SEJARAWAN UGM: GENOSIDA INTELEKTUAL MEMBERANGUS IDEOLOGI DAN KAUM KIRI DI KAMPUS PASCA 1965

SEJARAWAN UGM: GENOSIDA INTELEKTUAL MEMBERANGUS IDEOLOGI DAN KAUM KIRI DI KAMPUS PASCA 1965

Oleh : Arif Novianto, MAP Corner-klub MKP UGM. Reportase ini disadur dari MAP Corner-Klub MKP UGM.

Nov 27th, 2015

MAP Corner UGM Genocida Intelektual

Gerakan kontra-revolusi (Tragedi 1965) yang telah memukul mundur kesadaran dan kapasitas rakyat untuk memperjuangkan kehidupan mereka turut menghantam kehidupan Kampus-kampus di Indonesia. Kampus sebagai ruang kebebasan akademik, tak luput dari pusaran kejahatan kemanusiaan. Civitas akademik di Kampus, mulai dari dosen, staf dan mahasiswa, banyak yang dipecat, ditangkap dan tidak diketahui nasibnya. Mereka dianggap sebagai kaum kiri yang oleh militer pro-Soeharto dituduh terlibat pada peristiwa 30 September 1965.
Peristiwa kejahatan kemanusiaan 1965 turut membentuk bangunan dan wajah kampus di Indonesia sekarang ini. Bagaimana tragedi 1965 mengubah wajah kampus di Indonesia (kurikulum, dosen, kebebasan akademik)? Apa dampak dari perubahan di masa itu yang hingga kini tetap kokoh bertahan? Apa implikasinya bagi masa depan kampus di Indonesia? Melalui pertanyaan-pertanyaan ini, MAP Corner-klub MKP UGM pada hari selasa 24 November 2015, mencoba mendiskusikannya bersama Abdul Wahid, seorang dosen di jurusan Sejarah UGM.
Menurut Abdul Wahid, peristiwa pembunuhan massal 1965 dapat disebut sebagai “politisida atau genosida“, sedangkan pemberangusan yang juga terjadi di dunia akademik ia menyebut dengan istilah “Intellectualcide“(Genosida Intelektual). Sebelum melangkah lebih jauh tentang keterlibatan kampus, peran militer dan proses terjadinya genosida intelektual ini, Abdul Wahid memulai memantik diskusi dengan menjelaskan iklim politik Indonesia sebelum tahun 1965.
Dari tahun 1959-1963 terjadi peningkatan pesat jumlah Universitas di Indonesia. Universitas negeri meningkat dari 8 (1959) menjadi 39 (1963), Universitas swasta tumbuh dari 112 (1961) menjadi 228 (1965), Akademi negeri bertambah dari 55 (1961) menjadi 88 (1965) dan total pada 1965 ada 335 universitas/institute dengan 278.000 mahasiswa. Jumlah masyarakat yang terdidik secara formal pada tahun-tahun tersebut jelas mengalami peningkatan beratus kali lipat jika dibanding pada tahun 1940. Saat itu, hanya ada 79 mahasiswa yang lulus di Hindia ketika diperkirakan total populasi koloni mencapai 70 juta orang. Sedangkan jumlah lulusan pendidikan tinggi antara 1924 dan 1940 adalah 532, hanya 230 di antaranya merupakan penduduk pribumi (Wal 1963, dalam Aspinall, 2012: 157).
Jumlah mahasiswa yang begitu besar, membuat para mahasiswa mulai dilirik oleh partai-partai politik sebagai calon potensial untuk membangun massa konstituen. Pada periode ini, politik aliran menguat dan letupan-letupan ketegangan antar aliran terus terjadi. Politik aliran juga merangsek ke gerakan mahasiswa, ada Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang terbentuk pada 5 Februari 1947, berafiliasi dengan partai islam modernis yaitu Masyumi. Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) yang berdiri tanggal 23 Maret 1954 berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dibentuk pada 1956 yang memiliki kedekatan dengan PKI dan juga ada Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) yang terbentuk pada 1955 yang berafiliasi dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI).
Situasi politik nasional hingga tahun 1960an mencuatkan tiga kekuatan/idiologi besar yang saling bersaing yaitu PNI (nasionalis), NU (agamis) & PKI (komunis) yang oleh Soekarno hendak disatukan menjadi NASAKOM. Soekarno pada masa itu menjadi revolusioner dengan mengeluarkan kebijakan dan jargon politik radikal menentang neo-kolonialisme dan neo-imperialisme seperti “Manipol-Usdek”, “Ganyang Malaysia”, “Nefos” dan juga isu Papua Barat.
Bagi Soekarno, Universitas harus mampu menjadi “alat revolusi nasional”. Universitas diarahkan untuk mendukung “Manipol-USDEK” (Political Manifesto – UUD 45, Sosialisme ala Indonesia, Demokrasi-Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia) dan untuk mendukung propaganda anti-imperialisme dan the ‘new emerging forces’ (NEFOS). Kebijakan yang diambil oleh Soekarno bukan tanpa alasan, sisa-sisa ekonomi-politik kolonial, sisa-sisa feodalisme dan sisa-sisa kebudayaan kolonial mencoba untuk terus dihanguskan dalam revolusi nasional Indonesia.
Itu karena bagi masyarakat kecil atau kaum Marheins, kemerdekaan secara politik juga harus ditunjang kemerdekaan secara ekonomi yaitu untuk mencapai kesejahteraan. Sementara perjuangan untuk mencapai hal itu membutuhkan organisasi massa, kampanye politik dan advokasi. Sementara kaum kelas atas dan masyarakat yang masih dalam enclave kolonial, mereka juga turut membangun organisasi massa untuk mempertahankan keistimewaan dan ideologi mereka. Itulah yang membuat politik aliran sangat menguat.
Pandangan politik Soekarno telah membuatnya dekat dengan ideologi kiri dan PKI. Pada masa itu PKI menurut Ruth T. McVey merupakan partai yang paling modern dengan kaderisasi kuat yang mengakar ke bawah yaitu dilakukan secara institusional. PKI memiliki lembaga kebudayaan, gerakan perempuan dan juga lembaga pendidikan progresif seperti Universitas Rakyat, Universitas Res Publica, Akademi Ali Archam, Akademi Bachtarrudin, Akademi Ronggowarsito dan juga yang lain. Lembaga pendidikan PKI menjadi institusi pendidikan formal yang sangat menarik bagi rakyat.
Konteks iklim politik di Indonesia juga dipengaruhi oleh terjadinya perang dingin antar dua kekuatan besar yaitu Blok Barat (AS & Sekutunya) dengan Blok Timur (US & sekutunya). Hingga 1965, universitas menjadi ‘arena perang dingin’ karena menerima bantuan dari donor “Barat & Timur”. “Donor Barat” banyak membantu capacity building di bidang teknik, pertanian, peternakan, kedokteran dan pedagogik. Sedangkan “Donor Timur” membantu pembangunan “infrastructure”, di bidang sains, teknik dan humaniora. Pertarungan kedua blok juga merambah ke pemberian beasiswa-beasiswa pendidikan kepada para mahasiswa Indonesia.
Pada tahun 1960an, organisasi mahasiswa yang menjadi dominan adalah GMNI dan CGMI. Ini tidak terlepas dari afiliasi mereka kepada partai politik yang berkuasa saat itu, yaitu PNI dan PKI. Pada awal 1960an GMNI memili jumlah anggota 77.000 orang sedangkan CGMI sekitar 35.000 orang pada 1964an (Maxwell, 1997: 118). Organisasi mahasiswa intra-kampus Dewan Mahasiswa (Dema) dan Komisariat Dewan Mahasiswa (Kodema) menjadi arena persaingan politik antar gerakan mahasiswa. Ada dua kluster yang sering beradu mendapatkan posisi strategis di Dema dan Kodema ini, yaitu kluster berbasis agama: HMI, PMII, PMKRI, GMKI, IMM dan kluster berbasis sekuler: GMNI, CGMI, Germindo, Perhimi dan IPPI. Pengaruh pertarungan gerakan mahasiswa sebagaimana yang diungkapkan oleh Abdul Wahid juga sampai ke para dosen dan staff. Banyak intrik politik dari karir penunjukan pimpinan di kampus yang didasarkan pada kedekatan dosen dan staf pada organisasi kemahasiswaan tertentu.
Terjadinya operasi militer pada 30 September 1965 yang telah membunuh 6 Jenderal dan 1 Perwira Tinggi TNI AD, disikapi oleh militer pro-Soeharto dengan bergerak cepat dan memonopoli arus informasi publik dengan menuduh PKI sebagai pelaku operasi militer. Pemburuan dan kejahatan kemanusian kemudian terjadi diberbagai daerah dengan menyasar para komunis dan Soekarnois. Kampanye counter-revolutionary/anti-komunis di kampus dimulai serentak di minggu pertama Oktober yang dilakukan dengan proses seperti berikut:
1. Menteri PTIP menerbitkan SK No.1/dar 1965 untuk membekukan 14 lembaga yang (diduga) berafiliasi ke PKI;
2. SK No.4/dar 1965 untuk menutup 2 institut PKI lain;
3. SK No. 16/dar 1965 membubarkan CGMI, Perhimi, IPPI;
4. Ini ditindak lanjut dengan Instruksi TNI no. 22/KOTI/1965 tanggal 10 Oktober men-skrining semua kampus.
Proses skrining dimulai serentak sesudah Menteri PTIP mengeluarkan SK tanggal 24/10/1965: Hasil awal diumumkan pada 2/1/1966; beberapa universitas melaporkan hasil skrining. Hanya beberapa universitas yang mengumumkan hasilnya secara terbuka, kebanyakan menyembunyikannya (sebagai dokumen rahasia). Proses skrining ini dilakukan dengan mendata siapa saja kaum kiri di kampus. Skrining berjalan dengan dramatis dan tricky :
1. Rektor universitas “ditunjuk”sebagai ketua tim penyelidikan khusus mahasiswa/pegawai (TPCM/TPCP) di bawah TNI untuk screen universitasnya, tetapi juga “binaannya”;
2. “Pendataan” melibatkan mahasiwa dan dosen, untuk menyusun daftar nama “tersangka” (beberapa kemudian terlibat dalam proses “interogasi”, misalnya: Lukman Soetrisno di UGM);
3. Proses berjalan hirarkhis, atasan memaksa bawahan untuk menyerahkan nama, seringkali secara serampangan tanpa verifikasi.
Dalam proses skrining karena kampus sebagai institusi tidak mempunyai data siapa saja mahasiswa, dosen atau staff yang memiliki afiliasi politik dengan PKI, maka para mahasiswa anti-komunis (dari organisasi yang bertentangan dengan CGMI seprti HMI) dimanfaatkan untuk menunjuk para mahasiswa yang masuk CGMI, Perhimi, IPPI atau yang berafiliasi dengan PKI.
Hasil dari proses skrining tersebut, UGM (Universitas Gadjah Mada) mencatat 115 Dosen atau Karyawan dan 3.006 Mahasiswa yang diduga terlibat dalam gerakan pemberontakan padahal jumlah mahasiswa di UGM saat itu sekitar 12.000 mahasiswa (UGM menjadi yang tertinggi). Mereka yang di data dalam proses skrining sebagian menjadi tahanan politik selama beberapa tahun; sebagian di-Buru-kan; dan lainnya tidak diketahui nasibnya.
Dalam penjelasannya Abdul Wahid memaparkan bahwa para mahasiswa yang terdata diwajibkan melapor ke kampus pada 3 kali 24 jam setelah hasil skrining dipublis di media massa, dan banyak sekali yang tidak melapor. Itu artinya mereka sudah dihantam dengan mekanisme yang lain di luar kampus. Karena proses skrining tersebut juga bersamaan dengan proses pemburuan dan pembunuhan massal kaum kiri di berbagai pelosok Indonesia.

 

Lampiran Genocida Intelektual

Selain proses skrining atau pembersihan kaum kiri di kampus, dunia akademik kampus juga melakukan pembersihan terhadap buku-buku bertendensi kiri di perpustakaan dan merubah kurikulum mereka menjadi kapitalisme sentris. Proses tersebut dilakukan dibawah tekanan militer. Hal tersebut mendapat legitimasi dengan disahkannya TAP MPR RI No.XXV/MPRS/1966 yang berisi pelarangan terhadap idiologi komunisme/Marxisme-Leninisme.
Peristiwa 1965 menimbulkan pengaruh mendalam bagi universitas di Indonesia. Beberapa diantaranya sebagaimana yang dilihat oleh Abdul Wahid adalah sebagai berikut :
1. Hilangnya satu generasi intelektual, produk dari periode tahun 1950an yang kosmopolitan dan liberal (termasuk mereka yang menjadi eksil)
2. Penghapusan sistematis jejak dan pemikiran, gagasan memori dan unsur-unsur ‘kiri’ dari kampus Indonesia
3. Reorientasi “komitmen dan ideologi” intelektual di beberapa kalangan akademisi Indonesia
4. Kerjasama internasional menjadi sangat berorientasi Barat, khususnya USA dan Eropa Barat
5. Dalam kurikulum, terutama ilmu sosial, teori Marxist/conflict “ditinggalkan” dan buku/literatur kiri “menghilang” dari perpustakaan kampus (TAP MPRS 25/1966)
6. Budaya intelektual dan tradisi kritis menurun, sedangkan aktivisme politik mahasiswa dibatasi dengan ketat
7. Minat riset seputar Peristiwa 1965, isu agraria, dan gerakan buruh menjadi lemah, atau dihindari karena self-censorship tapi juga karena kebijakan (kampus)
8. Universitas menjadi semakin birokratis, kapitalistik dan market-oriented (Nugroho 2009)[]

HARIS RUSLY: KAPITALISME GLOBAL MANFAATKAN BANDIT POLITIK MERUSAK NKRI

bergelora.com

 

 

 

HARIS RUSLY: KAPITALISME GLOBAL MANFAATKAN BANDIT POLITIK MERUSAK NKRI
Bergelora.Com, Kamis, 26 November 2015

 

Ketua DPR-Ri, Setya Novanto (Ist)

Ketua DPR-Ri, Setya Novanto (Ist)

 

JAKARTA- Kunjungan Ketua DPR-RI Setya Novanto beserta istri bertemu dengan Kaisar Jepang adalah salah satu contoh tentang upaya berbagai poros kapitalisme global membangun pengaruh memanfaatkan bandit-bandit politik yang rusak secara moral dan mental, rakus harta, haus jabatan, doyan disogok dan bangga jadi kacung kepentingan asing. Hal ini ditegaskan oleh Ketua Presidium Petisi 28, Haris Rusly kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (26/11).
“Kunjungan di luar kebiasaan yang disertai janji Setya Novanto selaku pimpinan legislatif untuk membeli alustista dari Jepang tersebut pasti atas inisiatif pemerintah Jepang sebagai upaya membangun dan mempertahankan pengaruhnya setelah Jepang kalah dari China dalam perebutan projek kereta cepat jarak pendek Jakarta-Bandung,” ujarnya.
Ia menjelaskan bahwa Jepang adalah salah satu negara industri maju yang bergabung dalam poros kapitalisme global Trans Pacific Patnership (TPP) bersama Amerika yang telah puluhan tahun menancapkan dominasinya di Indonesia dalam pasar manufaktur dan pasar infrastruktur serta eksploitasi SDA.
“Setelah gagal dalam perebutan pengaruh di lingkaran teras istana negara, Jepang berusaha membangun pengaruh melalui sejumlah bandit politik yang bergabung di dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang menguasai parlemen, terutama melalui Setya Novanto,” jelasnya.
Sementara itu menurutnya, China yang bergabung di dalam poros BRICS bersama Rusia adalah poros baru dari kapitalisme global yang telah berhasil menancapkan pengaruhnya melalui sejumlah bandit politik di lingkaran teras pemerintahan Joko-Kalla dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH), khususnya melalui Presiden Joko, Rini Soemarno, Surya Paloh, serta melalui sejumlah taipan dan saudagar pendukung pemerintahan Joko-Kalla.
Ia mengatakan rusaknya sistem negara pasca amandemen UUD yang disertai oleh lemahnya kepemimpinan Presiden Joko Widodo telah menempatkan bangsa Indonesia bagaikan layangan di tengah badai perebutan pengaruh dari berbagai kepentingan asing untuk menguasai Indonesia.
Ia menegaskan bahwa negara yang tak berdiri di atas landasan sistem yang kuat (UUD 1945) dan tidak dibangun di atas konsepsi (GBHN) menyebabkan setiap kebijakan yang dibuat tidak berdasarkan landasan dan panduan yang baku, dan tragisnya kebijakan tersebut dibuat berdasarkan keinginan subjektif dari Presiden dan para Menterinya.
Kacung Asing
Akibatnya katanya, para bandit politik leluasa beroperasi untuk berebut menjadi kacung kepentingan asing untuk mengubah kebijakan pemerintah agar menguntungkan kepentingan majikannya, seperti terungkap dalam rekaman percakapan Ketua DPR Setya Novanto meminta saham dan projek Freeport.
“Situasi bangsa kita hari ini mengingatkan kita pada sejarah perebutan pengaruh antara berbagai bangsa penjajah untuk menyuap, memecah belah dan menguasai kerajaan-kerajaan di nusantara yang kaya sumber daya alam,” ujarnya.
Ia mencontohkan, ketika bangsa Portugis datang dan bersekutu dengan Kerajaan Ternate (1512). Di saat yang sama bangsa Spanyol juga datang dan bersekutu dengan Kerajaan Tidore (1512).
Dengan berkuasanya kedua bangsa Eropa tersebut di Tidore dan Ternate, maka mulai terjadi pertikaian terus-menerus antar kedua kerajaan yang sebelumnya hidup berdampingan secara damai. Hal itu terjadi karena kedua bangsa Eropa itu sama-sama berambisi memonopoli hasil bumi dari kedua kerajaan tersebut.
“Politik suap dan devide et impera adalah cara efektif yang selalu digunakan dalam melemhkan sebuah bangsa agar mudah dikuasai dan diperintah,” jelasnya.
Ia mengingatkan, kata “devide et impera” tersebut adalah sebuah kata kerja, yang berarti, “pecah dan kuasai”. Kata se-sinonim juga ada di dalam kebiasaan orang-orang Inggris yang biasa mengatakan “devine and rule”, atau bisa diartikan, “pecah dan perintahlah”. Maksudnya, setelah terpecah menjadi kekuatan-kekuatan kecil, maka harus segera di kuasai dan diperintah karena telah lemah.
“Menghadapi keadaan bangsa Indonesia yang bagaikan layangan di tengah badai tersebut, kita harus bekerja keras melahirkan Generasi Baru dengan Kekuatan Baru yang menjadikan Pancasila sebagai landasan untuk menyatukan dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari ancaman nyata dominasi berbagai poros kepentingan kapitalisme global memanfaatkan rusaknya moral elite politik tua yang saling sandera satu dengan yang lain,” tegasnya. (Aan Rus)

WHY THE HELL DID TURKEY SHOOT DOWN A RUSSIAN FIGHTER JET?

https://news-images.vice.com/images/articles/meta/2015/11/24/why-the-hell-did-turkey-shoot-down-a-russian-fighter-jet-1448402636.jpg?crop=1xw:0.597667638483965xh;0xw,0.21865889212827988xh&resize=1200:*&output-format=image/jpeg&output-quality=75

https://news-images.vice.com/images/articles/meta/2015/11/24/why-the-hell-did-turkey-shoot-down-a-russian-fighter-jet-1448402636.jpg?crop=1xw:0.597667638483965xh;0xw,0.21865889212827988xh&resize=1200:*&output-format=image/jpeg&output-quality=75

WHY THE HELL DID TURKEY SHOOT DOWN A RUSSIAN FIGHTER JET?

By Ryan Faith

VICE NEWS’, November 25, 2015 | 5:47 am

On Tuesday, a Turkish Air Force F-16 shot down a Russian Su-24 that had intruded into Turkish airspace. If Turkish reports are to be believed, two Russian jets were warned over emergency frequencies as they approached the border. One broke off and headed south. The other did not respond to the 10 warnings issued over five minutes, so the Turkish fighter fired a missile, downing the Russian plane. Its two occupants are both believed to have ejected. One is currently reported alive; the status of the other pilot is unconfirmed.

The incident happened over the Turkish border with the chaos formerly known as Syria, slightly inside or slightly outside Turkey, depending on whose account you believe. That border extends more than 500 miles, or 800 km — a considerable amount of terrain to patrol and monitor for the flow of weapons, refugees, and fighters that constantly wash back and forth across the line. And what happens around, and above, that border increasingly determines the fate of the Syrian civil war.

While the government led by Syrian President Bashar al Assad hasn’t been in a particular state of conflict with Turkey over the last few years, there has been a regular string of border skirmishes, punctuated with the occasional downing of a jet or helicopter. Turkey is determined to keep the mess at bay on the other side of the border. Meanwhile, the Syrian government, or what’s left of it in areas close to the border, is determined to prevent Turkish territory from turning into a safe haven, supply depot, or base for anti-regime forces.

Related: A Group of Veterans Is Equipping Western Fighters Heading to Battle the Islamic State

And it was almost inevitable that when Russian forces got involved, without much if any coordination with the other nations flying heavily armed planes over and around Syria, someone would get shot down sooner or later.

As for the border region over which much of this heavily armed flying happens, it has taken on a life of its own — and a dangerous one.

There’s a strip of formerly Syrian territory between 25 and 50 miles (80 km) wide that runs most of the length of the border between Turkey and the mess to the south. Sometimes called Rojava, it is land held by Syrian Kurds, who — being Kurdish — share the other Kurds’ longstanding enmity towards Turkey. The Turks spend a lot of time bombing the Kurds in this de facto almost-state, even though both are ostensibly fighting against the Islamic State.

Then there are the nearby parts of northern Syria heavily populated by Turkmen people — who are Syrian-born ethnic Turks. Over the last few years, forces representing those people have combined forces into a collection of Syrian Turkmen Brigades. These brigades are reportedly receiving funding, support, and training by Turkish Special Forces. Given that some of the training is supposed to occur on both the Turkish and Syrian sides of the border, it’s not a huge jump to assume that the Turkish “advise and assist” mission involves some number of Turks on the ground in Syria.

The Syrian Turkmen Brigades are roughly aligned with various elements of the Free Syrian Army (FSA), who are opposed to both the Assad regime and IS, but relatively ambivalent toward the Kurds.

Watch VICE News’ PKK Youth: Fighting for Kurdish Neighborhoods

Since the Russians have arrived in Syria, they’ve been bombing from the air various militias and groups they label terrorist, and that includes the FSA-aligned Syrian Turkmen Brigades, which hold territory that for the Russians is dangerously close to their airbase in Syria. Quite predictably, their bombing has resulted in some civilian casualties among the population of Syrian Turks.

Thus the Russians stubbornly insist on bombing targets that aren’t properly part of the Islamic State they are officially fighting, like those forces a few dozen miles away that happen to be not just ethnically Turkish, but supplied, armed, and trained by Turkey.

That’s not going to turn out well.

Indeed, if you look at the flight path of the downed Russian jet and overlay it with maps showing Russian airstrikes, it’s pretty clear that the planes overflew areas likely held by the FSA, if not directly by Syrian Turkmen Brigade units. Early reports don’t indicate whether the Su-24 (a ground-attack aircraft) was on its way back from a bombing raid, but that would certainly be a logical explanation.

So yes, in retrospect, this seems about as inevitable as a scene where a foot is slowly descending on a banana peel.

Which raises questions about why it happened now and what happens next.

That’s hard to say, because this exchange occurs at possibly one of the least opportune (or at least most confusing) moments in the Syrian civil war.

Just a couple days ago, Russians asked nearby Lebanon to shut down its airspace so they could go blow stuff up. This is on the heels of a vigorous round of Russian airstrikes. Those strikes were arguably intended to let France know that Russia is backing France in its response to last week’s brutal bout of terrorist attacks in Paris.

On the other hand, Russian Foreign Minister Sergey Lavrov was scheduled to visit Turkey on Wednesday. That visit has been cancelled. As much as saber-rattling is a time-honored tradition in nation-to-nation diplomacy, actually firing a shot in anger and taking down an aircraft is not normal.

Related: Sorry, France — the US and Russia Aren’t Joining Forces Against the Islamic State Anytime Soon

Similarly, French President François Hollande arrived in Washington on Tuesday in order to seek support for a grand coalition with Russia to take IS down. These talks are starting as the French aircraft carrier Charles de Gaulle is moving into the eastern Mediterranean, bringing French jets in range to hit IS, and the French military is opening new communication channels with their Russian counterparts. Unfortunately, this incident, one that Russian President Vladimir Putin has likened to being stabbed in the back, is going to make an already ambitious diplomatic feat all but impossible.

In the end, and true to the ongoing madness that is Syria, it’s going to be very difficult to dig down, over the next few months, to what actually happened and when. Did Russian jets habitually buzz Turkish airspace on their way back from bombing missions? Was the airspace incursion deliberate or accidental? Why did one pilot turn away and the other stay on course?

Similarly, even as facts are established, the sheer density of coincidences and timing make the immediate consequences completely unpredictable. Politicians who subscribe to the idea that one should “never let a crisis go to waste” will be scrambling to establish competing narratives.

So far, there are few winners in this. The pilot or maybe pilots who find themselves in the hands of Turkey-aligned rebels, rather than of the Islamic State — who immolated the last pilot it captured — are probably having the best worst day of their lives. Or at least better than those guys in the Russian helicopter that got shot down on its way to rescue the downed pilots.

Follow Ryan Faith on Twitter: @Operation_Ryan

Photo via Wikimedia Commons

Topics: turkey, russia, syria, kurds, islamic state, vladimir putin, francois hollande, middle east, defense & security, rojava, syrian turkmen, syrian turkmen brigade, operation inherent resolve, united states, latakia, su-24, f-16, sergey lavrov

SIAPA SUDIRMAN SAID?

SIAPA SUDIRMAN SAID?
Dari FB Sunardian Wirodono

SUDIRMAN SAID | Ingat iklan rokok di televisi, tentang seseorang yang bisa melenyapkan kasus korupsi di Indonesia? Dengan ‘abrakadabra’ ia menyulap kasus korupsi. Dan benar, kasusnya hilang. Korupsinya? Tetep!

Kasus pelaporan Sudirman Said atas tindakan tak patut dari Setya Novanto, herannya justeru mendapat tantangan keras dari kalangan DPR, dari Azis Syamsuddin (Golkar), Fadli Zon (Gerindra), Fahri Hamzah (PKS), Luhut Panjaitan (pemerintah), dan masih banyak lagi. Dorongan yang muncul, justeru ada upaya bagaimana mempidanakan atau melaporkan balik apa yang dilakukan SS. Rizal Ramli, yang konon pro-rakyat dan selalu anti neo-liberal itu, pun juga berkomentar sumir. Komentar orangtua yang post-power syndrome, padahal ia ada di dalam pemerintahan juga.

Kita seolah sedang dikaburkan dari inti masalah yang dilakukan SS. Melaporkan tindakan ‘pelanggaran etika’ seorang anggota parlemen ke mahkamah yang mengurusi persoalan etik anggotanya. Tetapi reaksi berlebihan, dengan berbagai dalihnya (baik yang pokrol bambu maupun seolah benar prosedural-formal), hendak mementahkan atau setidaknya mengaburkan persoalan pokoknya. Azas kepatutan pejabat tinggi negara dalam menjalankan tugas sebagaimana sumpah jabatannya.

Sudirman Said bukan ‘anak kemarin’ sore dalam perjuangan melawan korupsi. Ia tentu tahu persis apa yang dilakukannya, termasuk resikonya. Rekam jejaknya, bisa dibaca dengan jelas. Jokowi memilihnya sebagai Menteri ESDM karena reputasinya tersebut.

Sebelumnya, ia dikenal sebagai tokoh antikorupsi, pekerja rehabilitasi kawasan bencana, eksekutif di industri minyak dan gas, serta direktur utama perusahaan senjata nasional (Pindad).

Kelahiran Brebes (52) ini, Master Bidang Administrasi Bisnis dari George Washington University, Washington, DC, Amerika Serikat (1994). Ia pendiri dan pelaksana Masyarakat Transparansi Indonesia, bersama aktivis anti korupsi lainnya seperti Erry Riana Hardjapamekas, Kuntoro Mangkusubroto, Sri Mulyani, Mari’e Muhammad, dan beberapa tokoh lainnya. MTI bertujuan mendukung percepatan pemberantasan korupsi di Indonesia dengan mendorong penyelesaian beberapa kasus rasuah.

Selain itu juga SS mendirikan Indonesia Institute for Corporate Governance (IICG), untuk mendukung gerakan anti korupsi adalah dengan menciptakan dunia usaha yang sehat, memasyarakatkan konsep, praktik, dan manfaat Good Corporate Governance (GCG) kepada dunia usaha. IICG merupakan salah satu peran masyarakat sipil untuk mendorong terciptanya dunia usaha Indonesia yang terpercaya, etis, dan bermartabat. Organisasi independen ini juga mendorong dan membantu perusahaan-perusahaan dalam menerapkan konsep Tata Kelola (Corporate Governance).

Pada tahun 2001 saat menjabat menjadi Ketua MTI, SS mendorong agar menteri yang terpilih dapat melepaskan jabatannya di parpol dan keterlibatannya dalam dunia usaha. Menurut Sudirman jabatan di partai politik dan keterlibatan dalam bisnis sangat mempengaruhi kredibilitas menteri bersangkutan.

SS bersama Todung Mulya Lubis dan Imam B Prasodjo (sosiolog) mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk menyampaikan hasil audit terkait dugaan korupsi oleh KPU pada Pemilu 2004. Sudirman yang merupakan Ketua Badan Pelaksana MTI, bersama Todung dan Imam mendorong agar Ketua BPK dapat menemui Ketua KPK untuk mempercepat penyelesaian kasus korupsi terkait penyelewengan dana Pemilu.

Bersama Rhenald Kasali dan Bambang Harimurti selaku pendiri MTI mendorong agar dua pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah tidak dikriminalisasi. Sudirman, yang pernah dipercaya menjadi pejabat [enanggung jawab rektor Universitas Paramadina, menilai kasus kriminalisasi Bibit dan Chandra adalah kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi.

Reputasinya dalam BRR-Aceh, mampu mensinergikan ratusan LSM dan para aktivis untuk menyelesaikan masalah Aceh paska Tsunami. Mulai 2013, SS mulai terlibat dalam persoalan migas dan menjadi orang dalam Pertamina, hingga menjadi Executive Director APEC CEO Summit 2013. Dari sini karirnya melesat, hingga ditunjuk Jokowi menjadi Menteri ESDM, selain juga menjadi direktur utama PT Pindad. Pernah juga membuat geram SBY soal pembubaran Petral.

Dengan reputasinya, SS lebih bisa dipercaya daripada SN. Dan kalau dia jadi sasaran tembak yang menihilkan tindakannya, kita tahu siapa saja mereka. Dalam teori freudian, gajah di pelupuk mata cenderung diabaikan karena posisi gajah itulah yang diperebutkan atau ingin dikuasai.

Kenapa para ketua umum partai, seperti SBY, PS, ARB, SP, tak banyak yang berkomentar soal kasus pelanggaran etika SN, padahal ini menyangkut juga kredibilitas partai politik? Karena mereka juga basah kuyup dengan bisnis energi dan sumber daya mineral ini.

Minyak memang basah, dan perubahan selalu menggelisahkan, bagi yang kehilangan comfortable zone yang dikangkanginya selama ini. | Bahan dari berbagai sumber.

Foto Sunardian Wirodono.

TENTANG INTERNATIONAL PEOPLE’S TRIBUNAL

KEPALA BIN ANGGAP PENGADILAN RAKYAT DI DEN HAAG BAGIAN DARI DEMOKRASI
Kamis, 12 November 2015 | 18:09 WIB


JAKARTA, KOMPAS.com – Kepala Badan Intelijen Negara Sutiyoso menganggap Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) yang digelar di Den Haag, Belanda, sebagai bentuk berdemokrasi.
Sutiyoso mengajak agar Indonesia tidak perlu bersikap berlebihan soal digelarnya pengadilan itu.
“Itu pun kita tidak mengakui, saya kira pemerintah Belanda juga,” ujar Sutiyoso, saat ditemui di Ancol, Jakarta Utara, Kamis (12/11/2015).
“Di alam demokrasi seperti ini, membiarkan saja bukan berarti memihak ke mereka. Jadi kita tidak perlu bersikap berlebihan dengan menanggapi soal di sana,” ujarnya.
BIN sendiri, menurut Sutiyoso, sejak awal telah mengetahui siapa penggagas dibentuknya pengadilan yang mengadili kasus pelanggaran hak asasi manusia tahun 1965 di Indonesia.
Namun, Pemerintah Indonesia tidak dapat melarang atau mencegah hal itu dilakukan. Menurut Sutiyoso, berbagai putusan yang dikeluarkan pengadilan tersebut juga bukan keharusan untuk diikuti.
Pertimbangan soal tragedi 1965 hanya dapat dipahami oleh pihak internal.
Sutiyoso optimis bahwa Indonesia tidak akan dikecam jika tidak mengikuti putusan Pengadilan Rakyat Internasional. Menurut dia, publik internasional akan memahami hal tersebut. Apalagi, bukan Indonesia saja yang dituduh melanggar HAM di masa lalu.
“Banyak negara lain, seperti peristiwa di Vietnam, di Afganistan, peristiwa zaman dulu, saat Belanda kepada kita juga banyak kalau mau diungkap,” kata Sutiyoso.
Menurut Sutiyoso, pemerintah telah sepakat dengan mekanisme rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.  “Melalui rekonsiliasi, itu saja lah pegangannya. Sudah, masa lalu itu sudah kita tutup saja,” kata mantan Pandam Jaya tersebut.
Penulis : Abba Gabrillin
Editor
: Bayu Galih
Pembantaian 1965 di Indonesia: Apa Yang Diketahui Amerika Serikat?
Margaret Scott

 

alt

Ilustrasi gambar oleh Yayak Yatmaka

DALAM pertemuannya dengan Joko Widodo, presiden Indonesia yang diterimanya di ruang kerjanya, Oval Office, minggu yang lalu, saya melihat adanya beberapa persamaan antara presiden Barack Obama dengan Joko Widodo,. Keduanya persis seusia, dan Widodo, yang sering dipanggil Jokowi, tampak seperti versi lebih pendek dan lebih kurus dari Obama. Persamaan lainnya: keterkaitan pribadi dengan salah satu pembantaian paling buruk di dunia sejak Perang Dunia II. Pada akhir tahun 1960an, Obama tinggal bersama ibunya di Jakarta, persis pada tahun-tahun ketika pembunuhan terhadap ratusan ribu orang yang diduga sebagai Komunis, sebuah pembersihan yang dirancang secara cermat yang pada akhirnya membawa rejim Orde Baru yang didukung AS ke puncak kekuasaan; Jokowi dibesarkan dalam kemiskinan di Jawa Tengah, di dekat sebuah sungai yang pada tahun 1965 dipenuhi dengan mayat-mayat.

Seperti yang sudah terjadi, sekumpulan dokumen-dokumen intelijen baru saja di-deklasifikasi oleh CIA pada musim gugur ini, yang membuka kesempatan untuk mengkaji kembali kejadian-kejadian tersebut, termasuk keterlibatan AS didalamnya. Selain itu, Jokowi yang mulai menjabat presiden sejak tahun lalu, adalah seorang presiden pertama yang berasal dari luar lingkaran oligarki dan elit-elit politik yang memang sudah tumbuh selama beberapa dekade semasa Orde Baru dan bahkan terus berkembang setelah kejatuhannya pada 1998. Di masa kampanyenya, Jokowi berjanji akan membentuk pemerintahan yang terbuka dan pluralis kepada 250 juta penduduk Indonesia, yang tersebar di 17,000 pulau dan yang merupakan negara dengan jumlah penduduk Muslim terbesar di dunia. Banyak pihak berharap bahwa reformasi yang dibawa oleh Jokowi akan mencakup penanganan terhadap pembantaian yang telah berusia lima puluh tahun ini. Pertanyaannya, apakah Obama siap untuk mendukung Jokowi, yang administrasi pemerintahannya terganggu oleh perlawanan keras terhadap penyelesaian untuk mengatasi apa yang terjadi pada tahun 1965?

Pembantaian massal di Indonesia adalah saat-saat genting dalam Perang Dingin. Subuh hari pada 1 Oktober 1965, enam jendral Indonesia dibunuh oleh sekelompok perwira-perwira muda yang mengaku hendak menghentikan pengambilalihan kekuasaan oleh ‘Dewan Jendral’ yang didukung CIA. Gerakan ini direncanakan dengan sangat buruk dan berantakan hanya dalam waktu dua puluh empat jam. Ketika itu, Indonesia dipimpin oleh Sukarno, seorang kiri revolusioner romantik yang kemudian menjadi otokrat. Negeri ini juga memiliki Partai Komunis terbesar ketiga di dunia, Partai Komunis Indonesia (PKI), yang memiliki kurang lebih tiga juta anggota. TNI-Angkatan Darat dan pemerintahan AS segera menuduh PKI yang berada di balik kudeta ini. (Ada banyak hal yang kita belum tahu tentang rangkaian peristiwa ini, akan tetapi, ketua PKI, D.N. Aidit, paling tidak mengetahui adanya usaha kudeta ini; tidak lama kemudian dia dibunuh oleh TNI-Angkatan Darat). Dengan mengambil kesempatan untuk menjatuhkan Sukarno dan menggulung komunisme, TNI-Angkatan Darat melancarkan kampanye dengan kekerasan yang mengakibatkan kira-kira lima ratus ribu hingga satu juta orang yang diduga Komunis dibunuh – tidak ada yang tahu persisnya.

Pembunuhan enam jenderal, dan cerita-cerita rekayasa bahwa mereka disiksa terlebih dahulu oleh perempuan-perempuan Komunis, dipakai untuk meningkatkan perasaan anti-Komunis. Hanya dalam beberapa hari, TNI Angkatan Darat bersama milisi-milisinya menyebar ke seantero kepulauan ini, menahan siapa saja yang terkait dengan PKI berserta organisasi-organisasi buruh dan taninya. Kemudian, biasanya pada malam hari, mereka yang ditahan dibawa keluar dan ditembak, dipenggal kepalanya, atau ditikam hingga mati. Milisi-milisi binaan TNI-Angkatan Darat umumnya yang melakukan pembantaian ini, yang anggota-anggotanya berasal dari preman-preman atau pemuda anggota dua organisasi Muslim di negeri ini. Para korban dikuburkan secara massal atau dibuang begitu saja ke sungai. Banyak cerita-cerita mengerikan tentang sungai-sungai ini di Jawa, Sumatra, Bali, yang penuh sesak dengan mayat sehingga air berubah menjadi merah.

Untuk administrasi pemerintahan Lyndon Johnson, pertumpahan darah ini merupakan sebuah tonggak kemenangan, yang mengubah perimbangan kekuasaan di Asia Tenggara. Akan tetapi, untuk rakyat Indonesia ini adalah saat-saat mengerikan. Selain pembantaian tersebut, ratusan ribu orang lainnya dijebloskan ke dalam penjara, dan keluarga mereka bersama dengan keluarga korban pembunuhan secara resmi dikucilkan. Ketika pembunuhan berakhir, orang-orang Indonesia hidup dibawah pemerintahan militer pimpinan Jendral Suharto, yang menyebarkan mitos ciptaan bahwa TNI-Angkatan Darat menyelamatkan bangsa ini dari kaum Komunis yang ateis. Tidak ada yang berani untuk berbicara tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Pada tahun 1967, Obama yang berusia enam tahun pindah ke Jakarta bersama ibunya, Ann Dunham, persis ketika Suharto sedang mengonsolidasikan pemerintahannya yang kejam itu. “Sindiran-sindiran, selain setengah bisik-bisik; begitulah yang didapati ibu saya ketika kami tiba di Djakarta kurang dari setahun setelah terjadinya salah satu operasi penindasan yang lebih cepat dan menyeluruh dalam jaman modern,” demikian Obama menulis dalam memoarnya, Dreams of My Father. “Ide ini menakutkan ibu saya, pikiran bahwa sejarah bisa seluruhnya ditelan begitu saja.”

scoot1
Presiden Indonesia Joko Widodo dan Presiden AS Barack Obama di Gedung Putih,
Washington, DC, 26 Oktober 2015.

Akan tetapi, sejak akhir tahun 1990an, ada peningkatan usaha-usaha untuk menemukan kembali sejarah tersebut. Pada 1998, Indonesia bangkit melawan Suharto, yang kediktatoran militernya berlangsung selama 32 tahun. Gerakan ini, yang dikenal dengan nama reformasi, dan kejatuhan Suharto, membawa pada penelisikan baru terhadap peristiwa-peristiwa tahun 1965. Banyak orang Indonesia memberontak terhadap hal-hal tabu dalam membicarakan pembantaian massal, yang mulai mereka selidiki lewat jurnalisme, buku-buku, dan film-film. Pada tahun-tahun terakhir ini, berbagai organisasi lokal juga berusaha untuk menemukan lokasi-lokasi kuburan massal dan memberikan bimbingan kepada para penyintas. Semua usaha ini dibantu oleh dokumen-dokumen milik Amerika. Pada tahun 2001, sekalipun ada usaha dari CIA untuk mencegahnya, AS membuka dokumen-dokumen Hubungan Luar Negeri Amerika Serikat 1964-1968, sekumpulan dokumen Departemen Luar Negeri termasuk didalamnya dokumen-dokumen rahasia tentang pemerintahan pada periode itu. Di sana digambarkan bagaimana pejabat-pejabat AS mendorong pemusnahan PKI, dengan memberikan bimbingan secara rahasia dan mendorong TNI-Angkatan Darat untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Akan tetapi dokumen-dokumen tersebut tidak mengungkapkan kapan perencanaan pembantaian massal itu dibikin, dan kapan AS tahu akan keberadaannya. Beberapa dari pertanyaan tersebut kini terfokus lebih tajam dengan dibukanya lebih banyak dokumen-dokumen CIA pada 16 September, termasuk, untuk pertamakalinya, catatan-catatan tentang apa yang diberitahu oleh CIA kepada Presiden Johnson ketika kudeta yang gagal tersebut menjadi alasan untuk melakukan pembunuhan massal. Didorong oleh keputusan pengadilan, CIA membuka Briefing Harian Presiden pada periode tahun 1961 hingga 1969 yang sebelumnya ditutupi, sesuatu yang dianggap sebagai informasi intelijen yang paling penting dan paling dirahasiakan. Dokumen-dokumen ini memang tidak mengubah dasar cerita tentang 1965 yang telah kita ketahui, tetapi dokumen-dokumen ini juga memberikan bukti terbaik hingga saat ini tentang bagaimana AS mendorong pemusnahan kaum Komunis dan pendukung-pendukung Sukarno yang pro-Cina.

Sekalipun dalam kenyataannya saat itu AS sedang meningkatkan keterlibatannya di Vietnam, Indonesia berada pada urutan pertama dalam brifing harian presiden, mulai dari saat kegagalan kudeta itu pada awal bulan Oktober hingga akhir November tahun itu. Membaca brifing- brifing pada periode ini, membawa kita tenggelam pada analisis administrasi pemerintahan Johnson yang menggambarkannya sebagai sekarang-atau-tidak-sama sekali (kesempatan) “untuk menggulung kaum Komunis” di Indonesia, sebagaimana dinyatakan pada brifing tanggal 4 Oktober. (Ini adalah kurun waktu yang sama yang dijelajahi dalam film-film buatan Joshua Oppenheimer, The Act of Killing [2012] dan The Look of Silence [2014] – yang pertama melalui mata si penjagal dan kedua melalui mata korbannya).

Hari demi hari, Presiden Johnson mendapat laporan terkini tentang gerakan tentara Indonesia melawan kaum Komunis, namun dengan sedikit sekali menyebutkan terjadinya kekerasan didalamnya. “Dari semua indikasi,” demikian brifing harian tanggal 6 Oktober menyebutkan, “para pimpinan Angkatan Darat tampaknya ingin sekali untuk memusnahkan kaum Komunis dan makin waspada terhadap Sukarno sendiri.” Dua hari berikutnya, Johnson diberitahu bahwa “kekuatan para jenderal dalam melawan kaum Komunis masih harus dimantapkan,” dan kemudian ada lima baris dihilangkan. Beberapa brifing menyebutkana terjadinya penahanan-penahanan dan sweeping oleh tentara pada malam hari, namun tidak ada satupun disebutkan adanya pembantaian massal yang berlangsung selama beberapa bulan.

Koran-koran Indonesia tidak melaporkan tentang pembantaian ini juga. Koran The New York Times dan The Washington Post mencatat bahwa terdapat laporan tentang pembunuhan rahasia yang terorganisasi terhadap mereka yang diduga Komunis, akan tetapi Angkatan Darat mengurung pada koresponden asing ini di Ibukota selama beberapa bulan. Hingga bulan Desember, Indonesia tidak lagi menjadi nomor satu dalam brifing-brifing itu, namun tetap tampak secara teratur, dengan laporan berlanjutnya pertarungan kekuasaan Angkatan Darat dan Sukarno, yang masih menganggap dirinya sebagai ‘presiden seumur hidup’ dan tetap didukung karena popularitasnya sebagai pemimpin Indonesia di masa perjuangan kemerdekaan melawan Belanda. Sebagian besar brifing dari bulan Desember hingga Maret menggambarkan secara pelan tapi pasti naiknya kekuasaan orang kuat AD, Jendral Suharto.

Pada 12 Maret 1966, Indonesia kembali memimpin dalam brifing harian. “Saat ini, tentara Angkatan Darat sudah mengendalikan situasi, namun terlalu dini untuk menganggap bahwa Sukarna sudah jatuh untuk selamanya. Rakyat di Djakarta jelas tampak bersama militer dan ibukota dilaporkan tenang,” demikian brifing tersebut. “Masih harus ditunggu apakah tentara Angkatan Darat akan segera bergerak untuk mengonsolidasikan posisinya. Tanda-tanda awal kelihatannya menjanjikan; Partai Komunis akhirnya dinyatakan terlarang.” Pada titik ini, pembantaian besar-besaran umumnya telah berakhir.

Karena dokumen-dokumen yang dibuka ini terkena sensor besar-besaran, banyak rahasia yang tetap tidak terungkap. Obama akan membuat demokrasi Indonesia yang rentan ini jauh lebih baik dengan membantu Jokowi melonggarkan sejarah yang masih banyak dan tersembunyi ini, termasuk berbagai dokumen rahasia seperti laporan harian CIA – yang mungkin akan memberi indikasi berapa banyak jenderal-jenderal tersebut memberitahu CIA dan bagaimana reaksi AS terhadapnya. Namun ini tampaknya mustahil, karena deklasifikasi lebih jauh membutuhkan permintaan yang kuat dari pemerintah Indonesia atau dari sebuah komisi kebenaran.

Ini semua tidaa terlalu menguntungkan untuk Indonesia, yang telah dengan perlahan telah menciptakan politik demokrasi sejak 1998. Tujuhbelas tahun kemudian, Indonesia dan Jokowi terjebak dalam kekacaubalauan yang dramatik namun telah bisa diduga sebelumnya: sebuah semangat berdemokrasi yang harus terus berjuang untuk hidup berdampingan dengan oligarki yang sudah mengakar dan elite politik yang korup. Salah satu alasannya adalah sekalipun Suharto telah lama pergi, sebagian besar elite pada masa kediktatoran Orde Baru – para jendral, para taipan minyak dan batubara, elite politik dan blantik kekuasaan — telah berkembang. Era reformasi telah membawa persaingan tajam dalam pemilihan langsung dan kegaduhan kebebasan pers, namun tidak mampu menanggalkan impunitas tentara, yang tidak pernah mau menanggapi pembantaian massal tahun 1965.

scoot2

Seorang serdadu mengawal para terdakwa Komunis di Tangerang, di luar kota Jakarta,
1 Desember, 1965.

Pertarungan antara kaum reformis dan peninggalan Orde Baru adalah hal yang melatarbelakangi kampanye presiden Jokowi. Dia besar pada tahun 1960an di sebuah kampung miskin di Solo, sebuah kota di Jawa Tengah; pada 2005 dia menjadi walikota Solo yang sangat populer dan terampil menyelesaikan masalah. Dia adalah wajah reformasi, dan selera humornya, kesederhanaannya, blusukannya yang terkenal ke pasar-pasar, dan cintanya yang unik terhadap musik Heavy Metal telah membuatnya menjadi kesayangan pers Indonesia. Dia melambung ke pentas nasional, menjadi gubernur Jakarta pada tahun 2012, dan kemudian pada 2014 berhasil meraih kursi kepresidenan.

Mereka yang memilih Jokowi memiliki harapan yang setinggi langit untuk menghidupkan kembali perjuangan melawan korupsi, dan bahkan usaha untuk mengadili tentara atas pelanggaran hak-hak asasi manusia. Ada perbincangan sebelum peringatan pembantaian 1965 bulan ini bahwa Jokowi akan menawarkan permintaan maaf resmi kepada para penyintas dan keluarga korban. Akan tetapi, tahun pertama Jokowi menjabat mengungkapkan keterbatasan kekuasaanya. Dia tidak mengontrol DPR, dan bahkan partai yang mencalonkan dirinya menolak untuk mendorong agenda-agendanya.

Kelesuan ekonomi Cina telah melukai ekonomi Indonesia, dan pemerintahan Jokowi berusaha keras menciptakan lapangan kerja, sementara sekitar 40 persen rakyat Indonesia hidup dengan $2 per hari atau bahkan kurang. Bencana asap yang mengerikan telah menutup wilayah ini karena pembakaran hutan untuk membersihkan tanah, sebuah metode yang murah yang seringkali dilakukan oleh orang-orang kuat (oligarchs) dan tokoh-tokoh militer yang punya koneksi kuat agar bisa membangun perkebunan kelapa sawit; dan Jokowi tidak mampu berbuat apa-apa. Dan lewat berbagai langkah politiknya yang keliru, Jokowi telah melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga produk reformasi yang paling efektif. Angka poll Jokowi telah menurun drastis, dan jajak pendapat akhir-akhir ini memperlihatkan jika saat ini diadakan pemilihan umum lagi, Prabowo Subianto, politisi mapan yang dikalahkannya pada pemilihan yang lalu, akan mampu mengalahkan Jokowi.

Dengan demikian, tidak terlalu mengherankan bahwa pembicaraan tentang komisi kebenaran atau permintaan maaf atas pembantaian ini kemudian berhenti. Bahkan pada bulan Agustus, para pemimpin parlemen mengatakan bahwa mereka akan menentangnya, sedangkan para jendral pada politisi-politisi Islam garis keras mengingatkan bangkitnya komunis gaya baru yang tidak bertuhan. Jokowi mendengarkan pesan itu. Meluruskan 1965 adalah tindakan politik yang sangat beresiko; terlalu banyak orang yang yang menjadi kaya dan berkuasa karena Orde Baru dan mereka tidak tertarik untuk mengkaji ulang mitos yang menjadi dasar Orde Baru tersebut.

Bahkan diskusi-diskusi tidak resmi pembantaian massal tersebut telah memicu reaksi balik dari kelompok politik mapan. Bulan ini, Indonesia menjadi tamu kehormatan pada Frankfurt Book Fair, dan tiga novelis yang paling menyedot perhatian semuanya menempatkan 1965 sebagai pusat fiksi mereka. Pada hari ketika pesta buku ini dibuka, kelompok-kelompok Islam garis keras melakukan protes di Jakarta dan menyatakan bahwa pengarang-pengarang ini secara aktif memperomosikan komunisme. Bahkan acara sastra tahunan yang digelar di Indonesia, Ubud Writers & Readers Festival, yang dimulai tanggal 28 Oktober, dipaksa untuk membatalkan tiga sesi tentang 1965, termasuk pertunjukkan film karya kedua sutradara Oppenheimer dan sebuah panel diskusi dengan novelis Eka Kurniawan, salah seorang pengarang yang tampi di Frankfurt. Polisi mengatakan jika sesi-sesi tersebut tidak dibatalkan, seluruh festival akan ditutup. “Semangat festival adalah tidak mendiskusikan hal-hal yang akan membuka luka lama,” demikian katanya.

Akan tetapi, banyaknya detail-detail baru yang muncul dari pembukaan arsip-arsip baik di Indonesia maupun di Washington mungkin akan membuat sejarah masa lalu yang kelam itu semakin sulit untuk dihindari. Misalnya, Jess Melvin, seorang mahasiswa doktoral dari Australia, baru-baru ini menemukan, dalam arsip-arsip pemerintahan di Aceh, dokumen-dokumen TNI Angkatan Darat, yang mengkonfirmasikan bahwa pembantaian-pembantaian tersebut diorganisir oleh pihak militer lewat sebuah operasi yang sistematis. Menurut Melvin, catatan-catatan tersebut memperlihatkan rantai komando dan perintah militer yang mendorong pembantaian dan pemberian bantuan yang menjelaskan partisipasi orang-orang sipil dalam pembantaian tersebut. “Dokumen-dokumen ini,” tulisnya, “memperlihatkan bahwa kepemimpinan militer mengerti dan menerapkan apa yang mereka namakan ‘pemusnahan PKI’ sebagai sebuah operasi nasional yang disengaja dan terpusat.”

Duta besar Amerika di Indonesia pada waktu itu, Marshall Green, di dalam berbagai wawancara dan memoarnya menyatakan bahwa dukungan rahasia AS kepada tentara Indonesia pada waktu itu hanyalah beberapa walkie talkie dan obat-obatan. Namun dari arsip tahun 2001 dan dari laporan-laporan pers, kita tahu bahwa kedutaan besar Amerika di Jakarta juga memberikan daftar nama-nama anggota-anggota PKI kepada TNI Angkatan Darat – mungkin ada ribuan nama. Dan brifing harian (kepada presiden) juga mengisyaratkan adanya keterlibatan AS yang lebih besar (dalam pembantaian itu). Akan tetapi, cerita yang lebih lengkap hanya mungkin didapat jika ada lebih banyak dokumen AS dan catatan-catatan TNI-Angkatan Darat dibuka untuk umum.

Amerika Serikat telah berbuat banyak untuk membuka rahasia-rahasia Perang Dingin, namun dia bisa berbuat lebih banyak lagi. Perjuangan Indonesia menjadi sebuah negara demokratik dan terhindar dari kembalinya pemerintahan oleh satu orang kuat, sebagian tergantung dari pengetahuan akan sejarah masa lalunya. Obama tahu persis akan hal ini dan, sebagai presiden, dia memiliki kekuasaan untuk membantu mengisi catatan sejarah ini.***

Penulis adalah wartawan Amerika yang menulis tentang Indonesia dan adjunct professor di New York University’s Wagner School of Public Service.

*Diterjemahkan dari judul asli “The Indonesian Massacre: What Did the US Know?”, November 2, 2015 oleh Made Supriatma. From The New York Review of Books Daily. Copyright © 2015 by Margaret Scott. Dimuat ulang di sini dengan tujuan Pendidikan.[]

 

Harian IndoProgress,9 November 2015

TENTANG TRAGEDI KEMANUSIAAN SEPTEMBER 1965

INTERNATIONAL PEOPLE’S TRIBUNE
AMNESTY INTERNATIONAL
PUBLIC STATEMENT

Index: ASA 21/2785/2015
30 October 2015
Indonesia: Stop silencing public discussions on 1965 violations
Amnesty International is concerned about continued attempts by the Indonesian authorities to silence public discussions, and disband events, related to serious human rights violations that occurred 50 years ago, the most recent at a writers festival in Bali. These actions are a clear restriction of the rights to freedom of expression and assembly and must end immediately.
In the wake of a failed coup attempt on 30 September 1965, the Indonesian military – led by Major General Suharto – launched an attack against members of the Indonesian Communist Party (PKI) and suspected sympathizers. Over the following two years, it is reported that between 500,000 and one million people were killed. An investigation by the Indonesian National Human Rights commission also found other human rights violations including torture, enforced disappearances, rape, sexual slavery and other crimes of sexual violence. Hundreds of thousands of people were imprisoned without trial – many spent years in jail. Victims still continue to face discrimination.
Although Indonesia has seen a marked increase in the space for freedom of speech and expression following the fall of Suharto in 1998, a culture of silence has prevailed in discussing the 1965 mass human rights violations.
This pattern of suppression continued last week when Indonesia authorities threatened to revoke the permit of the internationally acclaimed Ubud Writers and Readers Festival if any events concerning 1965 went ahead. This forced the organisers to cancel three panel sessions dedicated to the victims of 1965, a screening of Joshua Oppenheimer’s Look of Silence, and an art exhibit and book launch for the Act of Living. This is the first time in the festival’s 12 year history that the authorities have interfered with the festival.
This has not been an isolated incident. Earlier in October, police in Salatiga, Central Java confiscated and burnt hundreds of copies of Lentera magazine, run by the Satya Wacana University’s Faculty of Social and Communication Studies in Salatiga, because it featured an in depth report and front cover to commemorate the 50th anniversary of the violence.
On 15 October, a survivor of the 1965 killings, now a Swedish citizen, was deported from Indonesia after being interrogated by police for almost 12 hours. He has reportedly been blacklisted from returning to the country after attempting to visit his fathers’ grave, who had been killed during that time, in West Sumatra.
Private meetings or public events organized by victims about the 1965 events have often been disbanded by the authorities or broken up by vigilante groups with police doing nothing to prevent the harassment.
Victims and survivors of serious human rights abuses have a right to exercise their freedom of expression and discuss the past. In the absence of genuine measures by the government to date to establish the truth, Amnesty International believes that public events and discussions on the 1965 violations such the Ubud Writers and Readers Festival Indonesia play an important role in providing such spaces. These events can help victims and their families understand what happened to them, counter misinformation and highlight factors – such as discrimination – that led to the abuses. Such spaces, allow societies to understand why abuses were committed so that they are not repeated.
In October 2014, President Joko ‘Jokowi’ Widodo entered office and committed to respecting and protecting human rights in Indonesia, including addressing past human rights abuses in the country. In May 2015, the government announced a non-judicial mechanism to resolve past human rights abuses, including 1965 violations. Victims and NGOs are concerned that this process may prioritize reconciliation and undermine truth and justice.
Amnesty International believes it is time that the Widodo administration face the past and take long overdue measures required to provide the 1965 victims with truth, justice and full reparation. President Widodo should make a public call to end to all forms of restrictions against public discussions on 1965 and ensure that the government starts listening to victims and others, instead of supressing their voices.
Ends

Indonesia: Stop silencing public discussions on 1965 violations



Ulf B Andersson, Editor
Amnesty Press
P O Box 4719
SE-116 92 Stockholm
Tel: + 46 (0)8 729 02 00
Fax: + 46 (0)8 729 02 01
Webpage: amnestypress.se
Visiting address: Alsnögatan 11, Stockholm

 

 

AKUI DULU PEMBANTAIAN,BARU MINTMAAF.
BY WEBMASTER • OCTOBER 27, 2015
http://1965TRIBUNAL.ORG/ID/AKUI-DULU-PEMBANTAIAN-BARU-MINTA-MAAF/

Bagi Aiko Kurasawa, Jakarta sudah seperti kampung halamannya yang kedua. Sejak 1972 hingga sekarang, di usia menginjak 68 tahun, profesor emeritus dari Universitas Keio itu rutin bolak-balik Tokyo-Jakarta. Baik untuk riset maupun sekadar menikmati suasana kampung di pinggiran Sungai Ciliwung, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Ia pernah dua tahun tinggal di kawasan elite Permata Hijau, tapi kemudian merasa lebih nyaman di Lenteng. “Sejak 1997, saya tinggal di sini. Kedua anak saya tumbuh dan besar di rumah ini,” kata Aiko tentang rumahnya yang berdiri di atas lahan seluas 1.300 meter persegi itu.
Di awal kariernya sebagai akademisi, ia sempat dimusuhi orang-orang tua di Jepang. Disertasinya tentang pendudukan Jepang di tanah Jawa, yang mengantarnya meraih PhD dengan yudisium cum laude dari Universitas Cornell pada 1988, dianggap banyak mengumbar aib tentara Jepang dan lebih berpihak kepada Indonesia. Disertasi yang ia tulis selama 20 tahun itu telah diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh Grasindo (1993) dan Komunitas Bambu (Januari 2015).
Salah satu yang membuatnya mendalami tentang Indonesia adalah peristiwa G-30-S 1965. Aiko, yang kala itu baru lulus SMA, tak mengira Bung Karno yang sangat dicintai mayoritas orang Jepang tiba-tiba jatuh. Padahal Bung Karno terlihat kuat dan pengaruhnya besar sekali. “Apa masalahnya… ini yang mendorong saya mempelajari Indonesia,” kata Aiko.
Beberapa jam sebelum terbang kembali ke Tokyo, Aiko menerima Majalah detik untuk membahas seputar G-30-S dari perspektif Jepang. Berikut ini petikannya:
Terkait G-30-S, selain merupakan aksi sepihak PKI, ada yang menyebutnya sebagai buatan CIA, konflik internal AD. Kalau versi Jepang?
Boleh dikatakan tidak ada. Tidak ada yang secara jelas mengekspresikan salah satu interpretasinya. Jadi peneliti Jepang rata-rata menghindari memberi interpretasi yang jelas. Saya sendiri belum berani memberi keputusan.
Jadi Jepang baru mengerti setelah para jenderal diculik?
Dalam arsip-arsip di Departemen Luar Negeri Jepang sama sekali tidak menyinggung aksi sepihak. Mungkin ada, tapi belum dibuka. Saya tidak tahu. Tapi arsip yang saya baca sama sekali tidak menyinggung aksi sepihak itu.
Tapi Jepang memantau konflik antara komunis dan tentara sebelum peristiwa G-30-S?
Kalau soal persaingan antara Angkatan Darat dan PKI, pemerintah Jepang mengerti. Itu politik di tingkat pusat. Jepang memantau. Tapi boleh dikatakan pemerintah Jepang tidak terlalu mengerti situasi di daerah.
Setelah meletusnya peristiwa G-30-S?
Semula Jepang merasa yakin Sukarno mampu mengendalikan kaum komunis. Tapi, sekitar Oktober atau November 1965, Sukarno kelihatan sangat lemah dan tidak bisa mengendalikan, baik tentara maupun kaum komunis. Sukarno tidak bisa mencegah pembantaian. Karena itu, Jepang sedikit demi sedikit mengambil jarak dengan Sukarno. Mengambil posisi diam, wait and see. Tidak berbuat apa-apa. Pasif.
Memang di Jepang ada kubu yang tetap bersimpati pada Sukarno, yang diwakili Duta Besar Jepang Saito. Dia teman lama Bung Karno pada zaman Jepang bekerja sama di Gunsei Kanbu. Keduanya berteman akrab. Meski begitu, pada pertengahan atau akhir November, dia juga terpaksa mengambil keputusan pemerintah. Sebab, Sukarno tidak bisa mengikuti realitas politik. Masih ingin membela PKI dan mengatakan CIA berada di belakang peristiwa tersebut. Ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan politik pada waktu itu. Dubes Saito juga mulai menyadari demikian. Kubu kedua memang agak keras pada Bung Karno, tapi tidak berani mengatakannya karena mainstream mendukung Bung Karno. Beberapa businessman ada di kubu ini. Mereka ada yang mendorong pemberontakan PRRI.
Apa karena mereka merasa bisnisnya terancam Sukarno?
Jepang tidak mempunyai kepentingan bisnis yang banyak di Indonesia pada waktu itu. Belum menanam modal. Beda dengan Amerika dan Inggris yang, sebelum Indonesia merdeka, sudah ada pertambangan. Kekayaan Jepang semua sudah diambil saat Jepang menyerah pada Sekutu. Waktu itu, semua kekayaan dan perusahaan yang terkait Jepang di Indonesia direbut kembali oleh Belanda. Jadi Jepang sudah tidak punya apa-apa di Indonesia. Beda dengan Amerika dan Inggris, yang selalu khawatir perusahaan mereka akan diambil alih oleh Bung Karno.
Bagaimana posisi Sukarno di mata pemerintah Jepang sebelum G-30-S?
Boleh dikatakan hubungan antara Jepang dan Bung Karno itu sangat baik. Negara-negara Barat banyak khawatir pada Bung Karno karena dinilai terlalu “kiri” dan terlalu ekstrem. Tetapi Jepang tidak begitu khawatir pada Bung Karno. Jepang membedakan komunisme dengan nasionalisme. Sukarno pun dinilai masih mampu mengendalikan Partai Komunis Indonesia. Mungkin bisa dikatakan Jepang menaruh simpati pada nasionalisme Sukarno.Setelah Perang Dunia II, kan Jepang dalam pengawasan Amerika.
Kedekatan dengan Sukarno tak menjadi masalah?
Posisi Jepang dengan Amerika memang berbeda terhadap Indonesia. Padahal, kalau hal lain, hampir sehaluan. Artinya, Jepang bersimpati ke Sukarno tapi Amerika tidak suka. Namun Amerika membiarkan posisi Jepang seperti itu. Karena mereka ingin memanfaatkan posisi Jepang. Melalui Jepang, Amerika bisa mendapatkan informasi. Kadang-kadang kalau ingin menyampaikan sesuatu pada Indonesia bisa melalui Jepang. Jadi Jepang boleh dikatakan dimanfaatkan.
Ketika Bung Karno dikucilkan Soeharto, ada upaya dari Jepang untuk meringankan beban Sukarno?
Tidak. Justru karena itu Dewi kecewa pada Jepang. Sebelumnya, hubungan dengan Bung Karno sangat baik, lalu sikap Jepang menjadi terlalu dingin. Membiarkan Bung Karno dikucilkan.
Selain pengaruh tekanan Amerika dan Inggris, apa yang menyebabkan Jepang seperti itu?
Sudah jelas, Jepang sendiri itu negara antikomunis. Meskipun bersimpati pada Sukarno, tapi tidak suka pada komunis. Kalau komunis hancur, Jepang juga senang.
Benarkah Jepang pernah menawarkan suaka kepada Bung Karno?
Dalam arsip Deplu tidak ada buktinya. Tapi saya pernah dengar dari seorang mantan menteri Bung Karno, namanya Setiadi. Dia menteri kelistrikan pro-Sukarno. Setiadi pernah dikirim ke Jepang sekitar Oktober-November. Menurut Setiadi, pemerintah Jepang, meskipun tidak secara resmi, menanyakan apakah Bung Karno mau mencari suaka atau tidak. Mungkin, kalau mau, Jepang menerima. Dan ada rumor di Jepang pada waktu itu, mungkin Bung Karno mencari suaka di Jepang. Saat Dewi (Ratna Sari Dewi, perempuan Jepang yang menjadi istri Bung Karno) datang ke Jepang pada Januari 1966, di media ada isu, mungkin Bung Karno akan ikut. Kalau Bung Karno meminta, saya kira Jepang akan menerima.
Seberapa signifikan peran Ratna Sari Dewi dalam hubungan Indonesia-Jepang?
Kalau sebelum G-30-S, peranannya penting karena waktu itu perusahaan tidak ada yang menanam modal di sini tapi banyak perusahaan Jepang yang ikut proyek pampasan perang. Tapi kan tender terbuka tidak ada, hanya tergantung pada Bung Karno mana yang disenangi. Peranan Dewi penting di situ sebagai pengantar dan mendorongkan Bung Karno mungkin agak gampang mendapatkan proyek itu. Sebelum Dewi, ada perempuan lain yang jadi penghubung. Nama marganya Kanesue. Perempuan ini akhirnya bunuh diri, mungkin karena dia putus asa kalah bersaing dengan Dewi. Tapi berita tentang dia tidak terlalu diekspos.
Siapa yang memperkenalkan dua perempuan ini pada Sukarno?
Perusahaan-perusahaan Jepang. Jadi perusahaan saling bersaing. Siapa yang mengenalkan perempuan yang cantik dan disenangi Bung Karno, itu yang menang. Yang paling hebat waktu itu Tonichi Trading Company, satu lagi Kinoshita Trading Company. Tonichi yang memperkenalkan Dewi.
Ada pengaruh Dewi saat Orde Baru bagi bisnis Jepang di Indonesia?
Tidak bisa lagi. Dia sudah kembali ke Jepang sekitar Oktober 1966 untuk melahirkan. Setelah itu, tidak bisa kembali ke Indonesia lagi. Dia baru kembali menjelang Bung Karno meninggal pada 1970.
Investasi Jepang justru besar saat Orde Baru….
Itu memang wajar karena ekonomi Jepang saat itu sudah cukup kuat. Jepang mencari tempat menanam modal di luar negeri. Setelah Indonesia ada UU Penanaman Modal Asing, pemerintah dan perusahaan Jepang segera mengambil tindakan.
Menggunakan mediator seperti Dewi?
Yang memegang peranan penting itu Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri. Dia punya kawan-kawan dari Jepang yang dekat. Mantan tokoh-tokoh Gunsei Kanbu (pemerintah militer) yang sudah kenal dengan Adam Malik punya peranan penting di Jepang.
Jepang pernah menjajah dengan kejam tapi tak ada sentimen anti-Jepang ketimbang anti-Cina, ya?
Sentimen itu relatif lemah dibandingkan negara-negara Asia Tenggara yang lain. Pemerintah Orde Baru tidak begitu senang jika ada rasa dendam pada Jepang. Karena mereka mementingkan hubungan ekonomi. Opini masyarakat itu didorong oleh pendapat pemerintahnya. Pemerintah Indonesia sendiri tidak suka kalau Jepang dikritik. Ini perasaan saya, ya, terutama pada masa Orde Baru. Pernah dengar kasus film Romusha tahun 1972 atau 1973? Film ini sudah lulus sensor, hampir mulai tayang, tapi tiba-tiba dilarang. Waktu itu, ada rumor ada tekanan dari pemerintah Jepang. Pemerintah Jepang itu sangat sensitif, walau ada sedikit kritikan, mereka tidak senang. Pemerintah Orde Baru yang sudah tahu itu agak hati-hati supaya tidak menyinggung orang Jepang.
Waktu isu jugun ianfu muncul, sikap pemerintah Indonesia tidak sekeras Korea Selatan atau Filipina. Pemerintah Indonesia tidak terlalu mendukung perjuangan ibu-ibu mantan jugun ianfu.
Anda punya pendapat soal wacana rekonsiliasi yang kembali menghangat?
Paling tidak, pemerintah harus mengakui dulu bahwa ada pembantaian. Tapi, untuk sementara, secara resmi tidak mengakui, kan. Tidak mungkin aparat diadili atau pembayaran kompensasi. Saya kira itu tidak realistis. Tapi, kalau mengakui adanya pelanggaran HAM, itu bisa saja. Saya rasa salah satu sebab Gus Dur digulingkan karena dia terlalu membela PKI.
Selama ini yang banyak disorot hanya korban dari pihak PKI, sebaliknya keluarga para ustad yang jadi korban PKI tidak?
Soal itu, kita harus mengadakan penelitian yang benar. Aksi sepihak pun penelitiannya belum cukup. Saya juga heran mengapa seperti itu. Mestinya, kalau itu benar terjadi (kekerasan oleh PKI terhadap para ustad), rezim Soeharto mendorong untuk diadakan penelitian. Tapi tidak, kan? Maka itu, saya masih ragu. Mungkin betul ada yang dibunuh, tapi apakah secara massal, saya masih ragu. Kalau betul secara massal, pasti banyak diketahui. Apalagi negara Barat, seperti Amerika, jika ada pembantaian pada unsur Islam yang dilakukan PKI, pasti akan di- blow-up . Jadi saya tidak berani bilang ada, tapi tidak berani juga bilang tidak ada.
Dr. Aiko Kurasawa, adalah penulis buku Peristiwa 1965, Persepsi dan Sikap Jepang , yang baru diterbitkan Penerbit Kompas, September 2015

VATICAN SURVEYS CHURCH WORLDWIDE ON RESPONSE TO SOCIAL AND FAMILY MATTERS

Vatican surveys church worldwide on response to social and family matters
Questions on birth control, divorce and gay marriage designed to gather global snapshot of Catholic attitudes

Pope Francis:

Pope Francis: Pope Francis: emphasis on local leaders. Photograph: Alessandra Tarantino/AP Associated Press in New York

The Guardian, London, Friday 1 November 2013 04.07 GMT
Last modified on Friday 20 June 2014 13.11 BST

The Vatican is conducting a worldwide survey on how parishes deal with sensitive issues such as birth control, divorce and gay marriage, seeking input ahead of a meeting on the family that Pope Francis plans next year.

The poll was sent in mid-October to every national conference of bishops with a request from the Vatican co-ordinator, Archbishop Lorenzo Baldisseri, to “share it immediately as widely as possible to deaneries and parishes so that input from local sources can be received”.

The survey reflects the pope’s pledges to move away from what he called a “Vatican-centric” approach towards one in which local church leaders are more involved in decision-making.

Among the questions are whether gay marriage is recognised in their country and how priests minister to same-sex couples, including how churches can respond when gays seek a religious education or Holy Communion for their children. The poll also asks “how is God’s mercy proclaimed” to separated, divorced and remarried couples. Additional information is sought on the pastoral care of men and women who live together outside marriage. The survey also asks parishes whether they believe married men and women tend to follow church teaching barring the use of artificial contraception.

The US National Catholic Reporter reported the survey on Thursday and posted a copy online.

Helen Osman, a spokeswoman for the US Conference of Catholic Bishops in Washington, confirmed plans for the poll to the Associated Press.

“It will be up to each bishop to determine what would be the most useful way of gathering information to provide to Rome,” Osman wrote in an email. In England, bishops have posted the survey online to be filled in by a wide range of Catholics, including priests, lay people, parents and nuns.
Advertisement

The poll findings will help set the agenda for an extraordinary synod of the presidents of national bishops conferences in October 2014.

The introduction to the survey lays out a broad list of concerns which the document says “were unheard of until a few years ago”, including single-parent families, polygamy, interfaith marriages and “forms of feminism hostile to the church”. Surrogate motherhood is lamented in the document as “wombs for hire”, and the survey cites as a new challenge “same-sex unions between persons who are, not infrequently, permitted to adopt children”.

Francis has said the church needs to do a better job preparing young people for marriage, lamenting that newlyweds seem to think marriage is not a lifelong commitment but just a “provisional” one. At the same time, he has said the church process for annulling marriages is not working and must be reviewed.

The pope’s emphasis on reforming the Vatican bureaucracy and boosting the participation of local church leaders and lay people has prompted speculation about how far-reaching his changes could be.

He has urged pastors to focus on being merciful and welcoming rather than emphasising only such divisive issues as abortion, gay marriage and contraception. At the same time, he has made clear his support for traditional marriage and opposition to abortion.

The introduction to the survey extensively quotes former popes and the Catholic catechism on marriage being the union of a man and a woman for the purpose of having children.

Baldisseri, secretary-general of the Synod of Bishops, wrote in his letter that the meeting next year would be followed by another on the same topic in 2015.[]

CATHOLIC CHURCH PREPARES FOR CONFLICT ON ALLOWING HOLY COMMUNION FOR DIVORCES

Catholic church prepares for conflict on allowing holy communion for divorcees

Before next month’s summit, conservative cardinals have collaborated on a book opposing liberalisation of current rules
Pope Francis


Pope Francis’ position on the debate is not known, although he has repeatedly called for the Catholic church to be more inclusive. Photograph: Franco Origlia/Getty Images

Lizzy Davies in Rome

The Guardian, London, Wednesday 17 September 2014 16.31 BST
Last modified on Wednesday 17 September 2014 23.35 BST

The leadership of the Roman Catholic church is bracing itself for open conflict over its treatment of remarried divorcees as powerful conservatives mobilise before a highly anticipated summit called by Pope Francis for next month.

Ever since he announced the extraordinary session of the synod of bishops last year, the Argentinian pontiff has raised the hopes of many liberals that the church may ease its ban on divorced and remarried Catholics receiving holy communion – a move that could affect millions of people around the world.

In February, in an address setting the scene for the meeting due to start on 5 October, German cardinal Walter Kasper outlined the case for a loosening of the rules that would eventually allow some people access to the sacraments after a period of “penance”.

But his views are by no means shared by all the so-called princes of the church, some of whom are taking a harder line and insisting that such a proposal would, in effect, violate the doctrine on the permanence of marriage.

It emerged on Wednesday that five leading conservative cardinals have collaborated on a book to be published simultaneously on 1 October in the United States, Italy, Spain, France and Germany in which they make clear their opposition to Kasper’s vision.

“It [Kasper’s proposal] is being talked about as a form of not recognising the second marriages of divorced and remarried Catholics, but simply looking past them, of tolerating them, and allowing those individuals who are Catholics under certain circumstances … to go to confession and subsequently to go to communion on a regular basis. We oppose that solution as a false form of mercy and we’re united on that,” editor Robert Dodaro told the Guardian. “It’s false mercy in the sense that it ignores the status of the original marriage, which we believe to be indissoluble.”

Dodaro, who is president of the patristic institute Augustinianum, said the timing of the book’s publication, just five days before the two-week synod was due to begin, was not intentional. But there is little doubt the collection of essays – by scholars and cardinals including Gerhard Ludwig Müller, the prefect of the powerful Congregation for the Doctrine of the Faith – represents the drawing of battle lines.
Advertisement

Although Francis has not come down clearly on either side, his repeated calls for the church to become more inclusive and less ruled by casuistry – as well as the decision to ask Kasper to make his address in February – has led many to suspect his sympathies lie with those who want an easing of the ban, even if he has also spoken of the need for “clear doctrine” on the “indissolubility of Christian matrimony”.

Kasper has long advocated allowing access to the sacraments to divorcees who remarry without an annulment; in the past his efforts have seen him clash with the hierarchy. Francis, however, praised the German’s theology in his first angelus as pope.

Surveys have shown that the ban on holy communion for remarried divorcees is one of the most problematic for ordinary Catholics around the world. A poll commissioned by the US Spanish-language network Univision of more than 12,000 Catholics in 12 countries found that more than half (58%) disagreed with the church’s stance.

Observers say a likely compromise is the streamlining of annulment cases, providing more people with the option of having a church court declare that the union was invalid and therefore not a real marriage.

• Remaining in the Truth of Christ: Marriage and Communion in the Catholic Church includes essays by Müller, his German colleague Walter Brandmüller and the American cardinal Raymond Burke, alongside Italians Carlo Caffarra and Velasio de Paolis.[]

POPE FRANCIS: REVITALISING THE CATHOLIC CHURCH

 

Pope Francis: revitalising the Catholic church

After years of crisis, the Catholic church may have found itself a new saviour. But can Pope Francis really make a difference? Julian Coman reports from Rome
Pope Francis standing in his vehicle in the sun at St Peter’s Square

Pope Francis standing in his vehicle in the sun at St Peter's Square
In the name of love: Pope Francis extends a blessing to more than 10,000 engaged couples in St Peter’s Square at the ‘festa dei fidanzati’, or Lovers’ Party, on Valentine’s Day. Photograph: Gianluca Panella for the Observer Gianluca Panella/Observer

Julian Coman

The Guardian, London, Sunday 9 March 2014 00.05 GMT
Last modified on Tuesday 3 June 2014 08.20 BST

On St Valentine’s Day last month, after days of rain, Rome suddenly found itself bathed in warm sunshine. The canopy of cloudless blue materialised just in time, because in St Peter’s Square around 10,000 engaged couples, from 40 countries, were gathering to receive papal blessings.

As with any event that involves Pope Francis, the level of interest outstripped all expectations. This, after all, is a pope enjoying his own extended honeymoon period. Intended for the cavernous Pope Paul VI auditorium, the first-ever festa dei fidanzati, or lovers’ party, had to be transferred to the biggest Catholic stage of all.

There might have been a downpour, but of course there wasn’t. As usual, in the first 12 months of what is turning out to be a game-changing papacy, things worked out brilliantly. “It was so great for us to be here,” said Lucia Huang, who will marry her fiancé, Antony Lai, this December. The couple had travelled 6,000 miles from Taipei to be there. “In Taiwan this pope is a hero,” added Lucia. “We know all about his small car and the way he lives.”

The Pope, Jorge Bergoglio, did not disappoint. Before extolling the virtues of a love “per sempre” (for ever), he even gave the crowd a mildly risqué joke. “We all know there isn’t a perfect family, neither a perfect husband nor a perfect wife. And let’s not talk about the perfect mother-in-law,” he said. The young crowd loved it.

Within a year, Bergoglio, formerly Archbishop of Buenos Aires, now leader of the world’s 1 billion-plus Roman Catholics, has transformed the plummeting reputation of the 2,000-year-old institution he leads. Veterans have been left open-mouthed. Sean-Patrick Lovett, director of English programming at Vatican Radio, came to Rome in 1977. He has seen Pope Paul VI, John Paul I, John Paul II and Benedict XVI come and go. But he has never witnessed anything like this. “In recent times it’s felt like I’ve had to defend my faith, to defend the fact that I am a Catholic,” says Lovett. “Now I’ve never been so proud to be a Catholic working in the Vatican. At the moment I am just enjoying the man. I’m drawing inspiration from him.”

It’s not only Catholics who are impressed. Way beyond the ranks of the faithful, the first Latin American pontiff has wowed the world. Analyses, encomiums and awards have tumbled forth at a dizzying pace. The liberal American media cannot get enough of him. Time magazine pronounced Francis man of the year. Gawker, the American gossip site, took time out to salute the man it called “our cool new pope”. In January Rolling Stone magazine, home to profiles of the likes of Britney Spears and Johnny Depp, ran a 10,000-word piece. Even graffiti artists have done their bit: one wall close to St Peter’s basilica carries a portrait of the 77-year-old Argentine as Superman in a cassock.

What on earth is going on? A year ago the Catholic church was arguably at its lowest ebb since the Reformation. The shy, intellectual and conservative Benedict XVI had just astonished the world by retiring in exhaustion, the first pope to retire since Gregory XII in 1415. There was outrage at ongoing sex abuse scandals and associated cover-ups – Cardinal Keith O’Brien had just resigned his position after an Observer exposé of his sexual misconduct. Benedict’s butler, Paolo Gabriele, had leaked private documents from Benedict’s personal desk in an attempt to expose corruption within the Roman Curia. The Vatican bank was under investigation over money laundering. Amid the chaos, pews in Europe and the United States were emptying as parishioners, appalled at revelations of paedophile priests, joined those alienated by an aloof church’s obsession with issues of sexual morality.

Even in Latin America, Bergoglio’s backyard and a modern bastion of Catholicism, the pentecostal and evangelical churches were on the rise. A revolution was required. According to Catholic tradition, the conversion of St Francis of Assisi took place when Christ called out to him from a crucifix in the crumbling medieval church of San Damiano: “Francis, rebuild my house, which is falling into ruins.” Given the dire circumstances 800 years later, it is easy to see why returning to the legacy of one of the church’s best-loved saints appealed to Bergoglio last March.

The choice of name, a papal first, was greeted with cheers from the 115 cardinals who had just elected him. But did they – did anyone – expect what has followed? Elected at a time of crisis, Pope Francis has emulated his namesake by choosing poverty, humility and solidarity with the poor as the route map to the church’s salvation. In the Sistine Chapel a year ago, he called on the church to “come out of herself and to go to the peripheries” of life to meet the marginalised and the excluded. Days later he told assembled journalists that he wants a “poor church for the poor”. Many religious figures have said the same through the ages. But the first non-European pope for more than a millennium appears to mean it. The question is: can he deliver? And what would that church look like?

A papal critique of capitalism is nothing new. Back in 1891, as Marxists plotted revolution across the continent of Europe, Leo XIII condemned “the misery and wretchedness pressing so unjustly on the majority of the working class”. Even Pope Benedict XVI, maligned by liberals as a slightly sinister conservative with a taste for expensive shoes, used his final New Year address to point to “hotbeds of tension and conflict caused by growing instances of inequality between rich and poor”. But Benedict’s case was not helped by his affection for the many trappings and privileges of papal power. One priest based in Rome recalls a speech on social justice delivered in Benedict’s native Germany. “It was a great speech. And then he left with an entourage of 20 limousines and two helicopters. He just didn’t see any contradiction.”
Children pose next to a street mural of Pope Francis as a superman

Children pose next to a street mural of Pope Francis as a superman
Julian Coman: ‘Way beyond the ranks of the faithful, the first Latin American pontiff has wowed the world’. Pictured: a mural in Rome, near the Vatican. Photograph: Gabriel Bouys/Getty

Francis, by contrast, is talking the talk and walking the walk. With relish, he has ridden roughshod over the conventions of the papacy. Rather than follow his predecessors and occupy the Apostolic Palace (“You could fit 300 people in here!” he apparently told aides), he chose to stay on at the modest Casa Santa Marta guesthouse, his home during the conclave. He has rejected the traditional red mozzetta lined with ermine, and the red shoes to which Benedict was so attached, in favour of black boots and a plain white cassock. Instead of the usual pectoral cross of gold, he wears an inexpensive metallic-looking crucifix which he brought from Buenos Aires (the look is apparently catching on in the Vatican). He travels around Rome in a blue Ford Focus. From the moral high ground of this conspicuous lack of consumption, Francis has given the denizens of the world’s boardrooms, banks and offshore tax havens a rare old dressing down.

In his tub-thumping first encyclical, Evangelii Gaudium (The Joy of the Gospel), Francis threw down the gauntlet to the wealthy in a way no pope has ever done before. “While the earnings of a minority are growing exponentially,” reads one passage, “so too is the gap separating the majority from the prosperity enjoyed by those happy few.” After taking a swipe at “self-serving” tax evaders, Francis issues a startlingly direct message to the rich and powerful: “The pope loves everyone, rich and poor alike, but he is obliged in the name of Christ to remind all that the rich must help, respect and promote the poor.”

In January the same message was delivered in a papal letter read to the global business elite at Davos. Father Michael Czerny, who works at the Pontifical Council for Justice and Peace, was there. “Francis was saying to them: ‘You’ve done well; you’ve been given intelligence, creativity, capacity for innovation. You’ve earned well and now you must put these gifts to work. Now you must address the problem of those who are systematically excluded.’ In the room there was warm applause. So it’s up to them. We’ll see.”

Among Catholics who have long campaigned for social justice but found that cause submerged beneath controversies over gay marriage and abortion, there is a sense of relief and release. “It feels like there is a new sense of energy,” said Sarah Teather, the Liberal Democrat MP. “Francis has helped create a following wind for people working behind the scenes to alleviate poverty and social exclusion. You can feel it when church leaders such as Cardinal Nichols speak. They have spoken like that before, but now there is a real connection and authority there.” Non-Catholics are also taking note. In his Hugo Young lecture last month, Labour leader Ed Miliband argued that dealing with inequality had become a political priority in a way not seen for generations, adding: “We have a pope who says the same.”

In some of the wealthier outposts of the church, the response has been a good deal frostier. From Boston, the billionaire founder of Home Depot, Kenneth Langone, told the Archbishop of New York, Cardinal Timothy Dolan, that the pope’s strictures were endangering philanthropic efforts to restore St Patrick’s Cathedral at a cost of $180m. A devout Catholic, Langone pointed out that Americans were among the biggest charitable donors in the world and expressed the hope that the pope would in future “celebrate a positive point of view rather than a negative one”. The conservative radio talk show host Rush Limbaugh cut to the chase, describing Evangelii Gaudium as “pure Marxism”. Rather stylishly, Francis refuted the charge, but added: “In my life I have known many Marxists who are good people, so I don’t feel offended.”

Criticism closer to home might worry him more. Faced with a pope who is as unorthodox as he is popular, Vatican traditionalists are worried. Norman Tanner, professor of church history at the Pontifical Gregorian University in Rome, is one of the world’s leading authorities on the history of the Catholic church. He is also a fan. There is no doubting, he says, the significance and the dramatic impact of Pope Francis’s first 12 months.

“It’s been a remarkable success,” he says. “He’s opened a lot of windows. Before the Second Vatican Council [which opened in 1962], John XXIII said: ‘Open the window and let in some fresh air.’ And this is very similar.” But he adds a coda: “Some are uneasy, though. They think: ‘Is he opening the floodgates?'”

Last July, Father Bernd Hagenkord, a colleague of Lovett’s at Vatican Radio, was expecting a quiet news day. The pope was flying back from World Catholic Youth Day in Rio. Nothing to report then. But when Hagenkord tuned into a live feed, he discovered that an unplanned and unprecedented press conference was taking place at the back of the papal plane. “I was shocked. It was so dangerous. As he answered questions I was thinking: ‘OK, you answered that one well. Now please stop!'” Francis carried on for 80 minutes. When one journalist, scarcely believing her luck, took the opportunity to ask about the existence of a “gay lobby” inside the Vatican, the pope chose to make a broader point. “If someone is gay, and they seek the Lord, and they are in good faith, who am I to judge?” Instantly, the apparently off-the-cuff comment made headlines around the world. To give some context, Benedict had described homosexuality as an “intrinsic disorder”.

As commentators were quick to point out, the words indicated no doctrinal shift whatsoever. Francis was not about to sign off on gay marriage. As Archbishop of Buenos Aires, he opposed President Cristina Kirchner’s legalisation of same-sex relationships. But to paraphrase 1970s comedian Frank Carson, it was the way he said it. Here was a pope questioning his own right to leap to judgement. In the words of Tanner: “It was a statement about the church’s authority.”

There have been many other forays beyond the church’s comfort zone, or to “the periphery”, as Francis would put it. On Maundy Thursday, days after his election, Francis went to the Casal de Marmo, a young offender institution. There he washed the feet of 12 inmates aged between 14 and 21. One of them was a girl from Serbia, who thus became the first Muslim and the first woman ever to have their feet washed by a pope.

Such symbolic expressions of openness, inclusion and humility have been accompanied by a series of far-reaching moves to open up the decision-making process of the church. Habitually referring to himself as “Bishop of Rome” rather than Pope, Francis has moved to empower bishops’ conferences and free them from the authoritarian grip which Rome has exerted for decades. In October an extraordinary Synod of Bishops will meet to discuss family life. It is widely expected that the exclusion of divorcees from the sacraments – one of the most resented aspects of church doctrine among the faithful – will be looked at and revised. The creation of a so-called G8 of Cardinals to advise the pope on reform has been hailed by the Italian church historian Alberto Melloni as the “most important step in the history of the church for the past 10 centuries”.
Four kids take a picture of themselves with Pope Francis

Four kids take a picture of themselves with Pope Francis
Man of the people: Pope Francis in St Peter’s last summer. Photograph: Reuters

For the first time in 50 years, one of the most conservative institutions in the world may be opening itself up to different voices and to change, glacial though that process might seem to the outside world. In an interview with Antonio Spadaro, the Italian Jesuit and editor of La Civiltà Cattolica, Francis stated, as baldly as any pope could do, that the church, like any human institution, must be open to changing its mind.

“Human self-understanding changes with time,” he told Spadaro. “Let us think of when slavery was accepted, or the death penalty was allowed without any problem.” He added that “other sciences and their development help the church in its growth in understanding”.

Little wonder then that Francis is inspiring optimism not seen since the heady days of Second Vatican Council. In the words of Tanner, the new pope is showing a willingness “to listen to what the world of the time (including the non-Catholic and non-Christian world) is saying and doing”.

There is listening, though, and then there is acting. In Paul Vallely’s masterly biography of Francis, Untying the Knots, the Argentine rabbi Abraham Skorka, who has known Bergoglio for more than two decades, tells Vallely: “He’s totally aware that he must in some sense be a revolutionary pope, not only for the Catholic church, but for the whole of humanity.” But revolutions require moments of decisive action. Just as church traditionalists have shaken their heads at a man who seems to prefer the title Bishop of Rome, there are also liberals who doubt that progressive intentions will translate into meaningful action. Linda Woodhead, professor of the sociology of religion at Lancaster University, is a Francis-sceptic.

“There is huge hope riding on this pope,” she says. “But so far it has just been gestures. Everyone is holding their breath before the Synod in October. I think it is likely there may be movement on divorcees and the sacraments. But what about the role of women in the church? What about the church and its relation to gay people?” She points to the results of a survey of German Catholics, intended to inform debate at the Synod. The German bishops’ report noted a huge disconnect between the laity and the church, “above all when it comes to premarital cohabitation, the status of the divorced and remarried, birth control and homosexuality”.

In England and Wales, the church has so far not disclosed the results of its own online survey, but Woodhead’s own research has found that a mere 8% of British Catholics look most to “the traditions and teaching of the church” for guidance. “The Catholic church is still deeply out of step in the west,” says Woodhead. “A lot of people are hopeful that with Francis that will change. I’m not too hopeful, though.” She recalls that in the famous Q&A on the plane back from Rio last summer, when the possibility of female priests was raised, Francis said simply: “With regards to the ordination of women, the church has spoken and says no.”

Jon O’Brien, the chief executive of Catholics for Choice, a Washington-based organisation dedicated to supporting “a woman’s moral and legal right to follow her conscience on sexuality and reproductive health”, shares Woodhead’s doubts. “You would have to be seriously in denial not to recognise that Francis has brought about real change,” he says. “He’s not so much been a breath of fresh air as someone who has gone into the Vatican with an oxygen tank strapped to his back. He’s got the church out of a very difficult spot. But there’s a danger that people project something on to him that’s not quite there yet.”

An institution this ancient does not change overnight. After such an extraordinary 12 months, maybe progressive Catholics should concentrate on the bit of the glass that’s half full. That, at any rate, is what the Advocate, the oldest and largest LGBT publication in the United States, appears to be doing. Back in December, like Time, it named Pope Francis person of the year. Needless to say, he was the first pontiff to win the award. In a moving explanation of its choice, the magazine explained: “As pope, he has not yet said the Catholic church supports civil unions. But what Francis does say about LGBT people has already caused reflection and consternation within his church.

“The brevity of that statement (Who am I to judge?) and the outsized attention it got immediately are evidence of the pope’s sway. His posing a simple question with very Christian roots, when uttered in this context by this man, became a signal to Catholics and the world that the new pope is not like the old pope.”

No readers of the Advocate were invited to the St Valentine’s Day bash in St Peter’s Square last month. But what the hell. Maybe next year?[]

POPE FRANCIS TO MAFIA: REPENT OR ‘ENd UP IN THE HELL’

Pope Francis to mafia: repent or ‘end up in hell’

Francis’s stance on organised crime in contrast with church’s perceived former reluctance to criticise mafia bosses
Pope Francis

Pope Francis
Pope Francis said mafia dons should renounce their ‘culture of death’. Photograph: Franco Origlia/Getty Images

Lizzy Davies in Rome

The Guardian, London, Saturday 22 March 2014 10.48 GMT
Last modified on Tuesday 3 June 2014 09.10 BST

Pope Francis has made his strongest attack to date on the mafia, telling organised crime bosses they will end up in hell if they do not “convert” and give up their lives of “bloodstained money [and] blood-stained power”. In an echo of John Paul II’s appeal to mafia dons to renounce their “culture of death”, the Argentinian urged mafiosi to “stop doing evil” as he held an unprecedented meeting with hundreds of victims’ relatives in Rome.

“I feel that I cannot conclude without saying a word to the protagonists who are absent today – the men and women mafiosi,” he said, quietly but forcefully. “Please change your lives. Convert yourselves. Stop doing evil.”

The meeting in a church near Vatican City was the first time a pontiff had taken part in events tied to a day of commemoration held annually by the anti-mafia organisation, Libera. During a prayer vigil, the names of 842 victims were read aloud.

In his address, Francis made special reference to an attack on Monday in the southern Italian province around the city of Taranto, in which three people – two adults and a toddler – were shot dead in an apparent mafia hit.

In January, he spoke out after a three-year-old boy was killed in an apparent attack by the ‘Ndrangheta, the powerful Calabrian mafia. Then, too, Francis urged those involved to “repent and convert to the Lord”. He has previously condemned organised crime for “exploiting and enslaving people”.

On Friday, before a packed church, the pope said it was in the criminals’ own interests to change their ways. “There is still time to avoid ending up in hell. That is what is waiting for you if you continue on this path,” he said. “You have had a father and a mother. Think of them. Cry a little and convert.”

Expressing the hope that a “sense of responsibility” would eventually win out over corruption globally, he added: “This life that you live now will not give you happiness. The power and money that you have now from many dirty dealings, from many mafia crimes, is bloodstained money, is bloodstained power – you cannot bring them with you to the next life.”

Francis’s stance on organised crime is in contrast with that of some of his 20th century predecessors, who were perceived as presiding over a church reluctant to criticise mafia bosses. Victims had to wait until 1993 to hear an explicit papal condemnation, when John Paul II urged the guilty to “convert” and warned them that judgment day was coming.
Advertisement

That was in May. In July, two Roman churches – San Giovanni in Laterano and San Giorgio in Velabro – were damaged in bomb attacks amid a wave of violence.

Organised crime controls almost all economic and criminal activity in Calabria, Sicily and parts of Campania and Apulia, and it has greatly extended its influence in Rome and Milan in the past two decades.

Italy’s main crime groups – Sicily’s Cosa Nostra, Calabria’s ‘Ndrangheta, and the Camorra from around the southern city of Naples – have a joint annual turnover of €116bn (£97bn), according to a United Nations estimate.

The mob continues to use violence and threats to keep its grip on its territory. Threats again st local government officials have risen 66% since 2010, when the figures were first collected, according to a report published on Friday.[]