“Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!“
– Soekarno, Presiden pertama Indonesia 1901-1970
“Ensuring that no one is left behind – How do we protect the poorest and most vulnerable from the crisis and empower them to realize the SDGs. Menjamin bahwa tak seorang pun yang ditingggalkan di belakang. Bagaimana melindungi mereka yang termiskin dan terpapa dari krisis serta bagaimana memberdayakan mereka guna melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.”
– Statements Office of the High Commissioner for Human Rights, 06 July 2021
Penyunting: Andriani SJ Kusni
Sependek pengetahuan saya, baru dan hanya Presiden Joko Widodo (Jokowi) sajalah yang berani dengan terus-terang dan berkali-kali mengakui di depan publik bahwa pembangunan Indonesia sejak 1945 bersifat Jawa-Sentris.
Dengan maksud agar pembangunan menjadi Indonesia-Sentris maka sebagai Presiden, ia memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur–salah satu pertimbangan yang sejajar dengan alasan Bung Karno ketika ingin memindahkan IKN ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng).
Jawa-Sentris artinya segala-galanya terpusat di Jawa.
Tidak heran hal-hal penting seperti rumah sakit, sekolah-sekolah, infrastruktur terbaik, dan lain-lain, semuanya terdapat di Jawa. Padahal, daerah-daerah luar Jawa itu kaya akan sumber daya alam yang mendatangkan devisa untuk Negara. Tapi hasilnya sebagian terbesar digunakan untuk Jawa sehingga ketertinggalan dibandingkan dengan Jawa merupakan ciri daerah-daerah luar Jawa–lebih-lebih Indonesia Tengah dan Timur.
Oleh berlangsungnya ketimpangan begini, maka seperti pernah saya tulis di Harian ini, saya sempat merasa sangat gembira dengan meletusnya pemberontakan PRRI-Permesta pada 1958-1961, walaupun membuat kiriman pos wesel dari kampung menjadi macet dan saya harus dengan berbagai cara mencari cara bertahan hidup serta sering kelaparan.
Apa yang disebut oleh Presiden Jokowi sebagai ‘Jawa-Sentris’ itulah yang saya maksudkan dengan politik etnik untuk Indonesia yang terdiri dari banyak suku itu. Selama ini, politik etnik yang dipilih adalah politik Jawa-Sentris, termasuk dalam kategori ‘politik besarisme’.
Sebagai pulau yang berpenduduk paling banyak di negeri ini, seperti perahu yang sudah sangat sarat muat, saya memahami bahwa jika Jawa tidak diurus dengan baik, Jawa akan resah dan dampak keresahan di pulau terkecil dari lima pulau terbesar Indonesia itu akan berdampak ke pulau-pulau lain.
Tapi sekalipun demikian, karena Indonesia bukan hanya Jawa, agar kemajuan bisa merata, akan sepantasnyalah jika daerah-daerah, yang berarti suku-suku lain penghuni daerah-daerah lain dan disebut sebagai wilayah Republik Indonesia, tidak diabaikan. Pengabaian etnik daerah-daerah lain menghasilkan keterbelakangan dan menjadikan daerah-daerah lain itu sebagai ‘sapi perahan’ belaka, keadaaan demikianlah yang saya namakan penjajahan internal. Apalagi, ciri-ciri penjajahan itu lengkap terdapat di daerah-daerah tersebut, paling tidak di Kalimantan Tengah, sampai pada hari ini.
Saya khawatir, jika politik etnik Jawa-Sentris dan besarisme dilanjutkan, terutama dalam praktek, keberlanjutan eksistensi bangsa dan negeri ini akan mengalami gangguan tanpa jeda. Bumi Tambun-Bungai, Bumi Pancasila tidak mempunyai makna dalam kehidupan kecuali sebagai retorika politik politisien. Kalau pemahaman saya tidak salah, salah satu penyebab remuknya Yugoslavia sebagai bangsa dan Negara, terdapat unsur politik besarisme ini juga.
Dalam kehidupan langlang buana, saya pernah berkunjung ke beberapa daerah etnik minoritas di perdesaan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), antara lain ke daerah Hei-Lung-kiang di Timur Laut.
Waktu itu musim dingin minus 40 (empat puluh) derajat. Tuan rumah, Tiongkok, tahu benar bahwa saya mempunyai perhatian besar selain pada masalah sastra-seni, juga terhadap politik etnik yang mereka terapkan. Daerah perdesaan yang saya kunjungi dihuni oleh etnik Korea, tentu saja juga dihuni oleh etnik Han sebagai etnik mayoritas.
Air bersih merupakan keperluan seluruh warga desa tanpa kecuali. Untuk itu, pemerintah menyediakan pompa air. Yang menarik perhatian, pertama-tama yang didahulukan dalam pengadaan pompa air itu adalah untuk warga dari etnik Korea. Perhatian penuh pemerintah pada etnik minoritas ini juga nampak pada pengadaan pabrik khusus dan pakaian khas Korea. Adanya perhatian penuh pemerintah ini membuat kehidupan etnik minoritas (dalam arti jumlah) berkembang setara dengan yang Han.
Dalam bidang pendidikan, untuk etnik-etnik minoritas ini diadakan universitas khusus yang dinamakan Universirtas Etnik Minoritas (Min Zu Da Xué) yang memungkinkan sumber daya manusia berkualitas etnik-etnik minoritas ini bisa cepat tumbuh berkembang.
Kali lain, dari Australia melalui Hong Kong, saya kembali ke Tiongkok. Waktu itu diterapkan politik demografi ‘satu keluarga satu anak’. Politik demografi ini terutama diberlakukan untuk etnik Han sedangkan terhadap etnik-etnik minoritas, politik demografi ‘satu keluarga satu anak’ tidak diberlakukan dengan maksud agar laju jumlah mereka tidak terhambat.
Sementara di negeri kita, diterapkan politik keluarga berencana pukul rata. Bahkan, di daerah perdesaan Dayak Kalimantan Tengah yang jumlahnya sudah sedikit dibandingkan dengan etnik Jawa, Banjar, dan Bugis, terdapat desa-desa yang disebut Desa Teladan Keluarga Berencana. Tidakkah kebijakan begini membuat yang sudah minoritas menjadi tetap minoritas dan semakin minoritas?
Di bidang literasi, untuk etnik-etnik yang tidak punya aksara, pemerintah mengatur agar mereka mempunyai aksara guna mengembangkan sastra etnik mereka sendiri. Pengembangan sastra-seni etnik minoritas benar-benar didorong dan dikembangkan. Artinya, Tiongkok menerapkan politik etnik yang adil sehingga kemajuan etnik-etnik itu merata di seluruh negeri.
Tidak bisakah politik etnik yang adil begini diterapkan di negeri kita sehingga kesenjangan antar etnik tertangani? Politik ‘survival of the fittest’ atau laisser faire,laisser aller, yang kuat adalah yang menang, saya pastikan bukan politik etnik yang adil, apalagi politik etnik ‘Jawa-Sentris’ yang sejak lama dipraktekkan.
Salah satu bentuk konkretisasi Bhinneka Tunggal Ika adalah meninggalkan politik etnik ’Jawa-Sentris”, ‘besarisme’, dan mulai menerapkan politik etnik yang berkeadilan.
Lanjutan konkret dari ‘politik etnik yang berkeadilan’ ini adalah pembentukan dan penetapan desa adat, bukan lima skema perhutanan sosial yang saya anggap kebijakan akal-akalan. Pembentukan dan penetapan desa adat tidak lain mewujudkan secara nyata konsep Bhinneka Tunggal Ika, mengembalikan kedaulatan rakyat ke tangan rakyat, dalam pengertian sesungguhnya. Desa adat juga merupakan perwujudan nyata dari republikan dan berkeindonesiaan sebagai rangkaian nilai. Desa adat sebagaimana halnya dengan republik dan Indonesia sebagai rangkaian nilai berdiri hadap-hadapan dengan praktek penjajahan internal dalam berbagai bentuk. Karena itu, kemerdekaan sesungguhnya masih jauh dari kenyataan.
Praktek politik etnik yang lain, saya terima tuturannya dari Swedia.
Teman-teman saya yang berada di negeri Utara (Nordic) itu mengatakan bahwa jika kau dari Indonesia, pemerintah Swedia memfasilitasi Anda agar tetap menguasai baik Bahasa Indonesia. Arti praktis kebijakan ini, jika Swedia memerlukan tenaga yang menguasai Bahasa Indonesia, pemerintah tidak kalang-kabut untuk mencari tenaga penerjemah. Sementara di Indonesia, pemerintah pernah melarang penggunaan Bahasa Tionghoa yang pada zaman Pemerintahan Soekarno, koran-koran berbahasa daerah termasuk Tionghoa sangat dikembangkan.
Sehubungan dengan politik bahasa ini, yang menjadi pertanyaan: Apakah semboyan “Mengutamakan Bahasa Indonesia, Melestarikan Bahasa Daerah dan Menguasai Bahasa Asing” itu kebijakan yang sudah tepat? Apakah kebijakan ini tidak telah turut andil dalam kematian bahasa-bahasa daerah? Dalam perbandingan, menurut semboyan ini, bahasa daerah cuma dilestarikan, tidak perlu dikuasai, tidak juga diutamakan. Pertanyaan ini muncul dalam hubungan dengan politik etnik yang di dalamnya mencakup masalah bahasa dan sastra.
Apabila Office of the High Commissioner for Human Rights PBB menyatakan tentang keharusan Negara-Negara “Ensuring that no one is left behind – How do we protect the poorest and most vulnerable from the crisis and empower them to realize the SDGs. Menjamin bahwa tak seorang pun yang ditingggalkan di belakang. Bagaimana melindungi mereka yang termiskin dan terpapa dari krisis serta bagaimana memberdayakan mereka guna melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”, pertanyaannya: Bagaimana mungkin keinginan demikian terwujud apabila yang dilaksanakan adalah politik etnik diskriminatif seperti halnya dengan politik etnik Jawa-Sentris dan besarisme? Bagaimana mungkin keinginan Bung Karno bahwa “Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!“ terwujud jika tidak dipilih dan dilaksanakan politik etnik yang berkeadilan?
Memilih dan melaksanakan politik etnik yang berkeadilan, tidak lain dari wujud kecintaan pada rakyat dan kesetiaan serta penghayatan pada rangkaian nilai republikan dan berkeindonesiaan.
Perlakuan terhadap Dayak yang sangat lemah di daerah IKN akan memperlihatkan politik etnik apa-bagaimana yang akan dipilih dan diterapkan penyelenggara Negara.
Kalau politik etnik berkeadilan itu adalah hak semua etnik, kalau direnggut lalu mengapa dibiarkan? Meratap sampai terguling-guling pun pasti tidak memberikan kita apa-apa, selain keterpurukan yang kian menjadi.
Meratap dan mengemis bukanlah sikap yang tepat tanggap.***
Politik Identitas Etnis dalam Demokrasi
Oleh: Noviardi Ferzi* | Penyunting: Andriani SJ Kusni
Pertama kali, batasan tentang politik identitas dicetuskan oleh feminis kulit hitam Barbara Smith dan Combahee River Collective pada tahun 1974. Pada awalnya, politik identitas berawal dari kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang selama ini mengutamakan kesamaan yang monoton dari pada nilai strategis perbedaan.
Demokrasi di tengah masyarakat yang plural tidak selalu mulus. Kita menghadapi berbagai persoalan. Harus diakui, pesta demokrasi seperti pemilihan kepala negara dan kepala daerah langsung turut mendorong politik identitas.
Kehidupan bangsa Indonesia menghadapi tantangan, salah satunya adalah merebaknya politik identitas yang mengedepankan identitas golongan atau simbol tertentu guna mendapatkan pengaruh politik.
Politik identitas yang dimaksud adalah politisi yang mengedepankan identitas seperti suku, ras, agama, dan identitas kedaerahan untuk meraih suara terbanyak ketimbang program kerja yang paling baik untuk kepentingan masyarakat atau politik yang berorientasi kerja.
Strategi Alami Politik
Politik identitas pada dasarnya sesuatu yang alamiah, nilai dan keyakinan yang ada dalam diri setiap manusia. Hanya saja, tingkat pendidikan, hukum, regulasi, nilai dan pemahaman tiap manusia pada setiap daerah bahkan negara untuk secara sadar tidak mengkedepankan ini, menjadi pembeda.
Buruknya, politik identitas membuat masyarakat terpecah. Mereka (para politisi-penyunting) tidak lagi peduli bagaimana mengembalikan agar masyarakat bersatu kembali sebagai bangsa yang berbeda tetap satu tujuan, Bhineka Tunggal Ika.
Dalam rangka memuluskan politik identitas di atas, tidak jarang para politisi memproduksi ragam berita bohong yang mendorong ujaran kebencian dan menyumbang perpecahan di masyarakat. Berita bohong atau lebih dikenal dengan sebutan hoax, sengaja dibuat oleh tim para pemenang untuk menjatuhkan lawan politik.
Sebelum media sosial berkembang, berita bohong lebih banyak beredar dari mulut ke mulut dan terbatas di masa atau wilayah tertentu. Seiring pertumbuhan internet, penggunaan media sosial pun berkembang luas dan karenanya berita bohong pun tumbuh dan berkembang. Berita bohong tidak lagi terkendali ketika media sosial kini berada di tangan para penggunanya melalui telepon genggam pintar (smart phone). Asal terhubung internet, semua informasi baik berita kredibel maupun berita bohong beredar.
Politik Etnisitas
Identifikasi identitas etnik yang lazim dilakukan pada masyarakat multi etnik senantiasa diarahkan pada situasi dan konteks di mana seseorang berada.
Dalam konteks politik, terutama dalam pilkada, identifikasi identitas etnik menjadi hal penting dalam aktifitas politik. Identitas etnik adalah sesuatu yang problematik ketika dihadapkan dengan komunikasi politik, terutama dalam sistem pemilu yang demokratis. Hal tersebut bisa menjadi pembeda atau ko-identifikasi bagi pihak-pihak yang menggunakannya untuk tujuan meraih dukungan politik.
Pada awalnya politik identitas etnis lebih mengarah pada gerakan kaum yang terpinggirkan dalam kondisi sosial, politik dan kultural tertentu dalam masyarakat. Dalam perjuangan politiknya, penggunaan identitas etnis memberi hasil positif yang berpengaruh secara signifikan. Secara operasionalnya, politik identitas etnis adalah konsep kunci dalam arena politik yang memanfaatkan penggolongan manusia berdasarkan perbedaan yang disebabkan oleh ketimpangan atau ketidakadilan dalam pendistribusian sumber daya ekonomi, kekuasaan, wilayah, peluang kerja. Mendukung ini, Usman Hamid, salah seorang aktivis demokrasi mengatakan bahwa politik identitas di Indonesia telah digunakan sebagai alat untuk mengembalikan distribusi sumber daya.
Saat ini, politik identitas tidak dapat dihindari di dalam demokrasi. Bahkan politik identitas merupakan sebuah fenomena politik yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia lainnya dengan pola dan karakteristik sesuai dengan konteks yang terjadi di negara tersebut.
Dalam demokrasi, politik identitas merupakan tindakan pengorganisasian identitas tertentu secara politis yang sering kali digunakan dalam rangka penyaluran aspirasi untuk memengaruhi baik kebijakan maupun tujuan kekuasaan. Bila politik identitas digunakan secara berlebihan dan dimanipulasi dengan cara membenturkan identitas lain, tentunya akan menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat.
Lalu, apakah Politik Identitas baik?
Dalam hal ini, Francis Fukuyama menyebut politik identitas sebagai salah satu “ancaman utama” yang dihadapi demokrasi, mengalihkan energi dan berpikir jauh dari masalah yang lebih besar seperti meningkatnya ketidaksetaraan ekonomi. “Bagaimana kita bisa bersatu dalam sesuatu yang besar, ketika kita terus membelah diri menjadi faksi-faksi yang lebih kecil? Di jalan ini terletak, pada akhirnya, kehancuran dan kegagalan negara,” Fukuyama memperingatkan.
Jika logika politik identitas adalah untuk membagi kita menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, urutan itu berakhir dan tak terhindarkan dengan identitas satu. Dan satu-satunya cara untuk melindungi dan menjunjung tinggi setiap individu adalah melalui hak dan prinsip yang luas, mencakup semua. Jadi, menurut Fukuyama, daripada menuju politik identitas, kita harus bergerak menuju politik solidaritas. Tetapi agar solidaritas itu bertahan, ia harus bergulat dengan politik identitas. Politik identitas, dengan segala kekurangannya, tidak bertentangan dengan visi nasional yang menyeluruh yang menjadikan kita satu.
Politik identitas yang berlebihan akan bermuara pada konflik SARA, tidak saja berimplikasi pada kualitas demokrasi tapi juga mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Idealnya, identitas yang dibawa ke dalam politik tersebut diperankan dalam koridor etika dan moral sehingga tidak ada hak orang lain yang dilanggar serta tidak mengganggu ketertiban umum.
Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya melek politik dan hukum, ditambah lagi derasnya arus informasi tanpa filter, maka dikhawatirkan merebak sikap emosional yang mudah tersulut sehingga berakibat timbul konflik vertikal maupun horisontal yang justru akan merugikan keutuhan bangsa Indonesia.
Kondisi Indonesia yang multi identitas jangan sampai menjadi sumber disintegrasi. Beragam identitas yang ada di Indonesia justru merupakan kekuatan utama bagi kemajuan bangsa.***
* Pengamat (Sumber: https://jamberita.com/read/2022/02/08/5972089/politik-identitas-etnis-dalam-demokrasi/)