan pedesaan melalui LR/RA, sesungguhnya dapat mencapai keadilan sosial jika diiringi dengan upaya keadilan gender sesuatu yang tidak ada di dalam logika pembangunan hari ini.

LR/RA adalah memang cara paling efektif untuk menata struktur penguasaan tanah yang timpang, yang dapat menjadi fondasi awal bagi pembangunan industri nasional dengan berlandaskan sektor pertanian; serta menjadi landasan untuk mengubah struktur kekuasaan yang tidak adil demi pengembangan institusi lokal dan nasional yang lebih partisipatoris, dan dengan demikian memperkuat demokrasi.

Satu hal yang pasti, yang dinyatakan sebagai Reforma Agraria oleh negara pada hari ini tidak pernah dimaksudkan untuk tujuan tersebut. Tidak hanya dijadikan strategi politik untuk merebut suara dalam pemilu, melainkan lebih dari pada itu, yakni untuk menyediakan pelumas yang cukup dalam operasi akumulasi kapital atau pemulihan dan pembentukan sirkuit-sirkuit kapital di berbagai sektor  ekonomi.

Di saat yang sama, kebijakan pertanahan global, yang disokong oleh institusi perbankan internasional, meletakkan LR/RA hanya sebagai instrumen untuk memperkuat pasar tanah melalui percepatan dan perluasan kepastian hak atas tanah oleh masyarakat.

Kritik terhadap Reforma Agraria Hari Ini Landreform/Reforma Agraria (LR/RA) di Indonesia pada dasarnya telah memiliki satu bangunan hukum yang bersifat prinsipil yang terkandung di dalam UUPA 1960 sebagai induk dari segala bentuk aturan hukum pelaksanaannya. Itu dibentuk atas dasar semangat bangsa Indonesia untuk lepas dari ikatan-ikatan kolonialisme dan ikatan-ikatan feodal secara utuh, serta membentuk masyarakat baru.

Bung Karno pernah menegaskan dalam pidatonya: Revolusi Indonesia tanpa Landreform adalah sama saja dengan gedung tanpa alas, sama saja dengan pohon tanpa batang, sama saja dengan omong besar tanpa isi. Landreform berarti melaksanakan satu bagian yang mutlak dari Revolusi Indonesia. UUPA 1960, UUPBH 1960, UU 56Prp/1960, PP 224/1961 merupakan dasar hukum yang ditujukan untuk mengatur bagaimana LR/RA harus dijalankan. Batas maksimum dan minimum luas tanah yang bisa dimiliki dan dikuasai oleh seseorang atau badan hukum melalui itu ditentukan. Tanah guntai (absentee) dan tanah kelebihan harus menjadi objek prioritas dari LR/RA, selain tanah negara dan tanah (eks)swapraja, untuk diredistribusikan kepada rakyat tani. Jelas dinyatakan bahwa orang-orang yang mempunyai tanah berlebih-lebihan sedangkan ada orang yang lain tidak mempunyai atau tidak cukup tanahnya dapat menghambat produktivitas tanah dan tenaga kerja sehingga bertentangan dengan asas kesetaraan dan keadilan.

Merombak struktur penguasaan tanah dan pengerahan tenaga kerja pertanian menjadi tahap awal yang mesti diatasi [Lihat: Roy L. Posterman, Mary N. Temple, Timothy M. Hanstad (1990), Agrarian Reform and Grassroots Development: Ten Case Stuide, Lynne Rienner Publisher. Hlm. 2. Dianto Bachriadi (2021), Op. Cit., hlm. 13] sehingga produktivitas sektor pertanian di pedesaan menjadi optimal.

LR/RA 1960 sesungguhnya telah mengatur bagaimana produktivitas pertanian seharusnya dikelola, yakni secara bersama-sama melalui unit koperasi di desa-desa. Koperasi menjadi instrumen untuk menghalau konsentrasi kekayaan atau surplus akibat proses akumulasi, sehingga dapat dialokasikan untuk kepentingan industrialisasi nasional, serta mengubah struktur ekonomi berbasis pertanian ke struktur ekonomi industri. Karenanya, LR/RA 1960 ditempatkan bukanlah sebagai tujuan akhir, melainkan di dalam konteks perubahan relasi produksi sebagai alat untuk mencapai masyarakat Indonesia Baru.

Capaian LR/RA 1960 memang tidak bisa kita lihat pada hari ini. Peristiwa Genosida 1965 dan peralihan kekuasaan ke tangan diktator Suharto telah menghentikannya secara sistematis. Pembangunan pedesaan dan nasional diorientasikannya ke arah yang eksploitatif. Ketimpangan alokasi dan penguasaan lahan pun kian lama kian melebar.

Dua dekade terakhir adalah momen di mana isu LR/RA kembali mencuat ke permukaan. Dibicarakan oleh banyak orang dan menjadi jargon banyak kelompok gerakan sambil menaruh harapan kepada rezim penguasa untuk menjalankannya.

Apa yang membedakannya adalah LR/RA yang digagas tidak lagi berasal dari akar yang sama sebagaimana yang diamanatkan konstitusi dan UUPA Konsepsi dan makna LR/RA direduksi sedemikian rupa hingga hanya  diidentikkan pada upaya-upaya legalisasi dan kepastian hak atas tanah. Objek tanah-tanah yang didistribusi pun tidak lagi menyasar tanah-tanah kelebihan dan tanah-tanah guntai (absentee). Penguatan unit produksi pertanian tidak pernah dibentuk dengan serius, tidak ada upaya untuk menjadikan sektor pertanian sebagai basis ekonomi untuk pembangunan industri nasional. LR/RA hanya menjadi jargon dan gimmick bagi penguasa. Pada hari ini, rezim Jokowi mengagendakan sebuah program yang dinyatakan sebagai Reforma Agraria. Alih-alih berlandaskan konstitusi sebagaimana yang sudah ada sejak 1960, rezim Jokowi justru mengabaikannya dengan menerbitkan peraturan baru [bandingkan dengan RA Era Bung Karno Lihat: Soekarno (1960), Laksana Malaekat yang Menyerbu dari Langit: Jalannya Revolusi Kita, Amanat Presiden Soekarno pada Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1960 di Jakarta. Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 56 tahun 1960 tentang Penetapan Luas Maksimum dan Minimum Tanah Pertanian: Penjelasan Umum, Poin 2. Hlm. 2].

Reforma Agraria (RA) ala Jokowi, atau yang disebut sebagai TORA, mengklaim akan membagikan sekitar 9 juta ha tanah kepada kaum tani miskin. Perlu digaris bawahi bahwa sebagian besar isi dari program RA ala Jokowi ini merupakan legalisasi aset dan sertifikasi tanah semata. Begitu juga dengan (re)distribusi tanah yang diklaim berasal dari tanah eks-HGU yang berstatus Tanah Terlantar dan pelepasan Kawasan Hutan yang pada faktanya telah digarap dan dikuasai oleh masyarakat sejak lama 12 melalui aksiaksi pendudukan atau reclaiming tanah.

RA ala Jokowi sama sekali tidak menyasar tanah-tanah kelebihan atau tanah-tanah absentee (guntai) yang selama ini merupakan sumber masalah dari konsentrasi dan ketimpangan penguasaan tanah. Selain itu, bahwa luas tanah yang ditentukan terlebih dahulu sebagaimana program RA ala Jokowi dengan menunjukkan 9 juta ha tanpa penentuan berapa jumlah pasti rumah tangga petani sebagai penerima tanah adalah logika yang keliru. Sepatutnya luas tanah objek LR/RA ditentukan berdasarkan jumlah potensial penerima tanah, jika memang tujuannya adalah mengurangi ketimpangan penguasaan tanah. Pun dari sekian persil tanah yang diklaim telah di(re)distribusi melalui program RA ala Jokowi ini, tidak pernah ada ukuran yang jelas tentang dampaknya pada tingkat produktivitas pertanian, apalagi ukuran bagaimana RA ala Jokowi atau sektor pertanian telah berkontribusi pada pembangunan industri. Penekanan yang hanya diletakkan pada upaya legalisasi dan sertifikasi tanah  justru selaras dengan agenda pasar bebas neoliberal. Bahkan, program RA ala Jokowi telah dijadikan sebuah legitimasi baru bagi rezim untuk dapat mengakses utang luar negeri, termasuk dari Bank Dunia, untuk mengefisiensikan fungsi pasar tanah. Tanah-tanah yang disertifikasi akan dapat dengan mudah dialihkan (transferable) sehingga pasar tanah bebas menjadi semakin efektif dan efisien. Transaksi jual-beli akan semakin cepat, tidak hanya antar individu tapi juga mengindikasikan pemberian kemudahan bagi investasi swasta untuk melakukan penetrasi kapital di atas tanah yang aman secara hukum. Industri perbankan, melalui jaminan kredit tanah, semakin mulus dalam menggerakkan roda ekonomi perbankan. Input pertanian yang menjadi faktor produksi penting bagi petani skala kecil masih terus dimonopoli oleh perusahaan-perusahaan asing [Lihat: Arahan dari Kantor Staf Presiden (KSP) (2016), Strategi Nasional Pelaksanaan Reforma Agraria Hal. 2. Dianto Bachriadi (2019), Panas Tak Sampai Petang: Reforma Agraria Dipantu Hutang, Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Pasca Orde Baru, Vol. 2 No. 3/WP- KAPPOB/II/2019. Hlm. 9-10].

Dalam hal ini negara memainkan perannya untuk membuka keran impor seluas-luasnya, alih-alih mengontrol dan mengoptimalkan sistem produksi nasional. Harga produk impor yang murah telah memaksa petani untuk menjual produknya jauh lebih murah agar dapat tetap bersaing di pasar dalam negeri. Jeratan kredit dan utang menjadi hal yang paling umum dihadapi petani saat ini.

RA ala Jokowi tidak pula berintensi untuk mengeliminasi atau mengurangi praktik riba dan rente di pedesaan oleh kelas tuan tanah dan tengkulak, serta lembaga keuangan. Petani yang tidak memiliki kapital yang cukup dengan segera jatuh pada kemiskinan hingga kehilangan tanah garapannya.

Dengan kondisi demikian, ditambah tiadanya penentuan batas maksimum-minimum penguasaan tanah, konsentrasi dan ketimpangan penguasaan tanah semakin menguat. Fungsi tanah tidak lagi dilihat berdasarkan aktivitas produksi yang berlangsung di atas tanah tersebut, melainkan kedudukan tanah sebagai sekedar komoditas belaka, atau lebih lanjut lagi, sebagai ekuitas (equity) dalam menentukan besar-kecilnya kekayaan.

Dengan demikian, RA ala Jokowi adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan amanat UUPA 1960 untuk menuju Indonesia baru. Ketimbang menata ulang penguasaan tanah, memproduktifkan tenaga kerja pertanian, dan menempatkan sektor pertanian sebagai landasan pembangunan industri nasional, RA ala Jokowi justru mempermudah investasi swasta, mengukuhkan keberadaan pasar tanah dan ekonomi perbankan dan finansial. Oleh karena itu, dapat kita nyatakan bahwa RA ala Jokowi pada hari ini adalah Reforma Agraria yang palsu atau bukan Landreform/Reforma Agraria sama sekali!

Menjadi terang bahwa rejim penguasa pada hari ini tidak menjalankan LR/RA sebagaimana mestinya. Rezim yang tidak setia pada konstitusi juga berarti tidak berminat mengedepankan kepentingan rakyat. Karena alasan tersebut, ketimbang mengandalkan instrumen negara, kelompok gerakan LR/RA sudah seharusnya menempuh jalannya sendiri. Aksi-aksi pendudukan tanah yang marak sejak 1970-an hingga masa runtuhnya rezim Orde Baru, patut untuk kembali direplikasi pada situasi hari ini demi menjalankan amanat konstitusi dan UUPA 1960, serta mendorong perubahan menuju masyarakat yang baru.

Tawaran untuk melakukannya adalah dengan menempatkan pokok-pokok mekanisme (re)distribusi cum konsolidasi ke dalam agenda aksi kolektif yang terorganisir, yakni bagaimana kelompok penerima tanah untuk dapat disatukan dalam satu hamparan yang terikat sebagai kesatuan usaha bersama. Sekali lagi, LR/RA harus berupa (re)distribusi sekaligus konsolidasi. Objeknya adalah tanah-tanah guntai (absentee) dan tanah yang dikuasai oleh pihak-pihak (tuan-tuan tanah) yang sudah melebihi batas maksimum penguasaan tanah, juga tanah-tanah negara termasuk yang berada di dalam Kawasan Hutan, yang akan dibagikan dan dikuasai oleh masing-masing individu atau rumah tangga penerima manfaat (beneficiaries) terpilih atau yang diorganisir dengan status hak kepemilikan atau penguasaan jangka panjang. Satuan-satuan lahan harus dikuasai dan diusahakan secara bersama oleh unit koperasi yang dikelola oleh organisasi dan penerima tanah (konsolidasi), sehingga dapat mencegah persaingan usaha yang saling menyingkirkan, mengoptimalkan produktivitas dan memungkinkan pengembangan usaha bersama (kolektif) dengan semangat gotong-royong. Organisasi dan para penerima tanah juga perlu menyepakati secara bersamasama perencanaan tentang apa yang akan diproduksi dan bagaimana memproduksinya. Bisa juga disertai dengan masukan dari tenaga ahli di bidangnya. Dapat pula dikembangkan usaha produktif pertanian komersial dan pangan (mix-crops), agroforestri, atau bentuk-bentuk usaha yang sesuai dengan lingkungan dan perencanaan ekonomi wilayahnya, demi membangun masyarakat yang berdaya lenting secara ekonomi sekaligus ekologis. Patut dicatat bahwa (re)distribusi cum konsolidasi merupakan mekanisme yang pengembangannya memenuhi prinsip-prinsip LR/RA, yakni tanah untuk rakyat. Mekanisme ini bersifat transformatif secara sosial dan ekonomi dengan model pengerahan tenaga kerja dan penguasaan lahan yang produktif hingga menciptakan hubungan-hubungan agraria pedesaan yang baru.***

Pernyataan Hari Tani 2022

Komite Bersama Perjuangan Reforma Agraria (KBPRA)

Pertama, bahwa program Reforma Agraria hari ini ditujukan semata-mata untuk memperkuat hubungan kapitalisme di pedesaan Indonesia. Legalisasi aset dan tanah yang mendominasi program tersebut hanya membuat petani dan penerima tanah berada di bawah kuasa pelaku pasar neoliberal. Investasi asing dan pencaplokan lahan untuk korporasi yang semakin intens menunjukkan rezim penguasa hanya bekerja untuk kepentingan kapital. Reforma Agraria pun menjadi legitimasi rezim untuk mengakses utang ke lembaga-lembaga internasional yang menjadi penyokong kapitalisme dan imperialisme.

Kedua, bahwa program Reforma Agraria hari ini tidak menyasar ketuantanahan dan tidak mencegah monopoli tanah. Tanah-tanah kelebihan dan tanah-tanah guntai (absentee) tidak menjadi sasaran program tersebut. Tidak ada keinginan dari rezim penguasa untuk mengurangi angka rasio Gini ketimpangan penguasaan tanah oleh rumah tangga petani. Ketuantanahan yang dipelihara juga berarti memelihara penghisapan terhadap petani.

Ketiga, bahwa kelompok gerakan sosial di pedesaan dan perkotaan tidak perlu lagi menunggu inisiatif negara untuk menjalankan Landreform/Reforma Agraria yang sesuai amanat konstitusi dan UUPA Kelompok gerakan sosial harus menjadi mesin penggerak utama dalam menjalankan Landreform/Reforma Agraria secara terorganisir dengan cara membangun kekuatan dari bawah demi terciptanya perubahan sosial yang radikal.

Keempat, bahwa praktik Landreform/Reforma Agraria harus kembali diletakkan di dalam konteks perubahan relasi produksi, yakni melalui usulan mekanisme (re)distribusi cum konsolidasi: dengan mengorganisir petani penggarap, petani miskin, buruh tani, dan petani tak bertanah untuk mengelola dan menguasahakan hamparan tanah secara bersama-sama (kolektif) sehingga mendorong penciptaan hubungan-hubungan agraria baru di pedesaan. A luta continua!

Komite Bersama Perjuangan Reforma Agraria


Halaman Masyarakat Adat Asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni, Radar Sampit, Minggu, 11 Juni 2023. Redaktur: Heru, Penata Letak: Hadi

Catatan Kusni Sulang | Despotisme Adat dan Desa Adat

Radar Sampit, Minggu, 29 Januari 2023

Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

Rapat Dengar pendapat Masyarakat Manuhing Raya dengan DPRD Gumas, November 2020. Foto: Kusni Sulang/2020
November 2020, warga tiga desa Kecamatan Manuhing Raya yang memilih desa adat melalui referendum diundang oleh DPRD Kabupaten Gunung Mas untuk Rapat Dengar Pendapat. Siswanto (sekarang Camat Manuhing Raya), Ketua Panitia Persiapan Penetapan Desa Adat Kecamatan Manuhing Raya menyerahkan sejumlah dokumen kepada Ketua DPRD. Foto: Kusni Sulang/2020

Bupati Gunung Mas Jaya S. Monong menyerahkan draf raperda kepada Ketua DPRD Gumas Akerman Sahidar, 29 Desember 2022 di ruang rapat paripurna DPRD setempat di Kuala Kurun, Jumat (11/3/2022). ANTARA/HO-Setwan Gumas.

“Orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar.”
–          Marcus Garvey

“Despotisme adat di mana-mana menjadi penghalang bagi kemajuan manusia. The despotism of custom is everywhere the standing hindrance to human advancement.”
–          (John Stuart Mill  1806-1873, Ekonom Inggris)

Akhirnya, Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung Mas pada 29 Desember 2022 menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat–selanjutnya saya sebut Perda No. 9 Tahun 2022.

Dalam Catatan saya, sejauh ini hanya ada dua kabupaten di KalimantanTengah, yaitu Kabupaten Katingan dan Kabupaten Gunung Mas yang sudah menerbitkan Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat.

Kabupaten-kabupaten lain baru pada taraf Raperda dan keinginan atau pembentukan Panitia (Verifikasi) Masyarakat (Hukum) Adat.

Tentang istilah, Perda No. 9 Tahun 2022  menggunakan terminologi ‘Masyarakat Hukum Adat’. Sementara terhadap istilah tersebut, sementara pihak memandang pengertiannya berbeda dari ‘Masyarakat Adat’ yang dipandang secara substansial cakupannya lebih luas dibandingkan dengan Masyarakat Hukum Adat.

Terhadap hal ini,  saya tidak mempermasalahkannya, sebab dalam pandangan saya bahwa yang utama sekarang adalah terbitnya Perda Pengakuan dan Perlindungan sebagai pijakan dan payung hukum awal guna melangkah lebih jauh. Dihadapan tantangan-tantangan dan berbagai persoalan yang ditampilkan oleh situasi seperti sekarang, adanya Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat merupakan keperluan mendesak, sepanjang Perda tersebut tidak berdampak justru merugikan Masyarakat (Hukum) Adat–walaupun celah tafsiran ke arah hal demikian memang terdapat pada Perda No. 9 Tahun 2022. Tapi di samping itu, terdapat pula labirin untuk hadirnya tafsiran menguntungkan Masyarakat (Hukum) Adat.

Terhadap Perda No. 9 Tahun 2022 ini, baik secara redaksional maupun substansi memang banyak Catatan yang bisa ditulis, hanya saja rubrik ini telah membatasi adanya bahasan panjang-lebar menyeluruh. Karena itu, Catatan ini membatasi diri pada fenomena yang pada abad-19 disinyalir sebagai despotisme adat, dan kemudian pertanyaan setelah Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat terbit, lalu apa-bagaimana tindak lanjutnya?

Secara pengertian, despotisme merupakan bentuk pemerintahan dengan satu penguasa, elok individual maupun oligarki, yang berkuasa dengan daya politik absolut. Despotisme dapat berarti tiran (dominasi melintasi ancaman hukuman dan kekerasan), atau absolutisme; atau diktatorisme (WordNet Search – 3.0). Kalau menggunakan pengertian Kamus Besar Bahasa Indonesia, despostime berarti: “2. Sistem pemerintahan dengan kekuasaan tidak terbatas dan sewenang-wenang” (https://kbbi.web.id/despotisme).

Menurut pengamatan saya, gejala despotisme ini ada pada lembaga-lembaga adat Dayak di Kalimantan Tengah (Kalteng), baik dalam praktek maupun secara pikiran.

Oleh karena sementara pihak tidak sepakat dengan isi buku yang saya terbitkan, saya lalu diajukan ke Pengadilan Adat di Palangka Raya. Setelah menyampaikan tuntutan atau hukuman, saya lalu ditanya: Apakah saya menerima keputusan mereka? Saya jawab, tidak. Terlebih dahulu saya meminta hak untuk bertanya, hak menjelaskan dan meminta penjelasan tentang kesalahan saya. Jika hak-hak ini tidak diindahkan maka Pengadilan Adat itu sama dengan pengadilan fasis. Tentu saja, apa yang saya alami langsung ini hanyalah satu contoh saja. Artinya terdapat contoh-contoh lain yang di sini tidak perlu dikemukakan karena dengan contoh ini saya mau menjelaskan adanya gejala despotisme adat.

Apalagi dalam penilaian saya, masyarakat Dayak Kalteng ini masih berada pada taraf yang saya namakan neo-tribalisme yang bertetangga dekat dengan kultus individu (kepala suku) dan  otoritarianisme. Oleh karena itu, saya khawatir kata-kata “sesuai dengan adat-istiadatnya” menempatkan adat-istiadat sebagai suatu kemutlakan yang tetap dan tidak bersifat dinamis. Padahal dalam praktek, adat-istiadat itu tidaklah statis tapi dinamis.

Adat sebagai bagian dari  budaya yang dimiliki oleh leluhur suatu etnik atau bangsa, pada hemat saya, sesuai dengan sifatnya,  jika mau tetap hidup dan berkembang, seyogyanya mempertahankan sifat keterbukaan. Saya memahami bahwa budaya Dayak itu pada hakekatnya adalah budaya hibrida, budaya serapan. Artinya, ia adalah hasil dari perpaduan budaya baik yang sudah dimiliki lalu dikembangkan dengan menyerap hal-hal positif dari luar dari manapun ia berasal. Karena itu maka kebhinnekaan merupakan suatu kekayaan.

Barangkali karena melihat bahaya despotisme adat dalam masyarakat Jawa maka rohaniawan, budayawan dan sastrawan Y. B. Mangunwijaya (alm) pernah berkata: “Negeri ini sungguh-sungguh membutuhkan pemberani-pemberani yang gila, asal cerdas. Bukan yang tahu adat, yang berkepribadian pribumi, yang suka harmoni, yang saleh alim, yang nurut model kuli dan babu.” Pramoedya Ananta Toer menulis: “Adat itu bikin orang jadi bodo” (dalam: Perawan dalam Cengkeraman Militer).

Jadi adat yang dimaksudkan dan diperlukan, saya kira adalah adat yang terbuka, adat sebagai modal budaya yang patut dipilah-pilah mana yang baik dan mana yang buruk untuk kemudian dipadukan dengan unsur-unsur baik dari luar guna menciptakan budaya atau adat baru atau zamani untuk menarungi hidup agar bisa hidup manusiawi dan menjadi manusia yang manusiawi.

Adat yang dimaksud, saya kira, tentu bukanlah menyarankan kita kembali ke masa lampau. Kita hidup di hari ini, seniscayanya menciptakan kebudayaan dan adat zamani. Karena itu, ketika kita berbicara tentang desa adat, yang dimaksudkan adalah membangun desa zamani bermodalkan budaya atau adat yang ada sehingga tidak lepas akar, membuat desa bisa maju dan mandiri. Sama sekali bukan untuk kembali ke masa silam.

Masyarakat (Hukum) Adat secara konkret mewujudkan diri dalam bentuk léwu atau nama lainnya. Karena itu pada hemat saya, setelah Perda No. 9 Tahun 2022 terbit maka tindak lanjut logis adalah pembentukan dan penetapan desa adat–sebagai wujud konkret dari pengakuan dan perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat.

Secara tafsiran, terdapat beberapa pasal dalam Perda No. 9 Tahun 2022 yang mengamanatkan tindak lanjut demikian, di samping pasal-pasal yang membuka peluang untuk tafsiran-tafsiran merugikan Masyarakat (Hukum) Adat.[*]


Pasca Perda Kabupaten Gunung Mas Nomor 9 Tahun 2022:

Semestinya Desa Adat Ditetapkan

Oleh: Destano Anugrahnu* | Editor: Kusni Sulang | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Janji Bupati Gunung Mas Jaya S. Monong kepada masyarakat di Manuhing Raya. Janji ini disampaikan dalam Perayaan Hari Tani Nasional, 23-25 September 2022 di Desa Tumbang Oroi, Kecamatan Manuhing Raya. Ilustrasi: BiT

Dipenghujung tahun lalu, pada 29 Desember 2022, Pemerintah Daerah Kabupaten Gunung Mas telah menetapkan dan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Gunung Mas Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat–sebuah kado tahun baru yang mesti dicermati agar menjadi peluang bagi kebangkitan dan kedaulatan masyarakat adat yang ada di bumi ‘Habangkalan Penyang Karuhei Tatau’.

15 Januari 2023 adalah hari peringatan 9 tahun diterbitkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya disebut UU Desa), yang salah satu bagian dari batang tubuh perundangannya mengatur tentang Desa Adat.

Ditetapkan dan diundangkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa sebenarnya merupakan petunjuk kebangkitan desa dengan dua asas pamungkas yakni asas rekognisi dan subsidaritas. Akan tetapi, rekonstruksi dan reorganisasi desa, baik dalam posisi sebagai organisasi maupun persekutuan sosial tidak dilakukan. Semua perhatian tertuju hanya pada adanya dana segar sebesar 1 milyar rupiah per desa. Setelah itu, perhatian baru terarah ke UU Desa dalam bentuk kritik-kritik tajam yang menyebut bahwa Undang-Undang Desa ini penuh cacat, bertentangan dengan aturan pelaksanaannya dan Undang-Undang lain yang mengatur tentang Desa (termasuk mengenai Desa Adat).

Permasalahan baru akan muncul jika pertentangan itu terjadi antar produk hukum setingkat (baca: sama-sama Undang-Undang), sehingga postulat ‘lex specialis derogat lex generalis’ akan mengalami kekaburan dalam pengimplementasiannya (misal: pengaturan terkait desa dalam Undang tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang tentang Desa).

Dalam keadaan seperti ini maka diperlukan adanya postulat hukum yang dapat memecahkannya dan merupakan penjabaran atau tindak lanjut dari postulat sebelumnya yakni ‘Lex specialis sistematis’, artinya Undang-Undang yang lebih lengkap yang mengatur suatu objek. Postulat inilah yang mesti digunakan dan menjadi rujukan, dalam hal ini adalah Undang-Undang Desa, sampai ada revisi terbaru terhadap Undang-Undang Desa tersebut.

Selanjutnya ada usulan Undang-Undang Desa mesti diubah dan direvisi karena di dalam UU Desa terdapat kekeliruan fatal. Mungkin pandangan atau kritik demikian tidak sepenuhnya keliru, akan tetapi yang mesti kita ingat dalam negara yang produk hukumnya dibuat berdasarkan kesepakatan politis antara legislatif dan eksekutif, akan selalu lahir resultante yang kompromis sehingga jika meminjam pendapat Paul Scholten: ‘hanya mereka yang mengkhayallah, jika berpikir Undang-Undang itu telah mengatur segalanya secara tuntas dan sempurna’. Oleh karena itu, penemuan hukum menggunakan metode tafsir dan interpretasi yang progresif dan memiliki keberpihakan untuk perbaikan desa (baik secara organisasi maupun persekutuan sosial/komunitas adatnya) yang memungkinkan bagi perubahan arah baru dari keberadaan desa itu sendiri.

Dari uraian di atas, pertanyaan lain muncul, yaitu  lantas apa-bagaimana ratio logis antara pasca ditetapkan dan diundangkannya Perda Kabupaten Gunung Mas Nomor 9 Tahun 2022 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan keberadaan Desa Adat di dalam Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa?

Berdasarkan pengamatan penulis, ada benang merah yang bisa dihubungkan dan bahkan diikat menjadi sebuah peluang antara kedua peraturan ini, khususnya bagi masyarakat adat di Kabupaten Gunung Mas.

Pertama, di Kabupaten Gunung Mas sejak tahun 2020 sudah ada tiga kepala desa yakni desa-desa Tumbang Samui, Tumbang Oroi, Luwuk Tukau, Kecamatan Manuhing Raya, yang telah mengusulkan secara tertulis kepada Bupati dan melalui Rapat Dengar Pendapat dengan DPRD Gunung Mas, agar status desa-desa tersebut diubah dari desa administratif menjadi desa adat. Hanya saja permintaan tersebut sampai hari ini tidak jelas keberlanjutannya. Konon dari berbagai pihak terkait di kalangan penyelenggara Negara Kabupaten Gunung Mas, diperoleh keterangan bahwa tindak lanjut usul dan permintaan tersebut menunggu ditetapkan dan terbitnya Perda Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.

Kedua, pada bagian konsideran atau pertimbangan dari Perda Kabupaten Gunung Mas Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dicantumkan keberadaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Pencantuman tersebut dari kacamata teori pembentukan perundang-undangan dan struktur dasar peraturan hukum, tidak sekedar asal mencantumkan, melainkan pada bagian inilah legal spirit dari sebuah peraturan hukum itu menggambarkan maksud dan tujuan dari pengaturan, pembentukan dan penetapan serta penerbitan peraturan hukum itu sendiri.

Ketiga, pertentangan atau contra legem dalam struktur dasar peraturan hukum merupakan sebuah kesesatan berpikir. Yang dimaksudkan dengan contra legem di sini yakni adanya pertentangan antara landasan filosofis, batang tubuh dan bagian penjelasan dari peraturan hukum itu. Mari kita periksa bersama Perda Kabupaten Gunung Mas Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat pada  bagian Ketentuan Umum Pasal 1 ayat  angka 7, mengenai pembentukan peraturan.  Bagian ini  mencantumkan pendefinisian Lewu/Rowu atau dengan sebutan lain… dst, definisi yang berkesesuaian dengan UU Desa.Kesesuaian antara legal spirit dan batang tubuh peraturan, dan  pencantuman Undang-Undang Desa dalam peraturan ini nampaknya diwakilkan oleh pendefinisian Lewu/Rowu itu, yang lebih lanjut dijelaskan dan diterangkan dalam bagian penjelasan khususnya ketentuan umumnya dari peraturan ini.

Keempat, usulan perubahan tiga desa sebagaimana yang ada di Kecamatan Manuhing Raya yang penulis terangkan pada bagian pertama di atas yakni perubahan desa administratif/konvensional menjadi desa adat yang dalam sebutan masyarakat di Kecamatan Manuhing Raya adalah Léwu. Oleh karena itu, dari penetapan dan penerbitan Perda Kabupaten Gunung Mas Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang salah satu pasalnya pada bagian Ketentuan Umum menjelaskan tentang Léwu semestinya membawa konsekuensi logis bagi Pemerintah Daerah Gunung Mas untuk menindaklanjuti sesegera mungkin usulan dari tiga Desa di Manuhing Raya tersebut.

Terakhir, dasar hukum sebagaimana yang menjadi dalih macetnya proses tindak lanjut usulan Desa Adat selama ini, telah berkekuatan hukum dan mengikat, dikuatkan lagi dengan pendapat sekaligus dukungan politik dari Bupati Kabupaten Gunung Mas Jaya S. Monong terhadap permintaan dan perjuangan tiga desa di Kecamatan Manuhing Raya untuk berubah status menjadi desa adat, yang disampaikan dalam perayaan Hari Tani Nasional tanggal 23-25 September 2022 di Desa Tumbang Oroi. Bupati bahkan berjanji akan siap mengawal sampai proses ke Jakarta bersama-sama dengan masyarakat adat.

Semua hal ini semestinya menjadi modal yang sangat kokoh dan tidak terelakkan untuk mewujudkan Desa Adat pertama versi Undang-Undang Desa di Kalimantan Tengah karena tanpa ada bentuk konkret dari pasca ditetapkannya Perda Kabupaten Gunung Mas Nomor 9 Tahun 2022 Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, maka aturan ini hanya akan menjadi macan kertas dan tidak membawa manfaat bagi masyarakat adat.

*Penulis adalah pegiat sosial Masyarakat Adat & Desa di Kalimantan Tengah


Nukila Evanty: “Masyarakat Adat Akan Selalu Berhadapan dengan Bisnis dan Program Atas Nama Pembangunan”

Radar Sampit, Minggu, 15/01/2023

Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

Nukila Evanty adalah seorang aktivis hak-hak masyarakat adat yang juga menjadi bagian dari masyarakat adat di Rokan Hilir, Riau, representasi Indonesia di UN (United Nations) Forum on Indigenous Peoples di tahun 2022, juga adalah Country Director RIGHTS penasehat lembaga Asia Centre, dengan kantor pusat di Bangkok, Thailand, serta penasehat pada Business and Human Rights Centre (BHRIGHT) di Universitas RMIT di Melbourne, Australia.

Berikut adalah wawancara dengan Nukila Evanty yang dilakukan Tyas dari Info Banua pada 14 November 2022. Disiar kembali dengan harapan bisa dijadikan acuan dalam membaca masalah konflik agaria yang tak kunjung usai di Kalimantan Tengah hingga hari ini.

T: Anda adalah bagian dari Masyarakat Adat, menurut Anda mengapa masyarakat adat selalu tertinggal?

J: Masyarakat adat atau di forum internasional disebut dengan indigenous people adalah bagian dari keberagaman masyarakat Indonesia, sehingga seharusnya hidup masyarakat adat termasuk tanah, hutan, sosial budaya mereka dijamin dan dilindungi konstitusi sesuai dalam pasal 18 B ayat 2 dan undang-undang. Sejauh yang dialami saat ini, kedudukan masyarakat adat di tengah-tengah kehidupan berbangsa dan bernegara kita mengalami banyak kesulitan. Masih banyak masyarakat adat terancam, mengalami ekstorsi (extortion) yaitu terancam, terintimidasi, terdiam karena kekhawatiran dan ketakutan, teraniaya, terusir dari tanah tempat kelahiran mereka sendiri dan kehilangan dan terampas hak-haknya atas tanahnya yang disebut sebagai tanah ulayat, kehilangan air bersih, hutan yang telah dibabat habis, kehilangan sumber makanan yang biasa mereka dapatkan dengan mudah di tanah mereka sendiri akibat penguasaan tanah oleh para pebisnis dan investor.

T: Jadi menurut Anda, eksistensi masyarakat adat selalu dihadapkan dengan pebisnis dan pembiaran akan nasib mereka?

J: Tanah dan hutan bagi masyarakat adat adalah darah, jantung dan jiwa mereka. Jadi bayangkan ketika investor masuk dan mengambil tanah dan hutan mereka padahal telah didiami dan diperjuangkan masyarakat adat tersebut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tanah dan hutan mereka telah beralih fungsi menjadi lahan untuk pertambangan seperti batu bara dan minyak bumi atau lahan pertanian seperti salah satunya perkebunan sawit. Provinsi Riau, tempat saya dilahirkan dan dibesarkan adalah provinsi dengan luas perkebunan sawit terluas di Indonesia yaitu 3,38 juta ha atau 20,68% dari total luas areal perkebunan kelapa sawit yang tersebar di 26 provinsi atau sebesar 16.38 juta hektar, seperti dilansir dari data Kepmentan (Keputusan Kementerian Pertanian No.833 /2019). Serta banyak juga kasus-kasus yang tidak terekspos baik oleh media maupun oleh masyarakat sipil. Beberapa contoh kasus yang pernah saya ikuti dalam kampanye dan advokasi  adalah izin bagi perusahaan tambang dan pabrik semen di Kampung Lengko Lolok dan Luwuk, Desa Satar Punda, Lambaleda, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Masyarakat Lengko Lolok menolak karena jika tambang dan pabrik semen itu sampai masuk ke kampung mereka, maka tidak terhindarkan adanya relokasi kampung, termasuk nilai-nilai sosial budaya dan tradisi mereka serta alih fungsi lahan pertanian. Dalam kajian dan kunjungan saya ke beberapa masyarakat adat, saya melihat bagaimana masyarakat adat bergulat dengan kesulitan untuk mengaktualisasikan budaya dan tradisinya sendiri, akan terhenti dengan sendirinya dan tidak bisa diteruskan kegenerasi berikutnya. Saya pernah penelitian ke Suku Akit di Desa Titi Akar, di Rupat Utara, tradisi mereka membakar hutan untuk berladang sudah dilarang, padahal menurut mereka berladang padi itu adalah tradisi dan mata pencaharian utama sehingga mengakibatkan mereka beralih menjadi nelayan.

Malah hutan yang sejatinya mereka kelola dengan bijak beralih menjadi milik perusahaan tanpa ada proses berkonsultasi dengan mereka. Kemudian saya penelitian ke Desa Kedabu, Rokan Hulu, ke masyarakat adat Talang Mamak Riau, tahun 2016, Batin (kepala suku) masyarakat adat Talang Mamak, termasuk perempuan dan generasi muda di sana sudah berteriak lama kehilangan hutan, kelapa sawit ditanami kurang dari 500 meter dari bibir sungai, sungai menjadi surut bahkan mengering. Padahal air sungai adalah segalanya buat masyarakat adat Talang Mamak, ada ritual, kebutuhan minum sehari-hari, mandi dan sebagainya terutama bagi perempuan Talang Mamak yang merasakan langsung dampak dari kehilangan sungai dan terdegradasi lingkungan mereka. Masyarakat adat Talang Mamak akhirnya membuat sumur untuk memenuhi kebutuhan akan air bersih. Saat masyarakat masih harus berjuang menghadapi pandemi COVID-19, akses terhadap air bersih menjadi lebih penting dari sebelumnya. Masyarakat diharuskan menjaga kebersihan dan menjadi salah satu upaya melindungi diri pribadi dari COVID-19 misalnya menjaga higienitas tubuh, kerap mengganti baju dan mencuci pakaian setelah bepergian dan mencuci tangan dengan air bersih. Apalagi bagi perempuan di masyarakat adat, merekalah penjaga keluarga dalam arti menyediakan air bersih, mencuci, memasak dari sumber mata air dan air sungai buat keluarganya sehingga semakin sulit saat ini karena air sungai mengering, mengendap, air menjadi tercemar karena limbah dari perusahaan dan kelangkaan air karena bisnis dan perusahaan yang ada di sekira tempat mereka tinggal belum punya sensitifitas untuk menghormati masyarakat tempat bisnis atau perusahaan mereka beroperasi.

T: Menurut Anda, bisnis yang bagaimana yang seharusnya dilakukan oleh bisnis dan perusahaan?

J: Bisnis yang tidak menyebabkan pencemaran dan kerusakan pada sumber air, tanah dan hutan. Bisnis yang mengajak masyarakat adat dan masyarakat desa untuk berdialog, berkonsultasi dan mendapatkan persetujuan mereka dalam setiap pengambilan keputusan. Saya kira pebisnis dan perusahaan apalagi perusahaan skala multinasiol sudah mulai memahami prinsip-Prinsip Panduan PBB tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (UNGPs). Tiga pilar UNGPs yang dikenal bahwa bisnis itu harus melindungi, menghormati, memulihkan sehingga pebisnis/perusahaan harus menghindari terjadi pelanggaran hak masyarakat adat dan harus memberikan ganti atas kerugian yang diderita oleh korban sebagai dampak dari kegiatan bisnis. Pemerintah dan pemerintah daerah harus lebih maksimal dalam upaya mendorong perusahaan dan pebisnis untuk melakukan upaya menginternalisasi aturan mereka agar lebih patuh untuk penghormatan hak-hak masyarakat adat, tak sekedar hanya mengeluarkan CSR (corporate social responsibility) semua hal akan teratasi dengan baik tetapi perlu upaya yang lebih intens untuk mengadakan riset awal ke daerah tempat perusahaan beroperasi, apa saja budaya sosialnya, lakukan pendekatan dengan berdialog dan komunikasi, konsultasi dengan lebih efisien dan menjelaskan tanggung jawab pebisnis, manfaat bisnis tersebut buat masyarakat secara transparan. [Tias/IB]


Obral Lahan oleh Para Presiden untuk Korporasi

Penulis: Raden Ariyo Wicaksono | Foto: Auriga & Walhi | Editor: Sandy Indra Pratama

Merunut sejarah, lebih dari setengah abad lalu korporasi sudah bercokol menguasai Bumi Indonesia. Sejak era pemerintahan Presiden Soeharto hingga sekarang, terhitung sekitar 147.936.564 ha lahan pernah diberikan Pemerintah Indonesia kepada korporasi.

Hal itu secara ringkas diulas dalam laporan yang dirilis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga Nusantara, yang berjudul “Indonesia Tanah Air Siapa-Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi”.

Menurut data yang disajikan laporan tersebut, luas lahan yang pernah diberikan kepada korporasi untuk sektor kehutanan, khususnya Hak Pengusahaan Hutan (HPH)—sekarang disebut Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) Hutan Alam—luasnya sekitar 68.604.460 ha, sedangkan untuk Hutan Tanaman Industri—kini disebut PBPH Hutan Tanaman—luasnya kurang lebih 13.963.748 ha. Kemudian lahan berasal dari pelepasan kawasan hutan yang pernah diberikan kepada korporasi perkebunan sawit luasnya mencapai 6.019.019 ha, dan untuk korporasi pertambangan luasnya sekitar 47.424.838 ha.

Laporan berjudul Indonesia Tanah Air Siapa-Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi yang dipublikasikan Walhi dan Auriga Nusantara mengungkap secara ringkas luasan lahan yang dikuasai korporasi: “Sejak era pemerintahan Presiden Soeharto hingga sekarang, terhitung sekitar 147.936.564 ha lahan pernah diberikan Pemerintah Indonesia kepada korporasi.”

Obral pemberian pengusahaan, pengelolaan dan pengusahaan lahan kepada korporasi mulai marak sejak Orde Baru, terutama sejak diterbitkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing pada 1967 (UU 1/1967) dan Undang-Undang Penanaman Modal Dalam Negeri pada 1968 (UU 6/1968).

Penguasaan oleh korporasi ini melalui berbagai bentuk, seperti konsesi dan izin pada pertambangan, izin usaha perkebunan dan atau hak guna usaha (HGU) pada perkebunan sawit, konsesi/izin logging (biasa dikenal Hak Pengusahaan Hutan – HPH) atau kebun kayu (biasa dikenal Hutan Tanaman Industri–HTI) pada kehutanan. Omnibus Law, atau dikenal juga UU Cipta Kerja, membungkus semuanya dalam bentuk Perizinan Berusaha. Meski nama atau istilahnya beragam, satu hal yang pasti: semua itu diperuntukkan bagi perusahaan atau, untuk selanjutnya disebut korporasi.

Alokasi pengusahaan lahan oleh korporasi per periode kepresidenan. Sumber: Laporan Indonesia Tanah Air Siapa-Kuasa Korporasi di Bumi Pertiwi  Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Auriga Nusantara dalam.

Presiden Soeharto merajai “kemurahan hati” pemerintah kepada korporasi. Berkuasa 32 tahun tak kurang dari 78,7 juta ha lahan diberikannya kepada korporasi, baik kehutanan, sawit, maupun tambang. Rerata per tahunnya lahan yang ia berikan kepada korporasi luasnya sekitar 2,5 juta ha.

Bila dirincikan, untuk PBPH Alam (HPH) 61,7 juta ha, PBPH Tanaman 4,3 juta ha, pelepasan kawasan hutan untuk sawit 2,9 juta ha dan tambang 9,8 juta ha.

Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menempati urutan kedua Presiden yang terbanyak memberikan lahan kepada korporasi. Walau hanya berkuasa selama 10 tahun, SBY menyerahkan penguasaan lahan seluas 55 juta ha kepada korporasi. Dengan rata-rata sekitar 5,5 juta ha lahan ia obral kepada korporasi tiap tahunnya selama 10 tahun.

Rinciannya 11,9 juta ha untuk PBPH Alam, sekitar 6 juta ha untuk PBPH Tanaman, 2,1 juta ha kawasan hutan dilepaskan untuk perkebunan sawit, dan 35 juta ha untuk pertambangan.

Bisa jadi karena hanya sebentar berkuasa, 2-3 tahun, rezim Habibie, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, dan Megawati tidak terlalu banyak memberi penguasaan lahan kepada korporasi.

Presiden B.J. Habibi hanya sekitar 2 juta ha, terdiri dari PBPH Alam 1,6 juta ha, PBPH Tanaman, 118 ribu ha, pelepasan kawasan hutan untuk sawit 284 ribu ha dan tambang 5 ribu ha. Habibie bahkan tercatat menutup pabrik pulp Indorayon Inti Utama (kini Toba Pulp Lestari) karena mencemari lingkungan dan ditolak masyarakat setempat.

Presiden keempat, Abdurrahman Wahid menjadi presiden paling sedikit memberikan lahan kepada korporasi, totalnya hanya 1,6 juta ha, yang terdiri dari 1,3 juta ha untuk PBPH Alam, 113 ribu ha PBPH Tanaman dan pelepasan kawasan hutan untuk sawit seluas 107 ribu ha. Gusdur tercatat tidak memberikan lahan untuk korporasi tambang.

Kemudian luas lahan yang diberikan Presiden Megawati kepada korporasi mencapai angka 2,6 juta ha. Rinciannya, 1,3 juta ha untuk PBPH Alam, 417 ribu ha untuk PBPH Tanaman dan 927 ribu ha untuk pertambangan. Akan tetapi Presiden Megawati membukukan catatan kritis, selain menghidupkan kembali pabrik Indorayon, ia juga membolehkan penambangan di hutan lindung kepada korporasi tertentu.

Undang-Undang Kehutanan (UU 41/1999) yang disusun dan disahkan pada era Habibie telah membatasi kegiatan pertambangan di dalam kawasan hutan, yakni hanya membolehkannya secara terbatas di dalam hutan produksi dan tambang tertutup (underground mining) di hutan lindung.

Namun, oleh rezim Megawati terbit peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu 1/2004) sehingga perusahaan-perusahaan tertentu dibolehkan menambang secara terbuka (open pit) di dalam hutan lindung. Berbasis Perppu ini Megawati kemudian menerbitkan Keppres 41/2004 yang membolehkan 13 korporasi menambang di dalam hutan lindung seluas 927.648 ha (dari total luas izin 6.257.640.49 ha).

Meski dalam masa kampanyenya, dan bahkan mencatat secara formal pengalokasian penguasaan lahan kepada rakyat berupa perhutanan sosial (12,7 juta ha) dan reforma agraria (5 juta ha), ternyata yang dilakukan rezim Joko Widodo cenderung sebaliknya.

Hingga saat ini, pemenuhan janjinya tersebut hanya sekitar 2 juta ha (atau 11 persen dari total janjinya), sementara alokasi lahan yang diberikan rezimnya ke korporasi hampir mencapai 8 juta ha. Terdiri dari 2,6 juta ha PBPH Alam, 3,1 juta ha PBPH Tanaman, 598 ribu ha pelepasan kawasan hutan untuk sawit dan 1,6 juta ha untuk pertambangan.

Jokowi sendiri baru 8 tahun berkuasa, sehingga masih punya waktu 2 tahun lagi menuntaskan periode kepresidenannya. Persoalannya, 2 tahun terakhir tersebut akan berupa tahun elektoral, baik pusat maupun daerah, yang biasanya justru ditandai dengan hujan izin.(*)

7 November 2022 Kalimantan Review

Artikel yang sama telah dipublikasikan pada Jumat, 28 Oktober 2022 di media online https://betahita.id/news/detail/8084/catatan-obral-lahan-para-presiden-untuk-korporasi.html?v=1667473402.  Tanggung jawab atas seluruh isi tulisan ada pada https://betahita.id. Kalimantan Review adalah jaringan kerja pengasuh rubrik.

Catatan Kusni Sulang: KALIMANTAN TENGAH 65 TAHUN

Radar Sampit, Minggu, 22 Mei 2022 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Rumah di Bahu Palawa tempat berlangsungnya Kongres Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) I  pada 1953 membahas pembentukan Kalimantan Tengah menjadi provinsi otonom. Foto: Kusni Sulang/2021

Apakah waktu 65 tahun sudah membuat provinsi otonom Kalteng “maju melesat” di berbagai bidang karena sudah mendapatkan dan berjalan di jalan yang tepat?

Dalam pidato pertanggunganjawab terakhirnya sebagai presiden di depan sidang MPRS 17 Agustus 1966, Bung Karno antara lain mengatakan agar kita ”Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah”.  Pidato inilah kemudian yang dikenal dan terkenal dengan sebutan Pidato Jasmerah.

Menurut A. H. Nasution, waktu itu Ketua MPRS, Jasmerah merupakan akronim (singkatan) yang dibuat oleh Kesatuan Aksi, sedangkan Bung Karno sendiri memberi judul agak panjang atas pidatonya tersebut yakni ”Karno Mempertahankan Garis Politiknya yang Berlaku, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” (lihat: https://nasional.sindonews.com/berita/1024946/149/jasmerah-bung-karno-di-alquran-suci).

Tanggal 23 Mei  2022, Kalimantan Tengah (Kalteng) sebagai provinsi otonom tepat berusia 65 tahun–diukur dari usia anak manusia, 65 tahun adalah usia yang tentu bukan kanak lagi. Juga sebagai suatu provinsi. Apabila meminjam kata-kata Guru Besar Fisipol Universitas Gadjah Mada, almarhum Cornelis Lay: “Sekali kalian (baca: Kalteng–KS) mendapatkan jalan tepat, kalian akan maju melesat” (percakapan Cornelis Lay dan pengasuh halaman ini pada 2009 di Palangka Raya).

Apa yang dikatakan oleh Cornelis Lay, hari ini ditunjukkan oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang berdiri pada tahun 1949, selisih 8 tahun dari berdirinya Kalteng, RRT sekarang tumbuh berkembang menjadi kekuatan politik, militer, ekonomi yang sangat diperhitungkan dunia (lihat: I. Wibowo: “Belajar dari Cina”, Penerbit Kompas, 2004, 252 hlm; lihat juga: Zhou Tianyong, “Mimpi dan Jalan Tiongkok Menuju Kejayaan”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2019, 333 hlm; tulisan-tulisan Dahlan Iskan tentang Tiongkok baik berupa buku maupun di DIWay).

Apakah waktu 65 tahun sudah membuat provinsi otonom Kalteng “maju melesat” di berbagai bidang karena sudah mendapatkan dan berjalan di jalan yang tepat?

Untuk menjawab pertanyaan ini barangkali ada baiknya kita membuka kembali halaman-halaman sejarah Kalteng, mulai dari sejarah perjuangan mendirikannya.

Sejarah menunjukkan bahwa Kalteng berdiri sebagai provinsi otonom bukanlah hadiah, bukan pula karena kebaikan Pemerintah Pusat atau Jakarta, tapi hasil perjuangan bersenjata mandi darah dan air mata. Hal ini antara lain tertuang dalam keputusan-keputusan Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) dan Gerakan Mandau Talawang Panca Sila.

Dalam Kongres ke-IV-nya, SKDI menerbitkan  Pernyataan No,6/Kong. IV/1954 yang berbunyi antara lain: “4, Jika Pernyataan yang penghabisan ini juga tidak mendapatkan perhatian yang segera, SKDI akhirnya akan mengambil sikap lain lagi, jalan mencapai hak-hak mutlak yang menjadi tuntutan itu” (Ludie S. Andung, 2006. Stensilan, segera diterbitkan).

Disebut “pernyataan yang penghabisan” karena tuntutan menjadi provinsi otonom, lepas dari Provinsi Kalimantan ini, telah berkali-kali disampaikan tapi tidak dijawab sama sekali oleh Jakarta.  Bahkan dalam Laporannya selaku Gubernur Provinsi Kalimantan, RTA Milono di  depan Konferensi Para Gubernur Se-Indonesia Ke-IV yang berlangsung di Istana Negara pada 17-18 Januari 1955 masih mengatakan bahwa untuk menjadi sebuah provinsi otonom, Kalimantan Tengah masih belum memenuhi syarat-syarat yang diperlukan (lihat: Laporan Gubernur Kalimantan RTA Milono, dalam: Ludie S. Andung, 2006. “Damang Sahung dan Pergerakan Serikat  Kaharingan Dayak Indonesia [SKDI] dalam Memperjuangkan Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah).

Akibat penolakan Jakarta terhadap tuntutan di atas, pada Desember 1956, bentrokan fisik antara aparat Negara dan masyarakat Dayak di bawah pimpinan Gerakan Mandau Talawang Panca Sila tidak lagi terhindarkan. Korban nyawa mulai jatuh.

Untuk mewujudkan keinginan membentuk provinsi Dayak otonom, masyarakat Dayak menggunakan berbagai macam bentuk perjuangan, mulai dari perjuangan non fisik hingga ke pemberontakan bersenjata.

Adapun tujuan membentuk Provinsi Dayak otonom ini oleh Kongres Ke-III SKDI di Bahu Palawa, 22 Juli 1953, dirumuskan sebagai berikut: “… untuk dapat menyusun dan mengatur rumah tangga dan diri sendiri, mengejar ketertinggalan-ketertinggalan akibat politik devide et impera Belanda berdasarkan: a. politik; b. sosial; c. ekonomi; d. adat istiadat dan hak beragama; e. kesenian dan kebudayaan; f. sejarah.” (Ludie S. Andung, 2006. “Damang Sahung dan Pergerakan Serikat  Kaharingan Dayak Indonesia [SKDI] dalam Memperjuangkan Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah).

Dalam istilah sekarang, keinginan membentuk provinsi Dayak beradasarkan faktor-faktor di atas tidak lain dari membentuk Provinsi Adat (istilah Provinsi Dayak, juga digunakan oleh Prof. Dr. Mubyarto dalam bukunya tentang Kalimantan Tengah). Provinsi Otonom Kalimantan Tengah yang berdiri pada 1957 itu hakekatnya adalah Provinsi Adat. Bisa berkibarnya Merah Putih di Tanah Dayak, saya kira tidak lepas dari keinginan berkembang maju melalui Provinsi Adat. Keinginan berkembang maju ini dalam istilah hari ini disebut Manggatang Utus.

Yang menjadi pertanyaan: Apakah generasi sekarang yang sering lantang berucap “Isen Mulang Manggatang Utus” mempunyai konsep menyeluruh tentang bagaimana Manggatang Utus itu?

Jangan-jangan istilah Manggatang Utus itu kata-kata lain dari Manggatang Partaiku, Kelompokku atau Keluargaku bahkan diriku. Kecurigaan ini muncul dari adanya pembentukan orligaki atau “dinasti politik dan ekonomi” apabila menggunakan istilah umum pada masa Pemerintahan Soekarno dulu.

Untuk mencapai dan mencoba mempertahankan lebih lanjut kekuasaan oligarki atau dinasti itu maka rupa-rupa pencitraan dilakukan sedangkan pencitraan bukanlah kebenaran (truth). Hal inilah yang membuat Kalimantan Tengah berada pada periode “post truth” (pasca kebenaran). Artinya tujuan membentuk Kalimantan Tengah sebagai provinsi otonomi berupa Provinsi Adat makin jauh panggang dari api.

Dalam keadaan demikian maka Dayak pun rentan menjadi komoditas. Kita tahu komoditas akan dimiliki oleh pihak yang berani membeli harga tinggi untuk barang dagangan tersebut. Karena itu, dalam periode post-truth ini, hedonisme menjadi dominan. Manusia dan diri sendiri pun diperdagangkan. Apalagi kedudukan. Berlangsungnya praktek “menggusurkan tukang sihir” (chasser les sorciers) dalam politik adalah pernyataan dari perdagangan jabatan. Berkuasanya hedonisme, bukan tidak mungkin akan menaklukkan semua bentuk perlawanan dan menghalang keinginan maju. Menjadi petarung seumur hidup dan konsekuen sungguh tidaklah mudah.

Hari ini, secara demografis, apalagi secara ide dan praktis, Kalimantan Tengah tidak lagi bisa seperti disebut oleh Prof. Dr. Mubyarto sebagai “Provinsi Dayak”.

Sebagai akibat dari politik transmigrasi dan keluarga berencana pukul rata, maka Dayak sudah menjadi minoritas di Tanah Dayak. Perubahan komposisi demografis ini berdampak ke semua sektor: politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Sebenarnya, saya ingin mengungkapkan hal-hal menggembirakan tentang kampung-halaman ini, hanya saja kenyataan jauh lebih jelas memperlihatkan bahwa Kalimantan Tengah seperti sejak lama diingatkan oleh para tetua, terutama Dayak,  kian hari kian berada dalam keadaan “témpun pétak batana saré, témpun uyah batawah bélai, témpun kajang bisa puat” (punya tanah berladang di tepi, punya garam hambar di rasa, punya atap basah muatan”. Keadaan demikian tentu bukanlah kehidupan yang menggembirakan. Ia adalah kegelapan. Malam yang gelap. Hanya dari pada mengutuk malam, lebih baik menyalakan lilin.

Apakah lilin yang memberikan cahaya harapan itu–sekalipun mungkin lilin itu berada di bawah tiupan angin bahkan badai?

Sejarah Kalimantan Tengah, terutama sejarah Dayak mengatakan bahwa tidak ada kemajuan apapun yang didapati Dayak sebagai hadiah atau belas kasihan siapapun. Semuanya diperoleh melalui perjuangan bahkan kadang-kadang berdarah.

Perjuangan memerlukan persatuan dan organisasi, untuk mewujudkan gagasan manusiawi dan adil.  Untuk membuat organisasi itu berkembang memerlukan sumber daya manusia yang dirumuskan oleh budaya Dayak dalam trilogi manusia ideal Dayak yaitu  “mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh” (gagah-berani, cerdik dan beradat, berpikir dan bertindak berani melawan arus–out of the box, beyond the mainstream dan ulet, tekun, rajin). Manusia ideal begini merupakan syarat utama untuk berkembang sebagai minoritas kreatif. Di sini faktor pendidikan terencana merupakan hal kunci seperti telah ditunjukkan baik oleh Hausmann Baboe yang kemudian dilanjutkan oleh Tjilik Riwut sebagai Gubernur Pertama Kalimantan Tengah (1957-1967). Hal yang juga dilakukan oleh Adrianus A. Sidot saat menjadi Bupati Landak seputar 2013 (lihat: Majalah Tempo Edisi Kemerdekaan 2013).

Adapun organisasi atau alat untuk mereorganisasi masyarakat Dayak itu hari ini, pada hemat saya, yang efektif adalah desa adat sebagai wujud konkret keberadaan masyarakat adat. Dengan demikian, bisa diharapkan tenaga produktif di pedesaan bisa terbebaskan sehingga cahaya lilin akan makin dominan. Inilah titik terang  yang saya lihat di tengah kegelapan hari ini.

Seperti ujar Mochtar Lubis, saya masih meyakini bahwa masih ada hari esok walaupun jalan ke hari esok itu bukanlah jalan bertabur bunga. Tapi tak usah menyebut diri Dayak Utus Panarung jika takut bertarung.

Kalau berkah itu ada, berkah itu adalah buah perjuangan juga adanya.[***]


Negara Takluk oleh Oligarki Sawit

Oleh: Mahesa Danu

Tikus mati di lumbung padi. Pepatah itu selalu menjadi kutukan bagi negeri ini tatkala berhadap-hadapan dengan krisis pangan. Tidak terkecuali saat minyak goreng menjadi barang langka di negeri ini.

Memang ironis, lebih dari  15 juta hektar daratan negeri ini (lebih luas dari pulau Jawa yang hanya 12,8 juta hektar) ditanami sawit. Produksi sawitnya pun melimpah: 46,8 juta ton pada 2021 atau 58 persen dari total produksi sawit minyak dunia. Seharusnya, dengan angka-angka menakjubkan itu, minyak goreng tidak langka di negeri ini.

Namun, sejak akhir 2021, harga minyak goreng melambung tinggi. Data BPS menunjukkan, harga minyak goreng pada Desember 2021 mencapai Rp 21.125 per liter. Harga itu naik 34 persen dibanding Desember 2020.

Garang di Atas Kertas

Negara merespon kenaikan itu agak telat. Baru pada 3 Januari 2022, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi untuk mengambil langkah-langkah politik untuk menstabilkan harga minyak goreng.

Akhirnya, pada 19 Januari 2022, pemerintah menerapkan kebijakan satu harga minyak goreng sebesar Rp14.000 per liter. Demi menyokong kebijakan itu, negara menggelontorkan Rp7,6 triliun dari dana Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Rupanya, kebijakan itu tidak efektif. Akhirnya, pada pengujung Januari 2022, pemerintah mengeluarkan jurus baru, yaitu menetapkan harga eceran tertinggi (HET), wajib pasok dalam negeri/domestic market obligation (DMO) sebesar 30 persen, dan ketentuan harga dalam negeri/domectic price obligation (DPO).

Kebijakan DMO harusnya membuat stok minyak goreng tercukupi. Di atas kertas, dalam kurun waktu 14 Februari hingga 16 maret 2022, beleid DMO mengumpulkan 720.612 ton produk sawit (dari rencana ekspor 3,5 juta ton). Klaim Kemendag, dari jumlah DMO itu, sudah disalurkan 551.069 ton atau 570 juta liter. Sementara kebutuhan nasional kita di kisaran 327 ribu ton per bulan. Atau, kalau diandaikan setiap warga RI membutuhkan 1 liter minyak goreng per bulan, maka dibutuhkan 273 juta liter per bulan. Sekali lagi, di atas kertas, pasokan dari DMO itu seharusnya sudah jauh lebih dari cukup.

Dengan kebijakan DMO dan DPO di hulu, lalu dikawal dengan HET di hilir, seharusnya minyak goreng bisa sampai ke rakyat dengan jumlah dan harga sesuai HET (minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan premium Rp 14.000 per). Kenyataannya, minyak goreng menghilang di pasaran. Kelangkaan minyak goreng terjadi di seantero negeri, yang membuat rakyat berjubel antri minyak goreng, bahkan menyebabkan korban jiwa di Kalimantan Timur.

Berhadap-hadapan dengan potensi gejolak sosial dan politik akibat kelangkaan minyak goreng, pemerintah pun kelabakan. Jalan pintas pun dipilih: mencabut HET dan DMO, lalu menyerahkan harga minyak goreng ke mekanisme pasar. Lucunya, tak menunggu lebih dari 24 jam pasca kebijakan pemerintah itu, rak-rak minimarket dan ritel-ritel modern lainnya tiba-tiba dipenuhi minyak goreng. Dalam sekelebat, minyak goreng kembali melimpah.

Bisa disimpulkan, selama ini ada pihak yang sengaja menahan stok minyak goreng demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Mereka bukan mafia kecil-kecil yang sekedar memanfaatkan aji mumpung, melainkan kekuatan ekonomi predatoris yang terorganisir. Negara yang seharusnya hadir untuk mengoreksi penyimpangan pasar, termasuk meringkus para spekulan dan penimbun, justru menyerah takluk. Negara kalah pada kekuatan ekonomi predatoris.

Kebijakan DMO seharusnya efektif kalau dikawal dengan ketat. Tidak cukup dengan bukti  realisasi distribusi berupa purchase  order, delivery order, dan faktur pajak. Pemerintah seharusnya tak mengandalkan self-reporting.

Kita tak mau berburuk sangka. Namun, di negeri yang sistem politik dan hukumnya sangat korup, apa yang tak mungkin untuk dimanipulasi. Demi mengantisipasi itu, seharusnya kendali pasokan dan distribusi DMO diambil alih oleh pemerintah dengan menugaskan BULOG.

Konsentrasi Kepemilikan

Ketika menyerahkan harga minyak goreng ke mekanisme pasar, juga ketika Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi koar-koar tentang mafia minyak goreng, ada hal mendasar yang justru tidak diusik: struktur pasar yang dikuasai segelintir pelaku usaha.

Berdasarkan catatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), ada empat grup bisnis raksasa yang menguasai 46,5 persen minyak goreng. Mereka menguasai dari hulu ke hilir (terintegrasi), dari perkebunan, pengolahan CPO, hingga pabrik minyak goreng.

Keempat grup bisnis itu adalah Sinar Mas Group (keluarga Widjaya), Wilmar Group (Martua Sitorus), Indofood (Anthony Salim), dan Musim Mas (Bachtiar Karim). Para pemiliknya masuk dalam daftar orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes.

Masalahnya lagi, konsentrasi kepemilikan itu tidak hanya terjadi di hilir, tetapi juga di hulu.

Di Indonesia, lebih dari 56 persen lahan sawit dikuasai oleh pemain swasta, sedangkan BUMN hanya 4 persen. Dari jumlah itu, ada 25 grup usaha besar menguasai 51 persen atau 5,1 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia (TUK, 2015).

Empat grup bisnis menguasai industri minyak goreng merupakan grup yang sama yang menguasai lahan sawit di hulu. Jadi, mereka menguasai hulu hingga ke hilir, dari pasokan CPO, pengolahan, hingga distribusi.

Situasi ini yang membuat minyak goreng bisa tiba-tiba hilang atau tiba-tiba melimpah di pasar. Kendali segelintir tangan dari hulu hingga ke hilir yang menciptakan kelangkaan yang disengaja atau kelangkaan semu.

Tidak mengherankan kalau dugaan kartel itu sangat kuat. Seharusnya, kalau KPPU bekerja dengan efektif dan tanpa pandang bulu, praktek kartel itu bisa dibongkar.

Permainan Oligarki

Namun, lebih besar dari isu kartel dan konsentrasi kepemilikan ini, ada isu oligarki. Bisnis sawit dan sektor ekstraktif lainnya telah menjadi basis ekonomi-politik bagi kekuasaan oligarki di Indonesia.

Dari 40 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes, ada 15 diantaranya yang menumpuk kekayaannya dari bisnis sawit. Kalau diperkecil potretnya, 6 dari 10 orang terkaya adalah konglomerat sawit. Temuan dari TuK Indonesia, kekayaan dari 29 konglomerat sawit Indonesia setara dengan 67 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017.

Dilihat dari sejarah dan basis ekonomi-politiknya, oligarki Indonesia bercorak ekstraktif. Dari zaman Hindia-Belanda hingga 76 tahun merdeka, ekonomi Indonesia berkubang pada ekstraktivisme, yaitu kegiatan ekonomi yang bertumpu pada SDA dan dijual dalam bentuk mentah ke pasar dunia. Faisal Basri menyebutnya: keruk, jual. tebang, jual. petik, jual.

Karena hanya jualan bahan mentah, tak melalui proses pengolahan, maka tak menghasilkan nilai-tambah. Demi memaksimalkan keuntungan, ekstraktivisme membutuhkan intervensi politik untuk meminimalkan biaya operasional dan memaksimalkan keuntungan.

Sektor ekstraktif selalu membutuhkan mekanisme politik, mulai dari soal perizinan, pembebasan lahan, pengamanan saat beroperasi, insentif, keringanan pajak, kemudahan ekspor, dan lain-lain. Itu yang menyebabkan sektor ini sangat berkelindan dengan ekonomi rente dan kapitalisme kroni.

Sering terjadi, pada lapangan praktek, demi memuluskan mekanisme-mekanisme politik itu, terjadi apa yang disebut “politik ijon”, sebuah kesepakatan tertutup antara pengusaha dan politisi (parpol/kandidat) terkait pembiayaan politik yang nantinya berbalas jaminan keberlangsungan investasi.

Jadi, si pengusaha bersedia membiayai parpol/kandidat. Setelah parpol/kandidat itu berkuasa, mereka akan membalas dukungan pengusaha itu dengan kemudahan dan jaminan berinvestasi, dari soal perizinan, pembebasan lahan, keamanan, dan lain-lain.

Tidak mengherankan, ada banyak perizinan investasi di Indonesia ini, terutama pertambangan dan kehutanan, yang tidak clean and clear. Ada banyak kepala daerah (gubernur/bupati) yang tersangkut korupsi di sektor ekstraktif.

Pada level lebih tinggi, oligarki bisa mengendalikan sebuah negara dalam perangkap “state capture corruption”, yakni bentuk korupsi sistemis di mana kebijakan publik cenderung diarahkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dari sebagian kecil anggota masyarakat (oligark). Indikasi ini sangat kuat terbaca dalam kasus revisi UU KPK, revisi UU Minerba, dan pengesahan UU Cipta Kerja.

Singkat cerita, kegagalan pemerintah mengendalikan pasokan dan harga minyak goreng hanyalah potret kecil dari kendali oligarki atas negara ini. Persoalan kartel dan pasar yang oligopoli hanyalah tampilan permukaan dari dominasi oligarki.[***]


Halaman Masyarakat Adat, Radar Sampit, Minggu, 22 Mei 2022.

Awas, Kolonialisme Ekologi Pada Skema 30×30! Ilusi Konservasi dan Ancaman Perampasan Wilayah Adat

Radar Sampit, Minggu, 8 Mei 2022

Oleh: Andre Barahamin* | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Sangihe, pulau cantik di Sulawesi Utara yang memiliki keindahan alam. Potensi keragaman hayatinya terancam rusak akibat hadirnya perusahaan tambang emas. Foto: Goverment of Sangihe Islands Regency/Public Domain

Sudah secara luas diketahui umum bahwa masyarakat adat adalah kelompok yang memiliki hubungan paling erat dengan alam dan memiliki kontribusi signifikan mempertahankan hutan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Faktanya, wilayah adat adalah kawasan paling rentan. Menurut laporan RRI, hingga kini hanya 8,7% wilayah dikuasai masyarakat adat yang diakui secara hukum.

Ketika masyarakat adat di Indonesia dan dan di belahan dunia lain masih berjuang mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak sembari aktif beraksi mencegah memburuknya krisis iklim, ada bencana lain justru sedang mengintai.

Katastrofi ini berakar dari ide usulan organisasi non pemerintah raksasa sektor konservasi seperti World Wildlife Fund (WWF) dan Conservation International (CI). Mereka mendorong para pemimpin negara-negara mengambil kebijakan menyeluruh terkait krisis iklim dan ancaman kepunahan keanekaragaman hayati yang dikenal luas sebagai Skema 30×30. Nama ini untuk menyebut mengenai usulan rencana aksi yang menargetkan perluasan kawasan lindung di seluruh dunia sampai 30% dari luas daratan dan lautan secara bertahap hingga 2030.

Rancangan ini sudah mulai dinegosiasikan di Jenewa, 14 Maret lalu, dan dikenal sebagai Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global pasca 2020. Rencana ini menetapkan beberapa tujuan utama yang bersifat umum dan sekitar dua puluh target spesifik.

Dalam mempromosikan Skema 30×30, para pendukungnya menyebarkan ilusi bahwa dengan mentransformasikan 30% luas bumi menjadi kawasan lindung merupakan langkah efektif mengimplementasikan Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD) dan secara signifikan dapat membalikkan hilangnya keanekaragaman hayati di seluruh dunia.

Salah satu kawasan yang menjadi sorotan proposal ini adalah Asia Tenggara. Meski hanya mencakup 3% dari total luas permukaan bumi, namun kawasan ini merupakan rumah bagi tiga–Indonesia, Malaysia dan Filipina–dari 17 negara yang memiliki tingkat keberagaman hayati tinggi di dunia.

Pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) tentang Keanekaragaman Hayati PBB berikutnya yang akan diadakan di Kunming, Tiongkok, bagian selatan dari 25 April-8 Mei tahun ini, Skema 30×30 ini berpeluang ditetapkan secara resmi.

Ide ini disambut riang gembira oleh para perusahaan perusak lingkungan dengan mengajukan komitmen pendanaan. Banyak media arus utama merespon secara membabi buta karena menilai bahwa ide ini merupakan langkah strategis dan komprehensif yang dibutuhkan dunia saat ini.

Pertanyaannya, apakah ini benar-benar solusi radikal yang dibutuhkan manusia untuk mencegah kepunahan keragaman hayati ataukah gerbang bencana baru yang menambah daftar ancaman bagi masyarakat adat?

Ilusi Puritan Konservasi dan Kolonialisme Ekologis

Pondasi utama dari Skema 30×30 adalah keyakinan salah bahwa rencana aksi ini akan membantu mencegah kehilangan keanekaragaman hayati dan memburuknya krisis iklim.

Dalam berbagai kesempatan, para pengusul dan pendukung Skema 30×30 berargumentasi, melakukan tindakan drastis seperti itu dibenarkan secara ilmiah. Dalam dokumen berjudul Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Pasca-2020, mereka mengklaim bahwa target ini sangat mungkin dan mendesak dilaksanakan. Dokumen ini mencantumkan delapan referensi untuk mendukung pernyataan itu.

Kalau memeriksa dengan teliti delapan referensi yang jadi basis argumentasi dan diklaim menyodorkan bukti-bukti ilmiah dari Skema 30×30, akan ditemukan sebaliknya: rencana aksi justru sama sekali tak ilmiah.

Dua dari delapan makalah yang diajukan membahas tentang keanekaragaman biota laut dan tentu saja merasionalisasi Skema 30×30. Lima paper lain membicarakan mengenai bagaimana model dan praktik pengelolaan konservasi daratan, yang ditulis dengan mengacuhkan data pembanding dari kelompok masyarakat adat terdampak. Satu dokumen lagi hanyalah resolusi kongres badan konservasi internasional bernama International Union for Conservation of Nature (IUCN).

Eric Dinerstein adalah penulis utama dari dua makalah yang paling jadi referensi rencana aksi ini. Ia adalah ilmuwan utama WWF dan merupakan figur penting penyokong ideologi half earth. Ini adalah keyakinan irasional yang memandang bahwa untuk mencegah kepunahan biodiversitas dan memburuknya krisis iklim, separuh bumi harus jadi kawasan lindung.

Sikap Dinerstein ini makin mengeras saat mempublikasikan analisisnya yang berjudul A Global Deal for Nature pada 2019.

Makalah Dinerstein ini melanjutkan glorifikasi yang pondasinya mulai saat Half-Earth: Our Planet’s Fight for Life, pertama kali terbit tahun 2016. Buku ini ditulis oleh E.O. Wilson, ahli biologi asal Amerika Serikat, yang sebelumnya populer melalui On Human Nature dan memenangkan Pulitzer Prize pada 1979.

Kalau membaca dengan teliti Half-Earth, akan ditemukan adalah salah kaprah pandangan umum mengenai konservasi yang tulang punggungnya asumsi tidak ilmiah. Misal, dengan meyakini alam bersifat ramah dan memiliki dinamika terpisah dari relasinya dengan manusia. Bahwa kemurnian bentuk dapat ditemukan di hutan belantara yang dianggap bebas dari campur tangan manusia.

Pandangan ini menafikan fakta antropologis bahwa alam, baik itu hutan belantara maupun samudera lepas, tak pernah lepas dari interaksi dengan manusia.

Menyangkal fakta bahwa hutan belantara dianggap murni, justru berasal dari pilihan-pilihan sadar komunitas-komunitas manusia–dalam hal ini adalah masyarakat adat yang tinggal di sekitar hutan. Kelompok-kelompok manusia yang memutuskan untuk membatasi interaksi mereka dengan wilayah tertentu dengan berbagai alasan: spiritual, ekologis, kultural, sosial dan ekonomi.

Semisal konsep hutan larangan di daratan dan sasi (eha) di laut yang mereka praktikkan jauh sebelum ide mengenai pentingnya kawasan lindung “ditemukan” oleh para konservasionis.

Keyakinan Dinerstein dan Wilson tak lain merupakan refleksi dari mental kolonialistik yang bersemayam di alam berpikir para pemuja konservasi. Mental kolonialistik yang tak bisa lepas dari hak istimewa (privilege) warisan langsung dari periode gelap merkantilisme yang menjadi asal muasal kolonialisme dan imperialisme global.

Dinerstein dan Wilson serta keyakinan half-earth membicarakan pembatasan interaksi manusia dengan alam dengan landasan historis model konservasi yang diperkenalkan para imigran kulit putih di Amerika Utara, yang mengusir penduduk asli keluar dari wilayah adat mereka.

Melalui Conservation Refugees: The Hundred-Year Confict between Global Conservation and Native Peoples, M. Dowie menjelaskan bahwa hal itu melahirkan para puritan yang terobsesi dengan melakukan imitasi bentuk. Replikasi yang menafikan asal muasal penghancuran zona-zona konservasi yang terbentuk secara alami di wilayah-wilayah adat oleh ekspansi perdagangan yang ikut mengusung rasialisme dan diskriminasi.

Bagaimana “penemuan dunia baru” adalah awal malapetaka kolonialisme dan perbudakan. Seturut penegasan R.H. Grove, dalam Green Imperialism: Colonial Expansion, Tropical Island Edens and the Origins of Environmentalism yang menyimpulkan, kolonialisme adalah hambatan utama dari upaya-upaya penelitian dan praktik ekologi dalam memahami dan merumuskan hubungan lebih positif antara manusia dan ekosistem.

Grove mengatakan, selain kolonialisme, ekologi sebagai disiplin ilmu–dan mereka yang menyebut diri mereka sebagai ahli ekologi–juga dibentuk dan terpenjara oleh pendekatan Barat yang eksklusif dan anti-sejarah. Kendala historis ini membuat pendekatan konservasi jauh dari iklim inklusif dan menafikan keberagaman nilai spiritual, kultural, dan sosial yang dimiliki umat manusia. 

Ancaman Perampasan Wilayah Adat

Bahaya serius dari irasionalitas Skema 30×30 adalah bagaimana skema ini secara implisit memiliki potensi konflik karena akan mendorong perampasan wilayah-wilayah adat dalam skala luas di masa depan.

Dalam salah satu makalah yang ditulis oleh Dinerstein dan delapan penulis lain, yang terbit di jurnal Science Advances berjudul “A ‘Global Safety Net’ to reverse biodiversity loss and stabilize Earth’s climate”, mereka mengusulkan gagasan mengenai “jaring pengaman global”. Jaring ini diyakini adalah solusi menyelamatkan keanekaragaman hayati tersisa.

Tidak jauh dengan makalah Dinerstein yang lain, ide besarnya menggabungkan kebutuhan mengenai konservasi keanekaragaman hayati dengan langkah-langkah untuk mencegah emisi gas rumah kaca.

Makalah ini mengidentifikasi “50% dari wilayah terestrial jika dilestarikan akan membalikkan hilangnya keanekaragaman hayati lebih lanjut, mencegah emisi CO2 dari konversi lahan, dan meningkatkan penghilangan karbon alami”.

Yang jarang dibahas adalah bagaimana makalah ini juga mengakui implisit bahwa ada tumpang-tindih signifikan antara wilayah-wilayah adat dengan area yang dianggap perlu untuk membentuk “jaring pengaman global” ini.

Dinerstein dan para koleganya mengakui bahwa “tumpang-tindihnya begitu besar”. Untuk mencapai target 30% kawasan konservasi pada 2030 hanya akan efektif dengan “mengintegrasikan” wilayah-wilayah adat.

Problemnya kemudian adalah sikap CBD dan sebagian besar pemerintah anggotanya yang tak resmi memasukkan kontribusi wilayah-wilayah adat terhadap konservasi keanekaragaman hayati. Sikap ini tidak lepas dari basis pemikiran yang dominan di dalam tubuh CBD yang mengartikan “konservasi” dan “kawasan lindung” sebagai sesuatu yang meski disahkan oleh pemerintah dan mesti secara spesifik dikelola oleh sebuah otorita khusus untuk mencapai target konservasi jangka panjang.

Keengganan CBD dan negara-negara anggotanya mengakui kontribusi masyarakat adat sangat jelas tak lepas dari kenyataan bahwa wilayah-wilayah adat merupakan incaran serius dari ekspansi perusahaan-perusahaan global yang bertanggungjawab atas krisis iklim serta meningkatnya kekerasan terhadap masyarakat adat karena konflik tenurial.

Perusahaan-perusahaan pencemar lingkungan seperti Unilever, Danone dan Amazon, misal, merepresentasikan kubu yang begitu bersemangat dengan Skema 30×30 karena rencana aksi ini membuka peluang untuk melakukan subtitusi melalui model perdagangan karbon sebagai kompensasi langsung atas kontribusi mereka dalam emisi gas rumah kaca.

Rencana ini membuka peluang bagi perusahaan-perusahaan raksasa ini untuk melakukan green washing, mencuci kejahatan lingkungan mereka melalui kompensasi pendanaan yang akan dialamatkan ke wilayah-wilayah konservasi dengan pengelolaan dikendalikan organisasi-organisasi konservasi pendukung utama Skema 30×30.

Pendekatan Hak Masyarakat Adat sebagai Solusi

Laporan terbaru dari Rights and Resources Initiative (RRI) menunjukkan bahwa proposal untuk mengubah 30% bumi menjadi kawasan lindung dengan pendekatan konservasi dapat menjadi ancaman serius terkait potensi pelanggaran hak asasi manusia.

Kecenderungan mendukung bentuk-bentuk konservasi fasistik yang mengeksklusi masyarakat adat seperti yang dipromosikan Skema 30×30 tidak lain merupakan kolonialisme ekologi.

Keengganan memahami nilai dari praktik-praktik tradisional masyarakat adat adalah salah satu hambatan serius yang menghalangi berkembangnya praktik konservasi berlandaskan kearifan lokal. Belum lagi menyoal bagaimana ketimpangan kekuasaan yang bersumber dari situasi di mana pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat masih lemah bahkan terabaikan. Mengusulkan perluasan kawasan lindung hanya akan melahirkan lebih banyak konflik.

Sebuah studi memperkirakan bahwa lebih dari 300 juta orang akan menjadi korban dari irasionalitas Skema 30×30.

Sudah secara luas diketahui umum bahwa masyarakat adat adalah kelompok yang memiliki hubungan paling erat dengan alam dan memiliki kontribusi signifikan mempertahankan hutan, pesisir dan pulau-pulau kecil. Faktanya, wilayah adat adalah kawasan paling rentan. Menurut laporan RRI, hingga kini hanya 8,7% wilayah dikuasai masyarakat adat yang diakui secara hukum.

Walau berbagai laporan menunjukkan bahwa deforestasi jauh lebih rendah di wilayah adat, ternyata belum cukup mendorong pengakuan hak masyarakat adat secara legal. Meski jadi garda terdepan yang menjaga 80% keanekaragaman hayati dunia dan selama bergenerasi melindungi daerah-daerah ini, masyarakat adat adalah kelompok rentan. Mereka setiap saat terancam oleh pengusiran paksa dan pencaplokan wilayah ulayat.

Beragam kisah sukses dari komunitas-komunitas adat yang secara tradisional berhasil jadikan wilayah-wilayah adat atau ulayat sebagai lokasi-lokasi strategis cadangan karbon yang sangat besar, ternyata tak membuat mereka lepas dari ancaman kekerasan atas nama pembangunan.

Kondisi seperti inilah mengapa seluruh gagasan Skema 30×30 tentang kawasan lindung adalah salah karena seringkali memandang tanah hanya sebagai “alam”, daripada lanskap yang hidup dan dikelola di mana manusia adalah bagian integral tak terpisahkan.

Belum lagi menyoal bagaimana proses penentuan lokasi kawasan lindung lebih sering dilakukan tanpa kesepakatan yang adil dengan komunitas masyarakat adat.

Model pengelolaan eksklusif oleh organisasi konservasi terbukti lebih sering mengecualikan atau membatasi aktivitas manusia. Termasuk segala sesuatu yang dilakukan masyarakat adat seperti berburu, bercocok tanam, meramu dan memancing.

Kegiatan ritual yang penting seperti penguburan dan ibadah keagamaan di dalam kawasan lindung juga dilarang atau dibatasi atas nama purifikasi.

Para penjaga hutan yang didanai oleh NGO konservasi seperti WWF, misal, secara sepihak melucuti akses masyarakat adat terhadap wilayah adat mereka. Tidak berhenti di situ, dalam banyak kasus, konservasi menjadi alasan praktik kejam terhadap mereka yang menolak pembatasan itu. Alhasil, konservasi justru tak jadi solusi namun problem tambahan bagi masyarakat adat yang masih berjuang mendapatkan pengakuan dan perlindungan hak termasuk wilayah adat mereka.

Membangun lebih banyak kawasan lindung demi konservasi sejatinya juga merupakan ilusi bahwa kita sedang melakukan sesuatu untuk melindungi bumi. Sebuah studi terhadap 12.000 kawasan konservasi di 152 negara menunjukkan, inisiatif yang dipimpin masyarakat adat jauh lebih efektif daripada program yang dijalankan oleh pemain eksternal, termasuk pemerintah daerah, LSM, dan atau perusahaan.

Ide tak masuk akal seperti Skema 30×30 juga mengaburkan pandangan kita dari akar penyebab krisis iklim: konsumsi berlebihan. Dalam dua dekade terakhir, 100 perusahaan pencemar lingkungan merupakan pihak yang paling bertanggungjawab dan penyebab 71% emisi iklim secara global.

Datanya jelas: mengakui wilayah adat dan keberadaan komunitas adat/masyarakat adat justru jauh lebih murah dan mudah. Selain itu, mengakui hak masyarakat adat termasuk wilayahnya justru lebih efektif dan efisien dibandingkan biaya yang harus dikeluarkan untuk membangun lebih banyak kawasan konservasi dengan pengelolaan hampir selalu diserahkan kepada lembaga pemerintah atau organisasi konservasi seperti WWF.

Pendekatan konservasi berbasis hak masyarakat adat seperti yang diusulkan dalam laporan RRI, akan mengakui model pengelolaan yang berkelanjutan yang lebih dulu eksis di komunitas-komunitas adat. Pendekatan ini juga memberi ruang bagi masyarakat adat untuk memimpin upaya konservasi dan memprioritaskan hak tenurial dalam mengukur sukses tidaknya konservasi. Model seperti ini justru memberikan masyarakat adat kekuatan lebih dalam mengatur wilayah adat, dan tak sekadar hak pengelolaan terbatas.

Di Indonesia, hal ini hanya dapat dimulai dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang hingga kini masih terkatung-katung di parlemen.  

19 April 2022

*   Andre Barahamin adalah antropolog, anggota Komunitas Adat Ginimbale – Watunapatto, Senior Forest Campaigner di Kaoem Telapak. Judul asli “Ilusi Konservasi dan Ancaman Perampasan Wilayah Adat”,  tambahan dari Redaksi.


Ilustrasi petai

Catatan Kusni Sulang

Petai Hampa

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Andre Barahamin adalah antropolog, anggota Komunitas Adat Ginimbale–Watunapatto, Senior Forest Campaigner di Kaoem Telapak, dalam artikelnya bertajuk judul asli “Ilusi Konservasi dan Ancaman Perampasan Wilayah Adat” menyimpulkan bahwa:

“Pendekatan ini (pendekatan konservasi berbasis hak masyarakat adat –KS) juga memberi ruang bagi masyarakat adat untuk memimpin upaya konservasi dan memprioritaskan hak tenurial dalam mengukur sukses tidaknya konservasi. Model seperti ini justru memberikan masyarakat adat kekuatan lebih dalam mengatur wilayah adat, dan tak sekadar hak pengelolaan terbatas. Di Indonesia, hal ini hanya dapat dimulai dengan mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang hingga kini masih terkatung-katung di parlemen.

Tentu saja RUU Masyarakat Adat yang dimaksud adalah RUU yang “memberikan masyarakat adat kekuatan lebih dalam mengatur wilayah adat”, bukan hanya “hak pengelolaan terbatas”, lebih-lebih bukan RUU yang membelenggu atau mengurangi, kalau bukan merampas hak-hak masyarakat adat RUU itu niscayanya “memberikan masyarakat adat kekuatan lebih”.

Pada apakah “kekuatan lebih” itu terdapat? “Kekuatan lebih” itu terdapat apabila kepada desa-desa diberikan status desa adat sebagaimana telah ditetapkan dalam UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.

Penetapan desa adat bukanlah tujuan tetapi merupakan cara untuk mencapai tujuan yaitu pemberdayaan diri secara menyeluruh atau desa berdaya. Desa Membangun (bukan “membangun desa”), desa mandiri dan berkembang maju di semua sektor, desa sebagai subyek  hanya mungkin berkelanjutan apabila desa berdaya. Desa yang zamani.

Saya kira sangat keliru jika menganggap pembentukan desa adat sama dengan kembali ke masa silam. Desa adat berdaya yang mau dibangun adalah desa yang memadukan kearifan lokalnya yang positif dengan segala baik dari manapun asalnya. Dalam sejarah perkembangan masyarakat,dua pemaduan begini bukanlah hal baru sebab jika mau jujur, kebudayaan etnik atau bangsa manapun pada galibnya adalah budaya serapan. Karena itu, keragaman merupakan suatu rahmat dan modal untuk berkembang maju dan melahirkan suatu budaya kekinian yang zamani.

Terbentuk dan berkembang majunya desa adat sekaligus akan selain membantu pemerintah daerah dalam membangun daerah, juga akan memperkuat daerah tersebut dalam berbagai sektor. Daerah kuat, Republik ini pun akan tangguh. Boleh jadi kuat dan berkembangnya desa adat tidak disukai oleh oligarki, terutama yang pada zaman Bung Karno disebut sebagai “dinasti ekonomi”. Hanya saja jika kemiskinan, kesenjangan dan ketidakadilan terus diternak, jika tanah warga terus-menerus dijarah, keresahan sosial hingga ke kekeraan anarkis akan selalu mengusik kehidupan di daerah.

Khususnya bagi Kalimantan Tengah (Kalteng), sejak berdirinya Kalteng sebagai provinsi otonom pada tahun 1957, yang didapat melalui antara lain pemberontakan bersenjata, jika menelaah documen-dokumen yang ada maka nampak bahwa hakikat keinginan masyarakat Dayak (terutama di daerah Dayak Besar) waktu itu adalah membentuk Kalteng sebagai provinsi adat. Tidakkah sebaiknya hakikat keinginan ini oleh penyelenggara Negara di daerah dipertimbangkan sungguh-sungguh?

Pemangkrakan sampai tujuh tahun Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat Provinsi hingga sekarang, bukanlah pertanda sejarah dan kepentingan masyarakat adat Dayak Kalteng dipertimbangkan. Mau dibawa ke mana Kalteng dan  masyarakat (hukum) adat Kalteng oleh para penyelenggara Negara daerah? Saya khawatir ucapan “Manggatang Utus” yang sering digaungkan, tidak lebih dari petai hampa apalagi ketika menyaksikan seringnya warga adat dikriminalisasikan. Kesulitan menjadi bertambah oleh maraknya pengaruh hedonisme, Dayak menjadi barang dagangan dan sulitnya Dayak bersatu sehingga tidak ada organisasi Dayak yang kuat.

Perbaikan kehidupan ekonomi dan pendidikan penyadaran untuk menjadikan orang sadar, termasuk sadar politik (walaupun tanpa menjadi partisan partai politik) merupakan pekerjaan kunci yang tidak gampang, apalagi jika para pendamping juga terkontaminasi oleh penyakit-penyakit akut tersebut.

Tidak salah pertanyaan penyair Dayak Korrie Layun Rampan alm.: “Dayak, Dayak, Kau Di mana?” Petai hampa, ada di mana-mana, Korrie! Mudah-mudahan Dayak tidak identik dengan petai hampa itu.[]


Halaman Masyarakat Adat, Radar Sampit, Minggu 8/5/2022
Halaman Masyarakat Adat, Radar Sampit, Minggu 8/5/2022

Catatan Kusni Sulang: Daerah Penyangga IKN

Radar Sampit, Minggu, 13 Maret 2022 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Universitas Palangka Raya
Membangun barisan sumber daya manusia  handal yang diperlukan oleh Kalteng untuk maju melesat bukanlah jalan lurus dan mulus seperti sebuah jalan di lingkup kampus Universitas Palangka Raya ini.

Barangkali bisa bermanfaat untuk Tim Dr. Lidya Suryani Widayati, S.H., M.H., Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR-RI yang sedang mengumpulkan data dalam rangka Penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Tentang Provinsi Kalimantan Tengah.

Dr. Lidya Suryani Widayati, S.H., M.H., Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR-RI, dalam Term of Reference (TOR) Pengumpulan Data dalam Rangka Penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan Undang-Undang Tentang Provinsi Kalimantan Tengah (24 Februari 2022) antara lain menulis tentang “… persiapan Provinsi Kalimantan Tengah sebagai calon daerah penyangga ibu kota negara” (hlm. 4).

Kalimat ini paling tidak menunjukkan dua hal yaitu: (1) Kalimantan Tengah (Kalteng) mempunyai posisi sebagai calon daerah penyangga Ibu Kota Negara (IKN); (2) Persiapan apa saja yang dilakukan sebagai daerah atau calon daerah penyangga IKN.

Selanjutnya Dr. Lidya dalam TOR tersebut  juga menulis: “Dari pokok permasalahan tersebut difokuskan pada pertanyaan berikut (seluruhnya ada tujuh pertanyaan–KS), antara lain “4. Apakah landasan filosofis, sosiologis, dan yuridis penyusunan RUU tentang Provinsi Kalimantan Tengah?”

Pertanyaan keempat ini, saya kira melupakan satu unsur penting yaitu landasan sejarah. Mengabaikan faktor sejarah, seseorang tidak akan bisa memahami suatu hal dengan baik; mengabaikan unsur sejarah bukan tidak mungkin orang tersebut sedang memasang bom waktu. Data yang ingin dikumpulkan tapi tidak memasukkan sejarah hal-ihwal  bisa dipastikan data tersebut akan kurang sesuatu yang sangat penting, sehingga inti masalah pun tidak akan dimengerti atau tidak tepat dipahami.

Sejarah memang merupakan salah satu ruang di mana pergulatan sengit berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik dan ekonomi, berlangsung. Karena itu sering dikatakan bahwa sejarah adalah sejarah pemenang pergulatan itu, walaupun apabila kita berbicara tentang sejarah sebagai sebuah ilmu, pandangan sejarah demikian, bukanlah sejarah ilmiah. Tapi sejarah politis (bukan pula sejarah politik!). Mudah-mudahan saja Tim Pengumpulan Data yang dipimpin oleh Dr. Lidya tidak abai terhadap masalah sejarah ini sehingga naskah akademik yang mau disusun menjadi kontekstual, dalam arti sesuai kenyataan dan menjawab keadaan.

Undang-Undang tentang IKN sudah diterbitkan. Kepala Otorita dan Wakil Otorita sudah dilantik sehingga kalaupun tidak ada alasan pemindahan IKN ke Kalimantan yang masuk ke nalar saya, tapi keputusan-keputusan tersebut nampaknya akan terus dilaksanakan.

Masalah mendesak sekarang bagi Orang Kalimantan terutama Orang Dayak, adalah bagaimana menghadapi akibat-akibat terutama akibat negatif dari pemindahan IKN ke Kalimantan agar terutama Orang Dayak tidak menjadi orang terbuang dari kampung kelahiran mereka sendiri sebagaimana telah diramalkan oleh James Brooke, Raja Putih dari Sarawak hampir 200 tahun silam dan diulang  kembali oleh para pendiri Kalteng.

Bahwa Kalteng menjadi salah sebuah provinsi penyangga IKN, bukanlah hal aneh. Gampang dipahami.

Kaltim dan Kalteng adalah dua provinsi yang berbatasan langsung. Untuk pergi ke Samarinda dan Balikpapan misalnya, orang-orang Palangka Raya bisa ke kedua kota tersebut menggunakan jalan darat. Apalagi hingga hari ini, tidak ada penerbangan langsung Palangka Raya-Balikpapan-Samarinda-Tarakan.

Tentang persiapan-persiapan yang telah dan sedang dilakukan oleh pemerintah daerah, yang didukung kuat oleh pemerintah pusat di Kalteng sebagai daerah penyangga IKN, saya mendapatkan hal tersebut pada program food estate.

Saya membaca program food estate ini merupakan persiapan Kalteng sebagai calon daerah penyangga IKN–penyangga dari segi pangan. Karena itu, sekalipun dalam pelaksanaannya program nasional ini telah menimbulkan bermacam-macam persoalan dan dampak yang merugikan warga desa di daerah serta sekitar area proyek, suara dan aspirasi mereka tidak diindahkan, apalagi yang disebut penyertaan, program food estate tetap dijalankan.

Dalam perkembangannya ke depan, program food estate ini akan mengubah kian drastis komposisi demografis yang kemudian dampaknya akan menjalar ke bidang politik, ekonomi dan kebudayaan. Di bidang pertanian, program ini akan mengubah sistem pertanian negeri ini, terutama di Kalimantan. Sistem pertanian keluarga akan digantikan oleh sistem pertanian korporasi. Buruh tani akan berkembang. Pemilikan lahan akan kian terpusat. Perlu dicatat bahwa pada tahun 2009, luas tanah garapan tersisa cuma 20 persen (angka penelitian Tim Peneliti Universitas Gadjah Mada pimpinan Dr. Poerwanto dan alm. Cornelis Ley). Dengan berlanjutnya penjarahan lahan dengan berbagai modus, termasuk modus ala food estate, jumlah lahan garapan tersisa tentu makin kecil. Kalteng pada kenyataannya adalah sebuah daerah yang sudah habis terbagi antar perusahaan-perusahaan besar swasta yang sekaligus politisi (atau politisi-pengusaha), dan taman-taman nasional atas nama konservasi.

Untuk hidup, akhirnya penduduk melakukan penambangan yang disebut liar dan pembalakan hutan sekalipun beresiko hukum. Sementara itu, membuka ladang dengan cara “manyéha” dilarang oleh pemerintah tanpa memberikan jalan alternatif. Warga desa Kalteng akhirnya berada dalam kebuntuan. Keadaan ini bisa dipahami akan menjadi sumber kekerasan anarkis sedangkan program food estate akan mempercepat laju perkembangan kebuntuan dan kekerasan anarkis tersebut. Padahal daerah penyangga seniscayanya merupakan daerah aman, makmur, tertib dan rukun. Bukan menjadi daerah di mana bersarang kekerasaan anarkis.

Apakah ada jalan alternatif untuk keluar dari kebuntuan tersebut di atas?

Saya pasti, ada. Jalan itu saya lihat terdapat pada konsep minoritas kreatif, terutama di kalangan masyarakat Dayak. Konsep ini mengutamakan pendidikan guna menciptakan barisan sumber daya manusia handal di kalangan masyarakat Dayak. Hal ini dilakukan secara terencana, bukan hanya dilakukan dengan pemberian bantuan sesaat atau insidental. Pemerintah provinsi, kabupaten dan kecamatan  niscayanya turun tangan langsung dengan menyediakan beasiswa terutama untuk anak-anak Dayak. Ini adalah investasi jangka panjang untuk Kalteng. Kebijakan begini pernah dilakukan oleh Gubernur Tjilik Riwut ketika almarhum menjadi Gubernur Kalteng.

Bersamaan dengan itu, masyarakat (hukum) adat Dayak Kalteng niscaya segera diakui dan dilindungi dengan terbitnya sebuah Peraturan Daerah (Perda). Berdasarkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat ini kemudian dilakukan penetapan desa-desa adat Dayak.

Apabila kita membaca cermat sejarah berdirinya Kalteng sebagai sebuah provinsi otonom pada tahun 1957, kita akan mendapatkan dokumen-dokumen tertulis yang menunjukkan bahwa Provinsi Kalteng yang diakui oleh Jakarta (saya katakan diakui, karena Jakarta menolak dua kali permintaan rakyat Kalteng untuk menjadi provinsi otonom. Jakarta kemudian baru setuju setelah rakyat Dayak melakukan pemberotakan bersenjata) pada tahun 1957, adalah Provinsi Dayak, Provinsi Adat. Perubahan maju melompat pun terjadi ketika Kalteng menjadi provinsi otonom. Masyarakat Adat di daerah pedesaan luas Kalteng mempunyai struktur pemerintahan sendiri. Desa dengan struktur pengelolaan khas ini tidak lain, yang oleh UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, adalah desa adat atau léwu.

Ditetapkannya léwu, nama dari desa adat di Kalteng, merupakan cara lain untuk pemberdayaan menyeluruh masyarakat Dayak sesuai budaya dan tradisi Dayak dengan mengindahkan hal-hal baik dari manapun asalnya. Kalau berbicara tentang kedaulatan rakyat, partisipasi warganegara, kemandirian manusia berdaya, desa adat adalah sarana untuk mewujudkannya. Hal ini ada dalam filosofi Dayak “réngan tingang nyanak jata” (anak enggang putera-puteri naga).

Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat selanjutnya penetapan léwu sebagai desa adat sesuai UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, akan membuat Kalteng sebagai provinsi penyangga yang kuat, aman, rukun dan sejahtera bagi IKN.

DPRD Prvovinsi Kalteng sesungguhnya sudah mempunyai draf Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat. Hanya saja, sampai hari ini belum dibahas dalam sidang paripurna sehingga mangkrak selama tujuh tahun. Apakah pemangkrakan draf  Perda ini merupakan wujud dari ketakutan pada sejarah?

Ketakutan akan sejarah seperti halnya pengingkaran  pada sejarah akan memunculkan rupa-rupa persoalan yang sesungguhnya bisa dielakkan. Mudah-mudahan Tim Pengumpulan Data Dalam Penyusunan Naskah Akademik dan Rancangan  Undang-Undang Tentang Provinsi Kalimantan Tengah, bukan terdiri dari orang-orang yang takut sejarah atau menggunakan istilah penyair Paul Eluard, “anak-anak raja yang melihat dunia dari jendela istana”. [***]


Kalteng Adalah Bom Waktu dan Hanya Obyek

Palangka Raya, 09 Maret 2022. Menggunakan ruang pertemuan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Palangka Raya, Tim Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian Sekretaris Jenderal DPR-RI terdiri dari 10 orang ahli mengadakan pertemuan dengan wakil-wakil Fakultas Hukum dan FISIPOL Unpar serta Borneo Institute, Palangka Raya. Pertemuan tersebut bertujuan untuk menggali data-data untuk menyusun naskah akademik dan RUU tentang Provinsi Kalteng.

Setelah menguraikan keadaan Kalimantan Tengah secara rinci, dalam paparannya, Dr. Sidik Usop dari FISIPOL Unpar antara lain menilai bahwa selama ini Jakarta memerlakukan Kalteng hanya sebagai obyek, bukan subyek setara, sedangkan Sulaiman dari fakultas yang sama menyebut Kalteng sesungguhnya ibarat “bom waktu” yang bisa meledak sewaktu-waktu.

Kusni Sulang yang juga hadir dalam pertemuan tersebut mengingatkan bahwa dari sejarah dan dokumen-dokumen yang ada, Kalteng sesungguhnya adalah provinsi adat. Jika ingin Kalteng jadi daerah penyangga Ibu Kota Negara yang dipindahkan ke Kalimantan, seniscayanya pengakuan dan perlindungan masyarakat (hukum) adat diberi payung hukum. Kemudian  desa adat ditetapkan.

Jika sejarah diabaikan maka konflik berbagai bentuk akan terjadi. Kusni Sulang mengharap bahwa RUU yang akan disusun tidak hanya berupa teks tapi tidak kontekstual. Selain tekstual, UU itu niscayanya kontekstual.

Dari Universitas Palangka Raya, Tim Badan Keahlian DPR-RI melanjutkan pekerjaan dengan menemui pihak penyelenggara Negara. (ask-0322)


Halaman Masyarakat Adat, Radar Sampit, Minggu, 13 Maret 2022

Catatan Kusni Sulang | Mimpi Kemerdekaan: Apa yang Sekarang Tersisa?

Radar Sampit | Minggu, 10 Oktober 2021 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

“Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Demikian pula bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Mengingat Minyak dan Gas Bumi merupakan sumber daya alam strategis tak terbarukan yang dikuasai negara dan merupakan komoditas vital yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri, dan penghasil devisa negara yang penting, maka pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan bagi sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat” (https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2001/22TAHUN2001UU.htm).

Sudahkah amanat UUD 1945 ini terwujud dan dilaksanakan secara tegas?

Kenyataan di seluruh negeri ini menjawabnya dan bisa dikatakan semua warga negara mengetahui kenyataan tersebut karena mereka selain melihat dengan jelas, juga langsung merasakan pahitnya pengabaian itu.

Oleh karena itu, dengan rasa jengkel yang mencekik leher, pengacara dan pegiat HAM, Haris Azhar, dalam sebuah percakapan di kanal youtube pernah mengatakan bahwa “Rakyat tidak memerlukan Republik ini. Yang diperhatikan oleh Republik ini terutama para pengusaha dan investor”.

Selain itu, barangkali kepentingan diri sendiri para penyelenggara Negara sehingga oligarki berkembang. Hal-hal yang langsung menyangkut kepentingan rakyat tidak diutamakan. Satu misal saja, Undang-Undang (UU) dan Peraturan Daerah (Perda) Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat yang tidak kunjung terbit. Perda mengenai hal ini, di Kalimantan Tengah (Kalteng) masih mangkrak selama enam tahun.

Permintaan kepada Pemerintah Kabupaten Gunung Mas dari tiga desa Kecamatan Manuhing Raya untuk berubah status dari desa administratif menjadi desa adat, sudah dua tahun tak berjawab. Terlalu sulit agaknya bagi Pemerintah Kabupaten Gunung Mas untuk mengatakan “setuju” dan atau “tidak setuju” beserta alasan-alasannya atas permintaan warga adat tiga desa tersebut. Seperti sama sulitnya bagi Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Tengah serta DPRD Provinsi untuk segera menerbitkan Perda Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat Dayak sekalipun pelaksanaannya sudah diamanatkan oleh UU dan Instruksi-Instruksi dari Kementerian. Sementara di lain pihak, menjuluki Kalteng sebagai provinsi ini dan itu yang muluk-muluk.

Apakah UU diterbitkan dan Instruksi-Instruksi dikeluarkan memang tidak untuk dilaksanakan seperti yang sering secara sinis oleh banyak orang dikatakan karena sangat jengkel? Sinisme ini jika dihubungkan dengan kenyataan, saya kira merupakan suatu cerminan kenyataan.

Mengingkari kenyataan sama dengan memunggungi kebenaran, seperti yang dikatakan oleh Maria Ressa, wartawan pemenang Nobel Perdamaian 2021 bahwa “sebuah dunia tanpa fakta-fakta berarti sebuah dunia tanpa kebenaran dan kejujuran”. “Dunia tanpa fakta” itu bentuk-bentuknya boleh jadi antara lain berupa label-label muluk yang dilekatkan pada Kalimantan Tengah oleh para gubernurnya.

Desa adat, pada hemat saya, merupakan salah satu hak dasar Masyarakat (Hukum) Adat–termasuk masyarakat adat Dayak Kalimantan Tengah.

Masyarakat Adat itu ada jauh sebelum Republik Indonesia diproklamirkan. Artinya, hak dasar ini terus dan bisa berlangsung tanpa Negara. Yang sedang terjadi di negeri ini, Republik Indonesia mencaplok Masyarakat Adat, termasuk Masyarakat Adat Dayak, sehingga Masyarakat Adat itu kehilangan hak dasar mengatur diri sendiri sesuai sejarah dan budaya mereka, bentuk otonomi khusus terkecil. Cara warga adat menjadi tuan di wilayah adatnya sendiri. Pencaplokan ini kemudian dikoreksi melalui UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa (umum disebut UU Desa). Tuntutan legal untuk menjadi desa adat, boleh jadi bertentangan dengan kepentingan oligarki yang sedang berkembang.

Apabila kita melihat mundur ke belakang, akan nampak bahwa warga adat Dayak Kalimantan Tengah berjuang mandi darah dan air mata menghalau Belanda dahulu, dengan menating harapan bahwa kemerdekaan akan menjadi jembatan kencana bagi mereka untuk hidup manusiawi. Keluar dari kepapaan, sehingga ada periode sejarah yang disebut Periode Téték Tatum (Ratap Tangis). Bukan pertama-tama untuk Indonesia, tapi pertama-tama adalah untuk kehidupan Dayak itu sendiri. Indonesia  muncul sesudahnya.

Provinsi Kalimantan Tengah pun berdiri dengan tujuan serupa (lihat: Ludie Sahari Andung, “Damang Sahari Andung dan Pergerakan Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) dalam Memperjuangkan Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah”, Desember 2006. Lihat juga: Prof. Dr. H. Rizali, MM, “Tumbang Samba Kota Pahlawan di Tanah Dayak”, CV IRDH, Purwokerto, 2019).

Apa yang diberikan oleh Republik Indonesia kepada warga adat di wilayah Dayak Besar yang mempunyai wilayah, pemerintahan berupa pemerintahan adat dan bendera serta lagu kebangsaan sendiri, ketika bergabung dengan Republik Indonesia yang mereka dirikan dan ikut mereka pertahankan? Adakah kemerdekaan dalam arti hidup manusiawi yang terus berkembang maju?

Tidak cukup halaman ini untuk membeberkan kenyataan dari tahun ke tahun yang menimpa warga adat Dayak Kalimantan Tengah.

Di sini, saya hanya mengemukakan beberapa kenyataan dan mengomentari kegiatan Polsek Manuhing Kabupaten Gunung Mas yang melakukan sosialisasi “Stop Illegal Mining” sebagaimana dilaporkan oleh Nurhidayah, 24 Juli 2021. Nurhidayah antara lain menulis:

“Bhabinkamtibmas Polsek Manuhing Polres Gunung Mas Brigadir Polisi satu Dodi Nissa Perdana melaksanakan kegiatan sambang serta patroli dialogis di desa binaan dan juga berikan himbauan agar jangan melakukan penambangan tanpa ijin, alat peraga sosialisasi menggunakan spanduk, Senin (26/07/2021). Bhabinkamtibmas Polsek Manuhing membentangkan spanduk karhutla bertuliskan “Stop Illegal Mining serta sanksi pidana” Pasal 158 Undang Undang No. 4 tahun 2009 Pidana Penjara 10 tahun dan denda paling banyak 10 Milyar. Memberikan himbauan bersama-sama dalam menanggulangi Illegal Mining. Apabila mendengar, melihat suatu pelanggaran Illegal Mining agar segera melaporkannya ke Polsek Manuhing atau bisa melaporkannya kepada Bhabinkamtibmas untuk segera ditindaklanjuti (https://borneo24.com/kalteng/polsek-manuhing-sosialisasi-stop-illegal-mining)”.

Seruan “Stop Illegal Mining” seperti juga halnya dengan “Illegal Logging”, penanganannya tentu tidak sesederhana himbauan. Banyak faktor di dalamnya. Salah satu adalah masalah kemiskinan dan ketiadaan lapangan kerja.

Faturahman dari Banjarmasin Post (www.banjarmasinpost.co.id/faturahman) dalam tulisannya berjudul “Alasan untuk Perut, Penambangan Emas Ilegal Makin Marak di Gunung Mas, Sikap Pemerintah?” antara lain menulis:

“Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah yang penduduknya mencapai 140 ribu jiwa, saat ini sebagian besar berusaha kebun karet dan kebun kelapa sawit serta sebagian sebagai birokrasi serta banyak juga yang bekerja sebagai penambang emas. Informasi terhimpun, para penambang yang ada di Gunung Mas, mencapai puluhan ribu orang yang melakukan aktivitas di beberapa desa, namun sayangnya para penambang emas yang selain warga lokal, juga ada warga pendatang ini, memilih melakukan penambangan emas tanpa izin. Upaya pemerintah setempat yang telah memberikan lokasi khsusus di wilayah pertambangan rakyat malah tidak diminati, karena dianggap potensi emasnya tidak ada sehingga penambang memilih menambang di lokasi sendiri sehingga ada spot atau titik tertentu yang dipakai warga untuk melakukan penambangan emas secara pribadi.

Beberapa lokasi yang dijadikan penambangan emas tersebut seperti diantaranya, Kecamatan Sepang dan Mihing Raya juga ada di Kecamatan Tewah dan Kuala Kurun. “Lokasi tersebut memang banyak potensi emasnya, kami menggali emas untuk kebutuhan perut, karena biaya hidup kian tinggi, ada yang darat ada juga di sungai untuk lokasi tambangnya,” ujar Alfian, salah satu penambang, Senin (19/3/2018). Dikatakan, sehari sekali makan di Gunung Mas Rp 25 ribu, sehingga jika tidak pintar mencari uang tentu akan kesulitan dalam menyambung hidup. Biaya hidup di Gunung Mas cukup tinggi sehingga harus kreatif dan bekerja keras dalam mencari uang”.

Menambang emas tanpa izin merupakan salah satu cara warga desa menyambung hidup. Karet seperti halnya dengan rotan yang pernah menghidupi mereka turun-temurun, harganya sangat jatuh. Sama sekali tidak bisa diandalkan sedangkan berladang menggunakan cara tradisional tidak dibolehkan dengan alasan menimbulkan kebakaran hutan. Untuk menyambung hidup maka cara terdekat adalah menambang emas walaupun langkah ini dilarang pemerintah. Dalam keadaan sangat terdesak, tanah pertanian pun terjual atau tanpa mereka ketahui, lahan mereka disebut sebagai masuk wilayah HPH atau perkebunan sawit.

Inilah yang disisakan oleh mimpi kemerdekaan para gerilyawan dahulu.

Patut dicatat bahwa Kabupaten Gunung Mas merupakan pusat penting gerilyawan Dayak menghalau Belanda. Untuk keluar dari keadaan terpuruk begini, membentuk desa adat merupakan salah satu yang sangat diharapkan penetapannya oleh penyelenggara Negara. Yang lain, adanya kemauan politik dari penyelenggara Negara–lebih-lebih yang Dayak–untuk aktif dan konkret menciptakan kehidupan bermartabat yang dalam bahasa Dayak Ngaju disebut “Manggatang Utus”. Kemauan politik ini akan membuat warga adat merasa bahwa Republik itu masih berguna dan tidak percuma ada Dayak di kekuasaan.

Di atas segalanya, cara lain adalah warga adat bersama-sama memberdayakan diri. Saya dapatkan bahwa masyarakat Dayak punya tradisi demikian.[]


Halaman Masyarakat Adat Asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni, Radar Sampit, Minggu, 10 Oktober 2021

CATATAN KUSNI SULANG: Berapa Lama “Dosa Kebangsaan” Terus Dilakukan?

Radar Sampit | Minggu, 26 September 2021 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Foto: Ayat S. Karokaro/Mongabay Indonesia

Pertanyaan Kepada DPRD, Gubernur, Para Bupati di Kalimantan Tengah dan Wali Kota Palangka Raya

Tim Ahli DPRD Provinsi Kalimantan Tengah (Kalimantan Tengah) sudah bekerja keras dan sudah selesai menuliskan naskah akademi serta Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat Dayak Kalimantan Tengah.

Enam tahun berlalu, selama itu pula Ranperda tersebut masih saja mangkrak. Tidak ada kelanjutannya.

Berita terakhir, setelah Focus Group Discussion ( FGD) tahun lalu, penanganan lanjut Ranperda itu diserahkan kepada Panitia Khusus (Pansus) DPRD untuk menampung masukan-masukan dari berbagai pihak. Kegiatan Pansus dalam soal ini yang terdengar hanyalah diskusi mereka dengan pihak Dewan Adat Dayak Kotawaringin Timur di Sampit. Tidak terdengar berita lain selanjutnya tentang bagaimana Pansus berkegiatan.

Nasib Ranperda itu pun jadi tidak menentu, berlawanan dengan janji sejumlah anggota DPRD Provinsi yang mengatakan bahwa Perda Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat Dayak Kalimantan Tengah akan terbit tahun 2021 ini (tentang janji-janji ini, lihat Halaman Masyarakat Adat Radar Sampit edisi-edisi sebelumnya).

Dari keadaan seperti di atas, pertanyaan saya kepada DPRD Provinsi dan Gubernur Kalimantan Tengah adalah: Apakah pihak legislatif dan eksekutif masih mempunyai niat menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat Dayak Kalimantan Tengah?

Kalau masih berniat, mengapa Ranperda itu tidak terbit-terbit menjadi Perda? Apakah janji-janji yang pernah diucapkan tidak perlu penjelasan mengapa sampai enam tahun lebih janji-janji tersebut belum tunai? Tanpa penjelasan apapun akan membuat janji-janji politisi sama dengan janji-janji pemilu alias sama dengan bualan. Karena masyarakat kita masih bersifat masyarakat patron-client maka hasilnya seperti dikatakan pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Adalah keteladanan tapi keteladanan yang negatif.

Pada tanggal 30 Agustus 2021, Dr. Yusharto Huntoyungo, M.Pd, Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri) secara elektronik telah menandatangani Surat Nomor 189/3836/BPD Perihal Pengakuan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang ditujukan kepada Gubernur dan Bupati/Wali Kota di seluruh Indonesia (artinya, termasuk Gubernur, Bupati/Wali Kota di Kalimantan Tengah dan Palangka Raya tentu saja sudah mengetahui isi Surat tersebut di atas.

Agar para pembaca  mengetahui  isi pokok Surat tersebut, di sini saya kutip:

Sehubungan dengan hasil evaluasi pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa terkait implementasi Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perindungan Masyarakat Hukum Adat masih diperlukan upaya yang lebih dalam hal pengakuan dan perlindungan terhadap eksistensi Masyarakat Hukum Adat Berkaitan dengan hal tersebut diminta kepada Saudara sebagai berikut:

  1. Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dalam melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan diminta untuk mendorong Pemerintah Daerah Kabupaten Kota agar segera melakukan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang berada di kabupaten/kota (kursif dari KS)
  2. Bupati Wali Kota agar segera membentuk panitia Masyarakat Hukum Adat yang melibatkan Organisasi Perangkat Daerah untuk melakukan identifikasi sebagai langkah upaya pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukurn Adat untuk kemudian ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah
  3. Dalam hal Masyarakat Hukum Adat yang berada di 2 (dua) atau lebih kabupaten/kota ditetapkan dengan Keputusan Bersama Kepala Daerah
  4. Gubernur melakukan kompilasi dan melaporkan produk hukum daerah berupa Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten Kota, dan atau keputusan Kepala Daerah berkenaan dengan tentang Masyarakat Hukum Adat ke dalam bahan pengambilan kebijakan.
  5. Data penetapan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat sebagaimana yang termuat pada angka 4 (empat) disampaikan ke Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa melalui Direktorat Penataan dan Administrasi Pemerintahan Desa Jalan Raya Pasar Minggu Km. 19 Jakarta Selatan 12072, faximile (21) 7996321, email: tatawilayahdesa@gmail.com, contact person Sdr. Rizky Hidayat (081315785520) atau Sdri. Ari Annisa Sekar Pramitha (087738582438)”

Surat Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, Kementerian Dalam Negeri Republik  Indonesia 30 Agustus 2021 Nomor 189/3836/BPD di atas dalam bahasa Indonesia yang sederhana gampang dipahami, secara jelas meminta kepada Gubernur, para Bupati dan Wali Kota “agar segera melakukan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang berada di kabupaten/kota”.

Membaca Surat  ini, pertanyaan saya: Apabila Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia sudah meminta Gubernur, para Bupati dan Walikota “agar segera melakukan pengakuan dan perlindungan Masyarakat Hukum Adat yang berada di kabupaten/kota”, lalu berapa lama lagi Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat Dayak Kalimantan Tengah akan terus dibiarkan mangkrak? Alasan apa lagi yang digunakan untuk tidak segera menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat Dayak Kalimantan Tengah?

Dalam pemahaman saya, Gubernur, Bupati dan Wali Kota posisinya berada di bawah Kementerian. Jika pihak atasan meminta para pihak di bawahnya melakukan sesuatu (dengan kata lain memberi instruksi, memberikan perintah), apakah secara organisasi (baca:organisasi birokrasi Negara), pihak bawahan boleh menolak melaksanakan permitaan atau perintah atasannya?

Tentu saja boleh, tapi konsekuensinya, si penolak yang membangkang melepaskan jabatannya. Apabila si pembangkang tetap dalam organisasi tersebut tanpa konsekuensi apapun dari pembangkangannya, organisasi tersebut akan kacau-balau. Berlangsung suatu keadaan yang anarkis kalau bukan chaos. Yang satu ke utara, yang lain ke selatan. Bayangkan saja apabila keadaan chaos demikian terjadi pada organisasi yang bernama organisasi penyelenggaraan Negara.

Yang berlaku dalam suasana chaos, diakui atau tidak, tapi yang nyata berlangsung adalah hukum rimba. Penegakan hukum Negara akan lebih bersifat lamis bibir, tumpul ke atas, tajam ke bawah. Dari segi  Konstitusional, Undang-Undang (UU) dan Peraturan, apakah pembangkangan adalah suatu tindak konstitusional, sesuai UU dan Peraturan?

Jika ini suatu keteladanan maka ia adalah keteladanan seorang guru (baca juga sebagai: pemuka masyarakat, pemimpin, panutan), yang kencing berdiri, sehingga para muridnya kencing berlari. Kehidupan pun jadi bau pesing. Pesing di mana-mana. Apabila ini suatu adat maka ia adalah “adat”. Adat dalam tanda kutip dan huruf kecil!

Mengenai pengakuan dan perlindungan masyarakat (hukum) adat, baik itu berupa Undang-Undang (UU) maupun Perarturan Daerah (Perda), mantan Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), DR. A. Teras Narang, SH, melalui Siaran Pers di Jakarta, Sabtu, 19 Juni 2021, antara lain mengatakan bahwa

“Pembahasan mengenai Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) yang berlarut sejak periode pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono dinilai merugikan. Perlunya payung hukum untuk menindaklanjuti amanat konstitusi yang mengakui dan menghormati masyarakat hukum adat, dinilai mestinya segera dituntaskan. Hal ini disebut oleh Teras Narang, Senator DPD RI daerah pemilihan Kalimantan Tengah, sebagai indikasi tidak seriusnya negara dalam memberikan perlindungan bagi masyarakat hukum adat. Padahal dalam sistem sosial dan bangunan kehidupan masyarakat hukum adat itu, Pancasila hidup dan kearifannya digali oleh Presiden Soekarno untuk dijadikan sebagai dasar negara yang menjadi sumber dari segala sumber hukum negara” (https://indonews.id /artikel/ 318521/Teras-Narang-Dosa-Kebangsaan-Bila-Kita-Abaikan-Masyarakat-Hukum-Adat/).

Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat sampai hari ini mangkrak sudah enam tahun lebih. Lalu tanda apakah hal demikian?

Melalui Siaran Pers yang sama, mantan Gubernur Kalimantan Tengah itu juga mengatakan:

“Jadi harap agar RUU (tentunya termasuk Perda–KS) yang penting ini jangan hanya dijadikan alat politik pendulang suara tapi tidak diselesaikan. Apalagi bila isinya juga tidak mencerminkan aspirasi masyarakat adat yang berharap tak lagi dipersulit dengan proses yang rumit dan tidak mencerminkan semangat pelayanan publik yang baik.” Dilanjutkan, “Jangan sampai kita menyebut diri Pancasila tapi melupakan ruang sosial yang melahirkan dasar negara kita. Ini dosa kebangsaan bila mengabaikan Masyarakat Hukum Adat”. Demikian Teras Narang.

Pertanyaan saya: Lalu dinamakan apa, Bung Teras, jika seorang Dayak yang berada di kekuasaan dan atau berpengaruh di daerahnya tapi mengabaikan Masyarakat Adat Dayak-nya sendiri?

Pertanyaan lain: Setahu saya, Bung Teras berasal dari PDI-P, partai mayoritas di DPRD Kalimantan Tengah. Dan Bung Teras Narang pasti bukan anggota biasa. Apa yang dilakukan oleh PDI-P dalam soal Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat Dayak di Kalimantan Tengah agar tidak melakukan “dosa kebangsaan”? Apakah mangkraknya Ranperda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat di Kalimantan Tengah selama enam tahun lebih, lepas dari tanggung-jawab PDI-P dan partai-partai lain yang duduk di DPRD?

Pertanyaan-pertanyaan di atas diperkuat munculnya pernyataan Ketua Dewan Adat Dayak (DAD) Kalimantan Tengah yang juga anggota DPR-RI dari PDI-P, Agustiar Sabran yang menyatakan bahwa:

“Sebagai lembaga yang lahir dari sejarah masyarakat Dayak, MADN merupakan lembaga yang memperjuangkan kepentingan masyarakat Dayak, secara khusus dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial, dan budaya. Karena itu, selain berfungsi sebagai wadah koordinasi, komunikasi, dan kerja sama lembaga-lembaga adat Dayak, MADN juga berfungsi sebagai wadah pelayanan masyarakat adat Dayak, wadah untuk menampung dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat adat Dayak, dan wadah untuk mengkaji berbagai program yang menyangkut kehidupan dan hak masyarakat adat Dayak.

Ke depan MADN diharapkan makin mampu berkoordinasi dan menyinergikan langkah dengan program utama presiden. Di antaranya, meninjau ulang dan menyesuaikan seluruh peraturan, perundangan-perundangan terkait pengakuan, penghormatan, perlindungan, dan pemajuan hak-hak masyarakat adat, khususnya yang berkaitan dengan hak hak atas sumber sumber agraria.

Kemudian melanjutkan proses legislasi RUU Pengakuan dan Perlindungan Hak?Hak Masyarakat Adat, memastikan proses-proses legislasi terkait pengelolaan tanah dan sumber daya alam pada umumnya seperti RUU Pertanahan berjalan sesuai dengan norma-norma pengakuan hak-hak masyarakat adat sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012.

Kemudian, memastikan penerapan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dapat berjalan di seantero negeri, khususnya dalam hal mempersiapkan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam mengoperasionalisasikan salah satu jalur pengakuan hak-hak masyarakat adat untuk dapat ditetapkan menjadi Desa Adat.”

Demikian Agustiar Sabran (https://Kalimantan Tengah.prokal. co/read/news/50355-mantan-bupati-malinau-terpilih-jadi-ketua-majelis-adat-dayak-nasional.html).

Persiapan apa lagi, Yang Mulia Anggota DPR-RI Agustiar Sabran, yang masih patut dilakukan di tingkat Provinsi Kalimantan Tengah untuk menerapkan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?

Naskah Akademi dan Raperda sudah ditulis sejak enam tahun lalu, Focus Group Discussion (FGD) sudah dilakukan oleh Tim Ahli DPRD Provinsi untuk meminta masukan dari berbagai pihak. Instruksi dari Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Desa Tertinggal, Transmigrasi dan Tenaga Kerja juga sudah terbit.

Yang belum adalah pelaksanaan instruksi UU dan Kementerian-Kementerian tersebut.

Tuntutan dari masyarakat desa–persisnya di tiga desa Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas juga sudah disampaikan ke penyelenggara Negara.

Yang belum adalah tindak lanjut dari pemerintah dan DPRD baik Provinsi maupun Kabupaten di Kalimantan Tengah.

Kalau Yang Mulia Anggota DPR-RI Agustiar Sabran meminta agar masyarakat Dayak, secara khusus di Kalimantan Tengah, untuk bersama-sama menyatukan hati, pikiran, dan perkataan dalam rangka mengangkat harkat dan martabat masyarakat adat Dayak (https://Kalimantan Tengah.prokal.co/read/news/50355-mantan-bupati-malinau-terpilih-jadi-ketua-majelis-adat-dayak-nasional.html), nampaknya permintaan Yang Mulia Anggota DPR-RI Agustiar Sabran mengabaikan apa yang dikatakan itu niscayanya dilaksanakan.

Hidup bermartabat tidak mungkin terwujud hanya dengan kata-kata, hanya dengan “menyatukan hati, pikiran, dan perkataan”. Pikiran dan perkataan seniscayanya sesuai dengan kepentingan mayoritas masyarakat (dalam hal ini masyarakat adat Dayak Kalimantan Tengah).

Kalau Yang Mulia Anggota DPR-RI Agustiar Sabran bicara tentang Desa Adat, pertanyaan saya: Apa yang konkret dilakukan oleh Yang Mulia Anggota DPR-RI Agustiar Sabran yang juga Ketua DAD Kalimantan Tengah, dalam hal penerbitan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat Dayak di Kalimantan Tengah sesuai amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?

Sangat diharapkan Yang Mulia Anggota DPR-RI Agustiar Sabran melakukan sesuatu yang konkret agar Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat segera terbit.

Adakah alasan lain untuk menundanya? Bisakah kami diberitahu alasan pemangkrakannya dan meneruskan tindakan melakukan “dosa kebangsaan”?[]


Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit. Minggu, 26 September 2021.

CATATAN KUSNI SULANG: Apakah Kalimantan Hanya Jadi Kelinci Percobaan Jakarta?

Radar Sampit – Minggu, 12/09/2021 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Ilustrasi: bfarm.id

Panglima Jilah dan Pasukan Merah Dayak-nya. Barangkali kekuatan seperti ini diperlukan oleh Masyarakat Adat Dayak untuk memberi daya pada kata-kata. Foto: https://www.tips-yayan.com/search/label/dayak

Orang Dayak dan Kalimantan sepatutnya mencari jalan keluar dari keadaan sekarang. Jangan hanya mengutuk dan meratapi malam.

Para ilmuwan sering menggunakan hewan untuk melakukan uji coba—khususnya uji coba obat-obatan—untuk melihat hasilnya sebelum digunakan pada manusia.

Dalam hal itu, salah satu hewan yang sering digunakan sebagai bahan percobaan adalah kelinci. Alasan pemilihan kelinci sebagai objek percobaan adalah karena hewan itu relatif bersih dan mudah dibiakkan. Dari situlah kemudian munculnya istilah kelinci percobaan (https://www.belajarsampaimati.com/2012/06/dari-mana-munculnya-istilah-kelinci.html).

Dari paparan di atas, kemudian, saya memahami bahwa sari pengertian istilah “kelinci percobaan” adalah kegiatan melakukan uji coba untuk melihat hasil dari suatu rencana atau gagasan.

Kegiatan-kegiatan uji coba itu obyeknya bisa bermacam-macam dan tempatnya dilakukan di suatu tempat. Apabila uji coba itu gagal, si penggagas dan barisannya, tidak menjadi galau dan tidak ambil pusing karena salah satu resiko uji coba memang kegagalan. Ia tidak hirau akan kehidupan “kelinci” sebagai obyek. Ia pun tidak peduli apa dampak kegagalan di tempat uji coba dilakukan. Mati, matilah sendiri. Hancur dan kacau, hancur dan kacaulah sendiri. Yang mati, hancur dan kacau, bukanlah penggagas dan gengnya. Kelinci percobaan sering juga disebut Proyek Balon (proof baloon project).

Melihat keadaan Kalimantan  dan membaca sejarah pulau terbesar ketiga di dunia ini–terutama Tanah Dayak–sekarang, pertanyaan yang muncul pada diri saya adalah “Apakah Kalimantan atau Tanah Dayak tidak dijadikan tempat melakukan uji coba gagasan oleh Jakarta?”

Apa  yang ditunjukkan oleh sejarah pulau ini? Saya tidak usah menelusurinya terlalu jauh ke belakang. Cukup apa yang terjadi pada abad ke-20 hingga hari ini.

Proyek lahan gambut satu juta hektar merupakan proyek era Pembangunan Orde Baru yang digagas oleh Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan (PPH) Siswono Yudo Husodo di daerah dominan lahan gambut terutama di Kalimantan Tengah.[1] Proyek tersebut awalnya diluncurkan pada tahun 1995 sebagai bagian dari ambisi pemerintahan Suharto untuk mencapai kembali posisi swasembada beras.

Pada 26 Desember 1995, Presiden Soeharto mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 82 mengenai Proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Satu Juta Hektar di Kalimantan Tengah. Tujuan proyek tersebut untuk menyediakan lahan pertanian baru dengan mengubah satu juta hektar lahan gambut dan rawa untuk penanaman padi. Proyek tersebut dijalankan dengan cara membuat kanal-kanal yang bertujuan membelah kubah gambut.

Proyek ini berakhir dengan kegagalan total. Penyebab kegagalan ini adalah lahan gambut terbukti tidak cocok untuk penanaman padi. Sekitar separuh dari 15.594 keluarga transmigran yang dahulu ditempatkan pada kawasan tersebut meninggalkan lokasi. Selain itu, penduduk setempat mengalami kerugian akibat kerusakan sumber daya alam di kawasan tersebut serta dampak hidrologi dari proyek tersebut (https://id.wikipedia.org/wiki/Proyek_lahan_gambut_satu_juta_hektar).

Dampak kegagalan berlangsung sampai hari ini.

Kemudian dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan di Kalimantan Timur, sejak 2011, pemerintah provinsi telah menjalankan program food estate yang telah dicanangkan oleh Menteri Pertanian Suswono di Kayan Delta Food Estate Tanjung Buka, Kabupaten Bulungan (https://kaltimprov.go.id/berita/food-estate-wujudkan-ketahanan-pangan).

Hasilnya? Kepala Dinas Pertanian Kaltara, Wahyuni Nuzband, mengungkapkan program food estate di Bulungan, Provinsi Kalimantan Utara (yang dulu merupakan bagian wilayah Kalimantan Timur sebelum pemekaran), menjadi pekerjaan rumah atau PR besar. Menurutnya, program yang dicanangkan sejak 2011 lalu, tidak berhasil berjalan maksimal lantaran belum terpadunya tugas dan fungsi antarinstansi. Dirinya mengaku ingin mencarikan solusi terkait permasalahan yang dihadapi para petani hari ini, lantaran menurut Wahyuni, para petani telah lama bersabar (https://kaltim.tribunnews.com/2021/06/13/food-estate-di-bulungan-tak-berjalan-maksimal-dinas-pertanian-kaltara-beberkan-penyebabnya).

Hal serupa terjadi di Ketapang, Kalimantan Barat.

Sementara Mega Proyek Merauke Integrated and Energy Estate (MIFEE) yang dikelola secara terpadu di  wilayah Merauke, Provinsi Papua, dengan skala areal 2,5 juta hektar, juga tidak memberikan hasil yang diharapkan.

”Mimpi proyek MIFEE yang pro poor dan pro environment hanya pencitraan pemerintah dan menjadi kedok kebijakan ketahanan pangan hari ini. Realitasnya, menunjukkan wajahnya yang neoliberal dan artinya pro kepada kepentingan modal,” ujar Pusaka–sebuah LSM yang bergerak di Tanah Papua (https://pusaka.or.id/2011/06/mifee-untuk-siapa/).

Kegagalan demi kegagalan ini menurut Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa, disebabkan karena “food estate yang pernah dijalankan pemerintah Indonesia adalah karena mengingkari kaidah akademis” (https://www.kompas.com/properti/read /2021/03/04/080000021/guru-besar-ipb-sebut-food-estate-langgar-kaidah-akademis?page=all).

“Kaidah akademis ini mencakup kelayakan tanah dan agroklimat, kelayakan infrastruktur, kelayakan teknologi, dan kelayakan sosial dan ekonomi,” ujar Andreas (lihat juga Panutung Tarung, Edisi Khusus Food Estate, Palangka Raya, 2000).

Sekarang, proyek yang dalam sejarahnya tidak pernah berhasil, kembali dilakukan di Kalimantan Tengah dan beberapa daerah lainnya.

Dalam pelaksanaannnya, proyek food-estate ini menurut para petani di Kecamatan Téwai Baru dilakukan secara “tidak beradat”. Dua ribu hektar tanah warga desa diklaim sebagai areal proyek food estate (lihat Panutung Tarung, Edisi 8, Palangka Raya, 2021).

Tanggal 10 September 2021, Ajid Kurniawan dari Harian Kaltim Post mengundang tiga senator dari Kalimantan sebagai nara sumber acara bincang-bincang yang disiarkan langsung melalui media sosial. Tiga Senator itu adalah DR. A.Teras Narang, SH dari Kalimantan Tengah, Aji Mirni Mawarni, ST, MM dari Kalimantan Timur, dan Habib Abdurrahman Bahasyim, SE, MM dari Kalimantan Selatan.

Dalam diskusi tersebut, ketiga senator Kalimantan itu mengutarakan keadaan yang mengkhawatirkan dari masyarakat di daerah mereka.

Aji Mirni Mawarni mengkhawatirkan jika Ibukota Negara jadi dipindahkan ke Kalimantan Timur, warga lokal akan senasib dengan Orang Betawi. Mungkin malah lebih buruk lagi. Teras Narang menyatakan pesimismenya, sedangkan Habib Abdurrahman Bahasyim melihat pemindahan ibukota Negara itu hanya suatu harapan palsu.

Ketiga senator itu juga mengungkapkan perlakuan ketidakadilan yang dialami Kalimantan dalam hal dana perimbangan. Dengan dana perimbangan seperti sekarang, kita tidak mungkin membangun kampung halaman kita. Sementara kekayaan alam kita terus saja dikeruk dan dikeduk tanpa henti. Hutan kita terus saja ditebang. Mirni Mawarni dengan getir berkata bahwa kemudian yang ditinggalkan kepada kita hanya kerusakan alam dan lubang-lubang tambang.

Keadaan seperti dipaparkan di atas, mulai dari Poyek Lahan Gambut Satu Juta Hektar sampai soal pemindahan Ibu Kota Negara,  hanya mengatakan pada saya bahwa Kalimantan dan penduduknya hanya dijadikan kelinci percobaan dan tempat uji coba gagasan. Kegagalan dan dampak duka yang ditinggalkannya menjadi urusan Orang Kalimantan sendiri, bukan urusan Jakarta.

Ketiga senator sepakat bahwa paling sedikit dana perimbangan dari Jakarta itu diberikan kepada tiap provinsi di Kalimantan sejumlah Rp 50 triliun. Baru dengan jumlah itu Kalimantan bisa berbenah.

Usul peningkatan dana perimbangan ini tentu baik-baik saja. Tapi apakah Jakarta bisa menyetujuinya? Berbagai dalih dan alasan pasti akan dikemukakan untuk menolaknya. Apalagi jika usul yang berupa kata-kata itu tidak mempunyai daya paksa.

Sejarah Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa perubahan maju di Tanah Dayak Kalimantan Tengah tidak pernah didapat dengan minta-minta tapi hasil dari perjuangan mandi darah dan airmata.

Terbentuknya Kalimantan Tengah sebagai provinsi otonom adalah perjuangan mandi darah, melalui perjuangan bersenjata yang memberi daya pada kata-kata yang memaksa Jakarta menerima kehendak tersebut.

Saya tidak menganjurkan cara tahun 1956/57 itu kembali diambil.

Tapi intinya, beri daya pada kata-kata. Buat kata-kata bertenaga. Tidak bisa diperlakukan oleh siapapun sebagai angin lalu. Untuk itu Orang Dayak, Orang Kalimantan seniscayanya memeriksa diri sehingga tahu kelemahan dan kekuatan yang mereka miliki. Yang paling merusak adalah apabila Orang Kalimantan mengkhianati Orang Kalimantan, Dayak mengkhianati Dayak sambil berujar saya mencintai Kalimantan, saya mencintai Dayak. Tapi dalam perbuatan justru mengkhianati mereka.

Minta-minta bukanlah jalan efektif. Budaya Dayak menyebutkan bahwa Manusia Dayak ideal itu mempunyai ciri tritunggal yaitu mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh (gagah-berani, pintar beradat dan berpikir out of the box–melawan arus-serta tekun/ulet). Manusia ideal demikian bukanlah penempuh jalan pintas.

Jalan keluar mandiri ini tidak pernah dibicarakan secara serius di mana pun di Kalimantan, Indonesia. Kalau demikian, menjadi kelinci percobaan akan menjadi kehidupan Dayak dan Orang Kalimantan.

Barangkali hal demikian pulalah yang menjadi sari pesan Raja Putih, James Brooke yang menguasai Sarawak (1841-1863). Brooke  berpesan kepada Orang Dayak:

“Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik: Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah di mana kalian tinggal, sumber penghasilan kalian, dan bahkan makanan yang ada di mulut kalian. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”

Dalam kata-kata tetua Dayak Kalteng: “Témpun pétak batana saré, témpun uyah batawah bélai, témpun kajang bisa puat” (punya tanah berladang di tepi, punya garam hambar di rasa, punya atap basah muatan).

Tetap menjadi kelinci percobaan atau tidak, kitalah yang menentukannya.[]


Siaran Halaman Masyarakat Adat Radar Sampit, Minggu, 12 September 2021.