Radar Sampit, Minggu, 27 November 2022
Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny
Pada suatu hari, dalam sebuah percakapan sangat terbatas, seorang jenderal salah seorang penanggung jawab keamanan Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng) ini, pernah bertanya (sesungguhnya mengatakan pendapatnya) kepada saya.
“Mana pemangku adat yang kuat dan didengar oleh seluruh Orang Dayak? Mana organisasi Dayak yang kuat dan bisa mempersatukan semua Dayak?”
Sang Jenderal melanjutkan kata-katanya, “Saya kira, kalian Orang Dayak tidak bisa membela kepentingan kalian sendiri.”
“Saya kira Anda benar, kami hanya bersatu seperti otomatis pada saat melihat adanya bahaya fisik mengancam semua. Pada saat itu, tanpa diperintah, siapa pun turun menghadapi ancaman tersebut bersama-sama. Bahkan Dayak dari Sabah-Sarawak pun turun gunung untuk turut menghadapi ancaman tersebut. Sesudah itu, persatuan kembali buyar. Sampai hari ini masalah persatuan masih merupakan persoalan besar di kalangan Dayak. Saya mau cerita tentang sebuah kisah rakyat Dayak yang kiranya berkaitan dengan soal persatuan ini.”
“Ceritakanlah. Saya dengar,” ujar Sang Jenderal
“Sebutlah judul cerita rakyat ini Kisah Tamanggung dan Maharaja. Kisah ini sangat populer di kalangan masyarakat Dayak Kalteng.”
“Saya dengar,” Sang Jenderal berkata sambil tersenyum kecil dan memperbaiki duduknya lalu menyeruput kopi dari cangkir di depannya.
“Konon, dahoeloe kala, pada suatu hari Maharaja dan Tamanggung sepakat untuk berperahu ke hilir untuk mengunjungi sebuah kampung tetangga. Maharaja duduk di haluan, sedangkan Tamanggung duduk di buritan. Sambil mengemudi perahu, Tamanggung melihat adanya air yang masuk dengan dengan deras ke dalam perahu. Nampaknya, perahu yang mereka pakai itu bocor pada bagian tengah. Tamanggung menyadari, jika tidak ditimba segera mereka akan karam. Sedangkan ia sendiri tidak bisa meninggalkan kemudi. Tamanggung pun lalu berkata:
“Maharaja, perahu kita ternyata bocor. Apakah kau bisa menimbanya?”
“Apa?”
”Perahu kita ternyata bocor. Apakah kau bisa menimbanya?”
“Kau suruh aku menimba perahu? Kau tahu, aku ini siapa? Aku ini Maharaja. Kaulah yang sepatutnya menimbanya?”
“Kau tak tahu aku ini siapa? Aku ini Tamanggung yang terkenal di penjuru-penjuru angin benua ini.”
Air masuk perahu kian deras dan kian banyak. Perahu benar-benar segera karam jika tidak segera ditimba. Tapi kedua-duanya tidak ada yang mau mengalah dan mau menimba. Kedua-duanya merasa berkedudukan tinggi, merasa semua orang hebat dan pangkalima. Benar saja, belum sampai kampung tujuan, perahu pun karam. Maharaja dan Tamanggung berpegang pada bibir perahu, menjadikan perahu sebagai pelampung. Perahu, dan kedua pangkalima itu hanyut ke hilir diseret arus. Keduanya tak ada yang merasa menyesal berada dalam keadaan demikian.
Ketika berada di depan kampung tujuan, penduduk yang menanti keduanya tercengang melihat ada dua orang hanyut berpelampung perahu karam. Tanpa berlama-lama, beberapa pemuda kampung pun segera turun ke tepian mengambil perahu menuju dua orang hanyut di tengah sungai.
”Oooo, Maharaja dan Tamanggung, ya,” ujar seorang pemuda kampung yang datang menolong.
Dari tengah sungai, pemuda itu berteriak ke penduduk yang berada di sekitar tepian, “Maharaja dan Tamanggung! Maharaja dan Tamanggung!”
Mendengar pemberitahuan pemuda, warga kampung saling pandang dengan pikiran masing-masing. Sampai di tepian, tetua kampung yang melihat Maharaja dan Tamanggung basah-kuyup meminta ibu-ibu mencarikan pakaian kering untuk keduanya.
”Bagaimana kalian bisa karam?”
“Perahu kami bocor,” jawab Tamanggung, tapi tidak menjelaskan mengapa tidak ditimba. Tetua kampung yang sudah cukup banyak makan asam-garam kehidupan hanya tersenyum kecil.
”Untung tak ada buaya yang lewat,” lanjut tetua kampung sambil mengajak Maharaja dan Tamanggung ke rumah menggantikan pakaian basah dengan yang kering.
“Kisah saya berakhir di sini, Jenderal.”
”Apa yang kau mau katakan dengan kisah rakyat ini?” tanya Sang Jenderal sambil tertawa kecil.
“Bahwa Orang Dayak itu pongah, merasa diri semua pangkalima, sama hebat. Lebih baik hancur bersama-sama daripada mencari jalan keluar. Anggapan demikianlah yang membuat persatuan Dayak jadi tidak kuat. Karena merasa diri sama-sama pangkalima, tidak seorang pun dari mereka yang membiarkan pangkalima lain menonjol. Daripada ada yang lebih menonjol, lebih baik sama-sama hancur. Dalam bahasa Dayak Ngaju, perilaku begini disebut hakayau kulae. Saling memenggal kepala.”
***
Saya jadi teringat akan cerita paman bahwa almarhum Tjilik Riwut dalam kelelahan oleh kerjanya pernah berkata, “Tidak gampang mengurus Orang Dayak”.
Boleh jadi maksudnya, tidak gampang mempersatukan Orang Dayak untuk bersama-sama maju karena semua merasa diri pangkalima, menganggap diri tak kalah hebat, tak kalah mampu, bahkan memandang diri sendirilah yang terhebat sehingga tidak gampang bagi para pangkalima itu menghargai atau mengakui keunggulan pangkalima lain. Perilaku mengakar beginilah yang membuat persatuan dan solidaritas jadi sulit digalang. Apalagi ada pandangan bahwa ‘saya tidak makan beras pemberianmu’.
Pandangan bahwa ‘saya tidak makan beras pemberianmu’ menunjukkan bahwa secara ekonomi, saya tidak tergantung pada kau, yang berarti saya mempunyai sumber ekonomi berupa pemilikan alat-alat produksi sendiri sebagai sandaran hidup. Tidak ada kepemilikan bersama seperti marga misalnya sehingga solidaritas dan kebersamaan tidak menjadi ciri utama masyarakat Dayak.
Saya kira di masyarakat bétang pun tidak terdapat kepemilikan bersama.
Masing-masing keluarga yang hidup di bétang, walaupun mempunyai kaitan hubungan darah (berbeda dengan gambaran yang umum ditutur hari ini), tapi secara ekonomi masing-masing keluarga mempunyai alat produksi sendiri-sendiri. Keluarga-keluarga ini menghidupi diri sendiri. Bétang hanyalah menjadi tempat tinggal bersama. Apalagi sesungguhnya secara arsitektur, bétang adalah bangunan vernakuler–bangunan yang dibangun untuk menjawab lingkungan. Barangkali hal-hal demikianlah yang menjadi dasar ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan yang membuat persatuan Orang Dayak tidak cukup kuat seperti persatuan warga marga misalnya, bahkan bisa dikatakan bersifat individualis.
Barangkali ke depan, apabila proses pemiskinan dan marjinalisasi struktural terus berlangsung, pola pikir dan mentalitas Orang Dayak akan mengalami pergeseran.
Ada dua bentuk kemungkinan bentuk pergeseran ini.
Pertama, tumbuhnya budaya kebersamaan karena sadar bahwa hanya dengan kebersamaan dan solidaritas proses kemiskinan dan keterpinggiran struktural bisa dihentikan dan pola pikir serta mentalitas baru Dayak lahir. Untuk bisa lahir dan berkembangnya pola pikir dan mentalitas baru, diperlukan barisan pelopor dan organisator berupa cendekiawan Dayak yang berkomitmen manusiawi dan ahli. Cendekiawan pelopor dan organisator inilah yang diharapkan menjadi penggerak dan pendongkrak kebangkitan masif. Tapi dengan latar belakang politik, sosial, ekonomi dan budaya seperti sekarang, tentu saja tumbuhnya barisan cendekiawan pelopor dan organisator tipe ini bukanlah soal sederhana. Pesimisme lebih memperlihatkan dominasi terhadap optimisme.
Kemungkinan kedua, makin berkembangnya budaya kemiskinan dan kemiskinan. Kemungkinan kedua ini, lika-liku perjalanannya nampak jauh lebih lancar, apalagi umumnya cendekiawan bukanlah golongan masyarakat yang kesetiaan dan keteguhan pendiriannya bisa diandalkan, lebih-lebih jika mereka hidup di menara gading bagaikan ‘anak raja memandang dunia dari jendela istana kerajaan’ jika meminjam ungkapan penyair Perancis Paul Eluard. Pandangan-pandangan dan tindakan anak raja sering bukanlah pandangan dan tindakan yang menguntungkan mayoritas warga negeri, bahkan sebaliknya sering menabur petaka. Oligarki dan anak raja, jarak pandangan dan sikap mereka tidaklah terlalu jauh. Di Kalteng, tentu saja ada cendekiawan ‘anak raja’ itu. Terdapat gejala oligarki itu.
***
Kembali ke soal ‘semua pangkalima’.
Sesungguhnya semangat ‘semua pangkalima’ tidak jelek seluruhnya.
Adalah hal baik, bahwa seseorang merasa dirinya juga bisa dan mampu melakukan kualitas yang dikerjakan oleh pihak lain. Akan sangat baik, apabila kepercayaan diri begini berkembang menjadi persaingan sehat untuk mendapatkan kualitas-kualitas terbaik untuk kehidupan. Persaingan sehat guna mendapatkan kualitas-kualitas puncak, dalam filosofi Dayak Ngaju tertuang dalam ungkapan ‘hatindih kambang nyalun tarung mantang lawang langit’ yang artinya ‘berlomba-lomba menjadi anak manusia yang paling manusiawi sehingga paling tidak menjadi yang pertama datang ke gerbang tempat asal Saran Danum Sangiang’.
Berlomba artinya bersaing untuk menjadi yang terbaik dari yang baik-baik, menjadi yang paling manusiawi. Bukan untuk memotong kepala sesama atau hakayau kulae dalam bahasa Dayak Ngaju. Tujuannya, jelas sesuai dengan visi-misi hidup-mati manusia Dayak sebagai anak enggang putera-puteri naga (réngan tingang nyanak jata—anak enggang putera-puteri naga) yaitu menjadikan bumi, tanah air, kampung-halaman (léwu) atau apapun namanya, sebagai tempat di mana manusia hidup secara manusiawi. Yang berlomba pasti mempunyai kualitas-kualitas unggul. Apabila kualitas-kualitas unggul ini diorganisasi dan dipersatukan maka ia akan menjadi kuantitas berkualitas. Saya kira seyogyanya semangat ‘semua pangkalima’ dipahami sejalan dengan filosofi ‘hatindih kambang nyalun tarung mantang lawang langit’, bukan hakayau kulae dan atau lebih baik sama-sama hancur, sama-sama karam daripada kau yang dapat dan menonjol.
Orang yang mampu bersaing secara sehat untuk mencapai kualitas puncak, bisa dipastikan mempunyai kualitas toleransi dan kesabaran serta berdada lapang seperti Tambun-Bungai dengan dada selebar tujuh jengkal. ‘Tujuh jengkal’ adalah lambang dari berdada lapang, salah-satu cara Orang Dayak menuturkan sejarah. Dengan berdada lapang, cendekiawan pelopor dan organisator bisa merangkul sebanyak mungkin orang yang mungkin dipersatukan. Saat inilah maka perubahan maju bisa diharapkan.
Jadi, mengapa tidak? Bersatulah para pangkalima! Jadilah kuantitas berkualitas. Ini yang belum dilakukan oleh Orang Dayak.***