Politik Transaksional Para Pemimpin Oleng

Wacana

31 Desember 2010
Tajuk Rencana

Politik Transaksional Para Pemimpin Oleng

Politik tidak pernah setia kepada konstitusi. Karena itu, setiap terjadi pergantian kekuasaan atau ”permainan politik”, berubahlah undang-undang. Segala peraturan hanya untuk pelanggengan kekuasaan. Segala undang-undang didesain untuk memenangi perebutan kekuasaan. Tidak kelirulah jika Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri mengkritik elite bangsa yang lebih senang mengamandemen konstitusi ketimbang mengimplementasikan. Kesetiaan pada konstitusi hanyalah omong kosong politik.

Mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945 hingga empat kali mungkin juga bisa dianggap sebagai permainan kekuasaan tingkat tinggi. Jika tidak demi kemenangan partai-partai besar, tak mungkin undang-undang yang telah dipersiapkan oleh para pendiri negara, diacak-acak sedemikian rupa sehingga menjadi elastis. Peraturan yang ”mudah diubah” akhirnya justru membuat siapa pun kehilangan arah untuk menegakkan dan menyejahterakan bangsa dan negara yang kian rapuh ini. Jika hal ini terus-menerus dilakukan, konstitusi berada di ambang kehancuran.

Sesungguhnya, percepatan keterpurukan bangsa ini masih bisa diperlambat atau dihentikan jika dinamika hukum dan politik tidak melenceng dari konstitusi. Karena itulah, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD berharap politik tidak jadi alat transaksi untuk kepentingan sesaat. Politik transaksional hanya akan menghancurkan segala rancangan pembangunan. Politik tukar guling menggiring bangsa ini ke jurang kehancuran. Dalam situasi semacam ini, para politikus mestinya memahami peran kenegarawanan agar menemukan hakikat konstitusi sejati.

Realitasnya, saat ini para politikus justru kerap membuat undang-undang untuk kepentingan sesaat dan sempit. UUD dianggap ”zadul” sehingga harus diperbaiki sesuai kebutuhan masa kini. Hanya, sayangnya, ”kebutuhan masa kini” itu diasumsikan sebagai kebutuhan partai atau kekuasaan. Alhasil, dalam pemahaman Mahfud MD, kepatuhan politikus dan negara terhadap konstitusi sangat minim, karena para pemimpin juga tidak patuh pada konstitusi. Jika pemimpin tidak patuh, maka mustahil akan mendapatkan rakyat yang patuh.

Apa yang harus dilakukan ketika pemimpin oleng dan para politikus menjalankan politik transaksional? Pertama, implementasikan dulu segala tindakan politik sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kedua, tidak perlu tergopoh-gopoh mengamandemen konstitusi jika hanya untuk permainan politik sesaat. Ketiga, sebaiknya diberlakukan ”kepatuhan politikus” terhadap konstitusi, agar perjalanan bangsa punya arah yang meyakinkan.

Tentu kita juga tidak boleh memberhalakan UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, NKRI, dan Pancasila. Hanya, diperlukan kajian dan berbagai prasyarat untuk menghilangkan atau sekadar mengubah pilar-pilar konstitusi itu. Jika sudah tidak relevan, ada baiknya diubah atau disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun jika masih bisa digunakan dan memang tidak perlu diubah, jangan sekali-kali kita ”mempermainkan”-nya untuk kepentingan sesaat. Eksperimen konstitusi semacam itu sungguh-sungguh sangat membahayakan.

 

ORDE REFORMASI ADALAH ORDE BARU BABAK II.

gri. mhmd <gri.mhmd@gmail.com> in: <gelora45@yahoogroups.com>Wednesday, 29 December 2010 18:02:13

Banyak orang mengira dan menaruh harapan besar bahwa di era ‘refomasi’ ini akan terjadi perubahan yang menguntungkan Rakyat dan terjadinya perubahan kekuasaan, politik dan ekonomi yang dapat memperbaiki nasib Rakyat keluar dari kemiskinan dan pemiskinan. Hal itu menjadi peluang bagi para bajing loncat, petualang politik, kaum oportunis kiri dan kanan sekaligus mendapat peluang membodohi Rakyat untuk ikut bermain mendapatkan kekuasaan baik di lembagai legislatif maupun eksekutif atau birokrasi demi kepentingan dan keuntungan pribadi atau kelompok mereka sendiri.

Orang-orang oportunis kanan dan kiri baik yang dulunya anti orba Suharto, maupun yang cuek baik dengan alasan masih trauma, takut maupun ‘kewaspadaan’, pada era reformasi  mereka seperti baru keluar dari ‘persembunyian, dan berkoar-koar memutar baikkan teori  dan ikut membodohi Rakyat agar memberikan dukunga suara supaya mereka ikut menikmati kekuasaan setelah lengsernya Suharto.

Mereka telah menutup mata dan telinga dari kenyataan bahwa lengsernya Suharto bukanlah hasil perjuangan Rakyat untuk merubah Indonesia dari penjajahan model baru menjadi negeri dan Rakyatnya merdeka. Lengsernya Suharto adalah sebagai puncak kontradiksi diantara kaum komprador dan kapitalis  birokrat serta modal asing, sehingga tidak terjadi perubahan mendasar bagi negeri (bukan negara-pen) dan Rakyat Indonesia.

Sejak berdirinya Orde Baru dibawah pimpinan Suharto, telah menjadikan Indonesia sepenihnya negeri jajahan model baru (bukan kolonialisme klasik). Tapi sebuah negeri dan bangsa yang dijajah  ya tetap saja negeri jajahan, baik model lama maupun baru isinya tetap lama, yaitu kekayaan alamnya menjadi sumber bahan mentah murah bagi produksi kapitalis asing, Rakyat pekerjanya menjadi sumber tenaga murah (bahkan jadi kuli dan budak) bagi produksi kapitalis asing, wilayah masyarakatnya menjadi sumber pasar untuk menjual produksi kapitalis asing dan tentara dari penguasa bonekanya menjadi sumber prajurit (centeng dan penjaga keamanan) bagi produksi dan modal kapitalis asing. Empat sumber tersebut adalah ciri dari negeri jajahan.

Kaum oportunis (kanan dan kiri) yang ikut berkuasa pada lembaga negara (legislatif kek, eksekutif kek atau apapun namanya) secara struktura; adalah antek-antek dari imperialisme, karena setiap kebijakan dan undang-undang yang mereka keluarkan pasti berdampak menindas Rakyat, atau merampas hak-hak kedaulatan Rakyat. Bahwa sesungguhnya mereka bukanlah wakil-wakil yang dapat memperbaiki nasib rakyat, sebaliknya justru akan semakin menyengsarakan Rakyat, karena semua ddkebijakan dan undang-undang yang mereka bikin harus menguntungkan kepentingan imperialis, kapitalis birokrat dan komprador.

Pemilu-pemilu yang mereka adakan setiap 5 tahun sekali hanyalah sandiwara politik dalam pembagian kekuasaan untuk bisa menjadi antek-antek imperialis, sehingga mereka bisa memperkaya diri dari kekuasaan itu. Maka betapa bodohnya Rakyat yang masih saja dapat dibohongi dan ditipu melalui kampanye-kampanye partai-partai politik model orde baru.

Bagi mereka yang merasa dirinya bagian dari yang berpihak kepada Rakyat dan ingin memperbaiki nasib bersama-sama Rakyat, maka akan lebih efektif jika mereka lebih mengutamakan melakukan gerakan membangkitkan kesadaran Rakyat, berhubungan langsung dengan massa Rakyat untuk selanjutnya mengorganisasi dan mendidik Rakyat, sehingga pada saatnya dapat memobiulisasi kekuatan Rakyat untuk melakukan perubahan mendasar, yaitu membebaskanRakyat dan negeri ini dari penjajahan. Tanpa mampu mengorganisasi dan memobilisasi Rakyat, segudang teori yang selalu dikunyah-kunyah itu tidak menjadi tuntunan praktek atau mewujudkan kenyataan.

Salah satu hal yang membuat keadaan ini menjadi berkepanjangan/berlarut-larut adalah karena selain banyaknya para mantan pemimpin yang sudah berbalik atau memang dasarnya mereka adalah kaum borju yang mudah kapitulasi dan menjadi kaum oportunis, atau belum tampilnya pemimpin baru yang mampu mempraktekkan satunya teori dengan praktek, satunya pimpinan dengan massa/bawahan, satunya pandangan (ide) dengan kenyataan (materi). Saya melihatnya para pemimpin yang menguasai teori dan berpengalaman justru berkutat pada perbedaan-perbedaan pendapat/pandangan diantara mereka yang tidak menyangkut kepentingan negeri dan Rakyat Indonesia, atau hal-hal yang bersifat terlampau umum dan abstrak. Apakah perbedaan-perbedaan pikiran dan analisis terhadap sesuatu negeri itu akan dapat menentukan perubahan masyarakat Indonesia sekarang ini?
Mohon maaf jika tulisan ini tak berkenan.
(nurman)

Trans TV Meminta Maaf atas Tayangan ‘Primitive Runaway’

Oleh: Indah Wulandari

Senin,  (27/12), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mengadakan pertemuan di  kantornya untuk memediasi protes Remotivi dan Aliansi Masyarakat Adat  Nusantara (AMAN) terkait tayangan ‘Primitive Runaway’ yang disiarkan Trans TV. Remotivi yang diwakili oleh Jefri Gabriel dan Roy Thaniago menyampaikan keberatannya atas (1) judul ‘primitive’ yang mengarah kepada perlakuan diskriminatif, (2) isi tayangan yang tidak beretika, melecehkan, dan penuh rekayasa, serta (3) menyayangkan sikap KPI yang tidak peka terhadap masalah ini. Roy  juga mengatakan bahwa tayangan ini memiliki pandangan Jakarta-sentris.

“Semua dilihat dari kacamata Jakarta. Masyarakat adat itu dianggap aneh  dan lucu.” Hal  serupa juga disampaikan oleh Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN.  Ia menegaskan bahwa acara Primitive Runaway harus segera dihentikan. Menurutnya, pengemasan acara ini sangat melecehkan masyarakat adat.  “Masyarakat adat dijadikan bahan tertawaan dan olokan. Begitu pula  dengan konsep acara yang seperti sinetron.” Ia  juga menambahkan, melalui riset yang sudah dilakukan AMAN, perlakuan  kasar masyarakat adat yang seringkali ditampilkan dalam Primitive  Runaway tidak pernah ditemukannya. Bahkan  masyarakat adat yang menurutnya tidak pernah menonton televisi ini   kaget ketika diberi tahu bahwa dalam tayangan tersebut mereka terlihat  seperti binatang buas yang hendak memangsa makanannya, berprilaku kasar  baik terhadap artis yang dilibatkan maupun kru televisi. Menanggapi  hal tersebut Trans TV meminta maaf atas kesalahan yang terdapat dalam tayangannya, dan berjanji untuk melakukan evaluasi internal serta  segera memperbaiki acara tersebut. KPI yang saat itu diwakili oleh Ezki Tri Rezekin Widianti, Nina Mutmainnah, dan Yazirwan Uyun berjanji untuk membicarakan hal   ini lebih lanjut dengan Trans TV. Namun, sampai saat ini belum dapat  dipastikan apakah ‘Primitive Runaway’ akan dihentikan atau tidak. Salam hangat,REMOTIVI”Hidupkan Televisimu, Hidupkan Pikiranmu” E

E-mail: remotivi@ymail.comWebsite:http://remotivi.co.ccTwitter: Remotivi
Facebook: Remotivi LiterasiMediaFacebook FanPage: Remotivi

Remotivi adalah lembaga literasi media yang prihatin terhadap mutu tayangan televisi di Indonesia. Remotivi bertujuan untuk  mengembangkan kemampuan masyarakat dalam bidang melek media, khususnya televisi. Remotivi adalah kelanjutan dari Masyarakat Anti Program Televisi Buruk (MAPTB). Roy Thaniagohttp://roythaniago.wordpress.com

DEMOKRASI INDONESIA Adalah DEMOKRASI PANCASILA

IBRAHIM ISA – Berbagi Cerita

Kemis. 30 Desember 2010

——————————————-

DEMOKRASI INDONESIA Adalah DEMOKRASI PANCASILA

<Baca Bonnie Triyana – DEMOKRASI UNTUK JOGYAKARTA?>

Tidak jelas bagaimana solusi terakhir sekitar kasus Daerah Istimewa Jogyakarta. Apakah demokrasi Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia, juga berlaku untuk Daerah Istimewa Jogyakarta? Apakah karena ‘keistimewaanya’, lalu UUD RI tidak berlaku di Jogyakarta? Inikah yang dikatakan ‘megakui fakta sejarah’ sekitar kedudukan dan saling hubungn antara negara RI dengan Daerah Istimewa Jogjakarta?

 

Bicara soal dasar falsafah negara RI, PANCASILA, tidak bisa tidak harus bertolak dari pengalaman sejarah perjuangan rakyat Indonesia itu sendiri. Dari proklamasi kesepakatan Sumpah Pemuda. Suatu Indonesia yang merupakan kesatuan dan bersatu (Pidato Ir Sukarno, Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945). Harus bertolak dari pengorbanan rakyat sejak Pemberontakan 1926, Revolusi Agustus dan perang kemerdekaan membela negara Republik Indonesia. Bicara soal mempertimbangkan pengalaman sejarah, maka pertama-tama bertolak dari kenyataan bahwa ratusan ribu korban yang denga rela memberikan yang paling berharga dari hidup mereka sendiri, demi kemerdekaan bangsa, demi membela kedaulatan Republik Indonesia.

 

Ketika Sukarno – Hatta atas nama ‘bangsa Indonesia’ memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, maka proklamasi itu adalah bagi SELURUH INDONESIA. Dari Sabang sampai Merauké. Tanpa kecuali. Termasuk Jogyakarta dengan sendirinya. Dengan segala keistimewaannya, Jogyakarta adalah bagian tak terpisahkan dari Republik Indonesia dimana berlaku undang-undang dan ketentuan hukum negara Republik Indonesia.

 

* * *

 

Tulisan Bonnie Triyana patut dibaca! Secara singkat padat Bonnie memaparkan pengalaman sejarah RI dan saling hubungannya dengan Daerah Istimewa Jogyakarta yang diciptakan oleh RI.

 

Kesimpulkan akhir tulisan tsb mengemukakan, bahwa:

 

Bilamana melihat semangat Sultan HB IX menggabungkan diri ke dalam Republik yang sedang berevolusi menuju alam yang demokratis maka sebuah tafsir lain bisa muncul: penetapan gubernur hanya berlaku untuk HB IX saja, sebagai penghargaan tertinggi dari pemerintah Republik Indonesia untuk seorang Raja Jawa yang berani mengambil sikap progresif dan melawan arus pada zamannya. Selebihnya, serahkan saja pada mekanisme demokrasi sebagaimana tujuan revolusi Indonesia yang dikobarkan oleh para pendiri republik ini, termasuk oleh Sultan HB IX”.

 

Benar Bonnie, — SELEBIHNYA SERAHKAN SAJA PADA MEKANISME DEMOKRASI.

 

* * *

BONNIE TRIYANA:

Demokrasi untuk Yogyakarta?

Dimuat pertama kali oleh Majalah Historia Online, 30 Desember 2010.

Perang tafsir sejarah sedang terjadi antara Jakarta dengan Yogyakarta.

SECARA metodologis kata “seandainya” tidak bisa digunakan untuk menganalisa peristiwa sejarah. Tapi kalau saja boleh berandai-andai melihat fakta sejarah, maka sebuah pertanyaan dilontarkan dalam kasus kisruh keistimewaan Yogyakarta akhir-akhir ini: bagaimana seandainya Sultan Hamengku Buwono IX (HB IX) tidak memutuskan untuk bergabung dengan Republik Indonesia yang masih jabang bayi itu? Tentu jawabannya bisa bermacam rupa dan semuanya memiliki potensi untuk menjadi benar atau salah. Namun pastinya baik jawaban itu salah atau benar tak satu pun yang menjadi realitas karena hanya berangkat dari kata seandainya.

 

Sejarah perlu ditelaah lebih dari sekadar teks. Ia bisa berhenti sebagai “kisah mati” yang rawan dimistifikasi jika tak meninjau lebih jauh kontekstual peristiwa sejarah yang terjadi pada zamannya. Begitu pula dalam soal melihat silang sengkarut perselisihan paham antara keluarga keraton dan warga Yogyakarta di satu sisi dengan pemerintah di sisi lain dalam menyoal Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta (RUUK).

 

Pada masa kolonial, Yogyakarta dan Surakarta merupakan dua daerah kerajaan (vorstenlanden) yang berada di bawah kekuasaan raja. Sultan HB IX (HB IX) sebagai raja Yogyakarta yang menggantikan takhta ayahnya, HB VIII dengan kesadaran politik dan latar belakang pengetahuannya yang modern memutuskan untuk bergabung dengan Republik Indonesia. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, HB IX mengirimkan kawat ucapan selamat kepada Bung Karno dan Bung Hatta atas berdirinya negara Republik Indonesia.

 

Pada 5 September 1945, Sultan HB IX memaklumkan amanat untuk menggabungkan diri dengan Republik Indonesia. Seperti termuat dalam buku Tahkta Untuk Rakyat, maklumat September itu memuat tiga pokok, yakni, pertama, Ngayogyakarta Hadiningrat berbentuk kerajaan yang merupakan Daerah Istimewa, bagian dari RI. Kedua, segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan Sultan HB IX. Ketiga, hubungan antara Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintah negara Republik Indonesia bersifat langsung dan Sultan HB IX bertanggungjawab langsung kepada Presiden RI.

 

Kenapa Sultan HB IX memilih untuk bergabung dengan Republik dan menolak beragam tawaran Belanda yang menggiurkan?

 

Seperti diakuinya di dalam buku Takhta Untuk Rakyat, HB IX mengatakan hal yang mungkin irasionil namun itu benar terjadi padanya. Telah datang kepadanya sebuah bisikan gaib pada Februari 1940 yang mengabarkan tentang keruntuhan kekuasan Belanda di Indonesia. HB IX pun mengakui kalau dia hidup dalam dua dunia: dunia keraton yang menempatkannya sebagai seorang raja dalam alam feodal dan dunia luar kraton yang penuh dengan tantangan zaman yang mulai berubah ke arah modernitas.

 

Sultan HB IX yang berpendidikan barat dan terbuka terhadap gagasan-gagasan baru yang berkembang di masyarakat. Dia seorang yang rumit: modernis yang berperan sebagai raja Jawa dalam kungkungan alam feodalisme. Oleh sebab itulah Sultan HB IX tahu benar harus berada di mana saat gerakan kemerdekaan yang diusung kelompok nasionalis Indonesia sejak awal abad ke-20 memainkan peranan penting dalam masa peralihan yang penuh gejolak.

 

Ketika kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, Sultan HB IX memilih untuk berada bersama Republik. Proklamasi 17 Agutus 1945 mengubah telah semuanya. Membongkar tatanan yang di masa sebelumnya ajeg dan dianggap normal. Serangkaian kalimat dalam teks proklamasi menimbulkan gelombang besar: “Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

 

Seruan pemindahan kekuasaan itu pun menjalar ke kota-kota dan pedesaan di seluruh penjuru negeri. Pada hari itu ada yang berdiri, ada pula yang runtuh. “Yang ambruk adalah sebuah wacana,” kata Goenawan Mohamad dalam kolomnya di Majalah Tempo, edisi kemerdekaan 2008 lalu. Jepang kalah perang dan Belanda tak lagi berkuasa. Proklamasi kemerdekaan menjadi awal revolusi nasional yang melahirkan identitas sebuah negara yang baru. Revolusi sosial menyusul kemudian.

 

Feodalisme yang tumbuh subur semasa kolonialisme berkuasa menjadi sasaran gerakan revolusi. Kurang dari sepekan, kabar proklamasi kemerdekaan Indonesia telah menyulut gerakan revolusi sosial di Banten. Sejumlah pejabat pribumi yang datang dari kalangan menak (priyai), yang  menjadi sasaran kemarahan. Mereka dianggap sekutu pemerintah kolonial  yang tak senafas dengan tujuan revolusi Indonesia. Jabatan residen dan bupati diisi oleh kaum republikein pendukung revolusi. Haji Achmad Chatib, seorang aktivis politik yang pernah terlibat dalam pemberontakan komunis di Banten 1926 menjabat residen Banten.

 

Bulan Oktober 1945 revolusi sosial pun menjalar hingga ke tiga daerah di wilayah Eks Karesidenan Pekalongan. Anton Lucas Peristiwa Tiga Daerah: Revolusi dalam Revolusi mencatat aksi revolusi sosial bermula ketika lurah desa Cerih, Tegal Selatan diperlakukan hina oleh rakyat dalam sebuah arak-arakan dombreng. Dombreng berasal dari kata “tong” dan “breng” yang mengambarkan pukulan pada kayu atau bunyi kaleng kosong yang dipukul oleh pengaraknya. Arak-arakan yang sebelum era revolusi digunakan untuk mempermalukan maling yang tertangkap basah itu kemudian digunakan untuk menggiring para pamong desa simbol kaum feodal.

 

Revolusi di ketiga daerah itu pun membawa perubahan pada cara berbahasa. Kaum revolusioner setempat yang dipelopori oleh tokoh-tokoh PKI seperti Subandi Widarta selama revolusi sosial berlangsung mendorong rakyat di tiga daerah untuk tidak menggunakan gelar kebangsawanan. Residen Sarjio yang hanya duduk sebagai residen dalam empat hari saja di bulan Desember mengumumkan agar penggunaan panggilan “ndoro”, “paduka” dan “abdi” diganti dengan “bung” atau “saudara”.

 

Revolusi sosial pun berkobar di Aceh, di mana terjadi pembunuhan terhadap kalangan  uleebalang yang selama pemerintahan kolonial menjadi pegawai Belanda. Begitu pun di Sumatera Timur, revolusi digerakkan oleh organisasi kepemudaan seperti Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Nasionalis Pemuda Indonesia (Napindo), Barisan Harimau Liar dan Hizbullah menahan para pejabat, bangsawan semua simbol-simbol feodalisme. Keluarga Kesultanan Deli pun tak luput dari sasaran kaum revolusioner yang mengamuk. Salah satu korbannya adalah Amir Hamzah, penyair angkatan Pujangga Baru, yang tewas dalam peristiwa tersebut.

 

Tapi revolusi sosial menemui situasi yang anti-klimaks, di mana para kaum revolusioner harus menyingkir dari panggung politik revolusi bahkan ditangkap atas alasan mengacau keadaan. Namun demikian revolusi sosial, kendati tidak merata, telah meneguhkan cita-cita kemerdekaan itu sendiri: bahwa kehidupan masyarakat di alam kemerdekaan haruslah dibangun di atas pondasi demokratis, egaliter, dan tak bersumber pada struktur sosial yang hirarkis berdasarkan nilai-nilai feodalisme.

 

Sutan Sjahrir sebagai salah seorang penganjur demokrasi menunjukkan kecemasannya apabila revolusi, yang menghendaki perubahan mentalitas bangsa Indonesia dari mentalitas jajahan ke jiwa-jiwa yang merdeka, tidak berjalan sempurna. Dia khawatir akan “warisan feodal masih sangat kuat terasa di kalangan orang Indonesia. Artinya, mereka telah terbiasa menerima patokan-patokan politik dari atas, sehingga mereka selalu menunggu perintah pemimpin tanpa sedikit pun berani mengambil prakarsa, ” kata Sjahrir seperti dikutip oleh Indonesianis George McTurnan Kahin dalam buku Mengenang Sjahrir.

 

Revolusi sosial tak sempat terjadi di Yogyakarta. Sultan HB IX kendati seorang raja yang berkuasa atas daerahnya tak hendak berjumawa dengan berdiri berseberangan dengan pihak republik. “…Proklamasi kemerdekaan segera diikuti oleh arus revolusi. Semua swapraja tergilas oleh roda revolusi, kecuali swapraja Kesultanan dan Pakualaman yang segera setelah proklamasi bersatu menyambut dan menyatakan diri sebagai bagian dari Republik Indonesia,” tulis Mr. Sudarisman Purwokusumo yang dikutip Kustiniyati Mochtar dalam buku Takhta Untuk Rakyat.

 

Kini kontinuitas historis sedang diperdebatkan. Keistimewaan Kesultanan Yogyakarta yang diberikan oleh pemerintah Republik Indonesia pada masa revolusi menimbulkan multitafsir, terutama pada satu poin dalam RUUK yang menghendaki gubernur Yogyakarta dipilih secara demokratis, bukan ditetapkan sebagaimana yang pernah diberlakukan terhadap Sultan HB IX dan Sultan HB X sebagai penerus HB IX.

 

Maklumat Sultan HB IX 5 September 1945 kendati secara jelas menyebutkan bahwa segala kekuasaan dalam negeri dan urusan pemerintahan berada di tangan HB IX, tetap menimbulkan pengertian yang mendua: apakah penetapan gubernur hanya berlaku buat HB IX saja ataukah berlaku sepanjang masa untuk anak-keturunan sultan Yogyakarta? Bilamana melihat semangat Sultan HB IX menggabungkan diri ke dalam Republik yang sedang berevolusi menuju alam yang demokratis maka sebuah tafsir lain bisa muncul: penetapan gubernur hanya berlaku untuk HB IX saja, sebagai penghargaan tertinggi dari pemerintah Republik Indonesia untuk seorang Raja Jawa yang berani mengambil sikap progresif dan melawan arus pada zamannya. Selebihnya, serahkan saja pada mekanisme demokrasi sebagaimana tujuan revolusi Indonesia yang dikobarkan oleh para pendiri republik ini, termasuk oleh Sultan HB IX (BONNIE TRIYANA)

 

JALAN BUNTU REZIM SBY (4-5)


Pembangunan Rezim SBY Bukan untuk Rakyat
Jum’at, 31 Desember 2010 , 10:11:00 WIB

Laporan: Yayan Sopyani Al Hadi

RMOL. Dalam banyak kesempatan berpidato, SBY selalu menekankan bahwa pembangunan yang diketengahkannya menganut strategi  pertumbuhan dan sekaligus pemerataan; membangun dengan dimensi kewilayahan, membangun integrasi ekonomi nasional, membangun ekonomi lokal dan membangun sumberdaya manusia.

Selain itu, SBY juga mengetengahkan Pro Growth, Pro Job dan Pro Poor, serta ditambahkan Pro Environment.

“Semakin banyaknya pidato SBY yang menyejukkan, semakin bertolak belakang realitas yang terjadi di masyarakat. Klaim keberhasilan sektor pangan hancur dengan impor beras yang sudah dilakukan beberapa bulan lalu. Sementara tingkat kesejahteraan petani tidak membaik. Pemilikan lahan petani semakin buruk,” kata Ketua Dewan Direktur Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, dalam evaluasi akhir tahun 2010, yang disampaikan kepada Rakyat Merdeka Online (Jumat, 31/12).

Di sektor perburuhan, kata Syahganda, nasib buruh semakin mengenaskan. Membanjirnya produk-produk Cina dengan harga yang sangat murah menghancurkan industri manufaktur Indonesia. Menteri Perdagangan juga gagal menunda berlakunya 228 pos tarif.

Rezim SBY sendiri, lanjut Syahganda, mengklaim bahwa terjadi penurunan kemiskinan dari 14,1 persen (2009) menjadi 13,3 persen (2010) serta meningkatnya pendapatan perkapita mencapai 3.000 dolar AS.

“Fenomena ini tentu dapat kita pahami sebagai berikut. Pertama, garis kemiskinan kita di ukur dalam satuan yang terlalu kecil, misalnya di Jakarta Rp. 331.169 perbulan perorang (36, 80 dolar AS dengan kurs dollar Rp. 9.000) tahun 2010 (naik Rp 14.233 atau 4,49 persen dari tahun lalu). Artinya penduduk Jakarta yang berpenghasilan Rp 1 (satu rupiah) di atas garis itu sudah dianggap tidak miskin. Dalam satu tahun garis kemiskinan di Jakarta adalah (441.55 dolar AS). Bandingkan pula dengan Jawa Tengah yang garis kemiskinannya Rp 192.435 perkapita perbulan (21,38 dolar AS) atau 256.58 dolar AS per tahun,” jelas Syahganda.

Kedua, lanjut Syahganda, klaim pendapatan perkapita nasional sebesar 3.000 dolar AS perkapita telah tercapai. Hal ini tentu menjelaskan bahwa kesenjangan pendapatan antara lapisan masyarakat terjadi semakin menganga. Artinya kontrol kemakmuran atas udara, tanah, air dan segala isinya tidak berpihak pada kaum miskin negeri ini.

Sebagai catatan lainnya, sambung Syahganda, kesenjangan tingkat kemiskinan antar provinsi di Indonesia masih besar. Dari 33 provinsi, 17 provinsi memiliki tingkat kemiskinan di bawah rata-rata nasional. Provinsi yang masih memiliki tingkat kemiskinan dua kali lipat lebih dari rata-rata nasional (13,33 persen), adalah Papua (36,80 persen), Papua Barat (34,88 persen) dan Maluku (27,74 persen).

“Untuk Pulau Sumatera, provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional adalah Provinsi Aceh, Sumatera Selatan, Bengkulu dan Lampung. Di Pulau Jawa dan Bali, Provinsi Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur juga memiliki tingkat kemiskinan di atas rata-rata nasional. Di Pulau Sulawesi, provinsi Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara dan Gorontalo juga tercatat memiliki tingkat kemiskinan lebih tinggi dari tingkat nasional, begitu pula yang berlaku untuk provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Tiga provinsi dengan tingkat kemiskinan terendah pada tahun 2010 hanya Jakarta (3,48 persen), Kalimantan Selatan (5,21 persen) dan Bali (4,88 persen).  Kesenjangan antar wilayah ini juga menguatkan arah pembangunan rezim SBY melupakan wawasan keindonesiaan,” papar Syahganda.

Menurut catatan lembaga negara LIPI yang dilansir penelitinya Latief, masih kata Syahganda, rezim sebelum SBY lebih baik dalam pengentasan kemiskinan. Pada periode 2000-2005 setiap kenaikan anggaran kemiskinan sebesar 1 persen berpotensi menurunkan angka kemiskinan 0,4 persen. Tetapi, dalam periode 2005-2009, didapatkan setiap kenaikan anggaran kemiskinan 1 persen, hanya menekan angka kemiskinan 0,06 persen.

“Artinya pengentasan kemiskinan semakin tidak efektif. LIPI memperkirakan angka kemiskinan tahun 2014 berada pada kisaran 11,6 persen, jauh di atas target rezim SBY yakni 8-10 persen,” demikian Syahganda.[yan]

JALAN BUNTU REZIM SBY (5)
Akhirnya, SBY Harus Jujur dan Insaf
Jum’at, 31 Desember 2010 , 10:31:00 WIB

Laporan: Yayan Sopyani Al Hadi

RMOL. Penyelesaian masalah bangsa harus dilakukan dengan nasionalisme yang tinggi.

“SBY harus jujur dan insaf dalam membangun koalisi, sehingga kenegarawan dari berbagai pihak bisa keluar melebihi nafsu politik mereka. Kesadaran ini akan terjadi jika pemahaman kita untuk membangun bangsa sangat terbatas waktunya, yakni sampai di masa konsolidasi rezim kapitalisme Amerika dan Barat keluar dari krisis,” kata Ketua Dewan Direktur Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, dalam evaluasi akhir tahun 2010, yang disampaikan kepada Rakyat Merdeka Online (Jumat, 31/12).

Menurut Syahganda, saat ini Indonesia mempunyai peluang emas untuk membangun dengan bargain yang lebih baik terhadap Barat. Apalagi geopolik dunia menunjukkan adanya kebangkitan ekonomi Asia, adanya polarisasi politik dunia dengan munculnya kekuatan ketiga BRIC: Brazil, Rusia, India, China. Indonesia juga bisa melakukan negosiasi dagang dengan Korea Selatan, China dan Jepang.

“Dalam jangka pendek SBY harus memformat koalisinya secara benar. Aturan-aturan koalisi harus menjelaskan adanya orientasi pada perjuangan nasib rakyat sebagai misi utama dan kemudian pemberian sharing kekuasaan secara tepat merujuk pada pemenangan SBY sebagai Presiden tahap kedua,” kata Syahganda.

Selain itu, lanjut Syahganda, SBY juga harus mengurangi atau meredam ide-ide Capres 2014 buat istrinya maupun keluarganya. Karena hal itu terasa terlalu cepat untuk partai yang sedang berkuasa, yang masih harus bergulat pada persoalan-persoalan riil membangun demokrasi dan kesejahteraan rakyat. [yan]

JALAN BUNTU REZIM SBY [2-3]

Koalisi Setengah Hati: Kekuasaan Ubber Alles
Jum’at, 31 Desember 2010 , 09:01:00 WIB

Laporan: Yayan Sopyani Al Hadi

RMOL. Skandal Century tentu sebagai titik kritis bagi sebuah arti koalisi bagi rezim SBY.

Ancaman SBY mengenai masalah pajak Group Bakrie, untuk meredam gerakan Century, ternyata semakin memperuncing suasana. Akhirnya Pansus Century yang memutuskan opsi C, yakni intinya menyatakan bahwa terjadi kejahatan (kriminal) yang dilakukan Budiono dan Sri Mulyani serta pejabat lainnya dalam kasus ini serta dana FPJP dan PMS yang dikucurkan ke Bank Century adalah keuangan negara.

Kasus ini menunjukkan perlawanan terbuka dari Golkar, PPP dan PKS terhadap SBY, yang mana dia didukung oleh PAN dan PKB.

“Sayangnya, respons SBY atas hal ini adalah membentuk Satgab. Satgab ini tentu saja mempunyai  maksud yang diragukan, baik dari kelompok koalisi yang melawan SBY (kelompok kritis) dalam kasus Century, maupun dari kelompok pendukung SBY (kelompok loyalis). Dari sisi pendukung loyalis SBY, seperti PAN dan PKB, pemberian jabatan ketua harian Satgab kepada Aburizal, secara simbolik menghina adanya koalisi pemenangan Pemilu, yang dipimpin oleh Hatta Rajasa. Kelompok ini tentu kecewa, karena SBY tidak menghormati apa yang sudah dikorbankan mereka dalam mengantarkan SBY sebagai Presiden,” kata Ketua Dewan Direktur Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, dalam evaluasi akhir tahun 2010, yang disampaikan kepada Rakyat Merdeka Online (Jumat, 31/12).

Di sisi lain, menurut Syahganda, kelompok pendukung kritis menganggap ini bisa jadi sebuah jebakan untuk membungkam kelanjutan kasus Century, dengan transaksi politik yang tidak jelas. Hal ini terkait pula dengan penangkapan tokoh-tokoh seperti  Bachtiar Chamzah, Endin Sofihara dari PPP dan di-tersangka-kannya anggota DPR PKS, Misbakhun.

Kata Syahganda, keinginan SBY untuk mereformat koalisi pemerintahan terjebak dengan permusuhannya dengan Megawati, sebuah partai besar di luar pemerintahan. SBY sejak awal tidak menginginkan adanya oposisi. Hal ini tercermin dalam bukunya “Civil Soceity” (2004), yang menjelaskan, bahwa oposisi sebaiknya muncul dari elemen masyarakat, bukan partai.

Namun, masih kata Syahganda, ketika SBY berusaha menawarkan beberapa menteri kepada petinggi PDIP dalam pembentukan kabinetnya, Megawati malah merespons dengan menggeser  kelompok pragmatis dalam tubuh partainya, meskipun Taufik Kiemas mendapat keuntungan menjadi Ketua MPR,  atas manuver di seputar ini.

“Bahkan dalam kasus Century, SBY merasakan hantaman politik yang sangat keras dari partai PDIP. SBY tentu tidak yakin juga bisa seperti gaya Soekarno yang mampu memindah-mindahkan basis dukungan dari Masyumi/PSI ke NU/PKI  di masa lalu. SBY tidak yakin dapat membujuk Megawati untuk mendukungnya lagi, meskipun jika dia kembali menawarkan jabatan beberapa menteri untuk PDIP, termasuk misalnya untuk Puan Maharani.  Atau bahkan menduetkan Ani Yudhoyono dengan Puan Maharani pada Capres 2014, sebagai ikatan kekuasaan. Rencana ini  merupakan fantasi belaka. Tanpa format baru, pada akhirnya SBY menjalani suatu kondisi pemerintahan yang tidak solid sepanjang tahun 2010,” tambah Syahganda.

Selain itu, lanjut Syahganda, terlalu seringnya kelompok SBY melemparkan ancaman reshuffle kabinet, membuat kejengkelan bertambah, baik dari kelompok pendukung kritis, maupun loyalis. Ditambah pula, pendukung seperti  PAN, yang memiliki menteri di bidang hukum, merasa tertandingi, ditelanjangi dan diteror dengan munculnya Satgas Anti Mafia yang merepresentasikan diri seolah-olah lebih berkuasa dibandingkan level menteri (seperti Opsus di masa Soeharto). Begitu pula para staf khusus yang melebihi menteri-menteri lainnya dari elemen koalisi.

Kata Syahganda, keributan dalam koalisi juga semakin parah dengan maraknya pembicaraan Capres 2014 untuk Indonesia, yang mempunyai masa kepresidenan lima tahun. Sebelumnya, isu ini dirasakan terlalu cepat. Isu Ani Yudhoyono yang akan menggantikan  SBY pada periode mendatang, isu yang sama untuk Hatta Rajasa yang dilansir Amin Rais serta juga untuk Aburizal Bakri oleh Golkar membuat permainan kekuasaan dalam rezim SBY semakin dominan. Hal ini terlihat dari sistem bargaining peserta koalisi atas portofolio kementerian yang mereka kuasai.

PKS juga “memaksa” SBY tetap memberikan kekuasaan penuh pada Kementerian Pertanian. Hal ini sebagai instrumen penguasaan massa tani dan pedesaan bagi kepentingan PKS ke depan. Begitu juga PKB yang menuntut totalitas atas kekuasaan di bidang buruh dan TKI. Demikian pula Golkar dan PAN. Golkar dalam suatu kesempatan rapat pimpinannya meminta menteri-menterinya berpikir untuk memajukan partainya.

“Alhasil rezim SBY saat ini kehilangan fokus dalam mengurusi rakyatnya. Kekuasaan ubber alles,” demikian Syahganda.[yan]

 

JALAN BUNTU REZIM SBY (3)
Kemampuan Leadership SBY Menurun Tajam
Jum’at, 31 Desember 2010 , 09:31:00 WIB

Laporan: Yayan Sopyani Al Hadi

RMOL. Memudarnya citra SBY sebagai tokoh anti korupsi telah melemahkan leadership SBY dalam mengontrol koalisi. Sepanjang tahun 2010, berbagai isu-isu kritis dan sangat penting direspons dengan cepat, gagal dilakukan SBY.

“Pertama, SBY tidak mempunyai sikap yang pasti dalam merespons adanya penolakan rakyat dan pengusaha kita dalam ACFTA (Asean China Free Trade Area). Suatu ketika SBY mendukung kelompok menteri yang meminta Mendag Mari Pangestu menunda realisasi ACFTA sampai negosiasi 228 pos tarif selesai. Di waktu lainnya SBY mendukung Mari Pangestu untuk menjalankan ACFTA,” kata Ketua Dewan Direktur Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, dalam evaluasi akhir tahun 2010, yang disampaikan kepada Rakyat Merdeka Online (Jumat, 31/12).

Kedua, lanjut Syahganda, SBY mengalami keragu-raguan dalam menyingkirkan Sri Mulyani dari kabinetnya. Suatu waktu, SBY memuji-muji Sri Mulyani yang dianggap mengambil kebijakan yang tepat dalam kasus Century, namun, pada kesempatan lain, SBY menyatakan rela dan mendukung Sri Mulayni berkarir di World Bank.

“Ketiga, SBY mengalami keraguan-raguan dalam kasus merebaknya ledakan tabung gas 3 kg. SBY membiarkan tidak satupun menterinya menyatakan bertanggung jawab atas masalah ini, bahkan ketika korban tewas sudah mencapai ratusan orang. SBY akhirnya mamanggil Jusuf Kalla ke Istana untuk hal ini. Jusuf Kalla yang mengaku diminta SBY menegur menteri-menterinya bahkan bingung, karena dia sudah tidak Wapres lagi,” tambah Syahganda.

Keempat, masih kata Syahganda, SBY mengalami keragu-raguan dalam kasus konflik Indonesia melawan Malaysia, terkait penahanan petugas Kementerian Kelautan. Ketika rakyat mengharapkan SBY tampil lantang mengecam Malaysia, SBY  yang berpidato di  Markas TNI, malah mengapresiasi  hubungan persahabatan dan dagang yang sudah baik dengan negeri jiran tersebut.

Kelima, lanjut Syahganda, SBY mengalami keragu-raguan dalam memutuskan pemberhentian Jaksa Agung Hendarman Supandji terkait status hukumnya yang meragukan. Bahkan, setelah MK memutuskan bahwa status Jaksa Agung cacat hukum, SBY masih tampak ragu mengambil tindakan.

“Berbeda pada masa lima tahun sebelumnya, SBY mempunyai pendamping Wapres Jusuf Kalla, yang mampu mengimbangi dan bersinergi dalam mengendalikan pemerintahan. Dalam setahun pertama pemerintahannya, SBY praktis tidak terbantu oleh kehadiran Wapresnya, atau malah menjadi lebih buruk, karena citra Wapresnya yang dianggap bersalah oleh DPR,” demikian Syahganda.[yan]

JALAN BUNTU REZIM SBY (1)

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news.php?id=13559

JALAN BUNTU REZIM SBY (1)
Pudarnya Citra di Tahap Awal
Jum’at, 31 Desember 2010 , 08:31:00 WIB

Laporan: Yayan Sopyani Al Hadi

RMOL. Memasuki tahun 2010, pemerintahan SBY  menghadapi isu 100 hari yang dianggap gagal dalam semua bidang. Masyarakat resah dan melakukan gerakan merespons  berbagai kasus di akhir tahun 2009, yakni kriminalisasi pimpinan KPK, kasus bailout Century, kasus Gayus, dan sebagainya.

“Namun, yang terpenting adalah munculnya kecurigaan publik dan juga diantara koalisi partai pemerintah, bahwa SBY tidak jujur dalam kasus-kasus besar yang muncul di penghujung tahun 2009 tersebut. Kasus-kasus tersebut, khususnya Century dan kriminalisasi KPK, yang menunjukkan bahwa SBY berbeda dari masa kepemimpinan 5 tahun pertama, yakni pemimpin dalam menciptakan Indonesia bersih. SBY selama ini ditengarai bermain peran yang cukup lihai, sehingga mampu membungkus kepemimpinannya seolah-olah ia pemimpin yang bersih, jujur dan demokratis,” kata Ketua Dewan Direktur Sabang Merauke Circle (SMC), Syahganda Nainggolan, dalam evaluasi akhir tahun 2010, yang disampaikan kepada Rakyat Merdeka Online (Jumat, 31/12).

Menurut Syahganda, perasaan terluka dari rakyat yang menghendaki SBY muncul sebagai pemimpin sejati, semakin membara ketika informasi keterlibatan Budiono dan Sri Mulyani dalam Centurygate tidak dijawab dengan rasa malu dari kedua mereka ini. Mereka berdua diketahui sebagai orang kepercayaannya. Bahkan Presiden SBY  sendiri membela kedua orang tersebut secara terbuka.

Alhasil, lanjut Syahganda, berbagai gerakan radikal menjalar di semua kota-kota besar di Indonesia, yang mengusung simbol rezim SBY adalah rezim neoliberal.  Klaim kemenangan SBY dalam pemilu sebesar 60 persen dalam satu kali putaran yang selalu didengungkan seketika sirna. Rakyat memperlihatkan kebencian, baik di dunia nyata, maupun di dunia maya.[yan]

MEMBAWA KALTENG KELUAR DARI KELAPUKAN

Jurnal Toddoppuli

Cerita Buat Andriani S. Kusni & Anak-Anakku

Untuk mulai masuk Tahun Baru 2011, boleh jadi ada dua pertanyaan kunci yang baik dijawab. Dua pertanyaan itu adalah: Pertama, bagaimana kegiatan dan kehidupan di Kalteng pada tahun 2010?. Kedua, atas dasar pertanyaan pertama, pertanyaan keduapun muncul: Bagaimana kita mengisi Tahun 2011 di bidang kebudayaan? Tentu saja dua pertanyaan ini, saling berkaitan satu dengan yang lain. Dan dua pertanyaan tersebut, pada tempatnya diajukan jika dalam bidang kebudayaan Uluh Kalteng tidak ingin dari tahun ke tahun berada di tempat tetapi berusaha untuk terus-menerus maju. Di lihat dari segi hukum gerak, boleh jadi berada di tempat saja sudah bisa dikatakan tidak ada kemajuan. Dan justru berada di tempat, bahkan mundur dari tempat semula, sering menimpa Kalteng, terutama di bidang kebudayaan. Dua pertanyan di atas bermaksud melihat di mana sekarang Kalteng berada, bagaimana keadaannya di tempat ia berada sekarang, lalu berdasarkan peta keadaan demikian, menetapkan mau ke mana serta bagaimana ameunju ke mana itu.

Sebelum mencoba menjawab kedua pertanyaan kunci di atas, boleh jadi ada gunanya secara singkat menyinggung masalah untuk apa berbicara kebudayaan. Mengapa masalah kebudayaan perlu ditangani secara sungguh-sungguh dan tidak sambil lalu. Untuk menjelaskan hal ini, saya menggunakan pengalaman seorang pengarang terkemuka Tiongkok pada tahun 1930an, Lu Sin, sekarang dipandang sebagai ‘’panglima utama kebudayaan rakyat Tiongkok’’. Dengan maksud mengabdi pada rakyatnya, Lu Sin berangkat ke Jepang, untuk belajar menjadi dokter, karena ia melihat rakyat Tiongkok banyak yang tidak sehat. Dengan menjadi dokter, Lu Sin berpikir, ia akan bergun dalam membangun bangsanya. Suatu malam, Lu Sin menonton filem tentang Tiongkok yang memperlihatkan seorang Tionghoa diikat di tiang, disiksa sampai mati oleh tuan tanah. Orang Tionghoa lainnya menonton kejadian tersebut dengan tenang, tidak memberikan reaksi apapun. Adegan filem tersebut membawa Lu Sin akan rentetan kejadin tak terbilang yang ia saksikan di kampung halamannya, Tiongkok. Filem tersebut menyadarkan Lu Sin bahwa penyakit rakyat Tiongkok yng paling gawat bukanlah penyakit fisik, tetapi penyakit kejiwaan, penyakit pola pikir dan mentalitas. Rakyat Tiongkok di mata Lu Sin sedang menderita sakit kejiawaan, sakit pola pikir dan mentalitas. Sejak itu, Lu Sin membatalkan niatnya menjadi dokter (medikal) tapi menjadi penulis. Lu Sin berpendapat melalui tulisan, ia bisa turut megobati penyakit kejiwaan bangsanya. Sejak itu pula, Lu Sin menulis dan menulis hingga hembusan nafas terakhir. Penyakit kejiwaan, masalah pola pikir dan metalitas inilah sari kebudayaan yang ia geluti tanpa menghiraukan segala macam teror,tekanan dan rupa-rupa ancaman. Melalui tulisan-tulisannya, Lu Sin menginginkan bangsa Tionghoa mempunyai budaya manusiawi kritis, bukan manusia-manusia budak berbudaya budak. Bukan manusia apatis yang egoistik tanpa solidaritas kemanusiaaan yang snggup menggadaikan  harga diri dan martabat untuk tujuan-tujuan hedonistik.

Dari kesimpulan Lu Sin di atas, kesimpulan yang mengobah jalan hidupnya, nampak bahwa sari masalah kebudayaan bukanlah pada bentuk seperti pakaian adat, sekian banyak pementasan, besar-kecil pertunjukan atau pameran, dan lain-lain yang kasat mata, tetapi lebih terletak pada roh, hambaruan, jiwa yang terdapat di balik bentuk-bentuk kebudayaan itu. Karena masyarakat terdiri dari berbagai kepentingan maka bidang kebudayaan pun merupakan pergulatan berbagai kepentingan-kepentingan sekaligus. Tidak semua kepentingan itu manusiawi dan merakyat. Pemenangan budaya merakyat dan manusiawi adalah jalan budaya menuju pemanusiawian diri sendiri, masyarakat dan kehidupan.

Jika demikian, agaknya, apabila menyepelekan masalah kebudayaan akan membawa masyarakat ke jurusan masyarakat tanpa budaya. Masyarakat yang kuranglebih menerapkan hukum rimba dengan prinsip survival of the fittest (hanya yang kuat.yang hidup). Masyarakat begini menjadi lahan subur bagi KKN, penyalahgunaan kekusaaan, kekerasan, vandalisme, holiganisme (baik di tingkat atas atau pun di lapisan bawah. Holiganisme di tingkat elite memarakkan holiganisme di tingkat bawah). Persoalan kebudayaan, menyangkut masalah tipe manusia yang diinginkan, bentuk dan wajah masyarakat yang didambakan. Pergulatan kebudayaan jadinya merupakan  pertarungan membangun masyarakat manusiawi dengan kadar yang dinamik. Artinya, kebudayaan berbicara tentang masalah orientasi bermasyarakat dan manusia yang menjadi anggota masyarakat itu.

Bagaimana kita di Kalteng memandang masalah kebudayaan pada periode 2009-2010?

Di dalam tulisan pendek ini, tentu saja saya tidak bisa membuat daftar rinci apa yang saya saksikan sejak tahun 1998. Yang bisa saya lakukan adalah mengetengahkan beberapa tipikalitas. Tipikalitas itu kemudian mengungkapkan diri dalam kenyataan. Apa saja tipikalitas itu? Ia berupa pernyataan-pernyataan: “Kebudayaan hanya membuang-buang dana”, “Sastra itu tidak menarik”, “Di Kalteng tidak ada seniman-budayawan”, “Kebudayaan itu sudah terwujud dalam pengenaan pakaian daerah di hari-hari tertentu”, “Penggunaan bahasa Dayak Ngaju di hari-hari tertentu itu baik secara ide tapi tidak praktis’’, “Pengembangan kebudayaan akan mengembangkan pariwisata’’, “Penggunaan gedung-gedung pertunjukan olehg para seniman pun harus dikenakan pungutan biaya’’, pelajaran muatan lokal (mulok) di isi dengan hal-hal yang tidak ada kaitannya dengan mulok, penghapusan bahasa dan sastra daerah dari Universitas Palangka Raya (Unpar), absennya masalah hukum adat dari kajan Fakultas Hukum Unpar, tidk berkembangnya Museum Balanga (apalagi jika dibandingkan dengan Museum Dayak di Kuching, Sarawak), dan lain-lain…

Apa yang terdapat dari pernyataan-pernyataan dan keadaan di atas?

Pernyataan-pernyataan dan kenyataan-kenyataan di atas memperlihatkan bahwa:

(1). Yang menjadi orientasi dalam melakukan kegiatan kebudayaan adalah absennya orientasi pengembangan kebudayaan di daerah ini. Kalaupun orientasi itu ada maka ia tidak lain dari orientasi uang. Bagaimana kegiatan kebudayaan itu bisa menghasilkan uang. Dari orientasi ini lahirlah bagi hasil, praktek kwitansi kosong, pemalsuan proposal, penyunatan honorarium seniman (terutama penari), gengisme dalam memproyekkan kegiatan. Yang paling konyol adalah tindakan mematikan Taman Budaya, membengkalaikan pembangunan gedung teater tertutup hingga apa yng sudah dimulai menjadi rusak kembali, dana APBN yang disediakan untuk pembangunan gedung serta peralatan yang sudah ada entah lari ke mana. Ketika gedung teater tertutup yang lebih mendesak keperluannya dibelengkalaikan, malah dibangun sarana panjat dinding di kawasan Taman Budaya. Saya menduga dibangunannya sarana panjat dinding di Taman Budaya ini selain wujud absennya orientasi budaya, juga tidak lepas dari bentuk dari pembagian proyek dan memproyekkan kegiatan kebudayaan.

Oleh absennya orientasi budaya ini maka di Kalteng, seperti diperlihatkan pada Pemilu Kada yang lalu, suburnya budaya ghetto yang berkembang menjadi budaya politik dan  menjadi kendaraaan budaya bagi kolonialisme internal dengan sasaran Kalteng menjdi daerah koloni. Sedangkan budaya betang disempitkan menjadi kerukunan dalam perbedaaan sehingga jika tidak awas yang disebut budaya betang, bisa menjadi kendaraan kolonialisme internal juga. Secara konsepsional, yang disebut budaya betang masih patut didiskusikan lebih jauh sebab yang terkandung dalam Perda No.16/2008 bukanlah suatu konsep yang jadi, tapi dijadikan, dan punya lobang-lobang bagi masuknya petaka. Niscayanya, Dinas Kebudayaan atau Pendidikan menyelenggarakan suatu diskusi fokus tentang yang disebut budaya betang ini. Pentingnya masalah kebudayaan dan orientasi kebudayaan, telah diperlihatkan oleh Kongres Pemuda dengan Sumpah Pemuda tahun 1928 dan Polemik Kebudayaan pada tahun 1930.  Apabila sekarang kita menggunakan budaya ghetto sebagai dasar membangun Kalteng maka artinya kita mundur jauh di belakang tahun 1928. Tapi kemunduran dan kekosongan konsepsional inilah yang sering menandai negeri ini. Termasuk Kalteng. Mabuknya anak-anak kita dengan akan musik rok,musik pop, dangdut yang sering didengarnya dari radio, televisi, kaset, dan lain-lain serta kurang mengapresiasi kesenian daerahnya sendiri, tentu tidak lepas dari ketiadaan orientasi budaya ini, terutama dari kalangan birokrat kebudayaan. Sehingga terjadi keterputusan masyarakat pemilik kesenian daerah itu dengan kesenian daerahnya sementara pihak mancanegara giat mempelajarinya. Bukan tidak mungkin jika kelak kemudian untuk mempelajari kesenian daerah Dayak, orang Dayak pun harus ke mancanegara untuk mempelajarinya. Siapakah penanggungjawab keadaan begini jika benar-benar terjadi?

Abesennya orientasi, atau kalaupun orientasi itu ada, maka ia adalah orientasi uang pernah diungkapkan juga antara lain oleh sastrawan Ajip Rosidi :”Karena pemerintah sekarang juga menganggap kebudayaan penting, hanya dalam hubungannya denga pariwisata yang ujung-ujungnya merupakan usaha mengait dollar, maka sedikit hrapn aka adanya usaha pengembangan kebudayaan da kesenaan utuk kepentingan mempertinggi derajat bangsa Indonesia seperti yang ditandaskan dalam Penjelasan Pasal 32 UUD 1945 yang berbunyi: “Usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan….serta mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia”. Pemerintah seakan menganggap lebih penting “menjual kesenian”  kepada kaum wisatawan daripada menggalang kehidupan kesenian di kalangan bangsa juta sendiri. Padahal hanya dengan menumbuhkan kehidupan kesenian yang sehat dalam masyarakat kita sendiri , kita dapat memberi suplai yang cukup dan terus-menerus kepada industri pariwisata. Seharusnya yang diutamakan ialah pembinaan kehidupan kesenian yang sehat dalam masyarakat kita sendiri sedang minat wisatawan hanyalah sampingan belaka, bukan tujuan utama. Kalau kehidupan kesenian kita berkembang,  minat para wisatawan dengan sendirinya akan tumbuh. Karena itu jangan terbalik dengan mendahulukan dan mengutamakan kesenian untuk dijual kepada wisatawan. Sikap demikian bertolak-belakang dengan prinsip manusia merdeka karena hakekat kemerdekaan sebenarnya ialah mengubah status  obyek menjadi subyek. Dengan mendahulukan dan mengutamakan pengembangan kesenian untuk dijual kepada wistawan, kita tetap menempatkan diri hanya sebagai obyek  belaka. Kita senang ditonton orang, dipuji orang, sehingga hidup kita ditentukan oleh apa kata orang” (Ajip Rosidi, 2004: 13-14). Jika mau jujur melihat diri sendiri dengan menggunakan kata-kata Ajip tersebut sebagai kaca, maka barangkali kita di Kalteng, secara kebudayaan, masih belum menjadi manusia merdeka, tetap obyek yang hidupnya ditentukan oleh apa kata orang. Barangkali status obyek ini bukan hanya berlangsung di kalangan elite, birokrat kebudayaan, tetapi juga mendera sebagian besar pekerja kebudayaan yang merasa tidak bisa berbuat apa-apa tanpa dana. Pandangan beginilah, dismping pengendalian oleh birokrat, yang menyebabkan Dewan Kesenian Daerah Kalteng mati suri. Pandangan inilah justru yang dibantah oleh Komunitas Seniman-Budayawan Palangka raya (KSB-PR) sejak lahirnya pada akhir November 2009. Artinya, untuk mengembangkan kebudayaan Kalteng, diperlukan pola pikir dan mentalitas baru. Atau dalam kata-kata Fr. Sani Lake, SVD, Ketua Komisi Keadilan, Perdamaian dan Pastoral Migran Perantau, Keuskupan Palangka Raya, dalam artikelnya “Memaknai Pergeseran Paradigma Kebudayaan”: “Barangkali perlu lagi sebuah revolusi kesadaran baru, perlu sebuah pencerahan yang berani, enlightment dari bawah” (Kalteng Pos,  11 Desember 2010). Perlu “revolusi kesadaran baru” baik di tingkat atas maupun di tingkat bawah karena tetap berada dengan kesadaran seperti sekarang, Kalteng akan bergeming. Tetap di tempat yang sma dengan mundur. Karena masyarakat Kalteng masih bersifat paternalistik, berada dalam ghetto-ghetto budaya yang bersifat patron-client maka ‘’revolusi kesadaran baru” itu terutama banyak dituntut pada kalangan elit (patron).

Ketiadaan orientasi mausiawi dan merakyat, absennya keinginan menjadi subyek, menciptakan keadaan “melakukan sesuatu tapi tidak untuk sesuatu apa pun” (do many things, but for nothing).

(2). Ketidak jelasan tentang apa yang disebut kebudayaan dan yang menjadi masalah-masalah kebudayaan, termasuk kebudayaan daerah.

Dengan absennya orientasi budaya, kecuali berorientasi uang, maka kegiatan-kegiatan tidak mempunyai sifat strategis menjangkau jauh, membina dan mengembangkan, tapi sekedar menggunakan alokasi anggaran. Dari keadaan begini tidak mungkin lahir prakarsa-prakarsa strategis bersifat pionir. Ide-ide bersifat pembidasan malah dinilai sebagai ‘’omong kosong’’, “hanya bersifat wacana belaka” tapi tidak diimbangi dengan ide baru. Akibatnya Kalteng mempertontonkan kemiskinan ide atau prakarsa di bidang kebudayaan.  Ketiadaan orientasi dan ketidaktahuan tentang masalah kebudayaan ini barangkali disebabkan oleh posisi kunci di dinas-dinas  terkait, tidak ditempati oleh orang yang tepat baik secara pengetahuan dan keterampilan maupun secara perhatian. Yang menduduki pos-pos kunci di Dinas-Dinas  terkait bukan “the right men in the right place” sehingga terjadi rutinisme birokrasi tanpa jiwa. Apabila benar-benar ingin mengembangkan kebudayaan di daerah ini, hal begini sebenarnya bisa di atasi jika kepala dinas terkait, membentuk tim pembantu ahli, terdiri  dari pelaku-pelaku lapangan, tanpa terpancang pada gelar akademi (yang sering kosong makna) dan jenjang birokrasi. Tapi langkah begini hanya mungkin jika ada sikap keterbukan, komitmen kuat untuk pengembangan kebudayaan serta orientasi budaya yang jelas. Tidak memandang kekuasaan sebagai kebenaran. Pandangan feodalitis yang tidak berguna untuk Republik dan Indonesia serta Kalteng.

(3). Terdapat jarak antara birokrat kebudayaan dengan pelaku kebudayaan dan dunia kebudayaan. Secara tipikal jarak ini diungkapkan oleh pernyataan bahwa “Kalteng tidak mempunyai seniman dan budayawan”. Birokrat kebudayaan sebenarnya bisa berfungsi sebagai organisator-pemikir kebudayaan, seperti halnya yang dilakukan oleh André Malraux, Menteri Kebudayaan Charles de Gaulle atau Jack Lang, Menteri Kebudayaan François Mitterrand dari Perancis yang berhasil mengembangkan kebudayaan  Perancis, terutama dengan menciptakan Fête de la Musique yang berkembang dari skala Perancis ke tingkat Eropa. Untuk mengembangkan kebudayaan diperlukan organisator-pemikir kebudayaan, bukan birokrat yang terjerat oleh rutinitas birokrasi.  Peran organisator-pemikir kebudayaan ini menjadi menonjol di tengah-tengah adanya sanggar-sanggar dan komunitas yang berkegiatan tapi juga kurang mencamkan masalah orientasi. Akibatnya kegiatan-kegiatan menjadi tanpa arah dan roh. Di sinilah keperluan adanya Institut Kesenian Dayak Kalimantan menjadi muncul. Tapi keperluan dan ide yang dipandang oleh salah seorang doktor dipandang sebagai “omong kosong”.

Sadar akan adanya jarak antara birokrat kebudayaan dan dunia kebudayaan ini maka dalam pertemuannya dengan Delegasi Komunitas Seniman-Budayawan Palangka Raya (KSB-PR)  pertengahan tahun 2010, Gubernur Kalteng A.Teras Narang meminta agar jarak ini ditiadakan. Jarak inilah salah satu penyebab tidak berkembangnya kehidupan  kebudayaan di Kalteng. Tapi dalam kenyataan apakah petunjuk Gubernur ini dilaksanakan oleh “menteri”nya? Belum dan belum. Artinya salah satu permasalahan program pemerintah terganjal terletak pada kemampuan ‘’menteri-menteri’’nya. Terdapat di lapisan tengah piramida kekuasaan. Pertanyaan balik: Mengapa tidak Gubernur menempatkan the right man on the right place? What are  the obstacles, Dear Governor? (Apa yang menghalang , Gubernur yang terhormat?), sedangkan kekuasaan menentukan apa-siapa menjadi .”menteri” ada di tangan orang pertama daerah. Organisator-pemikir kebudayaan inilah yang justru sngat diperlukan oleh Kalteng untuk menggalakkan kegiatan kebudayaan menjadi suatu gerakan kebudayaan baru. Tapi justru tenaga ini yang minim terdapat.

Keadaaan di atas barangkali merupakan gambaran umum singkat tentang kehidupan kebudayaan di Kalteng sampai tahun 2009. Setelah KSB-PR berdiri dengan mengetengahkan paradigma-paradigma baru dibarengi dengan kegiatan-kegiatan periodiknya di berbagai bidang( termasuk lobi-lobi politik-formal ke berbagai tingkat ) pada awal November 2009, iklim kebudayaan Kalteng mengalami sedikit pergeseran. Kegiatan-kegiatan KSB-PR termasuk audiensi dengan Gubernur dan DPRD Provinsi, menarik perhatian orang pertama provinsi ini untuk turun ke lapangan meninjau Taman Budaya. Setelah kunjungan ke lapangan ini Gubernur mengeluarkan beberapa petunjuk, antara lain Pergub (Peraturan Gubernur) tentang dihidupkannya kembali Taman Budaya. Perhatian Gubernur terhadap kebudayaan, menjalar ke instansi-instansi di jenjang bawahan. Setelah kunjungan Gubernur  ke  lapangan pula maka Gedung Teater tertutup Taman Budaya mulai dibangun kembali. Masalah mulok menjadi makin kongkret dan direncanakan akan mulai dilaksanakan di semua SD-SMA Kalteng mulai tahun 2011 ini. (Apakah benar-benar sudah siap? Paling tidak Kepala Dinas Pendidikan sudah menjanjikkannya. Adanya janji sudah satu kemajuan, sedangkan kemajuan riil kita saksikan lebih lanjut). Keputusan meghidupkan kembali Taman Budaya, diharapkan bisa menjadikan lokomotif penggerak kehidupan kebudayaan di Kalteng, walaupun harapan ini disertai dengan segala cadangan , apalagi setelah mendengar wawancara penanggungjawab Taman Budaya di acara Keba TVRI Kalteng pertengahan Desember 2010, secara wacana masih meragukan. Saya harapkan sikap penuh cadangan ini bisa menjadi dorongan bagi Tim Pengasuh Taman Budaya, untuk bekerja lebih keras, sesuai petunjuk Gubernur yaitu bersandar kepada para pelaku kebudayaan. Artinya bersandar pada massa. Tidak memandang diri sebagai pemilik kebenaran serupa para dewata. Hal bersandar kepada para pelaku kebudayaa utuk menggerakkan gerakan kebudayaan di Kalteng, menjadi penting mengingat latar belakang penanggungjawab Taman Budaya dan Kepala Dinas Kebudayaan yang asing dari dunia kebudayaan. Mudah-mudahan dihidupkannya kembali Taman Budaya, bisa berperan sebagai organisator-pemikir kebudayaan, sekligus memainkan peran Dewan Kesenian yang nampaknya hanya ada nama dan membuang dana percuma. Dalam soal mulok pun kira-kira akan terlaksanakan dengan baik, apabila petunjuk garis massa Gubernur diterapkan dengan teguh, tidak bersandar pada gengisme, penyakit usang yang terbukti tidak membawa kita ke kemajuan.  Apabila model gengisme dan proyek-isme diteruskan maka bisa dipastikan mulok tidak akan terwujud sesuai harapan. Tidak akan mungkin memobilisasi semua kekuatan yag mestinya dilibatkan sehingga yang akan kita saksikan tidak lain dari kekederdilan kata-kata. Taman Budaya, mulok, Gedung Teater Tertutup tidak lain hanyalah sarana untuk mencapai tujuan. Apa tujuan, orientasi kebudayaan yang ingin dicapai, sampai sekarang belum dijelaskan oleh pihak pengelola kekuasaan. Tanpa ada orientasi kebudayaan ini saya khawatir kita tidak akan bergeser dari budaya ghetto dan memanfatkan kekayaan budaya  berupa keanekaragaman Kalteng. Karena kita sekarang sesungguhnya berada pada periode Pasca Tradisional maka saya menyarankan orientasi itu adalah kebudayaan Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng sebagai isi baru dari rumusan yang disebut budaya betang.

Perhatian dan pembangunan sarana budaya yang didorong oleh Gubernur, capaian budaya pada tahun 2010,  merupakan modal awal berharga dalam melancarkan gerakan kebudayaan dan membuat renaisans budaya Kalteng. Tapi sarana ini dan renaisans budaya hanya terjadi percepatannya dengan orientasi budaya yang tanggap zaman.

Gambaran sekilas tentang kehidupan kebudayaan di Kalteng ini, tidak lebih dari suatu ajakan untuk melihat kekurangan, capaian kita hingga tahun 2010, kemudian dari kekurangan dan capaian itu merenungkan apa yang mesti kita lakukan guna mengisi tahun 2011 dengan penuh makna agar Kalteng bisa melesat,ke depan. Kalteng bisa melesat maju jika pada Uluh Kalteng terjadi ‘’revolusi kesadaran baru’’, karena kemajuan dan kemunduran berawal dan ditentukan oleh manusia. Dan soal manusia seperti ditunjukkan oleh Lu Sin adalah masalah sentral kebudayaan. Kalteng yang melesat maju merupakan cara nyata Uluh Kalteng ‘’Menegakkan Indonesia Dari Daerah’’, jika meminjam istilah Soetrisno Bachir, pendiri Yayasan Solusi Bangsa (Harian Kompas, Jakarta, 31 Desember 2010) , dan Kalteng demikian tidak bisa dilakukan oleh Uluh Kalteng berkesadaran usang dan metode-metode lapuk. Tapi justru kita berada di tengah kelapukan demikian. Tantangan kebudayaan yang tidak sederhana menguji kadar.***

KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Palangka Raya (LKD-PR).

Lain Jaman, Lain Pendekatan

Oleh: KH. Abdurrahman Wahid

Persoalan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) masih terus dibicarakan orang.
Walaupun KH. M. Sahal Mahfudz telah berusaha sekuat-kuatnya menjelaskan,
namun tidak berhasil menenangkan masyarakat, bahkan MUI-pun menjadi sasaran
guyonan masyarakat banyak. Bahkan ada yang menyatakan, MUI adalah singkatan
Majelis Uang Indonesia. Contoh plesetan yang tidak menggelikan ini,
sebenarnya menggambarkan perasaan masyarakat yang berang terhadap
‘kesalahan’ MUI. Bahkan sikap salah seorang ketuanya yaitu KH. Ma’ruf Amin
yang menyatakan ia optimis Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan mendukung MUI
dalam hubungan dengan melarang gerakan Ahmadiyah Indonesia, dirasakan
sebagai sikap arogan dan tidak bertanggung jawab.

Bukan hanya penulis, yang melihat masalahnya dari sudut konstitusi, tapi
orang-orang seperti Dr. Azyumardi Azra, Dr. Ahmad Syafi’i Ma’arif (yang
disegani orang karena sikapnya yang hati-hati), dan Dr. M. Syafi’i Anwar,
semuanya menolak fatwa MUI itu. Bahkan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang ada di
lingkungan MUI dihadapkan kepada reaksi marah dari para anggota Muhammadiyah
sendiri, termasuk ketuanya Din Syamsuddin. Bahkan seorang tokoh Muhammadiyah
yang berpengaruh besar seperti Prof. M Dawam Rahardjo berpendapat, menuntut
supaya MUI dibubarkan saja. Kira-kira menurut pendapat penulis, karena sikap
MUI terhadap minoritas seperti GAI (Gerakan Ahmadiyah Indonesia).
Tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, memahami benar bahwa GAI dilindungi
oleh konstitusi kita, betapapun kita berbeda pendirian dengan mereka.

Sedangkan argumentasi orang-orang yang tergabung dalam usaha pelarangan atau
yang mendukung argumentasi untuk melarang GAI itu, adalah bahwa Saudi Arabia
melarangnya. Namun dilupakan Saudi Arabia adalah sebuah negara Islam,
sedangkan Republik Indonesia bukan. Kita adalah sebuah negara nasional yang
berlandaskan Pancasila, karena itu dapat menerima perbedaan apapun dalam
faham kenegaraan (kecuali komunisme dalam pandangan sejumlah orang). Jika
kita larang GAI, karena berbeda dari pendapat doktriner sebagian besar kaum
muslimin di negeri ini, konsekuensinya kita juga harus melarang
pandangan-pandangan kaum Kristen dan Katholik, Buddha, Hindu dan lain-lain.
Bukankah keyakinan mereka juga tidak sama dengan keyakinan keimanan
mayoritas kaum muslimin?

Maka dapat dipahami ‘kemarahan’ orang terhadap fatwa MUI itu. Karena
bukannya menolong pemerintah untuk mencarikan jawaban terhadap keadaan yang
‘mengharuskan’ pencarian solusi bagi krisis multidimensi yang sedang kita
hadapi, atau setidak-tidaknya menahan diri dari setiap tindakan yang
memperburuk hubungan antara kita, fatwa MUI itu justru membawa masalah baru
dalam hubungan antara berbagai agama di negeri kita. Pandangan serba sempit
yang dimiliki MUI itu akan merugikan seluruh komponen bangsa.

Kita harus saling mengingatkan, bahwa kita memiliki kewajiban agar apapun
perbedaan pendirian kita, kita harus hidup bersama dalam satu ikatan. Bahwa
perbedaan demi perbedaan yang ada, seharusnya mendorong munculnya sikap yang
arif bijaksana, bukannya sikap yang membuat hubungan yang ada menjadi
semakin buruk, seperti pendapat MUI yang menimbulkan reaksi yang begitu
keras.

Memang pada akhir-akhir ini kita melihat bahwa di lingkungan gerakan-gerakan
Islam mulai muncul ‘hal-hal tidak sedap’, seperti munculnya sikap lebih
keras di kalangan kaum muslimin, untuk memunculkan ‘kelebihan’ ajaran-ajaran
agama Islam di atas berbagai ajaran agama-agama lain. Sebenarnya unutk
memenuhi ‘kebutuhan’ akan hal itu, justru diperlukan kearifan untuk menahan
diri di kalangan para pemimpin Islam sendiri.

‘Salah baca’ para pimpinan MUI justru berakibat pada reaksi berlebihan dari
kaum muslimin sendiri. Kalau saja hal ini disadari oleh para pemimpin MUI,
tidak akan terjadi apa yang kita saksikan minggu lalu itu, yaitu penyerangan
sejumlah Masjid Ahmadiyah. Para pemimpin MUI justru melupakan sebuah
kenyataan penting berupa rumusan ajaran Islam yang sebenarnya, yaitu “Telah
Ku-ciptakan kalian sebagai lelaki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa, untuk saling mengenal” (Inna
khalaqnakum min dzakarin wa untsa wa ja’alnakum syu’uban wa qabaila li
ta’arafu). Dan sikap dasar dari ketentuan Tuhan itu adalah “Dan berpeganglah
kepada tali Allah secara keseluruhan, dan jangan terpecah-belah” (wa’tashimu
bi habli Allah jami’an wa la tafarraqu).

Sikap dasar ini juga merupakan antisipasi terhadap kenyataan akan masa depan
agama Islam dan kaum muslimin, seperti telah terbukti dewasa ini yaitu Islam
merupakan agama besar, tanpa mengecilkan agama-agama lain. Inilah yang belum
disadari oleh para pemimpin MUI maupun para pemimpin berhaluan keras yang
ada di kalangan kaum muslimin sendiri pada saat ini. Sikap-sikap keras yang
kita lihat masih ada di kalangan kaum muslimin mudah-mudahan akan hilang
melalui pendidikan yang lebih baik dan komunikasi yang lebih intens.

Bisa kita gambarkan upaya para pemimpin muslim di masa lampau, seperti Sir
Sayyed Ahmad Khan di India dan Mohammad Abduh di Mesir. Di masa lampau,
mayoritas kaum muslimin pada waktu itu bersikap keras pada orang lain,
karena memang kolonialisme masih merajalela. Karena itu sikap toleransi yang
mereka perlihatkan dianggap sebagai tindakan ‘menyerahkan diri’ kepada agama
lain. Tetapi pendidikan dan komunikasi yang berkembang antara kaum muslimin
dan pihak-pihak lain, membuat kita menyadari bahwa memang diperlukan
kearifan dan kebijaksanaan dalam hal ini.

Hanya saja di kalangan orang-orang yang berpengetahuan agama Islam tidak
cukup mendalam, justru terjadi kecurigaan yang berlebih-lebihan terhadap
orang lain, yang menonjolkan perbedaan-perbedaan yang ada, bukannya mencari
titik temu antara Islam dengan agama-agama lain itu. Karena itulah,
timbullah reaksi yang mengacu kepada penggunaan “bahasa kekerasan” dari
Islam terhadap agama-agama lain. Inilah sisa-sisa warisan lama yang harus
kita rubah melalui pendidikan dan komunikasi antar golongan. Ini berarti
terhadap keadaan yang berubah, respon kita juga harus mengalami perubahan
pula. Perubahan respon ini adalah kewajaran dalam perkembangan manusia,
bukannya keadaan yang harus diteruskan dari generasi ke generasi. Tanpa
memahami “keharusan sejarah” ini maka dapat berakibat fatal bagi diri kita
sendiri, minimal bagi peranan kita dalam kehidupan bersama. Jawaban yang
tepat hanya diperoleh mereka yang memahami keadaan secara tepat pula.

Apa yang dikemukakan di atas hanyalah sebagian saja dari begitu banyak
hal-hal rumit yang dihadapi oleh kaum muslimin. Tetapi merespon dengan sikap
keras merupakan sesuatu yang tampak dengan segera dalam pandangan bangsa
ini. Mengapa? Karena kaum muslimin tidak hidup sendirian di sini, melainkan
ditakdirkan oleh Allah untuk hidup bersama-sama dengan orang-orang beragama
lain. Bahkan kaum muslimin sekarang ini harus hidup dengan mereka yang tidak
ber-Tuhan, atau mereka yang memiliki kerangka etis yang lain, seperti
kerangka dari ‘masa lampau’. Ini adalah bagian dari upaya melestarikan dan
membuang yang senantiasa terdapat dalam proses sejarah umat manusia, bukan?

Jakarta, 2 Agustus 2005


“…menyembah yang maha esa,
menghormati yang lebih tua,
menyayangi yang lebih muda,
mengasihi sesama…”

Sumber:Ananto <pratikno.ananto@gmail.com>,  Thursday, 30 December 2010 16:56:57