Radar Sampit, 28 Januari 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni
Untuk ikut menyelenggarakan Sakula Budaya Angkatan II, yang oleh warga desa dinamakan Sakula Budaya Handép-Hapakat, saya mesti bolak-balik ke Desa Sumur Mas, Kecamatan Téwah, Kabupaten Gunung Mas.
Penamaan demikian bermula dari pandangan mereka bahwa tanpa Handép-Hapakat (kebersamaan dan kesepakatan), tidak ada yang bisa terwujud. Pandangan dan sikap begini kiranya patut dirawat dan dikembangkan di tengah-tengah serbuan kuat hedonisme ke tengah-tengah kehidupan masyarakat Dayak hingga di daerah perdesaan yang jauh di jantung pulau sebesar anak benua ini.
Dampak hedonisme yang agresif ini sangat terasa dalam penyelenggaraan Sakula Budaya yang boleh dikatakan berangkat terutama dari semangat dan ide Manggatang Utus (Hidup Bermartabat Manusiawi), keadaan yang membuat saya terpaksa jadi ’pengemis’ meminta bantuan dari kanan-kiri.
Tiadanya warung makan di desa sering membuat kami kelaparan apabila bekal sudah habis. Saat menggigil kelaparan, sering terngiang kembali pertanyaan teman-teman, “Apa sebenarnya yang kau cari, Kusni?” Kusni pengemis dan kelaparan! Tapi, saya tahu benar apa yang mau dan cari sebagai Dayak Anak Enggang, Putera-Puteri Naga!
Dalam keadaan serba kekurangan ini, nama Megan KING, Direktur Eksekutif Internasional FairVentures Worldwide, seorang pengagum sastrawan-dramaturg sekaligus Presiden Ceko pertama, Vaclav Havel, yang juga saya kagumi, pada tempatnya jika dicatat dan diterimakasihi. Empati dan solidaritas Megan kembali menunjukkan bahwa etnik dan bangsa hanyalah perbatasan semu bagi kemanusiaan yang tunggal.
Secara geografis, Desa Sumur Mas, di utara berbatasan dengan Desa Téluk Lawah, di timur dengan Kelurahan Téwah dan Desa Tumbang Pajangei (kampung tokoh legendaris Dayak Kalimantan Tengah, Tambun-Bungai), di selatan dengan Kecamatan Rungan Hulu dan di barat dengan Kecamatan Rungan Hulu juga.
Menurut Profil Desa Tahun 2021, Desa Sumur Mas mempunyai luas sebesar 10.374.000 hektar, terbagi dalam lahan sawah: nol (0) Ha, lahan ladang 1.100 Ha, lahan perkebunan 3.370 Ha, hutan 3.429 Ha, Waduk Nol (0) Ha. Komoditas Unggulan Berdasarkan Luas Tanaman ‘tidak ada’, Komoditas Ungggulan Berdasarkan Nilai Ekonomi ‘tidak ada’, sedangkan penduduknya berjumlah 191 KK. Dari jumlah penduduk ini, 201 orang bekerja sebagai petani, buruh-petani 15 orang, peternak satu (1) orang, lain-lain 462 orang, penganggur 2 (dua) orang. Komposisi usia: 0-17 tahun berjumlah 241 jiwa, 18-55 tahun berjumlah 386 jiwa dan 55 tahun-ke atas berjumlah 54 jiwa.
Dari angka-angka ini nampak bahwa penduduk desa yang berjumlah 191 KK dihidupi terutama oleh mereka yang berusia 18-55 tahun atau oleh 386 orang. Tingkat pendidikan pun paling tinggi sembilan tahun. Adakah hubungan keadaan ini dengan maraknya pernikahan dini dan tengkes (stunting) yang tidak kecil jumlah di kabupaten ini?
Kalau merujuk pada Profil Desa Sumur Mas Tahun 2021, di antara 386 orang ini, 201 orang bekerja sebagai petani, buruh-petani 15 orang. Hanya kalau bertani, pertanyaannya: Mengapa lahan sawah nol (0) Ha tanpa ada satu waduk pun lahan ladang, 1.100 Ha tidak nampak memunculkan tanaman padi, lahan-lahan halaman juga tidak nampak tanaman sayur-mayur menghijau? Yang nampak adalah hijauh rerumputan.
Halaman-halaman rumah, saya perhatikan secermat mungkin. Pengamatan ini mengatakan bahwa cabai, ubi kayu (beda dengan singkong food-estate yang berumbi hanya sebesar jari dan disebut berhasil!), bayam, serai, lengkuas, dan lain-lain, bisa tumbuh dengan baik sekalipun tak dirawat sungguh-sungguh. Hanya saja, tanaman keperluan dapur sehari-hari ini tidak akan tumbuh jika tidak ditanam.
Keadaan sesungguhnya menjadi kian jelas ketika Sekretaris Desa (Sekdes) Yater Sahabu mengatakan kepada saya bahwa 99 persen penduduk Desa Sumur Mas hidup dari ‘mangamas’ (mencari emas). Secara bercanda Sekdes mengatakan, “Di desa ini, Orang Jawa (di sini disebut Paman –KS) menjual pentol untuk beli tanah, sebaliknya Orang Dayak menjual tanah untuk membeli pentol.”
Karena 99 persen penduduk aktif mangamas, keperluan hidup sepenuhnya tergantung dari luar. Beras, sayur-mayur, ikan, bahkan air minum (satu galon besar seharga Rp10.000,-), semuanya dibeli dari luar desa. Karena menjadi kebiasaan, maka ketergantungan ini dipandang sebagai suatu kewajaran.
Memang di leher, tangan, jari-jari, dan telinga hampir setiap orang baik dewasa atau pun kanak-kanak, saya melihat kilau emas. Emas bukan merupakan hal luar biasa. Yang luar biasa adalah telepon genggam yang canggih, sedangkan rumah-rumah penduduk juga tidak dibuat megah dan mewah oleh pekerjaan mangamas.
Dengan perasaan menyesal, saya mesti mengatakan bahwa rumah-rumah penduduk yang mayoritas mangamas ini masih saja tidak jauh dari tingkat kekumuhan. Gedung SD dan SMP pun tidak juga istimewa bahkan untuk membeli komputer saja sampai sekarang belum berhasil. Saya sempat tercenung diam sejenak ketika Kepala SMP Desa Sumur Mas mengetengahkan persoalan komputerisasi sekolah seakan minta pertolongan, sementara untuk membeli perlengkapan Sakula Budaya saja mesti jadi pengemis.
Terhadap nilai emas ini, saya teringat apa yang terjadi pada diri saya sendiri ketika remaja di Yogyakarta. Waktu itu, kami ingin menyelenggarakan festival drama selama seminggu. Tapi, sebagai mahasiswa dan pelajar, kami tak punya uang. Namun tekad untuk menyelenggarakan festival drama seminggu itu tak terusik. Dalam rapat persiapan, kami memutuskan menggadaikan apa yang bisa kami gadaikan. Saya punya sepeda butut untuk kuliah. Saya putuskan menggadai sepeda itu dan rela ke tempat kuliah dengan jalan kaki. Teman lain menggadaikan cincin emas di jarinya. Di mata saya, cincin emas itu tidak ada artinya karena waktu di kampung di Katingan, mendapatkan emas bukanlah hal yang sulit. Turun saja mandulang ke sungai, akan didapat emas yang diperlukan. Mendapat rusa, punai atau tupai hasil sumpitan dari bambu jenis lamiang jauh lebih membahagiakan. Tapi di Yogya, ternyata hasil gadaian cincin jauh lebih besar daripada sepeda butut saya. Teman-teman menertawai saya, “Dasar Dayak!” Barangkali dalam pikiran orang-orang di Desa Sumur Mas sekarang, tidak jauh berbeda dari remaja Yogya saya dahulu itu. Apalagi ketika saya mendengar cerita mantir desa.
Menurut mantir (pemangku adat tingkat desa), pada awal-awal orang berburu emas di desa ini, pembeli rokok membayar harga rokok dengan jumputan emas seberapa ia mau. Karena hasil mangamas bukan ukuran gram atau kilo tapi karung.
“Mengapa hasil mangamas itu tidak nampak pada kesejahteraan penduduk hingga hari ini?” tanya saya.
“Pada saat pemburuan mas, perjudian, minum-minum dan mambawi (main perempuan) pun marak berkembang. Di tempat-tempat beginilah, hasil mangamas itu berakhir. Yang menikmatinya adalah para bandar judi, penjual minuman dan penjaja seks.”
Cerita serupa juga saya dapatkan ketika pulang sebentar ke Kasongan, Katingan.
Ketika bertandang ke rumah-rumah warga di kampung yang masih mengenal dan menyayangi saya karena kenakalan kanak dahulu, mereka pamer. Ia/mereka menghamparkan uang jualan kayu hutan yang dibabat. Lantai seluas kamar tamu penuh. Ketika datang kembali beberapa tahun kemudian, kekumuhan masih saja berada di kampung lahir saya itu.
Kepada tetua kampung saya bertanya, “Ke mana hasil jualan kayu?”
Jawaban yang saya terima, persis sama dengan yang saya dengar di Desa Sumur Mas hari ini.
“Mengapa Dayak begini?” tanya saya dalam hati. Terasa ada darah mengalir deras dalam hati. “Ini bukan jalan Manggatang Utus, tapi jalan bunuh diri.”
Dihadapan keadaan begini, saya teringat nasehat tetua bahwa Tuhan hanya menolong orang yang mau berusaha. Daripada mengutuk malam, lebih baik menyalakan lilin. Dan lilin itu betapa pun kecil cahaya yang disebarkannya, ia tetap cahaya berarti di tengah kegelapan. Cahaya itu tidak lain daripada proses penyadaran melalui pendidikan. Salah satu caranya adalah melalui Sakula Budaya untuk anak-anak, melalui anak-anak mencapai orang-orang tua. Pada saatnya, Sakula Budaya untuk orang dewasa pun dengan kurikulum berbeda patut diselenggarakan.
Barangkali, ini adalah salah satu tambang emas lain yang selama ini terabaikan. Jika meminjam istilah Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, ‘Jalan Kebudayaan Bagi Indonesia” (lihat: Kompas, 23 Januari 2024).
Paralel dengan mimpi pengubahan maju demikian, Kwartet Megan-Ririn-Monalisa-Jeje di Desa Sumur Mas dan desa-desa sekitar lainnya telah membuka ‘tambang-emas’ lain berupa Program 100 juta pohon dengan menanam berbagai macam pohon dan buah-buahan seperti séngon, nilam, kakao, mangga, jeruk, dan lain-lain. Program ini memberi alternatif kehidupan selain menambang emas, memecahkan masalah-masalah nyata dalam bentuk memberiberi pekerjaan pada penduduk, mencoba menangani masalah-masalah kehidupan berjangka panjang, menengah dan keseharian. Artinya, menjawab masalah ekonomi secara ekonomi.
Cara ini dilakukan dengan pendekatan kebudayaan melalui Sakula Budaya untuk anak-anak sehingga proses penyadaran berlangsung secara berkesinambungan. Dengan kata lain, proses penyadaran dan pemberdayaan dilakukan secara berbarengan antara penanganan masalah kepala dan perut, penanganan masalah ekonomi dan kesadaran. Sebab perut tidak bisa menunggu, ujar Bung Karno dahulu. Penangangan masalah perut akan membantu proses penyadaran jika tidak terpasung oleh gerakan ekonomis belaka. Barangkali, di sinilah terdapat makna kata-kata penulis Rusia bahwa manusia tidak hanya hidup dari roti belaka.
Saya sedang membayangkan apabila pepohonan yang sudah ditanam sekarang mulai membesar dan bisa dipanen, warga Desa Sumur Mas dan sekitarnya akan mempunyai Tambang Emas Baru yang terbarukan. Tambang emas baru yang menghidupkan, bukan menghancurkan.***