Tuntutan Aliansi Pemuda Peduli Kinipan

Andriani SJ Kusni, Palangka Raya

Minggu, 30 Agustus 2020, Aliansi Pemuda Peduli Kinipan menggelar aksi damai dan teatrikal di Tugu Soekarno, Jl. S. Parman, Palangka Raya. Aksi ini didasari keresahan bersama mengenai permasalahan kerusakan lingkungan di Kalimantan Tengah, tepatnya di Desa Kinipan.

Effendi Buhing, salah seorang pejuang lingkungan Desa Kinipan ditangkap paksa pada Rabu, 26 Agustus 2020. Penangkapan diduga dilatarbelakangi gencarnya penolakan Effendi Buhing dkk terhadap praktek bisnis PT SML (Sawit Mandiri Lestari) yang ingin memperluas lahan perkebunan sawit. Namun pada Kamis, 27 Agustus 2020, Effendi Buhing dilepaskan. Bukan tanpa syarat melainkan ditangguhkan penahanannya.

Penangkapan yang sarat kriminalisasi tersebut diduga dilakukan untuk menghalangi upaya Masyarakat Desa Kinipan mempertahankan tanah adat mereka. Soal ini membangkitkan gerakan bersama untuk apa yang disebut APPK sebagai upaya “menyelamatkan hutan terakhir di Kalimantan Tengah”.

Dalam aksi tersebut, Aliansi Pemuda Peduli Kinipan juga membacakan tuntutan sebagai berikut:

  1. Menuntut kepada Polda Kalteng agar tidak hanya melakukan penangguhan penahanan tetapi juga menghapuskan segala perkara yang telah dituduhkan kepada aktivis lingkungan Laman Kinipan tanpa syarat.
  2. Mendesak Polri dan Komnas HAM untuk mengusut tuntas tindakan yang dinilai sarat kriminalisasi terhadap Effendi Buhing dkk.
  3. Mendesak Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah beserta Pemerintah Kabupaten/Kota membuat Peraturan Daerah Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat dan Penetapan Kawasan Hutan Adat.
  4. Mendesak Kementerian Lingkungan Hidup untuk meninjau kembali perijinan dari PT SML (Sawit Mandiri Lestari) dan apabila terbukti melakukan kesalahan maka perusahaan tersebut diberikan sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
  5. Mendesak Pemerintah Daerah Kalimantan Tengah untuk menghentikan sementara segala bentuk operasional PT SML (Sawit Mandiri Lestari) di lahan yang masih sengketa, sampai sengketa tersebut terselesaikan.
  6. Mendorong MADN (Majelis Adat Dayak Nasional) terlibat langsung membantu masyarakat adat untuk mempertahankan tanah adat.
  7. Mendesak Pemerintah Pusat dan DPR-RI untuk mengesahkan RUU Masyarakat Adat sesuai dengan peraturan mengenai hukum adat dan pengajuan kawasan hutan adat yang diatur dalam:
    • Putusan MK No. 35/PUU-X/2012
    • UU No. 41/1998 Tentang Kehutanan (Pasal 67 Masyarakat Hukum Adat)
    • Pasal 3 Ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 (Tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat)
    • Permen LHK No. 21 Tahun 2019 Tentang Hutan Adat dan Hutan Hak. Bab III Pasal 4 dan 5.

Aliansi Pemuda Peduli Kinipan terdiri atas beberapa lembaga, yakni:

  1. PMKRI Cabang Palangka Raya
  2. GMKI Cabang Palangka Raya
  3. HMI Cabang Palangka Raya
  4. GMNI Cabang Palangka Raya
  5. KMHDI Cabang Palangka Raya
  6. KAMMI Cabang Palangka Raya
  7. BEM Universitas Palangka Raya
  8. DPD GPM Kalimantan Tengah
  9. FORPEKA
  10. HMJ Kehutan Universitas Palangka Raya
  11. BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Palangka Raya
  12. IMKA Ambartuah
  13. HIMA Barito Timur
  14. GSNI Cabang Palangka Raya
  15. HMPS Hukum Adat

Sumber: Rilis pers Aliansi Pemuda Peduli Kinipan

Generasi Muda Berhak Atas Kebenaran Sejarah

Oleh: Sasa Ramadhanty*

Rabu, 19 Desember 2018. Tepat bulan September, kira-kira 52 tahun silam. Awal sebuah kejayaan bagi beberapa oknum, sekaligus merupakan awal sebuah peristiwa pahit yang kini dikemas sebagai sejarah yang seolah sudah jelas akhirnya. Peristiwa September 1965, peristiwa pembantaian sadis terhadap kurang lebih 78 ribu jiwa.

September 1965 kerap dihubung-hubungkan dengan Partai Komuns Indonesia  atau PKI sebagai dalangnya. Nama PKI begitu terdengar menyeramkan bagi masyarakat. PKI disebut-sebut sebagai pemberontak, penghianat, dan harus dihapus dari tanah air tercinta. Ideologi komunis ditentang habis-habisan, disebut-sebut sebagai ideologi yang haram.

Pada umumnya, guru mata pelajaran sejarah mulai dari sekolah menengah pertama hingga sekolah menengah atas tiap tahunnya memutarkan film dokumenter G30S/PKI. Tampak pada film dokumenter tersebut, beberapa orang anggota PKI dengan sadis menyiksa beberapa Jenderal dan melakukan pembabibutaan alih-alih untuk pemberontakan demi jatuhnya pemerintahan Soekarno. Apakah sejarah yang turun-temurun tersuap oleh anak bangsa adalah benar begitu adanya?

Kala itu, presiden kedua republik Indonesia, Soeharto, berhasil menjadi seorang pahlawan yang telah membubarkan PKI dan membuat masyarakat merasa sejahtera. 32 tahun menjabat, Soeharto memimpin tanah air dengan penuh “ketenangan” di setiap penjuru.

Ketenangan yang amat bermakna, “tidak ada” kritikan, “tidak ada” berita-berita buruk. Beragam kejadian misterius kerap terjadi dan sampai saat ini belum jelas bagaimana nasibnya. Lebih baik diam, daripada berpendapat sebab dengan mengangkat aspirasi saja dapat menimbulkan hal yang mengancam keselamatan diri sendiri.

Beragam penculikan aktivis atau pengkritik pemerintah seperti suatu hal yang sengaja tak diacuhkan dan hilang kabarnya begitu saja. Soeharto menjadi presiden menggantikan jatuhnya rezim Soekarno. Soekarno disebut-sebut memberikan tahta kepemimpinannya atas pemerintahan Indonesia kepada Soeharto demi keteduhan politik.

Menurut Cornell Paper, yang merupakan salah satu sumber paling akurat mengenai pemahaman G-30-S/PKI, PKI memiliki hubungan baik dengan Uni Soviet, musuh terbesar Amerika Serikat yang kala itu sedang dalam perang dunia II.

Mereka berpendapat bahwa PKI mendapat banyak keuntungan dari sistem politik Presiden Soekarno yang ke-kiri-an. Jadi, strategi terbaik mereka adalah mempertahankan Soekarno, ketimbang merusaknya. Mereka juga berkesimpulan bahwa G-30-S/PKI adalah masalah internal antara PKI dengan TNI Angkatan Darat.

Menurut mereka, ada beberapa kolonel pembangkang. Mereka memberontak terhadap para jenderal Angkatan Darat yang penuh kemewahan dan harta berlimpah di Jakarta. Namun, pada saat-saat terakhir, ada pihak yang memancing agar PKI terseret.  Sangat berlawanan dengan apa yang tertulis pada sejarah, bukan?

Kebenaran yang melibatkan Amerika Serikat, Soeharto, dan PKI ibarat sebuah harta paling berharga yang tersimpan amat rapi pada tempat paling rahasia hingga tiada satupun orang awam yang dapat mengetahuinya.

Sebetulnya, apakah selama ini kita tertipu oleh bangsa sendiri? Namun, pertanyaan yang paling penting ialah, apakah sebenarnya kita peduli bahwa kita sedang tertipu?

Peristiwa 1965 memberikan dampak luar biasa pada keadaan Indonesia sampai hari ini. September 1965 tidak bisa menjadi sejarah yang terlupakan. Pramoedya Ananta Toer pernah berpendapat dalam perbincangannya bersama Andre Vltchek dan Rossie Indira yang tertulis pada buku “Saya Terbakar Amarah Sendirian!” bahwa nasib bangsa Indonesia saat ini hanya bisa diubah oleh tangan generasi muda. Memang, generasi muda seharusnya memiliki peran penting terhadap keutuhan bangsa tanah airnya. Namun, bagaimana kabar generasi muda hari ini?

Buku adalah jendela jelajah dunia tanpa harus pergi keliling dunia. Maka, membaca tentunya adalah hal yang amat bermanfaat. UNESCO pada beberapa tahun silam membuat riset yang menghasilkan bahwa minat baca pada Negara Indonesia menempati posisi ke-60 dari 61 negara. Begitu rendahnya minat kita terhadap membaca, padahal membaca adalah hal mutlak demi kecerdasan suatu bangsa.

Semakin hari, perkembangan teknologi semakin pesat. Sosial media bukanlah hal yang awam bagi masyarakat terutama generasi muda milenial. Kemudahan berbagi status maupun foto dan video pada sosial media seakan membuat privasi seseorang menjadi tiada batasannya.

Sosial media membuat candu para penggunanya, sehari saja tidak membuka akun sosial media, rasanya sangat hampa. Gawai-gawai yang semakin lama semakin canggih, mulai dari harga paling terjangkau sampai seharga sepeda motor. Tren-tren kekinian yang merajalela, mempengaruhi gaya anak muda milenial dari gaya berpakaian, berbicara, hingga kesopanan.

G-30-S/PKI adalah hal yang sangat rumit, dan mungkin terdengar tidak menarik untuk generasi muda milenial Indonesia. Padahal, sesungguhnya bangsa yang besar ialah bangsa yang belajar dari sejarah bangsanya sendiri.

Beragam buku-buku kiri telah ditulis dan beredar, bahkan kita bisa mendapatkannya secara daring melalui gawai. Namun, jika dilihat dari tingkat minat membaca anak bangsa, berapa jumlah dari generasi muda milenial yang tertarik akan mencari kebenaran sejarah dari membaca? Berapa jumlah dari kita yang cemas akan nasib bangsa sendiri sehingga merasa wajib untuk membaca?

Generasi muda adalah harapan bangsa, kekuatan terbesar suatu bangsa. Sudah semestinya kita memperkokoh jati diri bangsa, terutama pada generasi muda. Generasi muda berhak atas kebenaran sejarah. Generasi muda bukanlah musuh pemerintah yang harus dipaksa menelan kebohongan sejarah sebab masa depan bangsa ada di tangan generasi muda.

Dengan membiasakan kegiatan membaca, sudah menjadi awalan bagus demi terciptanya bangsa yang berpikiran luas dan terbuka. Meskipun teknologi terus berkembang pesat, namun generasi muda harus bisa menjadikannya sebagai manfaat, bukan senjata bumerang yang menghantam tuannya sendiri.

Sasa Ramadhanty, guru dan tutor Bahasa Tionghoa

Halaman Budaya Sahewan Panarung, Radar Sampit, Minggu 16/08/2020

Sejarah Kita Mematikan Imajinasi

Oleh: Pradipto Bhagaskoro*

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Di Desa Tangkahen  yang bisa dicapai dalam tiga-empat  jam perjanan mobil dari Palangka Raya terdapat beberapa situs bersejarah antara lain Monumen Gerakan Mandau Talawang Panca Sila (GMTPS) dan makam Sahari Andung, salah seorang pemimpin GMTPS – sayap bersenjata  gerakan seluruh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah memperjuangkan Provinsi Dayak Otonom di tahun 1950-an. Foto/Dok.: Kusni Sulang/2020

Penjungkirbalikan data sejarah sebagai bentuk ketakutan pada sejarah, apakah wujud dari kemerdekaan atau isyarat bahwa “freedom is under control”?

Mengatakan kebenaran adalah tindak revolusioner.

George Orwell, 25 Juni 1903-21 Januari 1950

Beberapa minggu lalu, seorang kawan lama yang sekarang guru sejarah mengirimkan pesan kepada saya. Ia mengungkapkan ketakjubannya menonton film seri The Man in The High Castle (2015), yang pernah saya rekomendasikan kepadanya.

Film ini menceritakan sebuah semesta paralel dimana poros fasis Nazi Jerman dan Dai Nippon menjadi pemenang Perang Dunia II dan membagi Amerika Serikat sebagai tanah jajahan mereka. Menurut dia—dalam obrolan yang sangat bersemangat saat itu—butuh lebih dari kebebasan berpikir untuk menulis cerita seperti ini.

Sebagai guru sejarah tingkat SMA, film ternyata penting bagi kawan ini. Sejarah seringkali dianggap membosankan. Lebih-lebih bagi pelajar yang masuk masa pubertas, mungkin karena merasa tidak relate atau tidak menemukan relevansi dengan kehidupan mereka yang serba baru. Peristiwa masa lalu seakan hanya menjadi beban hafalan di antara mata pelajaran lainnya, yang bisa jadi lebih relevan untuk masa depan mereka. Karena itu, teman saya ini banyak menggunakan film agar pelajaran di kelas lebih menarik.

Masalahnya, menurut kawan ini, pendekatan dengan film justru lebih sulit dilakukan dengan film sejarah Indonesia. Selain karena memang terbatas referensinya, film Indonesia bertema sejarah cenderung membosankan untuk dijadikan topik pembahasan. Banyak film sejarah Indonesia yang lebih tampak seperti film propaganda daripada berbicara detail mengenai sejarah itu sendiri. Menurutnya, film sejarah Indonesia tidak punya tema lain yang menarik selain nasionalisme, yang tak jarang beriringan dengan semangat anti-komunisme.

Bukannya nasionalisme itu buruk, namun nasionalisme dalam film sejarah kita seringkali diterjemahkan ke dalam tema-tema stagnan tentang kepahlawanan tokoh sejarah, kegagahan tentara melawan penjajah, dan narasi-narasi serupa. Narasi seperti ini terus diulang dengan formulasi yang kurang lebih sama, mudah terdegradasi menjadi sekadar dikotomi “rakyat” vs “penjajah”, dan pada akhirnya “pribumi” vs “asing”. Dikotomi yang “itu-itu saja” masih dianut film sejarah kita, yang selain berimplikasi pada suburnya rasisme dan sentimen anti-asing yang irasional, juga mengindikasikan kemiskinan imajinasi yang akut.

Saya tadinya curiga bahwa kemiskinan imajinasi ini berpangkal pada narasi film sejarah kita yang cenderung menyesuaikan diri untuk patuh pada sejarah “resmi”. Film sejarah kita kebanyakan bertema biopik (yang sesuai dengan biografi tokoh) atau kejadian sejarah penting. Unsur fiktif sebenarnya cukup umum ditemukan, tapi twist—seperti bagaimana pihak “pribumi” juga melakukan kejahatan pada sesamanya, misalnya—sangat jarang ditemui. Jika pun ada pribumi jahat, biasanya digambarkan sebagai kelompok komunis dan sebangsanya.

Kita bisa tengok film Jenderal Soedirman (2018) dan bertanya-tanya mengapa Tan Malaka berorasi dengan latar lambang palu-arit, misalnya. Padahal sejak 1926, Tan Malaka tidak lagi berafiliasi dengan PKI, dan pasca-kemerdekaan ia mendirikan Partai Murba yang tidak ada korelasi dengan palu-arit. Sepertinya hanya keluarga dan pengagum Tan Malaka yang keberatan, namun ketidakakuratan ini seakan terampuni karena masih sejalan dengan doktrin anti-komunisme yang masih didengungkan hingga sekarang.

Ternyata penyesuaian film kepada sejarah “resmi” tidak harus serta merta secara ketat mengikuti catatan sejarah yang disepakati. Perbedaan boleh terjadi selama masih seiring dengan narasi ideologis yang dianut rezim yang berlaku. Ini yang membuat film sejarah kita membosankan dan terlalu hitam-putih.

Padahal peristiwa sejarah melibatkan banyak sosok dengan kepentingan dan isi kepala yang beragam, yang memungkinkan spektrum moral yang jauh lebih dinamis dari sekadar hitam dan putih.

Nasionalisme, bersama dengan anti-komunisme, telah menjadi doktrin yang tersakralkan, sehingga “berdosa” bagi yang mengungkit dan mempertanyakannya. Sementara kesalahan dapat dimaklumi sepanjang berkontribusi memperkuat doktrin-doktrin tadi. Seakan tak terhindarkan, ini juga menjalar pada narasi sejarah kita, yang membuat film sejarahnya pun dibuat dalam konstruksi kesakralan ini.

Gejala sejarah yang tersakralkan membuatnya sulit untuk dikritik atau diterjemahkan berbeda. Ini dapat kita lihat dari sikap reaksioner sebagian masyarakat terhadap buku yang menjelaskan bahwa Belanda sebetulnya tidak menjajah Nusantara selama 350 tahun, misalnya. Atau bisa kita lihat juga reaksi sebagian umat Islam baru-baru ini yang tidak terima pada pendapat seorang sejarawan bahwa Pangeran Diponegoro suka minum anggur. Kedua contoh ini hanya sejumput dari ujung sebuah gunung es.

Film sejarah Indonesia pun agaknya merupakan cerminan dari pelajaran sejarah di sekolah pada umumnya, sebuah produk dari kegiatan yang sekadar mencatat dan menghafal nama-nama besar dan tahun-tahun kejadian, untuk kemudian ditulis plek-ketiplek dalam ujian bagaikan menyalin kitab suci. Sulit membayangkan pertanyaan kritis bisa terbentuk dari proses seperti ini.

Begitu pula dengan film sejarah. Jika pun ada variasi, tujuannya adalah mempermudah penyampaian cerita (dan dengannya juga mempermudah penjualan film) atau mengakali keterbatasan budget. Selain kepentingan propaganda tadi, tentunya.

Kawan saya ini mengatakan akan sulit untuk menemukan penulis Indonesia yang mampu membuat plot seperti dalam The Man in The High Castle. Plot seperti ini dimungkinkan dalam genre sejarah alternatif (alternate history), yang mensyaratkan penulisnya untuk mengubah suatu kejadian penting dalam sejarah, yang mana perubahan itu dapat mempengaruhi realitas yang kita alami sekarang. Dalam kasus film seri ini, penulisnya berani berkhayal bahwa Amerika Serikat menjadi pecundang dalam Perang Dunia II.

Tidak bisa tidak, kami jadi membayangkan jika film sejarah alternatif ini dibuat di Indonesia. Akan menarik sekali ketika berspekulasi apa yang akan terjadi jika Tan Malaka dapat bertemu dengan Soekarno sebelum Hiroshima dan Nagasaki diratakan oleh Sekutu? Di pihak manakah Soekarno berada apabila Jepang tidak kalah perang? Atau bagaimana jika peristiwa G30S tidak pernah terjadi atau mungkin malah berhasil?

Imajinasi yang demikian memang tidak sulit didapatkan. Toh, tidak ada yang bisa melarang kita untuk berpikir. Tapi begitu ide itu diungkapkan atau dituangkan menjadi sebuah karya, bisa jadi masalah akan datang: perundungan yang tidak hanya terjadi di media sosial, juga di dunia nyata, beserta ancaman kekesarasan fisik yang mungkin terjadi.

Kemajuan membutuhkan keberanian berimajinasi. Jika pun kontroversi harus muncul, diskusi, dan perdebatan membantu kita menemukan diskursus baru, melatih kita menuju kemajuan. Kemajuan tidak hanya diartikan sebagai perkembangan teknologi dan ekonomi yang pesat, tapi juga kemajuan kita dalam berpikir dan bermasyarakat agar selalu siap dengan perubahan.

Masih sering razia buku dilakukan dengan berbagai dalih. Sebagian masyarakat mengamininya sebagai tindakan patriotis. Belum lagi perbincangan mengenai RUU HIP yang menunjukkan ketakutan terhadap komunisme masih dianggap relevan. Sementara masih banyak yang percaya bahwa sikap kritis identik dengan anti-pemerintah. Kami akhirnya mengakhiri obrolan dengan rasa pesimis.

Sulit membayangkan kemajuan akan datang dari situasi ini.

Pradipto Bhagaskoro, pemerhati pendidikan

Halaman Budaya Sahewan Panarung, Radar Sampit, Minggu 16/08/2020

Catatan Kusni Sulang: Korporasi Memang Akan Mengelola Food Estate

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Kantor Pusat PT Rajawali Nusantara Indonesia di Jakarta, salah satu korporasi yang dipercayakan untuk mengelola food estate di Kalimantan Tengah. Foto: RNI

“Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemahlembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah dimana kalian tinggal, sumber penghasilan kalian, dan bahkan makanan yang ada di mulut kalian. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”

Pesan Raja Putih – nama lain dari James Brooke – yang menguasai Sarawak (1841-1863) tentang Orang Dayak

Pada 20 Mei 2020, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono, menerangkan bahwa pengelolaan 164 ribu hektar tersebut (baca: food estate—KS) akan menggunakan konsep investasi bersama Kementerian BUMN. Pemerintah hanya menyiapkan sarana pendukung untuk pelaksanaan proyek tersebut.

“Pemerintah hanya siapkan prasarananya. Karena ini prasarananya bukan hanya dari Sungai Barito dan Kapuas, juga dapat dilalui dengan jalan darat jadi lebih murah,” kata Basuki (https://tirto.id/ kata- basuki-soal-cetak-sawah-baru-di-lahan-gambut-kalimantan-tengah-fDEV).

Terhadap pelaksanaan ide tersebut, pemerintah telah menunjuk PT Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) guna menggarap intensifikasi lahan rawa di Kalimantan Tengah untuk proyek food estate. Tahap awal intensifikasi lahan seluas 30 ribu hektar.

Wakil Menteri BUMN, Budi Gunadi Sadikin, mengatakan, proyek food estate dikomandoi langsung oleh Kementerian Pertanian. Sementara Kementerian BUMN bersama RNI ikut mendukung rencana program tersebut agar berhasil dan memberikan manfaat bagi peningkatan ketahanan pangan.

“Kita di sini (yang mengerjakan) RNI. Kita ikut dibelakangnya Kementan yang mengkoordinasikan pupuk dan bibit. Sedangkan off taker (penyerap hasil panen) ada Bulog,” kata Budi usai mengikuti Rakor Pangan di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Selasa (23/6). Budi mengatakan, tahap awal yang akan digarap untuk melakukan intensifikasi lahan adalah seluas 30 ribu hektar dari total rencana kawasan food estate seluas 164 ribu hektar. Namun soal anggaran, ia tak merinci akan menggunakan anggaran siapa. “Kita akan berikan support berdasarkan anggaran kementerian dan lembaga. Tapi kita pun juga ada beberapa pilot project yang kita uji coba sendiri dengan anggaran kita,” tuturnya.

Sementara itu Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo, menambahkan, pengerjaan intensifikasi lahan seluas 30 ribu hektar terdapat di dua kabupaten, yakni Kapuas dan Pulang Pisau (https://republika.co.id/berita/qcdqma383/pemerintah-tunjuk-rni-garap-lahan-emfood-estateem-di-kalteng). Pernyataan Basuki dan Budi di atas memastikan bahwa penyelenggaraan dan pengelolaan proyek food estate diserahkan kepada korporasi atau perusahaan besar swasta (PBS).

Saya setuju dengan keinginan agar Indonesia berdaulat dalam bidang pangan. Bukan hanya bertingkat memiliki ketahanan tapi berdaulat dalam bidang pangan. Yang menjadi masalah bagi saya adalah cara melaksanakan keinginan tersebut yaitu dengan menyerahkan penyelenggaraan dan pengelolaannya kepada korporasi. Kemudian dilakukan di lahan gambut  (walaupun kemudian dibantah – petunjuk kurang konsistennya para menteri, barangkali karena tidak didahului dengan penelitian dan kajian menyeluruh yang menyebabkan kata-kata mereka berubah-ubah dari hari ke hari).

Kalau kita perhatikan peta penggunaan lahan dan keadaan hutan di Kalimantan (lihat: Radar Sampit, 26 Juli 2020) sejak tahun 1950 hingga tahun 2020 maka akan nampak jelas luasan lahan tersisa di Kalimantan Tengah terutama lahan gambut dan rawa-rawa. Bagian pedalaman merupakan daerah konsesi pertambangan dan perkebunan sawit. Tim 14 Peneliti dari Gadjah Mada yang dipimpin oleh Purwanto dan alm. Cornelis Lay  pada tahun 2009 menyebutkan luas tanah garapan tersisa di Kalimantan Tengah hanya tinggal 20 persen dari luas Kalimantan Tengah yang 1,5× Pulau Jawa.

Ketika melaksanakan keinginan  ini yaitu untuk mencapai kedaulatan pangan, masyarakat sekitar tempat itu tidak diajak bicara, demikian juga warga Kalimantan Tengah. Kalimantan Tengah ini ada penghuninya, bukan terra in cognita. Sikap mengabaikan penduduk lokal sebagaimana sekarang ini juga terjadi saat melarang manyéha tana tanpa solusi alternatif. Salahkah menyebut sikap begini sebagai tindak sewenang-wenang dari kekuasaan?

Seperti sudah saya tulis dalam tulisan terdahulu, penyerahan penyelenggaraan dan pengelolaan food estate kepada korporasi atau PBS hanya menguntungkan PBS dan atau korporasi saja. Indonesia dengan model ini akan masuk dalam jaringan kartel pangan dunia dengan segala akibat negatifnya (lihat: Hans-Peter Martin dan Harald Schumann, “Jebakan Global”, Hasta Mitra – Institute for Global Justice, Jakarta, 2005).

Proletarisasi daerah perdesaan akan melaju cepat berbuntut pada keresahan sosial di pedesaan dan munculnya anarki kekerasan.Yang paling merasakan akibatnya adalah Orang Dayak. Apalagi jika tenaga kerja untuk pelaksanaan food estate ini sebanyak 1,4 juta orang didatangkan dari luar Kalimantan Tengah, terutama Jawa.

Kalau 1,4 juta tenaga kerja ini datang dengan anak satu dan istri maka yang akan datang ke Kalimantan Tengah berjumlah 1,4 juta×3 orang = 4,2 juta jiwa. Perubahan komposisi demografis ini tentu berdampak ke banyak sektor kehidupan: sosial, politik, ekonomi, dan budaya  Sekarang saja (2020), penduduk Dayak sudah tidak mayoritas lagi di Kalimantan Tengah.

Situasi menjadi bertambah gawat apabila ada sikap diskriminatif pemerintah atau penyelenggara Negara terhadap penduduk. Apabila tidak ada dukungan warga, apakah program membangun lumbung pangan negeri akan berhasil? Sungguh suatu pertanyaan besar yang patut diajukan. Belum lagi jika kita berbicara secara teknis pertanian modern di lahan gambut.

Food estate tidak sama artinya dengan lumbung pangan. Food estate adalah salah satu cara untuk mewujudkan keinginan menciptakan lumbung pangan sehingga berdaulat. Dan di negeri ini, cara tersebut sampai sekarang sejarah hanya menunjukkan kegagalan sebagai hasilnya.

Sesungguhnya masalah kedaulatan pangan ini bukan debat baru dalam dunia akademi. Chayanov (1888-1937) dan orang seangkatannya sudah mempersoalkannya. Dilanjutkan oleh Teodor Shanin dan pakar-pakar ekonomi pembangunan sampai hari ini. Tidak ketinggalan dalam hal ini, para sarjana Indonesia seperti Sajogyo, Gunawan Wiradi, hingga angkatan sebaya Dwi Andreas Santoso.

Dari diskusi-diskusi panjang itu, umumnya sepakat agar masalah pangan dan kedaulatan pangan dikembalikan kepada petani. Petani sebagai pemeran utamanya, bukan korporasi. Untuk mendapatkan produk pangan yang lebih besar bisa dilakukan antara lain dengan mengorganisasi para petani itu di dalam koperasi (tentu bukan model KUD Orde Baru).

Dalam hal ini, maka penetapan dan pembentukan desa adat berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa – bukan Lima Skema Perhutanan Sosial – seperti ditunjukkan oleh sejarah merupakan langkah efektif untuk membebaskan tenaga produktif di pedesaan. Desa Adat adalah organisator dan pemberdaya masyarakat sekaligus berangkat dari apa yang sudah mereka miliki sebagai modal.

Karena itu pembuatan dan pengesahan segera Peraturan Daerah (Perda) Tentang Pengakuan, Pengesahan, Perlindungan, dan Peenghormatan Terhadap Masyarakat Adat merupakan hal mendesak, sama mendesaknya dengan perancangan dan pengesahan Perda Tentang Desa Adat. Ide dasar desa adat adalah memaknai keragaman, menerapkan partisipasi masyarakat sebagai pemegang kedaulatan untuk memanusiawikan diri dan kehidupan, serta membangun negeri dari pinggir. Dalam pandangan saya, berdasarkan dokumen-dokumen sejarah, saya juga melihat pada mulanya Kalimantan Tengah itu adalah provinsi adat. Hanya saja sejalan perkembangan waktu, hal ini dilupakan atau dinegasi atau ternegasi.

Ketika membaca RUU Cipta Kerja, khususnya mengenai UU Penataan Ruang, saya khawatir ketetapan UU Desa mengenai Desa Adat secara tersirat akan dihapus. Jika ini terjadi maka yang dominan adalah investor, sementara warga adat menjadi kian tersingkir. Semua hal-hal penting diambil oleh Jakarta. Otonomi daerah akan menjadi otonomi ular. Pegang ekor lepas kepala.

Mencapai kedaulatan pangan melalui sistem food estate dan penarikan kembali (entah terbuka atau terselubung ) UU Tentang Desa Adat, bagi Kalimantan Tengah akan membuat pesan James Brooke di atas menjadi bukan lagi ramalan atau analisa tapi kenyataan. Dayak, apakah kau menerimanya?[]

Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu 09/08/2020

Situs Sejarah Itu Hampir Roboh

Catatan Perjalanan Kusni Sulang

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Bekas asrama pasukan GMTPS di Desa Tangkahen, tepi Sungai Kahayan. Foto/Dok.: Kusni Sulang, 30/07/2020

Apabila menggunakan Undang-Undang tentang Cagar Budaya maka situs budaya dan sejarah yang sudah berusia 50 tahun, apalagi jika lebih, sudah masuk kategori situs budaya dan atau sejarah yang wajib dilindungi. Dilindungi artinya dirawat,dipugar, dan dikelola.

Dari daftar yang saya dapatkan di Tangkahen, situs budaya dan atau sejarah yang dimasukkan ke dalam daftar cagar budaya atau sejarah, tidak sampai 50 buah. Apabila kita menelusuri bagian pedalaman berbagai daerah aliran sungai (DAS) di Kalimantan Tengah (Kalteng), dengan mudah kita akan menemukan kenyataan bahwa  situs-situs yang bisa dimasukkan ke dalam kategori untuk dicagarkan jauh lebih banyak dari tigapuluhan atau lima puluh. Jauh lebih banyak dari daftar resmi.

Dalam upaya mengumpulkan data-data untuk penulisan tentang salah satu topik dalam sejarah Kalteng, baru-baru ini saya pergi ke Bahu Palawa dan Tangkahen yang terletak di pinggir Sungai Kahayan – sebuah DAS dimana berlangsung banyak peristiwa bersejarah walaupun belum digali dan diangkat kembali. Di Bahu Palawa terdapat Rumah Haї, tempat dilangsungkannya Kongres I Sarekat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI), sebuah organisasi yang mempunyai andil besar dalam perjuangan pembentukan Kalteng sebagai provisi otonom.

Rumah Haї ini masih berbentuk bangunan, walaupun tidak bisa dikatakan  terawat apalagi terawat baik karena nampak beberapa bagian atapnya akan tiris bila hujan. Oleh para mahasiswa Universitas  Palangka Raya,  ketika mereka melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN),  telah dibuatkan plang kecil bertuliskan “Rumah Sejarah”.

Yang menaruh perhatian pada “Rumah Sejarah” ini dan mengangkatnya  sebagai situs sejarah dan budaya adalah Drs. Warsito Rasman, Gubernur Kalteng periode Juli 1994-Juli 1999. Pada masa Warsito pulalah, pemerintah membangun sebuah monumen berupa patung pejuang lelaki Gerakan Mandau Talawang Panca Sila (GMTPS). Sedangkan di belakangnya terdapat sandung Sahari Andung, Ketua Sarekat Kaharingan Dayak Indonesia. Situs-situs ini terawat terutama karena jasa anak-curu keluarga Sahari Andung. yang mengurus sandung kakek mereka. Selain Rumah Sejarah, monumen ini merupakan simbol dan kebanggaan Desa Bahu Palawa.

Dari percakapan dengan penduduk Bahu Palawa dan sekitarnya, saya temukan bahwa GMTPS adalah gerakan yang mencerminkan aspirasi seluruh warga Dayak pada waktu itu yaitu berdirinya Kalteng Yang Otonom. Untuk Kalteng Otonom, semua warga Dayak pada masa itu sanggup dan rela mengorbankan nyawa mereka. Masing-masing warga, baik lelaki atau perempuan, tua ataupun muda, memberikan sumbangan mereka sesuai kemampuan masing-masing. Seluruh logistik pasukan GMTPS sepenuhnya ditanggung oleh warga adat Dayak Kalteng. Karena itu, jika dalam perkembangan misalnya, ada pimpinan GMTPS menyimpang dari alur, hal ini tidak membenarkan pengingkaran terhadap jasa GMTPS dalam perjuangan mendirikan Kalteng. GMTPS adalah gerakan seluruh rakyat Dayak Kalteng.

Perjalanan saya lanjutkan ke Tangkahen – salah satu desa yang disebut sebagai basis kuat GMTPS. Sekarang penduduk desa ini berjumlah 1000 KK. Desa berada di kedua sisi Sungai Kahayan. Di Tangkahen, saya mengunjungi tempat GMTPS membuat Markas Besarnya dan juga tempat tinggal atau asrama  pasukan-pasukan GMTPS.

Asrama ini berupa dua rumah panggung di  tebing Sungai Kahayan milik keluarga Lambung. Satu di antara kedua rumah yang dijadikan asrama oleh pasukan GMTPS ini sudah tidak ada. Hanya tinggal beberapa tiang. Rumah itu roboh, dipercepat oleh tebing yang rontok (Bhs. Dayak Ngaju: batusut) sementara satu yang tersisa, keadaannya sudah doyong dan sangat mengkhawatirkan. Jika tidak segera diperbaiki, barangkali tidak sampai setahun rumah yang tersisa ini akan roboh juga sehingga generasi Dayak berikut tidak bakal bisa melihat wujud bekas asrama pasukan yang berjasa dalam perjuangan mendirikan Kalteng Otonom. Yang paling menyedihkan juga adalah apabila cita-cita awal mendirikan Kalteng Otonom turut sirna. Kemungkinan yang bukan khayali jika melihat keadaan hari ini.

Kalau kita mengakui jasa GMTPS dalam perjuangan mendirikan Kalteng Otonom, sesuai juga dengan UU tentang Cagar Budaya, seniscayanya peningglan-peninggalan sejarah seperti ini diperhatikan, dilindungi, serta dirawat. Tercatat dalam buku tamu dan foto-foto, adanya  kunjungan dari Papua dan Manado ke tempat-tempat bersejarah ini sedangkan dari Kalteng sendiri tidak nampak banyaknya kunjungan. Selama beberapa tahun, halaman-halaman buku tamu tidak terisi apapun. Apakah hal ini menunjukkan tingkat kesadaran sejarah dan budaya angkatan hari ini?

Tanpa menunggu muncul dan berkembangnya kesadaran budaya dan sejarah di kalangan Uluh  Kalteng, terutama Uluh Itah, sebelum situs-situs itu hancur sama sekali, adalah tindakan yang dihormati apabila situs-situs budaya dan sejarah itu segera diselamatkan. Apakah saya sedang berteriak di ketinggian gunung dan kemudian teriakan itu hilang seperti si pongang di dalam lembah?[]

Halaman Budaya Sahewan Panarung, Harian Radar Sampit, 02/08/2020

Sejenak Mengenal Metode Turba Lekra

Catatan singkat dari buku Pergolakan Turba Lekra di Klaten (JJ. Kusni)

Penulis: Moch. Ari Nasichuddin

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Buku Pergolakan Turba Lekra di Klaten ditulis pada tahun 1979, tepatnya 16 tahun setelah peristiwa aksi sepihak oleh petani di Klaten terjadi. JJ. Kusni menceritakan proses turun ke bawah (Turba) selama Gerakan Aksi Sepihak dari kaum tani untuk melaksanakan UUPA dan UUPBH. Turba ini merupakan salah satu program dari Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) cabang Jogja saat itu.

Klaten sengaja dipilih menjadi lokasi Turba selain karena kedekatan secara geografis,  juga karena adanya denyut pergerakan yang dilakukan oleh petani di sana. Ada banyak yang bisa kita bicarakan dari proses Turba ini, namun yang menarik adalah metode yang dipakai ketika Turba. Ini menjadi penting ketika kita kadangkala sering bicara istilah “mendengarkan suara rakyat”, “mengakomodir kepentingan rakyat”, namun yang terjadi justru menggurui rakyat.

Sebelum berbicara lebih jauh, baiknya kita bicara soal ideologi sastra yang berkembang di Indonesia kala itu. Sebagai kelompok kebudayaan, Lekra mencanangkan dan mengamalkan sastra untuk rakyat. Sastra yang tidak boleh membelakangi realita yang terjadi di masyarakat. Sastra bentuk ini mempunyai tanggung-jawab untuk memberikan karya baik berupa novel, cerpen, teater yang menyelipkan kondisi sosial yang ada.

Golongan lain selain Lekra adalah Manifesto Kebudayaan atau lebih dikenal Manikebu. Golongan ini mengusung konsep Humanisme Universal. Bagi mereka, kebudayaan bersifat universal, tidak boleh ada sekat-sekat politik dan ideologis. Seni untuk seni.

Sebagai kelompok kebudayaan yang memposisikan kondisi masyarakat menjadi yang terdepan, Turba dinilai sebagai wujud alat yang efektif untuk dapat memahami problematika masyarakat. Dalam menerapkan konsep Turba, Lekra memakai metode 3S (Sama Makan, Sama Tinggal, dan Sama Bekerja). Atau kadang disebut 4S dengan menambahkan poin Sama Diskusi.

3S/4S menjadi metode kunci bagi pelaku Turba ketika berhubungan dengan masyarakat. Tantangan melakukan Turba adalah bagaimana caranya pelaku Turba mampu menjadi satu dengan masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum, ketika ada warga atau tamu dari luar, masyarakat memberlakukan dengan spesial tamu tersebut. Tak jarang ada suasana canggung di dalamnya. Ketika itu terjadi, usaha untuk mendengarkan keluh kesah masyarakat menjadi susah.

Dengan metode di atas, pelaku Turba dituntut untuk tidak merepotkan warga setempat. Jika warga makan nasi aking, maka mereka harus makan nasi aking juga. Begitu pula jika warga tidur di bawah, maka mereka juga mesti tidur di bawah. Ketika di lapangan, sebisa mungkin pelaku Turba menghindari memakai atribut yang terkesan membuat jarak seperti pakaian (mewah, mencolok), jam tangan, atau hal lain. Dengan menerapkan pola seperti itu, harapannya ada atmosfer egaliter antara pelaku Turba dan warga.

JJ Kusni menulis (hal. 101):

“Dengan metode empat sama ini, kita tidak datang se­bagai pelancong, tidak pula sebagai pembesar yang “begitu turun kereta sudah memberikan perintah ini dan itu” kepada yang didatangi. Ini menuntut kita untuk menjadi sahabat akrab, menjadi anggota keluarga mereka yang kita datangi. Melalui metode ini, kita akhimya bisa mengeduk bahan sebanyak banyaknya dan sekaya-kayanya. Kita pun menge­nal relung-relung kehidupan penduduk yang paling rahasia tak pernah terungkapkan kepada orang luar. Pengenalan beginilah yang oleh Lekra disebut sebagai “kenal keadaan”. Tapi, keadaan tidak lebih sebagai bahan mentah yang perlu diolah. Untuk mengolah bahan mentah ini diperlukan pisau analisa hingga kita bisa menyelam ke dasar hakiki permasalahan.“

Secara tidak langsung, Kusni mengkritik pola Turba yang dia membahasakannya dengan “penunggang kuda melihat bunga”. Kurang lebih seperti sekelompok intelektual yang datang ke masyarakat namun tidak mau membaur dengan yang lain. Langsung mengajari hal ini-itu yang menurut mereka benar, tanpa memperhatikan apa yang diinginkan masyarakat.

Beberapa tahun yang lalu kita mengenal istilah blusukan. Istilah ini menggaung ketika media sedang gencar-gencarnya berbicara tentang Jokowi yang ketika itu masih menjadi Walikota Solo kemudian Gubernur DKI. Blusukan dikenal sebagai metode pemimpin yang turun ke masyarakat, entah itu pedesaan, pasar, jalan pinggiran, yang tujuannya untuk mengetahui kenyataan di lapangan. Pada prakteknya, blusukan dinilai sebagai pencitraan.

Padahal jauh sebelum itu, Lekra sudah menerapkan konsep ini dengan pendekatan metode yang dirasa lebih efektif. Pola terjun masyarakat yang seperti inilah yang dinilai dibutuhkan gerakan hari ini. Karena pada akhirnya, mau sekuat apapun pemikiran yang sudah kita godok perihal problematika masyarakat, tantangannya tetap bagaimana kita mengkomunikasikannya kepada masyarakat.[]

Moch. Ari Nasichuddin, Machine Learning Engineer dan Web/Core Programmer at Atmatech

Halaman Budaya Sahewan Panarung, Radar Sampit, Minggu, 2 Agustus 2020