Wawancara Hang Ali Saputra: “Saya rasa yang bisa membuat rusuh bukan masyarakat di bawah.”

Telah siar di Harian Radar Sampit, Halaman Budaya Sahewan Panarung, Minggu 12/03/2017

Wawancara Khusus Hang Ali Saputra, pemuka masyarakat etnik Tionghoa Kalimantan Tengah dan anggota Komisi IX DPR-RI

Hang Ali Saputra, pemuka masyarakat etnik Tionghoa Kalimantan Tengah dan anggota Komisi IX DPR-RI, berbincang dengan pengasuh dan kontributor Halaman Budaya Harian Radar Sampit, Andriani SJ Kusni, tentang isu-isu pembangunan, politik, integrasi sosial, kebijakan etnik dan minoritas, serta pembauran, di VIP Lounge Kopi Han Palangka Raya. Foto: Kusni Sulang, 06/03/2017.
 

Palangka Raya – Hang Ali Saputra, pemuka masyarakat etnik Tionghoa di Kalimantan Tengah, sekarang juga menjabat sebagai anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia membidangi hal kesehatan, tenaga kerja, keluarga berencana, pengawasan obat dan makanan, serta penempatan tenaga kerja di luar negeri, menerima pengasuh dan kontributor Halaman Budaya Harian Radar Sampit, Andriani SJ Kusni, di VIP Lounge Kopi Han, Palangka Raya, Senin, 06/03/2017.

T: Saya mulai dengan persoalan tentang identitas. Bagaimana orang Tionghoa di Kalimantan Tengah mengidentifikasikan dirinya? Istilah apa yang dipakai, Tionghoa atau Cina?

J: Sebenarnya relatif ya. Kalau saya lihat di Kalimantan Tengah ini tidak mempermasalahkan hal-hal sebutan orang Cina atau orang Tionghoa. Kita sudah terbiasa. Jadi ya tergantung, apapun namanya, sama aja. Lain halnya kalau dulu, orang memanggil dengan “Cina”, konotasi, aksennya berbeda. Seperti Orang Jawa dibilang “Jawa kamu”, kesannya ndak bagus kan. Tapi kalau dibilang “Orang Jawa” nggak papa. Atau Dayak, “Dayak kamu”, itu marah orang. “Dasar Cina”, nah itu marah pasti kalau dipanggil demikian. Tapi kalau dipanggil Orang Cina, biasa. Jadi terkadang aksennya aja. Pandangan saya, tidak ada masalah. Memang sebagian senang kalau dipanggil dengan sebutan Tionghoa, kan begitu. Tapi ya jaman sekarang ini ada yang dibilang Cina, dibilang Tionghoa, atau ada juga yang menyebut Chinese, kan gitu, pakai Bahasa Inggris, relatif aja.

T: Pak Ali sendiri mengatakan diri Bapak sebagai Orang Tionghoa atau etnik Tionghoa?

J: Kalau saya sendiri mengatakan saya Orang Indonesia. Kalau ditanya, saya biasa jawab keturunan. Lebih banyak pakai keturunan.

T: Orang Indonesia keturunan Cina?

J: Ya.

T: Menurut Pak Ali, apakah di Kalimantan Tengah selama ini ada masalah atau kendala dalam melakukan proses integrasi dengan orang-orang non Tionghoa?

J: Jadi sebenarnya kalau saya melihat, dibilang ada masalah, tidak ada. Dibilang tidak ada masalah, pasti ada masalah. Yang namanya pembauran ini, sebenarnya bukan hanya antara etnik Tionghoa dalam tanda petik dengan masyarakat setempat ya. Kalau saya melihat, kita ini kan belajar dari pengalaman yang sudah lewat. Kejadian tahun 2001. Permasalahannya memang, saya melihat, lebih banyak menjurus kepada masalah sosial khususnya sosial ekonomi. Apabila jurang sosial ekonomi kita itu terlalu lebar, maka kecemburuan-kecemburuan itu akan semakin besar. Kadang-kadang itu yang bisa menjadi pemicu ya. Ndak usah jauh-jauh lah. Antara Orang Jawa dengan Orang Dayak. Apakah ini semua aman-aman berjalan dengan bagus, saya rasa tidak. Masih ada. Antara Jawa dengan Batak. Batak dengan Orang Dayak dan seterusnya. Karena memang masing-masing ada ego sektoral. Orang Dayak merasa “Oh, ini tanah saya. Di sini kampung halaman saya”. Orang Jawa merasa “Oh saya trans Jawa.” Bagaimana menjaga identitas ke-Jawa-annya, Orang Batak juga demikian. Yang lain-lain juga demikian. Masing-masing ada ego sektoral. Itulah bagaimana kita menyadari bahwa dengan perbedaan-perbedaan ini bukan kita buat semakin diperuncing tapi bagaimana persamaan-persamaan yang ada membuat kita bisa melembut.  Salah satu contoh yang saya alami, yang saya rasakan, seperti di keluarga kami, keluarga besar kami, itu bermacam-macam terutama dalam hal agama ya. Saudara saya ada yang muslim, ada yang Kristen, saya sendiri Budha. Tetapi dalam hubungan kekeluargaan kita tetap bagus-bagus saja. Begitu juga dalam perkawinan. Ada yang kawin dengan Orang Dayak, ada yang menikah dengan Orang Jawa, ada yang menikah sesama Chinese, ada yang menikah dengan orang Batak dan sebagainya. Sepanjang kita tidak membuat pengkotak-kotakan dan kita tidak merasa bahwa kita ini super, bahwa kita ini adalah sesuatu hal yang sama sebagai umat manusia, tidak ada masalah. Nah itu yang saya melihat bahwa kata kunci dari suatu pembauran itu, bagaimana kesenjangan sosial-ekonomi bisa kita tangani, tidak melebar. Yang kedua, bagaimana pemahaman ego-ego sektoral masing-masing, individu-individunya, pemuka-pemukanya, jangan karena ingin mencapai tujuan tertentu hingga mengakibatkan bisa timbulnya gesekan-gesekan. Makanya tadi saya katakan waktu ditanyakan ada nggak INTI (organisasi Indonesia-Tionghoa –  ASJK) di sini, saya bilang tidak ada. Memang ada yang mengajak untuk membentuk. Saya bilang tidak. Buat apa kita membentuk organisasi-organisasi kedaerahan atau kesukuan. Bagaimana kita bisa membawa diri, makanya tadi saya bilang, bukan saya menyombongkan diri, saya bilang pada teman-teman bagaimana kita menjaga, menyatu dengan masyarakat yang ada. Sistem Pemilu sekarang sebenarnya sangat luar biasa primordialismenya. Masalah agama dikedepankan. Rame udah kan. Dari dulu, bukan hanya sekarang. Masalah kesukuan juga. Masalah etnik juga. Sejak tahun 2009 kemarin. Pemilu legislatif adalah sistem suara terbanyak. Saya terjun ke dunia politik halangannya luar biasa. Masyarakat di sini kan tahu saya ini Chinese, keturunan Chinese. Masih banyak yang tidak suka. Apalagi agamanya Budha. Komunitas Cina kalau menurut statistik itu, di Kalteng ini kurang dari setengah persen. Kalau dari segi agama, malah kurang dari 0,1 persen. Sementara sistem Pemilu kita masih sistem suara terbanyak dan jujur kecenderungan politik kesukuan. Orang Jawa pilih Orang Jawa, Orang Banjar pilih Orang Banjar, Orang Dayak pilih Orang Dayak, kan gitu. Pertanyaannya, saya siapa yang milih? Gak bakalan bisa nongol kan. Tapi bagi saya prinsipnya saya mencoba bagaimana menyatu dengan seluruh lapisan masyarakat, tidak membeda-bedakan mau dia Jawa, Madura, Dayak, Batak, atau Bugis, apapun agamanya, mari kita sama-sama hargai, mari kita sama-sama jaga. Ada hal-hal yang sama, kita eratkan. Yang berbeda jangan kita jadikan sebagai satu permasalahan. Makanya dalam dua kali pemilu ini, saya masih diberi kepercayaan oleh masyarakat. Kalau garis lurus komunitas yang ada di saya dan agamanya, gak ada apa-apanya. Yang sebenarnya mereka juga belum tentu pilih saya.

T: Seperti yang Pak Ali katakan tadi, masalah utama pembauran adalah kesenjangan sosial ekonomi, bagaimana menangani ini?

J:  Makanya saya berkecimpung di politik, bisnis saya tinggalkan. Mungkin, cita-citanya, angan-angannya, dengan saya berkecimpung di dunia politik, bisa ikut memberikan suatu sumbangsih bagaimana arah kebijakan pemerintah yang dulu mungkin polanya begini, dengan kita masuk kita bisa berikan saran, pendapat, dan sebagainya, masukan-masukan, ada satu perubahan-perubahan karena kata kuncinya tadi adalah distribusi pembangunan yang tidak merata. Masih ada, banyak, sampai sekarang terjadi, “oh bukan golongan saya, nanti dululah” atau “oh ini teman saya, daerah saya, ini harus saya kedepankan dulu”, ini yang kena dampak kan masyarakat.

T: Berarti ada faktor politik ekonomi pemerintah?

J: Betul. Dan bagaimanapun juga sebagai negara yang belum bisa dikatakan sebagai negara maju, peranan pemerintah itu masih sangat memberikan pengaruh terhadap pembangunan. Beda dengan negara-negara maju, sembilan puluh persen lebih itu peran masyarakat. Peran pemerintah itu kurang dari sepuluh persen. Kalau kita, peran pemerintah cukup besar sehingga apabila seperti tahun kemarin pemerintah memangkas anggarannya, ekonomi masyarakat jadi terganggu. Kalau saya seorang pengusaha, saya harus berpikir bagaimana perusahaan saya profit, bagaimana memberi gaji karyawan lebih bagus, tapi hanya untuk segelintir manusia kan. Sementara kita ingin bagaimana itu bermanfaat bagi orang banyak. Saya sejak ikut politik,bisnis saya tinggalkan. Saya serahkan pada saudara, keluarga. Sampai sekarang ini perusahaan yang saya serahkan sudah tiga hilang. Kolaps. Tapi saya tidak menyesal. Tidak ada campur baur bisnis dan politik. Saya tidak mau urus.

T: Yang sekarang umum terjadi campur baur bisnis dan politik.

J: Yah, masing-masing beda. Tujuan berpolitiknya apa. Makanya orang bilang, di Indonesia ini kalau ingin kaya raih kekuasaan dulu. Tapi saya katakan, saya terjun ke politik saya memiskinkan diri saya. Perusahaan saya habis tiga tapi itu tidak saya sesalkan. Saya bilang pada teman-teman, hidup ini harus memilih. Bagi saya yang paling penting, hidup saya punya arti. Bukan untuk diri sendiri tapi untuk orang banyak. Kalau orang banyak merasa senang, saya juga ikut senang. Secara materi saya rugi besar. Dan pengeluaran jauh lebih besar sebagai politisi. Masuk dan keluar tidak seimbang, makanya akhirnya makin merosot, bukan makin meningkat. Karena apa? Karena saya tidak mencampur-adukkan bisnis saya dengan karir politik. Dan terus-terang saya bilang kalau seseorang mau jadi politisi bisa menjadi kaya, tambahannya darimana, tekniknya bagaimana bisa jadi kaya. Kira-kira dapat darimana?

T: Berapa tepatnya jumlah orang Tionghoa yang setengah persen itu di Kalimantan Tengah?

J: Angka pastinya saya tidak tahu. Yang saya tahu pasti kurang dari setengah persen dari total penduduk kalteng.

T: Untuk mengatasi kesenjangan sosial-ekonomi, di Malaysia ada New Economy Policy untuk mengangkat perekonomian orang lokal. Di Amerika ada Small Bussiness Administration, kebijakan ekonomi untuk penduduk Afro-Amerika dan Equal Oppurtunity Employment, kebijakan yang menjamin tidak ada diskriminasi dalam rekrutmen dan seleksi pegawai. Apakah kita juga memiliki affirmative policy dan affirmative action begini?

J: Kalau dulu jaman Pak Harto kan ada. Kemudahan-kemudahan bagi pengusaha pribumi, kredit-kredit bagi investor pemula tapi akhirnya kan semua berantakan. Jadi saya berpikirnya tidak mulai dari ekonomi.

T: Darimana?

J: Saya mulai dari peningkatan kesehatan masyarakat.

T: Konkritnya?

J: Pernah mendengar Badan Pelaksana Jaminan Sosial? Basic saya pengusaha ngurus kesehatan, saya ndak ngerti bagaimana kondisi kesehatan di negara kita. Akhirnya saya ajak beberapa teman, kita rembukan, bongkar-bongkar dokumen sampai menemukan satu undang-undang, UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial. Setelah kita pelajari, undang-undang itu memberikan amanat untuk supaya dibuatkan undang-undang pelaksanaan terhadap Sistem Jaminan Sosial dalam waktu lima tahun. Ternyata setelah lima tahun pun, tidak terbentuk sama sekali. Kami jadi galau. Stres. Jadi saya ajak teman-teman, “Udahlah ini aja kita coba garap.” Jadi saya bersama teman-teman, sembilan orang pada waktu itu mencoba mengkaji, menggodok, akhirnya kita menjadi inisiator agar pemerintah bersama dengan DPR membuat undang-undang badan penyelenggaranya. 23 bulan kami habiskan mulai dari rancangan sampai jadi undang-undang. Saya melihat bahwa permasalahan kita di Indonesia ini apa yang paling utama? Terlampau banyak orang miskin. Kalau menurut standar WHO, 2 dollar sehari, kita itu punya lebih seratus lima puluh juta jiwa orang miskin. Sementara menurut standar pemerintah, dikatakan orang miskin kita baru dua puluh sembilan juta jiwa dan itupun sudah menurun. Dari situ saya melihat permasalahan utama kita itu bahwa masyarakat kita tidak sehat. Bukan sakit tapi tidak sehat. Jangan melihat manusianya berjalan ke hulu ke hilir dikatakan sehat. Indikatornya apa? Saya pernah mengadakan satu kegiatan bakti sosial. Teman-teman yang mau donor darah, silahkan. Terdaftarlah seratus tiga puluh enam orang. Untuk Kota Palangka Raya, seratus tiga puluh enam orang di Bundaran kan luar biasa. Ranjangnya sudah disiapkan lima supaya cepat. Dokter, perawat, segala macam. Begitu di tes kesehatannya, “Oh ini tidak bisa, pak. Berat badannya tidak cukup”, “Oh, ini Hb-nya rendah”, “Oh, ini hipertensi”, dan lain sebagainya. Macam-macam. Dirunut-runut, cuma bisa tiga puluh tiga atau tiga puluh orang saja. Ternyata orang kita itu banyak yang, bukan sakit tapi tidak sehat. Kita harus memulai darimana? Saya juga melakukan asistensi kepada masyarakat, pada waktu itu belum ada BPJS. Masyarakat yang kurang mampu, sakit, mau berobat tidak ada biaya, kita asistensi. Disiapkan ambulans. Dimana mereka. Sepanjang mobil bisa sampai, kita jemput. Mungkin ada keluarganya ikut, perlu opname di rumah sakit. Nanti di rumah sakit, ditangani, mau operasi dan sebagainya, keluarganya tunggu, kita adakan tempat tunggunya. Karena mereka tidak mampu, biaya hidup- hari-harinya kita jamin. Sembuh, kita kirim pulang ke kampung. Artinya mereka tidak mengeluarkan biaya. Baik untuk transportnya dan lain sebagainya. Banyak yang kita asistensikan begitu. Tapi lama-lama nggak kuat juga. Hanya kita tidak publikasi karena kalau kita publikasi, banyak orang minta dan kita tidak bisa menangani, malah jadi bumerang. Hanya dari mulut ke mulut. Makanya dalam undang-undang, yang kita atur bagaimana benar-benar keberpihakan pada masyarakat miskin. Yang kedua, bagaimana menumbuhkan kegotongroyongan. Yang ketiga, bagaimana mengubah mindset, paradigma tentang kesehatan. Saya punya satu prediksi dua puluh lima atau tiga puluh tahun mendatang, jika jaminan kesehatan berjalan baik maka kondisi perekonomian kita akan meningkat pesat luar biasa karena kualitas kesehatan dan kehidupan lebih baik, otomatis kecerdasan generasi akan datang kan lebih baik.

T: Jadi untuk mengurangi kesenjangan sosial ekonomi dalam upaya mencapai integrasi sosial, Pak Ali berpikir bukan mulai dari sektor ekonomi?

J: Sektor ekonomi sudah ada yang urus. Saya lihat orang-orang, sektornya, apa yang dihadapi itu yang ditangani. Kan begitu? Artinya berperilaku sebagai pemadam kebakaran.

T: Sekarang soal politik kependudukan untuk etnik minoritas. Di Tiongkok ada kebijakan pembatasan kelahiran yang hanya diterapkan pada penduduk etnik mayoritas yakni Han. Untuk program keluarga berencana termasuk yang diterapkan di Kalimantan Tengah, apakah jika diterapkan pukul rata justru akan memberi peluang etnik minoritas semakin sedikit jumlahnya?

J: Kalau jaman dulu, BKKBN itu adalah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Kalau sekarang, BKKBN adalah Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional. Jadi sudah tidak semata-mata pada pembatasan dua anak cukup walaupun sebenarnya arahnya lebih baik dua anak cukup untuk situasi dan kondisi sekarang. Tapi seperti dikatakan tadi, ada etnik minoritas merasa akan semakin ketinggalan karena populasinya sedikit. Di Cina sekarang, kebijakan pembatasan satu anak berhasil menekan jumlah tapi secara psikologis dan secara sosial menimbulkan masalah. Kenapa? Saya misalnya, suami-istri punya anak satu. Nanti anak saya ini kan akan kawin nih. Punya istri. Istrinya anak tunggal juga. Anak saya dan mantu saya, mereka berdua nanti akan menanggung diri mereka berdua. Begitu saya tidak produktif, istri saya tidak produktif, besan saya berdua tidak produktif, berarti empat orang tua tidak produktif. Kalau anak dan mantu saya punya anak satu lagi berarti mereka berdua, menanggung tujuh orang. Ya hancur. Makanya seperti sekarang, seperti di Papua, Orang Papua teriak jumlah mereka sudah sedikit. Makin lama nanti akan makin habis kalau hanya dua anak dan seterusnya. Di Kalteng juga, pak gubernur bilang orang Dayak sudah sedikit. Kalau diterapkan KB dua anak, lama-lama orang Dayak nggak bisa jadi gubernur. Sangat keliru lah kalau kita hanya berorientasi pada politik untuk pemilihan gubernur. Kalau saya berpikirnya kemana? Bagaimana kita meningkatkan kualitas manusianya. Makanya sekarang, Keluarga Berencana dan Penguatan Keluarga. Makanya ada program dari BKKBN yaitu Kampung KB. Kita mulai dari kampung-kampung yang terisolir dan tertinggal. Indikatornya disitu banyak orang miskin, usaha-usaha produktif tidak begitu ada. Bagaimana mengajarkan mereka hidup sehat, menata keluarga, dan seterusnya. Dua anak, sebenarnya mau tiga mau empat, tidak masalah. Tapi secara medis perempuan kan disarankan usia pernikahan itu minimal 21 tahun. Ini menurut hasil penelitian, pada usia tersebut baru mencapai kematangan yang sempurna. Kalau lebih muda, bisa mengganggu kesehatan ibunya dan kualitas anaknya. Jarak kelahiran berapa tahun? Sebenarnya kalau hasil penelitian, ini bukan kata saya, lima tahun yang paling bagus. Bukan satu tahun atau dua tahun. Katakanlah perempuan menikah umur 21 tahun, melahirkan anak pertama lalu anak kedua pada usia 26 tahun. Setelah 30 tahun, kehamilan bagi perempuan beresiko tinggi. Jadi diambil idealnya dua anak. Apalagi dengan dunia IT sekarang yang bebas dengan adanya internet, lebih dari dua anak susah mengawasinya. Belum lagi penyalahgunaan narkotika dan obat terlarang. Hari ini saya sosialisasi di sekolah, begitu saya pulang, ketangkap. Begitu dicek di daftar namanya, sudah ikut sosialisasi lagi. Beberapa bulan lalu juga, ketangkap enam anak usia 9-14 tahun. Ini apa? Akibat ketidakmengertian orang tua, faktor kemiskinan juga, generasi-genarasi kita rusak atau dirusak. Bisa bayangkan dua puluh tahun lagi kayak apa. Saya tahun kemarin, bulan Oktober, waktu kunjungan dinas ke Kalimantan Selatan, ada paparan dari Polda, tahun 2015 mereka menangkap 760 sekian orang dengan jumlah barang bukti sekitar 1,2 juta sekian, macam-macam obat. Tahun 2016, sembilan bulan setelah kunjungan saya, mereka sudah menangkap 780 sekian orang dengan jumlah barang bukti yang mencengangkan, 15 juta sekian. Dua belas kali lipat. Saya ribut. Pada saat rapat dengan Bareskrim di Jakarta, saya minta minta, perhatikan. Pak gubernur saya ketemu. Saya sampaikan juga secara tertulis kepada Pak Kapolda, BNN, saya minta tolonglah, ini generasi kita hancur kalau begini terus. Akhirnya di Palangka Raya kan ada digerebek dan didapat 40 jutaan butir. Sebenarnya pasar kita adalah Kalimantan Selatan makanya yang ketangkap aja sampai 15 jutaan. Yang lolos berapa juta, penduduk kita cuma berapa. Anak-anak kita itu hanya korban.

T: Sekarang saya ingin menanyakan, ini agak sensitif, isu rasial, sebagai Orang keturunan Tionghoa apakah selama ini dalam proses integrasi agak terkendala?

J: Awal-awal. Karena apa? Biasalah saya katakan. Saling curiga-mencurigai. Saya berniat baik, belum tentu orang bisa menerima. Pasti ada kecurigaan. Jangan-jangan baiknya cuma pura-pura, kan begitu. Begitu juga sebaliknya. Jangan-jangan ini, jangan-jangan itu tapi saya kan punya tekad. Nanti waktu yang membuktikan. Makanya saya terjun di politik ini sejak tahun ’98. Tahun ’99 ikut pemilu, terpilihlah jadi anggota DPRD Provinsi. Di DPRD Provinsi sepuluh tahun. Masyarakat bisa melihat dan menilai. Saya tidak mengatakan saya baik tapi yang jelas masyarakat masih memberi kepercayaan. Saya tidak macam-macam, tidak cari sana-cari sini, tidak mencampur bisnis dengan politik.

T: Di tingkat individu, menurut Pak Ali, bagaimana cara paling efektif untuk mencapai integrasi sosial antara Orang Indonesia Keturunan Tionghoa dengan Orang-orang non Tionghoa di Kalimantan Tengah?

J: Jangan merasa sebagai orang yang superior, apapun posisi kita. Kita berhadapan dengan orang desa, bahasanya bahasa orang desa. Kita berhadapan dengan pedagang, ya bahasa pedagang. Kan begitu. kita berhadapan dengan sopir, ya bahasa sopir. Artinya apa? Jangan kita merasa diri kita lebih superior dari orang lain. Jangan merasa kita itu sebagai orang yang lebih, gitu lho. Apalagi kalau punya jabatan, atau status sosial yang lebih, yah itulah penyakit kita sebagai manusia. Kalau kita merasa status sosial kita lebih, kita itu memandang orang lain rendah.

T: Ada sementara pandangan bahwa Uluh Kalteng seharusnya beridentitas Kalteng termasuk etnik Tionghoa. Pendapat Pak Ali terhadap pandangan ini?

J: Identitas itu tidak bisa dipungkiri. Kita harus menyatakan bahwa kita itu beda tapi bukan perbedaan itu yang dipermasalahkan. Bhineka Tunggal Ika. Beraneka ragam tapi sama. Samanya apa? Cita-citanya. Indonesia sebagai satu kesatuan kan? Kita berbeda-beda wajar, beda agama wajar. Jangan kita permasalahkan perbedaannya.

T: Bagaimana Pak Ali melihat konsep Bhineka Tunggal Ika dalam hubungannya dengan identitas ini? Apakah identitas tidak menjadi sekat dalam pergaulan bangsa?

J: Saya rasa tidak ya. Memang ini satu filosofi yang sangat mendalam. Tidak semua orang memahami persoalan demikian, masih banyak yang berpikiran sempit tapi disitulah tantangannya. Dan Indonesia, dengan filfosofi Bhineka Tunggal Ika itu, saya katakan ini satu berkah yang luar biasa. Tanpa itu kita bisa cerai-berai. Indonesia ini satu negara-bangsa. Sebenarnya inilah tugas kita meneruskan cita-cita founding father kita, melanjutkan grand design founding father dulu. Platform ini. Dalam arus globalisasi, kita dikatakan tidak siap, siap. Dikatakan siap, tidak siap. Perubahan-perubahan yang terjadi dalam sistem berdemokrasilah sehingga banyak terjadi hal-hal yang luar biasa. Tapi sebenarnya ini suatu tantangan bagi kita semua.

T: Apa saran Pak Ali agar etnik minoritas tidak semakin termarjinalkan dan posisinya setara sebagai warga negara yang bermartabat?

J: Kalau saya melihat bagaimana mereka meningkatkan kualitas. Kita hanya menang kuantitas sementara ini. Unggul dari segi kuantitas tapi segi kompetensi dan sebagainya, lemah. Apalagi menurut data, masa sekolah Orang Dayak ini hanya rata-rata tujuh koma sekian tahun, jadi wajib belajar sembilan tahun itu pun belum terpenuhi. Apalagi yang dua belas tahun. Tinggal bagaimana pemerintah melakukan pemerataan pembangunan. Distribusi pembangunan sekarang kan pincang, lebih banyak berdasarkan selera kepala daerah.

T: Dari Etnik Tionghoa yang ada di Kalteng sendiri, apa ada semacam upaya melakukan hybrid culture?

J: Sebenarnya yang paling efektif itu kan memang melalui pembauran secara kekeluargaan. Itu sudah banyak terjadi. Tapi saya bilang, yang lebih efektif lagi daripada itu tanpa harus melepaskan identitas kita, karena biar kemanapun kan kita tidak bisa memungkiri identitas itu, adalah kita tidak membeda-bedakan hal itu. Saya bilang, cobalah teman-teman masuk ke dalam dunia politik. Waktu saya masuk dunia politik, teman-teman itu marah, “Ngapain masuk dunia politik? Ingat pelajaran tahun enam lima. Gimana nasib kita? Nanti gara-gara kamu, kami semua sengsara.” Maka ada yang mencurigai, ini dari keluarga kami juga, “Ah, paling-paling untuk cari proyek aja”. Justru yang marah bukan saya. Teman-teman saya, staf-staf saya padahal staf saya ada Orang Jawa, ada Orang Dayak, orang mana-mana. Mereka yang marah, “Kok enak sekali kalian ngomong begitu”, kata mereka. Saya bilang, “Kalian tidak perlu marah. Wajar mereka curiga,” tapi saya bilang saya punya satu keyakinan nanti waktu yang membuktikan. Itu tantangan bagi saya. Sampai saya bilang, “Saya memposisikan diri dalam dunia politik ini adalah sebagai bumper. Bumper kalian. Yang namanya bumper itu tidak pernah bahagia, tidak pernah enak. Hujan kena hujan, panas kena panas, tabrakan hancur. Tak ada penghargaan, namanya bumper kan.” Apa yang saya kerjakan sekarang ini, bukan yang ingin dicapai sekarang. Tapi bagaimana nanti untuk waktu yang akan datang. Anak cucu kita. Bagaimana dia bisa berbaur dengan masyarakat setempat secara lebih harmonis, bisa saling bekerja sama, saling memperhatikan. Ternyata hal-hal seperti itu sudah mulai terjadi di Kalimantan Tengah ini. Katakanlah saya dulu pernah mau diganggu orang, saya diam aja. Saya nggak marah tapi yang marah adalah orang-orang di sekeliling saya. Yang di sekeliling saya siapa? Ya Orang Dayak, ya Orang Banjar, dan seterusnya. Tanpa saya meminta, mereka sudah menganggap bahwa kita ini sudah bersaudara.  Bersaudara bukan karena pertalian darah, karena kita sering bertemu, berinteraksi, memperhatikan, malah kadang-kadang lebih dari saudara. Hal-hal seperti itulah yang saya rasakan. Saya rasa yang agak bisa membuat rusuh bukan masyarakat di bawah. Elit, karena kepentingan. Itu aja. Kalau di bawah itu tidak ada masalah, elit-elit ini yang bisa memainkan. Jadi saya pikir, itu semua gara-gara elit. Kalau di masyarakat bawah itu paling-paling masuk tindakan kriminal tapi kemudian ada yang menunggangi. Nah itu.[]

Pewawancara: Andriani SJ Kusni

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Juru Foto: Kusni Sulang

Wawancara Eksklusif Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Habib H. Said Ismail

Telah siar di Halaman Budaya Sahewan Panarung, Radar Sampit, Minggu, 20 Januari 2019

“Harmonisasi. Itulah Puncak Pembangunan di Kalimantan Tengah.”

Pewawancara: Andriani SJ Kusni

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Juru Foto: Kusni Sulang

Wawancara Eksklusif Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Habib H. Said Ismail
Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Habib H. Said Ismail menerima pengasuh Halaman Budaya Sahewan Panarung, Andriani SJ Kusni, di ruang kerjanya di Kantor Gubernur Kalimantan Tengah, untuk melakukan wawancara eksklusif bertema “Menggalang Interaksi Horisontal dan Vertikal yang Republikan dan Berke-Indonesia-an di Kalimantan Tengah”, Kamis, 17/01/2019.
Foto/Dok.: Kusni Sulang

Radar Sampit dari Jawa Pos Group berterimakasih kepada Wakil Gubernur Kalimantan Tengah, Habib H. Said Ismail, yang sudah menerima permintaan wawancara bertema “Menggalang Interaksi Horisontal dan Vertikal yang Republikan dan Berke-Indonesia-an di Kalimantan Tengah”. Sebelumnya, kami ingin menjelaskan beberapa istilah yang kami pakai agar tidak salah tafsir: Uluh Kalimantan Tengah – Orang Kalimantan Tengah (semua penduduk Kalimantan Tengah) tanpa membedakan partai, agama, keyakinan dan kepercayaan; Republikan – kemerdekaan/kebebasan, kesetaraan dan persaudaraan; Berke-Indonesia-an – Kebhinnekaan dan persatuan.

Tanya: Bagaimana Bapak melihat praktek interaksi republikan dan berke-Indonesia-an baik horisontal ataupun vertikal dewasa ini di Kalimantan Tengah? Ada yang berpendapat bahwa keadaan Kalimantan Tengah ibarat “padang ilalang kering”.

Jawab: Saya tidak setuju dengan istilah ibarat padang ilalang kering. Saya asli Kalimantan Tengah. Selama ini kita melihat kehidupan republikan dan berkeindonesiaan di Kalimantan Tengah ini sudah bagus, kalau menurut saya. Terlepas dari adanya intrik-intrik politik yang menimbulkan dan memicu sedikit perbedaan, demo, kekerasan, itu bagi saya wajar di suatu daerah. Apalagi sekarang ini era keterbukaan. Era transparansi. Hanya memang agak kebablasan. Jadi sekarang tinggal bagaimana kita dan pemerintah menyikapi itu. Bagaimana menampung itu semua serta mengambil kebijakan-kebijakan positif bagi semua pihak. Tinggal itu saja agar ilalang yang kering ini bisa lembab sedikit. Jadi saya tidak setuju dikatakan Kalimantan Tengah ini ibarat ilalang kering. Selama Kalimantan Tengah berdiri baru satu kali terjadi kejadian yang lumayan besar. Kalau kejadian-kejadian kecil, di Kumai sering, di Kapuas pernah kejadian kecil tapi biasalah antar kelompok, antar warga, dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Contoh saja Maluku, sudah berapa kali. Kalau istilah ilalang kering itu, boleh dikata untuk daerah-daerah tertentulah. Ada spot-spot tertentu misalnya Palangka Raya. Itu cuma karena unsur politik, tidak ada unsur yang mencederai rasa kebangsaan, tidak mencederai rasa persaudaraan sesama warga negara Indonesia. Murni unsur politik, unsur kepentingan dari golongan-golongan tertentu.

Tanya: Menurut pengamatan Bapak, apakah di Kalimantan Tengah terdapat ghetto budaya dan budaya ghetto?

Jawab: Tidak ada. Ghetto itu kan rumah Yahudi ya… yang dia sendiri, yang menyepi. Betang bukan ghetto. Kalimantan Tengah ini punya falsafah huma betang yang justru dalam huma betang itu bercampur semua unsur, semua etnik, semua agama. Berinteraksi dalam rumah tersebut dan keluar mengurus pekerjaan masing-masing tatkala masih menjadi warga huma betang itu sendiri. Jadi nggak ada ghetto, menurut saya. Saya sudah keliling desa-desa. Saya memang senang jalan-jalan. Saya ada waktu, biasanya Jumat, Sabtu, Minggu, nggak ada kerjaan, saya jalan keliling. Apakah itu untuk dakwah, mengunjungi teman, melihat jalan-jalan yang dibangun oleh komunitas. Secara diam-diam ya, tanpa SPPD. Jalan sendiri. Saya pakai motor trail, saya juga masuk komunitas jip, sekalian naik jip ke daerah gunung-gunung, satu kali jalan. Ghettoisme nggak ada.

Tanya: Apakah itu berarti Kalimantan Tengah tidak memerlukan suatu politik etnik yang mempersatukan?

Jawab: Politik etnik bagi saya, diperlukan untuk menyatukan etnik-etnik tertentu. Dan setelah bersatu, disatukan kembali dalam satu rumah besar yang bernama betang dengan falsafah huma betang yakni Kalimantan Tengah. Lalu disatukan dalam kerangka Bhineka Tunggal Ika. Kalau politik etnik di Kalimantan Tengah sekarang ini sepertinya tidak jalan.

Tanya: Artinya ada politik etnik tapi tidak jalan?

Jawab: Ada.

Tanya: Kenapa tidak jalan menurut Bapak?

Jawab: Karena kita tahu kesadaran Orang Palangka Raya dalam berkebangsaan sebagai republikan  dan berkeindonesiaan, cukup besar. Tinggal bagaimana elit-elitnya entah itu elit politik, elit dalam golongan, elit-elit dalam bidang usaha, tokoh-tokoh adat, tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh pemuda, bisa menyatukan semuanya.

Tanya: Politik etnik yang ada sekarang, bentuknya seperti apa berdasarkan pengamatan Bapak?

Jawab: Misalnya, tatkala pilkada. Pilih putra daerah. Harusnya nggak perlu ada itu. Misalnya lagi dalam pemilihan-pemilihan, saya Jawa, saya Dayak, saya Banjar… itu politik etnik ya. Namun saya melihat bahwa itu tidak mempengaruhi atau mencederai rasa persatuan di bumi Kalimantan Tengah ini. Saya tahu. Saya memperhatikan itu semua. Pemerintah memiliki Forum Pembauran Kebangsaan untuk memperkecil sentimen-sentimen kesukuan. Memperkecil efek negatif dari sentimen-sentimen kesukuan tersebut.

Tanya: Tapi bukan berarti hilang efek-efek negatif tersebut?

Jawab: Betul. Masih ada itu semua. Dunia ini dari jaman Nabi Adam sudah ada efek negatif dari hal-hal demikian.

Tanya: Jadi bagaimana konkritnya meminimalisir efek negatif sentimen-sentimen kesukuan tersebut?

Jawab: Kita membina forum-forum. Ada Forum Pembauran Kebangsaan, Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat, Forum Bela Negara. Dan juga ada lembaga-lembaga lain di luar pembinaan pemerintah. Itu semua untuk meminimalisir sentimen-sentimen etnik yang nantinya bisa memunculkan kecemburuan etnik tatkala satu suku merasa paling besar, paling hebat. Kita harapkan forum-forum tersebut turut menyulut rasa kesetiakawanan di Kalimantan Tengah.

Tanya: Dalam satu rapat forum di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol), ada peserta rapat berpendapat bahwa dalam hubungan antar etnik di Kalimantan Tengah yang berlaku adalah “siapa yang kuat dialah yang menang (survival of the fittest). Bagaimana pendapat Bapak? Benarkah prinsip ini diterapkan dalam hubungan antar etnik? Semestinya bagaimana jika tidak benar?

Jawab: Itu terlalu berlebihan. Nah, andaikata prinsip itu dijalankan, coba kita tanya kembali pada orang-orang, etnik siapa sih yang menang disini? Etnik mana sih yang merasa besar disini? Menurut saya pribadi, mereka saling melindungi. Saya memang bukan asli Dayak tapi berdarah Dayak, sudah tujuh turunan di Kalimantan Tengah. Datuk saya kawin dengan Orang Dayak juga. Kadang-kadang ada yang bilang saya ini keturunan Arab, “Orang Arab kok menjajah disini” tapi buktinya saya akrab dengan Orang Dayak, dengan Orang Jawa luar biasa, dengan Orang Bugis, Orang Manado, tinggal bagaimana kita menularkan dan mengajarkan itu semua kepada masyarakat bahwa kita satu. Satu bangsa Indonesia. Dan siapapun yang berdiam, berdomisili, berwarganegara Indonesia, memiliki hak dan kewajiban yang sama, dalam tanda kutip. Saya bilang begitu. Mereka menerima. Silahkan tanya jika ketemu tokoh-tokoh masyarakat, tokoh-tokoh adat, siapa Habib Ismail, insya allah tak ada negatif. Negatifnya paling cuma satu, ngalor-ngidulnya…

Tanya: Jadi semestinya bagimana prinsip dalam hubungan antar etnik?

Jawab: Prinsip kita ya, kalau menurut saya, ayo puji Dayak. Budaya Dayak kita kembangkan bersama, rasa sosial dan kesetiakawanan, adat-istiadat, silahkan angkat. Angkat bersama-sama. Tapi satu, jangan hina adat yang lain. Jawa begitu juga. Silahkan, mau wayangan, mau reog, mau tayyib. Silahkan dan bilang ini kesenian yang paling bagus, ini kesenian yang paling tua di Indonesia. Silahkan tapi jangan hina adat yang lain. Begitu juga suku-suku lain. Jadi caranya sekarang agar kita damai cuma satu, silahkan kita puji diri kita tapi jangan hina orang lain. Yang bikin konflik berkepanjangan ini adalah ada kata-kata yang kadang-kadang secara tidak langsung menyinggung perasaan orang lain. Itu harus kita pelajari, harus kita sadari, agar jangan keluar dari mulut kita. Misal, Islam agama terbaik. Benar. Tapi jangan kita bilang, “Islam agama terbaik, agama lain tak bagus”. “Kristen agama terbaik karena menyebarkan kasih damai. Hindu, Budha, Islam, tak baik”. Jangan. Silahkan angkat masing-masing. Itu satu-satunya cara agar kita bisa bersatu.

Tanya: Sekarang mengenai masalah kebudayaan. Kalimantan Selatan telah beberapa kali menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Banjar yang antara lain membahas apa-siapa Orang Banjar dan apa-bagaimana kebudayaan Banjar itu. Untuk terciptanya interaksi mendasar yang republikan dan berke-Indonesia-an, apakah di Kalimantan Tengah kita perlu menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Uluh Kalimantan Tengah?

Jawab: Saya kira perlu untuk menyatukan.  Dan satu hal yang harus kita angkat adalah bahwasanya di Kalimantan Tengah pernah berdiri kerajaan besar, Kerajaan Kotawaringin. Dalam kongres kebudayaan, adat kerajaan wajib diangkat juga.

Tanya: Dalam konteks ini, bagaimana pendapat Pak Wagub jika Festival Isen Mulang dikembangkan menjadi Festival Isen Mulang Uluh Kalimantan Tengah? Alasan-alasan Bapak?

Jawab: Saya setuju itu. Dengan kecenderungan memprioritaskan Dayak dengan prinsip Dimana Langit Dijunjung Disitu Bumi Dibangun, meminjam istilah ayahanda Kusni Sulang, karena kita berdiri, berdiam, menggunakan segala sesuatu yang ada di Tanah Dayak. Kita angkat kebudayaan Dayak ini bukan hanya di kancah kita sendiri tapi juga di kancah nasional hingga internasional. Kemarin ada kongres kebudayaan di Arab Saudi, diundang. Saya sudah siap berangkat tapi karena nggak ada dana, nggak jadi. Isen Mulang di Yogya, tanya aja Orang Yogya. Ini panitianya (maksudnya, beliau-ASK), berapa kali, kami donaturnya. Isen Mulang mini di Jakarta juga. Sekarang andaikata bisa, Isen Mulang Kalimantan Tengah. Saya setuju itu.

Tanya: Dalam waktu hampir bersamaan di Kalimantan muncul dua organisasi baru, Forum Intelektual Dayak dan Ikatan Cendekiawan Dayak Nasional. Bagaimana Pak Wagub melihat hal ini dari segi interaksi antar etnik, kepentingan Kalimantan Tengah dan bangsa?

Jawab: Sah-sah saja. Karena saya orang politik, saya memandang dari sisi politik. Salah satunya dipelopori oleh orang politik juga, Bapak Willy Yoseph, saya yakin dan saya kira wajar, ke depan akan menjadi satu kekuatan politik juga.

Tanya: Bapak memiliki harapan khusus terhadap hadirnya dua forum ini?

Jawab: Harapan saya, mereka benar-benar mengumpulkan Orang Dayak yang pintar-pintar di Kalimantan bukan hanya di Kalimantan Tengah saja agar bisa semakin memotivasi anak-anak muda kita bahwa Orang Dayak ini banyak yang pintar, banyak yang profesor. Kita berharap anak-anak muda bisa mengikuti jejak langkah mereka. Kedepannya, entah forum-forum ini mau dipakai untuk kekuatan politik, itu terserah. Bukan wewenang kita untuk menghalangi atau menyetujuinya. Kita cuma memandang sisi manfaat sosialnya. Bagi saya, bagus. Karena nanti isinya adalah cendekiawan-cendekiawan yang tentunya mempunyai kompetensi, mudah-mudahan bisa memberi angin sejuk untuk Kalimantan Tengah agar ilalangnya tidak kering. Bisa memberi pengertian-pengertian pada masyarakat bagaimana sih Indonesia yang bersatu itu. Hukum positif berlaku di negara kita, bukan hanya hukum adat walau hukum adat diakui.

Tanya: Ada yang berpendapat bahwa dalam keadaan Indonesia seperti hari ini dan Kalimantan Tengah yang ibarat “padang ilalang kering”, pendekatan kebudayaan tidak diperlukan. Yang perlu dan mendesak adalah diterapkannya kembali “pendekatan keamanan”. Pendapat Bapak?

Jawab: Bagi saya, perlu keduanya. Pendekatan kebudayaan diperlukan karena orang yang memahami kebudayaan biasanya adalah orang yang tidak mau menyakiti orang lain dan senang kedamaian. Orang yang punya jiwa seni, bagi saya adalah orang yang romantis. Pendekatan keamanan juga diperlukan agar kita semua sadar bahwa segala sesuatu yang kita lakukan harus menjamin keamanan masyarakat sekitar kita. Jangan sampai yang kita lakukan memicu terjadinya gangguan kamtibmas. Silahkan menyampaikan pedapat. Silahkan mengkritik atau berorasi. Namun tetap menjaga keamanan dan ketertiban. Dan yang bisa menjamin itu semua adalah pendekatan keamanan itu tadi agar tidak mengganggu stabilitas keamanan karena melakukan hal-hal di luar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Tanya: Sekarang tentang hubungan atau interaksi vertikal, terutama antara warga dan penyelenggara Negara. Sebagai pejabat negara, apakah Bapak terbuka terhadap kritik?

Jawab: Terbuka. Bahkan mungkin, mungkin… saya satu-satunya manusia disini yang menghadapi kritik dengan tertawa.

Tanya: Bagaimana melancarkan kritik sebaiknya?

Jawab: Kritik semestinya bukan hanya menyalahkan namun turut memberi sumbangsih solusi terhadap apa yang dianggap masalah agar masalah tersebut bisa diluruskan.  Andaikata menyalahkan saja, itu namanya marah. Kita mengharapkan semua warga negara memiliki sensitivitas terhadap kinerja para pejabat negara. Itu bukti mereka memperhatikan kita. Tatkala ada program-program kerja kita yang dikritik, kita senang. Itu tanda perhatian. Kadang-kadang yang mengkritik ini cendekiawan lho, gelarnya doktor lho.  Ya, saya ngaku salah. Saya tanya, solusinya apa, apa yang harus dilakukan? Diam.

Tanya: Pernah mengalami itu (menghadapi pengkritik yang hanya bisa mengkritik tanpa memberi solusi-ASK)?

Jawab: Bukan pernah lagi. Sering. Di facebook, instagram. Orang mengkritik, bilang saya goblok. Saya bilang alhamdulillah. Kalau saya pintar, saya nggak jadi wakil gubernur, saya jadi presiden. Orang bilang saya goblok, tak ada masalah karena saya diajarkan oleh orang tua saya tatkala kita memandang orang, pandang orang itu lebih tinggi dari kita, tatkala kita memandang diri sendiri, pandang diri sendiri lebih bodoh dari orang.

Tanya: Jadi Bapak tidak menilai kritik sebagai hinaan, pembunuhan karakter dan atau pencemaran  nama baik?

Jawab:  Tidak. Oh, kalau dianggap sebagai pembunuhan karakter, sering, sampai pada kehidupan keluarga. Saya santai. Yang baru-baru ini soal Grab itu (Wakil Gubernur menjadi supir Grab di waktu luang-ASK), saya santai saja. Itu wajar karena saya sadar saudara kembar pun yang dilahirkan bersama, pasti cara berpikirnya berbeda. Kita tidak bisa menyatukan pola pikir satu dengan lainnya tapi menyamakan persepsi bisa. Misal tujuan kita ke depan apa, bisa kita samakan. Dan itu betul-betul saya sadari. Pola pikir mempengaruhi pola kerja, pola pikir mempengaruhi cara kita berinteraksi dengan masyarakat, dan pola pikir juga mempengaruhi visi misi ke depan. Pola pikir mempengaruhi semua.

Tanya: Pertanyaan terakhir, menurut Bapak, bagaimana sebaiknya hubungan penyelenggara Negara dengan warganegaranya? Idealnya seperti apa?

Jawab: Idealnya adalah penyelenggara negara berkewajiban mengakomodir segala sesuatu yang dianggap perlu, penting, dan menjadi prioritas oleh warga negaranya. Sekali lagi, warga negara. Bukan kelompok tertentu. Penyelenggara negara juga harus bisa menangkap apa kemauan mayoritas warga negara. Andaikata ada warga negara tidak setuju dengan apa-apa yang lakukan penyelenggara negara, silahkan ajukan ketidaksetujuan tersebut. Masalahnya apa dan beri saran solusi terbaik. Bagi saya, warga negara juga harus bisa melihat sisi positif kerja keras penyelenggara negara yang sudah bekerja siang-malam menyumbangkan pikiran dan tenaga untuk menjaga stabilitas keamanan, stabilitas ekonomi, semuanya. Warga negara harus sadar bahwa dia bisa ke pasar dengan damai, dia bisa belanja dengan enak, itu juga adalah peran serta penyelenggara negara. Dan juga penyelenggara negara harus bisa membawa dirinya agar sering-sering bertemu dengan warga negara. Pemimpin harus sering bertemu masyarakat. Pemimpin harus sering berinteraksi dengan masyarakat. Pemimpin harus mendengar keluh-kesah masyarakat. Pemimpin juga harus bisa memberikan pemikiran-pemikiran untuk menjamin kesejahteraan dan ketentraman masyarakat. Bukan hanya sejahtera. Buat apa kita sejahtera kalau tidak tenteram.  Buat apa kita kaya kalau hidup tidak aman. Dan buat apa juga kita hidup aman kalau kesejahteraan tidak tercukupi. Setelah sejahtera dan aman, keharmonisan itulah puncak keberhasilan pembangunan kita. Puncak keberhasilan di Kalimantan Tengah ini jika bisa menjamin harmonisasi antara seluruh penduduk atau masyarakat. Mereka hidup harmonis, saling menghargai, saling bertoleransi, saling tolong-menolong, guyub, rukun, bisa bergotong-royong, saling tepo-seliro, itulah puncak keberhasilan pembangunan di Kalimantan Tengah, bagi saya.[]

LESTARIKAN BAHASA DAERAH

Ayo Lestarikan Bahasa Daerah
Jumat, 03 Oktober 2014, 16:00 WIB

Bahasa-bahasa yang tersebar di sejumlah negara di dunia perlu dilestarikan agar terhindar dari ancaman kepunahan. Dari total 2.303 bahasa di Asia, sekitar 879 bahasa terancam atau hampir punah. Terancam dalam arti bahasa tersebut dikuasai orang tua, tapi tidak diajarkan kepada anak-anak mereka. Hampir punah dalam arti orang tua tidak menggunakan bahasa tersebut. Di Indonesia, dari 706 bahasa, ada 330 bahasa yang terancam atau hampir punah.

Pakar Pendidikan Sheldon Shaeffer mengatakan, bahasa daerah atau bahasa ibu perlu digunakan dalam dunia pendidikan agar tetap lestari. Menurutnya, dunia pendidikan memegang peranan penting untuk kelestarian budaya daerah. Bahasa daerah yang aktif digunakan sebagai pengantar di sekolah berpotensi bisa terus hidup.

Penggunaan bahasa daerah  juga mampu membantu anak didik lebih memahami pelajaran yang diterima di sekolah. Pasalnya, di berbagai daerah tidak semua siswa mampu berbahasa Indonesia. Alhasil, penggunaan bahasa daerah di sekolah memiliki dua sisi positif. Di satu sisi, akan melestarikan bahasa, di sisi lain akan meningkatkan pemahaman siswa terhadap pelajaran yang diterima di sekolah.

Kebanyakan anak di daerah belum bisa berbahasa Indonesia. Kalau guru memaksa mereka menggunakan bahasa Indonesia, akan sulit. “Tapi jika pengantar menggunakan bahasa daerah, orang tua mereka bisa membantu mengajarkan di rumah,” kata Sheldon.

Ia menyayangkan sistem pendidikan di Indonesia tidak menggunakan bahasa adat sebagai pengantar. Sekolah-sekolah tidak menggunakan bahasa ibu sehingga para siswa tidak mengenal bahasa ibu mereka.

Sheldon mengatakan penting bagi guru untuk memahami fase belajar yang disesuaikan dengan perkembangan anak dalam berbahasa. Jika dalam kehidupan sehari-hari mereka biasa mendapatkan bahasa ibu maka hendaknya digunakan pula dalam pengantar di sekolah. Saat ini ia melihat masih banyak anak di pelosok nusantara yang menghadapi kendala dalam memahami pelajaran dan akhirnya prestasi belajar mereka tidak optimal.

Hasil survei yang dilakukan oleh Southeast Asian Minister of Education Organization Regional Centre of Quality Improvement of Teacher and Education Personal (SEAMO QITEP) in Language menunjukkan penggunaan bahasa daerah perlu dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia, terutama di wilayah pelosok di Indonesia.

Direktur SEAMO QITEP Felicia Nuradi Utorodewo mengatakan bahwa program pendidikan multibahasa berbasis bahasa ibu memfokuskan daerah menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar yang selanjutnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar.

Felicia mengatakan bahwa idealnya pada kelas 4 SD barulah para guru menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dalam kelas. Hal ini pula yang dilakukan di beberapa negara, seperti Filipina, Thailand, dan Kamboja. Negara tersebut mendapatkan dukungan dari kementerian pendidikan setempat dan UNESCO. Mereka menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar hingga kelas 3 SD. “Dari kelas 1-3 siswa diajarkan bahasa ibu, setelah itu kemudian bahasa kedua,” ujarnya.

Belum berpihak

Staf pengajar Universitas Lambung Mangkurat Jumadi mengatakan bahwa Kurikulum 2013 belum berpihak pada penggunaan bahasa daerah. Meski ada mata pelajaran muatan lokal alias mulok yang wajib diajarkan di sekolah, tidak semua sekolah mengajarkan bahasa daerah untuk kegaiatan mulok. Ada sekolah-sekolah yang berinisiatif untuk mengajarkan pelajaran membatik atau seni budaya daerah sebagai mulok. Hal ini, menurutnya, mengurangi potensi penggunaan bahasa daerah di sekolah meskipun tidak ada salahnya juga sekolah mengajarkan seni budaya daerah. Muatan lokal memang memberikan kebebasan bagi sekolah untuk menentukan apa yang akan diajarkan. “Yang suka membatik, sekolah akan memilih membatik sebagai mulok,” katanya.

Hal serupa juga dikemukakan Staf Ahli Dinas Pendidikan, Pemuda dan  Olahraga Provinsi Bali I Wayan Widana. Ia mengatakan bahwa penggunaan bahasa daerah cukup menemui banyak hambatan. Di Bali misalnya, masyarakatnya lebih tertarik menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut bukan tanpa alasan lantaran bahasa Inggris dinilai bisa mendatangkan uang. Padahal, bahasa Bali juga erat berkaitan dengan budaya dan ritual agama Hindu.

Staf  pengajar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Udjang Basir mengungkapkan penggunaan bahasa daerah di Jawa Timur tak bisa lepas dari dukungan pemerintah. Bersama para guru bahasa daerah, wilayah Surabaya akhirnya bisa meng-goal-kan penggunaan bahasa daerah sebagai mulok yang wajib diterapkan di semua sekolah di Jawa Timur. Dengan instruksi dari gubernur, ternyata penggunaan bahasa daerah bisa dimasifkan di lingkungan sekolah.

Hal serupa juga dilakukan di Papua. Ketua PGRI Papua Nomensen ST Mambraku mengatakan, di Papua kini diupayakan makin memopulerkan bahasa daerah. Wilayah paling timur Indonesia ini memiliki lebih dari seratus bahasa daerah. Menurutnya, bahasa daerah sangat membantu dalam kegiatan belajar mengajar lantaran anak-anak lebih akrab dengan bahasa mereka sehari-hari. Jika tidak digunakan di sekolah, ia juga khawatir bahasa Papua akan hilang.

Meski demikian bahasa merupakan budaya yang tak cukup diajarkan di sekolah saja. Kepala Pusat Penelitian kebijakan (Puslitjak) Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Bambang Indsriyanto, mengatakan selain sekolah, komunitas di daerah juga perlu mendukung agar bahasa daerah bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. rep:dwi murdaningsih ed: hiru muhammad

BAHASA DAERAH SEMAKIN PUNAH
Rabu, 05 Maret 2014, 12:00 WIB
Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA —  Ratusan bahasa daerah yang ada di Indonesia, kian terancam punah. Di Indonesia diperkirakan ada sekitar 746 bahasa daerah. Namun yang berhasil dipetakan oleh Balai Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada 594 bahasa daerah.

Kepala Balai Bahasa DI Yogyakarta, Tirto Suwondo mengatakan, kebanyakan bahasa daerah yang punah berada di luar pulau Jawa.  ‘’Kemungkinan bahasa daerah yang belum dipetakan tersebut punah karena tidak ada pemakainya lagi,’’ kata Tirto di kantornya, Selasa (4/3).

Pemetaan bahasa daerah tersebut dilakukan sekitar tiga atau empat tahun lalu. Jumlah bahasa daerah di Indonesia, menurut peneliti asing maupun dari Indonesia , jumlahnya tidak sama. Data terakhir menyebutkan jumlahnya sekitar 726 bahasa.

Tirto mengatakan, dari 400 lebih bahasa daerah yang berhasil dipetakan, jumlah penutur yang lebih  dari satu juta orang hanya ada 13 bahasa.  Antara lain Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Bugis, Bahasa Minang, Bahasa Bali.

Salah satu penyebab punahnya bahasa daerah karena jumlah penuturnya semakin sedikit. Biasanya, kata Tirto, bahasa daerah hanya dikuasai oleh para orang tua.  Sedangkan anak dan cucu mereka, kehidupannya sudah modern sehingga banyak yang menggunakan bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing. Tirto mengakui, bahasa daerah bisa tetap hidup selama penuturnya masih ada.

Bahasa Jawa, kata Tirto, pemakainya masih banyak. Namun dalam pergaulan anak-anak sekarang sudah tidak dipakai lagi. Untuk bahasa daerah yang jumlah pemakainya masih besar seperti  Jawa, Sunda dan Bali, di sekolah masih diajarkan. Bahkan untuk bahasa Jawa,  penuturnya tesebar di tiga provinsi yakni DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur).

Karena itu, dia memperkirakan bahasa Jawa belum akan punah namun mengalami penurunan jumlah penutur. ‘’Bahasa Jawa punahnya mungkin masih ratusan tahun,’’ kata Tirto.

Di sekolah formal mulai dari SD hingga SMA, saat ini  masih ada pelajaran bahasa Jawa. Pemda setempat pun, kata dia, masih gencar melakukan pembinaan bahasa Jawa kepada para guru. Disamping penuturnya masih banyak, keuntungan lain bahasa Jawa karena jenisnya tidak banyak.

Berbeda halnya dengan di Nusa Tenggara Barat misalnya, yang memiliki ragam bahasa daerah hingga 20 jenis. ‘’Akibatnya, pemerintah kesulitan untuk memilih bahasa mana yang akan dibina,’’ kata dia.

Meski masih terbilang banyak penuturnya, bahasa Sunda juga tergolong bahasa yang terancam punah. Kepala UPTD Balai Pengembangan Bahasa Daerah Jawa Barat, Husen M Hasan mengatakan, sudah banyak warga atau para pemuda khususnya yang meninggalkan bahasa Sunda.

Menurutnya, salah satu pengaruh yang terbesar adalah budaya asing yang masuk melalui media internet. Hasan mengatakan, globalisasi tidak bisa dihindari tapi upaya pencegahan agar budaya lokal tidak tergerus arus bisa dilakukan. Caranya, kata Hasan, para orang tua diimbau untuk selalu menggunakan bahasa Sunda sehari-hari di keluarganya masing-masing.

Dukungan pemerintah Jawa Barat, melalui pelajaran muatan lokal bahasa daerah yang wajib diajarkan di tingkat SD hingga SMP juga sangat mendukung. ‘’Tapi itu hanya dua jam pelajaran seminggu. Jadi yang paling penting itu dari keluarga sehari-hari,’’ katanya.

Di Sumatera Selatan (Sumsel), ancaman kepunahan bahasa daerah belum terlalu mengkhawatirkan.Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumsel, Aminulatif Ikob, mengatakan berbagai bahasa daerah yang ada di daerah itu masih banyak penuturnya

Bahasa ibu di sejumlah daerah di Sumsel, kata dia, masih terus dipakai untuk berkomunikasi di masing-masing komunitas. ‘’Bahasa Palembang, bahasa Komering, bahasa Kayuagung, bahasa Enim dan bahasa Lintang bisa dengan mudah kita jumpai di tengah masyarakat,’’ katanya.

Peran pemerintah daerah dengan memasukkan bahasa daerah dalam mata pelajaran yang diajarkan setiap satu minggu sekali, diakuinya sangat membantu. Dengan cara ini, pelestarian bahasa daerah ke generasi muda diharapkan bisa tercapai.

Peneliti bahasa dan sastra Lampung, Evi Maha Kastri mengatakan, penggunaan bahasa Lampung secara lisan masih dipergunakan masyarakat terutama di daerah dan pinggiran kota. Sedangkan di perkotaan, ia menegaskan hanya kalangan tertentu terutama sesama orang Lampung yang menggunakannya.

Menurutnya, bahasa Lampung belum bisa dikatakan terancam punah, karena masih terpakai baik lisan dan tulisan di berbagai daerah atau ulun di Lampung. ‘’Saya kurang setuju kalau dikatakan terancam punah. Tapi,kalau terjadi pergeseran barangkali.  Terutama di perkotaan yang masyarakatnya multikultural,’’ ujarnya.  N neni ridarineni/maspril aries/mursalin yasland, c30 ed: andi nur aminah.

Informasi dan berita lain selengkapnya bisa dibaca di Republika, terimakasih.[]

IKHTIAR SELAMATKAN BAHASA

Senin, 08 September 2014, 12:00 WIB

Globalisasi dimafhumi tak hanya mengantarkan informasi dan modernisasi ke pelosok negeri. Satu hal yang juga menjadi korbannya adalah keberagaman lokal, utamanya bahasa daerah.

Pendataan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak lama sudah mengungkapkan kian berkurangnya penggunaan bahasa daerah. Tak hanya itu, bahasa daerah juga kian lama terancam punah. Sejumlah bahasa malah sudah mengalami nasib tersebut.

Pulau Kalimantan secara keseluruhan adalah wilayah dengan bahasa-bahasa yang beragam. Terlebih, daerah tersebut ditinggali suku-suku yang beragam.

Kekhawatiran tersebut juga menyergap pihak Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). “Diperlukan solusi konkret untuk mencegah bergesernya bahasa daerah akibat perkembangan dan kemajuan zaman, sehingga bahasa daerah tetap lestari,” kata Ketua Tim Legsikograf Balai Bahasa Kalsel Musdalifah, Ahad (7/9).

Terkait kekhawatiran itu, menurut Musdalifah, Balai Bahasa tak tinggal diam. Mereka akan mengundang para peneliti dari seluruh Indonesia untuk menggagas cara menyelamatkan bahasa-bahasa daerah.

Para guru besar dari berbagai universitas akan dikumpulkan di Kabupaten Banjar, Kalsel, 10-11 September 2014. Para ahli tersebut, kata Musdalifah, akan mendiskusikan berbagai hal yang berkaitan dengan pergeseran bahasa daerah di seluruh Indonesia sekaligus mencari solusinya.

Sebelumnya, Balai Bahasa Kalsel juga telah melakukan perekaman bahasa daerah yang hampir punah di provinsi setempat. Saat itu, Musdalifah bersama empat anggota tim turun ke lapangan untuk melakukan perekaman terhadap bahasa yang hampir punah di beberapa kabupaten. “Salah satu kabupaten yang kami kunjungi adalah Kabupaten Barito Kuala tepatnya di Kecamatan Berangas Desa Berangas Timur untuk melakukan perekaman Bahasa Dayak Berangas yang diperkirakan hampir punah,” ujarnya.

Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 726 bahasa daerah. Tapi, yang berhasil dipetakan ada 456 bahasa daerah. Kebanyakan bahasa daerah yang punah di luar Jawa. ”Kemungkinan bahasa daerah yang belum dipetakan tersebut punah karena tidak ada pemakainya lagi,” kata Kepala Balai Bahasa DIY Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tirto Suwondo, beberapa waktu lalu.

Dari 400 lebih bahasa daerah yang berhasil dipetakan tersebut, jumlah pemakai yang lebih dari satu juta orang hanya ada 13 bahasa. Di antaranya, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bugis, bahasa Minang, bahasa Bali.

Menurut tirto,penyebab punahnya bahasa daerah karena jumlah pemakainya semakin sedikit. Biasanya, bahasa daerah itu hanya dikuasai para orang tua, sedangkan anak-anaknya dan cucunya kehidupannya sudah modern, sehingga banyak menggunakan bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing. antara ed: fitriyan zamzami

***
Bahasa Punah

Mapia (Papua)
Tandia (Papua)
Bonerif (Papua)
Saponi (Papua)

Terancam Punah:
Lom (Sumatera)
Budong-budong (Sulawesi)
Dampal (Sulawesi)
Bahonsai (Sulawesi)
Baras (Sulawesi)
Lengilu (Kalimantan)
Punan Merah (Kalimantan)
Kareho Uheng (Kalimantan)
Hukumina (Maluku)
Kayeli (Maluku)
Nakaela (Maluku)
Hoti (Maluku)
Hulung (Maluku)
Kamarian (Maluku)
Salas (Maluku)

Sumber: Balai Bahasa

Duh, 3.000 Bahasa di Dunia Terancam Punah

Rabu, 24 September 2014, 14:35 WIB

[ist]
Unesco
Unesco

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA– Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menyebutkan sebanyak 3.000 dari 6.000 bahasa di dunia hampir punah, sebagian besar merupakan milik etnis minoritas.

“Hampir 50 persen hampir punah, terutama bahasa suku atau etnis minoritas,” kata mantan Direktur UNESCO wilayah Bangkok Sheldon Shaeffer di Jakarta, Rabu.

Dalam seminar internasional bertema “Penggunaan bahasa daerah/ibu untuk meningkatkan kompetensi siswa sekolah dasar” yang digelar SEAMEO QITEP in Language, Sheldon mengatakan pelestarian bahasa daerah mendesak dilakukan.
Ia mengatakan dari 6.000 bahasa di dunia tersebut sebanyak 40 persen berstatus terancam punah dan hanya 10 persen yang aman.

“Sekitar 96 persen bahasa-bahasa ini digunakan oleh hanya 4 persen populasi dunia,” ungkapnya.

Khusus di wilayah Asia, dari 2.303 bahasa, 879 bahasa terancam atau hampir punah. Sedangkan di Asia Tenggara, dari 1.253 bahasa, sebanyak 527 bahasa terancam atau hampir punah. Data ini dapat dilihat lebih rinci di ‘ethnologue languages of the world.

Pengertian hampir punah adalah orang tua tidak menggunakan bahasa tersebut. Sedangkan terancam artinya bahasa dikuasai orang tua, tetapi tidak digunakan dengan anak-anak mereka. Sheldon mengatakan punahnya sebuah bahasa akan menghilangkan identitas atau budaya tertentu. Karena itu bahasa daerah atau bahasa ibu harus dikembangkan atau dihidupkan lagi karena bahasa menyimpan sejarah, dan bahasa membantu pembelajaran.

Sekretaris Jendral Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ainun Naim mengatakan pengembangan bahasa daerah di Indonesia dilakukan dengan integrasi pelajaran bahasa daerah dalam muatan lokal. “Muatan lokal dengan seni dan buadaya juga sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan bahasa daerah,” ujarnya.[]

Balai Bahasa Rekam Bahasa Hampir Punah di Kalsel

Rabu, 23 April 2014, 18:08 WIB
Antara/Dewi Fajrian
Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).
Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARBARU — Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan melakukan perekaman bahasa daerah yang hampir punah di provinsi setempat.  Itu dilakukan untuk menyelamatkan bahasa yang menjadi ciri khas suatu daerah terutama di pelosok dan daerah pinggiran kota.

Ketua Tim Legsikograf Balai Bahasa Kalsel Musdalifah SS MPd di Banjarbaru, Rabu (23/4) mengatakan, pihaknya bersama empat anggota tim sudah turun ke lapangan untuk melakukan perekaman terhadap bahasa yang hampir punah pada beberapa kabupaten di provinsi setempat.

“Salah satu kabupaten yang kami kunjungi adalah Kabupaten Barito Kuala tepatnya di Kecamatan Berangas Desa Berangas Timur untuk melakukan perekaman Bahasa Dayak Berangas yang diperkirakan hampir punah,” ujarnya.

Disebutkan, empat anggota tim Legsikograf dari Balai Bahasa Kalsel yang terjun langsung ke lapangan melakukan perekaman bahasa adalah Siti Jamzaroh M Hum, Ahmad Zaini SAg MPd, Anasabiqatul Husna SS, dan Laila SPd.

Dijelaskan Musdalifah didampingi Siti Jamzaroh yang merupakan peneliti di Balai Bahasa Kalsel, pihaknya melibatkan tujuh nara sumber yang merupakan tetuha masyarakat Berangas yang masih aktif menggunakan bahasa daerah itu.

“Proses perekaman dilakukan di Balai Desa Berangas Timur Kecamatan Berangas Barito Kuala selama lima hari sejak Selasa (22/4) hingga Sabtu (26/4) dan hasilnya akan disusun kemudian dijadikan kamus Bahasa Dayak Berangas,” ungkapnya.

Dikatakan, tujuan perekaman adalah mengumpulkan seluruh kosakata dan sastra yang masih digunakan dan berkembang di lingkungan masyarakat Berangas baik tertulis maupun lisan sehingga bisa disusun dan ke depannya menjadi kamus bahasa dayak setempat.[]

 

Ratusan Bahasa Daerah di Indonesia Punah

Selasa, 04 Maret 2014, 14:48 WIB

Sekolah dwibahasa/ilustrasi

Sekolah dwibahasa/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA –  Di Indonesia diperkirakan ada sekitar 726 bahasa daerah. Namun yang berhasil dipetakan ada 456 bahasa daerah. Kebanyakan bahasa daerah yang punah di luar Jawa.

”Kemungkinan bahasa daerah yang belum dipetakan tersebut punah karena tidak ada pemakainya lagi,”kata Kepala Balai Bahasa DIY Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tirto Suwondo di kantornya, Selasa (4/3).

Pemetaan bahasa daerah tersebut dilakukan sekitar 3-4 tahun yang lalu. Namun menurut peneliti asing maupun dari Indonesia yang meneliti bahasa daerah  di seluruh Indonesia tidak sama jumlahnya. Namun data terakhir menyebutkan jumlah bahasa daerah di Indonesia  sekitar 726 bahasa.

Dari 400 lebih bahasa daerah yang berhasil dipetakan tersebut, jumlah pemakai yang lebih dari satu juta orang hanya ada 13 bahasa antara lain: Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Bugis, Bahasa Minang, Bahasa Bali.

Penyebab punahnya bahasa daerah karena jumlah pemakainya semakin sedikit. Biasanya bahasa daerah itu hanya dikuasai oleh para orang tua, sedangkan anak-anaknya dan cucunya kehidupannya sudah modern sehingga banyak menggunakan bahasa Indonesia dan bahkan bahasa asing.

Diakui Tirto bahasa itu hidup sehingga mau tidak mau akan punah bila pemakainya sudah tidak ada. Karena bahasa hidup, maka bahasa yang besar akan mendesak bahasa yang kecil pemakainya.

“Perekaman kosakata bahasa Dayak Berangas untuk mendokumentasikan kosakata dan berbagai tradisi serta sastra lisan yang pernah hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat tetapi mulai ditinggalkan bahkan hampir punah,” ujarnya.[]Q

Balai Bahasa Abadikan Bahasa Hampir Punah di Kalimantan

Rabu, 23 April 2014, 11:33 WIB

Antara/Dewi Fajrian

Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).
Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARBARU– Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan merekam bahasa daerah yang hampir punah di provinsi setempat untuk menyelamatkan bahasa yang menjadi ciri khas suatu daerah terutama di pelosok dan pinggiran kota.

Ketua Tim Legsikograf Balai Bahasa Kalsel Musdalifah SS MPd di Banjarbaru, Rabu, mengatakan pihaknya bersama empat anggota tim sudah turun ke lapangan untuk melakukan perekaman terhadap bahasa yang hampir punah pada beberapa kabupaten di provinsi setempat.

“Salah satu kabupaten yang kami kunjungi adalah Kabupaten Barito Kuala tepatnya di Kecamatan Berangas Desa Berangas Timur untuk melakukan perekaman Bahasa Dayak Berangas yang diperkirakan hampir punah,” ujarnya.

Disebutkan, empat anggota tim Legsikograf dari Balai Bahasa Kalsel yang terjun langsung ke lapangan melakukan perekaman bahasa adalah Siti Jamzaroh, Ahmad Zaini, Anasabiqatul Husna, dan Laila.

Dijelaskan Musdalifah didampingi Siti Jamzaroh yang merupakan peneliti di Balai Bahasa Kalsel, pihaknya melibatkan tujuh nara sumber yang merupakan tetuha masyarakat Berangas yang masih aktif menggunakan bahasa daerah itu.

“Proses perekaman dilakukan di Balai Desa Berangas Timur Kecamatan Berangas Barito Kuala selama lima hari sejak Selasa (22/4) hingga Sabtu (26/4) dan hasilnya akan disusun kemudian dijadikan kamus Bahasa Dayak Berangas,” ungkapnya.

Dikatakan, tujuan perekaman adalah mengumpulkan seluruh kosakata dan sastra yang masih digunakan dan berkembang di lingkungan masyarakat Berangas baik tertulis maupun lisan sehingga bisa disusun dan ke depannya menjadi kamus bahasa dayak setempat.

“Perekaman kosakata bahasa Dayak Berangas untuk mendokumentasikan kosakata dan berbagai tradisi serta sastra lisan yang pernah hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat tetapi mulai ditinggalkan bahkan hampir punah,” ujarnya.

Ditambahkan, perekaman merupakan lanjutan kegiatan tahun lalu dengan lokasi berbeda yakni di Desa Alalak Utara Kota Banjarmasin dan menurut informasi nara sumber penutur aktif bahasa itu hanya tersisa sekitar 60 orang di Desa Alalak Utara sedangkan di Berangas lebih sedikit.

“Jumlah penutur aktif bahasa Dayak Berangas yang diperkirakan lebih sedikit itu menandakan bahasa daerah yang digunakan hampir punah sehingga kami berupaya menyelamatkannya sehingga ke depan bisa disusun menjadi sebuah kamus,” katanya.[]

PENDIDIKAN

Universitas Leiden Garap Perpustakaan Studi Bahasa Indonesia

Senin, 03 Maret 2014, 18:15 WIB
alternativesnews.org
Universitas Leiden
Universitas Leiden

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Universitas Leiden ingin memperkuat hubungan dengan Indonesia. Universitas tertua di Belanda ini mengunjungi Indonesia untuk makin mempererat hubungan. Hubungan Indonesia dan Leiden memang telah terjalin lama. Caspar Reinwardt, pendiri kebun raya Bogor, adalah profesor dan direktur kebun raya di Universitas Leiden.

Delegasi yang dipimpin oleh Rektor Carel Stolker ini mencari peluang kolaborasi baru dengan universitas, lembaga penelitian dan organisasi pemerintah.  Secara khusus, Stolker mendapatkan misi dari Leiden untuk mengembangkan perpustakaan studi Bahasa Indonesia.

“Kami akan melakukan kemitraan yang erat dengan rekan-rekan kami di Indonesia, juga akan dilakukan digitalisasi proyek-proyek ini sehingga materi yang tersedia dapat dinikmati oleh para sarjana di seluruh dunia,” kata Stolker.

Baru-baru ini, perpustakaan Universitas Leiden telah menjadi penanggung jawab atas koleksi buku-buku dari Royal Netherlands Institute of Southeast Asian Studies dan Karibia ( KITLV ) dan Royal Tropical Institute (KIT). Dikombinasikan dengan koleksi milik Leiden sendiri, akan tercipta pusat penelitian terbesar mengenai Indonesia di dunia.

Lebih dari 10 kilometer arsip yang terdiri dari buku-buku, jurnal, peta dan manuskrip, akan menjadi bagian dari perpustakaan Asian masa depan di Universitas Leiden. Sejak tahun 1969, sebagian besar buku-buku dan jurnal ini dibeli oleh KITLV yang berkantor kantor di Jakarta. Kegiatan ini akan terus dilakukan. Mulai tanggal 1 Juli KITLV juga akan mewakili Universitas Leiden di Indonesia .

Tak hanya itu, Universitas yang didirikan tahun 1575 ini menandatangani perjanjian dengan Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Leiden dan UI akan memfasilitasi pertukaran pelajar di bidang humaniora. Fakultas Kedokteran dari kedua universitas sepakat untuk memperpanjang kerjasama dan pertukaran mereka di bidang parasitologi.[]

Kamus Bahasa Lampung Pertama Dikembalikan ke Lampung

Kamis, 27 Februari 2014, 06:36 WIB
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilustrasi
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG — Kamus bahasa Lampung pertama yang disusun oleh Herman Neubronner van der Tuuk (1824–1894), ahli bahasa dan budaya Nusantara asal Belanda, setelah sekitar 1,5 abad tersimpan di Belanda, kini telah kembali ke Lampung.

Menurut Manager Lembaga Amil Zakat (LAZ) Lampung Peduli Umaruddin Ismail mendampingi J Panji Utama, wakil dari pihak yang berinisiatif mengembalikan kamus karangan H N van der Tuuk itu, di Bandarlampung, Kamis (27/2), kamus bahasa Lampung yang pertama disusun tersebut dibuat saat van der Tuuk menetap di Lampung (1868–1869), tepatnya di tepi Sungai (Way) Seputih.

Namun, informasi tersebut tidak banyak diketahui bahwa kamus tersebut selama ini tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda selama sekitar 1,5 abad lamanya. Bahkan, diperkirakan belum ada orang Lampung yang pernah melihat bentuk dan isi kamus tersebut.

Masyarakat Lampung melalui konsolidasi dan fasilitasi Lampung Peduli telah berupaya mendapatkan kembali kamus tersebut secara mandiri. Atas bantuan dan kerja sama dengan Kedutaan Besar Belanda, perpustakaan Universitas Leiden Belanda, dan Kepala Erasmus Taalcentrum Jakarta, kamus bahasa Lampung pertama karya H N van der Tuuk itu kini telah kembali ke Lampung.

Herman Neubronner van der Tuuk adalah yang pertama kali membuat kamus bahasa Batak, Bali, dan Lampung. Ahli bahasa dan pembuat kamus (leksikografer) itu juga menjadi editor kamus Melayu (Von den Wall), Jawa, dan lain-lainnya.

Menurut Panji Utama, kamus bahasa Lampung pertama karangan van der Tuuk dapat diibaratkan sebagai salah satu harga diri Lampung yang sekian lama terabaikan.

“Upaya untuk mendapatkan kembali kamus tersebut adalah langkah konkret yang telah dilakukan oleh masyarakat sebagai bagian dari upaya pengembangan dan pelestarian budaya, sejarah, dan bahasa Lampung,” katanya pula.[]

Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap (HR Muslim )

Hati-hatilah terhadap dusta. Sesungguhnya dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa kepada neraka. Selama seorang dusta dan selalu memilih dusta dia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta (pembohong)((HR. Bukhari))

SEKKOTA MINTA GENERAS MUDA LESTARIKAN KEBUDAYAAN

KEUNGGULAN PERHIASAN ETNIK INDONESIA DI PASAR DUNIA

ANTARA News
KEUNGGULAN PERHIASAN ETNIK INDONESIA DI PASAR DUNIA
Rabu, 26 Agustus 2015 18:59 WIB |
Keunggulan perhiasan etnik Indonesia di pasar dunia

Perajin perak Bali Desak Nyoman Suarti (kanan) dan Happy Salma (tengah) dalam peluncuran biografi “The Warrior Daughter” di Galeri Indonesia Kaya, Rabu (26/8/2015) (ANTARA News/ Nanien Yuniar)
Jakarta (ANTARA News) – Perhiasan berbentuk cantik dengan motif menawan tidak cukup untuk merebut hati pasar dunia.

Desak Nyoman Suarti, salah satu pionir perajin perak Bali yang telah memasarkan kerajinan Indonesia di ranah internasional, mengemukakan keunggulan perhiasan Indonesia yang tidak dimiliki perajin negara lain: secuplik budaya di balik tiap motif etnik.

“Yang mereka sukai bukan hanya perhiasan indah, tapi sedikit bagian dari budaya di dalamnya, cerita di baliknya,” kata Suarti di Jakarta, Rabu.

Setiap kisah di balik motif merupakan senjata utama untuk menarik perhatian pembeli internasional, terutama dari AS, Inggris dan Tiongkok.

Tren perhiasan memang terus berganti seiring waktu. Suarti yang telah bergelut selama dua dekade di industri ini menjelaskan perkembangan model perhiasan yang disukai pembeli di luar negeri

Ketika awal masuk ke pasar AS, tema yang digemari adalah etnik.

“Lima tahun kemudian, yang disukai campuran barat dan timur,” kata pembuat perhiasan  perak berhias motif Nusantara.

Kini yang disukai adalah model sederhana. Kendati demikian, perhiasan sederhana pun dapat laris terjual bila ada cerita di balik motifnya.

“Itu yang kita menang, itu ujung tombaknya,” imbuh dia.

Selain menggarap kekayaan budaya dari kampung halamannya di Bali, Suarti juga mengeksplorasi pulau-pulau lain di Indonesia sebagai inspirasi merancang motif baru. Saat ini, dia baru menjelajahi Bali, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera.

Dari sekian banyak tempat, Suarti menyebut Kalimantan sebagai inspirasi favorit, salah satu yang ingin diangkatnya ke dalam perhiasan perak adalah kaharingan, kepercayaan tradisional suku Dayak.

“Ke sana tiga bulan cari unsur-unsurnya karena dekat dengan hindu, ada banyak peninggalan di Kalimantan Tengah,” jelas dia.

Editor: Ruslan Burhani

KONSEPTUAL DAN PROSEDURAL YANG SALAH ADALAH RACUN BAGI GENERASI

Konseptual dan Prosedural Yang Salah Adalah Racun Bagi Generasi

Oleh Redaksi pada Maret 06, 2015

Memperoleh pendidikan adalah hak bagi setiap manusia demi kelangsungan hidup dan menjadi pribadi intelektual dan berkualitas. Sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa salah satu tujuan dibentuknya NKRI adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Upaya untuk mencapainya dilakukan melalui penyelenggaraan pendidikan. Menjadi bangsa yang maju adalah tujuan yang ingin dicapai oleh setiap negara. Sudah menjadi suatu rahasia umum bahwa maju tidaknya suatu negara di pengaruhi oleh faktor pendidikan. Pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa yang berkualitas.

Indonesia adalah salah satu Negara berkembang di dunia yang masih mempunyai masalah besar dalam dunia pendidikan. Kita mempunyai tujuan bernegara, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa” yang seharusnya jadi sumbu perkembangan pembangunan kesejahteraan dan kebudayaan bangsa. Yang masih kita rasakan sekarang adalah adanya ketertinggalan didalam mutu pendidikan. Apa yang menjadi dasar dari
permasalahan tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan diatas, penulis mencoba membuka wawasan dan kesadaran akan masalah yang dihadapi dan masih berkembang saat ini, yaitu Pemahaman konseptual dan prosedural yang salah untuk semua bidang ilmu, dalam hal ini penulis mengambil kasus khususnya dibidang matematika. Seperti yang kita ketahui Matematika adalah ratunya ilmu pengetahuan dan merupakan salah satu prestasi besar umat manusia. Dengan meningkatkan kemampuan pola pikir manusia, matematika telah memfasilitasi perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, teknik, bisnis, pemerintah, dll. Untuk hal tersebut maka SDM (Sumber Daya Manusia) sangat berperan dalam hal ini, Dengan Kompetensi yang dimiliki oleh SDM dalam suatu organisasi, akan menentukan kualitas SDM yang pada akhirnya akan menentukan kualitas kompetitif suatu bangsa. Dengan demikian untuk membentuk pola pikir intelektual pada SDM diperlukannya kecakapan matematika yang terdiri dari pemahaman konsep dan prosedural. Matematika bukanlah sekedar kumpulan angka, simbol, dan rumus yang tidak ada kaitannya dengan dunia nyata. Justru sebaliknya, matematika tumbuh dan berakar dari dunia nyata. Tanpa disadari banyak masalah dalam kehidupan sehari – hari yang menggunakan konsep pemahaman matematika untuk mencari solusinya. Kecakapan matematika dibutuhkan dalam menghadapi tantangan global. Seperti yang dikemukakan oleh Jeremy Kilpatrick (NRC 2001) pada bukunya “Adding It Up;Helping Children Learn Mathematics” bahwa Pemahaman konseptual mengacu pada pemahaman yang terintegrasi dan fungsional terhadap ide – ide matematika, dengan kata lain pemahaman konsep merupakan penguasaan terpadu terhadap gagasan – gagasan matematika. Matematika yang diajarkan disekolah, berorientasi pada pentingnya pendidikan dan perkembangan IPTEK. Bagian – bagian matematika yang diterapkan adalah matematika yang menata nalar, membentuk kepribadian, mampu mengaitkan matematika kedalam
permasalahan dalam kehidupan sehari – hari dan menyelesaikan permasalahan tersebut.
Menurut Sanjaya (2009) “Pemahaman konsep adalah kemampuan siswa yang berupa penguasaan sejumlah materi pelajaran, mampu mengungkapkan kembali dalam bentuk lain yang mudah dimengerti, memberikan interprestasi data dan mampu mengaplikasi konsep yang sesuai dengan struktur kognitif yang dimilikinya”. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa pemahaman konseptual adalah mampu membaca situasi matematika dengan cara yang berbeda dan mengetahui representasi untuk tujuan yang berbeda pula. Tingkat pemahaman konseptual siswa yang terkait dengan kekayaan dan luasnya hubungan yang telah mereka buat, dimana siswa mampu mengaitkan pengetahuan yang telah mereka miliki dengan pengetahuan baru.

Sedangkan prosedural adalah pengetahuan tentang cara untuk memperkirakan hasil prosedur. Kelancaran prosedural mengacu pada pengetahuan tentang prosedur (langkah –langkah ), pengetahuan tentang kapan dan bagaimana menggunakannya dengan tepat, dan keterampilan dalam melakukan prosedur secara fleksibel, akurat dan efisien. Dimana skill untuk melakukan prosedur secara fleksibel, akurat dan efisien merujuk pada performing dalam menjalankan langkah – langkah pada suatu kegiatan. Pemahaman konseptual dan Prosedural tidak dapat dipisahkan, kerena dua hal tersebut mempunyai relasi yang cukup kuat dan saling melengkapi satu sama lain. Dimana Guru menginformasikan konsep dasar dan proseduralnya, kemudian siswa dapat mengembangkan pola pikir secara mental untuk menyelesaikan persoalan. Tanpa kelacaran prosedural yang cukup, siswa akan mengalami kesulitan untuk memperdalam pemahaman terhadap gagasan matematika atau memecahkan masalah matematika. Ketika kita membicarakan metode atau langkah – langkah yang digunakan untuk menyelesaikan suatu soal, maka pertama kali yang harus diperhatikan adalah bagaimana langkah – langkah yang akan diterapkan dengan melihat bentuk dan situasi
seperti apa metode tersebut dapat digunakan.

Selanjutnya, ketika siswa belajar prosedur tanpa pemahaman konsep, siswa akan mengalami kesulitan untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Dalam hal ini siswa membutuhkan latihan yang luas agar tidak melupakan langkah – langkah. Konsekuensi lain ketika siswa belajar tanpa pemahaman adalah bahwa mereka memisahkan apa yang terjadi disekolah dan apa yang terjadi diluar sekolah ( dikehidupan sehari – hari). Siswa memiliki satu set prosedur untuk memecahkan masalah diluar dan di dalam sekolah tanpa melihat relasi antara keduanya. Pemisahan ini membatasi kemampuan anak menerapkan apa yang telah mereka dapatkan untuk menyelesaikan masalah nyata.

Pada hakikatnya siswa telah mengorganisir pengetahuan mereka ke dalam satu kesatuan yang utuh, yang memungkinkan mereka untuk belajar pengetahuan baru dengan menghubungkan pengetahuan yang telah mereka punya. Tujuan mengaitkan ilmu pengetahuan yang telah mereka miliki dengan pengetahuan yang baru adalah agar mereka dapat mengingat ilmu tersebut lebih lama. Siswa dengan pemahaman konseptual tahu lebih banyak dai fakta – fakta yang terisolasi dan metode. Karna fakta dan metode belajar dengan pemahaman yang terhubung, siswa lebih mudah untuk diingat dan digunakan, serta dapat direkontruksi saat mereka lupa. Jika siswa memahami langkah – langkah untuk menyelesaikan suatu permasalahan, mereka tidak mungkin akan mengingat yang salah.

Sebagai tenaga pendidik (guru ) harus menghindari kekeliruan dalam pembelajaran, misalnya dalam memberikan pemahaman konseptual dan prosedur yang salah kepada siswa. Karena penanaman konsep dan prosedur yang salah, ini akan berakibat fatal. Siswa yang terus menggunakan cara yang salah untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Pemahaman konseptual dan prosedural yang salah dapat diiibaratkan seperti racun bagi generasi, penanaman konsep dasar suatu ilmu dan prosedurnya haruslah dipahami betul oleh peserta didik sejak dini, jika tidak maka siswa tersebut terus mengembangkan pemahaman yang salah dalam menyelesaikan suatu pemasalahan. Sebagai guru, hal tersebut adalah tuntutan yang harus kita jalani dan berusaha untuk menjadi tenaga pendidik profesional dan paham benar terhadap apa yang diinformasikan kepada siswa.

Fakta dilapangan yang kerap terjadi adalah guru tingkat SMP mengeluh terhadap pemahaman pengetahuan dasar yang telah siswa dapatkan dibangku SD, ilustrasi yang mendasar misal siswa masih salah dalam penggunaan konsep operasi matematika (+, –, x dan : ). Hal tersebut pun terjadi sampai kejenjang perguruan tinggi, bahkan masih banyak peserta didik yang masih berada pada ranah pemahaman konseptual yang salah dan prosedural yang kacau. Kesadaran akan pentingnya tingkat intelektual sebagai tenaga pendidik adalah tanggung jawab memberi informasi yang benar. Dengan demikian pemahaman konseptual saja tidak cukup, guru juga harus menginformasikan prosedural yang benar dalam menyelesaikan suatu masalah. Perlu diperhatikan pemahaman konsep dan prosedur yang digunakan juga tergantung konteks masalah yang dihadapi. Selain itu tidak hanya mentransfer ilmu saja, namun guru seharusnya harus bisa mendeskripsikan manfaat ilmu dan memberikan contoh aplikasinya dalam memecahkan permasalahan nyata.

Biodata penulis
Nama        : Fitra Muliani
studi          : Mahasiswa Pascasarjana ITB
Fakultas   : FMIPA
Prodi         : Pengajaran Matematika

INTELEK ACEH DI MATA KOMBATAN

Intelek Aceh di Mata Kombatan

Aktifis LSM SAPAS. Foto: bongkarnews.com

Para pejuang [kombatan-red] yang berusaha memperjuangkan misi perjuangan baik di masa perang maupun di masa damai sering di kambing hitamkan oleh segelintir tokoh yang menganggap diri mereka intelek namun intelektual mereka tanpa sengaja sudah melupakan kepentingan bangsanya sendiri dan membuka lebar jalan buat kepentingan kolonialisme yang terselubung demokrasi di Aceh.

Mengapa SAPAS berani berasumsi se sedemikian ……?

Coba anda pelajari filsafat penjajahan modern yang dirangkum dalam beberapa metode demokrasi global, khususnya Inggris, jika ditilik dari kesuksesan merekan, praktek penjajah Inggris di seantero dunia mereka tidak tanggung-tanggung dalam hal menjaga kepentingannya di negara jajahan mereka. Dengan kebijakan menyekolahkan rakyat jajahannya agar dapat menjaga kepentingan bangsa penjajah (Inggris) dari bahaya kesadaran anak bangsa yang dijajah untuk menjaga kepentingan bangsanya sendiri.

Kesimpulan yang kita bahas saat ini, mereka yang menamakan diri intelek-intelek Aceh (khususnya lulusan sarjana Indonesia) apakah mereka sadar, ilmu yang mereka dapat sudah di sesuaikan sedemikian rupa dengan cara berpikir serta praktek-praktek yang di sterilkan dengan arus politik dan cara berpikir untuk menjaga kepentingan negara yang terselubung demokrasi lalu di sesuaikan dengan payung hukum Negara (Indonesia-red) dan Hukum Internasional.

Singkat kata ilmu dan idealis mereka harus dilingkaran kepentingan negara kolonialisme di mana mereka menuntut dengan tujuan agar mereka tidak berani berpikir dengan kepentingan bangsanya sendiri.

Pertanyaannya,,,,,?

Apakah  mereka sadar atau tidak, bahwa mereka sudah diarahkan sesuai kepentingan dan keinginan kolonialis itu sendiri (integritas) dalam meyimpulkan segala sesuatu baik itu tindakan ataupun pernyataan yang mereka buat, menyangkut berbagai hal yang berhubungan degan metode bangsanya sendiri yang sedang berjuang melawan ketidak adilan yang terselubung dibawah demokrasi yang sudah disesuaikan sedemikian rupa dengan hukum Internasional dan Hak Asasi Manusia.Berangkat dari landasan pendidikan yang berbasis kepentingan negara (kolonialisme) apakah mereka berani berasumsi demi kepentingan bangsanya, walau hal itu bertentangan dengan ilmu yang di ajarkan oleh kolonialis yang mendidiknya.

Jawabannya…!

Hanya ada pada mereka sendiri, itupun bila mereka mau mengkaji ulang apa yang telah mereka pelajari dan terapkan selama ini. Yang pasti mereka hanya pandai mengkritik tanpa ada yang bisa mereka buat sesuatu dan kenyataannya mereka selalu mengedepankan alasan kepentingan negara dan masyarakat tanpa memperhitungkan untung rugi pada kepentingan bangsanya sendiri  (apa benar ……..? mereka tergolong intelek bangsa ini?). Wallahua’lam bissawaf.

Penulis : Musi (Ketua DPD – SAPAS Aceh)
HP. 0852 6080 5112

POLITIK RAKYAT ACEH

Politik Rakyat Aceh

Oleh Redaksi pada Maret 07, 2015

Potret realitas demokrasi Aceh hari ini menggambarkan sebuah iklim demokrasi yang semakin jauh dari tatanan nilai substansinya. Pemaknaan umum terhadap demokrasi yang hakiki sejatinya dapat dipertanggungjawabkan melalui kinerja politik yang bertatanan nilai-nilai demokratis, pertumbuhan dan perkembangan politik di dalam iklim demokrasi dewasa ini harus bertumpu pada prinsip mengedepankan kerja-kerja politik yang berpihak kepada rakyat bukan pemerintahan saja. Dengan kata lain, yang dibutuhkan oleh rakyat adalah implementasi janji politik, bukan mengedepankan politik pencitraan semata.

Dalam konteks demokrasi di Indonesia, perbedaan Aceh dengan daerah lain adalah terletak pada adanya UUPA sebagai bentuk konkrit dari terjemahan MoU Helsinki yang diyakini oleh masyarakat Aceh sebagai cita-cita perjuangan dan politik rakyat Aceh. Permasalahan bendera Aceh yang juga merupakan amanat MoU Helsinki juga dilahirkan dari rahim demokrasi dan ibu kandungnya adalah pemerintah Indonesia itu sendiri. Jika demikian, ketidakjelasan bendera Aceh hingga saat ini merupakan tindakan demokrasi yang jauh dari tatanan nilai demokrasi itu sendiri. Hal ini kemudian dapat memantik reaksi publik, yaitu masyarakat politik di Aceh, bahkan bisa saja berdampak ke arah aksi-aksi politik negatif di kalangan masyarakat luas. Permasalahannya sekarang adalah Aceh sendiri tidak mempunyai nilai bargaining politik apa pun dengan pemerintah pusat, ditambah lagi dengan pemerintah pusat yang saat ini dinilai oleh sebagian kalangan masyarakat politik Aceh tersebut tidak mempunyai komitmen yang jelas terhadap pelaksanaan UUPA, terutama dalam hal bendera Aceh ini.

Indikasinya adalah hilangnya daya kritis politik dari Aceh terutama dari kalangan eksekutif dan legislatif Aceh terhadap bendera Aceh. Parlemen Aceh seharusnya bersinergi dengan pemerintah Aceh untuk segera menuntaskan permasalahan bendera Aceh tersebut. Hal ini sangat terasa aroma demokrasi tanpa tatanan nilai itu bahkan sampai detik ini aroma demokrasi tersebut telah berdampak pada sinergisitas kinerja eksekutif dan legislatif Aceh yang tidak satu suara dalam menyikapi permasalahan bendera Aceh ini.

Dalam mewujudkan demokrasi yang bertatanan nilai itulah, bendera Aceh yang merupakan turunan UUPA ini sudah sepatutnya pemerintah Aceh dan parlemen Aceh dapat bekerja secara bersama-sama. Terutama dalam hal mendesak ataupun meyakinkan pemerintah pusat terkait permasalahan bendera Aceh ini. Sehingga prinsip-prinsip demokrasi yang bertatanan nilai tersebut dapat benar-benar berjalan dan tentunya bermanfaat bagi kepentingan rakyat Aceh secara keseluruhan.

Penulis :   Abrar M. Yus (Koordinator Forsapa Aceh)