Jurnal Toddoppuli
Cerita Buat Andriani S. Kusni & Anak-Anakku
Untuk mulai masuk Tahun Baru 2011, boleh jadi ada dua pertanyaan kunci yang baik dijawab. Dua pertanyaan itu adalah: Pertama, bagaimana kegiatan dan kehidupan di Kalteng pada tahun 2010?. Kedua, atas dasar pertanyaan pertama, pertanyaan keduapun muncul: Bagaimana kita mengisi Tahun 2011 di bidang kebudayaan? Tentu saja dua pertanyaan ini, saling berkaitan satu dengan yang lain. Dan dua pertanyaan tersebut, pada tempatnya diajukan jika dalam bidang kebudayaan Uluh Kalteng tidak ingin dari tahun ke tahun berada di tempat tetapi berusaha untuk terus-menerus maju. Di lihat dari segi hukum gerak, boleh jadi berada di tempat saja sudah bisa dikatakan tidak ada kemajuan. Dan justru berada di tempat, bahkan mundur dari tempat semula, sering menimpa Kalteng, terutama di bidang kebudayaan. Dua pertanyan di atas bermaksud melihat di mana sekarang Kalteng berada, bagaimana keadaannya di tempat ia berada sekarang, lalu berdasarkan peta keadaan demikian, menetapkan mau ke mana serta bagaimana ameunju ke mana itu.
Sebelum mencoba menjawab kedua pertanyaan kunci di atas, boleh jadi ada gunanya secara singkat menyinggung masalah untuk apa berbicara kebudayaan. Mengapa masalah kebudayaan perlu ditangani secara sungguh-sungguh dan tidak sambil lalu. Untuk menjelaskan hal ini, saya menggunakan pengalaman seorang pengarang terkemuka Tiongkok pada tahun 1930an, Lu Sin, sekarang dipandang sebagai ‘’panglima utama kebudayaan rakyat Tiongkok’’. Dengan maksud mengabdi pada rakyatnya, Lu Sin berangkat ke Jepang, untuk belajar menjadi dokter, karena ia melihat rakyat Tiongkok banyak yang tidak sehat. Dengan menjadi dokter, Lu Sin berpikir, ia akan bergun dalam membangun bangsanya. Suatu malam, Lu Sin menonton filem tentang Tiongkok yang memperlihatkan seorang Tionghoa diikat di tiang, disiksa sampai mati oleh tuan tanah. Orang Tionghoa lainnya menonton kejadian tersebut dengan tenang, tidak memberikan reaksi apapun. Adegan filem tersebut membawa Lu Sin akan rentetan kejadin tak terbilang yang ia saksikan di kampung halamannya, Tiongkok. Filem tersebut menyadarkan Lu Sin bahwa penyakit rakyat Tiongkok yng paling gawat bukanlah penyakit fisik, tetapi penyakit kejiwaan, penyakit pola pikir dan mentalitas. Rakyat Tiongkok di mata Lu Sin sedang menderita sakit kejiawaan, sakit pola pikir dan mentalitas. Sejak itu, Lu Sin membatalkan niatnya menjadi dokter (medikal) tapi menjadi penulis. Lu Sin berpendapat melalui tulisan, ia bisa turut megobati penyakit kejiwaan bangsanya. Sejak itu pula, Lu Sin menulis dan menulis hingga hembusan nafas terakhir. Penyakit kejiwaan, masalah pola pikir dan metalitas inilah sari kebudayaan yang ia geluti tanpa menghiraukan segala macam teror,tekanan dan rupa-rupa ancaman. Melalui tulisan-tulisannya, Lu Sin menginginkan bangsa Tionghoa mempunyai budaya manusiawi kritis, bukan manusia-manusia budak berbudaya budak. Bukan manusia apatis yang egoistik tanpa solidaritas kemanusiaaan yang snggup menggadaikan harga diri dan martabat untuk tujuan-tujuan hedonistik.
Dari kesimpulan Lu Sin di atas, kesimpulan yang mengobah jalan hidupnya, nampak bahwa sari masalah kebudayaan bukanlah pada bentuk seperti pakaian adat, sekian banyak pementasan, besar-kecil pertunjukan atau pameran, dan lain-lain yang kasat mata, tetapi lebih terletak pada roh, hambaruan, jiwa yang terdapat di balik bentuk-bentuk kebudayaan itu. Karena masyarakat terdiri dari berbagai kepentingan maka bidang kebudayaan pun merupakan pergulatan berbagai kepentingan-kepentingan sekaligus. Tidak semua kepentingan itu manusiawi dan merakyat. Pemenangan budaya merakyat dan manusiawi adalah jalan budaya menuju pemanusiawian diri sendiri, masyarakat dan kehidupan.
Jika demikian, agaknya, apabila menyepelekan masalah kebudayaan akan membawa masyarakat ke jurusan masyarakat tanpa budaya. Masyarakat yang kuranglebih menerapkan hukum rimba dengan prinsip survival of the fittest (hanya yang kuat.yang hidup). Masyarakat begini menjadi lahan subur bagi KKN, penyalahgunaan kekusaaan, kekerasan, vandalisme, holiganisme (baik di tingkat atas atau pun di lapisan bawah. Holiganisme di tingkat elite memarakkan holiganisme di tingkat bawah). Persoalan kebudayaan, menyangkut masalah tipe manusia yang diinginkan, bentuk dan wajah masyarakat yang didambakan. Pergulatan kebudayaan jadinya merupakan pertarungan membangun masyarakat manusiawi dengan kadar yang dinamik. Artinya, kebudayaan berbicara tentang masalah orientasi bermasyarakat dan manusia yang menjadi anggota masyarakat itu.
Bagaimana kita di Kalteng memandang masalah kebudayaan pada periode 2009-2010?
Di dalam tulisan pendek ini, tentu saja saya tidak bisa membuat daftar rinci apa yang saya saksikan sejak tahun 1998. Yang bisa saya lakukan adalah mengetengahkan beberapa tipikalitas. Tipikalitas itu kemudian mengungkapkan diri dalam kenyataan. Apa saja tipikalitas itu? Ia berupa pernyataan-pernyataan: “Kebudayaan hanya membuang-buang dana”, “Sastra itu tidak menarik”, “Di Kalteng tidak ada seniman-budayawan”, “Kebudayaan itu sudah terwujud dalam pengenaan pakaian daerah di hari-hari tertentu”, “Penggunaan bahasa Dayak Ngaju di hari-hari tertentu itu baik secara ide tapi tidak praktis’’, “Pengembangan kebudayaan akan mengembangkan pariwisata’’, “Penggunaan gedung-gedung pertunjukan olehg para seniman pun harus dikenakan pungutan biaya’’, pelajaran muatan lokal (mulok) di isi dengan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan mulok, penghapusan bahasa dan sastra daerah dari Universitas Palangka Raya (Unpar), absennya masalah hukum adat dari kajan Fakultas Hukum Unpar, tidk berkembangnya Museum Balanga (apalagi jika dibandingkan dengan Museum Dayak di Kuching, Sarawak), dan lain-lain…
Apa yang terdapat dari pernyataan-pernyataan dan keadaan di atas?
Pernyataan-pernyataan dan kenyataan-kenyataan di atas memperlihatkan bahwa:
(1). Yang menjadi orientasi dalam melakukan kegiatan kebudayaan adalah absennya orientasi pengembangan kebudayaan di daerah ini. Kalaupun orientasi itu ada maka ia tidak lain dari orientasi uang. Bagaimana kegiatan kebudayaan itu bisa menghasilkan uang. Dari orientasi ini lahirlah bagi hasil, praktek kwitansi kosong, pemalsuan proposal, penyunatan honorarium seniman (terutama penari), gengisme dalam memproyekkan kegiatan. Yang paling konyol adalah tindakan mematikan Taman Budaya, membengkalaikan pembangunan gedung teater tertutup hingga apa yng sudah dimulai menjadi rusak kembali, dana APBN yang disediakan untuk pembangunan gedung serta peralatan yang sudah ada entah lari ke mana. Ketika gedung teater tertutup yang lebih mendesak keperluannya dibelengkalaikan, malah dibangun sarana panjat dinding di kawasan Taman Budaya. Saya menduga dibangunannya sarana panjat dinding di Taman Budaya ini selain wujud absennya orientasi budaya, juga tidak lepas dari bentuk dari pembagian proyek dan memproyekkan kegiatan kebudayaan.
Oleh absennya orientasi budaya ini maka di Kalteng, seperti diperlihatkan pada Pemilu Kada yang lalu, suburnya budaya ghetto yang berkembang menjadi budaya politik dan menjadi kendaraaan budaya bagi kolonialisme internal dengan sasaran Kalteng menjdi daerah koloni. Sedangkan budaya betang disempitkan menjadi kerukunan dalam perbedaaan sehingga jika tidak awas yang disebut budaya betang, bisa menjadi kendaraan kolonialisme internal juga. Secara konsepsional, yang disebut budaya betang masih patut didiskusikan lebih jauh sebab yang terkandung dalam Perda No.16/2008 bukanlah suatu konsep yang jadi, tapi dijadikan, dan punya lobang-lobang bagi masuknya petaka. Niscayanya, Dinas Kebudayaan atau Pendidikan menyelenggarakan suatu diskusi fokus tentang yang disebut budaya betang ini. Pentingnya masalah kebudayaan dan orientasi kebudayaan, telah diperlihatkan oleh Kongres Pemuda dengan Sumpah Pemuda tahun 1928 dan Polemik Kebudayaan pada tahun 1930. Apabila sekarang kita menggunakan budaya ghetto sebagai dasar membangun Kalteng maka artinya kita mundur jauh di belakang tahun 1928. Tapi kemunduran dan kekosongan konsepsional inilah yang sering menandai negeri ini. Termasuk Kalteng. Mabuknya anak-anak kita dengan akan musik rok,musik pop, dangdut yang sering didengarnya dari radio, televisi, kaset, dan lain-lain serta kurang mengapresiasi kesenian daerahnya sendiri, tentu tidak lepas dari ketiadaan orientasi budaya ini, terutama dari kalangan birokrat kebudayaan. Sehingga terjadi keterputusan masyarakat pemilik kesenian daerah itu dengan kesenian daerahnya sementara pihak mancanegara giat mempelajarinya. Bukan tidak mungkin jika kelak kemudian untuk mempelajari kesenian daerah Dayak, orang Dayak pun harus ke mancanegara untuk mempelajarinya. Siapakah penanggungjawab keadaan begini jika benar-benar terjadi?
Abesennya orientasi, atau kalaupun orientasi itu ada, maka ia adalah orientasi uang pernah diungkapkan juga antara lain oleh sastrawan Ajip Rosidi :”Karena pemerintah sekarang juga menganggap kebudayaan penting, hanya dalam hubungannya denga pariwisata yang ujung-ujungnya merupakan usaha mengait dollar, maka sedikit hrapn aka adanya usaha pengembangan kebudayaan da kesenaan utuk kepentingan mempertinggi derajat bangsa Indonesia seperti yang ditandaskan dalam Penjelasan Pasal 32 UUD 1945 yang berbunyi: “Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan….serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia”. Pemerintah seakan menganggap lebih penting “menjual kesenian” kepada kaum wisatawan daripada menggalang kehidupan kesenian di kalangan bangsa juta sendiri. Padahal hanya dengan menumbuhkan kehidupan kesenian yang sehat dalam masyarakat kita sendiri , kita dapat memberi suplai yang cukup dan terus-menerus kepada industri pariwisata. Seharusnya yang diutamakan ialah pembinaan kehidupan kesenian yang sehat dalam masyarakat kita sendiri sedang minat wisatawan hanyalah sampingan belaka, bukan tujuan utama. Kalau kehidupan kesenian kita berkembang, minat para wisatawan dengan sendirinya akan tumbuh. Karena itu jangan terbalik dengan mendahulukan dan mengutamakan kesenian untuk dijual kepada wisatawan. Sikap demikian bertolak-belakang dengan prinsip manusia merdeka karena hakekat kemerdekaan sebenarnya ialah mengubah status obyek menjadi subyek. Dengan mendahulukan dan mengutamakan pengembangan kesenian untuk dijual kepada wistawan, kita tetap menempatkan diri hanya sebagai obyek belaka. Kita senang ditonton orang, dipuji orang, sehingga hidup kita ditentukan oleh apa kata orang” (Ajip Rosidi, 2004: 13-14). Jika mau jujur melihat diri sendiri dengan menggunakan kata-kata Ajip tersebut sebagai kaca, maka barangkali kita di Kalteng, secara kebudayaan, masih belum menjadi manusia merdeka, tetap obyek yang hidupnya ditentukan oleh apa kata orang. Barangkali status obyek ini bukan hanya berlangsung di kalangan elite, birokrat kebudayaan, tetapi juga mendera sebagian besar pekerja kebudayaan yang merasa tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dana. Pandangan beginilah, dismping pengendalian oleh birokrat, yang menyebabkan Dewan Kesenian Daerah Kalteng mati suri. Pandangan inilah justru yang dibantah oleh Komunitas Seniman-Budayawan Palangka raya (KSB-PR) sejak lahirnya pada akhir November 2009. Artinya, untuk mengembangkan kebudayaan Kalteng, diperlukan pola pikir dan mentalitas baru. Atau dalam kata-kata Fr. Sani Lake, SVD, Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau, Keuskupan Palangka Raya, dalam artikelnya “Memaknai Pergeseran Paradigma Kebudayaan”: “Barangkali perlu lagi sebuah revolusi kesadaran baru, perlu sebuah pencerahan yang berani, enlightment dari bawah” (Kalteng Pos, 11 Desember 2010). Perlu “revolusi kesadaran baru” baik di tingkat atas maupun di tingkat bawah karena tetap berada dengan kesadaran seperti sekarang, Kalteng akan bergeming. Tetap di tempat yang sma dengan mundur. Karena masyarakat Kalteng masih bersifat paternalistik, berada dalam ghetto-ghetto budaya yang bersifat patron-client maka ‘’revolusi kesadaran baru” itu terutama banyak dituntut pada kalangan elit (patron).
Ketiadaan orientasi mausiawi dan merakyat, absennya keinginan menjadi subyek, menciptakan keadaan “melakukan sesuatu tapi tidak untuk sesuatu apa pun” (do many things, but for nothing).
(2). Ketidak jelasan tentang apa yang disebut kebudayaan dan yang menjadi masalah-masalah kebudayaan, termasuk kebudayaan daerah.
Dengan absennya orientasi budaya, kecuali berorientasi uang, maka kegiatan-kegiatan tidak mempunyai sifat strategis menjangkau jauh, membina dan mengembangkan, tapi sekedar menggunakan alokasi anggaran. Dari keadaan begini tidak mungkin lahir prakarsa-prakarsa strategis bersifat pionir. Ide-ide bersifat pembidasan malah dinilai sebagai ‘’omong kosong’’, “hanya bersifat wacana belaka” tapi tidak diimbangi dengan ide baru. Akibatnya Kalteng mempertontonkan kemiskinan ide atau prakarsa di bidang kebudayaan. Ketiadaan orientasi dan ketidaktahuan tentang masalah kebudayaan ini barangkali disebabkan oleh posisi kunci di dinas-dinas terkait, tidak ditempati oleh orang yang tepat baik secara pengetahuan dan keterampilan maupun secara perhatian. Yang menduduki pos-pos kunci di Dinas-Dinas terkait bukan “the right men in the right place” sehingga terjadi rutinisme birokrasi tanpa jiwa. Apabila benar-benar ingin mengembangkan kebudayaan di daerah ini, hal begini sebenarnya bisa di atasi jika kepala dinas terkait, membentuk tim pembantu ahli, terdiri dari pelaku-pelaku lapangan, tanpa terpancang pada gelar akademi (yang sering kosong makna) dan jenjang birokrasi. Tapi langkah begini hanya mungkin jika ada sikap keterbukan, komitmen kuat untuk pengembangan kebudayaan serta orientasi budaya yang jelas. Tidak memandang kekuasaan sebagai kebenaran. Pandangan feodalitis yang tidak berguna untuk Republik dan Indonesia serta Kalteng.
(3). Terdapat jarak antara birokrat kebudayaan dengan pelaku kebudayaan dan dunia kebudayaan. Secara tipikal jarak ini diungkapkan oleh pernyataan bahwa “Kalteng tidak mempunyai seniman dan budayawan”. Birokrat kebudayaan sebenarnya bisa berfungsi sebagai organisator-pemikir kebudayaan, seperti halnya yang dilakukan oleh André Malraux, Menteri Kebudayaan Charles de Gaulle atau Jack Lang, Menteri Kebudayaan François Mitterrand dari Perancis yang berhasil mengembangkan kebudayaan Perancis, terutama dengan menciptakan Fête de la Musique yang berkembang dari skala Perancis ke tingkat Eropa. Untuk mengembangkan kebudayaan diperlukan organisator-pemikir kebudayaan, bukan birokrat yang terjerat oleh rutinitas birokrasi. Peran organisator-pemikir kebudayaan ini menjadi menonjol di tengah-tengah adanya sanggar-sanggar dan komunitas yang berkegiatan tapi juga kurang mencamkan masalah orientasi. Akibatnya kegiatan-kegiatan menjadi tanpa arah dan roh. Di sinilah keperluan adanya Institut Kesenian Dayak Kalimantan menjadi muncul. Tapi keperluan dan ide yang dipandang oleh salah seorang doktor dipandang sebagai “omong kosong”.
Sadar akan adanya jarak antara birokrat kebudayaan dan dunia kebudayaan ini maka dalam pertemuannya dengan Delegasi Komunitas Seniman-Budayawan Palangka Raya (KSB-PR) pertengahan tahun 2010, Gubernur Kalteng A.Teras Narang meminta agar jarak ini ditiadakan. Jarak inilah salah satu penyebab tidak berkembangnya kehidupan kebudayaan di Kalteng. Tapi dalam kenyataan apakah petunjuk Gubernur ini dilaksanakan oleh “menteri”nya? Belum dan belum. Artinya salah satu permasalahan program pemerintah terganjal terletak pada kemampuan ‘’menteri-menteri’’nya. Terdapat di lapisan tengah piramida kekuasaan. Pertanyaan balik: Mengapa tidak Gubernur menempatkan the right man on the right place? What are the obstacles, Dear Governor? (Apa yang menghalang , Gubernur yang terhormat?), sedangkan kekuasaan menentukan apa-siapa menjadi .”menteri” ada di tangan orang pertama daerah. Organisator-pemikir kebudayaan inilah yang justru sngat diperlukan oleh Kalteng untuk menggalakkan kegiatan kebudayaan menjadi suatu gerakan kebudayaan baru. Tapi justru tenaga ini yang minim terdapat.
Keadaaan di atas barangkali merupakan gambaran umum singkat tentang kehidupan kebudayaan di Kalteng sampai tahun 2009. Setelah KSB-PR berdiri dengan mengetengahkan paradigma-paradigma baru dibarengi dengan kegiatan-kegiatan periodiknya di berbagai bidang( termasuk lobi-lobi politik-formal ke berbagai tingkat ) pada awal November 2009, iklim kebudayaan Kalteng mengalami sedikit pergeseran. Kegiatan-kegiatan KSB-PR termasuk audiensi dengan Gubernur dan DPRD Provinsi, menarik perhatian orang pertama provinsi ini untuk turun ke lapangan meninjau Taman Budaya. Setelah kunjungan ke lapangan ini Gubernur mengeluarkan beberapa petunjuk, antara lain Pergub (Peraturan Gubernur) tentang dihidupkannya kembali Taman Budaya. Perhatian Gubernur terhadap kebudayaan, menjalar ke instansi-instansi di jenjang bawahan. Setelah kunjungan Gubernur ke lapangan pula maka Gedung Teater tertutup Taman Budaya mulai dibangun kembali. Masalah mulok menjadi makin kongkret dan direncanakan akan mulai dilaksanakan di semua SD-SMA Kalteng mulai tahun 2011 ini. (Apakah benar-benar sudah siap? Paling tidak Kepala Dinas Pendidikan sudah menjanjikkannya. Adanya janji sudah satu kemajuan, sedangkan kemajuan riil kita saksikan lebih lanjut). Keputusan meghidupkan kembali Taman Budaya, diharapkan bisa menjadikan lokomotif penggerak kehidupan kebudayaan di Kalteng, walaupun harapan ini disertai dengan segala cadangan , apalagi setelah mendengar wawancara penanggungjawab Taman Budaya di acara Keba TVRI Kalteng pertengahan Desember 2010, secara wacana masih meragukan. Saya harapkan sikap penuh cadangan ini bisa menjadi dorongan bagi Tim Pengasuh Taman Budaya, untuk bekerja lebih keras, sesuai petunjuk Gubernur yaitu bersandar kepada para pelaku kebudayaan. Artinya bersandar pada massa. Tidak memandang diri sebagai pemilik kebenaran serupa para dewata. Hal bersandar kepada para pelaku kebudayaa utuk menggerakkan gerakan kebudayaan di Kalteng, menjadi penting mengingat latar belakang penanggungjawab Taman Budaya dan Kepala Dinas Kebudayaan yang asing dari dunia kebudayaan. Mudah-mudahan dihidupkannya kembali Taman Budaya, bisa berperan sebagai organisator-pemikir kebudayaan, sekligus memainkan peran Dewan Kesenian yang nampaknya hanya ada nama dan membuang dana percuma. Dalam soal mulok pun kira-kira akan terlaksanakan dengan baik, apabila petunjuk garis massa Gubernur diterapkan dengan teguh, tidak bersandar pada gengisme, penyakit usang yang terbukti tidak membawa kita ke kemajuan. Apabila model gengisme dan proyek-isme diteruskan maka bisa dipastikan mulok tidak akan terwujud sesuai harapan. Tidak akan mungkin memobilisasi semua kekuatan yag mestinya dilibatkan sehingga yang akan kita saksikan tidak lain dari kekederdilan kata-kata. Taman Budaya, mulok, Gedung Teater Tertutup tidak lain hanyalah sarana untuk mencapai tujuan. Apa tujuan, orientasi kebudayaan yang ingin dicapai, sampai sekarang belum dijelaskan oleh pihak pengelola kekuasaan. Tanpa ada orientasi kebudayaan ini saya khawatir kita tidak akan bergeser dari budaya ghetto dan memanfatkan kekayaan budaya berupa keanekaragaman Kalteng. Karena kita sekarang sesungguhnya berada pada periode Pasca Tradisional maka saya menyarankan orientasi itu adalah kebudayaan Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng sebagai isi baru dari rumusan yang disebut budaya betang.
Perhatian dan pembangunan sarana budaya yang didorong oleh Gubernur, capaian budaya pada tahun 2010, merupakan modal awal berharga dalam melancarkan gerakan kebudayaan dan membuat renaisans budaya Kalteng. Tapi sarana ini dan renaisans budaya hanya terjadi percepatannya dengan orientasi budaya yang tanggap zaman.
Gambaran sekilas tentang kehidupan kebudayaan di Kalteng ini, tidak lebih dari suatu ajakan untuk melihat kekurangan, capaian kita hingga tahun 2010, kemudian dari kekurangan dan capaian itu merenungkan apa yang mesti kita lakukan guna mengisi tahun 2011 dengan penuh makna agar Kalteng bisa melesat,ke depan. Kalteng bisa melesat maju jika pada Uluh Kalteng terjadi ‘’revolusi kesadaran baru’’, karena kemajuan dan kemunduran berawal dan ditentukan oleh manusia. Dan soal manusia seperti ditunjukkan oleh Lu Sin adalah masalah sentral kebudayaan. Kalteng yang melesat maju merupakan cara nyata Uluh Kalteng ‘’Menegakkan Indonesia Dari Daerah’’, jika meminjam istilah Soetrisno Bachir, pendiri Yayasan Solusi Bangsa (Harian Kompas, Jakarta, 31 Desember 2010) , dan Kalteng demikian tidak bisa dilakukan oleh Uluh Kalteng berkesadaran usang dan metode-metode lapuk. Tapi justru kita berada di tengah kelapukan demikian. Tantangan kebudayaan yang tidak sederhana menguji kadar.***
KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Palangka Raya (LKD-PR).