Radar Sampit, Minggu, 10 Maret 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni
Tragedi Sampit 2000-2001, di mana Dayak serta etnik-etnik lain di Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Madura terlibat dalam konflik yang sangat berdarah itu sudah berlalu 24 tahun lalu.
Senyatanya, tidak siapa pun yang diuntungkan dari konflik tersebut. Semua mengalami kerugian, termasuk kehilangan nyawa. Pantar Perdamaian yang didirikan di Sampit setelah tragedi tersebut, seyogyanya bisa selalu mengingatkan kita bahwa keragaman itu sesungguhnya suatu kekayaan dan rahmat yang patut disyukuri, sedangkan keseragaman menyimpan benih petaka, bertentangan dengan kenyataan.
Belajar dari tragedi itu, jadinya merupakan suatu keniscayaan agar kualitas kemanusiaan kita tidak merosot ke taraf kualitas keledai. Kita berhak berbuat salah, asal kita mau dan dengan berani mengoreksi kesalahan itu. Dengan demikian, kita bisa berkembang dengan kualitas baru.
Setelah dua puluh empat tahun berlalu, apakah sikap dan perasaan terhadap etnik lain dalam konflik tersebut di atas sudah pupus? Saya pastikan jawabannya: Belum! Banyak sekali contoh yang saya temukan dalam kehidupan sehari-hari pada kedua belah pihak yang oleh keterbatasan ruangan di sini tidak bisa saya tuturkan dengan rinci.
Dendam dan curiga masih saja ibarat virus menjalar di hati dan kepala–barangkali di kedua belah pihak, tapi yang jelas di kalangan Orang Dayak. Contoh paling baru adalah apa yang saya dapatkan di berbagai Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kalteng, termasuk di Desa Sumur Mas, Kecamatan Téwah, Kabupaten Gunung Mas, pada saat Pilpres Februari 2024 lalu.
Dalam percakapan dengan berbagai pihak, saya ketahui kemudian bahwa warga Dayak tidak mau memilih Paslon Nomor 03, Ganjar-Mahfud karena adanya “faktor Mahfud”. “Mahfud kan Orang Madura? Mengapa memilih Orang Madura?!”
Pernyataan singkat mengandung banyak informasi ini membuat saya tercenung, diam sejenak. Dua puluh empat tahun berlalu, sikap dan perasaan antipati pada Orang Madura masih saja belum pupus. Hampir satu generasi sikap dan perasaan demikian masih merasuk. Sementara, bagaimana Dayak menyelamatkan Madura, Madura menyelamatkan Dayak, dalam konflik berdarah itu sangat-sangat jarang saya dengar diungkap–untuk tidak mengatakan ‘tidak pernah’.
Orang-orang pun tidak pernah menelisik makna perkawinan Tamanggung Panduran dengan seorang puteri Raja Madura yang tercatat pada nama sebuah Desa Panduran di tepi Sungai Kahayan yang masih ada hingga hari ini. Sejarah tidak mempunyai arti apa-apa, boleh jadi karena “tidak bisa jadi nasi” (diá taú jadi bari) yang sangat hedonistik. Terkesan betapa membenci sesama itu lebih gampang dari pada mencintai. Padahal, kebudayaan itu sarinya adalah perdamaian, kemajuan dan saling mencintai.
Sementara, kriteria Trilogi Dayak Ideal ‘Gagah-Berani, Pandai-Berbudi, Kritis-Tekun” (Mamut-Ménteng, Pintar-Harati, Maméh-Ureh) tidak pernah juga diperbincangkan. Trilogi itu dipisah-pisahkan. Tidak dipandang sebagai satu kesatuan. Yang diutamakan adalah ‘Mamut-Ménteng’ yang menghasilkan dominasi ‘budaya’ kekerasan seperti halnya kekeliruan menjadikan ‘talawang’ (perisai) yang alat perang itu sebagai ikon Dayak di seluruh Kalteng. Dari segi filosofi dan kebudayaan Dayak, yang paling sesuai adalah enggang dan naga. Hanya tentu saja membuat patung enggang dan naga pasti lebih rumit dibandingkan dengan membuat talawang. Apakah ini wujud dari kesukaan pada Jalan Pintas dalam masyarakat Dayak hari ini, sebagai akibat dari keterputusan sejarah dan budaya? Apakah Orang Dayak suka berpikir atau lebih suka pada sikap ‘kambing-tumbur’?
Saya membaca masalah menolak memilih Paslon nomor 03 Ganjar-Mahfud karena adanya faktor Mahfud yang Madura adalah menyangkut masalah cara berpikir dan tingkat pengetahuan yang kemudian mengungkapkan diri pada tindakan. Penolakan itu lebih bersifat emosional, bukan rasional (dalam bahasa Dayak: ‘jatun hurui, atau ‘diá tamé akal’).
Dalam upaya menangani hubungan antara dua etnik ini, saya mencoba menghubungi beberapa pekerja budaya di Madura dan masih menunggu tanggapan mereka. Di konteks ini, saya sangat menghargai pentas bersama musisi Madura-Dayak di Jawa (maaf, saya lupa nama kotanya, barangkali Yogyakarta).
Berpikir secara ‘jatun hurui’ atau ‘diá tamé akal’, lebih mendekati sikap ‘kambing-tumbur’ ini, kalau berani jujur pada diri sendiri—hal penting untuk perubahan maju—berlangsung di berbagai bidang dan sejak lama serta menyubur pada masa Orde Baru yang menumbuhkembangkan ‘budaya’ takut. Berpikir secara ‘jatun hurui atau ‘diá tamé akal’ dan sikap ‘kambing-tumbur’ sebenarnya bukanlah tanda kesukaan berpikir, tapi bentuk kemalasan berpikir.
Untuk mewujudan cita-cita Manggatang Utus, seyogyanya Dayak meninjau ulang cara berpikir mereka. Saya khawatir, kalau kita masih berpikir secara ‘jatun hurui’ atau ‘diá tamé akal’ dan bersikap ‘kambing-tumbur’, jarak kita dengan perkembangan zaman yang melaju kencang (Bhs.Dayak: cinik!) tanpa memperdulikan siapapun, akan makin jauh dan makin jauh.
Terbayang di mata saya keadaan Dayak di Nusantara, Ibu Kota Negara yang sedang dibangun tapi sudah lebih papa dari ‘Betawi’. Jika cara berpikir kita tidak diperiksa ulang dengan keras dan jujur, kepapaan itu akan menjadi-jadi dan menunggu kita di seluruh ruang dan relung kehidupan. Dayak menjadi lumpen di Pulau Kelahirannya: Borneo!
Di sinilah pula, saya melihat arti penting mendesaknya penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Kalimantan Tengah yang belum pernah dilangsungkan sejak berdirinya provinsi ini pada tahun 1957. Kongres bisa berusaha menyusun strategi kebudayaan Kalimantan Tengah sehingga menjadi Bétang Bersama bagi semua Uluh Kalteng.***
KERAGAMAN INDONESIA DAN UPAYA MENGHINDARI KONFLIK
Oleh: Reyhan Davin Ardhionova* | Penyunting: Andriani SJ Kusni
Tidak dapat dipungkiri lagi, hampir semua wilayah (termasuk kota) di Indonesia adalah wilayah dengan masyarakat multikultur. Para transmigran tentu lebih jelas motivasinya, yaitu mendapatkan tanah dan pekerjaan yang lebih baik di luar Jawa dan Bali.
Namun, kelompok etnis diaspora yang terdiri dari beberapa kelompok etnis tentu memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Para pendatang tersebut (transmigran, diaspora, dan migrasi lainnya) mau tidak mau harus melakukan kontak budaya dengan masyarakat setempat.
Berdasarkan teori kultur dominan, kelompok etnis tertentu menjadi dominan di wilayah teritorialnya. Beberapa provinsi yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah lima provinsi di Jawa (Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Jawa Barat), Bali, Gorontalo, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, dan Nangroe Aceh Darusalam. Sementara, kelompok etnis tertentu menjadi dominan di luar wilayah teritorialnya, untuk kategori ini hanya terjadi di propinsi Lampung, dimana orang Jawa menjadi mayoritas (61,89%) diikuti dengan orang asli Lampung justru menjadi minoritas.
Beberapa etnis memiliki jumlah yang berimbang, dapat dikateorikan lagi menjadi: Perimbangan jumlah etnis dengan jumlah etnis asli lebih besar. Kategori ini kebanyakan berasal dari etnis diaspora seperti Batak, Bugis, Melayu, Minahasa, dan Buton di wilayah teritorialnya.
Selain itu, etnis Banten juga paling banyak jumlahnya meskipun tidak dominan. Beberapa propinsi yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah: Banten, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Tenggara.
Faktor yang membuat perbedaan-perbedaan itu terutama berasal dari ilmu-ilmu perilaku manusia (Behavioral Sciences) seperti sosiologi, antropologi dan psikologi. Ilmu-ilmu sosial tersebut mempelajari dan menjelaskan kepada kita tentang bagaimana orang-orang berperilaku, mengapa mereka berperilaku demikian, dan apa hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungannya. Penyebab tersebut telah menimbulkan banyak konflik di dalam masayarakat.
Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan, dan pembunuhan. Konflik tersebut muncul karena adanya ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan.
Konflik di atas tidak hanya merugikan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat konflik tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat pembangunan nasional yang sedang berlangsung.
Indonesia merupakan salah satu bangsa yang paling plural di dunia dengan lebih dari 500 etnik dan menggunakan lebih dari 250 bahasa. Karenanya, sebagaimana bangsa multietnik lainnya, persoalan-persoalan mengenai pengintegrasian berbagai etnik ke dalam kerangka persatuan nasional selalu menjadi tema penting.
Ironisnya, setelah sekian puluh tahun kemerdekaan, pertikaian antaretnik tetap saja terjadi. Sementara pembauran antaretnik intens berlangsung terutama di daerah-daerah urban, konflik antaretnik terus terjadi. Di satu sisi digalakkan upaya untuk meningkatkan nasionalisme guna mengurangi etnosentrisme, di sisi lain tumbuh subur pemujaan etnik.
Memiliki ratusan etnik dengan budaya berlainan, yang bahkan beberapa di antaranya sangat kontras, potensi ke arah konflik sangatlah besar. Ketika Koentjaraningrat mendefinisikan nilai budaya sebagai suatu rangkaian konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang di anggap penting dan remeh dalam hidup, sehingga berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku, yang tidak lain mengenai sikap dan cara berpikir tertentu pada warga masyarakat, sekaligus ia menyatakan inilah masalah terbesar dalam persatuan antaretnik (Koentjaraningrat, 1971).
Nilai budaya inilah yang berperan dalam mengendalikan kehidupan kelompok etnik tertentu, memberi ciri khas pada kebudayaan etnik, dan dijadikan patokan dalam menentukan sikap dan perilaku setiap anggota kelompok etnik. Nilai-nilai budaya yang berbeda pada tiap etnik akan menimbulkan sikap dan cara berpikir yang berbeda pula.
Demikian juga dalam perilaku yang diambil meskipun dalam masalah yang sama. Perbedaan ini potensial menimbulkan konflik terutama pada masalah-masalah yang datang dengan adanya interaksi antaretnik.
Upaya Menghindari Konfilk
Berbagai cara dan upaya agar jangan sampai terjadi konflik sangat penting dilakukan. Misalnya, membuat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi etnis dan ras hendaknya tidak hanya memfokuskan perhatian pada diskriminasi seperti yang terjadi pada etnis Papua.
Setiap manusia mempuyai kedudukan yang sama dihadapan Tuhan karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Pada dasarnya, manusia diciptakan dalam kelompok ras atau etnis yang berbeda-beda yang merupakan hak absolut dan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian dari ras atau etnis tertentu. Adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antarkelompok, ras, dan etnis dalam masyarakat dan negara.
Selain itu, membangun sikap anti diskriminasi etnis dilakukan oleh pihak sekolah merupakan salah satu langkah penting. Dalam poin bahasan ini adalah bagaimana membangun sikap saling menghargai antaretnis yang dimulai melalui institusi sekolah.
Untuk mendukung langkah-langkah guru dalam membangun sikap anti diskriminasi etnis, peran sekolah juga sangat menentukan. Beberapa langkah penting sebaiknya dilakukan pihak sekolah agar siswa dapat secara langsung belajar meningkatkan sensitifitasnya untuk bersikap menghargai etnis lain di lingkungan sekolah.
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut.
*Reyhan Davin Ardhionova, Milenial Pontianak (https://kabardamai.id/keragaman-indonesia-dan-upaya-menghindari-konflik/)