Telah siar di Harian Radar Sampit, Halaman Budaya Sahewan Panarung, Minggu 12/03/2017
Wawancara Khusus Hang Ali Saputra, pemuka masyarakat etnik Tionghoa Kalimantan Tengah dan anggota Komisi IX DPR-RI
Palangka Raya – Hang Ali Saputra, pemuka masyarakat etnik Tionghoa di Kalimantan Tengah, sekarang juga menjabat sebagai anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membidangi hal kesehatan, tenaga kerja, keluarga berencana, pengawasan obat dan makanan, serta penempatan tenaga kerja di luar negeri, menerima pengasuh dan kontributor Halaman Budaya Harian Radar Sampit, Andriani SJ Kusni, di VIP Lounge Kopi Han, Palangka Raya, Senin, 06/03/2017.
T: Saya mulai dengan persoalan tentang identitas. Bagaimana orang Tionghoa di Kalimantan Tengah mengidentifikasikan dirinya? Istilah apa yang dipakai, Tionghoa atau Cina?
J: Sebenarnya relatif ya. Kalau saya lihat di Kalimantan Tengah ini tidak mempermasalahkan hal-hal sebutan orang Cina atau orang Tionghoa. Kita sudah terbiasa. Jadi ya tergantung, apapun namanya, sama aja. Lain halnya kalau dulu, orang memanggil dengan “Cina”, konotasi, aksennya berbeda. Seperti Orang Jawa dibilang “Jawa kamu”, kesannya ndak bagus kan. Tapi kalau dibilang “Orang Jawa” nggak papa. Atau Dayak, “Dayak kamu”, itu marah orang. “Dasar Cina”, nah itu marah pasti kalau dipanggil demikian. Tapi kalau dipanggil Orang Cina, biasa. Jadi terkadang aksennya aja. Pandangan saya, tidak ada masalah. Memang sebagian senang kalau dipanggil dengan sebutan Tionghoa, kan begitu. Tapi ya jaman sekarang ini ada yang dibilang Cina, dibilang Tionghoa, atau ada juga yang menyebut Chinese, kan gitu, pakai Bahasa Inggris, relatif aja.
T: Pak Ali sendiri mengatakan diri Bapak sebagai Orang Tionghoa atau etnik Tionghoa?
J: Kalau saya sendiri mengatakan saya Orang Indonesia. Kalau ditanya, saya biasa jawab keturunan. Lebih banyak pakai keturunan.
T: Orang Indonesia keturunan Cina?
J: Ya.
T: Menurut Pak Ali, apakah di Kalimantan Tengah selama ini ada masalah atau kendala dalam melakukan proses integrasi dengan orang-orang non Tionghoa?
J: Jadi sebenarnya kalau saya melihat, dibilang ada masalah, tidak ada. Dibilang tidak ada masalah, pasti ada masalah. Yang namanya pembauran ini, sebenarnya bukan hanya antara etnik Tionghoa dalam tanda petik dengan masyarakat setempat ya. Kalau saya melihat, kita ini kan belajar dari pengalaman yang sudah lewat. Kejadian tahun 2001. Permasalahannya memang, saya melihat, lebih banyak menjurus kepada masalah sosial khususnya sosial ekonomi. Apabila jurang sosial ekonomi kita itu terlalu lebar, maka kecemburuan-kecemburuan itu akan semakin besar. Kadang-kadang itu yang bisa menjadi pemicu ya. Ndak usah jauh-jauh lah. Antara Orang Jawa dengan Orang Dayak. Apakah ini semua aman-aman berjalan dengan bagus, saya rasa tidak. Masih ada. Antara Jawa dengan Batak. Batak dengan Orang Dayak dan seterusnya. Karena memang masing-masing ada ego sektoral. Orang Dayak merasa “Oh, ini tanah saya. Di sini kampung halaman saya”. Orang Jawa merasa “Oh saya trans Jawa.” Bagaimana menjaga identitas ke-Jawa-annya, Orang Batak juga demikian. Yang lain-lain juga demikian. Masing-masing ada ego sektoral. Itulah bagaimana kita menyadari bahwa dengan perbedaan-perbedaan ini bukan kita buat semakin diperuncing tapi bagaimana persamaan-persamaan yang ada membuat kita bisa melembut. Salah satu contoh yang saya alami, yang saya rasakan, seperti di keluarga kami, keluarga besar kami, itu bermacam-macam terutama dalam hal agama ya. Saudara saya ada yang muslim, ada yang Kristen, saya sendiri Budha. Tetapi dalam hubungan kekeluargaan kita tetap bagus-bagus saja. Begitu juga dalam perkawinan. Ada yang kawin dengan Orang Dayak, ada yang menikah dengan Orang Jawa, ada yang menikah sesama Chinese, ada yang menikah dengan orang Batak dan sebagainya. Sepanjang kita tidak membuat pengkotak-kotakan dan kita tidak merasa bahwa kita ini super, bahwa kita ini adalah sesuatu hal yang sama sebagai umat manusia, tidak ada masalah. Nah itu yang saya melihat bahwa kata kunci dari suatu pembauran itu, bagaimana kesenjangan sosial-ekonomi bisa kita tangani, tidak melebar. Yang kedua, bagaimana pemahaman ego-ego sektoral masing-masing, individu-individunya, pemuka-pemukanya, jangan karena ingin mencapai tujuan tertentu hingga mengakibatkan bisa timbulnya gesekan-gesekan. Makanya tadi saya katakan waktu ditanyakan ada nggak INTI (organisasi Indonesia-Tionghoa – ASJK) di sini, saya bilang tidak ada. Memang ada yang mengajak untuk membentuk. Saya bilang tidak. Buat apa kita membentuk organisasi-organisasi kedaerahan atau kesukuan. Bagaimana kita bisa membawa diri, makanya tadi saya bilang, bukan saya menyombongkan diri, saya bilang pada teman-teman bagaimana kita menjaga, menyatu dengan masyarakat yang ada. Sistem Pemilu sekarang sebenarnya sangat luar biasa primordialismenya. Masalah agama dikedepankan. Rame udah kan. Dari dulu, bukan hanya sekarang. Masalah kesukuan juga. Masalah etnik juga. Sejak tahun 2009 kemarin. Pemilu legislatif adalah sistem suara terbanyak. Saya terjun ke dunia politik halangannya luar biasa. Masyarakat di sini kan tahu saya ini Chinese, keturunan Chinese. Masih banyak yang tidak suka. Apalagi agamanya Budha. Komunitas Cina kalau menurut statistik itu, di Kalteng ini kurang dari setengah persen. Kalau dari segi agama, malah kurang dari 0,1 persen. Sementara sistem Pemilu kita masih sistem suara terbanyak dan jujur kecenderungan politik kesukuan. Orang Jawa pilih Orang Jawa, Orang Banjar pilih Orang Banjar, Orang Dayak pilih Orang Dayak, kan gitu. Pertanyaannya, saya siapa yang milih? Gak bakalan bisa nongol kan. Tapi bagi saya prinsipnya saya mencoba bagaimana menyatu dengan seluruh lapisan masyarakat, tidak membeda-bedakan mau dia Jawa, Madura, Dayak, Batak, atau Bugis, apapun agamanya, mari kita sama-sama hargai, mari kita sama-sama jaga. Ada hal-hal yang sama, kita eratkan. Yang berbeda jangan kita jadikan sebagai satu permasalahan. Makanya dalam dua kali pemilu ini, saya masih diberi kepercayaan oleh masyarakat. Kalau garis lurus komunitas yang ada di saya dan agamanya, gak ada apa-apanya. Yang sebenarnya mereka juga belum tentu pilih saya.
T: Seperti yang Pak Ali katakan tadi, masalah utama pembauran adalah kesenjangan sosial ekonomi, bagaimana menangani ini?
J: Makanya saya berkecimpung di politik, bisnis saya tinggalkan. Mungkin, cita-citanya, angan-angannya, dengan saya berkecimpung di dunia politik, bisa ikut memberikan suatu sumbangsih bagaimana arah kebijakan pemerintah yang dulu mungkin polanya begini, dengan kita masuk kita bisa berikan saran, pendapat, dan sebagainya, masukan-masukan, ada satu perubahan-perubahan karena kata kuncinya tadi adalah distribusi pembangunan yang tidak merata. Masih ada, banyak, sampai sekarang terjadi, “oh bukan golongan saya, nanti dululah” atau “oh ini teman saya, daerah saya, ini harus saya kedepankan dulu”, ini yang kena dampak kan masyarakat.
T: Berarti ada faktor politik ekonomi pemerintah?
J: Betul. Dan bagaimanapun juga sebagai negara yang belum bisa dikatakan sebagai negara maju, peranan pemerintah itu masih sangat memberikan pengaruh terhadap pembangunan. Beda dengan negara-negara maju, sembilan puluh persen lebih itu peran masyarakat. Peran pemerintah itu kurang dari sepuluh persen. Kalau kita, peran pemerintah cukup besar sehingga apabila seperti tahun kemarin pemerintah memangkas anggarannya, ekonomi masyarakat jadi terganggu. Kalau saya seorang pengusaha, saya harus berpikir bagaimana perusahaan saya profit, bagaimana memberi gaji karyawan lebih bagus, tapi hanya untuk segelintir manusia kan. Sementara kita ingin bagaimana itu bermanfaat bagi orang banyak. Saya sejak ikut politik,bisnis saya tinggalkan. Saya serahkan pada saudara, keluarga. Sampai sekarang ini perusahaan yang saya serahkan sudah tiga hilang. Kolaps. Tapi saya tidak menyesal. Tidak ada campur baur bisnis dan politik. Saya tidak mau urus.
T: Yang sekarang umum terjadi campur baur bisnis dan politik.
J: Yah, masing-masing beda. Tujuan berpolitiknya apa. Makanya orang bilang, di Indonesia ini kalau ingin kaya raih kekuasaan dulu. Tapi saya katakan, saya terjun ke politik saya memiskinkan diri saya. Perusahaan saya habis tiga tapi itu tidak saya sesalkan. Saya bilang pada teman-teman, hidup ini harus memilih. Bagi saya yang paling penting, hidup saya punya arti. Bukan untuk diri sendiri tapi untuk orang banyak. Kalau orang banyak merasa senang, saya juga ikut senang. Secara materi saya rugi besar. Dan pengeluaran jauh lebih besar sebagai politisi. Masuk dan keluar tidak seimbang, makanya akhirnya makin merosot, bukan makin meningkat. Karena apa? Karena saya tidak mencampur-adukkan bisnis saya dengan karir politik. Dan terus-terang saya bilang kalau seseorang mau jadi politisi bisa menjadi kaya, tambahannya darimana, tekniknya bagaimana bisa jadi kaya. Kira-kira dapat darimana?
T: Berapa tepatnya jumlah orang Tionghoa yang setengah persen itu di Kalimantan Tengah?
J: Angka pastinya saya tidak tahu. Yang saya tahu pasti kurang dari setengah persen dari total penduduk kalteng.
T: Untuk mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi, di Malaysia ada New Economy Policy untuk mengangkat perekonomian orang lokal. Di Amerika ada Small Bussiness Administration, kebijakan ekonomi untuk penduduk Afro-Amerika dan Equal Oppurtunity Employment, kebijakan yang menjamin tidak ada diskriminasi dalam rekrutmen dan seleksi pegawai. Apakah kita juga memiliki affirmative policy dan affirmative action begini?
J: Kalau dulu jaman Pak Harto kan ada. Kemudahan-kemudahan bagi pengusaha pribumi, kredit-kredit bagi investor pemula tapi akhirnya kan semua berantakan. Jadi saya berpikirnya tidak mulai dari ekonomi.
T: Darimana?
J: Saya mulai dari peningkatan kesehatan masyarakat.
T: Konkritnya?
J: Pernah mendengar Badan Pelaksana Jaminan Sosial? Basic saya pengusaha ngurus kesehatan, saya ndak ngerti bagaimana kondisi kesehatan di negara kita. Akhirnya saya ajak beberapa teman, kita rembukan, bongkar-bongkar dokumen sampai menemukan satu undang-undang, UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial. Setelah kita pelajari, undang-undang itu memberikan amanat untuk supaya dibuatkan undang-undang pelaksanaan terhadap Sistem Jaminan Sosial dalam waktu lima tahun. Ternyata setelah lima tahun pun, tidak terbentuk sama sekali. Kami jadi galau. Stres. Jadi saya ajak teman-teman, “Udahlah ini aja kita coba garap.” Jadi saya bersama teman-teman, sembilan orang pada waktu itu mencoba mengkaji, menggodok, akhirnya kita menjadi inisiator agar pemerintah bersama dengan DPR membuat undang-undang badan penyelenggaranya. 23 bulan kami habiskan mulai dari rancangan sampai jadi undang-undang. Saya melihat bahwa permasalahan kita di Indonesia ini apa yang paling utama? Terlampau banyak orang miskin. Kalau menurut standar WHO, 2 dollar sehari, kita itu punya lebih seratus lima puluh juta jiwa orang miskin. Sementara menurut standar pemerintah, dikatakan orang miskin kita baru dua puluh sembilan juta jiwa dan itupun sudah menurun. Dari situ saya melihat permasalahan utama kita itu bahwa masyarakat kita tidak sehat. Bukan sakit tapi tidak sehat. Jangan melihat manusianya berjalan ke hulu ke hilir dikatakan sehat. Indikatornya apa? Saya pernah mengadakan satu kegiatan bakti sosial. Teman-teman yang mau donor darah, silahkan. Terdaftarlah seratus tiga puluh enam orang. Untuk Kota Palangka Raya, seratus tiga puluh enam orang di Bundaran kan luar biasa. Ranjangnya sudah disiapkan lima supaya cepat. Dokter, perawat, segala macam. Begitu di tes kesehatannya, “Oh ini tidak bisa, pak. Berat badannya tidak cukup”, “Oh, ini Hb-nya rendah”, “Oh, ini hipertensi”, dan lain sebagainya. Macam-macam. Dirunut-runut, cuma bisa tiga puluh tiga atau tiga puluh orang saja. Ternyata orang kita itu banyak yang, bukan sakit tapi tidak sehat. Kita harus memulai darimana? Saya juga melakukan asistensi kepada masyarakat, pada waktu itu belum ada BPJS. Masyarakat yang kurang mampu, sakit, mau berobat tidak ada biaya, kita asistensi. Disiapkan ambulans. Dimana mereka. Sepanjang mobil bisa sampai, kita jemput. Mungkin ada keluarganya ikut, perlu opname di rumah sakit. Nanti di rumah sakit, ditangani, mau operasi dan sebagainya, keluarganya tunggu, kita adakan tempat tunggunya. Karena mereka tidak mampu, biaya hidup- hari-harinya kita jamin. Sembuh, kita kirim pulang ke kampung. Artinya mereka tidak mengeluarkan biaya. Baik untuk transportnya dan lain sebagainya. Banyak yang kita asistensikan begitu. Tapi lama-lama nggak kuat juga. Hanya kita tidak publikasi karena kalau kita publikasi, banyak orang minta dan kita tidak bisa menangani, malah jadi bumerang. Hanya dari mulut ke mulut. Makanya dalam undang-undang, yang kita atur bagaimana benar-benar keberpihakan pada masyarakat miskin. Yang kedua, bagaimana menumbuhkan kegotongroyongan. Yang ketiga, bagaimana mengubah mindset, paradigma tentang kesehatan. Saya punya satu prediksi dua puluh lima atau tiga puluh tahun mendatang, jika jaminan kesehatan berjalan baik maka kondisi perekonomian kita akan meningkat pesat luar biasa karena kualitas kesehatan dan kehidupan lebih baik, otomatis kecerdasan generasi akan datang kan lebih baik.
T: Jadi untuk mengurangi kesenjangan sosial ekonomi dalam upaya mencapai integrasi sosial, Pak Ali berpikir bukan mulai dari sektor ekonomi?
J: Sektor ekonomi sudah ada yang urus. Saya lihat orang-orang, sektornya, apa yang dihadapi itu yang ditangani. Kan begitu? Artinya berperilaku sebagai pemadam kebakaran.
T: Sekarang soal politik kependudukan untuk etnik minoritas. Di Tiongkok ada kebijakan pembatasan kelahiran yang hanya diterapkan pada penduduk etnik mayoritas yakni Han. Untuk program keluarga berencana termasuk yang diterapkan di Kalimantan Tengah, apakah jika diterapkan pukul rata justru akan memberi peluang etnik minoritas semakin sedikit jumlahnya?
J: Kalau jaman dulu, BKKBN itu adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Kalau sekarang, BKKBN adalah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Jadi sudah tidak semata-mata pada pembatasan dua anak cukup walaupun sebenarnya arahnya lebih baik dua anak cukup untuk situasi dan kondisi sekarang. Tapi seperti dikatakan tadi, ada etnik minoritas merasa akan semakin ketinggalan karena populasinya sedikit. Di Cina sekarang, kebijakan pembatasan satu anak berhasil menekan jumlah tapi secara psikologis dan secara sosial menimbulkan masalah. Kenapa? Saya misalnya, suami-istri punya anak satu. Nanti anak saya ini kan akan kawin nih. Punya istri. Istrinya anak tunggal juga. Anak saya dan mantu saya, mereka berdua nanti akan menanggung diri mereka berdua. Begitu saya tidak produktif, istri saya tidak produktif, besan saya berdua tidak produktif, berarti empat orang tua tidak produktif. Kalau anak dan mantu saya punya anak satu lagi berarti mereka berdua, menanggung tujuh orang. Ya hancur. Makanya seperti sekarang, seperti di Papua, Orang Papua teriak jumlah mereka sudah sedikit. Makin lama nanti akan makin habis kalau hanya dua anak dan seterusnya. Di Kalteng juga, pak gubernur bilang orang Dayak sudah sedikit. Kalau diterapkan KB dua anak, lama-lama orang Dayak nggak bisa jadi gubernur. Sangat keliru lah kalau kita hanya berorientasi pada politik untuk pemilihan gubernur. Kalau saya berpikirnya kemana? Bagaimana kita meningkatkan kualitas manusianya. Makanya sekarang, Keluarga Berencana dan Penguatan Keluarga. Makanya ada program dari BKKBN yaitu Kampung KB. Kita mulai dari kampung-kampung yang terisolir dan tertinggal. Indikatornya disitu banyak orang miskin, usaha-usaha produktif tidak begitu ada. Bagaimana mengajarkan mereka hidup sehat, menata keluarga, dan seterusnya. Dua anak, sebenarnya mau tiga mau empat, tidak masalah. Tapi secara medis perempuan kan disarankan usia pernikahan itu minimal 21 tahun. Ini menurut hasil penelitian, pada usia tersebut baru mencapai kematangan yang sempurna. Kalau lebih muda, bisa mengganggu kesehatan ibunya dan kualitas anaknya. Jarak kelahiran berapa tahun? Sebenarnya kalau hasil penelitian, ini bukan kata saya, lima tahun yang paling bagus. Bukan satu tahun atau dua tahun. Katakanlah perempuan menikah umur 21 tahun, melahirkan anak pertama lalu anak kedua pada usia 26 tahun. Setelah 30 tahun, kehamilan bagi perempuan beresiko tinggi. Jadi diambil idealnya dua anak. Apalagi dengan dunia IT sekarang yang bebas dengan adanya internet, lebih dari dua anak susah mengawasinya. Belum lagi penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Hari ini saya sosialisasi di sekolah, begitu saya pulang, ketangkap. Begitu dicek di daftar namanya, sudah ikut sosialisasi lagi. Beberapa bulan lalu juga, ketangkap enam anak usia 9-14 tahun. Ini apa? Akibat ketidakmengertian orang tua, faktor kemiskinan juga, generasi-genarasi kita rusak atau dirusak. Bisa bayangkan dua puluh tahun lagi kayak apa. Saya tahun kemarin, bulan Oktober, waktu kunjungan dinas ke Kalimantan Selatan, ada paparan dari Polda, tahun 2015 mereka menangkap 760 sekian orang dengan jumlah barang bukti sekitar 1,2 juta sekian, macam-macam obat. Tahun 2016, sembilan bulan setelah kunjungan saya, mereka sudah menangkap 780 sekian orang dengan jumlah barang bukti yang mencengangkan, 15 juta sekian. Dua belas kali lipat. Saya ribut. Pada saat rapat dengan Bareskrim di Jakarta, saya minta minta, perhatikan. Pak gubernur saya ketemu. Saya sampaikan juga secara tertulis kepada Pak Kapolda, BNN, saya minta tolonglah, ini generasi kita hancur kalau begini terus. Akhirnya di Palangka Raya kan ada digerebek dan didapat 40 jutaan butir. Sebenarnya pasar kita adalah Kalimantan Selatan makanya yang ketangkap aja sampai 15 jutaan. Yang lolos berapa juta, penduduk kita cuma berapa. Anak-anak kita itu hanya korban.
T: Sekarang saya ingin menanyakan, ini agak sensitif, isu rasial, sebagai Orang keturunan Tionghoa apakah selama ini dalam proses integrasi agak terkendala?
J: Awal-awal. Karena apa? Biasalah saya katakan. Saling curiga-mencurigai. Saya berniat baik, belum tentu orang bisa menerima. Pasti ada kecurigaan. Jangan-jangan baiknya cuma pura-pura, kan begitu. Begitu juga sebaliknya. Jangan-jangan ini, jangan-jangan itu tapi saya kan punya tekad. Nanti waktu yang membuktikan. Makanya saya terjun di politik ini sejak tahun ’98. Tahun ’99 ikut pemilu, terpilihlah jadi anggota DPRD Provinsi. Di DPRD Provinsi sepuluh tahun. Masyarakat bisa melihat dan menilai. Saya tidak mengatakan saya baik tapi yang jelas masyarakat masih memberi kepercayaan. Saya tidak macam-macam, tidak cari sana-cari sini, tidak mencampur bisnis dengan politik.
T: Di tingkat individu, menurut Pak Ali, bagaimana cara paling efektif untuk mencapai integrasi sosial antara Orang Indonesia Keturunan Tionghoa dengan Orang-orang non Tionghoa di Kalimantan Tengah?
J: Jangan merasa sebagai orang yang superior, apapun posisi kita. Kita berhadapan dengan orang desa, bahasanya bahasa orang desa. Kita berhadapan dengan pedagang, ya bahasa pedagang. Kan begitu. kita berhadapan dengan sopir, ya bahasa sopir. Artinya apa? Jangan kita merasa diri kita lebih superior dari orang lain. Jangan merasa kita itu sebagai orang yang lebih, gitu lho. Apalagi kalau punya jabatan, atau status sosial yang lebih, yah itulah penyakit kita sebagai manusia. Kalau kita merasa status sosial kita lebih, kita itu memandang orang lain rendah.
T: Ada sementara pandangan bahwa Uluh Kalteng seharusnya beridentitas Kalteng termasuk etnik Tionghoa. Pendapat Pak Ali terhadap pandangan ini?
J: Identitas itu tidak bisa dipungkiri. Kita harus menyatakan bahwa kita itu beda tapi bukan perbedaan itu yang dipermasalahkan. Bhineka Tunggal Ika. Beraneka ragam tapi sama. Samanya apa? Cita-citanya. Indonesia sebagai satu kesatuan kan? Kita berbeda-beda wajar, beda agama wajar. Jangan kita permasalahkan perbedaannya.
T: Bagaimana Pak Ali melihat konsep Bhineka Tunggal Ika dalam hubungannya dengan identitas ini? Apakah identitas tidak menjadi sekat dalam pergaulan bangsa?
J: Saya rasa tidak ya. Memang ini satu filosofi yang sangat mendalam. Tidak semua orang memahami persoalan demikian, masih banyak yang berpikiran sempit tapi disitulah tantangannya. Dan Indonesia, dengan filfosofi Bhineka Tunggal Ika itu, saya katakan ini satu berkah yang luar biasa. Tanpa itu kita bisa cerai-berai. Indonesia ini satu negara-bangsa. Sebenarnya inilah tugas kita meneruskan cita-cita founding father kita, melanjutkan grand design founding father dulu. Platform ini. Dalam arus globalisasi, kita dikatakan tidak siap, siap. Dikatakan siap, tidak siap. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem berdemokrasilah sehingga banyak terjadi hal-hal yang luar biasa. Tapi sebenarnya ini suatu tantangan bagi kita semua.
T: Apa saran Pak Ali agar etnik minoritas tidak semakin termarjinalkan dan posisinya setara sebagai warga negara yang bermartabat?
J: Kalau saya melihat bagaimana mereka meningkatkan kualitas. Kita hanya menang kuantitas sementara ini. Unggul dari segi kuantitas tapi segi kompetensi dan sebagainya, lemah. Apalagi menurut data, masa sekolah Orang Dayak ini hanya rata-rata tujuh koma sekian tahun, jadi wajib belajar sembilan tahun itu pun belum terpenuhi. Apalagi yang dua belas tahun. Tinggal bagaimana pemerintah melakukan pemerataan pembangunan. Distribusi pembangunan sekarang kan pincang, lebih banyak berdasarkan selera kepala daerah.
T: Dari Etnik Tionghoa yang ada di Kalteng sendiri, apa ada semacam upaya melakukan hybrid culture?
J: Sebenarnya yang paling efektif itu kan memang melalui pembauran secara kekeluargaan. Itu sudah banyak terjadi. Tapi saya bilang, yang lebih efektif lagi daripada itu tanpa harus melepaskan identitas kita, karena biar kemanapun kan kita tidak bisa memungkiri identitas itu, adalah kita tidak membeda-bedakan hal itu. Saya bilang, cobalah teman-teman masuk ke dalam dunia politik. Waktu saya masuk dunia politik, teman-teman itu marah, “Ngapain masuk dunia politik? Ingat pelajaran tahun enam lima. Gimana nasib kita? Nanti gara-gara kamu, kami semua sengsara.” Maka ada yang mencurigai, ini dari keluarga kami juga, “Ah, paling-paling untuk cari proyek aja”. Justru yang marah bukan saya. Teman-teman saya, staf-staf saya padahal staf saya ada Orang Jawa, ada Orang Dayak, orang mana-mana. Mereka yang marah, “Kok enak sekali kalian ngomong begitu”, kata mereka. Saya bilang, “Kalian tidak perlu marah. Wajar mereka curiga,” tapi saya bilang saya punya satu keyakinan nanti waktu yang membuktikan. Itu tantangan bagi saya. Sampai saya bilang, “Saya memposisikan diri dalam dunia politik ini adalah sebagai bumper. Bumper kalian. Yang namanya bumper itu tidak pernah bahagia, tidak pernah enak. Hujan kena hujan, panas kena panas, tabrakan hancur. Tak ada penghargaan, namanya bumper kan.” Apa yang saya kerjakan sekarang ini, bukan yang ingin dicapai sekarang. Tapi bagaimana nanti untuk waktu yang akan datang. Anak cucu kita. Bagaimana dia bisa berbaur dengan masyarakat setempat secara lebih harmonis, bisa saling bekerja sama, saling memperhatikan. Ternyata hal-hal seperti itu sudah mulai terjadi di Kalimantan Tengah ini. Katakanlah saya dulu pernah mau diganggu orang, saya diam aja. Saya nggak marah tapi yang marah adalah orang-orang di sekeliling saya. Yang di sekeliling saya siapa? Ya Orang Dayak, ya Orang Banjar, dan seterusnya. Tanpa saya meminta, mereka sudah menganggap bahwa kita ini sudah bersaudara. Bersaudara bukan karena pertalian darah, karena kita sering bertemu, berinteraksi, memperhatikan, malah kadang-kadang lebih dari saudara. Hal-hal seperti itulah yang saya rasakan. Saya rasa yang agak bisa membuat rusuh bukan masyarakat di bawah. Elit, karena kepentingan. Itu aja. Kalau di bawah itu tidak ada masalah, elit-elit ini yang bisa memainkan. Jadi saya pikir, itu semua gara-gara elit. Kalau di masyarakat bawah itu paling-paling masuk tindakan kriminal tapi kemudian ada yang menunggangi. Nah itu.[]
Pewawancara: Andriani SJ Kusni
Penyunting: Andriani SJ Kusni
Juru Foto: Kusni Sulang