Catatan Kusni Sulang | Mengapa Tidak? Bersatulah Para Pangkalima!

Radar Sampit, Minggu, 27 November 2022

Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

Pangkalima Jilah dan Pasukan Merah Dayak. Jilah relatif bisa menghimpun kekuatan Dayak di berbagai daerah dalam jumlah cukup besar tapi sementara pihak di Kalteng menyebutnya “datang ke rumah orang tanpa mengetuk pintu”. Jilah dan Pasukan Merah-nya di demo. Demo demikian tentu bukan unjuk rasa persatuan, tapi wujud dari merasa diri pun adalah pangkalima. Foto: Istimewa
Perahu di Sungai Kahayan. Tentu saja ini bukan perahu Maharaja dan Tamanggung. Nampak Jembatan Kahayan di kejauhan yang membentang di atas sungai. Foto: Andriani SJ Kusni, Palangka Raya, 2014

Pada suatu hari, dalam sebuah percakapan sangat terbatas, seorang jenderal salah seorang penanggung jawab keamanan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) ini, pernah bertanya (sesungguhnya mengatakan pendapatnya) kepada saya.

“Mana pemangku adat yang kuat dan didengar oleh seluruh Orang Dayak? Mana organisasi Dayak yang kuat dan bisa mempersatukan semua Dayak?”

Sang  Jenderal melanjutkan kata-katanya, “Saya kira, kalian Orang Dayak tidak bisa membela kepentingan kalian sendiri.”

 “Saya kira Anda benar, kami hanya bersatu seperti otomatis pada saat melihat adanya bahaya fisik mengancam semua. Pada saat itu, tanpa diperintah, siapa pun turun menghadapi ancaman tersebut bersama-sama. Bahkan Dayak dari Sabah-Sarawak pun turun gunung untuk turut menghadapi ancaman tersebut. Sesudah itu, persatuan kembali buyar. Sampai hari ini masalah persatuan masih merupakan persoalan besar di kalangan Dayak. Saya mau cerita tentang sebuah kisah rakyat Dayak yang kiranya berkaitan dengan soal persatuan ini.”

“Ceritakanlah. Saya dengar,”  ujar Sang Jenderal

“Sebutlah judul cerita rakyat ini Kisah Tamanggung dan Maharaja. Kisah ini sangat populer di kalangan masyarakat Dayak Kalteng.”

“Saya dengar,” Sang Jenderal berkata sambil tersenyum kecil dan memperbaiki duduknya lalu menyeruput kopi dari cangkir di depannya.

“Konon, dahoeloe kala, pada suatu hari Maharaja dan Tamanggung sepakat untuk berperahu ke hilir untuk mengunjungi sebuah kampung tetangga. Maharaja duduk di haluan, sedangkan Tamanggung duduk di buritan. Sambil mengemudi perahu, Tamanggung melihat adanya air yang  masuk dengan dengan deras ke dalam perahu. Nampaknya, perahu yang mereka pakai itu bocor pada bagian tengah. Tamanggung menyadari, jika tidak ditimba segera mereka akan karam. Sedangkan ia sendiri tidak bisa meninggalkan kemudi. Tamanggung pun lalu berkata:

“Maharaja, perahu kita ternyata bocor. Apakah kau bisa menimbanya?”

“Apa?”

”Perahu kita ternyata bocor. Apakah kau bisa menimbanya?”

“Kau suruh aku menimba perahu? Kau tahu, aku ini siapa? Aku ini Maharaja. Kaulah yang sepatutnya menimbanya?”

“Kau tak tahu aku ini siapa? Aku ini Tamanggung yang terkenal di penjuru-penjuru angin benua ini.”

Air masuk perahu kian deras dan kian banyak. Perahu benar-benar segera karam jika tidak segera ditimba. Tapi kedua-duanya tidak ada yang mau mengalah dan mau menimba. Kedua-duanya merasa berkedudukan tinggi, merasa semua orang hebat dan pangkalima. Benar saja, belum sampai kampung tujuan, perahu pun karam. Maharaja dan Tamanggung berpegang pada bibir perahu, menjadikan perahu sebagai pelampung. Perahu, dan kedua pangkalima itu hanyut ke hilir diseret arus. Keduanya tak ada yang merasa menyesal berada dalam keadaan demikian.

Ketika berada di depan kampung tujuan, penduduk yang menanti keduanya tercengang melihat ada dua orang hanyut berpelampung perahu karam. Tanpa berlama-lama, beberapa pemuda kampung pun segera turun ke tepian mengambil perahu menuju dua orang hanyut di tengah sungai.

”Oooo, Maharaja dan Tamanggung, ya,” ujar seorang pemuda kampung yang datang menolong.

Dari tengah sungai, pemuda itu berteriak ke penduduk yang berada di sekitar tepian, “Maharaja dan Tamanggung! Maharaja dan Tamanggung!”

Mendengar pemberitahuan pemuda, warga kampung saling pandang dengan pikiran masing-masing. Sampai di tepian, tetua kampung yang melihat Maharaja dan Tamanggung basah-kuyup meminta ibu-ibu mencarikan pakaian kering untuk keduanya.

”Bagaimana kalian bisa karam?”

“Perahu kami bocor,” jawab Tamanggung, tapi tidak menjelaskan mengapa tidak ditimba. Tetua  kampung yang sudah cukup banyak makan asam-garam kehidupan hanya tersenyum kecil.

”Untung tak ada buaya yang lewat,” lanjut tetua kampung sambil mengajak Maharaja dan Tamanggung ke rumah menggantikan pakaian basah dengan yang kering.

“Kisah saya berakhir di sini, Jenderal.”

”Apa yang kau mau katakan dengan kisah rakyat ini?” tanya Sang Jenderal sambil tertawa kecil.

“Bahwa Orang Dayak itu pongah, merasa diri semua pangkalima, sama hebat. Lebih baik hancur bersama-sama daripada mencari jalan keluar. Anggapan demikianlah yang membuat persatuan Dayak jadi tidak kuat. Karena merasa diri sama-sama pangkalima, tidak seorang pun dari mereka yang membiarkan pangkalima lain menonjol. Daripada ada yang lebih menonjol, lebih baik sama-sama hancur. Dalam bahasa Dayak Ngaju, perilaku begini disebut hakayau kulae. Saling memenggal kepala.”

***

Saya jadi teringat akan cerita paman bahwa almarhum Tjilik Riwut dalam kelelahan oleh kerjanya pernah berkata, “Tidak gampang mengurus Orang Dayak”.

Boleh jadi maksudnya, tidak gampang mempersatukan Orang Dayak untuk bersama-sama maju karena semua merasa diri pangkalima, menganggap diri tak kalah hebat, tak kalah mampu, bahkan memandang diri sendirilah yang terhebat sehingga tidak gampang bagi para pangkalima itu menghargai atau mengakui keunggulan pangkalima lain. Perilaku mengakar beginilah yang membuat persatuan dan solidaritas jadi sulit digalang. Apalagi ada pandangan bahwa ‘saya  tidak makan beras pemberianmu’.

Pandangan bahwa ‘saya  tidak makan beras pemberianmu’ menunjukkan bahwa secara ekonomi, saya tidak tergantung pada kau, yang berarti saya mempunyai sumber ekonomi berupa pemilikan alat-alat produksi sendiri sebagai sandaran hidup. Tidak ada kepemilikan bersama seperti marga misalnya sehingga solidaritas dan kebersamaan tidak menjadi ciri utama masyarakat Dayak.

Saya kira di masyarakat bétang pun tidak terdapat kepemilikan bersama.

Masing-masing keluarga yang hidup di bétang, walaupun mempunyai kaitan hubungan darah (berbeda dengan gambaran yang umum ditutur hari ini), tapi secara ekonomi masing-masing keluarga mempunyai alat produksi sendiri-sendiri. Keluarga-keluarga ini menghidupi diri sendiri. Bétang hanyalah menjadi tempat tinggal bersama. Apalagi sesungguhnya secara arsitektur, bétang adalah bangunan vernakuler–bangunan yang dibangun untuk menjawab lingkungan. Barangkali hal-hal demikianlah yang menjadi dasar ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan yang membuat persatuan Orang Dayak tidak cukup kuat seperti persatuan warga marga misalnya, bahkan bisa dikatakan bersifat individualis.

Barangkali ke depan, apabila proses pemiskinan dan marjinalisasi struktural terus berlangsung, pola pikir dan mentalitas Orang Dayak akan mengalami pergeseran.

Ada dua bentuk kemungkinan bentuk pergeseran ini.

Pertama,  tumbuhnya budaya kebersamaan karena sadar bahwa hanya dengan kebersamaan dan solidaritas proses kemiskinan dan keterpinggiran struktural bisa dihentikan dan pola pikir serta mentalitas baru Dayak lahir. Untuk bisa lahir dan berkembangnya pola pikir dan mentalitas baru, diperlukan barisan pelopor dan organisator berupa cendekiawan Dayak yang berkomitmen manusiawi dan ahli. Cendekiawan pelopor dan organisator inilah yang diharapkan menjadi penggerak dan pendongkrak kebangkitan masif. Tapi dengan latar belakang politik, sosial, ekonomi dan budaya seperti sekarang, tentu saja tumbuhnya barisan cendekiawan pelopor dan organisator tipe ini bukanlah soal sederhana. Pesimisme lebih memperlihatkan dominasi terhadap optimisme.

Kemungkinan kedua, makin berkembangnya budaya kemiskinan dan kemiskinan. Kemungkinan kedua ini, lika-liku perjalanannya nampak jauh lebih lancar, apalagi umumnya cendekiawan bukanlah golongan masyarakat yang kesetiaan dan keteguhan pendiriannya bisa diandalkan, lebih-lebih  jika mereka hidup di menara gading bagaikan ‘anak raja memandang dunia dari jendela istana kerajaan’ jika meminjam ungkapan penyair Perancis Paul Eluard. Pandangan-pandangan dan tindakan anak raja sering bukanlah pandangan dan tindakan yang menguntungkan mayoritas warga negeri, bahkan sebaliknya sering menabur petaka. Oligarki dan anak raja, jarak pandangan dan sikap mereka tidaklah terlalu jauh. Di Kalteng, tentu saja ada cendekiawan ‘anak raja’ itu. Terdapat gejala oligarki itu.

***

Kembali ke soal ‘semua pangkalima’.

Sesungguhnya semangat ‘semua pangkalima’ tidak jelek seluruhnya.

Adalah hal baik, bahwa seseorang merasa dirinya juga bisa dan mampu melakukan kualitas yang dikerjakan oleh pihak lain. Akan sangat baik, apabila kepercayaan diri begini berkembang menjadi persaingan sehat untuk mendapatkan kualitas-kualitas terbaik untuk kehidupan. Persaingan sehat guna mendapatkan kualitas-kualitas puncak, dalam filosofi Dayak Ngaju tertuang dalam ungkapan ‘hatindih kambang nyalun tarung mantang lawang langit’ yang artinya ‘berlomba-lomba menjadi anak manusia yang paling manusiawi sehingga paling tidak menjadi yang pertama datang ke gerbang tempat asal Saran Danum Sangiang’.

Berlomba artinya bersaing untuk menjadi yang terbaik dari yang baik-baik, menjadi yang paling manusiawi. Bukan untuk memotong kepala sesama atau hakayau kulae dalam bahasa Dayak Ngaju. Tujuannya,  jelas sesuai dengan visi-misi hidup-mati manusia Dayak sebagai anak enggang putera-puteri naga (réngan tingang nyanak jata—anak enggang putera-puteri naga) yaitu menjadikan bumi, tanah air, kampung-halaman (léwu) atau apapun namanya, sebagai tempat di mana manusia hidup secara manusiawi. Yang berlomba pasti mempunyai kualitas-kualitas unggul. Apabila kualitas-kualitas unggul ini diorganisasi dan dipersatukan maka ia akan menjadi kuantitas berkualitas. Saya kira seyogyanya semangat ‘semua pangkalima’ dipahami sejalan dengan filosofi  ‘hatindih kambang nyalun tarung mantang lawang langit’, bukan  hakayau kulae dan atau lebih baik sama-sama hancur, sama-sama karam daripada kau yang dapat dan menonjol.

Orang yang mampu bersaing secara sehat untuk mencapai kualitas puncak, bisa dipastikan mempunyai kualitas toleransi dan kesabaran serta berdada lapang seperti Tambun-Bungai dengan dada selebar tujuh jengkal. ‘Tujuh jengkal’ adalah lambang dari berdada lapang, salah-satu cara Orang Dayak menuturkan sejarah. Dengan berdada lapang, cendekiawan pelopor dan organisator bisa merangkul sebanyak mungkin orang yang mungkin dipersatukan. Saat inilah maka perubahan maju bisa diharapkan.

Jadi, mengapa tidak? Bersatulah para pangkalima! Jadilah kuantitas berkualitas. Ini yang belum dilakukan oleh Orang Dayak.***


Halaman Masyarakat Adat Harian radar Sampit, Minggu, 27/11/2022

Pokok-Pokok Paparan Disampaikan dalam Sambutan Seminar Nasional Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2022

Seminar Nasional Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2022
Dari kiri ke kanan: Adriansyah, S.Pd, M.Pd (Ketua AGSI Provinsi Kalteng), Dr. Sumardiansyah Perdana Kesuma (Presiden AGSI Pusat), Suraji (Kepala UPT Taman Budaya–Utusan mewakili Kadis Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng), Kusni Sulang, Drs. Kardinal Tarung (pengamat sejarah). Foto: Andriani SJ Kusni, Aula Hotel Royal Global, Palangka Raya, Sabtu, 26/11/2022.
Foto bersama seluruh peserta dan pembicara Seminar Nasional Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Provinsi Kalimantan Tengah Tahun 2022, Hotel Royal Global, Palangka Raya, Sabtu, 26 November 2022. Dokumentasi: AGSI Kalteng

Selamat sore.

Mengharapkan seluruh peserta seminar berada dalam keadaan sehat-wal afiat selalu dan girang hati. Selamat datang di Palangka Raya kepada para peserta yang datang dari luar Palangka Raya, dari provinsi dan pulau lain.

Pertama-tama, saya mengucapkan terima kasih kepada Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Kalimantan Tengah (Kalteng) yang telah meminta saya untuk serta dalam seminar ini dan menyampaikan sambutan.

Permintaan ini memang masih menimbulkan rasa heran karena sebenar-benarnya saya bukanlah siapa-siapa di kampung kelahiran Kalteng ini. Saya bukan pejabat, bukan keluarga pejabat atau petinggi, lebih-lebih bukan orang berduit, bukan pula guru baik di perguruan tinggi atau pun sekolah menengah bahkan bukan pengajar di sekolah dasar. Juga bukan dari organisasi besar dan berpengaruh.

Betul, saya pernah jadi guru di universitas tapi pekerjaan ini lama saya tinggalkan karena melihat pendidikan tinggi jadi barang dagangan dan saya tidak berdaya mengatasi keadaan-keadaan negatif untuk pendidikan pembebasan dan pemajuan daerah.  Barangkali panitia salah minta ketika mengirimkan surat permintaan sambutan kepada saya karena kurang informasi rinci tentang diri saya. Informasi yang tidak lengkap ini berlanjut pada tindakan yang tidak akurat.

Adalah juga betul bahwa saya pencinta sejarah karena S3 saya dari salah sebuah universitas cukup terkemuka di Perancis memang dalam bidang sejarah dan saya cukup banyak menulis soal sejarah Kalteng, tapi hal ini tidak menjadi alasan cukup meyakinkan untuk memberikan tempat pada saya di seminar nasional penting diorganisir oleh sebuah organisasi profesi besar dan penting seperti Asosiasi Guru Sejarah Indonesia (AGSI) Kalteng.

Sebelum diminta memberi sambutan, saya memang pernah dihubungi oleh panitia yang kemudian saya ketahui telepon meminta saya menjadi salah seorang pembicara. Karena nomor penelepon tidak saya kenal, telepon tidak saya angkat, hanya kemudian  membalas WA minta maaf karena tidak mengangkat telpon. Sekali lagi, maaf dan terima kasih.

Dalam stempel resminya, AGSI mencantumkan kata-kata Marcus Tullius Cicero (106-43 S.M): Historia Magistra Vitae (Sejarah Guru Kehidupan), kata-kata yang menunjukkan arti sejarah bagi kehidupan. Tentunya para anggota AGSI Kalteng memahami dan menghayati makna kata-kata ini.

Untuk Kalteng, pemahaman dan penghayatan akan makna sejarah sebagai magistra vitae (guru kehidupan) menjadi sangat penting. Penting karena saya melihat di Kalteng ini ada ketakutan pada sejarah sehingga takut menulis sejarah sebagaimana adanya kenyataan.

Moh. Arkoun, seorang Islamolog dan sejarawan asal Aljazair tapi melarikan diri ke Perancis, menyebut ada dua macam sejarah yaitu (1) Sejarah Politis; dan (2) Sejarah Obyektif atau ilmiah.

Sejarah politis akan menulis sejarah sebagai sejarah para pemenang pertarungan politik, sedangkan sejarah obyektif akan menulis yang hitam sebagai hitam, putih sebagai putih.

Dalam sejarah obyektif, yang diperlihatkan bukan hanya para petinggi, para elite, raja-raja dan para pemilik uang tapi juga peran lapisan-lapisan masyarakat yang di bawah. Pendekatannya pun bukan hanya pendekatan politis, tapi pendekatan multi-disipliner sehingga dalam sejarah tergambarkan keadaan kehidupan yang relatif utuh.

Saya kira, sejarah hanya akan menjadi guru kehidupan apabila ia ditulis sebagai sejarah obyektif. Saya khawatir bahwa sejarah yang ditulis dengan mengabaikan obyektivitas akan menabur racun petaka dan kesesatan belaka. Tapi betul, pertarungan antara sejarah politis dan sejarah obyektif atau ilmiah berlanjut sampai sekarang, termasuk di Kalteng.

Pada saat mengumpulkan data-data tentang sejarah desa di Kalteng, misalnya, saya dapatkan sementara informan-informan saya menggunakan tuturan “sejarah” untuk kepentingan politik dalam pemilihan kepala desa. Para informan ini menegasi peran para pihak di luar keluarganya. Hal ini kemudian terbuka pada saat sumber-sumber lain di desa-desa terkait menyampaikan data-data lain. Dan tentu saya masih bisa menunjukkan banyak contoh lain yang membuat saya sampai pada hipotesa bahwa di Kalteng orang takut sejarah dan terkadang kompromi dalam menuliskan sejarah. Hal yang patut diangkat, diabaikan. Hal yang sebenarnya relatif hitam, disebut putih. Di samping itu, saya juga melihat adanya upaya pihak tertentu untuk membuat Kalteng, terutama Orang Dayak sebagai etnik yang tak punya sejarah sehingga etnik ini dipandang tetap terbelakang dan tak layak berada di posisi kunci. Celakanya, di kalangan Orang Dayak sendiri terjadi fenomena bunuh diri budaya sambil berujar: “lestarikan budaya daerah”.

Seminar ini bertemakan “Penguatan Kompetensi Guru Sejarah dalam Rangka Transformasi Pendidikan Menuju Kalteng Semakin Berkah”. Dari tema ini, saya mau mengangkat dua masalah saja, yaitu (1) Penguatan kapasitas guru sejarah; (2) Materi sejarah yang akan ditransferkan ke anak didik sebagai penanggung jawab hari esok.

Pertama, guru mempunyai posisi sangat penting dalam pemberdayaan dan pemajuan masyarakat jika kita sepakat bahwa pendidikan, membangun barisan panjang sumber daya manusia (SDM) yang manusiawi dan ahli, merupakan kunci pemberdayaan dan pemajuan masyarakat.

Dalam filosofi Dayak, manusia Dayak ideal itu dirumuskan dalam trilogi karakter: “mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh” (gagah-berani, pintar-berbudi, kritis-ulet). Trilogi karakter ini merupakan satu kesatuan, yang tak boleh dipisah-pisahkan agar mampu mewujudkan visi-misi hidup-mati Dayak yang oleh sastra lisan Dayak disebut sebagai “réngan tingang, nyanak jata” (anak enggang putera-puteri naga) yang dikutuk sebagai Dayak Panarung (Dayak Petarung). Dayak as fighters bukan warriors.

Pertanyaan penting di sini adalah bagaimana kapasitas dan kualitas guru-guru di Kalteng?

Gelar akademi, terutama di Kalteng, bagi saya bukanlah petunjuk kapasitas dan kualitas. Karena itu, sesungguhnya saya tidak suka memajangkan gelar akademi di depan nama saya. Akan memalukan jika hasil kerja saya tidak setaraf dengan gelar akademi tersebut.

Gelar akademi hanya menunjukkan jenjang pendidikan yang pernah dilakukan, bukan bukti kemampuan dan kualitas. Pengalaman konkret pribadi saya mengatakan dengan sungguh-sungguh hal demikian. Karena itu transformasi pendidikan untuk menciptakan kualitas dan kuantitas menjadi penting.

Bagaimana melahirkan barisan SDM yang manusiawi dan ahli jika kapasitas dan kualitas pendidik tidak padan untuk tujuan demikian? Barangkali penanggung jawab pengelolaan negeri dan daerah perlu memperhatikan secara konkret akan hal ini, bagaimana meningkatkan kapasitas dan kualitas para guru sebagai penanggung jawab kemajuan dan keberdayaan daerah.

Kedua, materi sejarah yang akan ditransferkan ke anak didik.

Saya tidak tahu persis buku-buku apa yang digunakan oleh para guru untuk menyampaikan sejarah dunia, sejarah Indonesia dan sejarah daerah–dalam hal ini sejarah Kalimantan Tengah. Buku yang digunakan menjadi penting karena isi buku-buku itulah yang akan ditransfer ke anak didik dan kemudian akan berdampak pada pengetahuan, pandangan dan tindakan mereka. Apakah buku-buku sejarah itu masih bersifat Jawa-Sentris, masih bersifat sejarah politis ataukah sejarah obyektif?

Untuk Kalteng, yang didominasi oleh budaya lisan, buku sejarah daerah yang telah ditulis masih sangat langka. “Sejarah Kalimantan Tengah” yang diterbitkan melalui Kerjasama Lembaga Penelitian Universitas Palangka Raya dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah (2006: 176 hlm), boleh disebut sebagai buku teks sejarah resmi tapi boleh jadi bersifat kompromistis dan perlu diaktualisasi alias direvisi. Agar sejarah Indonesia, betul-betul Indonesia-Sentris, saya kira penulisan sejarah lokal yang ilmiah patut digalakkan.

Peristiwa-peristiwa sejarah penting seperti Periode Téték Tatum dengan tokoh Tambun-Bungai, Pertemuan  Tumbang Anoi 1894,  Sjarikat Dajak 1919, Pakat Dajak 1926, PGRRI, Pertempuran Tumbang Samba, Pertempuran Danau Maré, Lasjkar Perempuan Dajak, Hausmann Baboe, H. M. Arsyad, Kapten Muljono, G. Obus (bukan G. Obos), Mahir Mahar, dll, masih belum ditulis atau sedikit sekali ditulis untuk tidak menyebutnya belum sama sekali ditulis. Karena itu obsesi saya adalah bagaimana melahirkan barisan kuat penulis di Kalteng.

Akan sangat ideal sekiranya AGSI Kalteng menaruh perhatian terhadap masalah penulisan sejarah daerah ini sesuai motto Historia Magistra Vitae (Sejarah Guru Kehidupan).

Menurut Willy Yoseph, Ketua Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional (ICDN), ICDN dalam waktu dekat ini akan menyelenggarakan kelas belajar menulis ilmiah untuk para guru di Kalteng. Kerjasama antar organisasi, apalagi seprofesi, boleh jadi akan berguna guna mengatasi berbagai persoalan di dunia kesejarahan dan pendidikan. ICDN nampaknya sangat menaruh perhatian pada dunia pendidikan sebagai kunci pemberdayaan dan pemajuan daerah sebab sebagaimana dikatakan oleh seorang penyair Tiongkok Kuno: “Kitalah yang bertanggung jawab atas timbul-tenggelamnya negeri ini”. Timbul-tenggelamnya daerah, penanggung jawabnya adalah kita anak-anak daerah.

Sejarah Kalteng juga mengatakan demikian. Tidak ada satupun kemajuan Kalteng diperoleh sebagai hadiah dan kebaikan hati siapapun. Semuanya diperoleh dengan kucuran darah dan air mata putera-puteri daerah. “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” pesan terakhir Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia.

Saya menunggu karya-karya pemberdayaan dan pemajuan AGSI Kalteng selanjutnya. Seminar hanyalah satu item kegiatan dari usaha besar menjadikan sejarah sebagai guru kehidupan.

Selamat berseminar dan terima kasih atas ajakan serta di pembukaan kegiatan penting ini.

Palangka Raya, 26 November 2022

Kusni Sulang

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Tantangan Guru Mulok  dalam Mendidik Generasi Muda Dayak di Era Revolusi Industri 4.0

Pokok-Pokok Paparan untuk ICDN (Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional)

Waktu/Tempat: Sabtu, 19 November 2022/Aula Golden Christian School

Penyunting: Andriani SJ Kusni

1.   Tentang Salam

Barangkali ucapan selamat begini lebih membumi. Saya juga tidak menggunakan ucapan yang disebut “Salam Dayak” versi MADN dan DAD “adil katalino, bacuramin ka saruga, baséngat kaju bata”, karena saya anggap yang disebut salam itu bukan salam tapi kalimat. Untuk mengetahui salam Dayak sebenarnya, kita dituntut melakukan penelitian atau riset.

Seberapa jauh dan seberapa sungguh-sungguh kegiatan riset telah dilakukan di provinsi yang kurang lebih mempunyai 31 lembaga pendidikan tinggi ini? Pekerjaan Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional (ICDN) tentunya  tidak akan luput dari riset. Riset, bukan hanya survey sambil lalu yang dilakukan dua tiga hari atau seminggu. Di Kalteng sangat banyak yang seniscayanya diteliti. 

2.   Terima Kasih kepada ICDN

Niscaya saya sampaikan terima kasih kepada ICDN, secara khusus kepada sohib saya Elisae Sumandie, yang telah mengajak saya dalam seminar bertema penting ini.

Di tahun-tahun awal ICDN berdiri, saya pernah mencoba datang ke Bétang Pak Willy, ingin tahu dan melihat kemungkinan untuk serta dalam diskusi persiapan. Barangkali karena penampilan saya terlalu sederhana, saya diterima dengan acuh dan dingin. Saya paham bahwa di negeri ini penampilan fisik merupakan hal yang pertama-tama orang perhatikan. Kemudian saya pergi dengan senyum di hati. Undangan serta dalam seminar ini merupakan suatu kehormatan bagi saya.

Sebenarnya banyak hal yang ingin saya bicarakan dengan ICDN, mulai dari visi-misi, program-programnya guna melaksanakan visi-misi, ICDN dan politik, ICDN dan hari esok Orang Dayak dan Tanah  Dayak, ICDN dan difusi ide, ICDN dan riset,  dll.

Dalam hal ini, saya tertarik dengan The Habibie Center (sekarang dipimpin oleh teman saya, seorang sastrawan Bugis Andi Makmur Makka, orang kepercayaan Habibie),  sebagai sebuah lembaga yang mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas dengan cukup berhasil dan berkelanjutan. Barangkali pengalaman The Habibie Center ada gunanya dipelajari seperti juga pengalaman Orang Minangkabau, Flores, Batak, dll.

Tentang visi-misi yang dapatkan di TOR Kegiatan hari ini, saya melihat ada campur-aduk antara visi dan misi yang tidak menjadi topik.

3.   Tunjung Nyahu sebagai Filosofi Kecendekiawanan Dayak

Sekalipun tidak tergabung dalam ICDN, saya mengikuti dengan penuh perhatian semua kegiatan ICDN lebih daripada kegiatan-kegiatan partai politik, karena ICDN dari namanya mengatakan bahwa ia adalah organisasi para cendekiawan–khususnya cendekiawan Dayak.

Cendekiawan bagi saya lebih dari lulusan sekolah tinggi atau orang sekolahan. Lulusan sekolah tinggi belum tentu cendekiawan. Seorang cendekiawan adalah seorang peragu, penanya dan pencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya. Riset merupakan salah satu cara cendekiawan mengenal keadaan dan bahan penting baginya dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan.

Sharif Shaarydramawan Malaysia terkenal, mengatakan bahwa hakikatnya tidak semudah itu. Ia berkata:

Belajar di universitas bukan jaminan seseorang dapat menjadi cendekiawan… seorang cendekiawan adalah pemikir yang senantiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu. Lebih dari itu, seorang intelektual juga seseorang yang mengenali kebenaran dan juga berani memperjuangkan kebenaran itu, meskipun menghadapi tekanan dan ancaman, terutama sekali kebenaran, kemajuan, dan kebebasan untuk rakyat.”

Sharif Shaary menegaskan bahwa seorang “cendekiawan” bukan hanya sekadar berpikir tentang kebenaran tetapi harus menyuarakannya, apapun rintangannya. Seorang cendekiawan yang benar tidak boleh netral dan harus memihak kepada kebenaran dan keadilan. Dia  “tidak boleh menjadi cendekiawan bisu, kecuali dia betul-betul bisu atau dibisukan”.

Jika betul-betul bisu, seorang cendekiawan masih dapat bertindak dengan menyatakan pikiran melalui penulisan yang akhirnya akan sampai juga kepada khayalak ramai. Inilah yang dikatakan cendekiawan bisu yang tidak bisu. Sebaliknya, terdapat cendekiawan yang tidak bisu tetapi bisu. Dia menjadi bisu mungkin karena “dia takut atau berkepentingan”.

Cendekiawan palsu akan mengelabui mata dan pikiran rakyat dengan kebenaran palsu melalui penyelewengan fakta dan pernyataan keliru. Cendekiawan palsu banyak menggunakan retorika kosong (lihat: Faizal Yusup, Bicara tentang Mahathir, Pekan Ilmu Publications Sdn Bhd (2004). ISBN 983-2567-30-0).

Dalam filosofi Dayak Ngaju, kedudukan dan peran cendekiawan sebagaimana dituturkan oleh Sharif Shaary disebut sebagai “tunjung nyahu” (cahaya kilat di ketinggian) yang kemudian cahaya tersebut menerangi alam sekitar.

Berangkat dari konsep demikian maka para pendiri Provinsi Kalimantan Tengah berjuang mendirikan Universitas Palangka Raya (UPR) dengan harapan UPR bisa menjadi “Otak Kalimantan”,  “Otak Kalteng”(wawancara dengan T. T. Suan, Palangka Raya, 2019). Barisan cendekiawan ‘Tunjung Nyahu’ jadinya merupakan tipe cendekiawan yang dibayangkan akan terbentuk oleh para pendiri  Kalteng  ketika UPR dibentuk.

Adakah cendekiawan tipe demikian di dalam sejarah Tanah Dayak Kalteng?

Saya melihat cendekiawan tipe demikian terdapat pada Hausmann Baboe–lulusan Sekolah Raja Bogor–pendiri Sjarikat Dajak 1919 yang kemudian pada 1926 berganti nama menjadi Pakat Dajak. Hausmann Baboe-lah yang mengkoreksi kesalahan-kesalahan Pertemuan Tumbang Anoi 1894–titik hitam dalam sejarah Dayak–baik secara teori maupun praktek. Sayangnya, tokoh kebangkitan Dayak ini kurang mendapat perhatian.

Sejarah mengatakan bahwa kunci kemajuan dan kemunduran terletak pada kualitas sumber daya manusia. Pada kualitas manusia daerah, etnik atau bangsa itu. Kualitas manusia, peran penting manusia ini dalam era revolusi industri 4.0 dan atau masyarakat 5.0 tetap berada posisi menentukan daripada teknologi atau mesin. Mesin diciptakan dan dikontrol oleh manusia.

Tentang hal ini, melalui riset mereka, Andrean F. Winaka dan Arlyta Dwi Anggraini sampai pada kesimpulan sbb:

“Untuk menghadapi revolusi industri 4.0, ada beberapa keahlian yang dibutuhkan agar dapat sukses dalam menghadapi dinamika dunia kerja yang terus berubah. Empat  keahlian utama yang yang  dibutuhkan untuk menghadapi industri 4.0. itu adalah:

Pertama, kita harus memiliki keterampilan informasi, media, dan teknologi. Dengan istilah lain, kita harus melek teknologi. Yang dimaksud dengan keterampilan informasi, media, dan teknologi meliputi literasi media, keaksaraan visual, literasi multikultural, kesadaran global, dan literasi teknologi.

Kedua, keterampilan belajar dan berinovasi yang meliputi kreativitas dan keingintahuan, pemecah masalah (problem solving), dan pengambil resiko. Ketiga, terampil dalam hidup dan belajar seperti memiliki jiwa kepemimpinan dan bertanggung jawab, memiliki nilai etis dan moral, produktivitas dan akuntabilitas, fleksibilitas dan adaptasi, sosial dan lintas budaya, inisiatif dan mengarahkan diri.

Keempat, memiliki kemampuan dalam berkomunikasi yang efektif seperti mampu bekerja dalam tim dan berkolaborasi, memiliki tanggung jawab pribadi dan sosial, dalam berkomunikasi harus interaktif, memiliki orientasi nasional dan global” (https://indonesiabaik.id/infografis/keterampilan-untuk-hadapi-revolusi-industri-40).

Bagaimana kualitas lulusan dari kurang lebih 31 lembaga pendidikan tinggi Kalteng? Sudahkah menjadi “Otak Kalimantan” dan “Otak Kalteng”?

Jawabannya terdapat pada data: 2009 di antara 28-30 orang penduduk Kalteng yang 2,5 juta terdapat seorang (1) lulusan universitas atau pendidikan tinggi. Sekarang tentu perbandingannya sudah lain lagi. Boleh jadi 15:1 atau 10:1. Apakah Kalteng maju melesat? Kalau tidak, maka pasti ada masalah di dunia pendidikan kita.

Kalau cendekiawan sebagaimana dikatakan oleh  Sharif Shaary “adalah pemikir yang senantiasa berpikir dan mengembangkan (serta) menyumbangkan gagasannya untuk kesejahteraan masyarakat. Ia juga adalah seseorang yang mempergunakan ilmu dan ketajaman pikirannya untuk mengkaji, menganalisis, merumuskan segala perkara dalam kehidupan manusia, terutama masyarakat di mana ia hadir khususnya dan di peringkat global umum untuk mencari kebenaran dan menegakkan kebenaran itu”, apakah cendekiawan Dayak Kalteng berciri demikian ataukah terpenjara dalam instanisme?  Saya khawatir, cendekiawan atau orang sekolahan kita lebih cenderung bangga pada kertas ijazah tapi kepala dan pengetahuan kosong.

Bukanlah kebetulan apabila gelar akademi seseorang terkadang lebih panjang dari pada nama diri, lebih-lebih di negeri-negeri atau daerah-daerah yang sedang berkembang–wujud lain daripada lebih mengutamakan bentuk atau penampilan daripada isi sebagaimana pengalaman saya pertama kali datang ke bétang Pak Willy seperti saya tuturkan di atas.

4.   Guru, Generasi Muda dan Era Revolusi Industri 4.0

Saya mulai dari Revolusi Industri 4.0. Apakah Revolusi Industri 4.0?

Dimulai Sejak Revolusi Industri 1.0

Penemuan mesin uap pada abad ke-18 yang dipakai untuk proses produksi barang menandai revolusi industri 1.0. Inggris memanfaatkan mesin uap tersebut untuk meningkatkan produktivitas industri tekstil dengan menjadikannya sebagai alat tenun mekanis. Ini menjadi akhir untuk peralatan kerja yang awalnya bergantung pada tenaga hewan dan manusia.

Revolusi industri 1.0 ini membuat bangsa Eropa mampu mengirim kapal perang ke semua lokasi di dunia dalam waktu yang lebih singkat. Dampaknya berlanjut sampai pencemaran lingkungan karena asap mesin uap dan limbah-limbah pabrik lainnya. 

Revolusi Industri 2.0

Terjadi pada awal abad ke-20, revolusi industri 2.0 ditandai oleh penemuan tenaga listrik. Mobil mulai secara massal diproduksi pada akhir tahun 1800-an. Masalah kendala waktu dalam proses merakit satu mobil yang harus dilakukan seorang perakit mobil dari awal hingga akhir terselesaikan saat muncul revolusi “lini produksi” yang memanfaatkan “ban berjalan” di tahun 1913. Ini mempermudah proses produksi karena tidak lagi butuh satu orang untuk merakit satu mobil karena mereka dilatih menjadi spesialis yang fokus mengurus satu bagian saja. 

Revolusi Industri 3.0

Manusia masih punya peran penting dalam produk produksi barang hingga revolusi industri 2.0. Ini berubah setelah revolusi industri 3.0, abad informasi dimulai dengan munculnya mesin yang bisa bergerak dan berpikir sendiri, yaitu: komputer dan robot.

Revolusi Industri 4.0

Klaus Schwab selaku Ketua Eksekutif World Economic Forum (WEF) adalah orang yang untuk pertama kalinya memperkenalkan revolusi Industri 4.0. Dalam perkenalannya, revolusi ini disebut akan secara fundamental mengubah hidup dan kerja manusia. Dibanding pendahulunya, revolusi industri ini punya ruang lingkup, skala, dan kompleksitas lebih luas.

Sejumlah bidang yang memanfaatkan teknologi baru untuk membuat terobosan adalah:

  1. Robot kecerdasan buatan
  2. Teknologi nanoB
  3. Bioteknologi
  4. Teknologi komputer kuantum
  5. Blockchain
  6. Teknologi berbasis internet
  7. Printer 3D

Apa Itu Industri 4.0

Untuk mengetahui apa itu industri 4.0, Anda bisa mencari pengertiannya menurut para ahli. Secara sederhana, revolusi industri 4.0 merupakan era industri yang memungkinkan seluruh entitas di dalamnya untuk saling berkomunikasi kapan saja secara real time dengan memanfaatkan teknologi internet (dikenal dengan istilah IoE-internet of everything). Kemudahan ini mendorong tercapainya kreasi nilai baru. 

Contoh penerapan revolusi industri 4.0 yang sudah terlaksana di Tanah Air adalah kebijakan e-smart Industri Kecil dan Menengah (IKM). Kebijakan tersebut membantu para pelaku usaha untuk secara lebih masif dapat mempromosikan produk mereka di platform digital.

Apa Itu Society 5.0

Semua kemajuan dan perubahan yang dibawa revolusi industri 4.0 mungkin membuat banyak orang merasa tidak ada revolusi lagi yang bisa terjadi. Namun, pikiran itu musnah setelah muncul era Society 5.0, sebuah konsep yang dihadirkan oleh Federasi Bisnis Jepang. Konsep yang sudah diusulkan dalam 5th Science and Technology Basic Plan ini dijadikan masyarakat masa depan yang harus dicita-citakan oleh Negeri Matahari Terbit ini. 

Sederhananya, era society 5.0 bertujuan untuk mengintegrasikan ruang maya dan ruang fisik. Integrasi tersebut dilakukan untuk membuat semua hal menjadi lebih mudah. Keseimbangan kemajuan ekonomi dengan penyelesaian masalah sosial dengan memanfaatkan sistem yang sangat mengintegrasikan kedua hal tersebut membuat semua hal menjadi mudah, terutama memperluas prospek kerja.

Perbedaan Mendasar antara 4.0 dan 5.0

Dari penjelasan di atas, bisa ditarik kesimpulan bahwa secara garis besar, perbedaan mendasar antara 4.0 dan 5.0 adalah fakta bahwa revolusi industri 4.0 fokus pada aspek melakukan pekerjaan secara otomatis. Sementara itu, era society 5.0 lebih menekankan pada perluasan prospek kerja serta mengoptimalkan tanggung jawab jam kerja dalam menyelesaikan pekerjaan. Sama-sama bertujuan untuk menyejahterakan kehidupan manusia, namun dengan pendekatan yang berbeda (https://onlinelearning.binus.ac.id/2021/05/23/sejarah-revolusi-industri-4-0-dan-bedanya-dengan-society-5-0/).

Inti masalah terletak pada hubungan antara manusia dan teknologi. Akan sangat berbahaya bagi kehidupan apabila teknologi canggih berada di tangan manusia yang tidak berhati nurani atau bernurani cacat. Sehingga di era apapun, termasuk di era Revolusi Industri 4.0 dan Masyarakat 5.0,  manusia yang manusiawi  tetap menjadi soal sentral bagi kehidupan umat manusia. Teknologi adalah salah satu sarana untuk memanusiawikan kehidupan.

Angkatan muda yang sekarang disebut Angkatan Milleniale, dulu disebut “pemuda harapan bangsa”, mereka tidak bakal menjadi harapan bangsa jika mereka hanya bersandar pada penguasaan teknologi tapi pandangan dan sikapnya tidak manusiawi. Era apapun, hati yang manusiawi dan keterampilan yang mumpuni adalah paduan yang tetap relevan. Angkatan milleniale yang nuraninya tidak manusiawi hanya akan menjadi ancaman bagi bangsa, etnik atau daerah itu.

Tugas para pendidik, baik itu guru, orang tua, berbagai macam organisasi, pemuka masyarakat atau agama  adalah bagaimana melahirkan angkatan muda yang manusiawi dan berketerampilan mumpuni.

Untuk menjadi pendidik yang baik, tentu dari para pendidik itu dituntut kualitas tertentu yang padan. Sebab “buah jatuh tak jauh dari pohon”, ujar pepatah.  Tuntutan ini lebih-lebih terarah kepada para guru yang profesinya memang mengajar. Guru adalah panutan. Apabila guru kencing berdiri maka murid akan kencing berlari.

Sekali lagi, sentral permasalahan tetap terletak pada pembentukan manusia yang manusiawi. Transfer pengetahuan tanpa pembentukan karakter manusiawi akan membuat peserta didik akan jadi tukang-tukang ahli. Sedangkan yang kehidupan perlukan adalah manusia yang manusiawi dan ahli.

Yang disebut ‘ahli’ adalah ‘mereka yang tahu segala tentang sesuatu dan tahu sesuatu tentang segala’. Keahlian begini tentu saja tidak bisa disandarkan pada mesin pencari Google saja.  Agaknya pembentukan manusia yang manusiawi, berkarakter manusia tapi juga berkeahlian mumpuni merupakan masalah yang muncul menantang para pendidik, terutama para guru.

Selain manusiawi dan ahli, manusia yang ingin dibentuk adalah anak manusia yang zamani tapi tidak lepas akar sejarah dan budaya di mana ia berasal.

Singkatnya, manusia yang ingin dibentuk oleh para pendidik adalah yang manusiawi, ahli dan zamani. Sayangnya, di Kalteng di antara 31 lembaga pendidikan tinggi yang ada, tidak satupun yang punya jurusan atau prodi sejarah dan antropologi sehingga tidak sedikit Uluh Kalteng bahkan Uluh Itah yang tidak tahu sejarah daerah dan etniknya sendiri sehingga terancam menjadi angkatan tanpa sejarah atau paling tidak buta sejarah dan tidak tahu apa-siapa dirinya. Adanya amnesia millenial pun bukan ilusioner.

Secara kebudayaan, Kalteng dan Dayak adalah  daerah dan etnik yang sedang sakit. “The sick old man”, ungkapan yang sering digunakan oleh para sejarawan.

Untuk bisa mengasuh peserta didik secara tidak lepas akar sejarah dan budaya, para pendidik dengan sendirinya perlu tahu sejarah dan budaya setempat. Tanpa pengetahuan demikian, para pendidik (baca: guru) akan membawa peserta didik ke alam antah-berantah. Guru pun jadinya dituntut menjadi ahli dan berkarakter pendidik.

5.   Trilogi Manusia Dayak Ideal 

Sastra lisan Dayak Kalteng mengenal Trilogi Manusia Dayak Ideal. ‘Trilogi’ artinya ketiga-tiga unsur itu tidak bisa dipisah-pisahkan karena merupakan satu kesatuan. Pemisahannya akan membawa hasil lain.

Trilogi itu adalah mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh (gagah-berani, pintar-beradat, kritis-tekun). Kritis di sini bisa dimaknai sebagai berpikir dan bertindak out of the box, atau beyond the main stream. Melawan arus.

Saya kira, trilogi ini masih relevan sampai hari ini, termasuk untuk era Revolusi Industri 4.0 dan atau Society 5.0.

6.   Kearifan Lokal

Dalam upaya melahirkan dan membentuk Manusia Dayak Ideal, materi acuan penting adalah kearifan lokal.

Kearifan lokal adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Dalam bahasa asing sering juga dikonsepsikan sebagai kebijakan setempat local wisdom atau pengetahuan setempat “local knowledge” atau kecerdasan setempat local genious, Fajarini (2014:123). Berbagai strategi dilakukan oleh masyarakat setempat untuk menjaga kebudayaannya.

Hal senada juga diungkapkan oleh Alfian (2013: 428). ‘Kearifan lokal’ diartikan sebagai pandangan hidup dan pengetahuan serta sebagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam memenuhi kebutuhan mereka (https://eprints.umm.ac.id/35955/3/jiptummpp-gdl-irawansatr-48429-3-babiip-f.pdf).

Saya tidak memandang semua yang disebut kearifan lokal itu arif dan niscaya dipertahankan.

Ada yang bahkan perlu dikubur. Agar bangsa, etnik atau daerah itu bisa berkembang zamani maka perlu dilakukan dua pemaduan: pemaduan tradisi baik dengan hal-hal positif dari mana pun datangnya. Seleksi pemaduan dilakukan berdasarkan keperluan dan standar zaman.

7.   Peraturan Gubernur Nomor 22 Tahun 2011 Tentang Pelaksanaan Kurikulum Muatan Lokal Kalimantan Tengah

BAB II Kurikulum Mulok, Pasal 6 menyebut bahwa mulok meliputi 12 kearifan lokal berupa:

  1. Bahasa dan sastra daerah
  2. Kesenian daerah
  3. Keterampilan dan kerajinan daerah
  4. Adat-istiadat dan hukum adat
  5. Sejarah lokal
  6. Teknologi lokal
  7. Lingkungan alam/ekosistem
  8. Obat-obatan Tradisional
  9. Masakan tradisional
  10. Obat-obatan tradisional
  11. Olahraga tradisional
  12. Nilai budaya lokal dalam perspektif global

Jam untuk mata pelajaran mulok sangat terbatas yaitu hanya dua jam per minggu. Yang terpokok adalah bahasa dan sastra daerah dan sejarah lokal. Yang lain dijadikan bagian dari kegiatan ekstra kurikulum atau pendidikan jasmani.

Belajar bahasa sama dengan belajar budaya, adat-istiadat, hukum adat, dll. Bagi Uluh Kalteng non Dayak niscaya belajar bahasa Dayak dan sejarah Kalteng. Demikian juga bagi PNS non Dayak.

8.Saran

  1. Standarisasi penulisan bahasa Dayak Ngaju;
  2. Peraturan tentang penggunaan bahasa Dayak pada hari-hari tertentu seperti yang dilakukan oleh Riban sewaktu menjabat Walikota Palangka Raya;
  3. Penggunaan bahasa Dayak untuk hal-hal publik di kantor-kantor dan tempat-tempat publik;
  4. Musik Dayak di kantor-kantor;
  5. Penerbitan-penerbitan dwi bahasa: Dayak dan Indonesia

Terima kasih

Palangka Raya, 19 November 2022

Kusni Sulang

Pidato Kusni Sulang | Pétak Tahaséng Pambélum (Tanah adalah Nafas kehidupan)

Radar Sampit, Minggu, 30 Oktober 2022

Penyunting Naskah Pidato: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

Pidato sambutan Kusni Sulang yang disampaikan atas nama Borneo Institute pada perayaan Hari Tani, kamis, 24 September 2022  di Desa Tumbang Oroi, Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas. Foto: Dok. Pribadi
Pidato sambutan Kusni Sulang yang disampaikan atas nama Borneo Institute pada perayaan Hari Tani, kamis, 24 September 2022  di Desa Tumbang Oroi, Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas. Foto: Dok. Pribadi

Selamat pagi.

Mengharapkan kesejahteraan dan kesehatan untuk semua. Orang Katingan dahulu menyalami sesama dengan: “Hari! Has Eh!” Dijawab: “Has Eh!” Dengan kesejahteraan dan kesehatan itu, lalu kita berjuang untuk selalu berkembang maju dari hari ke hari, bukan lari ke belakang yang terpuruk. Berkembang maju dari hari ke hari ini yang dengan kata-kata lain disebut “Manggatang Utus”. Bagaimana kita bisa berkembang maju dari hari ke hari?

Hal paling mendasar yang harus dipenuhi dahulu untuk maju adalah kita tidak lapar. Ada yang menjadi pengisi perut. Adanya pengisi perut saja tidak cukup karena adanya pengisi perut yang tidak bergizi membuat otak kita tidak berkembang, membuat tingkat kecerdasan kita rendah yang dalam bahasa menterengnya disebut stunting, membuat kita tidak mampu bersaing, tidak bisa tumbuh berkembang menjadi anak manusia sepenuhnya, lalu  menimbulkan berbagai macam penyakit masyarakat. Tidak sakit tapi tidak sehat.

Mengingat kepentingan dasar yang hingga hari ini masih menjadi persoalan utama kita, maka pada perayaan Hari Tani Nasional 24 September ini, Borneo Institute menawarkan slogan “Bertani Kita Teguh, Tidak Bertani Kita Runtuh” yang kami bahasa Dayak-kan menjadi “Malan Itah Bésuh, Diá Malan Itah Déruh”. Dengan malan-manana, malan-bakabun, kita mempunyai beras, mempunyai sayur–mayur dan lauk-pauk yang bergizi. Kalau kita tidak malan maka kadéruh akan datang mengganggu kehidupan kita. Untuk malan-bakabun, syarat utama dan pertama-tama yaitu ketersediaan tanah karena kita tidak bisa malan-manana di udara. Tanah jadinya adalah nafas kehidupan. Pétak tahaséng pambélum.

Malangnya, luas tanah garapan di Kalimantan Tengah (Kalteng) pada tahun 2009 hanya tersisa 20 persen dari luas Kalteng yang besarnya 1,5x Pulau Jawa. Jumlah ini pada tahun 2022 tentu tidak akan makin membesar tapi sebaliknya kian mengecil.

Kebun kelapa sawit, tambang, taman nasional, daerah konservasi, pengusahaan hutan adalah raksasa lapar tanah. Sekarang ada program nasional baru yaitu food-estate yang dalam praktek juga ibarat raksasa lapar tanah. Keadaan menjadi kian parah ketika izin untuk perusahaan-perusahaan diobral bahkan ada yang melampaui batas kabupatennya.

Keadaan ini membuat munculnya tuan tanah-tuan tanah baru di Kalteng. Karena itu, ada saya temukan, untuk ratusan penduduk sebuah desa, yang bertani, yang malan manana tinggal 16-an orang. Mungkinkah jumlah 16-an orang yang malan-manana ini memenuhi keperluan pangan ratusan warga desa? Tentu tidak dan pasti tidak. Akibatnya, desa jadi tergantung pada bahan pangan dari luar. Sedangkan dahulu, tiap keluarga di léwu-léwu (nama dari desa adat Dayak Kalteng) mempunyai karangking, lumbung padi. Akibat lain, berlangsung tanpa henti proses pemiskinan yang melahirkan budaya kemiskinan dan kemiskinan budaya.

Hari ini, kita merayakan Hari Tani, perayaan ketiga di Kecamatan Manuhing Raya. Penetapan tanggal 24 September sebagai Hari Tani Nasional diteken Presiden Soekarno dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 169 Tahun 1963. Tanggal ini bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).

Kemiskinan dan banyaknya petani tak bertanah dan petani gurem merupakan latar belakang kelahiran UUPA.  Sebelum pengesahan UU ini, oleh DPR-GR sejumlah panitia telah dibentuk sejak tahun 1948. Panitia-Panitia itu antara lain:

  • Panitia Agraria Yogya (1948)
  • Panitia Agraria Jakarta (1951)
  • Panitia Soewahjo (1955)
  • Panitia Negara Urusan Agraria (1956)
  • Rancangan Soenarjo (1958)
  • Rancangan Sadjarwo (1960)

Dari berbagai panitia dan rancangan tersebut, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin menerimanya dan melahirkan UUPA.

Lahirnya UUPA bermakna besar bagi bangsa dan negara Indonesia, yaitu:

  • Untuk mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
  • Penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan rakyatnya.

Pada intinya, UUPA dibentuk dengan meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Pembentukan ini dilakukan demi mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam menuju masyarakat adil dan makmur.

Presiden Joko Widodo juga mempunyai Program Reforma Agraria hanya nampaknya berjalan tidak lancar. Tuan tanah baru bukan makin berkurang tapi makin besar, bahkan turut melakukan penyelenggaraan Negara.

Sejarah lahirnya Hari Tani Nasional di atas, memperlihatkan bahwa tanah adalah nafas kehidupan; pétak tahaséng pambélum karena kita tidak bisa bertani di udara.

Hal lain yang patut diingat bahwa monopoli tanah, penguasaan tanah oleh tuan tanah-tuan tanah baru akan menghambat pelaksanaan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah  Asli), yang menyatakan, “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Tanpa tanah, penguasaan monopoli atas tanah akan membuat proses keterpurukan berlanjut, gagasan Manggatang Utus hanya menjadi kata-kata manis pelamis bibir. Dayak akan menjadi jipén kekinian. Inikah pilihan Dayak hari ini?

Sebagai penutup, saya mengajak hadirin merenungi pesan James Brooke (1841-1863) kepada Orang Dayak: “Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik: Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemahlembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah di mana kalian tinggal, sumber penghasilan kalian, dan bahkan makanan yang ada di mulut kalian. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”

Pada tahun 1960-an, pesan dengan isi serupa digaungkan kembali oleh para pendiri Kalimantan Tengah yang pada awalnya dibayangkan sebagai provinsi adat, dalam kata-kata: “Éla sampai témpun pétak batana saré, témpun uyah batawah bélai, témpun kajang bisa puat (Jangan sampai punya tanah beladang di tepi, punya garam hambar di rasa, punya atap basah muatan)”.

Pertanyaan baru yang muncul ketika sudah merenungi pesan-pesan di atas adalah: Apa yang mesti dilakukan untuk menjawab tantangan keadaan demikian yang berlangsung sekarang agar harkat dan martabat manusiawi terjaga? Kita, Dayak mau jadi apa? Mau menjadi budak kekinian (jipén modern) ataukah manusia yang manusiawi?

Orang Dayak-lah yang memastikan jawabannya. Saya hanya menyampaikan salam Uluh Dayak Katingan: Hari! Has Eh! yang bersarikan bahwa Dayak itu Utus Panarung (Keturunan Petarung. Pejuang yang berani dan pandai sampai akhir hayat, bukan tukang kelahi!).

Tumbang Oroi, 24 September 2022


Jurnal Perdesaan Kusni Sulang

Buntoi Juga Minta Jadi Desa Adat

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Pembacaan ikrar janji Uluh Lewu Buntoi yang dideklarasikan bersama oleh seluruh peserta Pumpung Haї pada penutupan Pumpung Haї  Léwu Buntoi, kamis, 20 Oktober 2022. Foto: Kusni Sulang

Semua perkembangan maju di Kalimantan Tengah (Kalteng) bukanlah hadiah dari siapa pun, tapi merupakan hasil perjuangan mandi darah dan air mata, terutama dari warga Dayak sebagai penduduk yang datang lebih awal dan menghuni daerah ini.

Demikian yang saya dapatkan sebagai hipotesa—walaupun sejauh ini saya masih memegangnya sebagai sebuah tesa—ketika membaca periode-periode sejarah Dayak Kalteng.

Kebangkitan untuk bergerak melakukan perubahan maju terjadi pada saat keterpurukan mendekati titik nadir. Melalui suatu proses yang lambat, ketidakpuasan bermetamorfosa menjadi kebangkitan terorganisasi dengan skala melampaui batas-batas provinsi bahkan batas negara.

Proses demikian diperlihatkan oleh tahap-tahap perkembangan munculnya kesadaran mencari jalan keluar dari keterpurukan. Pada mulanya ketidakpuasan dengan yang disebut kemerdekaan diungkapkan dalam bentuk keluh-kesah merata, kemudian berkembang dalam rumusan “Manggatang Utus (Mengangkat Harkat Dan Martabat)” lalu Dayak Misik (Dayak Bangun)”.

Hari ini, kesadaran itu nampaknya mencapai tahap baru seperti tertuang dalam slogan yang dirumuskan oleh Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional (ICDN). Slogan-slogan baru itu adalah “Dayak Bangkit”, “Dayak Maju”, “Dayak Cerdas”, “Dayak Indonesia”.

Hal lain yang tak kurang penting adalah hasrat untuk bersatu yang menggejala.

Soal persatuan di kalangan Dayak bukanlah hal sederhana di tengah semangat “hakayau kulae” (saling memenggal kepala sesama) dan merasa diri semua panglima “semua pangkalima”—semangat yang membiarkan perahu tenggelam daripada menimbanya. Lebih baik hancur bersama-sama daripada membiarkan orang lain yang bukan dirinya naik dan berkembang.

Oleh adanya semangat demikian, bisa dikatakan sampai sekarang, belum ada sebuah organisasi Dayak yang kuat. Keadaan ini diperburuk lagi oleh nampaknya gejala membangun oligarki di kalangan elite kekuasaan Dayak.

Proses kesadaran baru ini pun mulai memperlihatkan diri di daerah perdesaan Kalteng yang mayoritas dihuni oleh etnik Dayak.

Setelah melalui suatu lika-liku, proses mencoba dan gagal, untuk mendapatkan jalan keluar dari keterpurukan struktural, sejak tiga tahun silam, tiga desa di Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, yaitu desa-desa Samuї, Tumbang Oroi dan Luwuk Tukau melalui sebuah referendum memutuskan untuk mengubah status dari desa administratif menjadi desa adat. Warga ketiga desa itu melihat bahwa pembentukan desa adat sebagaimana ditunjukkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2022 merupakan jalan keselamatan bagi mereka.

Kepala desa tiga desa tersebut lalu melayangkan surat permintaan kepada Bupati Kabupaten Gunung Mas. Pada 24 September 2022, ketika hadir di perayaan Hari Tani Nasional di Tumbang Oroi, Jaya S. Monong, SE, menegaskan sokongan kuatnya terhadap pembentukan desa adat itu.

Dalam dialog dengan para petani di Kecamatan Manuhing Raya yang hadir pada perayaan Hari Tani Nasional itu, Bupati Gunung Mas berjanji untuk melakukan apa yang bisa dilakukan agar desa adat bisa terbentuk di tiga desa Gunung Mas. Langkah ketiga desa Kecamatan Manuhing Raya ini, kemudian diikuti oleh Desa Buntoi, Kabupaten Pulang Pisau.

Tekad untuk mengubah status Desa Buntoi menjadi desa adat diambil dalam Pumpung Haї yang diselenggarakan pada kamis, 20 Oktober 2022, dan dituangkan dalam bentuk Ikrar Empat Janji pada akhir Pumpung Haї. Pumpung Haї adalah rapat besar yang diikuti oleh seluruh warga desa dewasa. Keputusan-keputusan yang diambil dalam Pumpung Haї mengikat seluruh warga desa. Rapat besar ini merupakan bentuk demokrasi langsung yang telah mentradisi dalam masyarakat Dayak. Tradisi ini seakan melenyap pada masa Orde Baru, dan baru diangkat kembali sejak 6 tahun lalu oleh Borneo Institute.

Dr. Agustin Teras Narang, SH, anggota DPD-RI turut hadir dalam Pumpung Haї ini sedangkan Sekretaris Daerah Kabupaten Pulang Pisau, Tony Harisinta hadir mewakili pemerintah Kabupaten dan Bupati Pudjirustaty Narang yang berhalangan datang karena masih berada di Jakarta.

Teras Narang dalam sambutannya menjelaskan tentang apa arti penting desa adat dan mengapa desa adat perlu dibentuk. Menurut senator asal Kalteng itu, keberadaan Desa Adat sangat penting karena berperan sebagai benteng pertahanan kebudayaan masyarakat adat di Kabupaten Pulang Pisau. Lewat desa adat diharapkan nilai luhur budaya dapat dilestarikan dan dikembangkan sesuai kebutuhan zaman.

Namun perlu diingat, lanjut dia, Desa adat bukan bicara soal masa lalu, melainkan masa kini dan yang akan datang. Desa Adat pun bukan membedakan suku dan agama masyarakat yang ada, tetapi memperkuat peranan adat dalam menjawab kebutuhan masyarakat yang berkembang secara beradab.

“Lebih jauh, saya harapkan kelak desa adat dapat mandiri dan bahkan bisa sebaliknya berkontribusi bagi pembangunan daerah. Kita bisa dan harus bisa, karena kalau bukan kita yang mengembangkan kebudayaan kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi?,” demikian Teras Narang (https://kalteng.antaranews.com/berita/599093/teras-narang-apresiasi-pemkab-pulpis-dukung-pembentukan-desa-adat-di-buntoi).

Sekretaris Daerah Kabupaten Pulang Pisau, Tony Harisinta yang berbicara mewakili bupati, selain menyatakan dukungan kuat terhadap pembentukan dan penetapan desa adat, juga menjelaskan bahwa selain di Buntoi, pemerintah kabupaten berencana untuk membentuk dan menetapkan desa adat lain di sekitar Kahayan Tengah.

“Rencananya ada dua desa yang akan dibentuk menjadi  Desa Adat, yakni di Buntoi dan di sekitar Kahayan Tengah. Kami pun sudah melakukan berbagai persiapan dan tinggal menunggu usulan dari desa yang bersangkutan,” jelasnya.

Menurut Tony, mendorong dan memfasilitasi pembentukan serta penetapan desa adat merupakan kebijakan yang  diambil oleh Pemerintah Daerah Pulang Pisau.

“Ini yang akan terus kami dorong dan fasilitasi,” lanjutnya. Dalam sambutannya, Tony juga menjelaskan bahwa pembentukan Desa Adat memberikan banyak manfaat dalam mengoptimalkan pelestarian adat maupun budaya, pengembangan masyarakat serta tidak akan mengurangi hak desa untuk memperoleh dana desa dari pemerintah pusat maupun daerah. Sebab, dengan adanya Desa Adat, pemerintah pusat justru akan memberikan tambahan anggaran melalui Dana Alokasi Umum (DAU).

Janji-janji sudah diucapkan. Yang sekarang dinanti adalah menjelmanya kata-kata menjadi kenyataan sehingga kita meyakini kata-kata merupakan terjemahan benar dari tindakan. Kepercayaan  terbangun dan terpelihara.

Saya sangat pasti bahwa banyak desa di Kalteng yang juga ingin menjadi desa adat, apalagi ketika berjuang mendirikan Kalteng, ide dasar semulanya adalah Kalteng sebagai Provinsi Adat Dayak. Demikian yang dikatakan oleh dokumen-dokumen sejarah provinsi ini.

Hanya saja di sini, saya melihat bahwa tidak sedikit pihak yang takut sejarah. Bisakah laju sejarah itu diredam?[]


Épat Janji Uluh Léwu Buntoi

  1. Kami warga Léwu (Desa Adat) Buntoi berjanji untuk memelihara, mengangkat martabat dan harkat adat-budaya Dayak di Léwu Buntoi;
  2. Kami warga Léwu Buntoi siap memelihara dan menjaga kampung-halaman (pétak danum), garis perbatasan Léwu Buntoi  warisan leluhur beserta segala peninggalan sejarah;
  3. Kami warga Léwu Buntoi berbulat hati untuk mendirikan kembali dan memperkokoh Léwu ini menjadi desa adat Buntoi sesuai peraturan Negara sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa;
  4. Kami warga Léwu Buntoi menerima dan menyerap segala perubahan apa saja yang baik dari luar yang datang dari mana pun juga.

Dideklarasikan bersama oleh seluruh peserta Pumpung Haї pada penutupan Pumpung Haї Léwu Buntoi, 20 Oktober 2022.

Naskah asli tulisan tangan warga, ‘Empat Janji Uluh Lewu Buntoi’. Foto: Kusni Sulang


Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit Asuhan Kusni Sulang-Andriani SJ Kusni, Minggu, 30/10/2022