Halaman Masyarakat Adat | 28 Januari 2024 | Jurnal Perdesaan Kusni Sulang: ‘TAMBANG EMAS BARU’

Radar Sampit, 28 Januari 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Cerobong Wilhelmina, sisa peninggalan tambang emas Belanda di Desa  Sumur Mas. Cerobong ini layak dicagarbudayakan dan dicagarsejarahkan. Banyak kisah belum terungkap dibalik cerobong ini. Foto: Yater Sahabu/2023

Peti di Sungai Kapuas. Foto: Istimewa

Untuk ikut menyelenggarakan Sakula Budaya Angkatan II, yang oleh warga desa dinamakan Sakula Budaya Handép-Hapakat, saya mesti bolak-balik ke Desa Sumur Mas, Kecamatan Téwah, Kabupaten Gunung Mas.

Penamaan demikian bermula dari pandangan mereka bahwa tanpa Handép-Hapakat (kebersamaan dan kesepakatan), tidak ada yang bisa terwujud. Pandangan dan sikap begini kiranya patut dirawat dan dikembangkan di tengah-tengah serbuan kuat hedonisme ke tengah-tengah  kehidupan masyarakat Dayak hingga di daerah perdesaan yang jauh di jantung pulau sebesar anak benua ini.

Dampak hedonisme yang agresif ini sangat terasa dalam penyelenggaraan Sakula Budaya yang boleh dikatakan berangkat terutama dari semangat dan ide Manggatang Utus (Hidup Bermartabat Manusiawi), keadaan yang membuat saya terpaksa jadi ’pengemis’ meminta bantuan dari kanan-kiri.

Tiadanya warung makan di desa sering membuat kami kelaparan apabila bekal sudah habis. Saat menggigil kelaparan, sering terngiang kembali pertanyaan teman-teman, “Apa sebenarnya yang kau cari, Kusni?” Kusni pengemis dan kelaparan! Tapi, saya tahu benar apa yang mau dan cari sebagai Dayak Anak Enggang, Putera-Puteri Naga!

Dalam keadaan serba kekurangan ini, nama Megan KING, Direktur Eksekutif Internasional FairVentures Worldwide, seorang pengagum sastrawan-dramaturg sekaligus Presiden Ceko pertama, Vaclav Havel, yang juga saya kagumi, pada tempatnya jika dicatat dan diterimakasihi. Empati dan solidaritas Megan kembali menunjukkan bahwa etnik dan bangsa hanyalah perbatasan semu bagi kemanusiaan yang tunggal.

Secara geografis, Desa Sumur Mas, di utara berbatasan dengan Desa Téluk Lawah, di timur dengan Kelurahan Téwah dan Desa Tumbang Pajangei (kampung tokoh legendaris Dayak Kalimantan Tengah, Tambun-Bungai), di selatan dengan Kecamatan Rungan Hulu dan di barat dengan Kecamatan Rungan Hulu juga.

Menurut Profil Desa Tahun 2021, Desa Sumur Mas mempunyai luas sebesar 10.374.000 hektar,  terbagi dalam lahan sawah: nol (0) Ha, lahan ladang 1.100 Ha, lahan perkebunan 3.370 Ha, hutan 3.429 Ha, Waduk Nol (0) Ha. Komoditas Unggulan Berdasarkan Luas Tanaman ‘tidak ada’, Komoditas Ungggulan Berdasarkan Nilai Ekonomi ‘tidak ada’, sedangkan penduduknya berjumlah 191 KK. Dari jumlah penduduk ini, 201 orang bekerja sebagai petani, buruh-petani 15 orang, peternak satu (1) orang, lain-lain 462 orang, penganggur 2 (dua) orang. Komposisi usia: 0-17 tahun berjumlah 241 jiwa, 18-55 tahun berjumlah 386 jiwa dan 55 tahun-ke atas berjumlah 54 jiwa.

Dari angka-angka ini nampak bahwa penduduk desa yang berjumlah 191 KK dihidupi terutama oleh mereka yang berusia 18-55 tahun atau oleh 386 orang. Tingkat pendidikan pun paling tinggi sembilan tahun. Adakah hubungan keadaan ini dengan maraknya pernikahan dini dan tengkes (stunting) yang tidak kecil jumlah di kabupaten ini?

Kalau merujuk pada Profil Desa Sumur Mas Tahun 2021, di antara 386 orang ini, 201 orang bekerja sebagai petani, buruh-petani 15 orang. Hanya kalau bertani, pertanyaannya: Mengapa lahan sawah nol (0) Ha tanpa ada satu waduk pun lahan ladang, 1.100 Ha tidak nampak memunculkan tanaman padi, lahan-lahan halaman juga tidak nampak tanaman sayur-mayur menghijau? Yang nampak adalah hijauh rerumputan.

Halaman-halaman rumah, saya perhatikan secermat mungkin. Pengamatan ini mengatakan bahwa cabai, ubi kayu (beda dengan singkong food-estate yang berumbi hanya sebesar jari dan disebut berhasil!), bayam, serai, lengkuas, dan lain-lain, bisa tumbuh dengan baik sekalipun tak dirawat sungguh-sungguh. Hanya saja, tanaman keperluan dapur sehari-hari ini tidak akan tumbuh jika tidak ditanam.

Keadaan sesungguhnya menjadi kian jelas ketika Sekretaris Desa (Sekdes) Yater Sahabu mengatakan kepada saya bahwa 99 persen penduduk Desa Sumur Mas hidup dari ‘mangamas’ (mencari emas). Secara bercanda Sekdes mengatakan, “Di desa ini, Orang Jawa (di sini disebut Paman –KS) menjual pentol untuk beli tanah, sebaliknya Orang Dayak menjual tanah  untuk membeli pentol.”

Karena 99 persen penduduk aktif mangamas, keperluan hidup sepenuhnya tergantung dari luar. Beras, sayur-mayur, ikan, bahkan air minum (satu galon besar seharga Rp10.000,-), semuanya dibeli dari luar desa. Karena menjadi kebiasaan, maka ketergantungan ini dipandang sebagai suatu kewajaran.

Memang di leher, tangan,  jari-jari, dan telinga hampir setiap orang baik dewasa atau pun kanak-kanak, saya melihat kilau emas. Emas bukan merupakan hal luar biasa. Yang luar biasa adalah telepon genggam yang canggih, sedangkan rumah-rumah penduduk juga tidak dibuat megah dan mewah oleh pekerjaan mangamas.

Dengan perasaan menyesal, saya mesti mengatakan bahwa rumah-rumah penduduk yang mayoritas mangamas ini masih saja tidak jauh dari tingkat kekumuhan. Gedung SD dan SMP pun tidak juga istimewa bahkan untuk membeli komputer saja sampai sekarang belum berhasil. Saya sempat tercenung diam sejenak ketika Kepala SMP Desa Sumur Mas mengetengahkan persoalan komputerisasi sekolah seakan minta pertolongan, sementara untuk membeli perlengkapan Sakula Budaya saja mesti jadi pengemis.

Terhadap nilai emas ini, saya teringat apa yang terjadi pada diri saya sendiri ketika remaja di Yogyakarta. Waktu itu, kami ingin menyelenggarakan festival drama selama seminggu. Tapi, sebagai mahasiswa dan pelajar, kami tak punya uang. Namun tekad untuk menyelenggarakan festival drama seminggu itu tak terusik. Dalam rapat persiapan, kami memutuskan menggadaikan apa yang bisa kami gadaikan. Saya punya sepeda butut untuk kuliah. Saya putuskan menggadai sepeda itu dan rela ke tempat kuliah dengan jalan kaki. Teman lain menggadaikan cincin emas di jarinya. Di mata saya, cincin emas itu tidak ada artinya karena waktu di kampung di Katingan, mendapatkan emas bukanlah hal yang sulit. Turun saja mandulang ke sungai, akan didapat emas yang diperlukan. Mendapat rusa, punai atau tupai hasil sumpitan dari bambu jenis lamiang jauh lebih membahagiakan. Tapi di Yogya, ternyata hasil gadaian cincin jauh lebih besar daripada sepeda butut saya. Teman-teman menertawai saya, “Dasar Dayak!” Barangkali dalam pikiran orang-orang di Desa Sumur Mas sekarang, tidak jauh berbeda dari remaja Yogya saya dahulu itu. Apalagi ketika saya mendengar cerita mantir desa.

Menurut mantir (pemangku adat tingkat desa), pada awal-awal orang berburu emas di desa ini, pembeli rokok membayar harga rokok dengan jumputan emas seberapa ia mau. Karena hasil mangamas bukan ukuran gram atau kilo tapi karung.

“Mengapa hasil mangamas itu tidak nampak pada kesejahteraan penduduk hingga hari ini?” tanya saya.

“Pada saat pemburuan mas, perjudian, minum-minum dan mambawi (main perempuan) pun marak berkembang. Di tempat-tempat beginilah, hasil mangamas itu berakhir. Yang menikmatinya adalah para bandar judi, penjual minuman dan penjaja seks.”

Cerita serupa juga saya dapatkan ketika pulang sebentar ke Kasongan, Katingan.

Ketika bertandang ke rumah-rumah warga di kampung yang masih mengenal dan menyayangi saya karena kenakalan kanak dahulu, mereka pamer. Ia/mereka menghamparkan uang jualan kayu hutan yang dibabat. Lantai seluas kamar tamu penuh. Ketika datang kembali beberapa tahun kemudian, kekumuhan masih saja berada di kampung lahir saya itu.

Kepada tetua kampung saya bertanya, “Ke mana hasil jualan kayu?”

Jawaban yang saya terima, persis sama dengan yang saya dengar di Desa Sumur Mas hari ini.

“Mengapa Dayak begini?” tanya saya dalam hati. Terasa ada darah mengalir deras dalam hati. “Ini bukan jalan Manggatang  Utus, tapi jalan bunuh diri.”

Dihadapan keadaan begini, saya teringat nasehat tetua bahwa Tuhan hanya menolong orang yang mau berusaha. Daripada mengutuk malam, lebih baik menyalakan  lilin. Dan lilin itu betapa pun kecil cahaya yang disebarkannya, ia tetap cahaya berarti di tengah kegelapan. Cahaya itu tidak lain daripada proses penyadaran melalui pendidikan. Salah satu caranya adalah melalui Sakula Budaya untuk anak-anak, melalui anak-anak mencapai orang-orang tua. Pada saatnya, Sakula Budaya untuk orang dewasa pun dengan kurikulum berbeda patut diselenggarakan.

Barangkali, ini adalah salah satu tambang emas lain yang selama ini terabaikan. Jika meminjam istilah Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia,  ‘Jalan Kebudayaan Bagi Indonesia” (lihat: Kompas, 23 Januari 2024).

Paralel dengan mimpi pengubahan maju demikian, Kwartet Megan-Ririn-Monalisa-Jeje di Desa Sumur Mas dan desa-desa sekitar lainnya telah membuka ‘tambang-emas’ lain berupa Program 100 juta pohon dengan menanam berbagai macam pohon dan buah-buahan seperti séngon, nilam, kakao, mangga, jeruk, dan lain-lain. Program ini memberi alternatif kehidupan selain menambang emas, memecahkan masalah-masalah nyata dalam bentuk memberiberi pekerjaan pada penduduk, mencoba menangani masalah-masalah kehidupan berjangka panjang, menengah dan keseharian. Artinya, menjawab masalah ekonomi secara ekonomi.

Cara ini dilakukan dengan pendekatan kebudayaan melalui Sakula Budaya untuk anak-anak sehingga proses penyadaran berlangsung secara berkesinambungan. Dengan kata lain, proses penyadaran dan pemberdayaan dilakukan secara berbarengan antara penanganan masalah kepala dan perut, penanganan masalah ekonomi dan kesadaran. Sebab perut tidak bisa menunggu, ujar Bung Karno dahulu. Penangangan masalah perut akan membantu proses penyadaran jika tidak terpasung oleh gerakan ekonomis belaka. Barangkali, di sinilah terdapat makna kata-kata penulis Rusia bahwa manusia tidak hanya hidup dari roti belaka.

Saya sedang membayangkan apabila pepohonan yang sudah ditanam sekarang mulai membesar dan bisa dipanen, warga Desa Sumur Mas dan sekitarnya akan mempunyai Tambang Emas Baru yang terbarukan. Tambang emas baru yang menghidupkan, bukan menghancurkan.***


Halaman MASYARAKAT ADAT asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 28 Januari 2023. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 21 Januari 2024 | Wawancara Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah Adiah Chandra Sari, S. H., M. H.,: “Kita harus mengakui bahwa Kalimantan Tengah sangat kekurangan SDM bidang sejarah”

Radar Sampit, Minggu, 21 Januari 2024

Adiah Chandra Sari, S. H., M. H., Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah saat menerima kunjungan perwakilan Sakula Budaya Kalimantan Tengah di kantornya, tahun 2023. Foto: Andriani SJ Kusni/2023

Pengantar

Pengasuh ruangan kebudayaan Harian ini memandang bahwa di Kalimantan Tengah (Kalteng) ada keterputusan sejarah, ada ketakutan pada sejarah. Sejarah lokal seperti sejarah kabupaten, apalagi desa-desa, belum sepenuhnya ditulis secara profesional. Dalam upaya mencoba menjawab masalah ini, selangkah demi selangkah, Pengasuh Ruang Kebudayaan Harian Radar Sampit Sahéwan Panarung, Andriani SJ Kusni, melakukan wawancara tertulis dengan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah Adiah Chandra Sari, S. H., M. H., Rabu, 17/1/2024.

Radar Sampit mengucapkan terima kasih atas kesediaan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah Adiah Chandra Sari, S. H., M. H., memberikan waktu menjawab pertanyaan-pertanyaan kami di tengah kesibukan-kesibukan. Berikut adalah cuplikan wawancara tersebut (Red.)

Tentang Sejarah

Radar Sampit: Tahun 2023 lalu Dinas Kebudyaan dan Pariwisata Kalteng cukup intens menyelenggarakan berbagai bentuk kegiatan sejarah Kalteng, sesuatu yang bisa dikatakan baru. Apa dasar pemikiran yang melatarbelakangi intensitas tersebut?

Pemerintah Kalimantan Tengah melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata menyadari bahwa referensi sejarah sangat minim, terutama terkait tokoh dan peristiwa sejarah di Kalimantan Tengah. Kita harus mengakui bahwa Kalimantan Tengah sangat kekurangan SDM bidang sejarah, baik dalam instansi pemerintah maupun di luar pemerintahan. Kekurangan ini berdampak pada minimnya referensi sejarah, yang dikhawatirkan suatu saat akan berdampak hilangnya jejak sejarah serta terjadinya bias sejarah terutama pada generasi muda. Berpatokan pada hal tersebut, contohnya pada tahun 2023, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata melaksanakan kegiatan Pendataan Tempat Sejarah, Lomba Karya Tulis Sejarah, Seminar Tokoh Sejarah, Bimtek Peningkatan Keterampilan Menyusun Teks Cerita Sejarah, Bimtek Peningkatan Kapasitas Tenaga Kesejarahan dan Lawatan Sejarah Kalimantan Tengah. Semua kegiatan ini diharapkan dapat memperkaya referensi sejarah, meningkatkan kapabilitas SDM kesejarahan serta sebagai sarana edukasi sejarah bagi generasi muda.

Radar Sampit: Langkah-langkah apa ke depan yang akan dilakukan oleh Dinas di bawah pimpinan Ibu untuk mengkonsolidasi dan menindaklanjuti kegiatan tentang sejarah ini?

Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah melalui Disbudpar akan berusaha konsisten dalam melaksanakan berbagai kegiatan yang terkait dengan kesejarahan, bahkan berusaha meningkatkan intensitas maupun kualitas dari kegiatan-kegiatan tersebut. Selain itu, Disbudpar juga akan membangun jejaring koordinasi dan komunikasi dengan Para Tokoh Sejarah maupun Akademisi di Lembaga Pendidikan yang ada di Kalimantan Tengah. Selanjutnya juga akan diupayakan untuk meningkatkan kegiatan dokumentasi sejarah, terutama untuk objek-objek sejarah yang masih belum tergali.

Radar Sampit: Di Indonesia, banyak terjadi situs-situs sejarah dihancurkan, padahal secara undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya, situs-situs itu seniscayanya dilindungi dalam bentuk cagar budaya. Penghancuran ini pun terjadi di Kalteng kita. Misalnya jembatan kayu di Mandumai, rujab Gubernur Tjilik Riwut, Kuburan tertua Kaharingan di Pahandut, pencurian sapundu-sapundu tua. Dan (bagaimana nasib gedung KONI dan Patung di Bundaran Besar?) Bagaimana kebijakan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi terhadap situs-situs bersejarah itu sebenarnya?

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalimantan Tengah tentunya menaruh perhatian yang sangat besar terhadap objek-objek cagar budaya maupun objek yang diduga cagar budaya. Dalam melaksanakan tugasnya, Disbudpar tentunya memiliki acuan utama yaitu UU Nomor 11 tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Disbudpar juga memiliki komitmen kuat untuk menyusun instrumen pelaksanaan UU tersebut di daerah, yang dibuktikan dengan telah disahkannya Peraturan Daerah Kalimantan Tengah Nomor 02 Tahun 2023 Tentang Cagar Budaya yang disusun bersama dengan pihak Legislatif. Hal ini merupakan salah satu upaya Disbudpar untuk melakukan perlindungan terhadap objek cagar budaya maupun objek yang diduga cagar budaya di Kalimantan Tengah. Sampai dengan saat ini, pelaksanaan pelestarian Cagar Budaya di Kalimantan Tengah tetap mengacu pada aturan yang berlaku.

Radar Sampit: Apakah ada rencana dari Dinas mewajibkan tiap Kabupaten menyusun sejarah kabupaten dan kecamatan masing-masing secara lebih lengkap, bukan hanya empat-lima lembar atau seadanya?

Menjalankan fungsi koordinasi, tentunya telah secara berjenjang menghimbau pelaksanaan berbagai kegiatan yang masuk dalam ranah Tugas Pokok dan Fungsi Disbupar, salah satunya terkait sejarah. Sebagai contoh, Disbupar secara rutin memacu penyusunan PPKD di Kabupaten/Kota se-Kalimantan Tengah, yang merupakan ruh dari upaya pelestarian kebudayaan daerah, termasuk sejarah didalamnya.

Tentang Pelestarian dan Pemajuan Kebudayaan

Radar Sampit: Apa-bagaimana rencana lanjut Dinas Kebudayaan Provinsi tahun 2024 ini untuk melaksanakan amanat UU Nomor 5 Tahun 2017 Tentang Pemajuan Kebudayaan di Kalteng?

Sampai saat ini, kegiatan yang bertujuan dalam upaya pemajuan kebudayaan masih mengacu pada UU Nomor 5 tahun 2017. Pada tahun 2024, Disbudpar akan melaksanakan Pengisian Data Pokok Kebudayaan, Penyusunan PPKD dan secara rutin melakukan pengusulan penetapan WBTB.

Radar Sampit: Setelah Sakula Budaya di Desa Linau berakhir dan sekarang tengah dikonsolidasi, sekarang sedang berlangsung di Desa Sumur Mas Sakula Budaya Handep-Hapakat. Di Barito Selatan dalam proses persiapan. Bagaimana Dinas menanggapi prakarsa dari bawah untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan di Kalteng?

Disbupar Provinsi Kalimantan Tengah tentunya mengapreasi Program Sakula Budaya yang telah diinisiasi oleh Bapak Kusni Sulang. Tentunya kami berkeinginan untuk dapat berpartisipasi dalam program strategis ini kedepannya. Oleh sebab itu kami berupaya untuk menyusun instrumen pendukungnya, agar dapat terpenuhinya unsur legal-formal sebagai dasar bagi Pemerintah Daerah dapat terlibat bahkan memaksimalkan program strategis ini. Terutama dengan terlebih dahulu menyusun PPKD sebagai acuan dalam upaya Pelestarian Kebudayaan di Kalimantan Tengah.

Radar Sampit: Dalam upaya mengkonsolidasi hasil-hasil yang dicapai oleh Sakula Budaya yang direncanakan akan diselenggarakan di seluruh kecamatan Kalteng, apakah Dinas bisa membantu penyelesaian masalah legalitas? Apa saja yang bisa dibantu oleh Dinas baik provinsi ataupun kabupaten?

Sampai saat ini kami berusaha untuk menyusun instrumen pendukungnya agar dapat terpenuhinya unsur legal-formal sebagai dasar bagi Pemerintah Daerah dapat terlibat bahkan memaksimalkan program strategis ini. Terutama dengan terlebih dahulu menyusun PPKD sebagai acuan dalam upaya Pelestarian Kebudayaan di Kalimantan Tengah.

Tentang Kongres Kebudayaan Kalteng

Radar Sampit: Sejak Kalteng berdiri sebagai provinsi otonom pada 1957, sekali pun tidak pernah dilangsungkan pertemuan serius tentang kebudayaan. Yang dimaksudkan dengan kebudayaan Kalteng bukan hanya tentang kebudayaan Dayak, tapi semua kebudayaan yang ada di Kalteng. Bagaimana pandangan Ibu tentang masalah Kongres Kebudayaan Kalteng ini? Mengapa perlu kalau perlu?

Disbudpar menyadari betul bahwa Kongres Kebudayaan merupakan hal penting yang harus dilaksanakan di Kalimantan Tengah, sebagai langkah awal dan monumental dalam upaya pelestarian budaya. Tentunya dalam hal penganggaran, sebelumnya harus dibuatkan instrumen hukum sebagai dasar dalam pengajuannya. Oleh sebab itu, dalam PPKD Kalimantan Tengah yang nantinya akan disusun, terkait pelaksanaan Kongres Kebudayaan akan dicantumkan. Hal ini yang kemudian dapat menjadi dasar bagi Disbudpar untuk dapat terlibat atau bahkan menjadi pelaksana Kongres Kebudayaan Kalimantan Tengah. ***


KECAPI DAN GENDANG MANCA UNTUK SAKULA BUDAYA

Hansli Gonak (baju putih), Kepala Dinas Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gunung  Mas, menyumbang sebuah kecapi untuk Sakula Budaya Handep-Hapakat Desa Sumur Mas, 10 Januari 2024. Sumbangan ini sangat berarti bagi penyelenggaraan Sakula  yang sangat kekurangan perlengkapan-perlengkapannya. Foto: Tendri/2024

Palangka Raya, 21 Januari 2024. Sakula Budaya yang pada tahun 2023 lalu dimulai di Desa Linau, Kecamartan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, sekarang dilanjutkan di desa dan kecamatan lain di Kabupaten yang sama. Sakula Budaya yang sekarang, berlangsung di Desa Sumur Mas, Kecamatan Tewah, Kalimantan Tengah, dengan peserta dua kali lipat lebih banyak dari yang telah berlangsung di Desa Linau.

Bentuk dukungan konkret terhadap upaya melestarikan dan pemajuan kebudayaan Dayak sebagai bagian dari cita-cita Manggatang Utus ini, diperlihatkan oleh Kepala Dinas Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gunung Mas, Hansli Gonak. Ketika menyambut kedatangan penyelenggara Sakula di kantornya, Hansli Gonak telah memberikan sebuah kecapi  yang ada di kantor untuk Sakula Budaya Handep-Hapakat Desa Sumur Mas.

Bantuan ini juga berupa gendang manca dan lain-lain, juga telah diterima oleh Sakula Budaya Handep-Hapakat dari Damang Drs. Kardinal Tarung, mantan Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah, dari Profesor Dr. Andrew Weintraub dari Amerika Serikat, Gereja Evangelis Jerman dan Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah.

Bantuan-bantuan kongkret begini sangat diperlukan oleh Sakula Budaya yang sampai sekarang masih kekurangan perlengkapan-perlengkapan latihan seperti alat-alat musik tradisional Dayak. Bisa terselenggaranya Sakula Budaya yang direncanakan akan dilanjutkan ke sebanyak mungkin desa-desa Kalimantan Tengah, terutama karena partisipasi masyarakat dan berbagai pihak. (ask-1-24).


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 21 Januari 2024. Redaktur: Agus JP, Penata Letak: Rafi

Halaman Masyarakat Adat | 14 Januari 2024 | Catatan Kusni Sulang: PERANTAU SAKLAWASE

Radar Sampit, Minggu, 14 Januari 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Tidak sia-sia Pemkab Murung Raya mendatangkan transmigrasi di Desa Bahitom Kecamatan Murung. Keberadaan warga di sana dinilai membantu kebutuhan pangan daerah ini dari hasil pertaniannya. Foto: https://mmc.kalteng.go.id/berita/read/2269/warga-transmigrasi-dinilai-bantu-penuhi-kebutuhan-pangan-di-murung-raya

Daerah Kalampangan terletak di pinggiran Kota Palangka Raya, merupakan sebuah wilayah penampungan transimigrasi asal Jawa. Dengan mengubah lahan gambut menjadi lahan pertanian, terbukti berhasil. Terlihat dari hasil sayur-sayuran yang telah dipasarkan ke Kota Palangka Raya. Foto: https://mmc.kalteng.go.id/berita/read/6547/petani-kalampangan-panen-sayur-sawi

Data Sensus Penduduk Indonesia 2010, dari 2.207.367 jiwa yang didata, tiga etnis dominan di Kalimantan Tengah yaitu Jawa sebanyak 21,68%, Banjar sebanyak 21,03% dan Dayak 20,42%. Sementara suku asal Kalimantan lainnya di luar Dayak sebanyak 26,67%.[45][46]

Kawasan utama etnis Dayak yaitu daerah hulu dan pedalaman, kawasan utama etnis Jawa yaitu daerah transmigrasi dan kawasan utama etnis Banjar yaitu daerah pesisir, perbatasan Kalimantan Selatan dan perkotaan (https://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah;”Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia” (pdf). Badan Pusat Statistik. 23 Mei 2012. hlm. 36–41. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-08. Diakses tanggal 9 September 2021).

Komposisi suku bangsa di Kalimantan Tengah selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:

No.Suku BangsaSensus 2010
JumlahPersen
1.Asal Kalimantan (di luar Dayak)588.65026,67%
2.Jawa478.43421,68%
3.Banjar464.26021,03%
4.Dayak450.68220,42%
5.Melayu86.3223,91%
6.Madura42.6681,93%
7.Sunda28.5651,29%
8.Asal NTT15.3700,70%
9.Batak12.3240,56%
10.Bugis8.0400,36%
11.Bali7.3620,33%
12.Tionghoa5.1300,23%
13.Lainnya19.5600,89%
Total2.207.367100%
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah

Kemudian pada tahun 2023, Arief Budiatmo, mantan anggota DPRD Kalteng, Dewan Penasehat Paguyuban Kulowargo Wong Jowo (Pakuwojo) Provinsi Kalteng mengatakan bahwa “Dari seluruh masyarakat Kalteng, diperkirakan 34 persennya orang Jawa” (https://kalteng.co /politika /tokoh-jawa-menilai-abdul-razak-layak-jadi-gubernur-kalteng/).

Sementara Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan mengetengahkan variasi angka lain lagi, tapi tetap etnik asal Jawa merupakan etnik terbesar dari segi jumlah di Kalteng, diikuti oleh etnik Banjar. Padahal pada tahun 1957, saat Kalteng berdiri sebagai provinsi otonom, etnik Dayak merupakan suku terbesar, karena itu Prof. Dr. Mubyarto menyebut Kalteng sebagai Provinsi Dayak.

Perubahan komposisi demografis Kalteng yang demikian, tidak terlepas dari politik kependudukan yang dipilih oleh Pemerintah Pusat melalui kebijakan transmigrasinya.

“Besarnya proporsi orang Jawa di Kalteng karena banyaknya transmigrasi asal Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur yang masuk ke Kalteng”, tulis https://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah.Wikipedia lebih lanjut menulis: “Di beberapa kabupaten seperti Kotawaringin Barat, Seruyan dan Pulang Pisau, etnis Jawa adalah penduduk mayoritas”.

Dengan adanya Program Nasional Food-Estate yang memerlukan tenaga kerja banyak, jumlah transmigran yang didatangkan oleh pemerintah ke Kalteng bukan makin berkurang atau berhenti seperti pernah dituntut oleh DPRD Kalteng, tapi justru semakin besar sehingga posisi etnik Jawa sebagai etnik mayoritas di Kalteng menjadi semakin kokoh.

Tentu bukanlah kebetulan apabila pelantikan dan pengukuhan pengurus Pakuwojo Kalteng periode 2023-2027 dilakukan oleh Gubernur melalui Wakil  Gubernur (Wagub) Edy Pratowo di Ballroom Hotel Bahalap, Sabtu, 11/3/2023 (https://setda.kalteng.go.id/publikasi/detail/wagub-lantik-dan-kukuhkan-pengurus-pakuwojo-kalteng).

Perubahan komposisi demografis demikian membuat Kalteng tak ubah laiknya Mini Indonesia, dalam artian hampir semua etnik yang ada di negeri ini terdapat di Kalteng dan tentu saja berpengaruh langsung ke berbagai sektor kehidupan, apalagi di bidang politik. Apabila keragaman ini bisa dikelola dengan baik, tentu saja kebhinnekaan demikian merupakan suatu rahmat dan suatu kekayaan serta kekuatan untuk bergerak maju ke arah pemanusiawian kehidupan dan masyarakat. Jika tidak, bisa dipastikan akan merupakan malapetaka. Dan petaka itu pernah terjadi misalnya di tahun 2000 yang dikenal sebagai Tragedi Sampit.

Ide umum yang ditawarkan guna mengelola keragaman ini di Kalteng adalah konsep yang dirumuskan sebagai ’di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. Konsep ini jugalah yang dianut dan ditawarkan oleh organisasi baru, Perkumpulan Warga Jawa Perantau Saklawase (PAWARTOS) Kalteng yang dibentuk dan dideklarasikan, Minggu tanggal 4 September 2023, organisasi mitra dari Pakuwojo yang sudah lama ada.

Saya khawatir, konsep ini merupakan sebuah konsep yang tak zamani lagi sebab penganut pandangan ini tidak menganggap bumi yang ia pijak sebagai kampung halaman mereka, tapi sekedar tempat merantau mencari hidup. Kampung halamannya ada di tempat lain. Bumi yang sedang ia atau mereka pijak, tidak lebih dari kebun halaman belakang rumah mereka di tempat lain. Mereka tidak punya rasa tanggung jawab membangun bumi yang sedang ia pijak. Untuk aman maka mereka ‘menjunjung langit’ untuk sementara  menaungi mereka sehingga bisa dan gampang terjadi ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’ sedangkan tangan lain ‘nyolong’ (mencuri) untuk dibawa pulang ke kampung mereka nun di sana.

Lalu yang tepat bagaimana?

Saya kira yang tepat adalah ‘di mana bumi dipijak, di situ bumi dibangun’ atau ‘di mana langit dijunjung, di situ bumi dibangun’. Dengan pandangan dan sikap ini, mereka memandang bumi yang mereka pijak adalah kampung-halaman mereka sendiri. Ini adalah “pijak, tempat mereka mencari hidup yang tidak lain dari tanah rantau semata”. Karena itu, dengan sikap begini, tidak mengherankan jika banyak orang-orang non-Dayak yang lahir, besar dan bekerja di Kalteng tapi hidup dalam ghetto budaya lama mereka, berbahasa Dayak pun tidak bisa karena menganggapnya tidak penting. Tidak berguna. Mereka betul-betul adalah Perantau Saklawase, turis jangka panjang di Kalteng.

Konsep ‘di mana bumi dipijak, di situ bumi dibangun’ atau ‘di mana langit dijunjung, di situ bumi dibangun’, secara lain bisa disebut juga Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng (Oranq Kalteng Beridentitas Kalteng). Warga Kalteng apapun asal etniknya, kalau mereka tinggal di Kalteng, mereka adalah Uluh Kalteng. Identitasnya? Tentu saja beridentitas Kalteng. Untuk bisa memiliki identitas demikian, mereka niscaya belajar budaya lokal, lebih-lebih bahasa lokal (baca: Bahasa Dayak). Tidak ada ruginya dan tidak ada salahnya kecuali sangat menguntungkan belajar budaya cq bahasa lokal.

Di tahun 1990-an, dalam sebuah diskusi yang juga dihadiri oleh seorang perwira polisi, saya pernah mengajukan agar polisi, tentara dan siapa saja yang non-Dayak tapi bekerja di Kalteng, lembaganya menyelenggarakan kursus bahasa Dayak. Dalam hubungan ini, saya merasa sedikit aneh jika politik bahasa yang diterapkan sekarang ‘mengutamakan bahasa Indonesia’, padahal dalam Sumpah Pemuda tidak disebut mengutamakan tapi menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Dengan politik bahasa yang demikian, tidak mengherankan jika bahasa-bahasa lokal terpinggirkan atau paling tidak menjadi nomor dua atau lima.

Dalam upaya melahirkan Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng ini, ada kejadian berikut.

Pada suatu hari, teman saya dari Katingan yang menikah dengan seorang perempuan asal Jawa, tapi lahir dan besar di Kalteng–saya sebut menggunakan istilah pemilik warung dekat rumah yang seorang asal Jawa, ‘Jawa Gambut’. Teman muda saya itu bertanya, apakah saya bisa membantu mendapatkan sepuluh eksemplar Kamus Dayak Ngaju-Indonesia.

“Untuk apa?” saya bertanya balik.

“Ada sekolah dasar di Seruyan memerlukannya. Mereka ingin belajar Bahasa Dayak Ngaju.”

“Siapa mereka itu?”

“Orang-orang Jawa transmigran.”

Mendengar hal demikian, saya sangat gembira. Jawa Transmigran mau belajar Bahasa Dayak. Ini dia janin Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng itu.

“Bisa, saya pastikan bisa. Dalam dua hari kau akan mendapatkan 10 Kamus Dayak-Indonesia itu.”

Sebenarnya, Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng itu bukan hal baru.

Zaman Perang Gerilya mengusir Belanda dulu, ada teladan dari Kapten Mulyono yang Jawa, dari H. M. Arsyad yang Bugis, dan di Desa Sumur Mas saya dapatkan orang-orang dari NTT dan Bugis. Orang-orang ini tidak menganggap dirinya sebagai Perantau Saklawase, melainkan Uluh Kalteng  Beridentitas  Kalteng.

Hal berkesan lainnya yang selalu saya ingat bahwa lelaki-perempuan muda Kalampangan, desa transmigran di pinggiran Palangka Raya yang secara sadar belajar tarian Dayak dari seorang seniman Ma’nyaan berpengalaman yang juga tinggal di daerah Kalampangan. Untuk mendorong dan mengembangkan semangat ini, bersama Sanggar Tari Balanga Tingang pimpinan Novi dan Denny, kami pernah menyelenggarakan pentas tari dengan mengikutsertakan mereka.

Saya kira, untuk mengelola kebhinnekaan etnik dan budaya di Kalteng, barangkali mengembangkan dan melaksanakan konsep Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng akan membuat kebhinnekaan itu suatu kekayaan. Dengan konsep ini maka Dayak berarti ‘Dayak Kebudayaan, genealogis dan yang senasib dengan Dayak’. Kongres Kebudayaan Kalteng adalah tempat bersama untuk merumuskannya.***


Halaman MASYARAKAT ADAT asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 31 Desember 2023. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 7 Januari 2024 | Catatan Andriani SJ Kusni: SEPERTI DIKETEPIKAN

Radar Sampit, Minggu, 7 Januari 2024

Antologi Puisi Indonesia, terbitan Yayasan Lontar Jakarta, 2017

John H. McGlynn, Ketua Redaksi penyusunan Antologi Puisi Indonesia. Kumpulan Pilihan Yayasan Lontar. Penerjemah lebih 200 buku sastra Indonesia ke bahasa Inggris sesuai motto Yayasan Lontar “Promoting Indonesia through Literature and Culture”. Foto: https://www.indoindians.com/john-h-mcglynn-sharing-indonesian-literature-worldwide/

Sekitar enam-tujuh tahun lalu, tepatnya pada tahun 2016 dan 2017, telah terbit dua antologi puisi Indonesia. Dalam sejarah perpuisian Indonesia, sebelumnya tidak pernah diterbitkan bunga rampai puisi setebal dua buku ini, demikian juga jumlah penyair yang disertakan.

Antologi pertama berjudul Matahari Cinta Samudera Kata, diterbitkan pada tahun 2016 oleh Yayasan Hari Puisi dan Yayasan Sagang, Pekan Baru, diselenggarakan oleh penyair asal Riau, Rida K.  Liamsi. Antologi puisi ini melibatkan 216 penyair dari usia 14-80 tahun, diterbitkan sebagai “bagian dari memeriahkan peringatan Hari Puisi Indonesia” dan diluncurkan pada 12 Oktober 2016 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Kiranyalitera.co.id  tidak salah jika mengatakan bahwa antologi puisi Matahari Cinta Samudera Kata merupakan buku puisi tertebal di Indonesia hingga hari ini karena ketebalan buku berukuran 24 cm ini mencapai2016 halaman untuk puisi biodata penyair, ditambah dengan  40 halaman romawi kecil dari halaman sampul, Catatan Penyelenggara, dan Kata Pembuka (https://www.litera.co.id/2016/09/25/matahari-cinta-samudra-kata-buku-puisi-tertebal-di-indonesia/).

Sayangnya, saya belum memiliki antologi ini. Informasi yang saya dapatkan sangat tidak memadai karena sebatas keterangan dari  SerambiNews.co,  aceh.tribunnews.com, litera.co.id, sejumlah blog, sehingga saya tidak bisa berbicara banyak mengenai antologi puisi tertebal ini.

Dari sumber-sumber tersebut, saya dapatkan daftar nama 216 penyair  yang karya-karya mereka dimuat dalam antologi. Tapi, keterangan-keterangan ini pun masih tidak menjawab keseluruhan apa yang saya cari. Dari daftar nama tersebut, saya dapatkan mayoritas penyair berada pada tingkat usia yang tidak jauh berbeda. Artinya mayoritas mereka adalah penyair seangkatan. Walaupun ada yang berusia 80 tahun, ada pula yang baru 14 tahun. Dalam perbandingan, perbedaan mencolok ini tentu saja jumlahnya tidak akan besar, sebab jika jumlah usia 14an tahun ini cukup banyak, barangkali akan mempengaruhi kriteria pemilihan apa yang akan dimasukkan ke dalam antologi. Sekalipun tidak besar, adanya perbedaan usia yang mencolok ini menimbulkan pertanyaan tentang kriteria pemilihan karya oleh redaksi antologi tertebal ini—suatu jerih-payah yang perlu dihargai.

Pada tahun 2017, antologi puisi penting lainnya berjudul Antologi Puisi Indonesia. Kumpulan Pilihan Yayasan Lontar. Melacak Sejarah Bangsa Indonesia Abad Ke-20 Melalui Puisi (selanjutnya disingkat Antologi Puisi Lontar) diterbitkan oleh Yayasan Lontar Nusantara atas bantuan Henry Luce Foundation. Antologi setebal v-xxix+796 halaman ini, memuat 460 puisi karya 240 penyair Indonesia dari berbagai angkatan dan aliran pandangan serta berbagai daerah sejak tahun 1920-2000. Walaupun antologi puisi pilihan Yayasan Lontar ini tidak setebal Matahari Cinta Samudera Kata, tapi jumlah penyair yang ditampilkan jauh lebih banyak.

Untuk penyusunan Antologi Puisi Lontardibentuk sebuah tim terdiri dari Dewan Redaksi, Redaksi Tamu, Penasihat, Manajer Redaksi, Asisten Redaksi, Sampul dan Perwajahan, dan Tata Letak. Dewan Redaksi terdiri dari John H. McGlynn (Ketua), Dorothea Rosa Herliani, dan Debra Cole. Redaksi Tamu: Agus R. Sardjono, Eka Budianta, Joko Pinurbo, Radhar Panca Dahana. Dan yang menarik, dalam Tim Penasihat tertera nama Rida K. Liamsi, penyelenggara antologi puisi Indonesia tertebal hari ini,  Matahari Cinta Samudera Kata—barangkali bentuk upaya Yayasan Lontar untuk menarik pengalaman dari Rida, bagaimana menyusun sebuah antologi puisi yang bermutu.

Tentang kriteria pemuatan puisi dalam Antologi Puisi Lontarini, oleh John McGlynn dijelaskan melalui Pengantar Penerbit, sebagai berikut: “Adapun puisi-puisi yang dimasukkan dalam buku kumpulan ini, selain didasarkan pada prestasi mereka di bidang kesusasteraan atau kepenyairan, juga dipilih atas dasar kemampuan karya tersebut dalam memberikan sumbangan pada berbagai topik yang mewakili keragaman pengalaman dalam perjalanan sejarah Indonesia sebagai bangsa selama abad kedua puluh, lepas dari apakah penyair tersebut sudah terkenal atu sudah diterima masyarakat luas atau belum.”

Berangkat dari kriteria tersebut, memang “keragaman pengalaman dalam perjalanan sejarah Indonesia sebagai bangsa selama abad kedua puluh” relatif tercermin dalam Antologi Puisi Lontar ini, walaupun sajak-sajak yang dipilih barangkali bukan puisi yang terbaik dari penulis tersebut.

Saya anggap, walaupun kriteria ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, tetapi ketika pada hari ini ia dilaksanakan maka hal demikian merupakan suatu contoh bagaimana melaksanakan prinsip yang sering diucapkan tapi sering jauh dari perwujudan. Lebih jauh, saya ingin menyebutnya sebagai suatu terobosan maju. Bagaimana menjadikan kata-kata adalah terjemahan dari perbuatan dan tindakan adalah ungkapan dari kata-kata yang membuat kata-kata tidak kehilangan makna. Hal begini menjadi penting di negeri  yang cenderung menghilangkan makna bahasa sehingga muncul keadaan orang-orang yang bisa berkata-kata tapi tidak bisa berbahasa.

Hal lain yang menarik dari Antologi Puisi Lontar adalah pendekatannya.

Tim penyusun antologi membaca puisi dengan pendekatan sejarah sebagaimana tercermin dari sub judul “Melacak Sejarah Bangsa Indonesia Abad Ke-20 Melalui Puisi”. Kalau bukan sesuatu yang baru untuk negeri ini, pendekatan begini paling tidak jarang dilakukan. Yang banyak dilakukan adalah membahas puisi dari segi teknis perpuisian—walaupun puitisitas bagi penyair memang penting. Antologi Puisi Lontar memperlihatkan dengan jelas bahwa pemikiran-pemikiran yang kemudian membimbing gerakan kemerdekaan dan gerakan-gerakan perlawanan atau perjuangan lainnya, pertama-tama muncul dalam sastra, termasuk puisi.

Sebelum masuk ke gerakan politik atau gerakan perjuangan konkret, pergulatan pertama-tama berlangsung di dunia sastra dalam berbagai genre. Revolusi Besar Kebudayaan Proletar di Republik Rakyat Tiongkok dimulai dari debat tentang drama “Hai Jui Dipecat dari Jabatannya”, pemberontakan Hungaria melawan Uni Soviet dimulai dari diskusi sastra di Café Sandor Petöfi, perlawanan terhadap militerisme Jepang di Indonesia juga berlangsung di bidang teater sebagaimana dituangkan oleh Cak Bowo dengan syairnya “pagupon umahe doro/melu Nipon tambah sengsoro” yang berujung dengan dibunuhnya pemain ludruk itu. Contoh lain ditunjukkan oleh Antologi Puisi Lontar melalui antara lain sajak-sajak Hatta, Yamin, dan lain-lain dari periode 1920-2000.

Sejarawan adalah pemburu kebenaran. Demikian pun sastrawan, termasuk penyair. Dalam perburuan, sejarawan tidak mengenal daerah terlarang, apapun resikonya. Di sinilah, saya melihat bertemunya kerja sejarawan dengan sastrawan dan seniman pada umumnya. Dengan menggunakan kriteria pemilihan karya seperti yang dijelaskan oleh John H. McGlynn, saya kira dasar ini, prinsip kerja seniman-sastrawan dan sejarawan, bersesuaian. Kedua-duanya pemburu kebenaran. Antologi Puisi Lontar telah melakukan pendekatan puisi (baca: sastra-seni) yang langka dilakukan di negeri ini, saat kebanyakan asyik berindah-indah, lupa kehidupan yang tak ramah.

Sebagai ilustrasi, di sini saya ingin menceritakan dialog Whatsapp singkat antara Putu Oka Sukanta dengan Kusni Sulang.

Putu mengirimkan sajaknya kepada Kusni dengan keterangan, “Ini sajak eksperimenku”. Kusni menjawab, “Bagus saja kau bereksperimen. Saya tidak ada waktu untuk itu. Keadaaan sehari-hari di lapangan yang berat mendesakku untuk berkata sederhana dan jelas sehingga kalau pun aku bersajak, yang aku pikirkan bagaimana pesan sajakku sampai kepada sasaran. Sederhana itu indah, sekalipun tak gampang karena perlu perenungan dan kedewasaan. Saya tidak ada niat sedikit pun untuk jadi pembaharu dalam puisi. Yang saya inginkan adalah kampungku bermartabat manusiawi. Boleh jadi ini puisi terindah.”

Kalau Joko Pinurbo selaku Redaksi Tamu Antologi Puisi Lontarmengatakan bahwa “the poetry anthology would show the relationship between literature and the country’s history from one period to another” (antologi puisi ini mau memperlihatkan hubungan antara sastra dan sejarah negeri dari satu periode ke periode lain”, (https://www.thejakartapost.com/news/2016/05/09/lontar-to-globally-publish-selected-indonesian-poems-short-stories.html), saya kira maksud demikian kurang-lebih tercapai.

Selanjutnya Joko Pinurbo mengatakan: ”The anthology doesn’t serve as the representation of the best selected poems of Indonesian writers, but it aims to show the diversity of Indonesia through poems” (Antologi ini bukanlah sebagai perwakilan pilihan sajak-sajak terbaik para penulis Indonesia, tapi ingin memperlihatkan keragaman Indonesia melalui puisi).

Tentang keragaman Indonesia ini, saya jadi teringat akan kebijakan H. B. Yassin melalui Majalah Kisah. Yassin secara sadar mengangkat penulis-penulis dari berbagai daerah Indonesia. Saya kira, kebijakan demikian sangat tepat dan perlu diteruskan sehingga bisa berlangsung desentralisasi estetika. Seniscayanya, keberadaan universitas-universitas di setiap provinsi bisa menjadi dasar kelembagaan dan sosial sekaligus bagi desentralisasi estetika ini sehingga dengan demikian sastra-seni kepulauan atau kampung-halaman bisa berkembang sebagai dasar dari sastra-seni Indonesia. Keragaman Indonesia seyogyanya diberikan jalan berkembang, tidak berhenti di kata-kata.

Pada tahun 1985 (dicetak ulang 1995), penyair asal Karo, Tariganu, pernah menerbitkan kumpulan puisi berbentuk degu (bentuk puisi Dayak Taboyan) disertai “Sebuah Catatan Alit” dari M. S. Hutagalung. Dari apa yang dilakukan oleh Tariganu, nampak bahwa sastra suku bangsa bisa menjadi bahan berguna dalam mengembangkan sastra Indonesia. Di masyarakat Dayak, selain degu, masih terdapat bentuk-bentuk puisi lainnya (yang berbeda dengan pantun), misalnya sansana kayau, karunya, mantera, dan lain-lain, tapi belum pernah diperhatikan apalagi diteliti.

Kalau sekarang kita mengenal yang disebut musikalisasi puisi, di Tanah Dayak hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Di Tanah Dayak, umumnya puisi itu dinyanyikan. Karena itu, saya ingin mengatakan bahwa sastra (di) Indonesia itu sesungguhnya bukan hanya sastra berbahasa Indonesia tetapi juga sastra yang ada dan masih hidup di daerah-daerah. Seberapa jauh pengenalan kita terhadap sastra suku bangsa-suku bangsa di negeri ini? Saya berani mengatakan bahwa sastra etnik tidak kurang puitis dari apa yang diteorikan para sarjana sastra.

Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh Tim Penyusun Antologi Puisi Lontar dengan mengangkat penulis-penulis dari berbagai daerah merupakan suatu kebijakan yang menggembirakan dan sudah sepatutnya.

Puisi-puisi dalam Antologi Puisi Lontar disusun berdasarkan periode-periode. Tiap periode didahului dengan kata pengantar. Barangkali rincian pengantar ini perlu lebih teliti mengenai soal data. Misal, apakah benar Rivai Apin termasuk penyair eksil setelah Tragedi September 1965? Apakah benar Mawie terpaksa tinggal di Beijing?

Sementara, mengenai substansi Pengantar, tentu saja bisa diperdebatkan, tapi rubrik ini tidak memadai untuk melakukannya. Barangkali karena banyaknya persoalan yang bisa dibicarakan dalam Antologi Puisi Lontar, buku penting dan patut dihargai ini, apakah karena itu maka baik terhadap Matahari Cinta Samudera Kata maupun atas Antologi Puisi Lontar,saya belum mendapatkan adanya ulasan atau resensi menyeluruh sehingga terkesan kedua antologi, lebih-lebih terhadap Antologi Puisi Lontar dengan pendekatan sejarahnya, seperti diketepikan oleh para kritikus dan peminat sastra.

Kalau terhadap soal kepeloporan dalam puisi esai, Remy Sylado, Acep Syahril dan Abda Imran bisa membahasnya dalam sebuah buku berjudul Skandal Sastra Undercover (2019) setebal 333 halaman, bukan mustahil pembahasan serius tentang Antologi Puisi Lontar berupa sebuah buku dengan pendekatan multi-disipliner dapat dilakukan.[]


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 24 Desember 2023. Redaktur Heru Prayitno, Penata Letak Rafi

Halaman Masyarakat Adat | 31 Desember 2023 | Catatan Akhir Tahun: MANGGATANG UTUS SEBAGAI IDE PEMERSATU

Radar Sampit, Minggu, 31 Desember 2023 | Penulis: Kusni Sulang | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Dalam acara Jogja International Street Performance (JISP) di Malioboro 2015 yang berlangsung pada tanggal 25-26 September 2015 di jalan utama Jogja, Malioboro, salah satu sanggar Kalimantan Tengah menampilkan tari “Manggatang Utus”. Kegagahberanian menandai hampir semua tari Dayak Kalimantan Tengah. Dalam upaya agung ’Manggatang Utus’, sejarah budaya Dayak Kalteng menetapkan tiga syarat tak terpisahkan yaitu ‘mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh’. Terbatas pada mamut-ménténg mempunyai bahaya berkembangnya “budaya” kekerasan. Foto:  http://www.satuharapan.com

Keberadaan waktu merupakan hal yang sangat berguna dalam kehidupan seseorang yang ingin berkembang maju. Waktu yang bergerak tanpa henti dan tak mau menunggu siapa pun selain memaksa orang yang paham maknanya untuk tidak boleh berléha-léha, dalam konsep waktu Orang Dayak Ngaju disebut ‘mangalanja kilat matan andau’ (melomba laju kilat dan matahari), waktu juga membantu kita mengukur maju-mundurnya rencana mencapai tujuan–jika hidup yang sangat singkat ini memang punya tujuan. Kecuali bagi yang hidup asal  hidup.

Dalam pengertian ini, pergantian bulan dan tahun menjadi berarti untuk melihat ulang dan mengevaluasi pekerjaan. Apakah ada gerakan maju atau berada di tempat bahkan mundur. Berada di tempat saja berarti tidak ada kemajuan. Jika demikian, kita perlu memeriksa diri, memeriksa bagaimana kita melaksanakan rencana pemajuan. Jika tidak ada kemajuan atau berjalan di tempat, tentu ada penyebabnya dan perlu dikoreksi segera. Koreksi diri seyogyanya dilakukan dengan sekeras mungkin tanpa memaafkan diri sehingga kesalahan dan kekurangan bisa betul-betul diperbaiki serta kita tidak menjadi keledai yang bolak-balik tersandung di batu serupa.

Kalau hal ini ditujukan pada Kalimantan Tengah (Kalteng), pertanyaannya: Kalteng mau ke mana? Apa tujuan mendirikan Kalteng sebagai provinsi otonom yang terwujud pada tahun 1957 sekalipun secara terpaksa harus melalui pemberontakan bersenjata dan berdarah-darah?

Suka-tidak suka, diakui atau tidak diakui, yang melakukan pemberontakan untuk berdirinya provinsi otonom Kalteng pada waktu itu adalah Orang Dayak. Kalteng didirikan Orang Dayak maju seperti etnik-etnik lain di pulau-pulau lain. Dari dokumen-dokumen yang ada, baik itu dokumen Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) maupun dokumen-dokumen Gerakan Mandau Talawang Panca Sila (GMTPS), tujuan pemajuan Dayak sebagai etnik utama di Kalteng pada waktu itu merupakan tujuan utamanya. Dengan komposisi demografis pada waktu itu, Kalteng adalah Provinsi Dayak, sebutan yang juga digunakan oleh Prof. Dr. Mubyarto dalam tulisannya mengenai Kalteng. Selain itu, dari dokumen-dokumen yang ada, baik itu dokumen Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) maupun dokumen-dokumen Gerakan Mandau Talawang Panca Sila (GMTPS), menunjukkan bahwa Kalteng yang ingin didirikan itu adalah Kalteng sebagai provinsi adat Dayak.

Setelah Kalteng berdiri pada tahun 1957 dengan Tjilik Riwut sebagai gubernurnya, nampak kemajuan-kemajuan melompat di berbagai bidang berlangsung (di sini, saya tidak masuk kerinciannya). Yang paling jelas, di bidang pendidikan. Kalau sebelum tahun 1957, sekolah yang ada di Kalteng selain Sekolah Dasar, hanya terdapat satu SMP (Kristen) kemudian SMP Negeri di Sampit. Satu SMA atau yang setingkat, sama sekali tidak ada. Untuk melanjutkan sekolah harus ke Banjarmasin dan atau ke Jawa bagi yang mampu. Setelah Kalteng berdiri, universitas pun sudah ada di ‘umpun tangga’ (pangkal tangga).

Periode Tjilik Riwut sebagai Gubernur, dari hasil-hasil yang dicapai di berbagai bidang, saya namakan sebagai periode renaisans (renaissance,  kelahiran kembali) Dayak Kalteng. Periode renaisans ini berakhir pada tahun 1967, ketika Tjilik Riwut “ditendang” ke atas oleh rezim Orde Baru. Sejak tahun tersebut, perkembangan Kalteng terutama masyarakat Dayak mulai menurun dan terus menurun. Bahkan sekarang, Orang Dayak bisa dipastikan secara demografis tidak lagi mayoritas di provinsi yang tadinya disebut Provinsi Dayak. Dampak perubahan demografis ini menjalar ke berbagai bidang. Penurunan perkembangan maju di kalangan Orang Dayak akan kian parah pada saat Kalteng dimekarkan menjadi dua atau tiga provinsi.

Penurunan bahkan proses marjinalisasi terhadap Orang Dayak (di sini, saya juga tidak masuk ke rincian data) tercermin dalam sastra yang diciptakan oleh Orang Dayak baik di kota ataupun di desa. Kata-kata yang umum digaungkan dalam karungut, tandak, deder, sansana, timang, dan lain-lain adalah  keadaan mereka “punya tanah berladang di tepi, punya garam hambar di rasa, punya atap basah muatan” (témpun pétak batana saré, témpun uyah batawah bélai, témpun kajang bisa puat). Keadaan yang diringkas dalam kata-kata ‘Manggatang Utus’, slogan umum di kalangan Orang Dayak Kalteng hari ini yang juga tertuang dalam bentuk tari, musik, berbagai bentuk puisi.

Manggatang adalah kosa-kata bahasa Dayak Ngaju yang berarti ‘mengangkat’. Mengangkat memperlihatkan posisi yang diangkat itu tidak berdiri sepatutnya, tenggelam, jatuh ke lumpur. Lebih jelas lagi keadaan ini dilukiskan oleh Dayak Kanayatn, Kalimantan Barat (Kalbar) sebagai “mengangkat pohon tenggelam”. Sementara kata utus di sini, secara khusus menunjuk kepada Suku Dayak. Saya katakan secara khusus sebab dalam pemahaman saya, Utus itu memiliki arti yang bervariasi. Jika di Provinsi Kalteng yang terdiri dari berbagai etnik, maka Utus berarti Orang Dayak. Apabila Orang Kalteng dalam pergaulan dengan orang-orang Indonesia dari provinsi lain, maka Utus berarti Orang (Uluh) Kalteng. Saat orang Indonesia berada di pergaulan internasional maka Utus di sini berarti Orang Indonesia.

Dengan umumnya slogan ‘Manggatang Utus’ di kalangan Orang Dayak Kalteng, saya hanya bisa memahaminya bahwa Orang Dayak Kalteng sampai hari ini pun memandang dan merasakan posisi mereka termajinalisasi di kampung kelahiran mereka sendiri. Selain itu, slogan ini pun menunjuk kepada apa yang harus mereka lakukan yaitu Manggatang Utus yang secara lebih jelas lagi ditunjukkan oleh Orang Dayak Kanayatn, Kalimantan Barat, ‘mengangkat pohon tenggelam agar bisa berdaun, berbunga dan berbuah kembali’.

Dilihat dari adanya pemahaman umum demikian di kalangan Orang Dayak, seniscayanya pemahaman umum ini bisa diangkat sebagai ide pemersatu Dayak, tanpa peduli agama, kepercayaan, pandangan politik dan  aliran pikiran anutan mereka, sebagaimana ide ‘Indonesia Merdeka” menjadi ide pemersatu dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan.

Apabila dilihat lebih dalam, konsep “Manggatang Utus” tidak lain dari istilah orisinal Dayak untuk ide pemberdayaan dan pembangunan. Seperti halnya dengan pemberdayaan dan pembangunan, Manggatang Utus pun adalah konsep umum. Pelaksanaan konsep umum memerlukan rincian. Tanpa rincian, kita akan terhenti pada keinginan tanpa membawa perubahan apa pun terhadap keadaan bahkan bukan tidak mungkin dengan menggunakan “Manggatang Utus” sebagai tameng, tapi hakekatnya ia sedang menjual dan bahkan mengkhianati Dayak apalagi di tengah-tengah dominasi konsep hedonistik, ‘semuanya mesti jadi nasi’ sebagai standar utama.

Adanya pandangan ‘dia jadi bari’ (tidak jadi nasi) selain memperlihatkan tingkat marjinalisasi dalam masyarakat Dayak, sekaligus memperlihatkan kerentanan mereka terhadap hedonisme sebab pandangan ‘dia jadi bari’ (tidak jadi nasi) itu sendiri hakekatnya tidak lain varian dari hedonisme itu juga adanya.  Karena itu, bagaimana  mewujudkan konsep inilah yang barangkali mendesak didiskusikan dan perlu ada pemahaman yang sama terutama tentang cara-caranya. Kalau mau menyeberang sungai, perlu ada perahu dan pengayuhnya ataukah dengan cara berenang. Apakah sudah pernah diskusi serius yang melibatkan semua pihak di kalangan Dayak Kalteng tentang bagaimana Manggatang Utus ini dilakukan? Kalau sudah, bagaimana tindak lanjutnya, bagaimana para pihak itu melaksanakan kesepakatan tersebut?

Terhadap pertanyaan-pertanyaan ini, saya belum bisa ikut serta menjawabnya secara positif. Banyak memang organisasi yang menggunakan kata Dayak pada namanya, tapi mereka seperti berjalan dengan arah masing-masing, pertanyaan-pertanyaan di atas tidak nampak terjawab, apalagi dilaksanakan.  Organisasi-organsasi yang menggunakan label Dayak atau Borneo itu tak ubah bétang-bétang kekinian dalam pengertian benteng-benteng yang siap saling berhadap-hadapan. Dalam istilah Dayak disebut hakayau sama arep ah karena belum mampu keluar dari lingkaran kecil kepentingan mereka masing-masing.

Kalau membaca sejarah berdirinya Provinsi Kalteng, akan nampak bahwa ide pemersatu waktu itu adalah Kalteng Provinsi Otonom. Seluruh warga Dayak bersatu dan berjuang bersama untuk perwujudannya dengan cara mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-ureh. Bukan hanya dengan okol tapi juga akal, menggunakan segala macam bentuk perjuangan serta bersatu. Hasilnya? Provinsi Kalteng  Otonom berdiri.

Pertanyaan saya: Mengapa Dayak angkatan sekarang tidak bisa bersatu dan berbuat seperti halnya generasi pendahulu yang secara gelar akademi pun mereka tidak punya, pendidikan terbatas, tapi Manggatang Utus bisa dijadikan ide pemersatu? Saya  ragu bahwa Dayak akan keluar dari keadaan termarjinalisasi jika Dayak sesama Dayak hakayau kulae dan tidak bisa mengutamakan yang pokok pada tempatnya yang pokok sehingga yang tidak pokok menjadi pokok. Jika keadaan begini berlanjut, Manggatang Utus hanya menjadi kata-kata kosong yang dijadikan barang dagangan politik dan kepentingan sempit dengan berbagai merek.

Memperhatikan keadaan masyarakat Kalteng, terutama Dayak sekarang, hal lain yang saya kira perlu diperhatikan benar adalah soal independensi perjuangan pemberdayaan atau Manggatang Utus. Jika Dayak dan atau  organisasi-organisasi Dayak melepaskan karakter independensi ini, akan rentan terjadi Dayak sesama Dayak baku-hantam. Jika hal ini terjadi ide ‘Manggatang Utus’ pun hanya jadi bualan para politisi dan para pihak lainnya yang egois dan narsis.

Hal kunci lain guna  mewujudkan konsep pemersatu Manggatang Utus ini adalah konsep yang pernah ditawarkan oleh sejarawan Inggris Arnold Joseph Toynbee (1889-1975) tentang minoritas kreatif (creative minority) melalui bukunya A Study of History yang diterbitkan pada tahun 1934. Konsep ini sering kita dengar dalam rangka pelaksanaan pembangunan dan pembaharuan masyarakat dan negara Indonesia. Sebuah pertanyaan sederhana kemudian muncul, apa sebenarnya yang dimaksud dengan minoritas kreatif (creative minority)?

Terkait dengan pertanyaan apakah minoritas (creative minority) itu, Arnold Toynbee menyatakan bahwa: “A society develops into a civilization when it is confronted with a challenge which it successfully meets in such a way as to lead it on to further challenges. The challenge may be a difficult climate, a new land, or a military confrontation (even being conquered). The challenge must not be so difficult as to be insurmountable or even so difficult that the society does not have sufficient human resources and energy to take on new challenges (Suatu masyarakat berkembang menjadi sebuah peradaban ketika ia dihadapkan pada suatu tantangan yang berhasil diatasi sedemikian rupa sehingga dapat membawanya ke tantangan-tantangan yang lebih lanjut. Tantangannya mungkin berupa iklim yang sulit, lahan baru, atau konfrontasi militer (bahkan penaklukan). Tantangan yang dihadapi tidak boleh terlalu sulit sehingga tidak dapat diatasi atau bahkan terlalu sulit sehingga masyarakat tidak mempunyai sumber daya manusia dan energi yang cukup untuk menghadapi tantangan baru).”

 Selanjutnya Toynbee menyatakan bahwa: “… the ideas and methods for meeting the challenges for a society come from a creative minority. The ideas and methods developed by the creative minority are copied by the majority. Thus there are two essential and separate steps in meeting a challenge: the generation of ideas and the imitation/adoption of those ideas by the majority. If either of those two processes ceases to function then the civilization breaks down (ide dan metode untuk menghadapi tantangan masyarakat datang dari kelompok minoritas yang kreatif. Ide dan metode yang dikembangkan oleh kelompok minoritas kreatif ditiru oleh kelompok mayoritas. Oleh karena itu, ada dua langkah penting dan terpisah dalam menghadapi tantangan: pembangkitan ide dan peniruan/adopsi ide-ide tersebut oleh mayoritas. Jika salah satu dari kedua proses tersebut berhenti berfungsi maka peradaban akan hancur)”.

Menurut Toynbee, kemampuan masyarakat untuk tetap bertahan itu dimotori oleh sekelompok kecil orang yang secara kreatif menggagas dan mengaplikasikan ide dan solusi-solusi baru untuk menghadapi tantangan yang ada. Ide dan solusi tersebut sangatlah tepat dan sesuai dalam menjawab tantangan yang ada, sehingga kemudian diadopsi oleh masyarakat secara keseluruhan. Sekelompok kecil orang inilah yang kemudian disebut Toynbee sebagai ‘The Creative Minority’.

Konsep Creative Minority ini kemudian dimaknai sebagai kelompok kaum pemimpin, yang merupakan golongan kecil, namun karena superioritas jiwa dan rohnya serta kekuatan dan keteguhan keyakinannya, sanggup menunjukkan jalan dan membimbing massa yang pasif, kehilangan arah dan mengalami kebingungan (Sutarno, 2011). The Creative Minority ini adalah orang-orang yang sungguh-sungguh memiliki idealisme, jiwa kepemimpinan sejati, kemampuan, kemauan dan keberanian, untuk melawan arus pendapat dan perilaku umum yang kacau dan kehilangan nilai-nilai serta norma-norma hukum dan etika yang luhur. Kita sebagai bangsa yang besar harus mempunyai visi untuk menjadi sebuah komunitas cendekiawan yang mampu menampilkan ciri creative minority di atas (Pierre Suteki, “Creative Minority. Pioner Revolusi Akhlak”, http://www.suluh.co.id/berita-1772-minoritas-yang-kreatif.html).

Saya membayangkan jika kita menempuh jalan ini, cepat-lambat Dayak mampu keluar dari keadaan termarjinal dan mampu hadir di semua sektor seperti halnya etnik Tionghoa Indonesia sekalipun secara jumlah mereka sedikit dibandingkan dengan 270 juta penduduk Indonesia, tapi mereka hadir berperan di semua sektor kehidupan.

Adakah ‘minoritas kreatif’ itu di Tanah Dayak?

Unsur-unsurnya ada, yang belum adalah keinginan dan kesadaran membentuknya, sekalipun ide pemersatu Manggatang Utus sudah menjadi milik publik. Padahal, dengan adanya kesadaran publik demikian akan memudahkan pengorganisasian. Dengan kata lain, unsur-unsur ini belum mengambil peran mereka padahal “ada ratap tangis di gubuk-gubuk”. Mereka masih berada di bagian belakang perkembangan. Lalu mengapa ”malu dan takut untuk berbuat suatu kebaikan”?

“Hidup yang tidak dipertaruhkan tidak akan pernah dimenangkan,” ujar  Sutan Syahrir. O, Durang! Ini sekedar renungan tentang Tanah Dayak menjelang Tahun Baru 2024 sambil menyampaikan harapan terbaik untuk semua.[]


Halaman MASYARAKAT ADAT asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 31 Desember 2023. Redaktur Heru Prayitno, Penata Letak Rafi.

Halaman Masyarakat Adat | 24 Desember 2023 | Catatan Kusni Sulang: FILSAFAT UJU GAWANG WARISAN TAMBUN-BUNGAI

Radar Sampit, Minggu, 24 Desember 2023 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Patung Tambun-Bungai di Kuala Kurun, ibukota Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, terletak di dekat hotel milik pemerintah kabupaten, Hotel Gunung Mas. Foto: Andriani SJ Kusni

Patung Tambun-Bungai di Tumbang Pajangei, desa di Kecamatan Tewah, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, menggambarkan lebarnya dada Tambun-Bungai. Foto: Kusni Sulang

Patung Manusia Dayak di halaman Rumah Jabatan Gubernur Kalimantan Tengah. Foto: Andriani SJ Kusni

Tambun-Bungai adalah abang-adik tokoh legendaris dalam masyarakat Dayak Kalimantan Tengah (Kalteng) sehingga provinsi ini dijuluki juga sebagai Bumi Tambun-Bungai–sebagian menyebutnya Bungai-Tambun karena secara usia Bungai lebih tua daripada Tambun.

A.F. Nahan alm., seorang penulis yang produktif dan rajin menulis ulang kisah-kisah Dayak, pernah menulis tentang kedua tokoh pujaan ini, tapi tetap saja nampaknya masih belum padan untuk menjelaskan apa-siapa Tambun-Bungai.

Pada waktu menjabat Gubernur Kalteng, Dr. A. Teras Narang, S.H. pernah mengirimkan ajudannya ke tempat tinggal saya, meminta agar saya meneliti dan menulis tentang Tambun-Bungai. Tentu yang diharapkan oleh Teras adalah penulisaan ilmiah, bukan tulisan campur dengan hal-hal yang bersifat mistis atau kegaiban atau apa yang mau disampaikan oleh hal-hal berbau mistis dalam budaya lisan yang mendominasi kebudayaan Dayak Kalteng hinga sekarang.

Salah satu ciri kedua tokoh legendaris dan heroik ini yang sering dituturkan adalah bahwa mereka mempunyai dada selebar tujuh jengkal (Bahasa Dayak Ngaju: uju gawang) dan muncul pada periode sejarah yang disebut Periode Téték Tatum (Periode Ratap Tangis).

Apa maksud ‘berdada uju gawang’, apa yang dimaksudkan dan apa-bagaimana Periode Ratap Tangis, periode ini berlangsung sekitar abad ke berapa, mengapa Tambun-Bungai tampil sebagai tokoh penting dan legendaris, adalah beberapa pertanyaan yang kiranya perlu dijawab dan hingga sekarang jawabannya masih samar-samar.

Kesamaran ini jugalah yang saya dengar dari pernyataan almarhum Bupati Gunung Mas, Hambit Bintih, ketika saya mencoba mendapatkan bantuan biaya penelitian terhadap sejarah Tambun-Bungai yang lahir di daerah Gunung Mas. Hambit mengatakan,“Mana ada manusia berdada tujuh jengkal?”, “Apakah benar tokoh Tambun-Bungai itu ada?”

Saya kira, budaya lisan mempunyai cara tersendiri untuk mencatat sejarah. Cerita-rakyat dan legenda merupakan tempat masyarakat berbudaya lisan mencatat sejarahnya walaupun tercampur-baur dengan mistik dan kegaiban-kegaiban.

Cerita-cerita gaib dan tentang dunia lain, tidak bisakah dipandang sebagai indikator tingkat perkembangan masyarakat pada periode tertentu yang patut diurai guna memperoleh hakekatnya? Karena itu, cerita-cerita rakyat, legenda dan sejenisnya merupakan pintu masuk untuk menyelami, mengangkat serta mengurai peristiwa sejarah. Seawal apa pun perkembangan suatu masyarakat, mustahil mereka tidak punya sejarah. Lukisan-lukisan tentang perburuan masa dahoeloe yang terdapat dalam gua-gua di Kalimantan Timur misalnya, saya pahami merupakan catatan sejarah penting untuk daerah tersebut.

Apakah Tambun-Bungai itu benar-benar ada, pertanyaannya bisa dibalik: Jika tidak ada, mengapa kedua tokoh tersebut demikian populer dan begitu melekat di ingatan umum masyarakat Dayak Ngaju bahkan tidak sedikit orang yang bangga mengaku sebagai turunan Tambun-Bungai?

Bayangan masyarakat Dayak Kalteng tentang penampilan fisik Tambun-Bungai,  jika mencermati patung-patung yang telah dibuat, memang bermacam-macam. Ada yang melukiskannya sebagai figur berdada lebar (di Pajangei), ada yang berpenampilan sebagai manusia biasa (di Kuala Kurun), ada yang menonjolkan keperkasaannya melalui penonjolan otot-otot yang kekar (di rumah jabatan Gubernur), tergantung pada pemahaman dan penafsiran si pematung.

Di sini yang ingin saya bicarakan adalah mengenai ‘berdada tujuh jengkal’ (uju gawang). Tujuh jengkal orang dewasa itu memang cukup lebar. Hambit benar bahwa mustahil ada manusia berada tujuh jengkal, apalagi manusia hari ini. Masalah berada tujuh jengkal ini selanjutnya berkembang, ketika saya berjumpa dan berdiskusi dengan Hansli Gonak, Kepala Dinas (Kadis) Kebudayaan dan Olahraga Kabupaten Gunung Mas, yang dihadiri oleh Sekretaris Daerah (Sekda) Gumas, Richard, S.T. di sebuah restoran cukup baik di Kuala Kurun. Karena para pejabat sering makan dan berdiskusi santai di sini, maka restoran ini disebut juga sebagai Restoran Pejabat Gunung Mas.

Waktu itu, saya sedang bekerja di desa mengurus Sakula Budaya Angkatan II di Desa Sumur Mas. Karena di desa tidak ada warung tempat makan dan ada urusan di Kuala Kurun maka hari itu, 24 November 2023, saya dan teman-teman ke Kuala Kurun mencari tempat makan. Tiba-tiba, telepon genggam saya berdering dengan pesan: Kadis Kebudayaan dan Olahraga minta ketemu di Restoran di mana mereka sedang berada. Saya memang berkali-kali ke kantor beliau tapi beliau selalu tidak ada di tempat. Sebagai Kadis Kebudayaan,  Hansli sangat menyokong penyelenggaraan Sakula Budaya. Ia menlihat jelas arti penting stragegisnya Sakula Budaya ini untuk Kalteng, khususnya masyarakat Dayak. Saya sendiri berpandangan Sakula Budaya ini akan kian lancar penyelenggaraan dan perkembangannya ke depan bila terjalin kerjasama erat dengan pihak penyelenggara Negara di bidang terkait, khususnya dengan Dinas Kebudayaan mengikuti  metode penta-heliks.

Begitu ketemu, Hansli menyambut kami dengan segala kehangatan, diskusi bebas sebagaimana diskusi antar sahabat pun berlangsung. Sampai pada masalah Tambun-Bungai yang dikenal dengan dada selebar tujuh jengkal.

Saya menjelaskan pandangan saya bahwa angka tersebut hanyalah pesan dalam bentuk simbol. Isi pesan simbolik itu tidak lain dari bahwa terutama bagi  pemimpin, ia atau mereka harus mempunya dada selebar tujuh jengkal bahkan lebih. Angka tujuh digunakan karena dalam budaya Dayak angka tujuh adalah angka sakral. Isi pesan bahwa pemimpin itu harus berdada lapang agar bisa mempersatukan semua kekuatan yang mungkin dipersatukan untuk mencapai tujuan bersama. Tujuan bersama hari ini adalah ‘Manggatang Utus’. Tujuan bersama ini tidak mungkin dicapai seorang diri atau kelompok kecil, betapa pun hebatnya mereka. Inilah arti pesan simbolik dari Tambun-Bungai berdada tujuh jengkal dan sekaligus teladan yang diwarisi oleh Tambun-Bungai.

Mendengar penjelasan demikian, Hansli dengan bersemangat menambahkan, “Secara filosofi, konsep dan tafsiran demikian pantas dinamakan Filosofi Uju Gawang (Filsafat Tujuh Jengkal).”

“Penamaan yang bagus. Isinya apa?” tanya saya

“Isinya terdiri dari mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh, terbuka, kasih, jujur, setia kepada kepentingan umum,” tambah Hansli Gonak dengan lancar tanpa keraguan sedikit pun.

“Secara filosofi, saya kira inilah inti pikiran dan teladan yang diwariskan Tambun-Bungai kepada kita. Bukan kekerasan dan orang haus darah sebagaimana ditafsirkan oleh sementara pihak tentang kepahlawanan. Sekarang masalahnya, jika kita sepakat dengan Filosofi Uju Gawang ini adalah bagaimana mensosialisasikannya agar ide menjelma menjadi kekuatan material.”

Waktu harus segera kembali ke Desa Sumur Mas memaksa kami mengakhiri diskusi.

Dalam Catatan sederhana ini, pertanyaan ‘bagaimana meratakan warisan ide dan teladan Tambun-Bungai tersebut kembali saya ketengahkan demi upaya Manggatang Utus dan menjadi Dayak Zamani sebagai inti tugas kebudayaan kita?’

Terbayang masih mata Hansli yang menyala penuh semangat usai merumuskan Filosofi Uju Gawang yang seyogyanya menjadi virus kebangkitan dan pemajuan.

Singkatnya memenangkan hidup yang manusiawi![]


Halaman MASYARAKAT ADAT asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 24 Desember 2023. Redaktur Heru Prayitno, Penata Letak Danny