Halaman Masyarakat Adat | 23 Juli 2023 | Catatan Kusni Sulang: POLITIK ETNIK JAWA-SENTRIS PATUT SEGERA DITINGGALKAN

“Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!“
–          Soekarno, Presiden pertama Indonesia 1901-1970

Ensuring that no one is left behind – How do we protect the poorest and most vulnerable from the crisis and empower them to realize the SDGs. Menjamin bahwa tak seorang pun yang ditingggalkan di belakang. Bagaimana melindungi mereka yang termiskin dan terpapa dari krisis serta bagaimana memberdayakan mereka guna melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.”
–          Statements Office of the High Commissioner for Human Rights, 06 July 2021


Penyunting: Andriani SJ Kusni

Dalam rangka merayakan Hari Kemerdekaan yang ke-76, Suku Dayak Iban di Desa Lintang Batu, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat yang tinggal di perbatasan, membentangkan di atap Rumah Betang mereka, bendera Merah Putih sepanjang 168 meter dan lebar tiga meter. Untuk memasang bendera itu, 42 orang telah dikerahkan. Foto: Antara (Diambil dari https://kalbar.inews.id/berita/bendera-merah-putih-sepanjang-168-meter-dibentangkan-di-atap-rumah-suku-dayak)

Sependek pengetahuan saya, baru dan hanya Presiden Joko Widodo (Jokowi) sajalah yang berani dengan terus-terang dan berkali-kali mengakui di depan publik bahwa pembangunan Indonesia sejak 1945 bersifat Jawa-Sentris.

Dengan maksud agar pembangunan menjadi Indonesia-Sentris maka sebagai Presiden, ia memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur–salah satu pertimbangan yang sejajar dengan alasan Bung Karno ketika ingin memindahkan IKN ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng).

Jawa-Sentris artinya segala-galanya terpusat di Jawa.

Tidak heran hal-hal penting seperti rumah sakit, sekolah-sekolah, infrastruktur terbaik, dan lain-lain, semuanya terdapat di Jawa. Padahal, daerah-daerah luar Jawa itu kaya akan sumber daya alam yang mendatangkan devisa untuk Negara. Tapi hasilnya sebagian terbesar digunakan untuk Jawa sehingga ketertinggalan dibandingkan dengan Jawa merupakan ciri daerah-daerah luar Jawa–lebih-lebih Indonesia Tengah dan Timur.

Oleh berlangsungnya ketimpangan begini, maka seperti pernah saya tulis di Harian ini, saya sempat merasa sangat gembira dengan meletusnya pemberontakan PRRI-Permesta pada 1958-1961, walaupun membuat kiriman pos wesel dari kampung menjadi macet dan saya harus dengan berbagai cara mencari cara bertahan hidup serta sering kelaparan.

Apa yang disebut oleh Presiden Jokowi sebagai ‘Jawa-Sentris’ itulah yang saya maksudkan dengan politik etnik untuk Indonesia yang terdiri dari banyak suku itu. Selama ini, politik etnik yang dipilih adalah politik Jawa-Sentris, termasuk dalam kategori ‘politik besarisme’.

Sebagai pulau yang berpenduduk paling banyak di negeri ini, seperti perahu yang sudah sangat sarat muat, saya memahami bahwa jika Jawa tidak diurus dengan baik, Jawa akan resah dan dampak keresahan di pulau terkecil dari lima pulau terbesar Indonesia itu akan berdampak ke pulau-pulau lain.

Tapi sekalipun demikian, karena Indonesia bukan hanya Jawa, agar kemajuan bisa merata, akan sepantasnyalah jika daerah-daerah, yang berarti suku-suku lain penghuni daerah-daerah lain dan disebut sebagai wilayah Republik Indonesia, tidak diabaikan. Pengabaian etnik daerah-daerah lain menghasilkan keterbelakangan dan menjadikan daerah-daerah lain itu sebagai ‘sapi perahan’ belaka, keadaaan demikianlah yang saya namakan penjajahan internal. Apalagi, ciri-ciri penjajahan itu lengkap terdapat di daerah-daerah tersebut, paling tidak di Kalimantan Tengah, sampai pada hari ini.

Saya khawatir, jika politik etnik Jawa-Sentris dan besarisme dilanjutkan, terutama dalam praktek, keberlanjutan eksistensi bangsa dan negeri ini akan mengalami gangguan tanpa jeda. Bumi Tambun-Bungai, Bumi Pancasila tidak mempunyai makna dalam kehidupan kecuali sebagai retorika politik politisien. Kalau pemahaman saya tidak salah, salah satu penyebab remuknya Yugoslavia sebagai bangsa dan Negara, terdapat unsur politik besarisme ini juga.

Dalam kehidupan langlang buana, saya pernah berkunjung ke beberapa daerah etnik minoritas di perdesaan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), antara lain ke daerah Hei-Lung-kiang di Timur Laut.

Waktu itu musim dingin minus 40 (empat puluh) derajat. Tuan rumah, Tiongkok, tahu benar bahwa saya mempunyai perhatian besar selain pada masalah sastra-seni, juga terhadap politik etnik yang mereka terapkan. Daerah perdesaan yang saya kunjungi dihuni oleh etnik Korea, tentu saja juga dihuni oleh etnik Han sebagai etnik mayoritas.

Air bersih merupakan keperluan seluruh warga desa tanpa kecuali. Untuk itu, pemerintah menyediakan pompa air. Yang menarik perhatian, pertama-tama yang didahulukan dalam pengadaan pompa air itu adalah untuk warga dari etnik Korea. Perhatian penuh pemerintah pada etnik minoritas ini juga nampak pada pengadaan pabrik khusus dan pakaian khas Korea. Adanya perhatian penuh pemerintah ini membuat kehidupan etnik minoritas (dalam arti jumlah) berkembang setara dengan yang Han.

Dalam bidang pendidikan, untuk etnik-etnik minoritas ini diadakan universitas khusus yang dinamakan Universirtas Etnik Minoritas (Min Zu  Da Xué) yang memungkinkan sumber daya manusia berkualitas etnik-etnik minoritas ini bisa cepat tumbuh berkembang.

Kali lain, dari Australia melalui Hong Kong, saya kembali ke Tiongkok. Waktu itu diterapkan politik demografi ‘satu keluarga satu anak’. Politik demografi ini terutama diberlakukan untuk etnik Han sedangkan terhadap etnik-etnik minoritas, politik demografi ‘satu keluarga satu anak’ tidak diberlakukan dengan maksud agar laju jumlah mereka tidak terhambat.

Sementara di negeri kita, diterapkan politik keluarga berencana pukul rata. Bahkan, di daerah perdesaan Dayak Kalimantan Tengah yang jumlahnya sudah sedikit dibandingkan dengan etnik Jawa, Banjar, dan Bugis, terdapat desa-desa yang disebut Desa Teladan Keluarga Berencana. Tidakkah kebijakan begini membuat yang sudah minoritas menjadi tetap minoritas dan semakin minoritas?

Di bidang literasi, untuk etnik-etnik yang tidak punya aksara, pemerintah mengatur agar mereka mempunyai aksara guna mengembangkan sastra etnik mereka sendiri. Pengembangan sastra-seni etnik minoritas benar-benar didorong dan dikembangkan. Artinya, Tiongkok menerapkan politik etnik yang adil sehingga kemajuan etnik-etnik itu merata di seluruh negeri.

Tidak bisakah politik etnik yang adil begini diterapkan di negeri kita sehingga kesenjangan antar etnik tertangani? Politik ‘survival of the fittest’  atau laisser faire,laisser aller, yang kuat adalah yang menang, saya pastikan bukan politik etnik yang adil, apalagi politik etnik ‘Jawa-Sentris’ yang sejak lama dipraktekkan.

Salah satu bentuk konkretisasi Bhinneka Tunggal Ika adalah meninggalkan politik etnik ’Jawa-Sentris”, ‘besarisme’, dan mulai menerapkan politik etnik yang berkeadilan.

Lanjutan konkret dari ‘politik etnik yang berkeadilan’ ini adalah pembentukan dan penetapan desa adat, bukan lima skema perhutanan sosial yang saya anggap kebijakan akal-akalan. Pembentukan dan penetapan desa adat tidak lain mewujudkan secara nyata konsep Bhinneka Tunggal Ika, mengembalikan kedaulatan rakyat ke tangan rakyat, dalam pengertian sesungguhnya. Desa adat juga merupakan perwujudan nyata dari republikan dan berkeindonesiaan sebagai rangkaian nilai. Desa adat sebagaimana halnya dengan republik dan Indonesia sebagai rangkaian nilai berdiri hadap-hadapan dengan praktek penjajahan internal dalam berbagai bentuk. Karena itu, kemerdekaan sesungguhnya masih jauh dari kenyataan.

Praktek politik etnik yang lain, saya terima tuturannya dari Swedia.

Teman-teman saya yang berada di negeri Utara (Nordic) itu mengatakan bahwa jika kau dari Indonesia, pemerintah Swedia memfasilitasi Anda agar tetap menguasai baik Bahasa Indonesia. Arti praktis kebijakan ini, jika Swedia memerlukan tenaga yang menguasai Bahasa Indonesia, pemerintah tidak kalang-kabut untuk mencari tenaga penerjemah. Sementara di Indonesia, pemerintah pernah melarang penggunaan Bahasa Tionghoa yang pada zaman Pemerintahan Soekarno, koran-koran berbahasa daerah termasuk Tionghoa sangat dikembangkan.

Sehubungan dengan politik bahasa ini, yang menjadi pertanyaan: Apakah semboyan “Mengutamakan Bahasa Indonesia, Melestarikan Bahasa Daerah dan Menguasai Bahasa Asing” itu kebijakan yang sudah tepat? Apakah kebijakan ini tidak telah turut andil dalam kematian bahasa-bahasa daerah? Dalam perbandingan, menurut semboyan ini, bahasa daerah cuma dilestarikan, tidak perlu dikuasai, tidak juga diutamakan. Pertanyaan ini muncul dalam hubungan dengan politik etnik yang di dalamnya mencakup masalah bahasa dan sastra.

Apabila Office of the High Commissioner for Human Rights PBB menyatakan tentang keharusan Negara-Negara “Ensuring that no one is left behind – How do we protect the poorest and most vulnerable from the crisis and empower them to realize the SDGs. Menjamin bahwa tak seorang pun yang ditingggalkan di belakang. Bagaimana melindungi mereka yang termiskin dan terpapa dari krisis serta bagaimana memberdayakan mereka guna melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”, pertanyaannya: Bagaimana mungkin keinginan demikian terwujud apabila yang dilaksanakan adalah politik etnik diskriminatif seperti halnya dengan politik etnik Jawa-Sentris dan besarisme? Bagaimana mungkin keinginan Bung Karno bahwa “Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!“ terwujud jika tidak dipilih dan dilaksanakan politik etnik yang berkeadilan?

Memilih dan melaksanakan politik etnik yang berkeadilan,  tidak lain dari  wujud kecintaan pada rakyat dan kesetiaan serta penghayatan pada rangkaian nilai republikan dan berkeindonesiaan.

Perlakuan terhadap Dayak yang sangat lemah di daerah IKN akan memperlihatkan politik etnik apa-bagaimana yang akan dipilih dan diterapkan penyelenggara Negara.

Kalau politik etnik berkeadilan itu adalah hak semua etnik, kalau direnggut lalu mengapa dibiarkan? Meratap sampai terguling-guling pun pasti tidak memberikan kita apa-apa, selain keterpurukan yang kian menjadi.

Meratap dan mengemis bukanlah sikap yang tepat tanggap.***


Politik Identitas Etnis dalam Demokrasi

Oleh: Noviardi Ferzi* | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Pertama kali, batasan tentang politik identitas dicetuskan oleh feminis kulit hitam Barbara Smith dan Combahee River Collective pada tahun 1974. Pada awalnya, politik identitas berawal dari kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang selama ini mengutamakan kesamaan yang monoton dari pada nilai strategis perbedaan.

Demokrasi di tengah masyarakat yang plural tidak selalu mulus. Kita menghadapi berbagai persoalan. Harus diakui, pesta demokrasi seperti pemilihan kepala negara dan kepala daerah langsung turut mendorong politik identitas.

Kehidupan bangsa Indonesia menghadapi tantangan, salah satunya adalah merebaknya politik identitas yang mengedepankan identitas golongan atau simbol tertentu guna mendapatkan pengaruh politik.

Politik identitas yang dimaksud adalah politisi yang mengedepankan identitas seperti suku, ras, agama, dan identitas kedaerahan untuk meraih suara terbanyak ketimbang program kerja yang paling baik untuk kepentingan masyarakat atau politik yang berorientasi kerja.

Strategi Alami Politik

Politik identitas pada dasarnya sesuatu yang alamiah, nilai dan keyakinan yang ada dalam diri setiap manusia. Hanya saja, tingkat pendidikan, hukum, regulasi, nilai dan pemahaman tiap manusia pada setiap daerah bahkan negara untuk secara sadar tidak mengkedepankan ini, menjadi pembeda.

Buruknya, politik identitas membuat masyarakat terpecah. Mereka (para politisi-penyunting) tidak lagi peduli bagaimana mengembalikan agar masyarakat bersatu kembali sebagai bangsa yang berbeda tetap satu tujuan, Bhineka Tunggal Ika.

Dalam rangka memuluskan politik identitas di atas, tidak jarang para politisi memproduksi ragam berita bohong yang mendorong ujaran kebencian dan menyumbang perpecahan di masyarakat. Berita bohong atau lebih dikenal dengan sebutan hoax, sengaja dibuat oleh tim para pemenang untuk menjatuhkan lawan politik.

Sebelum media sosial berkembang, berita bohong lebih banyak beredar dari mulut ke mulut dan terbatas di masa atau wilayah tertentu. Seiring pertumbuhan internet, penggunaan media sosial pun berkembang luas dan karenanya berita bohong pun tumbuh dan berkembang. Berita bohong tidak lagi terkendali ketika media sosial kini berada di tangan para penggunanya melalui telepon genggam pintar (smart phone). Asal terhubung internet, semua informasi baik berita kredibel maupun berita bohong beredar. 

Politik Etnisitas

Identifikasi identitas etnik yang lazim dilakukan pada masyarakat multi etnik senantiasa diarahkan pada situasi dan konteks di mana seseorang berada.

Dalam konteks politik, terutama dalam pilkada, identifikasi identitas etnik menjadi hal penting dalam aktifitas politik. Identitas etnik adalah sesuatu yang problematik ketika dihadapkan dengan komunikasi politik, terutama dalam sistem pemilu yang demokratis. Hal tersebut bisa menjadi pembeda atau ko-identifikasi bagi pihak-pihak yang menggunakannya untuk tujuan meraih dukungan politik.

Pada awalnya politik identitas etnis lebih mengarah pada gerakan kaum yang terpinggirkan dalam kondisi sosial, politik dan kultural tertentu dalam masyarakat. Dalam perjuangan politiknya, penggunaan identitas etnis memberi hasil positif yang berpengaruh secara signifikan. Secara operasionalnya, politik identitas etnis adalah konsep kunci dalam arena politik yang memanfaatkan penggolongan manusia berdasarkan perbedaan yang disebabkan oleh ketimpangan atau ketidakadilan dalam pendistribusian sumber daya ekonomi, kekuasaan, wilayah, peluang kerja. Mendukung ini, Usman Hamid, salah seorang aktivis demokrasi mengatakan bahwa politik identitas di Indonesia telah digunakan sebagai alat untuk mengembalikan distribusi sumber daya.

Saat ini, politik identitas tidak dapat dihindari di dalam demokrasi. Bahkan politik identitas merupakan sebuah fenomena politik yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia lainnya dengan pola dan karakteristik sesuai dengan konteks yang terjadi di negara tersebut.

Dalam demokrasi, politik identitas merupakan tindakan pengorganisasian identitas tertentu secara politis yang sering kali digunakan dalam rangka penyaluran aspirasi untuk memengaruhi baik kebijakan maupun tujuan kekuasaan. Bila politik identitas digunakan secara berlebihan dan dimanipulasi dengan cara membenturkan identitas lain, tentunya akan menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat.

Lalu, apakah Politik Identitas baik?

Dalam hal ini, Francis Fukuyama menyebut politik identitas sebagai salah satu “ancaman utama” yang dihadapi demokrasi, mengalihkan energi dan berpikir jauh dari masalah yang lebih besar seperti meningkatnya ketidaksetaraan ekonomi. “Bagaimana kita bisa bersatu dalam sesuatu yang besar, ketika kita terus membelah diri menjadi faksi-faksi yang lebih kecil? Di jalan ini terletak, pada akhirnya, kehancuran dan kegagalan negara,” Fukuyama memperingatkan.

Jika logika politik identitas adalah untuk membagi kita menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, urutan itu berakhir dan tak terhindarkan dengan identitas satu. Dan satu-satunya cara untuk melindungi dan menjunjung tinggi setiap individu adalah melalui hak dan prinsip yang luas, mencakup semua. Jadi, menurut Fukuyama, daripada menuju politik identitas, kita harus bergerak menuju politik solidaritas. Tetapi agar solidaritas itu bertahan, ia harus bergulat dengan politik identitas. Politik identitas, dengan segala kekurangannya, tidak bertentangan dengan visi nasional yang menyeluruh yang menjadikan kita satu.

Politik identitas yang berlebihan akan bermuara pada konflik SARA, tidak saja berimplikasi pada kualitas demokrasi tapi juga mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Idealnya, identitas yang dibawa ke dalam politik tersebut diperankan dalam koridor etika dan moral sehingga tidak ada hak orang lain yang dilanggar serta tidak mengganggu ketertiban umum.

Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya melek politik dan hukum, ditambah lagi derasnya arus informasi tanpa filter, maka dikhawatirkan merebak sikap emosional yang mudah tersulut sehingga berakibat timbul konflik vertikal maupun horisontal yang justru akan merugikan keutuhan bangsa Indonesia.

Kondisi Indonesia yang multi identitas jangan sampai menjadi sumber disintegrasi. Beragam identitas yang ada di Indonesia justru merupakan kekuatan utama bagi kemajuan bangsa.***

* Pengamat  (Sumber: https://jamberita.com/read/2022/02/08/5972089/politik-identitas-etnis-dalam-demokrasi/)


Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu, 23 Juli 2023
Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu, 23 Juli 2023. Pengasuh: Kusni Sulang & Andriani SJ Kusni, Redaktur: Heru P., Penata Letak: Rafi

Catatan Kusni Sulang: Memberdayakan Kata-Kata Minoritas Kreatif

Radar Sampit, Minggu, 30/1/2022 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Komisi III DPR RI melakukan RDPU dengan perwakilan masyarakat Kalimantan
Pembacaan Pernyataan Sikap Aliansi Borneo Bersatu dalam RDPU dengan Komisi III DPR RI, yang disiarkan langsung melalui Saluran Youtube DPR RI, 27/1/2022. Foto tangkap layar Youtube DPR RI.

Selasa, 18 Januari 2022, Edy Mulyadi mengunggah di media sosialnya sebuah konten yang oleh warga Kalimantan  seperti yang tergabung dalam Aliansi Borneo Bersatu (ABB), dipandang menghina dan melecehkan pulau Kalimantan.

Dalam unggahan tersebut, Edy Mulyadi cs mengatakan Kalimantan adalah tempat pembuangan anak jin dan hanya monyet yang mau tinggal disana.

Pernyataan ini oleh warga Kalimantan disebut telah “melukai hati masyarakat Kalimantan secara umum,” kata Ketua Aliansi Borneo Bersatu, Cucun H. Umar, Kamis, 27/1/2022 di Kompleks Parlemen Senayan (https://nasional.kompas.com/read/2022/01/27/17260161/kecam-keras-pernyataan-edy-mulyadi-aliansi-borneo-bersatu-melukai-hati).

Beredarnya unggahan tersebut segera menyulut gelombang protes, bukan hanya di Kalimantan, tetapi juga di tempat-tempat lain seperti Jawa, Sulawesi bahkan Sumatera, mendesak agar Edy Mulyadi diproses hukum (sesuai hukum nasional).  Sementara dari pihak organisasi-organisasi Dayak, meminta agar Edy Mulyadi cs diseret ke Sidang Adat Dayak di Kalimantan Timur.

Bersamaan dengan tuntutan memproseshukumkan dan menyidangadatkan Edy Mulyadi cs, saat melakukan audiensi dengan Komisi III DPR RI, ABB  menyampaikan juga tuntutan agar Orang Dayak ditunjuk sebagai pimpinan Otorita Ibu Kota Negara (IKN) yang undang-undangnya secara super cepat sudah disahkan oleh DPR RI.

Dalam sejarah Tanah Borneo, pelecehan dan penghinaan terhadap Orang Dayak, demikian juga agresi kebudayaan, sudah berlangsung sejak berabad-abad, antara lain berbentuk politik desivilisasi “ragi usang”, “terra in cognita”, yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda secara lebih gencar setelah Pertemuan Tumbang Anoi 1894.  Lebih digencarkan dan lebih struktural lagi dilakukan oleh Orde Baru Soeharto.

Apa yang dilakukan oleh Edy Mulyadi merupakan sisa-sisa dan kelanjutan dari politik desivilisasi di atas–petunjuk bahwa di negeri ini berlangsung apa yang disebut internal colonialism (kolonialisme internal), menganggap Orang Dayak seperti yang oleh kolonialisme Belanda tidak lain dari para “dajakers”. Berlangsung sistem penjajahan di negeri yang disebut merdeka.

Reaksi yang muncul membuntuti pernyataan Edy Mulyadi cs adalah reaksi wajar karena di mana ada penindasan, cepat-lambat, di situ akan muncul perlawanan.

Mengenai reaksi terhadap pernyataan-pernyataan Edy Mulyadi cs sudah banyak dibicarakan, polisi pun sedang memprosesnya. Komisi III DPR RI berjanji mengawalnya. Di sini, saya tidak membicarakan soal tersebut sebagai tema utama. Yang ingin saya bicarakan adalah perihal reaksi Orang Dayak dan atau bagaimana Orang Bereaksi.

Apa yang dilakukan oleh Edy Mulyadi cs, sesungguhnya suatu bentuk agresi non fisik terhadap Orang Kalimantan (baca: Dayak).

Sejarah memperlihatkan bahwa pada saat menghadapi agresi, lebih-lebih agresi fisik–tanpa diperintah dan diminta‒semua Orang Dayak akan segera turun bergabung ke medan tarung melawan agresor. Dalam keadaan demikian, perbatasan politik negara sudah tidak berlaku.

Keadaan demikian jugalah yang sekarang sedang dihadapi oleh Edy Mulyadi cs.

Perlawanan hampir serentak terhadap agresi non fisik terhadap diri mereka merupakan suatu perkembangan baru. Kepekaaan terhadap agresi-agresi non fisik ini, ke depan akan sangat bermanfaat jika lebih di asah. Karena ke depan, agresi non fisik akan lebih utama daripada agresi fisik. Kepekaan terhadap agresi-agresi non fisik ini perlu diasah terus bagi mereka yang ingin terus berjuang “manggatang Utus”, tidak ingin “témpun pétak batana saré, témpun uyah batawah bélai, témpun kajang bisa puat” (punya tanah berladang di tepi, punya garam hambar di rasa, punya atap basah muatan).

Tuntutan atau permintaan agar Kepala Otorita IKN dipercayakan kepada Orang Dayak, tentu sah-sah dan baik-baik saja. Hanya saja pertanyaannya: Posisi tersebut bisa berapa lama bertahan? Apakah dengan posisi tersebut Orang Dayak bisa melakukan upaya Manggatang Utus secara maksimal?

Dalam sejarah Kalimantan, pernah terjadi seorang Gubernur Dayak mengangkat Orang-Orang Dayak untuk duduk di pos-pos penting birokrasi tapi setelah yang bersangkutan tidak lagi menjadi gubernur, orang-orang yang dia angkat tadi dinon-jobkan atau tidak difungsikan sehingga mereka tidak bisa berbuat apa-apa lagi untuk pemberdayaan Dayak dan kampung-halaman.

Ada Gubernur Dayak lain yang lebih mengutamakan pembentukan sumber daya manusia handal dan tangguh. Untuk melaksanakan cita-cita ini, sang gubernur tersebut memberikan beasiswa‒bukan bantuan insidental‒kepada putera-puteri Dayak, membangun asrama mahasiswa-pelajar di Jawa, mengirim putera-puteri Dayak untuk belajar di perguruan-perguruan tinggi luar negeri. Hasilnya jauh lebih berarti dan berjangka-panjang dibandingkan dengan perebutan kedudukan. Kebijakan begini, jika dilihat dari filosofi budaya Dayak, jauh lebih relevan.

Filosofi pendidikan Dayak menyebutkan bahwa manusia Dayak ideal yang perlu dibentuk adalah manusia yang “mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh” (gagah-berani, cerdik-beradab, tekun dan berani melawan arus – out of the box, beyond the mainstream). Kualitas manusia Dayak ideal ini tidak menyebutkan soal kedudukan politik sebab kedudukan sosial, politik, ekonomi dan budaya adalah hasil dari adanya kualitas ideal tersebut.  Tanpa kualitas ideal demikian, cepat-lambat yang bersangkutan akan rontok. Lebih buruk lagi, manusia tidak ideal demikian bisa mencelakakan orang banyak. Apabila  orang bodoh dan dungu memimpin daerah atau negeri, tak terelakkan malapetaka akan terjadi.

Untuk Kalimantan–lebih-lebih Kalimantan Tengah, politik pendidikan yang bagaimanakah yang sedang diterapkan untuk Manggatang Utus? Politik kekuasaan untuk kekuasaan, kekuasaan untuk melindungi kepentingan sempit, bukanlah politik Manggatang Utus.

Melihat reaksi kuat terhadap ucapan Edy Mulyadi cs, saya jadi berandai-andai, sekiranya masyarakat dan elit Dayak bersikap begini terhadap masalah Masyarakat Adat dan Desa Adat, tentu jalan menuju arah Manggatang Utus akan jadi lapang, lebih-lebih di daerah-daerah yang petinggi utamanya adalah Orang Dayak.

Tapi kenyataan memperlihatkan reaksi terhadap jalan keselamatan Dayak itu tidak demikian. Dingin dan sunyi. Barangkali para pihak bertanggung jawab perlu mengisi kepala dengan pengetahuan dan pemahaman, mengisi hati dengan keberpihakan pada mayoritas penduduk di dasar piramida masyarakat. Bukan tidak mungkin keadaan dan sunyi terhadap hal-hal hakiki disebabkan karena ketidaktahuan dan egoisme.

Hal lain yang tidak kalah pentingnya selain masyarakat Dayak ideal, adalah bagaimana mewujudkan ide-ide serta membela kepentingan-kepentingan dasar masyarakat.

Di sinilah, saya melihat perlunya kata-kata diberi daya. Tentu kata-kata yang saya maksudkan adalah kata-kata yang mengandung muatan manusiawi menjangkau jauh, bukan caci-maki. Kata-kata demikian berfungsi sebagai bintang penuntun perjalanan jauh. Dalam konteks ini, saya menghargai lahirnya Aliansi Borneo Bersatu (ABB). Tergalangnya persatuan di kalangan Dayak bukanlah merupakan sesuatu yang sederhana. Orang Dayak dengan latar budaya “uras pangkalima”, “hakayau kulae”,  lebih gampang menarung sesamanya daripada bersatu. Persatuan akan menjadi berarti jika arah dan landasannya tepat. Bukan bersatu asal bersatu.

Dalam upaya memberi daya pada kata-kata ini juga, saya mengapresiasi adanya Pasukan Merah. Pasukan Merah ini akan menjadi kian kuat apabila mempunyai landasan ide yang tepat dan kuat. Tanpa landasan ide yang tepat, organisasi apapun bisa merosot menjadi organisasi penjahat.

Dengan kemampuan memberi daya pada kata-kata, Orang Dayak akan mampu mengubah kata-kata hinaan menjadi kata-kata baru yang bermakna dengan memberi isi baru pada kata-kata hinaan itu.

‘Dayak’ tadinya adalah kata hinaan pada penduduk pedalaman Borneo. Pertemuan Pontianak 1992 memutuskan agar Orang Dayak menerima kata Dayak sebagai nama etnik mereka, tapi mengisi kata hinaan itu dengan isi baru yang mulia. Dengan demikian, mengubah kata hinaan mempunyai pengertian baru yang agung.

Jalan untuk sampai ke Dayak yang Mulia, membuat Dayak Utus Tagatang, selain Desa Adat, adalah jalan Minoritas Kreatif.  Saat ini terwujud, hinaan dan penjajahan model apapun tidak lebih dari semut di pohon raksasa yang rimbun. Kemudian saya mau bertanya: Sebenarnya Dayak mau ke mana?[]


Halaman Masyarakat Adat, Radar Sampit, Minggu, 30/1/2022.

Catatan Kusni Sulang: Apakah Dayak Sedang Menghancurkan Diri Sendiri?

Radar Sampit | Minggu, 5 Desember 2021 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Mandau di pinggang seorang demonstran dalam aksi damai yang diorganisir oleh DAD-Kalimantan Tengah menolak kehadiran Front Pembela Islam (FPI) di Kalimantan Tengah. Lokasi: Bundaran Besar Palangka Raya, 11 Februari 2012. Foto: Andriani SJ Kusni
Mandau di pinggang seorang demonstran dalam aksi damai yang diorganisir oleh DAD-Kalimantan Tengah menolak kehadiran Front Pembela Islam (FPI) di Kalimantan Tengah. Lokasi: Bundaran Besar Palangka Raya, 11 Februari 2012. Foto: Andriani SJ Kusni

26 November 2021, kelompok yang menamakan diri Koalisi Organisasi Kemasyarakatan Dayak Kalimantan Tengah (selanjutnya disingkat KOKD-KT) di Bundaran Besar Palangka Raya telah melangsungkan unjuk rasa menolak kehadiran Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) di Kalimantan Tengah (Kalteng) yang juga dikenal dengan nama Pasukan Merah.

KOKD-KT juga menuntut agar TBBR membubarkan cabang-cabang organisasinya yang berada di Kalimantan Tengah dalam waktu 3×24 jam.

Dasar alasan penolakan dan tuntutan terhadap TBBR ini terdapat dalam Pernyataan Sikap KOKD-KT yang dibacakan oleh Thoeseng Asang dalam unjuk rasa serta disebarluaskan melalui media sosial cq. Youtube. Kemudian ditambah oleh Thoeseng Asang melalui percakapannya dengan Harian Tabengan, 28 November 2021.

Dalam pembicararaan dengan Harian Tabengan (28/11/2021) itu, Thoeseng TT Asang selaku Ketua Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kalimantan Tengah (DDKT)  menjelaskan alasan-alasan penolakan dan tuntutan sebagai berikut:

“Pertama, kata Thoeseng, harus diketahui secara pasti keberadaan TBBR ini sebagai ormas. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) TBBR ini sendiri seperti apa. Ormas ini apakah pelestarian budaya, atau pendampingan masyarakat. Apabila memang ormas ini adalah pelestarian budaya, ada sejumlah hal yang memang tidak cocok bagi masyarakat Kalteng. Misalnya, kata Thoeseng, di Kalteng tidak ada seni budaya yang memamerkan ilmu kekebalan. Hal seperti inilah yang tidak cocok dengan seni dan budaya di Kalteng. Apabila memang ingin memamerkan seni ilmu kekebalan itu, lakukan untuk kalangan sendiri saja. Atau, apabila ingin memamerkannya kepada publik, buatkan sebuah panggung khusus dalam sebuah even. Hal lain yang saya tidak setuju, keberadaan ormas ini ketika dibentuk di Kalteng membawa budaya Kanayan, tapi pengurusnya orang Kalteng. Hal ini tidak sesuai, karena akan berdampak pada pelestarian budaya Kalteng sendiri. Akhirnya, generasi muda di Kalteng tidak mencintai budayanya sendiri,” kata Thoeseng, saat menjelaskan mengapa seni budaya yang dibawa TBBR di Kalteng ditolak, Minggu (28/11) di Palangka Raya.

Selanjutnya mengutip Harian Tabengan:

Thoeseng menegaskan, semua anak suku Dayak tentu akan sangat setuju dengan bahasa Dayak Bersatu. Hanya saja, Dayak Bersatu ini tentunya tidak semua kategori. Misalnya Dayak Bersatu untuk NKRI, tentu akan sangat setuju atau Dayak Bersatu untuk kesejahteraan masyarakat, tentu akan sangat didukung. Penolakan itu muncul ketika seni budaya dari luar dipaksakan masuk ke Kalimantan Tengah.

Thoeseng mencontohkan, di Indonesia ini ada bermacam-macam agama. Semua agama tentu sepakat, bersatu, dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pertanyaannya, apakah agama A akan setuju ketika agama B memaksakan agamanya kepada agama A. Tentu yang terjadi adalah penolakan. Inilah, kata Thoeseng, yang terjadi di Kalteng. TBBR memaksakan budaya Kanayan untuk dilaksanakan di Kalteng, tentu suku Dayak di Kalteng akan menolak itu. Setiap suku Dayak tentunya memiliki keunikan, ciri khas, dan juga keistimewaan masing-masing. Tidak bisa, budaya suku Dayak A, memaksakan budayanya kepada suku Dayak yang lain. Ini bukan bicara suku Dayak melawan suku Dayak, ini lebih kepada masalah budaya yang dibawa oleh TBBR itu sendiri.

Thoeseng menyarankan Jilah untuk dapat lebih mendalami seperti apa budaya di Kalteng. Pahami seperti apa seni dan budaya yang ada di Kalteng. Tidak itu saja, Jilah juga seharusnya sebagai tamu untuk dapat silaturahmi apabila berada di Kalteng. Apabila memang menurut Jilah, tidak selevel dengan ketua ormas untuk silaturahmi, maka dapat berkomunikasi dengan Dewan Adat Dayak (DAD) untuk difasilitasi.

Thoeseng meminta, Jilah untuk dapat belajar, dan introspeksi diri dulu. Apa yang menjadi alasan penolakan, seharusnya dapat menjadi bahan evaluasi. Kaji, mengapa TBBR ini tiba-tiba mendapatkan penolakan dari masyarakat Kalteng.

“Kembali, saya tetap tidak akan terima apabila Jilah datang dengan membawa doktrinnya, membuat masyarakat di Kalteng akan memahami itu dengan serampangan. Doktrin yang dipaksakan untuk dapat diterima oleh masyarakat tentu akan mendapatkan penolakan. Apabila yang dilakukan Jilah hanya sebatas sosialisasi, ataupun menggelar seni pertunjukan, silakan.”

Juga yang perlu kejelasan, kata Thoeseng, TBBR ini apakah pelestarian atau pendampingan. Sebab, selama ini yang terlihat adalah pendampingan. Apabila pendampingan, maka wajib pula bagi TBBR untuk belajar masalah hukum, khususnya hukum adat yakni hukum adat di Kalteng. Budaya yang dibawa akan menjadi masalah, ketika tujuan ormas menjadi tidak jelas” (https://www.tabengan.com/bacaberita/58470/dewan-kesenian-dan-kebudayaan-kalteng-thoeseng-Jilah-membawa-budaya-yang-bertentangan-dengan-kalteng/).

Semua alasan, baik yang terdapat dalam Pernyataan Sikap KOKD-KT maupun dalam percakapan Thoeseng dengan Harian Tabengan, sesungguhnya adalah masalah-masalah yang membuka pintu diskusi. Karena argumen-argumen yang digunakan tidak kuat.

Seperti, betulkah masyarakat Kalimantan Tengah menolak TBBR? Sementara TBBR mempunyai cabang di beberapa tempat. Pengurusnya adalah orang-orang Kalimantan Tengah sendiri, bukan orang Dayak Kanayatn.

Pun dalam Kasus Kinipan, masyarakat setempat merasa berterimakasih pada TBBR.

Pamer kekebalan di depan publik, apakah soal prinsip yang layak digunakan untuk menolak dan menuntut pembubaran sebuah organisasi? Mengapa begitu terusik oleh pameran ini?

Tentang Kanayatnisasi Dayak Kalimantan Tengah? Apa betul demikian? Saya memandang budaya Dayak Kalimantan Tengah, juga etnik-etnik lainnya, pada galibnya adalah budaya serapan. Barangkali dalam antropologi hal demikian disebut proses akulturasi.

Dan masih banyak lagi argumen yang saya anggap tidak mendasar dan dituangkan dalam bahasa Indonesia yang buruk.

Mengenai doktrin Jilah? Doktrin apa yang ditakutkan dari Jilah? Setahu saya, Jilah ingin Dayak di manapun maju dan pintar, mampu bersaing. Apa yang salah dengan cita-cita ini?

Mengenai pendampingan dan pelestarian serta pengembangan budaya, mengapa patut dipisah-pisahkan? Pelestarian adalah bagian dari pemberdayaan menyeluruh dari pinggir.

Ketika membaca Pernyataan Sikap KOKD-KT dan percakapan Thoeseng dengan Harian Tabengan, sebagai pernyataan sikap politik, saya dapatkan argumen-argumen yang dikemukakan sangat lemah dan emosional.

Mengapa KOKD-KT sebelum unjuk rasa dan menuntut ini-itu, tidak mendatangi TBBR dan mengajak mereka berdiskusi secara serius? Saya kira, cara ini lebih menyelesaikan soal sesama Dayak yang oleh Dayak Sabah disebutkan bahwa di dalam diri Dayak mengalir satu darah. Cara menyelesaikan masalah dengan poin musuh dan kawan tentu bertolak belakang atau berbeda. Mengacaukan bentuk penyelesaian dua jenis kontradiksi berbeda ini akan menimbulkan petaka.

Apabila Pernyataan Sikap KOKD-KT berbicara tentang kebangkitan kembali “hakayau kulae” (bagi saya, seperti halnya korupsi demikian juga hakayau kulae bukanlah budaya, tapi tindak anti budaya), saya khawatir sedikit-sedikit unjuk rasa tanpa mencari jalan keluar lain sebelumnya adalah bentuk kekinian dari kebiasaan hakayau kulae. Kalau manusia ideal Dayak itu mencakup tri-tunggal karakter tak terpisahkan yaitu mamut-ménténg, pintar harati, maméh-uréh, maka hakayau kulae adalah tindakan yang melepaskan mamut-ménténg dari tri-tunggal karakter Dayak ideal itu.

Dari semua argumen yang dikemukakan, terutama dalam Pernyataan Sikap KOKD-KT, poin 6 (enam) saya kira merupakan inti dari semua argumen. Poin enam itu berbunyi: “6. Mengganggu kegiatan pelaku usaha di wilayah Kalimantan Tengah dengan aksi dan ancaman”.

Artinya para pelaku usaha, tentu saja perusahaan-perusahaan besar merasa terganggu oleh kehadiran TBBR. Karena itu “uang sang raja” dengan 1001 cara ingin melenyapkan gangguan ini.

Hedonisme dan korporasi tidak peduli pada nasib Dayak. Mengadu Dayak dengan Dayak adalah cara klasik untuk melenyapkan halangan. Agaknya cara inilah yang sekarang digunakan. Apabila Dayak terjebak dalam perangkap taktik “uang sang raja” ini, maka Dayak sedang menghancurkan diri mereka sendiri.

WhatsApp dari Sabah-Sarawak dan juga teman-teman di Indonesia Timur menyesalkan pertikaian antar Dayak.

Hedonisme memang menumpulkan nalar dan kecerdasan emosional manusia. Nilai manusia direduksi jadi demikian rendah hingga kemanusiaannya sirna.[]


Pernyataan Sikap Koalisi Organisasi Kemasyarakatan Dayak Kalimantan Tengah*

Bahwa sesungguhnya ada sekitar enam rumpun suku Dayak dan sekitar 400 sub suku Dayak di Kalimantan memiliki adat istiadat dan budaya yang hampir serupa tetapi tidak sama, aliran darah dayak yang kuat ini membuat kita harus saling menghargai dan saling menghormati, saling menjaga dan saling memperhatikan, dengan satu rasa dan satu jiwa, oleh karenanya filosofi Rumah Betang yang dapat menerima siapa saja untuk datang, berkunjung, dengan tanpa memandang Suku, Agama, dan RAS nya itu Iya dan benar, namun sebagai kehidupan rumah betang juga ada adat istiadat yang hidup dan berkembang di dalamnya itu patut dijunjung tinggi, dengan satu prinsip yang harus ditaati bahwa di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Namun bahwa kenyataannya Organisasi yang hadir dari saudara kita sesama Dayak di Kalimantan barat dengan nama Tario Borneo Bangkule Rajakng membuat kita jadi banyak bertanya, dan risih dan sampai kepada batas tidak menerima keberadaannya, sehubungan dengan:

  1. Sikap arogansi  anggotanya yang terkesan anarkis selalu tampil dengan Mandau terhunus mengancam dan merusak.
  2. Melakukan acara ritual seenaknya dengan tidak menghargai kearifan lokal.
  3. Melakukan kegiatan demo/aksi kemana-mana secara liar, dengan tanpa pemberitahuan keberadaannya kepada Kesbangpol Provinsi KalimantanTengah.
  4. Mengganggu keamanan masyarakat dengan menghadirkan masa (mestinya: massa–KS) yang cukup besar tanpa memperhatikan Protokol Kesehatan.
  5. Memberikan ketakutan dan ketidaknyamanan kepada masyarakat Kalimantan Tengah dengan aksi-aksi nya.
  6. Mengganggu kegiatan pelaku usaha di wilayah Kalimantan Tengah dengan aksi dan ancaman.
  7. Bahwa tahun 1894 telah diputuskan bersama pada acara Rapat Damai Tumbang Anoi untuk tidak melakukan kembali budaya KAYAU, dan budaya perbudakan, namun dengan aksi dan penampilan mandau terhunus ini dikhawatirkan akan kebangkitan budaya KAYAU ini kembali dikalangan masyarakat Dayak.
  8. Oleh karenanya kualisi organisasi kemasyarakatan Dayak Kalimantan Tengah sepakat untuk menolak keberadaan Organisasi Tario Borneo Bangkule Rajakng di bumi Tambun Bungai ini demi keamanan dan kenyamanan masyarakat Kalimantan Tengah.
  9. Untuk ini kami meminta kepada Pengurus Pusat Organisasi Tario Borneo Bangkule Rajakng agar segera menarik dan membubarkan seluruh anggotanya yang berada di Kalimantan Tengah dan tidak melakukan kegiatan apapun.
  10. Atas segala kegiatan yang dilakukan selama ini terhadap masyarakat Kalimantan Tengah harus dilaksanakan sidang adat/dikenakan sanksi adat sebagaimana telah diatus (mestinya diatur–KS) dalam Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2008 tentang kelembagaan adat (DAD) Provinsi Kalimantan Tengah.
  11. Kami tidak mengakui panglima/pangalangok Jilah sebagai panglima setanah Dayak Borneo karna yang bersangkutan bukan representasi Suku Dayak  Kalteng.
  12. Menudukung pemerintah daerah dan TNI/Polri mengambil Tindakan tegas terhadap aksi dan aktivitas organisasi TBBR yang ditolak oleh Koalisi Organisasi Kemasyarakatan Dayak Kalteng. [***]

Catatan;

Pernyataan ini diterima oleh pengasuh ruangan Halaman Masyarakat Adat dari Thoeseng Asang. Disalin sebagaimana adanya, sesuai teks asli yang diterima, tanpa perubahan titik-koma dan lain-lain. Pernyataan ini diterbitkan kembali dengan maksud agar para pembaca bisa mengetahui alur pikiran dan sikap kelompok yang menyebut diri sebagai Koalisi Organisasi Kemasyarakatan Dayak Kalteng, guna memahami sari persoalan unjuk rasa yang mereka langsungkan pada 26 November 2021. Pernyataan Sikap tanpa tanda tangan siapapun sebagai penanggungjawabnya ini dibacakan oleh Thoeseng Asang dalam unjuk rasa tersebut dan disebarluaskan melalui saluran youtube.


Halaman Budaya Sahewan Panarung Harian Radar Sampit edisi Minggu, 5 Desember 2021.

Wawancara Hang Ali Saputra: “Saya rasa yang bisa membuat rusuh bukan masyarakat di bawah.”

Telah siar di Harian Radar Sampit, Halaman Budaya Sahewan Panarung, Minggu 12/03/2017

Wawancara Khusus Hang Ali Saputra, pemuka masyarakat etnik Tionghoa Kalimantan Tengah dan anggota Komisi IX DPR-RI

Hang Ali Saputra, pemuka masyarakat etnik Tionghoa Kalimantan Tengah dan anggota Komisi IX DPR-RI, berbincang dengan pengasuh dan kontributor Halaman Budaya Harian Radar Sampit, Andriani SJ Kusni, tentang isu-isu pembangunan, politik, integrasi sosial, kebijakan etnik dan minoritas, serta pembauran, di VIP Lounge Kopi Han Palangka Raya. Foto: Kusni Sulang, 06/03/2017.
 

Palangka Raya – Hang Ali Saputra, pemuka masyarakat etnik Tionghoa di Kalimantan Tengah, sekarang juga menjabat sebagai anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membidangi hal kesehatan, tenaga kerja, keluarga berencana, pengawasan obat dan makanan, serta penempatan tenaga kerja di luar negeri, menerima pengasuh dan kontributor Halaman Budaya Harian Radar Sampit, Andriani SJ Kusni, di VIP Lounge Kopi Han, Palangka Raya, Senin, 06/03/2017.

T: Saya mulai dengan persoalan tentang identitas. Bagaimana orang Tionghoa di Kalimantan Tengah mengidentifikasikan dirinya? Istilah apa yang dipakai, Tionghoa atau Cina?

J: Sebenarnya relatif ya. Kalau saya lihat di Kalimantan Tengah ini tidak mempermasalahkan hal-hal sebutan orang Cina atau orang Tionghoa. Kita sudah terbiasa. Jadi ya tergantung, apapun namanya, sama aja. Lain halnya kalau dulu, orang memanggil dengan “Cina”, konotasi, aksennya berbeda. Seperti Orang Jawa dibilang “Jawa kamu”, kesannya ndak bagus kan. Tapi kalau dibilang “Orang Jawa” nggak papa. Atau Dayak, “Dayak kamu”, itu marah orang. “Dasar Cina”, nah itu marah pasti kalau dipanggil demikian. Tapi kalau dipanggil Orang Cina, biasa. Jadi terkadang aksennya aja. Pandangan saya, tidak ada masalah. Memang sebagian senang kalau dipanggil dengan sebutan Tionghoa, kan begitu. Tapi ya jaman sekarang ini ada yang dibilang Cina, dibilang Tionghoa, atau ada juga yang menyebut Chinese, kan gitu, pakai Bahasa Inggris, relatif aja.

T: Pak Ali sendiri mengatakan diri Bapak sebagai Orang Tionghoa atau etnik Tionghoa?

J: Kalau saya sendiri mengatakan saya Orang Indonesia. Kalau ditanya, saya biasa jawab keturunan. Lebih banyak pakai keturunan.

T: Orang Indonesia keturunan Cina?

J: Ya.

T: Menurut Pak Ali, apakah di Kalimantan Tengah selama ini ada masalah atau kendala dalam melakukan proses integrasi dengan orang-orang non Tionghoa?

J: Jadi sebenarnya kalau saya melihat, dibilang ada masalah, tidak ada. Dibilang tidak ada masalah, pasti ada masalah. Yang namanya pembauran ini, sebenarnya bukan hanya antara etnik Tionghoa dalam tanda petik dengan masyarakat setempat ya. Kalau saya melihat, kita ini kan belajar dari pengalaman yang sudah lewat. Kejadian tahun 2001. Permasalahannya memang, saya melihat, lebih banyak menjurus kepada masalah sosial khususnya sosial ekonomi. Apabila jurang sosial ekonomi kita itu terlalu lebar, maka kecemburuan-kecemburuan itu akan semakin besar. Kadang-kadang itu yang bisa menjadi pemicu ya. Ndak usah jauh-jauh lah. Antara Orang Jawa dengan Orang Dayak. Apakah ini semua aman-aman berjalan dengan bagus, saya rasa tidak. Masih ada. Antara Jawa dengan Batak. Batak dengan Orang Dayak dan seterusnya. Karena memang masing-masing ada ego sektoral. Orang Dayak merasa “Oh, ini tanah saya. Di sini kampung halaman saya”. Orang Jawa merasa “Oh saya trans Jawa.” Bagaimana menjaga identitas ke-Jawa-annya, Orang Batak juga demikian. Yang lain-lain juga demikian. Masing-masing ada ego sektoral. Itulah bagaimana kita menyadari bahwa dengan perbedaan-perbedaan ini bukan kita buat semakin diperuncing tapi bagaimana persamaan-persamaan yang ada membuat kita bisa melembut.  Salah satu contoh yang saya alami, yang saya rasakan, seperti di keluarga kami, keluarga besar kami, itu bermacam-macam terutama dalam hal agama ya. Saudara saya ada yang muslim, ada yang Kristen, saya sendiri Budha. Tetapi dalam hubungan kekeluargaan kita tetap bagus-bagus saja. Begitu juga dalam perkawinan. Ada yang kawin dengan Orang Dayak, ada yang menikah dengan Orang Jawa, ada yang menikah sesama Chinese, ada yang menikah dengan orang Batak dan sebagainya. Sepanjang kita tidak membuat pengkotak-kotakan dan kita tidak merasa bahwa kita ini super, bahwa kita ini adalah sesuatu hal yang sama sebagai umat manusia, tidak ada masalah. Nah itu yang saya melihat bahwa kata kunci dari suatu pembauran itu, bagaimana kesenjangan sosial-ekonomi bisa kita tangani, tidak melebar. Yang kedua, bagaimana pemahaman ego-ego sektoral masing-masing, individu-individunya, pemuka-pemukanya, jangan karena ingin mencapai tujuan tertentu hingga mengakibatkan bisa timbulnya gesekan-gesekan. Makanya tadi saya katakan waktu ditanyakan ada nggak INTI (organisasi Indonesia-Tionghoa –  ASJK) di sini, saya bilang tidak ada. Memang ada yang mengajak untuk membentuk. Saya bilang tidak. Buat apa kita membentuk organisasi-organisasi kedaerahan atau kesukuan. Bagaimana kita bisa membawa diri, makanya tadi saya bilang, bukan saya menyombongkan diri, saya bilang pada teman-teman bagaimana kita menjaga, menyatu dengan masyarakat yang ada. Sistem Pemilu sekarang sebenarnya sangat luar biasa primordialismenya. Masalah agama dikedepankan. Rame udah kan. Dari dulu, bukan hanya sekarang. Masalah kesukuan juga. Masalah etnik juga. Sejak tahun 2009 kemarin. Pemilu legislatif adalah sistem suara terbanyak. Saya terjun ke dunia politik halangannya luar biasa. Masyarakat di sini kan tahu saya ini Chinese, keturunan Chinese. Masih banyak yang tidak suka. Apalagi agamanya Budha. Komunitas Cina kalau menurut statistik itu, di Kalteng ini kurang dari setengah persen. Kalau dari segi agama, malah kurang dari 0,1 persen. Sementara sistem Pemilu kita masih sistem suara terbanyak dan jujur kecenderungan politik kesukuan. Orang Jawa pilih Orang Jawa, Orang Banjar pilih Orang Banjar, Orang Dayak pilih Orang Dayak, kan gitu. Pertanyaannya, saya siapa yang milih? Gak bakalan bisa nongol kan. Tapi bagi saya prinsipnya saya mencoba bagaimana menyatu dengan seluruh lapisan masyarakat, tidak membeda-bedakan mau dia Jawa, Madura, Dayak, Batak, atau Bugis, apapun agamanya, mari kita sama-sama hargai, mari kita sama-sama jaga. Ada hal-hal yang sama, kita eratkan. Yang berbeda jangan kita jadikan sebagai satu permasalahan. Makanya dalam dua kali pemilu ini, saya masih diberi kepercayaan oleh masyarakat. Kalau garis lurus komunitas yang ada di saya dan agamanya, gak ada apa-apanya. Yang sebenarnya mereka juga belum tentu pilih saya.

T: Seperti yang Pak Ali katakan tadi, masalah utama pembauran adalah kesenjangan sosial ekonomi, bagaimana menangani ini?

J:  Makanya saya berkecimpung di politik, bisnis saya tinggalkan. Mungkin, cita-citanya, angan-angannya, dengan saya berkecimpung di dunia politik, bisa ikut memberikan suatu sumbangsih bagaimana arah kebijakan pemerintah yang dulu mungkin polanya begini, dengan kita masuk kita bisa berikan saran, pendapat, dan sebagainya, masukan-masukan, ada satu perubahan-perubahan karena kata kuncinya tadi adalah distribusi pembangunan yang tidak merata. Masih ada, banyak, sampai sekarang terjadi, “oh bukan golongan saya, nanti dululah” atau “oh ini teman saya, daerah saya, ini harus saya kedepankan dulu”, ini yang kena dampak kan masyarakat.

T: Berarti ada faktor politik ekonomi pemerintah?

J: Betul. Dan bagaimanapun juga sebagai negara yang belum bisa dikatakan sebagai negara maju, peranan pemerintah itu masih sangat memberikan pengaruh terhadap pembangunan. Beda dengan negara-negara maju, sembilan puluh persen lebih itu peran masyarakat. Peran pemerintah itu kurang dari sepuluh persen. Kalau kita, peran pemerintah cukup besar sehingga apabila seperti tahun kemarin pemerintah memangkas anggarannya, ekonomi masyarakat jadi terganggu. Kalau saya seorang pengusaha, saya harus berpikir bagaimana perusahaan saya profit, bagaimana memberi gaji karyawan lebih bagus, tapi hanya untuk segelintir manusia kan. Sementara kita ingin bagaimana itu bermanfaat bagi orang banyak. Saya sejak ikut politik,bisnis saya tinggalkan. Saya serahkan pada saudara, keluarga. Sampai sekarang ini perusahaan yang saya serahkan sudah tiga hilang. Kolaps. Tapi saya tidak menyesal. Tidak ada campur baur bisnis dan politik. Saya tidak mau urus.

T: Yang sekarang umum terjadi campur baur bisnis dan politik.

J: Yah, masing-masing beda. Tujuan berpolitiknya apa. Makanya orang bilang, di Indonesia ini kalau ingin kaya raih kekuasaan dulu. Tapi saya katakan, saya terjun ke politik saya memiskinkan diri saya. Perusahaan saya habis tiga tapi itu tidak saya sesalkan. Saya bilang pada teman-teman, hidup ini harus memilih. Bagi saya yang paling penting, hidup saya punya arti. Bukan untuk diri sendiri tapi untuk orang banyak. Kalau orang banyak merasa senang, saya juga ikut senang. Secara materi saya rugi besar. Dan pengeluaran jauh lebih besar sebagai politisi. Masuk dan keluar tidak seimbang, makanya akhirnya makin merosot, bukan makin meningkat. Karena apa? Karena saya tidak mencampur-adukkan bisnis saya dengan karir politik. Dan terus-terang saya bilang kalau seseorang mau jadi politisi bisa menjadi kaya, tambahannya darimana, tekniknya bagaimana bisa jadi kaya. Kira-kira dapat darimana?

T: Berapa tepatnya jumlah orang Tionghoa yang setengah persen itu di Kalimantan Tengah?

J: Angka pastinya saya tidak tahu. Yang saya tahu pasti kurang dari setengah persen dari total penduduk kalteng.

T: Untuk mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi, di Malaysia ada New Economy Policy untuk mengangkat perekonomian orang lokal. Di Amerika ada Small Bussiness Administration, kebijakan ekonomi untuk penduduk Afro-Amerika dan Equal Oppurtunity Employment, kebijakan yang menjamin tidak ada diskriminasi dalam rekrutmen dan seleksi pegawai. Apakah kita juga memiliki affirmative policy dan affirmative action begini?

J: Kalau dulu jaman Pak Harto kan ada. Kemudahan-kemudahan bagi pengusaha pribumi, kredit-kredit bagi investor pemula tapi akhirnya kan semua berantakan. Jadi saya berpikirnya tidak mulai dari ekonomi.

T: Darimana?

J: Saya mulai dari peningkatan kesehatan masyarakat.

T: Konkritnya?

J: Pernah mendengar Badan Pelaksana Jaminan Sosial? Basic saya pengusaha ngurus kesehatan, saya ndak ngerti bagaimana kondisi kesehatan di negara kita. Akhirnya saya ajak beberapa teman, kita rembukan, bongkar-bongkar dokumen sampai menemukan satu undang-undang, UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial. Setelah kita pelajari, undang-undang itu memberikan amanat untuk supaya dibuatkan undang-undang pelaksanaan terhadap Sistem Jaminan Sosial dalam waktu lima tahun. Ternyata setelah lima tahun pun, tidak terbentuk sama sekali. Kami jadi galau. Stres. Jadi saya ajak teman-teman, “Udahlah ini aja kita coba garap.” Jadi saya bersama teman-teman, sembilan orang pada waktu itu mencoba mengkaji, menggodok, akhirnya kita menjadi inisiator agar pemerintah bersama dengan DPR membuat undang-undang badan penyelenggaranya. 23 bulan kami habiskan mulai dari rancangan sampai jadi undang-undang. Saya melihat bahwa permasalahan kita di Indonesia ini apa yang paling utama? Terlampau banyak orang miskin. Kalau menurut standar WHO, 2 dollar sehari, kita itu punya lebih seratus lima puluh juta jiwa orang miskin. Sementara menurut standar pemerintah, dikatakan orang miskin kita baru dua puluh sembilan juta jiwa dan itupun sudah menurun. Dari situ saya melihat permasalahan utama kita itu bahwa masyarakat kita tidak sehat. Bukan sakit tapi tidak sehat. Jangan melihat manusianya berjalan ke hulu ke hilir dikatakan sehat. Indikatornya apa? Saya pernah mengadakan satu kegiatan bakti sosial. Teman-teman yang mau donor darah, silahkan. Terdaftarlah seratus tiga puluh enam orang. Untuk Kota Palangka Raya, seratus tiga puluh enam orang di Bundaran kan luar biasa. Ranjangnya sudah disiapkan lima supaya cepat. Dokter, perawat, segala macam. Begitu di tes kesehatannya, “Oh ini tidak bisa, pak. Berat badannya tidak cukup”, “Oh, ini Hb-nya rendah”, “Oh, ini hipertensi”, dan lain sebagainya. Macam-macam. Dirunut-runut, cuma bisa tiga puluh tiga atau tiga puluh orang saja. Ternyata orang kita itu banyak yang, bukan sakit tapi tidak sehat. Kita harus memulai darimana? Saya juga melakukan asistensi kepada masyarakat, pada waktu itu belum ada BPJS. Masyarakat yang kurang mampu, sakit, mau berobat tidak ada biaya, kita asistensi. Disiapkan ambulans. Dimana mereka. Sepanjang mobil bisa sampai, kita jemput. Mungkin ada keluarganya ikut, perlu opname di rumah sakit. Nanti di rumah sakit, ditangani, mau operasi dan sebagainya, keluarganya tunggu, kita adakan tempat tunggunya. Karena mereka tidak mampu, biaya hidup- hari-harinya kita jamin. Sembuh, kita kirim pulang ke kampung. Artinya mereka tidak mengeluarkan biaya. Baik untuk transportnya dan lain sebagainya. Banyak yang kita asistensikan begitu. Tapi lama-lama nggak kuat juga. Hanya kita tidak publikasi karena kalau kita publikasi, banyak orang minta dan kita tidak bisa menangani, malah jadi bumerang. Hanya dari mulut ke mulut. Makanya dalam undang-undang, yang kita atur bagaimana benar-benar keberpihakan pada masyarakat miskin. Yang kedua, bagaimana menumbuhkan kegotongroyongan. Yang ketiga, bagaimana mengubah mindset, paradigma tentang kesehatan. Saya punya satu prediksi dua puluh lima atau tiga puluh tahun mendatang, jika jaminan kesehatan berjalan baik maka kondisi perekonomian kita akan meningkat pesat luar biasa karena kualitas kesehatan dan kehidupan lebih baik, otomatis kecerdasan generasi akan datang kan lebih baik.

T: Jadi untuk mengurangi kesenjangan sosial ekonomi dalam upaya mencapai integrasi sosial, Pak Ali berpikir bukan mulai dari sektor ekonomi?

J: Sektor ekonomi sudah ada yang urus. Saya lihat orang-orang, sektornya, apa yang dihadapi itu yang ditangani. Kan begitu? Artinya berperilaku sebagai pemadam kebakaran.

T: Sekarang soal politik kependudukan untuk etnik minoritas. Di Tiongkok ada kebijakan pembatasan kelahiran yang hanya diterapkan pada penduduk etnik mayoritas yakni Han. Untuk program keluarga berencana termasuk yang diterapkan di Kalimantan Tengah, apakah jika diterapkan pukul rata justru akan memberi peluang etnik minoritas semakin sedikit jumlahnya?

J: Kalau jaman dulu, BKKBN itu adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Kalau sekarang, BKKBN adalah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Jadi sudah tidak semata-mata pada pembatasan dua anak cukup walaupun sebenarnya arahnya lebih baik dua anak cukup untuk situasi dan kondisi sekarang. Tapi seperti dikatakan tadi, ada etnik minoritas merasa akan semakin ketinggalan karena populasinya sedikit. Di Cina sekarang, kebijakan pembatasan satu anak berhasil menekan jumlah tapi secara psikologis dan secara sosial menimbulkan masalah. Kenapa? Saya misalnya, suami-istri punya anak satu. Nanti anak saya ini kan akan kawin nih. Punya istri. Istrinya anak tunggal juga. Anak saya dan mantu saya, mereka berdua nanti akan menanggung diri mereka berdua. Begitu saya tidak produktif, istri saya tidak produktif, besan saya berdua tidak produktif, berarti empat orang tua tidak produktif. Kalau anak dan mantu saya punya anak satu lagi berarti mereka berdua, menanggung tujuh orang. Ya hancur. Makanya seperti sekarang, seperti di Papua, Orang Papua teriak jumlah mereka sudah sedikit. Makin lama nanti akan makin habis kalau hanya dua anak dan seterusnya. Di Kalteng juga, pak gubernur bilang orang Dayak sudah sedikit. Kalau diterapkan KB dua anak, lama-lama orang Dayak nggak bisa jadi gubernur. Sangat keliru lah kalau kita hanya berorientasi pada politik untuk pemilihan gubernur. Kalau saya berpikirnya kemana? Bagaimana kita meningkatkan kualitas manusianya. Makanya sekarang, Keluarga Berencana dan Penguatan Keluarga. Makanya ada program dari BKKBN yaitu Kampung KB. Kita mulai dari kampung-kampung yang terisolir dan tertinggal. Indikatornya disitu banyak orang miskin, usaha-usaha produktif tidak begitu ada. Bagaimana mengajarkan mereka hidup sehat, menata keluarga, dan seterusnya. Dua anak, sebenarnya mau tiga mau empat, tidak masalah. Tapi secara medis perempuan kan disarankan usia pernikahan itu minimal 21 tahun. Ini menurut hasil penelitian, pada usia tersebut baru mencapai kematangan yang sempurna. Kalau lebih muda, bisa mengganggu kesehatan ibunya dan kualitas anaknya. Jarak kelahiran berapa tahun? Sebenarnya kalau hasil penelitian, ini bukan kata saya, lima tahun yang paling bagus. Bukan satu tahun atau dua tahun. Katakanlah perempuan menikah umur 21 tahun, melahirkan anak pertama lalu anak kedua pada usia 26 tahun. Setelah 30 tahun, kehamilan bagi perempuan beresiko tinggi. Jadi diambil idealnya dua anak. Apalagi dengan dunia IT sekarang yang bebas dengan adanya internet, lebih dari dua anak susah mengawasinya. Belum lagi penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Hari ini saya sosialisasi di sekolah, begitu saya pulang, ketangkap. Begitu dicek di daftar namanya, sudah ikut sosialisasi lagi. Beberapa bulan lalu juga, ketangkap enam anak usia 9-14 tahun. Ini apa? Akibat ketidakmengertian orang tua, faktor kemiskinan juga, generasi-genarasi kita rusak atau dirusak. Bisa bayangkan dua puluh tahun lagi kayak apa. Saya tahun kemarin, bulan Oktober, waktu kunjungan dinas ke Kalimantan Selatan, ada paparan dari Polda, tahun 2015 mereka menangkap 760 sekian orang dengan jumlah barang bukti sekitar 1,2 juta sekian, macam-macam obat. Tahun 2016, sembilan bulan setelah kunjungan saya, mereka sudah menangkap 780 sekian orang dengan jumlah barang bukti yang mencengangkan, 15 juta sekian. Dua belas kali lipat. Saya ribut. Pada saat rapat dengan Bareskrim di Jakarta, saya minta minta, perhatikan. Pak gubernur saya ketemu. Saya sampaikan juga secara tertulis kepada Pak Kapolda, BNN, saya minta tolonglah, ini generasi kita hancur kalau begini terus. Akhirnya di Palangka Raya kan ada digerebek dan didapat 40 jutaan butir. Sebenarnya pasar kita adalah Kalimantan Selatan makanya yang ketangkap aja sampai 15 jutaan. Yang lolos berapa juta, penduduk kita cuma berapa. Anak-anak kita itu hanya korban.

T: Sekarang saya ingin menanyakan, ini agak sensitif, isu rasial, sebagai Orang keturunan Tionghoa apakah selama ini dalam proses integrasi agak terkendala?

J: Awal-awal. Karena apa? Biasalah saya katakan. Saling curiga-mencurigai. Saya berniat baik, belum tentu orang bisa menerima. Pasti ada kecurigaan. Jangan-jangan baiknya cuma pura-pura, kan begitu. Begitu juga sebaliknya. Jangan-jangan ini, jangan-jangan itu tapi saya kan punya tekad. Nanti waktu yang membuktikan. Makanya saya terjun di politik ini sejak tahun ’98. Tahun ’99 ikut pemilu, terpilihlah jadi anggota DPRD Provinsi. Di DPRD Provinsi sepuluh tahun. Masyarakat bisa melihat dan menilai. Saya tidak mengatakan saya baik tapi yang jelas masyarakat masih memberi kepercayaan. Saya tidak macam-macam, tidak cari sana-cari sini, tidak mencampur bisnis dengan politik.

T: Di tingkat individu, menurut Pak Ali, bagaimana cara paling efektif untuk mencapai integrasi sosial antara Orang Indonesia Keturunan Tionghoa dengan Orang-orang non Tionghoa di Kalimantan Tengah?

J: Jangan merasa sebagai orang yang superior, apapun posisi kita. Kita berhadapan dengan orang desa, bahasanya bahasa orang desa. Kita berhadapan dengan pedagang, ya bahasa pedagang. Kan begitu. kita berhadapan dengan sopir, ya bahasa sopir. Artinya apa? Jangan kita merasa diri kita lebih superior dari orang lain. Jangan merasa kita itu sebagai orang yang lebih, gitu lho. Apalagi kalau punya jabatan, atau status sosial yang lebih, yah itulah penyakit kita sebagai manusia. Kalau kita merasa status sosial kita lebih, kita itu memandang orang lain rendah.

T: Ada sementara pandangan bahwa Uluh Kalteng seharusnya beridentitas Kalteng termasuk etnik Tionghoa. Pendapat Pak Ali terhadap pandangan ini?

J: Identitas itu tidak bisa dipungkiri. Kita harus menyatakan bahwa kita itu beda tapi bukan perbedaan itu yang dipermasalahkan. Bhineka Tunggal Ika. Beraneka ragam tapi sama. Samanya apa? Cita-citanya. Indonesia sebagai satu kesatuan kan? Kita berbeda-beda wajar, beda agama wajar. Jangan kita permasalahkan perbedaannya.

T: Bagaimana Pak Ali melihat konsep Bhineka Tunggal Ika dalam hubungannya dengan identitas ini? Apakah identitas tidak menjadi sekat dalam pergaulan bangsa?

J: Saya rasa tidak ya. Memang ini satu filosofi yang sangat mendalam. Tidak semua orang memahami persoalan demikian, masih banyak yang berpikiran sempit tapi disitulah tantangannya. Dan Indonesia, dengan filfosofi Bhineka Tunggal Ika itu, saya katakan ini satu berkah yang luar biasa. Tanpa itu kita bisa cerai-berai. Indonesia ini satu negara-bangsa. Sebenarnya inilah tugas kita meneruskan cita-cita founding father kita, melanjutkan grand design founding father dulu. Platform ini. Dalam arus globalisasi, kita dikatakan tidak siap, siap. Dikatakan siap, tidak siap. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem berdemokrasilah sehingga banyak terjadi hal-hal yang luar biasa. Tapi sebenarnya ini suatu tantangan bagi kita semua.

T: Apa saran Pak Ali agar etnik minoritas tidak semakin termarjinalkan dan posisinya setara sebagai warga negara yang bermartabat?

J: Kalau saya melihat bagaimana mereka meningkatkan kualitas. Kita hanya menang kuantitas sementara ini. Unggul dari segi kuantitas tapi segi kompetensi dan sebagainya, lemah. Apalagi menurut data, masa sekolah Orang Dayak ini hanya rata-rata tujuh koma sekian tahun, jadi wajib belajar sembilan tahun itu pun belum terpenuhi. Apalagi yang dua belas tahun. Tinggal bagaimana pemerintah melakukan pemerataan pembangunan. Distribusi pembangunan sekarang kan pincang, lebih banyak berdasarkan selera kepala daerah.

T: Dari Etnik Tionghoa yang ada di Kalteng sendiri, apa ada semacam upaya melakukan hybrid culture?

J: Sebenarnya yang paling efektif itu kan memang melalui pembauran secara kekeluargaan. Itu sudah banyak terjadi. Tapi saya bilang, yang lebih efektif lagi daripada itu tanpa harus melepaskan identitas kita, karena biar kemanapun kan kita tidak bisa memungkiri identitas itu, adalah kita tidak membeda-bedakan hal itu. Saya bilang, cobalah teman-teman masuk ke dalam dunia politik. Waktu saya masuk dunia politik, teman-teman itu marah, “Ngapain masuk dunia politik? Ingat pelajaran tahun enam lima. Gimana nasib kita? Nanti gara-gara kamu, kami semua sengsara.” Maka ada yang mencurigai, ini dari keluarga kami juga, “Ah, paling-paling untuk cari proyek aja”. Justru yang marah bukan saya. Teman-teman saya, staf-staf saya padahal staf saya ada Orang Jawa, ada Orang Dayak, orang mana-mana. Mereka yang marah, “Kok enak sekali kalian ngomong begitu”, kata mereka. Saya bilang, “Kalian tidak perlu marah. Wajar mereka curiga,” tapi saya bilang saya punya satu keyakinan nanti waktu yang membuktikan. Itu tantangan bagi saya. Sampai saya bilang, “Saya memposisikan diri dalam dunia politik ini adalah sebagai bumper. Bumper kalian. Yang namanya bumper itu tidak pernah bahagia, tidak pernah enak. Hujan kena hujan, panas kena panas, tabrakan hancur. Tak ada penghargaan, namanya bumper kan.” Apa yang saya kerjakan sekarang ini, bukan yang ingin dicapai sekarang. Tapi bagaimana nanti untuk waktu yang akan datang. Anak cucu kita. Bagaimana dia bisa berbaur dengan masyarakat setempat secara lebih harmonis, bisa saling bekerja sama, saling memperhatikan. Ternyata hal-hal seperti itu sudah mulai terjadi di Kalimantan Tengah ini. Katakanlah saya dulu pernah mau diganggu orang, saya diam aja. Saya nggak marah tapi yang marah adalah orang-orang di sekeliling saya. Yang di sekeliling saya siapa? Ya Orang Dayak, ya Orang Banjar, dan seterusnya. Tanpa saya meminta, mereka sudah menganggap bahwa kita ini sudah bersaudara.  Bersaudara bukan karena pertalian darah, karena kita sering bertemu, berinteraksi, memperhatikan, malah kadang-kadang lebih dari saudara. Hal-hal seperti itulah yang saya rasakan. Saya rasa yang agak bisa membuat rusuh bukan masyarakat di bawah. Elit, karena kepentingan. Itu aja. Kalau di bawah itu tidak ada masalah, elit-elit ini yang bisa memainkan. Jadi saya pikir, itu semua gara-gara elit. Kalau di masyarakat bawah itu paling-paling masuk tindakan kriminal tapi kemudian ada yang menunggangi. Nah itu.[]

Pewawancara: Andriani SJ Kusni

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Juru Foto: Kusni Sulang

Wawancara Eksklusif Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Habib H. Said Ismail

Telah siar di Halaman Budaya Sahewan Panarung, Radar Sampit, Minggu, 20 Januari 2019

“Harmonisasi. Itulah Puncak Pembangunan di Kalimantan Tengah.”

Pewawancara: Andriani SJ Kusni

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Juru Foto: Kusni Sulang

Wawancara Eksklusif Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Habib H. Said Ismail
Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Habib H. Said Ismail menerima pengasuh Halaman Budaya Sahewan Panarung, Andriani SJ Kusni, di ruang kerjanya di Kantor Gubernur Kalimantan Tengah, untuk melakukan wawancara eksklusif bertema “Menggalang Interaksi Horisontal dan Vertikal yang Republikan dan Berke-Indonesia-an di Kalimantan Tengah”, Kamis, 17/01/2019.
Foto/Dok.: Kusni Sulang

Radar Sampit dari Jawa Pos Group berterimakasih kepada Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Habib H. Said Ismail, yang sudah menerima permintaan wawancara bertema “Menggalang Interaksi Horisontal dan Vertikal yang Republikan dan Berke-Indonesia-an di Kalimantan Tengah”. Sebelumnya, kami ingin menjelaskan beberapa istilah yang kami pakai agar tidak salah tafsir: Uluh Kalimantan Tengah – Orang Kalimantan Tengah (semua penduduk Kalimantan Tengah) tanpa membedakan partai, agama, keyakinan dan kepercayaan; Republikan – kemerdekaan/kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan; Berke-Indonesia-an – Kebhinnekaan dan persatuan.

Tanya: Bagaimana Bapak melihat praktek interaksi republikan dan berke-Indonesia-an baik horisontal ataupun vertikal dewasa ini di Kalimantan Tengah? Ada yang berpendapat bahwa keadaan Kalimantan Tengah ibarat “padang ilalang kering”.

Jawab: Saya tidak setuju dengan istilah ibarat padang ilalang kering. Saya asli Kalimantan Tengah. Selama ini kita melihat kehidupan republikan dan berkeindonesiaan di Kalimantan Tengah ini sudah bagus, kalau menurut saya. Terlepas dari adanya intrik-intrik politik yang menimbulkan dan memicu sedikit perbedaan, demo, kekerasan, itu bagi saya wajar di suatu daerah. Apalagi sekarang ini era keterbukaan. Era transparansi. Hanya memang agak kebablasan. Jadi sekarang tinggal bagaimana kita dan pemerintah menyikapi itu. Bagaimana menampung itu semua serta mengambil kebijakan-kebijakan positif bagi semua pihak. Tinggal itu saja agar ilalang yang kering ini bisa lembab sedikit. Jadi saya tidak setuju dikatakan Kalimantan Tengah ini ibarat ilalang kering. Selama Kalimantan Tengah berdiri baru satu kali terjadi kejadian yang lumayan besar. Kalau kejadian-kejadian kecil, di Kumai sering, di Kapuas pernah kejadian kecil tapi biasalah antar kelompok, antar warga, dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Contoh saja Maluku, sudah berapa kali. Kalau istilah ilalang kering itu, boleh dikata untuk daerah-daerah tertentulah. Ada spot-spot tertentu misalnya Palangka Raya. Itu cuma karena unsur politik, tidak ada unsur yang mencederai rasa kebangsaan, tidak mencederai rasa persaudaraan sesama warga negara Indonesia. Murni unsur politik, unsur kepentingan dari golongan-golongan tertentu.

Tanya: Menurut pengamatan Bapak, apakah di Kalimantan Tengah terdapat ghetto budaya dan budaya ghetto?

Jawab: Tidak ada. Ghetto itu kan rumah Yahudi ya… yang dia sendiri, yang menyepi. Betang bukan ghetto. Kalimantan Tengah ini punya falsafah huma betang yang justru dalam huma betang itu bercampur semua unsur, semua etnik, semua agama. Berinteraksi dalam rumah tersebut dan keluar mengurus pekerjaan masing-masing tatkala masih menjadi warga huma betang itu sendiri. Jadi nggak ada ghetto, menurut saya. Saya sudah keliling desa-desa. Saya memang senang jalan-jalan. Saya ada waktu, biasanya Jumat, Sabtu, Minggu, nggak ada kerjaan, saya jalan keliling. Apakah itu untuk dakwah, mengunjungi teman, melihat jalan-jalan yang dibangun oleh komunitas. Secara diam-diam ya, tanpa SPPD. Jalan sendiri. Saya pakai motor trail, saya juga masuk komunitas jip, sekalian naik jip ke daerah gunung-gunung, satu kali jalan. Ghettoisme nggak ada.

Tanya: Apakah itu berarti Kalimantan Tengah tidak memerlukan suatu politik etnik yang mempersatukan?

Jawab: Politik etnik bagi saya, diperlukan untuk menyatukan etnik-etnik tertentu. Dan setelah bersatu, disatukan kembali dalam satu rumah besar yang bernama betang dengan falsafah huma betang yakni Kalimantan Tengah. Lalu disatukan dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika. Kalau politik etnik di Kalimantan Tengah sekarang ini sepertinya tidak jalan.

Tanya: Artinya ada politik etnik tapi tidak jalan?

Jawab: Ada.

Tanya: Kenapa tidak jalan menurut Bapak?

Jawab: Karena kita tahu kesadaran Orang Palangka Raya dalam berkebangsaan sebagai republikan  dan berkeindonesiaan, cukup besar. Tinggal bagaimana elit-elitnya entah itu elit politik, elit dalam golongan, elit-elit dalam bidang usaha, tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh pemuda, bisa menyatukan semuanya.

Tanya: Politik etnik yang ada sekarang, bentuknya seperti apa berdasarkan pengamatan Bapak?

Jawab: Misalnya, tatkala pilkada. Pilih putra daerah. Harusnya nggak perlu ada itu. Misalnya lagi dalam pemilihan-pemilihan, saya Jawa, saya Dayak, saya Banjar… itu politik etnik ya. Namun saya melihat bahwa itu tidak mempengaruhi atau mencederai rasa persatuan di bumi Kalimantan Tengah ini. Saya tahu. Saya memperhatikan itu semua. Pemerintah memiliki Forum Pembauran Kebangsaan untuk memperkecil sentimen-sentimen kesukuan. Memperkecil efek negatif dari sentimen-sentimen kesukuan tersebut.

Tanya: Tapi bukan berarti hilang efek-efek negatif tersebut?

Jawab: Betul. Masih ada itu semua. Dunia ini dari jaman Nabi Adam sudah ada efek negatif dari hal-hal demikian.

Tanya: Jadi bagaimana konkritnya meminimalisir efek negatif sentimen-sentimen kesukuan tersebut?

Jawab: Kita membina forum-forum. Ada Forum Pembauran Kebangsaan, Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat, Forum Bela Negara. Dan juga ada lembaga-lembaga lain di luar pembinaan pemerintah. Itu semua untuk meminimalisir sentimen-sentimen etnik yang nantinya bisa memunculkan kecemburuan etnik tatkala satu suku merasa paling besar, paling hebat. Kita harapkan forum-forum tersebut turut menyulut rasa kesetiakawanan di Kalimantan Tengah.

Tanya: Dalam satu rapat forum di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), ada peserta rapat berpendapat bahwa dalam hubungan antar etnik di Kalimantan Tengah yang berlaku adalah “siapa yang kuat dialah yang menang (survival of the fittest). Bagaimana pendapat Bapak? Benarkah prinsip ini diterapkan dalam hubungan antar etnik? Semestinya bagaimana jika tidak benar?

Jawab: Itu terlalu berlebihan. Nah, andaikata prinsip itu dijalankan, coba kita tanya kembali pada orang-orang, etnik siapa sih yang menang disini? Etnik mana sih yang merasa besar disini? Menurut saya pribadi, mereka saling melindungi. Saya memang bukan asli Dayak tapi berdarah Dayak, sudah tujuh turunan di Kalimantan Tengah. Datuk saya kawin dengan Orang Dayak juga. Kadang-kadang ada yang bilang saya ini keturunan Arab, “Orang Arab kok menjajah disini” tapi buktinya saya akrab dengan Orang Dayak, dengan Orang Jawa luar biasa, dengan Orang Bugis, Orang Manado, tinggal bagaimana kita menularkan dan mengajarkan itu semua kepada masyarakat bahwa kita satu. Satu bangsa Indonesia. Dan siapapun yang berdiam, berdomisili, berwarganegara Indonesia, memiliki hak dan kewajiban yang sama, dalam tanda kutip. Saya bilang begitu. Mereka menerima. Silahkan tanya jika ketemu tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh adat, siapa Habib Ismail, insya allah tak ada negatif. Negatifnya paling cuma satu, ngalor-ngidulnya…

Tanya: Jadi semestinya bagimana prinsip dalam hubungan antar etnik?

Jawab: Prinsip kita ya, kalau menurut saya, ayo puji Dayak. Budaya Dayak kita kembangkan bersama, rasa sosial dan kesetiakawanan, adat-istiadat, silahkan angkat. Angkat bersama-sama. Tapi satu, jangan hina adat yang lain. Jawa begitu juga. Silahkan, mau wayangan, mau reog, mau tayyib. Silahkan dan bilang ini kesenian yang paling bagus, ini kesenian yang paling tua di Indonesia. Silahkan tapi jangan hina adat yang lain. Begitu juga suku-suku lain. Jadi caranya sekarang agar kita damai cuma satu, silahkan kita puji diri kita tapi jangan hina orang lain. Yang bikin konflik berkepanjangan ini adalah ada kata-kata yang kadang-kadang secara tidak langsung menyinggung perasaan orang lain. Itu harus kita pelajari, harus kita sadari, agar jangan keluar dari mulut kita. Misal, Islam agama terbaik. Benar. Tapi jangan kita bilang, “Islam agama terbaik, agama lain tak bagus”. “Kristen agama terbaik karena menyebarkan kasih damai. Hindu, Budha, Islam, tak baik”. Jangan. Silahkan angkat masing-masing. Itu satu-satunya cara agar kita bisa bersatu.

Tanya: Sekarang mengenai masalah kebudayaan. Kalimantan Selatan telah beberapa kali menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Banjar yang antara lain membahas apa-siapa Orang Banjar dan apa-bagaimana kebudayaan Banjar itu. Untuk terciptanya interaksi mendasar yang republikan dan berke-Indonesia-an, apakah di Kalimantan Tengah kita perlu menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Uluh Kalimantan Tengah?

Jawab: Saya kira perlu untuk menyatukan.  Dan satu hal yang harus kita angkat adalah bahwasanya di Kalimantan Tengah pernah berdiri kerajaan besar, Kerajaan Kotawaringin. Dalam kongres kebudayaan, adat kerajaan wajib diangkat juga.

Tanya: Dalam konteks ini, bagaimana pendapat Pak Wagub jika Festival Isen Mulang dikembangkan menjadi Festival Isen Mulang Uluh Kalimantan Tengah? Alasan-alasan Bapak?

Jawab: Saya setuju itu. Dengan kecenderungan memprioritaskan Dayak dengan prinsip Dimana Langit Dijunjung Disitu Bumi Dibangun, meminjam istilah ayahanda Kusni Sulang, karena kita berdiri, berdiam, menggunakan segala sesuatu yang ada di Tanah Dayak. Kita angkat kebudayaan Dayak ini bukan hanya di kancah kita sendiri tapi juga di kancah nasional hingga internasional. Kemarin ada kongres kebudayaan di Arab Saudi, diundang. Saya sudah siap berangkat tapi karena nggak ada dana, nggak jadi. Isen Mulang di Yogya, tanya aja Orang Yogya. Ini panitianya (maksudnya, beliau-ASK), berapa kali, kami donaturnya. Isen Mulang mini di Jakarta juga. Sekarang andaikata bisa, Isen Mulang Kalimantan Tengah. Saya setuju itu.

Tanya: Dalam waktu hampir bersamaan di Kalimantan muncul dua organisasi baru, Forum Intelektual Dayak dan Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional. Bagaimana Pak Wagub melihat hal ini dari segi interaksi antar etnik, kepentingan Kalimantan Tengah dan bangsa?

Jawab: Sah-sah saja. Karena saya orang politik, saya memandang dari sisi politik. Salah satunya dipelopori oleh orang politik juga, Bapak Willy Yoseph, saya yakin dan saya kira wajar, ke depan akan menjadi satu kekuatan politik juga.

Tanya: Bapak memiliki harapan khusus terhadap hadirnya dua forum ini?

Jawab: Harapan saya, mereka benar-benar mengumpulkan Orang Dayak yang pintar-pintar di Kalimantan bukan hanya di Kalimantan Tengah saja agar bisa semakin memotivasi anak-anak muda kita bahwa Orang Dayak ini banyak yang pintar, banyak yang profesor. Kita berharap anak-anak muda bisa mengikuti jejak langkah mereka. Kedepannya, entah forum-forum ini mau dipakai untuk kekuatan politik, itu terserah. Bukan wewenang kita untuk menghalangi atau menyetujuinya. Kita cuma memandang sisi manfaat sosialnya. Bagi saya, bagus. Karena nanti isinya adalah cendekiawan-cendekiawan yang tentunya mempunyai kompetensi, mudah-mudahan bisa memberi angin sejuk untuk Kalimantan Tengah agar ilalangnya tidak kering. Bisa memberi pengertian-pengertian pada masyarakat bagaimana sih Indonesia yang bersatu itu. Hukum positif berlaku di negara kita, bukan hanya hukum adat walau hukum adat diakui.

Tanya: Ada yang berpendapat bahwa dalam keadaan Indonesia seperti hari ini dan Kalimantan Tengah yang ibarat “padang ilalang kering”, pendekatan kebudayaan tidak diperlukan. Yang perlu dan mendesak adalah diterapkannya kembali “pendekatan keamanan”. Pendapat Bapak?

Jawab: Bagi saya, perlu keduanya. Pendekatan kebudayaan diperlukan karena orang yang memahami kebudayaan biasanya adalah orang yang tidak mau menyakiti orang lain dan senang kedamaian. Orang yang punya jiwa seni, bagi saya adalah orang yang romantis. Pendekatan keamanan juga diperlukan agar kita semua sadar bahwa segala sesuatu yang kita lakukan harus menjamin keamanan masyarakat sekitar kita. Jangan sampai yang kita lakukan memicu terjadinya gangguan kamtibmas. Silahkan menyampaikan pedapat. Silahkan mengkritik atau berorasi. Namun tetap menjaga keamanan dan ketertiban. Dan yang bisa menjamin itu semua adalah pendekatan keamanan itu tadi agar tidak mengganggu stabilitas keamanan karena melakukan hal-hal di luar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tanya: Sekarang tentang hubungan atau interaksi vertikal, terutama antara warga dan penyelenggara Negara. Sebagai pejabat negara, apakah Bapak terbuka terhadap kritik?

Jawab: Terbuka. Bahkan mungkin, mungkin… saya satu-satunya manusia disini yang menghadapi kritik dengan tertawa.

Tanya: Bagaimana melancarkan kritik sebaiknya?

Jawab: Kritik semestinya bukan hanya menyalahkan namun turut memberi sumbangsih solusi terhadap apa yang dianggap masalah agar masalah tersebut bisa diluruskan.  Andaikata menyalahkan saja, itu namanya marah. Kita mengharapkan semua warga negara memiliki sensitivitas terhadap kinerja para pejabat negara. Itu bukti mereka memperhatikan kita. Tatkala ada program-program kerja kita yang dikritik, kita senang. Itu tanda perhatian. Kadang-kadang yang mengkritik ini cendekiawan lho, gelarnya doktor lho.  Ya, saya ngaku salah. Saya tanya, solusinya apa, apa yang harus dilakukan? Diam.

Tanya: Pernah mengalami itu (menghadapi pengkritik yang hanya bisa mengkritik tanpa memberi solusi-ASK)?

Jawab: Bukan pernah lagi. Sering. Di facebook, instagram. Orang mengkritik, bilang saya goblok. Saya bilang alhamdulillah. Kalau saya pintar, saya nggak jadi wakil gubernur, saya jadi presiden. Orang bilang saya goblok, tak ada masalah karena saya diajarkan oleh orang tua saya tatkala kita memandang orang, pandang orang itu lebih tinggi dari kita, tatkala kita memandang diri sendiri, pandang diri sendiri lebih bodoh dari orang.

Tanya: Jadi Bapak tidak menilai kritik sebagai hinaan, pembunuhan karakter dan atau pencemaran  nama baik?

Jawab:  Tidak. Oh, kalau dianggap sebagai pembunuhan karakter, sering, sampai pada kehidupan keluarga. Saya santai. Yang baru-baru ini soal Grab itu (Wakil Gubernur menjadi supir Grab di waktu luang-ASK), saya santai saja. Itu wajar karena saya sadar saudara kembar pun yang dilahirkan bersama, pasti cara berpikirnya berbeda. Kita tidak bisa menyatukan pola pikir satu dengan lainnya tapi menyamakan persepsi bisa. Misal tujuan kita ke depan apa, bisa kita samakan. Dan itu betul-betul saya sadari. Pola pikir mempengaruhi pola kerja, pola pikir mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan masyarakat, dan pola pikir juga mempengaruhi visi misi ke depan. Pola pikir mempengaruhi semua.

Tanya: Pertanyaan terakhir, menurut Bapak, bagaimana sebaiknya hubungan penyelenggara Negara dengan warganegaranya? Idealnya seperti apa?

Jawab: Idealnya adalah penyelenggara negara berkewajiban mengakomodir segala sesuatu yang dianggap perlu, penting, dan menjadi prioritas oleh warga negaranya. Sekali lagi, warga negara. Bukan kelompok tertentu. Penyelenggara negara juga harus bisa menangkap apa kemauan mayoritas warga negara. Andaikata ada warga negara tidak setuju dengan apa-apa yang lakukan penyelenggara negara, silahkan ajukan ketidaksetujuan tersebut. Masalahnya apa dan beri saran solusi terbaik. Bagi saya, warga negara juga harus bisa melihat sisi positif kerja keras penyelenggara negara yang sudah bekerja siang-malam menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk menjaga stabilitas keamanan, stabilitas ekonomi, semuanya. Warga negara harus sadar bahwa dia bisa ke pasar dengan damai, dia bisa belanja dengan enak, itu juga adalah peran serta penyelenggara negara. Dan juga penyelenggara negara harus bisa membawa dirinya agar sering-sering bertemu dengan warga negara. Pemimpin harus sering bertemu masyarakat. Pemimpin harus sering berinteraksi dengan masyarakat. Pemimpin harus mendengar keluh-kesah masyarakat. Pemimpin juga harus bisa memberikan pemikiran-pemikiran untuk menjamin kesejahteraan dan ketentraman masyarakat. Bukan hanya sejahtera. Buat apa kita sejahtera kalau tidak tenteram.  Buat apa kita kaya kalau hidup tidak aman. Dan buat apa juga kita hidup aman kalau kesejahteraan tidak tercukupi. Setelah sejahtera dan aman, keharmonisan itulah puncak keberhasilan pembangunan kita. Puncak keberhasilan di Kalimantan Tengah ini jika bisa menjamin harmonisasi antara seluruh penduduk atau masyarakat. Mereka hidup harmonis, saling menghargai, saling bertoleransi, saling tolong-menolong, guyub, rukun, bisa bergotong-royong, saling tepo-seliro, itulah puncak keberhasilan pembangunan di Kalimantan Tengah, bagi saya.[]

BERITA-BERITA SEPUTAR EKS TAPOL PAPUA, FILEP KARMA

 

 

 

EKS TEPOL FILEP KARMA BEBERKAN PEMBEBASAN PAKSA DIRINYA
Senin, 30 November 2015 | 10:00 WIB

TEMPO.CO, Jayapura – Aktivis Papua Merdeka, Filep Jacob Semuel Karma, 56 tahun, menganggap pembebasan terhadap dirinya dari Lembaga Pemasyarakatan II-A (LP) Abepura, Papua, sangat tidak manusiawi. Proses pengeluaran terhadap Filep yang dilakukan secara paksa ini, diakuinya terjadi pada Rabu, 18 November 2015, pukul 13.00–14.30, waktu setempat.

“Proses pengeluaran saya ini sangat tidak manusiawi. Sebab binatang yang dipelihara sekalipun, sebelum dilepas ke alam bebas, perlu waktu beradaptasi. Sebelas tahun saya ditahan di lapas, namun saya tidak diberikan waktu untuk beradaptasi. Apakah saya, seorang manusia Papua tidak lebih berharga daripada binatang?” kata Filep dalam keterangan tertulisnya kepada Tempo, Senin, 30 November 2015.

(Baca: Dibebaskan, Tapol Papua Filep Karma Syok)

Eks tahanan politik (tapol) Papua ini mengadakan konferensi pers hari ini dengan sejumlah wartawan mengenai pembebasan dirinya dari LP yang dilakukan secara mendadak. Filep yang dibui selama sebelas tahun karena tuduhan makar, menolak pemberian remisi hukuman. Ia ingin menjalani seluruh masa hukumannya selama 15 tahun secara utuh.

Filep mengaku ia ditekan secara psikologis dan tidak diberikan kesempatan untuk berbicara dengan pengacaranya. Ia hanya diberi waktu satu jam untuk berpikir di hadapan Johan Jarangga selaku Kepala Divisi LP Kanwil Kemenkumham Papua, Bagus Kurniawan selaku Kepala LP, dan beberapa staf LP lain.

Awalnya, Filep dipanggil Hanafi yang merupakan Kasi Binadik LP Abepura melalui Irianto Pakombong, seorang staf LP Abepura. Kemudian, dalam ruang kerjanya, Hanafi membacakan kutipan surat yang menurutnya dari Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham tentang Daftar Nama Penerima Remisi Dasawarsa, termasuk Filep Karma yang dinyatakan mendapat tiga bulan remisi. Dalam prosesi ini disaksikan Irianto Pakombong.

Kemudian, lanjut Filep, Johan Jarangga, Bagus Kurniawan, dan beberapa staf LP dan Kanwil Kemenkumham Papua masuk ke ruang kerja Hanafi. “Mereka menekan saya untuk keluar dari lapas hari itu juga, satu jam setelah kutipan surat yang disebut dari Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham dibacakan,” kata Filep.

Namun, Filep mengaku
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/30/078723336/eks-tapol-filep-karma-beberkan-pembebasan-paksa-dirinya

Namun, Filep mengaku sampai dikeluarkannya ia dari LP, ia tidak diberikan tembusan atau fotokopi surat yang disebut dari Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham Negara Kolonial Rasialis Indonesia tentang Daftar Nama Penerima Remisi Dasawarsa yang memuat namanya tersebut. “Melihat atau membacanya pun tidak. Hingga saat ini, saya meragukan surat keputusan yang menjadi dasar mengeluarkan saya dari Lapas Abepura,” tuturnya.

Pada 2005 pun, Mahkamah Agung pernah mengajukan kasasi ihwal penahanan Filep. Namun, Filep sendiri tidak pernah merasa surat hasil keputusan tersebut dari MA. “Saya hanya menerima selembar kopi dari faksimile yang tidak jelas dan sangat meragukan yang digunakan untuk menahan saya,” katanya.

Meskipun Filep protes terhadap pembebasannya tersebut, ia hanya diberikan waktu satu hari sebelum dikeluarkan secara paksa dari LP Abepura pada 19 November 2015.

Filep-begitu dia sering disapa-ditahan sejak 2004 setelah divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jayapura karena kasus makar. Filep divonis bersama rekannya, Yusak Pakage, yang dihukum sepuluh tahun bui. Keduanya ditangkap polisi pada 1 Desember 2004, setelah memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Abepura, Kota Jayapura, Papua. Pada Rabu, 18 November 2015, Filep akhirnya dibebaskan. Namun, Filep sendiri mencurigai tindakan yang dilakukan terhadapnya tersebut.

Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham I Wayan Dusak yang dihubungi Tempo pagi ini menjelaskan, keputusan pembebasan eks tapol Papua dilakukan Kepala Kanwil Kemenkumham Papua. “Bukan dari Dirjen. Dirjen hanya mengikuti undang-undang,” kata Dusak.

Penjelasan lebih rinci, Dusak meminta Tempo menghubungi Kanwil Kemenkumham Papua.

LARISSA HUDA | MARIA RITA
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/30/078723336/eks-tapol-filep-karma-beberkan-pembebasan-paksa-dirinya/2

 

 

BEBASNYA FILEP KARMA BIKIN NUANSA POLITIK DI PAPUA BERDENYUT
Selasa, 1 Desember 2015 – 00:50 wib

Saldi Hermanto
Jurnalis

TIMIKA – Bebasnya tahanan politik (tapol) Papua, Filep Karma, ditengarai bakal menambah nuansa politik di Papua kembali berdenyut. Meski indikasi pengibaran bendera Bintang Kejora khususnya di wilayah Timika, Papua, di HUT Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1 Desember belum bisa diprediksi aparat keamanan.

“Karena dengan bebasnya Filep Karma itu bisa mengubah nuansa politik di Papua. Soal pengibaran tidak ada informasi yang kami dapat,” kata Kapolres Mimika, AKBP Yustanto Mujiharso, usai apel siaga pengamanan 1 Desember di Kantor Pusat Pelayanan Masyarakat Polres Mimika, Senin (30/11/2015).

Di Timika sendiri, ada empat titik lokasi yang akan diantisipasi oleh aparat keamanan, yakni Jalan Sosial yang merupakan sekretariat dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB), areal Pasar Gorong-Gorong, areal makam tokoh OPM Kelly Kwalik di samping lapangan Timika Indah, dan lapangan Jayanti Sempan.

Selanjutnya, berdasarkan informasi intelijen baik dari TNI maupun Polri, bahwa kegiatan peringatan 1 Desember akan dilakukan kelompok KNPB dengan menggelar ibadah syukur di sekretariat kelompok tersebut. Sedangkan kegiatan lainnya di luar kegiatan keagamaan, tidak diizinkan aparat keamanan setempat.

“Informasi kegiatan mereka ibadah syukur dan itu hubungan manusia dengan Tuhan, jadi silakan saja. Kita antisipasi saja kemungkinan atas indikasi-indikasi yang akan terjadi nanti,” terang Kapolres.

Peringatan 1 Desember diklaim kelompok-kelompok berseberangan ideologi dengan NKRI di Papua sebagai hari jadi OPM. Biasanya pada 1 Desember maupun 1 Mei atau peringatan-peringatan hari besar masyarakat Papua, kelompok-kelompok tersebut pada lokasi dan wilayah tertentu mengibarkan bendera Bintang Kejora.
(Ari)
http://news.okezone.com/read/2015/12/01/340/1258603/bebasnya-filep-karma-bikin-nuansa-politik-di-papua-berdenyut

Senin, 30 November 2015 06:37
Jelang 1 Desember, Rakyat Papua Resah Ada Mobilisasi Aparat

Jawapos.COM PAPUA- 1 Desember selama ini disebut-sebut sebagai Hari Kemerdekaan Papua Barat dan 14 Desember sebagai HUT Melanesia. Biasanya pada tanggal-tanggal krusial tersebut, beberapa kelompok mengibarkan bendera bintang kejora.

Hal ini mendapat perhatian serius aparat keamanan di Papua. Akhir pekan lalu, Polda Papua sudah menggelar rapat dengan TNI, DPRP, MRP dan tokoh masyarakat menyikapi ancaman keamanan.

Terkait hal tersebut, Plt Ketua Komnas HAM Papua, Frits Ramandey meminta aparat keamanan untuk melakukan upaya-upaya persuasif mengantisipasi 1 Desember dan 14 Desember.

”Jadi kalau ada orang atau kelompok masyarakat yang mau memperingati dengan bentuk doa atau sejenisnya, itu harus direspon dengan cara-cara konstruktif,” kata Ramandey pada Cendrawasih Pos (Jawa Pos Group).

Frits juga meminta kepada kelompok atau organisasi yang akan memperingati 1 Desember agar mempertimbangkan aspek keamanan, sehingga tidak mengundang reaksi berlebihan dari aparat.

”Sehingga tidak ada korban lagi. Itu harus menjadi perhatian,” pintanya.
http://www.jawapos.com/read/2015/11/30/12054/jelang-1-desember-rakyat-papua-resah-ada-mobilisasi-aparat

Frits berharap aparat keamanan maupun kelompok-kelompok yang akan memperingati 1 Desember agar bisa menahan diri.

“Kalau ada masyarakat yang berkumpul, lalu mau melakukan doa atau sejenisnya, itu harus dilihat sebagai sikap politik. Jangan direspon dengan cara kekerasan. Itu akan menghasilkan efek terhadap aparat dan negara,” jelas Frits.

Terkait dengan 1 Desember, Frits mengatakan Komnas HAM Papua telah mendapat pengaduan dari masyarakat utamanya di wilayah Mambreamo dan Nabire mengenai penambahan personel keamanan yang membuat masyarakat resah.

“Antisipasi dari pihak keamanan itu penting, tetapi bukan mobilisasi. Secara sikologis masyarakat akan panik, karena masyarakat punya trauma terhadap penanganan satu Desember beberapa tahun lalu, yang mengakibatkan korban,” tandasnya.

Sementara itu, Kapolda Papua, Irjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw, M.Hum, menyebutkan bahwa pihaknya telah menyiapkan 237 personel untuk mengawal ancaman keamanan di tanggal 1 Desember. Personel ini nantinya akan dibackup oleh personel Kodam XVII/Cenderawasih, Lantamal V Jayapura dan Lanud Jayapura.

“Dalam waktu dekat akan disusun kegiatan sinergi antara Kepolisian dengan TNI untuk melakukan upaya-upaya cipta kondisi,” jelas Waterpauw.

Untuk wilayah Kota Jayapura, menurut Waterpauw ada beberapa lokasi yang akan menjadi perhatian yaitu Lapangan Trikora Abepura dan Taman Imbi.
http://www.jawapos.com/read/2015/11/30/12054/jelang-1-desember-rakyat-papua-resah-ada-mobilisasi-aparat/2

“Untuk Kabupaten Jayapura di makam Theys juga sedang dikoordinasikan untuk dilakukan pengamanan. Di daerah-daerah seperti Timika, Yahukimo, Jayawijaya dan Keerom juga juga telah dilakukan pengamanan,” tegasnya.

Kapolda Waterpauw meminta masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal atau tindakan yang melanggar hukum atau keluar dari koridor hukum yang berlaku di negara ini.

“Kami pasti akan tindak tegas apabila ada yang melakukan pelanggaran,” pungkasnya.(Cepos/afz/JPG)
http://www.jawapos.com/read/2015/11/30/12054/jelang-1-desember-rakyat-papua-resah-ada-mobilisasi-aparat/3

Soal Filep Karma, Ini Respons Kanwil Kemenkumham
Senin, 30 November 2015 | 13:09 WIB

TEMPO.CO, Jakarta – Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadiv PAS) Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Papua, Johan Yarangga, menampik anggapan eks tahanan politik (tapol) Filep Jacob Semuel Karma, 56 tahun, yang mengatakan bahwa pembebasan dirinya dilakukan secara paksa. Menurutnya, semua prosedur yang diberikan kepada Filep sudah sesuai peraturan. Bahkan, Johan beranggapan bahwa apa yang dilakukan Filep saat ini tak lebih dari sekadar sensasi kepada publik.

“Jangan kita keluar dari itu (pokok permasalahan) karena orang politik itu kan biasa. Cari-cari kesalahan pemerintah. Padahal upaya pemerintah untuk memperhatikan warga negaranya sudah dilakukan dengan baik. Ini adalah cara Filep untuk mencari perhatian saja,” kata Johan Yarangga kepada Tempo, Senin, 30 November 2015.

(Baca:Eks Tapol Filep Karma Beberkan Pembebasan Paksa Dirinya)

Johan mengatakan, tidak ada unsur pemaksaan yang dilakukan terhadap Filep. Adapun keputusan yang dikeluarkan pihak lapas sudah sesuai dengan putusan hakim yang sah, baik itu penahanan maupun pembebasannya. Filep juga tidak diizinkan untuk tetap berada di dalam lapas karena pihak lapas sudah tidak ada dasar lagi untuk menahan Filep.

“Saya pikir kami tidak melakukan secara paksa untuk warga binaan yang di dalam lapas. Kalau orang itu ditahan kemudian dibebaskan, tentunya ada putusan dari hakim. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, ada kriteria dan aturan yang mengikat dan harus dilaksanakan terhadap warga binaan,” kata Johan.

Menurut Johan, lapas telah memberitahukan ihwal pembebasan Filep satu hari sebelumnya. Dari pihak lapas, Johan mengatakan tidak ada bentuk dorongan atau ancaman terhadap Filep. Justru sebaliknya, Johan mengaku bahwa pihaknya melakukan suatu pendekatan yang manusiawi.

“Saya beritahukan pada dia, ‘bahwa kau (Filep) akan bebas dari lapas’, itu bukan paksaan. Bentuk paksaan itu seperti apa? Harus diberitahukan (pembebasannya), tidak bisa kami diam-diam,” kata Johan.

Johan sendiri tidak mempermasalahkan apa yang dikatakan Filep kepada media. Menurutnya, dari pihak lapas sudah melaksanakan aturan pemerintah dengan sebaik-baiknya. “Apabila seandainya aturan tidak dilaksanakan, berarti pemerintah yang tidak memperhatikan hak-hak bagi warga binaan di lapas sesuai dengan peraturan yang berlaku,” kata Johan.

(Baca:Dibebaskan, Tapol Papua Filep Karma Syok)

Dalam proses pembebasan terhadap eks tapol Filep, Johan mengaku bahwa pembebasan yang dilakukannya terhadap Filep sudah mempertimbangkan unsur kemanusiaan bagi warga binaan di lapas. Jadi pemberian remisi kepada warga binaan menjadi mutlak dan harus diberikan apabila tahanan sudah menjalani proses pidana dan bagi mereka yang berkelakukan baik.

“Tidak bisa kita tunda-tunda. Kalau kami tunda berarti kami melakukan kesalahan baik dalam pemberian pelayanan maupun pemberian hak-hak bagi warga binaan masyarakat,” kata Johan.

Dalam keterangan resmi Filep Jacob Semuel Karma, disebutkan bahwa pembebasan yang dilakukan terhadapnya dari Lapas II A Abepura sangat tidak manusiawi. Proses pengeluaran terhadap Filep secara paksa ini diakuinya terjadi pada hari Rabu, 18 November 2015, pukul 13.00-14.30 waktu setempat.

Filep divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jayapura karena kasus makar. Filep divonis bersama rekannya, Yusak Pakage, yang dihukum 10 tahun bui. Keduanya ditangkap polisi pada 1 Desember 2004, setelah memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Abepura, Kota Jayapura, Papua.

Pada Rabu, 18 November 2015 lalu, Filep akhirnya dibebaskan. Namun Filep sendiri mencurigai tindakan yang dilakukan terhadapnya tersebut. Ia menolak remisi yang diberikan pemerintah dan memutuskan menjalani hukumannya hingga berakhir pada 2019.

LARISSA HUDA
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/30/078723390/soal-filep-karma-ini-respons-kanwil-kemenkumham

PERTAHANKAN BAHASA LOKAL SEBAGAI IDENTITAS

PERTAHANKAN BAHASA LOKAL SEBAGAI IDENTITAS
Kamis, 03 September 2015, 22:16 WIB
Antara/Dewi Fajrian
Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).
Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG — Bahasa lokal, termasuk bahasa daerah beserta variasi dialeknya, harus dipertahankan sebagai pembangun identitas, kata Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah Pardi Suratno.

“Orang Jawa, misalnya, diidentifikasi dari bahasa yang digunakan sehari-hari. Orang Bugis dikenal karena berbahasa Bugis, kemudian orang Madura, Sunda, dan sebagainya,” katanya di Semarang, Kamis (3/9).

Hal tersebut diungkapkannya usai kegiatan Language Maintenance and Shift (Lamas) V bertema “The Role of Indigenous Language in Constructing Identity” yang berlangsung pada tanggal 2–3 September 2015.

Menurut dia, bahasa merupakan wadah kebudayaan yang mencerminkan identitas pemiliknya, termasuk bahasa daerah, sehingga harus terus diajarkan, dilestarikan, dan dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Kalau di Jateng, kami mengapresiasi dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 9/2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. Ini merupakan wujud kepedulian terhadap pelestarian bahasa daerah,” katanya.

Bahasa daerah yang digunakan di Jawa Tengah secara umum, kata dia, adalah bahasa Jawa. Namun, karena wilayah yang luas dan pengaruh kekuasaan zaman kerajaan, tercipta berbagai dialek bahasa.

“Berbagai dialek itu, misalnya bahasa Jawa Solo yang standar, kemudian ada dialek Banyumasan, Tegal, Pati, dan sebagainya. Umumnya, dialek-dialek ini berkembang di daerah pesisir,” katanya.

Sejalan dengan regulasi itu, kata dia, masyarakat lokal diperbolehkan untuk mengajarkan, melestarikan, dan memanfaatkan dialek-dialek khas yang diwariskan leluhurnya itu kepada generasi muda.

“Jadi, di Banyumas atau Tegal, misalnya, tidak harus mengajarkan bahasa Jawa sebagaimana Solo. Namun, mengajarkan dialek-dialek khas setempat, termasuk pula kesenian dan adat istiadatnya,” katanya.

Pardi juga mengingatkan bahwa bahasa daerah tidak hanya terdapat di Indonesia, tetapu juga terdapat di berbagai negara lain yang memiliki ciri khas tertentu, belum termasuk dialek yang menjadi variasinya.

“Oleh karena itu, kami undang mereka semua dalam Lamas ini yang menjadi ajang pertemuan dan komunikasi para pemerhati bahasa lokal, bahasa daerah di seluruh provinsi, termasuk luar negeri,” katanya.

Kegiatan tahun yang sudah rutin digelar sejak lima tahun lalu itu dihadiri oleh para pengajar bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan luar negeri.

“Dari luar negeri, ada pengajar dari Amerika Serikat, India, Libya, dan Malaysia. Kalau total peserta yang hadir ada 108 orang. Semua peserta diwajibkan untuk menyusun dan menyampaikan makalah,” ungkapnya.[]

RUU Bahasa Daerah Ditarget Kelar 2016
Senin, 15 Juni 2015, 17:01 WIB

DPF
enator asal Bengkulu Eni Khaerani

REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU — Rancangan Undang-Undang (RUU) bahasa daerah ditargetkan kelar tahun 2016. Senator asal Bengkulu Eni Khaerani mengatakan pihaknya sedang menyusun RUU Bahasa Daerah yang menjadi program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2016. Tugas Komite di bidang pengajuan RUU adalah mengadakan persiapan, pembahasan, dan penyempurnaan materi draft RUU beserta naskah akademiknya.

“RUU ini akan diajukan sebagai usul inisiatif untuk dibahas bersama DPR RI dan Pemerintah. Targetnya selesai tahun 2016,” ujar anggota Komite III DPD RI dalam kunjungan kerja (kunker) Komite III DPD RI ke Bengkulu, Senin (15/6).

Dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu ini menambahkan, RUU itu akan mengatur perlindungan bahasa daerah yang menegaskan pelaksanaannya. RUU Bahasa Daerah tersebut urgen dan relevan mengingat 659 bahasa suku bangsa dengan 2.636 variasi dialektal sebagai pembentuk identitas negara Republik Indonesia dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Bahasa Indonesia merupakan refleksi dan serapan dari berbagai bahasa suku bangsa dan menjadi indentitas negara Republik Indonesia.

Kunker itu di antaranya menemui jajaran Pemerintah Provinsi Bengkulu, selain pimpinan/anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bengkulu, Universitas Bengkulu, dan Pusat Bahasa Provinsi Bengkulu. Tujuan kunker adalah menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah guna menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bahasa Daerah sebagai usul inisiatif Komite III DPD RI. Untuk RUU yang sama, tim lainnya berkunjung ke sejumlah daerah.

Asisten III Bidang Administrasi Umum Sekretariat Daerah Provinsi Ir H Sudoto MPd, yang menerima delegasi kunker itu, menyatakan Pemerintah Provinsi Bengkulu mendukung RUU usul inisitif Komite III DPD RI tersebut. “Kekayaan tradisi dan budaya akan dapat dilestarikan dan berguna bagi masyarakat selama bahasa daerah masih hidup. Ketika bahasa daerah hidup, maka budaya akan hidup,” katanya.

Redaktur : Dwi Murdaningsih

PERINGATAN LEMBAGA ADAT KAMORO, PAPUA, KEPADA PEMERINTAH INDONESIA

ANTARA News

 

Lembaga adat Kamoro ingatkan jangan ada lagi pembunuhan

Senin, 31 Agustus 2015 07:05 WIB
Lembaga adat Kamoro ingatkan jangan ada lagi pembunuhan

Ilustrasi. Sejumlah masyarakat Suku Kamoro menggelar Tari Penjemputan di lapangan Timika Indah dalam rangka Memeriahkan Hari Ulang Tahun Kabupaten Mimika ke XI, Senin (19/3). Dalam rangka HUT Kabupaten Mimika juga digelar pawai Budaya dan pentas seni dari sejumlah suku Asli Kamoro serta peragaan kesenian berbagai daerah di Indonesia. (FOTO ANTARA/Husyen Abdillah)

Kami orang Kamoro tidak pernah melakukan tindakan makar. Kami tidak pernah bicara soal merdeka. Tapi kenapa kalian dengan begitu mudah kalian tembak kami seperti binatang.”

Timika (ANTARA News) – Lembaga Musyawarah Adat Suku Kamoro (Lemasko) di Kabupaten Mimika, Provinsi Papua, mengingatkan aparat keamanan agar tidak lagi membunuh warga Suku Kamoro yang merupakan pendukung setia Merah Putih.

“Lain kali, ke depan dan di masa yang akan datang, bapak-bapak dorang jangan bikin lagi kepada anak-anak kami dan orang tua kami Suku Kamoro dari Nakai sampai Farifi. Kami adalah bangsa Indonesia, Merah Putih. Jangan nodai kesetiaan orang Kamoro terhadap Merah Putih. Cukup sudah, jangan terulang lagi,” kata Wakil Ketua Lemasko Marianus Maknaipeku di Timika, Senin.

Ia menegaskan hal itu menyikapi kasus penembakan terhadap sejumlah warga Suku Kamoro oleh oknum anggota TNI AD di kawasan Koperapoka, Timika pada Jumat (28/8). Insiden itu mengakibatkan dua warga yaitu Herman Mairimau dan Yulianus Okoare meninggal dunia. Jenazah keduanya telah dimakamkan di pemakaman umum Kampung Kamoro Jaya-SP1, Timika, Minggu (30/8) petang.

Marianus mengajak semua pihak untuk bersama membangun Tanah Papua dan Tanah Mimika dengan hati tulus dan kasih yang besar sesuai prinsip yang dipegang teguh warga Suku Kamoro secara turun temurun yaitu “Nimao Witimi” (saya sayang semua orang, semua orang sayang saya).

Mantan anggota DPRD Mimika periode 2004-2009 itu menilai warga Suku Kamoro semakin tergeser, malah telah dirampas hak-haknya di negeri mereka sendiri.

“Hak orang Kamoro dirampas dan dirampok mulai dari pemerintahan, DPRD sampai masyarakat akar rumput. Tidak ada yang melihat kami. Ketika kami lapar, tidak ada yang memberi kami makan. Kami menangis,” tutur Marianus.

Sekretaris Komisi I DPR-Papua Mathea Mameyao mempertanyakan alibi yang dikemukakan pihak tertentu bahwa kasus penembakan terhadap sejumlah warga Kamoro di kompleks Gereja Katolik Koperapoka pada Jumat (28/8) dini hari dipicu oleh ulah warga yang hendak merampas senjata api dari oknum anggota TNI AD.

“Saya dengar anak-anak Kamoro melakukan tindakan melawan hukum. Katanya mereka mau rampas senjata. Saya sama sekali tidak percaya itu karena pada dasarnya orang Kamoro itu penakut. Mereka tidak mungkin melakukan tindakan seperti itu,” ujar Mathea yang merupakan putri Suku Kamoro itu.

Mathea mendesak berbagai lembaga dan organisasi untuk melakukan investigasi secara terbuka dan transparan atas kasus tersebut.

“Usut tuntas. Pelaku-pelakunya harus diadili secara terbuka. Kita semua harus menjadi saksi untuk penyelesaian kasus ini,” ajaknya.

Mathea sependapat dengan Marianus Maknaipeku bahwa warga Suku Kamoro yang merupakan pemilik sah atas tanah Mimika, dimana ratusan ribu warga dari berbagai suku bangsa kini hidup diatasnya, semakin tergeser dalam berbagai aspek dan mereka sangat miskin di atas kekayaan alamnya yang melimpah.

Salah satu contohnya yaitu kondisi warga pada lima desa Daskam di dataran rendah Mimika yang wilayahnya dijadikan area pengendapan tailing PT Freeport Indonesia.

Meskipun warga setempat telah menyerahkan tanah ribuan hektare untuk dijadikan kawasan pengendapan tailing Freeport, namun warga di lima desa itu sangat miskin.

“Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kalau ini menimpa saudara-saudara dari suku lain, apa yang akan terjadi di atas tanah ini. Dengan keterbelakangan orang Kamoro, jangan saudara-saudara gunakan untuk menindas kami,” ujarnya.

Menurut dia, peristiwa penembakan terhadap sejumlah warga Suku Kamoro beberapa hari lalu di kawasan Koperapoka Timika sangat menciderai kepercayaan masyarakat setempat terhadap aparat TNI dan pemerintah.

Padahal warga Suku Kamoro merupakan pendukung setia Merah Putih sejak Papua kembali ke pangkuan ibu pertiwi pada periode 1960-an.

“Kami orang Kamoro tidak pernah melakukan tindakan makar. Kami tidak pernah bicara soal merdeka. Tapi kenapa kalian dengan begitu mudah kalian tembak kami seperti binatang,” kecam Mathea.

Diadili di Timika

Sementara itu Komandan Korem 174/Anim Ti Waninggap Merauke Brigjen TNI Supartodi menegaskan bahwa persidangan oknum anggota TNI AD pelaku penembakkan yang menewaskan dua warga Suku Kamoro di Koperapoka Timika pada Jumat (28/8) akan digelar di Timika.

“Saya sudah meminta agar mereka diadili dan dihukum di Timika. Keadilan dan hukum harus ditegakkan. Tidak ada yang tutup-tutupi dan tidak boleh ada campur tangan dari dalam maupun dari luar,” ujar Brigjen Supartodi.

Danrem mengatakan hingga kini Sub Denpom XVII/Cenderawasih di Timika masih melakukan penyidikan kasus tersebut.

“Untuk tersangka yang merupakan oknum anggota TNI AD masih menjalani proses di Sub Denpom Timika. Mereka adalah oknum yang menyalahi aturan yang berlaku. Karena itu mereka harus diadili sesuai dengan hukum yang berlaku,” tegasnya.

Brigjen Supartodi juga meminta semua pihak mengawal betul proses peradilan terhadap oknum anggota TNI AD yang telah menembaki warga sipil tersebut.

“Mari kita kawal peradilan ini sama-sama. Kalau ada penyimpangan dan lain-lain, laporkan kepada saya. Saya minta masyarakat jangan percaya dengan provokasi dari pihak-pihak lain,” imbaunya.

Editor: B Kunto Wibisono

TNI TEMBAK WARGA DI TIMIKA

Tempo.Co

TNI TEMBAK WARGA DI TIMIKA, INI KRONOLOGI VERSI WARGA

Jum’at, 28 Agustus 2015 | 20:14 WIBTNI Tembak Warga di Timika, Ini Kronologi Versi Warga  

 Prajurit TNI berjaga di kawasan Bandara Mulia, Puncak Jaya, Papua, (16/11). Wilayah tersebut memang kerap mengalami gangguan keamanan. ANTARA/Andika Wahyu

TEMPO.CO, Jayapura – Walau Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia Mayor Jenderal Endang Sodik mengatakan insiden penembakan yang terjadi di Jalan Bhayangkara, Distrik Mimika Baru, Papua, berawal dari kesalahpahaman. Tapi penjelasan TNI tentang insiden yang menyebabakan dua orang tewas dan dua orang lainnya luka-luka itu dibantah salah seorang Petugas Pastoral Keuskupan Timika, Papua, Santon Tekege.

Menurut Santon, kejadian ini sebenarnya bermula saat ada acara pukul Tifa, yakni acara khas orang Mimika untuk menyambut suksesnya seseorang dalam meraih gelar di dunia pendidikan. Tapi dalam acara pukul Tifa pada Kamis malam, 27 Agustus 2015, di Koperapoka, Timika, dua orang tak dikenal datang di tempat acara tersebut dalam keadaan mabuk dan menggunakan kendaraan bermotor.

“Karena kedua orang tak dikenal itu datang dalam keadaan mabuk, masyarakat menolak mereka masuk ke tempat acara itu. Kemudian mereka pulang dengan emosi dan penuh kemarahan kepada petugas keamanan acara pukul Tifa itu,” katanya. Selang beberapa menit, keduanya datang kembali.

Saat datang untuk kedua kalinya itu, kata Santon,  mereka membawa senjata laras panjang dan pisau sangkur. “Kedua pelaku lalu berdebat dengan penjaga keamanan dari Orang Muda Katolik (OMK) dalam acara itu. Keduanya mencoba mendobrak paksa masuk dalam acara pukul Tifa dan mengacaukan situasi acara itu,” jelas Santon.

Menurut Santon, kedua orang pelaku penembakan itu menodongkan pisaunya ke arah masyarakat Mimika di sekitar pusat acara pukul Tifa itu. ” Bukan hanya itu, keduanya juga menodongkan senjata laras panjang yang mereka bawa. Masyarakat mulai takut dan cemas, acara pukul Tifa mulai kacau karena kehadiran orang tak kenal itu,” katanya.

Setelah acara pukul Tifa ini kacau, kata Santon, kedua orang pelaku itu keluar dari tempat acara pukul Tifa menuju arah jalan raya. “Dari jalan raya itulah, pelaku mengeluarkan tembakan ke arah massa yang ada di sekitar sepanjang Jalan Raya Koperapoka. “Saat itu massa kocar-kacir karena takut kena peluru senjata tajam yang ditembakkan kedua pelaku,” jelasnya.

Santon juga mengatakan, setelah terjadi penembakan, warga kemudian baru menyadari ada dua warga yang tewas terkena peluru. Mereka adalah Imanuel Mailmaur (23 tahun) dan Yulianus Okoware (23 tahun). Sedangkan Marthinus Apokapo (24 tahun), Marthinus Imapula (25 tahun) serta beberapa warga lainnya menderita luka-luka,

“Sebenarnya masih ada yang mengalami luka-luka tembakan tetapi tidak bisa terdata karena banyak aparat keamanan tidak mengijinkan mengambil data para korban di Rumah Sakit Umum Daerah Mimika.

Belakangan terungkap kalau pelaku penembakan itu berasal dari Kodim 1710 yaitu Serka Makher dan Sertu Ashar,” kata Santon.

CUNDING LEVI

PUSAT TERAPKAN POLITIK ANAK TIRI?

Tribun-Maluku.com | Berita dan Informasi Seputar Maluku Terkini

Kamis, 13 Agustus 2015

30 Tahun, Maluku Perjuangkan Tunjangan Kemahalan

Pemerintah provinsi Maluku selama 30 tahun terakhir memperjuangkan alokasi dana tunjangan kemahalan seperti yang diperoleh Papua, Papua Barat dan Aceh, tetapi hingga kini tidak pernah dijawab pemerintah pusat.

Ambon, Tribun-Maluku.com : Pemerintah provinsi Maluku selama 30 tahun terakhir memperjuangkan alokasi dana tunjangan kemahalan seperti yang diperoleh Papua, Papua Barat dan Aceh, tetapi hingga kini tidak pernah dijawab pemerintah pusat.

“Lebih dari 30 tahun kami berjuang agar pemerintah Pusat dapat memberikan tunjangan kemahalan di provinsi Maluku, tetapi sampai saat ini tidak pernah dijawab,” kata Gubernur Maluku Said Assagaff di Ambon, Kamis (13/8).

Menurutnya, tingkat kemahalan berbagai kebutuhan masyarakat di Maluku relatif sama bahkan ada yang lebih mahal dari Papua, Papua Barat maupun Aceh.

“Karena itu sudah sepantasnya pemerintah pusat mempertimbangkan pemberian tunjangan serupa untuk Maluku,” katanya.

Said menegaskan, perjuangan memperoleh tunjangan kemahalan tersebut telah dilakukan Pemprov Maluku saat Adam Malik masih menjabat Wakil Presiden berkunjung ke Maluku tahun 1981.

Gubernur Maluku yang saat itu dijabat Hasan Slamet dalam pertemuan resmi dengan Wapres Adam Malik langsung meminta pemerintah pusat memberlakukan tunjangan kemahalan bagi Maluku.

Permintaan tunjangan kemahalan juga sudah disampaikan berulang kali kepada Presiden dan Wakil Presiden lainnya, termasuk kepada mantan Presiden Megawati Soekarno Putri dan Susilo Bambang Yudhoyono, tetapi tidak pernah direalisasikan.

Said juga menegaskan, dirinya saat menjabat Wakil Gubernur periode 2008 – 2013 maupun saat menjadi Gubernur, memanfaatkan berbagai kesempatan bertemu dengan para Menteri, DPR-RI maupun Presiden dan Wakil Presiden untuk dapat memberikan tunjangan kemahalan bagi Maluku.

“Saya sudah sering bicara tegas kepada pemerintah untuk memperhatikan aspirasi pemprov dan masyarakat di Maluku. Apa Maluku harus ribut dulu seperti Papua dan Papua Barat baru pemerintah memperhatikan dan menjawab aspirasi kita,” ujar Said.

Dia menandaskan, Maluku sebagai salah satu dari delapan provinsi pendiri negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sudah selayaknya diperhatikan pemerintah Pusat dengan mengalokasikan anggaran yang cukup dan memadai, sehingga ketertinggalan pembangunan di berbagai sektor dapat diselesaikan.

“Rasanya sangat tidak wajar jika Maluku sebagai provinsi pendiri bangsa dan negara ini, dibiarkan oleh pemerintah berada pada kategori provinsi termiskin di tanah air,” ujarnya.

Karena itu, Said berharap pemerintah Pusat dapat memperhatikan aspirasi pemprov dan masyarakat Maluku dan memberikan tunjangan kemahalan yang telah diperjuangkan selama puluhan tahun tersebut. (ant/tm)