Halaman Masyarakat Adat | 24 Maret 2024 | Jurnal Perdesaan Kusni Sulang: MEMERIKSA CARA BERPIKIR KITA

Radar Sampit, Minggu, 10 Maret 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Senjata Mandau Suku Dayak. Foto: Andriani SJ Kusni, 2012

Tragedi Sampit 2000-2001, di mana Dayak serta etnik-etnik lain di Kalimantan Tengah (Kalteng) dan Madura terlibat dalam konflik yang sangat berdarah itu sudah berlalu 24 tahun lalu.

Senyatanya, tidak siapa pun yang diuntungkan dari konflik tersebut. Semua mengalami kerugian, termasuk kehilangan nyawa. Pantar Perdamaian yang didirikan di Sampit setelah tragedi tersebut, seyogyanya bisa selalu mengingatkan kita bahwa keragaman itu sesungguhnya suatu kekayaan dan rahmat yang patut disyukuri, sedangkan keseragaman menyimpan benih petaka, bertentangan dengan kenyataan.

Belajar dari tragedi itu, jadinya merupakan suatu keniscayaan agar kualitas kemanusiaan kita tidak merosot ke taraf kualitas keledai. Kita berhak berbuat salah, asal kita mau dan dengan berani mengoreksi kesalahan itu. Dengan demikian, kita bisa berkembang dengan kualitas baru.

Setelah dua puluh empat tahun berlalu, apakah sikap dan perasaan terhadap etnik lain dalam konflik tersebut di atas sudah pupus? Saya pastikan jawabannya: Belum! Banyak sekali contoh yang saya temukan dalam kehidupan sehari-hari pada kedua belah pihak yang oleh keterbatasan ruangan di sini tidak bisa saya tuturkan dengan rinci.

Dendam dan curiga masih saja ibarat virus menjalar di hati dan kepala–barangkali di kedua belah pihak, tapi yang jelas di kalangan Orang Dayak. Contoh paling baru adalah apa yang saya dapatkan di berbagai Daerah Aliran Sungai (DAS) di Kalteng, termasuk di Desa Sumur Mas, Kecamatan Téwah, Kabupaten Gunung Mas, pada saat Pilpres Februari 2024 lalu.

Dalam percakapan dengan berbagai pihak, saya ketahui kemudian bahwa  warga Dayak tidak mau memilih Paslon Nomor 03, Ganjar-Mahfud karena adanya “faktor Mahfud”. “Mahfud kan Orang Madura? Mengapa memilih  Orang Madura?!”

Pernyataan singkat mengandung banyak informasi ini membuat saya tercenung, diam sejenak. Dua puluh empat tahun berlalu, sikap dan perasaan antipati pada Orang Madura masih saja belum pupus. Hampir satu generasi sikap dan perasaan demikian masih merasuk. Sementara, bagaimana Dayak menyelamatkan Madura, Madura menyelamatkan Dayak, dalam konflik berdarah itu sangat-sangat jarang saya dengar diungkap–untuk tidak mengatakan ‘tidak pernah’.

Orang-orang pun tidak pernah menelisik makna perkawinan Tamanggung Panduran dengan seorang puteri Raja Madura yang tercatat pada nama sebuah Desa Panduran di tepi Sungai Kahayan yang masih ada hingga hari ini. Sejarah tidak mempunyai arti apa-apa, boleh jadi karena “tidak bisa jadi nasi” (diá taú jadi bari) yang sangat hedonistik. Terkesan betapa membenci sesama itu lebih gampang dari pada mencintai. Padahal, kebudayaan itu sarinya adalah perdamaian, kemajuan dan saling mencintai.

Sementara, kriteria Trilogi Dayak Ideal ‘Gagah-Berani, Pandai-Berbudi, Kritis-Tekun” (Mamut-Ménteng, Pintar-Harati, Maméh-Ureh) tidak pernah juga diperbincangkan. Trilogi itu dipisah-pisahkan. Tidak dipandang sebagai satu kesatuan. Yang diutamakan adalah ‘Mamut-Ménteng’ yang menghasilkan dominasi ‘budaya’ kekerasan seperti halnya kekeliruan menjadikan ‘talawang’ (perisai) yang alat perang itu sebagai ikon Dayak di seluruh Kalteng. Dari segi filosofi dan kebudayaan Dayak, yang paling sesuai adalah enggang dan naga. Hanya tentu saja membuat patung enggang dan naga pasti lebih rumit dibandingkan dengan membuat talawang. Apakah ini wujud dari kesukaan pada Jalan Pintas dalam masyarakat Dayak hari ini, sebagai akibat dari keterputusan sejarah dan budaya? Apakah Orang Dayak suka berpikir atau lebih suka pada sikap ‘kambing-tumbur’?

Saya membaca masalah menolak memilih Paslon nomor 03 Ganjar-Mahfud karena adanya faktor Mahfud yang Madura adalah menyangkut masalah cara berpikir dan tingkat pengetahuan yang kemudian mengungkapkan diri pada tindakan. Penolakan itu lebih bersifat emosional, bukan rasional (dalam bahasa Dayak: ‘jatun hurui, atau ‘diá tamé akal’).

Dalam upaya menangani hubungan antara dua etnik ini, saya mencoba menghubungi beberapa pekerja budaya di Madura dan masih menunggu tanggapan mereka. Di konteks ini, saya sangat menghargai pentas bersama musisi Madura-Dayak di Jawa (maaf, saya lupa nama kotanya, barangkali Yogyakarta).

Berpikir secara  ‘jatun hurui’ atau ‘diá tamé akal’, lebih mendekati sikap ‘kambing-tumbur’ ini, kalau berani jujur pada diri sendiri—hal penting untuk perubahan maju—berlangsung di berbagai bidang dan sejak lama serta menyubur pada masa Orde Baru yang menumbuhkembangkan ‘budaya’ takut. Berpikir secara ‘jatun hurui atau ‘diá tamé akal’ dan sikap ‘kambing-tumbur’ sebenarnya bukanlah tanda kesukaan berpikir, tapi bentuk kemalasan berpikir.

Untuk mewujudan cita-cita Manggatang Utus, seyogyanya Dayak meninjau ulang cara berpikir mereka. Saya khawatir, kalau kita masih berpikir secara ‘jatun hurui’ atau ‘diá tamé akal’ dan bersikap  ‘kambing-tumbur’, jarak kita dengan perkembangan zaman yang melaju kencang (Bhs.Dayak: cinik!) tanpa memperdulikan siapapun, akan makin jauh dan makin jauh.

Terbayang di mata saya keadaan Dayak di Nusantara, Ibu Kota Negara yang sedang dibangun tapi sudah lebih papa dari ‘Betawi’. Jika cara berpikir kita tidak diperiksa ulang dengan keras dan jujur, kepapaan itu akan menjadi-jadi dan menunggu kita di seluruh ruang dan relung kehidupan. Dayak menjadi lumpen di Pulau Kelahirannya: Borneo!

Di sinilah pula, saya melihat arti penting mendesaknya penyelenggaraan Kongres Kebudayaan Kalimantan Tengah yang belum pernah dilangsungkan sejak berdirinya provinsi ini pada tahun 1957. Kongres bisa berusaha menyusun strategi kebudayaan Kalimantan Tengah sehingga menjadi Bétang Bersama bagi semua Uluh Kalteng.***


KERAGAMAN INDONESIA DAN UPAYA MENGHINDARI KONFLIK

Oleh: Reyhan Davin Ardhionova* | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Keragaman itu keindahan alami. Penyeragaman itu lumbung petaka. Foto: Oki Sobara. Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Carnaval_baju_daerah.jpg

Tidak dapat dipungkiri lagi, hampir semua wilayah (termasuk kota) di Indonesia adalah wilayah dengan masyarakat multikultur. Para transmigran tentu lebih jelas motivasinya, yaitu mendapatkan tanah dan pekerjaan yang lebih baik di luar Jawa dan Bali.

Namun, kelompok etnis diaspora yang terdiri dari beberapa kelompok etnis tentu memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Para pendatang tersebut (transmigran, diaspora, dan migrasi lainnya) mau tidak mau harus melakukan kontak budaya dengan masyarakat setempat.

Berdasarkan teori kultur dominan, kelompok etnis tertentu menjadi dominan di wilayah teritorialnya. Beberapa provinsi yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah lima provinsi di Jawa (Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Jawa Barat), Bali, Gorontalo, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, dan Nangroe Aceh Darusalam. Sementara, kelompok etnis tertentu menjadi dominan di luar wilayah teritorialnya, untuk kategori ini hanya terjadi di propinsi Lampung, dimana orang Jawa menjadi mayoritas (61,89%) diikuti dengan orang asli Lampung justru menjadi minoritas.

Beberapa etnis memiliki jumlah yang berimbang, dapat dikateorikan lagi menjadi: Perimbangan jumlah etnis dengan jumlah etnis asli lebih besar. Kategori ini kebanyakan berasal dari etnis diaspora seperti Batak, Bugis, Melayu, Minahasa, dan Buton di wilayah teritorialnya.

Selain itu, etnis Banten juga paling banyak jumlahnya meskipun tidak dominan. Beberapa propinsi yang termasuk dalam kategori ini antara lain adalah: Banten, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Jambi, Riau, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Tenggara.

Faktor yang membuat perbedaan-perbedaan itu terutama berasal dari ilmu-ilmu perilaku manusia (Behavioral Sciences) seperti sosiologi, antropologi dan psikologi. Ilmu-ilmu sosial tersebut mempelajari dan menjelaskan kepada kita tentang bagaimana orang-orang berperilaku, mengapa mereka berperilaku demikian, dan apa hubungan antara perilaku manusia dengan lingkungannya. Penyebab tersebut telah menimbulkan banyak konflik di dalam masayarakat.

Akhir-akhir ini di Indonesia sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan, dan pembunuhan. Konflik tersebut muncul karena adanya ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam hubungan sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan.

Konflik di atas tidak hanya merugikan kelompok-kelompok masyarakat yang terlibat konflik tetapi juga merugikan masyarakat secara keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat pembangunan nasional yang sedang berlangsung.

Indonesia merupakan salah satu bangsa yang paling plural di dunia dengan lebih dari 500 etnik dan menggunakan lebih dari 250 bahasa. Karenanya, sebagaimana bangsa multietnik lainnya, persoalan-persoalan mengenai pengintegrasian berbagai etnik ke dalam kerangka persatuan nasional selalu menjadi tema penting.

Ironisnya, setelah sekian puluh tahun kemerdekaan, pertikaian antaretnik tetap saja terjadi. Sementara pembauran antaretnik intens berlangsung terutama di daerah-daerah urban, konflik antaretnik terus terjadi. Di satu sisi digalakkan upaya untuk meningkatkan nasionalisme guna mengurangi etnosentrisme, di sisi lain tumbuh subur pemujaan etnik.

Memiliki ratusan etnik dengan budaya berlainan, yang bahkan beberapa di antaranya sangat kontras, potensi ke arah konflik sangatlah besar. Ketika Koentjaraningrat mendefinisikan nilai budaya sebagai suatu rangkaian konsep yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai apa yang di anggap penting dan remeh dalam hidup, sehingga berfungsi sebagai pedoman dan pendorong perilaku, yang tidak lain mengenai sikap dan cara berpikir tertentu pada warga masyarakat, sekaligus ia menyatakan inilah masalah terbesar dalam persatuan antaretnik (Koentjaraningrat, 1971).

Nilai budaya inilah yang berperan dalam mengendalikan kehidupan kelompok etnik tertentu, memberi ciri khas pada kebudayaan etnik, dan dijadikan patokan dalam menentukan sikap dan perilaku setiap anggota kelompok etnik. Nilai-nilai budaya yang berbeda pada tiap etnik akan menimbulkan sikap dan cara berpikir yang berbeda pula.

Demikian juga dalam perilaku yang diambil meskipun dalam masalah yang sama. Perbedaan ini potensial menimbulkan konflik terutama pada masalah-masalah yang datang dengan adanya interaksi antaretnik.

Upaya Menghindari Konfilk

Berbagai cara dan upaya agar jangan sampai terjadi konflik sangat penting dilakukan. Misalnya, membuat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi etnis dan ras hendaknya tidak hanya memfokuskan perhatian pada diskriminasi seperti yang terjadi pada etnis Papua.

Setiap manusia mempuyai kedudukan yang sama dihadapan Tuhan karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban yang sama. Pada dasarnya, manusia diciptakan dalam kelompok ras atau etnis yang berbeda-beda yang merupakan hak absolut dan tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, manusia tidak bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian dari ras atau etnis tertentu. Adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antarkelompok, ras, dan etnis dalam masyarakat dan negara.

Selain itu, membangun sikap anti diskriminasi etnis dilakukan oleh pihak sekolah merupakan salah satu langkah penting. Dalam poin bahasan ini adalah bagaimana membangun sikap saling menghargai antaretnis yang dimulai melalui institusi sekolah.

Untuk mendukung langkah-langkah guru dalam membangun sikap anti diskriminasi etnis, peran sekolah juga sangat menentukan. Beberapa langkah penting sebaiknya dilakukan pihak sekolah agar siswa dapat secara langsung belajar meningkatkan sensitifitasnya untuk bersikap menghargai etnis lain di lingkungan sekolah.

Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kenyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Keragaman ini diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan, separatisme, dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk menghormati hak-hak orang lain, merupakan bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme tersebut.

*Reyhan Davin Ardhionova, Milenial Pontianak (https://kabardamai.id/keragaman-indonesia-dan-upaya-menghindari-konflik/)


Halaman Masyarakat Adat asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 24 Maret 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Masyarakat Adat | 14 Januari 2024 | Catatan Kusni Sulang: PERANTAU SAKLAWASE

Radar Sampit, Minggu, 14 Januari 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Tidak sia-sia Pemkab Murung Raya mendatangkan transmigrasi di Desa Bahitom Kecamatan Murung. Keberadaan warga di sana dinilai membantu kebutuhan pangan daerah ini dari hasil pertaniannya. Foto: https://mmc.kalteng.go.id/berita/read/2269/warga-transmigrasi-dinilai-bantu-penuhi-kebutuhan-pangan-di-murung-raya

Daerah Kalampangan terletak di pinggiran Kota Palangka Raya, merupakan sebuah wilayah penampungan transimigrasi asal Jawa. Dengan mengubah lahan gambut menjadi lahan pertanian, terbukti berhasil. Terlihat dari hasil sayur-sayuran yang telah dipasarkan ke Kota Palangka Raya. Foto: https://mmc.kalteng.go.id/berita/read/6547/petani-kalampangan-panen-sayur-sawi

Data Sensus Penduduk Indonesia 2010, dari 2.207.367 jiwa yang didata, tiga etnis dominan di Kalimantan Tengah yaitu Jawa sebanyak 21,68%, Banjar sebanyak 21,03% dan Dayak 20,42%. Sementara suku asal Kalimantan lainnya di luar Dayak sebanyak 26,67%.[45][46]

Kawasan utama etnis Dayak yaitu daerah hulu dan pedalaman, kawasan utama etnis Jawa yaitu daerah transmigrasi dan kawasan utama etnis Banjar yaitu daerah pesisir, perbatasan Kalimantan Selatan dan perkotaan (https://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah;”Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-hari Penduduk Indonesia” (pdf). Badan Pusat Statistik. 23 Mei 2012. hlm. 36–41. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2021-05-08. Diakses tanggal 9 September 2021).

Komposisi suku bangsa di Kalimantan Tengah selengkapnya dapat dilihat pada tabel berikut:

No.Suku BangsaSensus 2010
JumlahPersen
1.Asal Kalimantan (di luar Dayak)588.65026,67%
2.Jawa478.43421,68%
3.Banjar464.26021,03%
4.Dayak450.68220,42%
5.Melayu86.3223,91%
6.Madura42.6681,93%
7.Sunda28.5651,29%
8.Asal NTT15.3700,70%
9.Batak12.3240,56%
10.Bugis8.0400,36%
11.Bali7.3620,33%
12.Tionghoa5.1300,23%
13.Lainnya19.5600,89%
Total2.207.367100%
Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah

Kemudian pada tahun 2023, Arief Budiatmo, mantan anggota DPRD Kalteng, Dewan Penasehat Paguyuban Kulowargo Wong Jowo (Pakuwojo) Provinsi Kalteng mengatakan bahwa “Dari seluruh masyarakat Kalteng, diperkirakan 34 persennya orang Jawa” (https://kalteng.co /politika /tokoh-jawa-menilai-abdul-razak-layak-jadi-gubernur-kalteng/).

Sementara Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan mengetengahkan variasi angka lain lagi, tapi tetap etnik asal Jawa merupakan etnik terbesar dari segi jumlah di Kalteng, diikuti oleh etnik Banjar. Padahal pada tahun 1957, saat Kalteng berdiri sebagai provinsi otonom, etnik Dayak merupakan suku terbesar, karena itu Prof. Dr. Mubyarto menyebut Kalteng sebagai Provinsi Dayak.

Perubahan komposisi demografis Kalteng yang demikian, tidak terlepas dari politik kependudukan yang dipilih oleh Pemerintah Pusat melalui kebijakan transmigrasinya.

“Besarnya proporsi orang Jawa di Kalteng karena banyaknya transmigrasi asal Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur yang masuk ke Kalteng”, tulis https://id.wikipedia.org/wiki/Kalimantan_Tengah.Wikipedia lebih lanjut menulis: “Di beberapa kabupaten seperti Kotawaringin Barat, Seruyan dan Pulang Pisau, etnis Jawa adalah penduduk mayoritas”.

Dengan adanya Program Nasional Food-Estate yang memerlukan tenaga kerja banyak, jumlah transmigran yang didatangkan oleh pemerintah ke Kalteng bukan makin berkurang atau berhenti seperti pernah dituntut oleh DPRD Kalteng, tapi justru semakin besar sehingga posisi etnik Jawa sebagai etnik mayoritas di Kalteng menjadi semakin kokoh.

Tentu bukanlah kebetulan apabila pelantikan dan pengukuhan pengurus Pakuwojo Kalteng periode 2023-2027 dilakukan oleh Gubernur melalui Wakil  Gubernur (Wagub) Edy Pratowo di Ballroom Hotel Bahalap, Sabtu, 11/3/2023 (https://setda.kalteng.go.id/publikasi/detail/wagub-lantik-dan-kukuhkan-pengurus-pakuwojo-kalteng).

Perubahan komposisi demografis demikian membuat Kalteng tak ubah laiknya Mini Indonesia, dalam artian hampir semua etnik yang ada di negeri ini terdapat di Kalteng dan tentu saja berpengaruh langsung ke berbagai sektor kehidupan, apalagi di bidang politik. Apabila keragaman ini bisa dikelola dengan baik, tentu saja kebhinnekaan demikian merupakan suatu rahmat dan suatu kekayaan serta kekuatan untuk bergerak maju ke arah pemanusiawian kehidupan dan masyarakat. Jika tidak, bisa dipastikan akan merupakan malapetaka. Dan petaka itu pernah terjadi misalnya di tahun 2000 yang dikenal sebagai Tragedi Sampit.

Ide umum yang ditawarkan guna mengelola keragaman ini di Kalteng adalah konsep yang dirumuskan sebagai ’di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’. Konsep ini jugalah yang dianut dan ditawarkan oleh organisasi baru, Perkumpulan Warga Jawa Perantau Saklawase (PAWARTOS) Kalteng yang dibentuk dan dideklarasikan, Minggu tanggal 4 September 2023, organisasi mitra dari Pakuwojo yang sudah lama ada.

Saya khawatir, konsep ini merupakan sebuah konsep yang tak zamani lagi sebab penganut pandangan ini tidak menganggap bumi yang ia pijak sebagai kampung halaman mereka, tapi sekedar tempat merantau mencari hidup. Kampung halamannya ada di tempat lain. Bumi yang sedang ia atau mereka pijak, tidak lebih dari kebun halaman belakang rumah mereka di tempat lain. Mereka tidak punya rasa tanggung jawab membangun bumi yang sedang ia pijak. Untuk aman maka mereka ‘menjunjung langit’ untuk sementara  menaungi mereka sehingga bisa dan gampang terjadi ‘di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung’ sedangkan tangan lain ‘nyolong’ (mencuri) untuk dibawa pulang ke kampung mereka nun di sana.

Lalu yang tepat bagaimana?

Saya kira yang tepat adalah ‘di mana bumi dipijak, di situ bumi dibangun’ atau ‘di mana langit dijunjung, di situ bumi dibangun’. Dengan pandangan dan sikap ini, mereka memandang bumi yang mereka pijak adalah kampung-halaman mereka sendiri. Ini adalah “pijak, tempat mereka mencari hidup yang tidak lain dari tanah rantau semata”. Karena itu, dengan sikap begini, tidak mengherankan jika banyak orang-orang non-Dayak yang lahir, besar dan bekerja di Kalteng tapi hidup dalam ghetto budaya lama mereka, berbahasa Dayak pun tidak bisa karena menganggapnya tidak penting. Tidak berguna. Mereka betul-betul adalah Perantau Saklawase, turis jangka panjang di Kalteng.

Konsep ‘di mana bumi dipijak, di situ bumi dibangun’ atau ‘di mana langit dijunjung, di situ bumi dibangun’, secara lain bisa disebut juga Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng (Oranq Kalteng Beridentitas Kalteng). Warga Kalteng apapun asal etniknya, kalau mereka tinggal di Kalteng, mereka adalah Uluh Kalteng. Identitasnya? Tentu saja beridentitas Kalteng. Untuk bisa memiliki identitas demikian, mereka niscaya belajar budaya lokal, lebih-lebih bahasa lokal (baca: Bahasa Dayak). Tidak ada ruginya dan tidak ada salahnya kecuali sangat menguntungkan belajar budaya cq bahasa lokal.

Di tahun 1990-an, dalam sebuah diskusi yang juga dihadiri oleh seorang perwira polisi, saya pernah mengajukan agar polisi, tentara dan siapa saja yang non-Dayak tapi bekerja di Kalteng, lembaganya menyelenggarakan kursus bahasa Dayak. Dalam hubungan ini, saya merasa sedikit aneh jika politik bahasa yang diterapkan sekarang ‘mengutamakan bahasa Indonesia’, padahal dalam Sumpah Pemuda tidak disebut mengutamakan tapi menjunjung tinggi bahasa Indonesia. Dengan politik bahasa yang demikian, tidak mengherankan jika bahasa-bahasa lokal terpinggirkan atau paling tidak menjadi nomor dua atau lima.

Dalam upaya melahirkan Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng ini, ada kejadian berikut.

Pada suatu hari, teman saya dari Katingan yang menikah dengan seorang perempuan asal Jawa, tapi lahir dan besar di Kalteng–saya sebut menggunakan istilah pemilik warung dekat rumah yang seorang asal Jawa, ‘Jawa Gambut’. Teman muda saya itu bertanya, apakah saya bisa membantu mendapatkan sepuluh eksemplar Kamus Dayak Ngaju-Indonesia.

“Untuk apa?” saya bertanya balik.

“Ada sekolah dasar di Seruyan memerlukannya. Mereka ingin belajar Bahasa Dayak Ngaju.”

“Siapa mereka itu?”

“Orang-orang Jawa transmigran.”

Mendengar hal demikian, saya sangat gembira. Jawa Transmigran mau belajar Bahasa Dayak. Ini dia janin Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng itu.

“Bisa, saya pastikan bisa. Dalam dua hari kau akan mendapatkan 10 Kamus Dayak-Indonesia itu.”

Sebenarnya, Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng itu bukan hal baru.

Zaman Perang Gerilya mengusir Belanda dulu, ada teladan dari Kapten Mulyono yang Jawa, dari H. M. Arsyad yang Bugis, dan di Desa Sumur Mas saya dapatkan orang-orang dari NTT dan Bugis. Orang-orang ini tidak menganggap dirinya sebagai Perantau Saklawase, melainkan Uluh Kalteng  Beridentitas  Kalteng.

Hal berkesan lainnya yang selalu saya ingat bahwa lelaki-perempuan muda Kalampangan, desa transmigran di pinggiran Palangka Raya yang secara sadar belajar tarian Dayak dari seorang seniman Ma’nyaan berpengalaman yang juga tinggal di daerah Kalampangan. Untuk mendorong dan mengembangkan semangat ini, bersama Sanggar Tari Balanga Tingang pimpinan Novi dan Denny, kami pernah menyelenggarakan pentas tari dengan mengikutsertakan mereka.

Saya kira, untuk mengelola kebhinnekaan etnik dan budaya di Kalteng, barangkali mengembangkan dan melaksanakan konsep Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng akan membuat kebhinnekaan itu suatu kekayaan. Dengan konsep ini maka Dayak berarti ‘Dayak Kebudayaan, genealogis dan yang senasib dengan Dayak’. Kongres Kebudayaan Kalteng adalah tempat bersama untuk merumuskannya.***


Halaman MASYARAKAT ADAT asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 31 Desember 2023. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Masyarakat Adat | 23 Juli 2023 | Catatan Kusni Sulang: POLITIK ETNIK JAWA-SENTRIS PATUT SEGERA DITINGGALKAN

“Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!“
–          Soekarno, Presiden pertama Indonesia 1901-1970

Ensuring that no one is left behind – How do we protect the poorest and most vulnerable from the crisis and empower them to realize the SDGs. Menjamin bahwa tak seorang pun yang ditingggalkan di belakang. Bagaimana melindungi mereka yang termiskin dan terpapa dari krisis serta bagaimana memberdayakan mereka guna melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.”
–          Statements Office of the High Commissioner for Human Rights, 06 July 2021


Penyunting: Andriani SJ Kusni

Dalam rangka merayakan Hari Kemerdekaan yang ke-76, Suku Dayak Iban di Desa Lintang Batu, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat yang tinggal di perbatasan, membentangkan di atap Rumah Betang mereka, bendera Merah Putih sepanjang 168 meter dan lebar tiga meter. Untuk memasang bendera itu, 42 orang telah dikerahkan. Foto: Antara (Diambil dari https://kalbar.inews.id/berita/bendera-merah-putih-sepanjang-168-meter-dibentangkan-di-atap-rumah-suku-dayak)

Sependek pengetahuan saya, baru dan hanya Presiden Joko Widodo (Jokowi) sajalah yang berani dengan terus-terang dan berkali-kali mengakui di depan publik bahwa pembangunan Indonesia sejak 1945 bersifat Jawa-Sentris.

Dengan maksud agar pembangunan menjadi Indonesia-Sentris maka sebagai Presiden, ia memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur–salah satu pertimbangan yang sejajar dengan alasan Bung Karno ketika ingin memindahkan IKN ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng).

Jawa-Sentris artinya segala-galanya terpusat di Jawa.

Tidak heran hal-hal penting seperti rumah sakit, sekolah-sekolah, infrastruktur terbaik, dan lain-lain, semuanya terdapat di Jawa. Padahal, daerah-daerah luar Jawa itu kaya akan sumber daya alam yang mendatangkan devisa untuk Negara. Tapi hasilnya sebagian terbesar digunakan untuk Jawa sehingga ketertinggalan dibandingkan dengan Jawa merupakan ciri daerah-daerah luar Jawa–lebih-lebih Indonesia Tengah dan Timur.

Oleh berlangsungnya ketimpangan begini, maka seperti pernah saya tulis di Harian ini, saya sempat merasa sangat gembira dengan meletusnya pemberontakan PRRI-Permesta pada 1958-1961, walaupun membuat kiriman pos wesel dari kampung menjadi macet dan saya harus dengan berbagai cara mencari cara bertahan hidup serta sering kelaparan.

Apa yang disebut oleh Presiden Jokowi sebagai ‘Jawa-Sentris’ itulah yang saya maksudkan dengan politik etnik untuk Indonesia yang terdiri dari banyak suku itu. Selama ini, politik etnik yang dipilih adalah politik Jawa-Sentris, termasuk dalam kategori ‘politik besarisme’.

Sebagai pulau yang berpenduduk paling banyak di negeri ini, seperti perahu yang sudah sangat sarat muat, saya memahami bahwa jika Jawa tidak diurus dengan baik, Jawa akan resah dan dampak keresahan di pulau terkecil dari lima pulau terbesar Indonesia itu akan berdampak ke pulau-pulau lain.

Tapi sekalipun demikian, karena Indonesia bukan hanya Jawa, agar kemajuan bisa merata, akan sepantasnyalah jika daerah-daerah, yang berarti suku-suku lain penghuni daerah-daerah lain dan disebut sebagai wilayah Republik Indonesia, tidak diabaikan. Pengabaian etnik daerah-daerah lain menghasilkan keterbelakangan dan menjadikan daerah-daerah lain itu sebagai ‘sapi perahan’ belaka, keadaaan demikianlah yang saya namakan penjajahan internal. Apalagi, ciri-ciri penjajahan itu lengkap terdapat di daerah-daerah tersebut, paling tidak di Kalimantan Tengah, sampai pada hari ini.

Saya khawatir, jika politik etnik Jawa-Sentris dan besarisme dilanjutkan, terutama dalam praktek, keberlanjutan eksistensi bangsa dan negeri ini akan mengalami gangguan tanpa jeda. Bumi Tambun-Bungai, Bumi Pancasila tidak mempunyai makna dalam kehidupan kecuali sebagai retorika politik politisien. Kalau pemahaman saya tidak salah, salah satu penyebab remuknya Yugoslavia sebagai bangsa dan Negara, terdapat unsur politik besarisme ini juga.

Dalam kehidupan langlang buana, saya pernah berkunjung ke beberapa daerah etnik minoritas di perdesaan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), antara lain ke daerah Hei-Lung-kiang di Timur Laut.

Waktu itu musim dingin minus 40 (empat puluh) derajat. Tuan rumah, Tiongkok, tahu benar bahwa saya mempunyai perhatian besar selain pada masalah sastra-seni, juga terhadap politik etnik yang mereka terapkan. Daerah perdesaan yang saya kunjungi dihuni oleh etnik Korea, tentu saja juga dihuni oleh etnik Han sebagai etnik mayoritas.

Air bersih merupakan keperluan seluruh warga desa tanpa kecuali. Untuk itu, pemerintah menyediakan pompa air. Yang menarik perhatian, pertama-tama yang didahulukan dalam pengadaan pompa air itu adalah untuk warga dari etnik Korea. Perhatian penuh pemerintah pada etnik minoritas ini juga nampak pada pengadaan pabrik khusus dan pakaian khas Korea. Adanya perhatian penuh pemerintah ini membuat kehidupan etnik minoritas (dalam arti jumlah) berkembang setara dengan yang Han.

Dalam bidang pendidikan, untuk etnik-etnik minoritas ini diadakan universitas khusus yang dinamakan Universirtas Etnik Minoritas (Min Zu  Da Xué) yang memungkinkan sumber daya manusia berkualitas etnik-etnik minoritas ini bisa cepat tumbuh berkembang.

Kali lain, dari Australia melalui Hong Kong, saya kembali ke Tiongkok. Waktu itu diterapkan politik demografi ‘satu keluarga satu anak’. Politik demografi ini terutama diberlakukan untuk etnik Han sedangkan terhadap etnik-etnik minoritas, politik demografi ‘satu keluarga satu anak’ tidak diberlakukan dengan maksud agar laju jumlah mereka tidak terhambat.

Sementara di negeri kita, diterapkan politik keluarga berencana pukul rata. Bahkan, di daerah perdesaan Dayak Kalimantan Tengah yang jumlahnya sudah sedikit dibandingkan dengan etnik Jawa, Banjar, dan Bugis, terdapat desa-desa yang disebut Desa Teladan Keluarga Berencana. Tidakkah kebijakan begini membuat yang sudah minoritas menjadi tetap minoritas dan semakin minoritas?

Di bidang literasi, untuk etnik-etnik yang tidak punya aksara, pemerintah mengatur agar mereka mempunyai aksara guna mengembangkan sastra etnik mereka sendiri. Pengembangan sastra-seni etnik minoritas benar-benar didorong dan dikembangkan. Artinya, Tiongkok menerapkan politik etnik yang adil sehingga kemajuan etnik-etnik itu merata di seluruh negeri.

Tidak bisakah politik etnik yang adil begini diterapkan di negeri kita sehingga kesenjangan antar etnik tertangani? Politik ‘survival of the fittest’  atau laisser faire,laisser aller, yang kuat adalah yang menang, saya pastikan bukan politik etnik yang adil, apalagi politik etnik ‘Jawa-Sentris’ yang sejak lama dipraktekkan.

Salah satu bentuk konkretisasi Bhinneka Tunggal Ika adalah meninggalkan politik etnik ’Jawa-Sentris”, ‘besarisme’, dan mulai menerapkan politik etnik yang berkeadilan.

Lanjutan konkret dari ‘politik etnik yang berkeadilan’ ini adalah pembentukan dan penetapan desa adat, bukan lima skema perhutanan sosial yang saya anggap kebijakan akal-akalan. Pembentukan dan penetapan desa adat tidak lain mewujudkan secara nyata konsep Bhinneka Tunggal Ika, mengembalikan kedaulatan rakyat ke tangan rakyat, dalam pengertian sesungguhnya. Desa adat juga merupakan perwujudan nyata dari republikan dan berkeindonesiaan sebagai rangkaian nilai. Desa adat sebagaimana halnya dengan republik dan Indonesia sebagai rangkaian nilai berdiri hadap-hadapan dengan praktek penjajahan internal dalam berbagai bentuk. Karena itu, kemerdekaan sesungguhnya masih jauh dari kenyataan.

Praktek politik etnik yang lain, saya terima tuturannya dari Swedia.

Teman-teman saya yang berada di negeri Utara (Nordic) itu mengatakan bahwa jika kau dari Indonesia, pemerintah Swedia memfasilitasi Anda agar tetap menguasai baik Bahasa Indonesia. Arti praktis kebijakan ini, jika Swedia memerlukan tenaga yang menguasai Bahasa Indonesia, pemerintah tidak kalang-kabut untuk mencari tenaga penerjemah. Sementara di Indonesia, pemerintah pernah melarang penggunaan Bahasa Tionghoa yang pada zaman Pemerintahan Soekarno, koran-koran berbahasa daerah termasuk Tionghoa sangat dikembangkan.

Sehubungan dengan politik bahasa ini, yang menjadi pertanyaan: Apakah semboyan “Mengutamakan Bahasa Indonesia, Melestarikan Bahasa Daerah dan Menguasai Bahasa Asing” itu kebijakan yang sudah tepat? Apakah kebijakan ini tidak telah turut andil dalam kematian bahasa-bahasa daerah? Dalam perbandingan, menurut semboyan ini, bahasa daerah cuma dilestarikan, tidak perlu dikuasai, tidak juga diutamakan. Pertanyaan ini muncul dalam hubungan dengan politik etnik yang di dalamnya mencakup masalah bahasa dan sastra.

Apabila Office of the High Commissioner for Human Rights PBB menyatakan tentang keharusan Negara-Negara “Ensuring that no one is left behind – How do we protect the poorest and most vulnerable from the crisis and empower them to realize the SDGs. Menjamin bahwa tak seorang pun yang ditingggalkan di belakang. Bagaimana melindungi mereka yang termiskin dan terpapa dari krisis serta bagaimana memberdayakan mereka guna melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”, pertanyaannya: Bagaimana mungkin keinginan demikian terwujud apabila yang dilaksanakan adalah politik etnik diskriminatif seperti halnya dengan politik etnik Jawa-Sentris dan besarisme? Bagaimana mungkin keinginan Bung Karno bahwa “Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!“ terwujud jika tidak dipilih dan dilaksanakan politik etnik yang berkeadilan?

Memilih dan melaksanakan politik etnik yang berkeadilan,  tidak lain dari  wujud kecintaan pada rakyat dan kesetiaan serta penghayatan pada rangkaian nilai republikan dan berkeindonesiaan.

Perlakuan terhadap Dayak yang sangat lemah di daerah IKN akan memperlihatkan politik etnik apa-bagaimana yang akan dipilih dan diterapkan penyelenggara Negara.

Kalau politik etnik berkeadilan itu adalah hak semua etnik, kalau direnggut lalu mengapa dibiarkan? Meratap sampai terguling-guling pun pasti tidak memberikan kita apa-apa, selain keterpurukan yang kian menjadi.

Meratap dan mengemis bukanlah sikap yang tepat tanggap.***


Politik Identitas Etnis dalam Demokrasi

Oleh: Noviardi Ferzi* | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Pertama kali, batasan tentang politik identitas dicetuskan oleh feminis kulit hitam Barbara Smith dan Combahee River Collective pada tahun 1974. Pada awalnya, politik identitas berawal dari kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang selama ini mengutamakan kesamaan yang monoton dari pada nilai strategis perbedaan.

Demokrasi di tengah masyarakat yang plural tidak selalu mulus. Kita menghadapi berbagai persoalan. Harus diakui, pesta demokrasi seperti pemilihan kepala negara dan kepala daerah langsung turut mendorong politik identitas.

Kehidupan bangsa Indonesia menghadapi tantangan, salah satunya adalah merebaknya politik identitas yang mengedepankan identitas golongan atau simbol tertentu guna mendapatkan pengaruh politik.

Politik identitas yang dimaksud adalah politisi yang mengedepankan identitas seperti suku, ras, agama, dan identitas kedaerahan untuk meraih suara terbanyak ketimbang program kerja yang paling baik untuk kepentingan masyarakat atau politik yang berorientasi kerja.

Strategi Alami Politik

Politik identitas pada dasarnya sesuatu yang alamiah, nilai dan keyakinan yang ada dalam diri setiap manusia. Hanya saja, tingkat pendidikan, hukum, regulasi, nilai dan pemahaman tiap manusia pada setiap daerah bahkan negara untuk secara sadar tidak mengkedepankan ini, menjadi pembeda.

Buruknya, politik identitas membuat masyarakat terpecah. Mereka (para politisi-penyunting) tidak lagi peduli bagaimana mengembalikan agar masyarakat bersatu kembali sebagai bangsa yang berbeda tetap satu tujuan, Bhineka Tunggal Ika.

Dalam rangka memuluskan politik identitas di atas, tidak jarang para politisi memproduksi ragam berita bohong yang mendorong ujaran kebencian dan menyumbang perpecahan di masyarakat. Berita bohong atau lebih dikenal dengan sebutan hoax, sengaja dibuat oleh tim para pemenang untuk menjatuhkan lawan politik.

Sebelum media sosial berkembang, berita bohong lebih banyak beredar dari mulut ke mulut dan terbatas di masa atau wilayah tertentu. Seiring pertumbuhan internet, penggunaan media sosial pun berkembang luas dan karenanya berita bohong pun tumbuh dan berkembang. Berita bohong tidak lagi terkendali ketika media sosial kini berada di tangan para penggunanya melalui telepon genggam pintar (smart phone). Asal terhubung internet, semua informasi baik berita kredibel maupun berita bohong beredar. 

Politik Etnisitas

Identifikasi identitas etnik yang lazim dilakukan pada masyarakat multi etnik senantiasa diarahkan pada situasi dan konteks di mana seseorang berada.

Dalam konteks politik, terutama dalam pilkada, identifikasi identitas etnik menjadi hal penting dalam aktifitas politik. Identitas etnik adalah sesuatu yang problematik ketika dihadapkan dengan komunikasi politik, terutama dalam sistem pemilu yang demokratis. Hal tersebut bisa menjadi pembeda atau ko-identifikasi bagi pihak-pihak yang menggunakannya untuk tujuan meraih dukungan politik.

Pada awalnya politik identitas etnis lebih mengarah pada gerakan kaum yang terpinggirkan dalam kondisi sosial, politik dan kultural tertentu dalam masyarakat. Dalam perjuangan politiknya, penggunaan identitas etnis memberi hasil positif yang berpengaruh secara signifikan. Secara operasionalnya, politik identitas etnis adalah konsep kunci dalam arena politik yang memanfaatkan penggolongan manusia berdasarkan perbedaan yang disebabkan oleh ketimpangan atau ketidakadilan dalam pendistribusian sumber daya ekonomi, kekuasaan, wilayah, peluang kerja. Mendukung ini, Usman Hamid, salah seorang aktivis demokrasi mengatakan bahwa politik identitas di Indonesia telah digunakan sebagai alat untuk mengembalikan distribusi sumber daya.

Saat ini, politik identitas tidak dapat dihindari di dalam demokrasi. Bahkan politik identitas merupakan sebuah fenomena politik yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia lainnya dengan pola dan karakteristik sesuai dengan konteks yang terjadi di negara tersebut.

Dalam demokrasi, politik identitas merupakan tindakan pengorganisasian identitas tertentu secara politis yang sering kali digunakan dalam rangka penyaluran aspirasi untuk memengaruhi baik kebijakan maupun tujuan kekuasaan. Bila politik identitas digunakan secara berlebihan dan dimanipulasi dengan cara membenturkan identitas lain, tentunya akan menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat.

Lalu, apakah Politik Identitas baik?

Dalam hal ini, Francis Fukuyama menyebut politik identitas sebagai salah satu “ancaman utama” yang dihadapi demokrasi, mengalihkan energi dan berpikir jauh dari masalah yang lebih besar seperti meningkatnya ketidaksetaraan ekonomi. “Bagaimana kita bisa bersatu dalam sesuatu yang besar, ketika kita terus membelah diri menjadi faksi-faksi yang lebih kecil? Di jalan ini terletak, pada akhirnya, kehancuran dan kegagalan negara,” Fukuyama memperingatkan.

Jika logika politik identitas adalah untuk membagi kita menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, urutan itu berakhir dan tak terhindarkan dengan identitas satu. Dan satu-satunya cara untuk melindungi dan menjunjung tinggi setiap individu adalah melalui hak dan prinsip yang luas, mencakup semua. Jadi, menurut Fukuyama, daripada menuju politik identitas, kita harus bergerak menuju politik solidaritas. Tetapi agar solidaritas itu bertahan, ia harus bergulat dengan politik identitas. Politik identitas, dengan segala kekurangannya, tidak bertentangan dengan visi nasional yang menyeluruh yang menjadikan kita satu.

Politik identitas yang berlebihan akan bermuara pada konflik SARA, tidak saja berimplikasi pada kualitas demokrasi tapi juga mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Idealnya, identitas yang dibawa ke dalam politik tersebut diperankan dalam koridor etika dan moral sehingga tidak ada hak orang lain yang dilanggar serta tidak mengganggu ketertiban umum.

Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya melek politik dan hukum, ditambah lagi derasnya arus informasi tanpa filter, maka dikhawatirkan merebak sikap emosional yang mudah tersulut sehingga berakibat timbul konflik vertikal maupun horisontal yang justru akan merugikan keutuhan bangsa Indonesia.

Kondisi Indonesia yang multi identitas jangan sampai menjadi sumber disintegrasi. Beragam identitas yang ada di Indonesia justru merupakan kekuatan utama bagi kemajuan bangsa.***

* Pengamat  (Sumber: https://jamberita.com/read/2022/02/08/5972089/politik-identitas-etnis-dalam-demokrasi/)


Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu, 23 Juli 2023
Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu, 23 Juli 2023. Pengasuh: Kusni Sulang & Andriani SJ Kusni, Redaktur: Heru P., Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 18 Mei 2023 | Tentang Konsep Osborne-Gaebler

Radar Sampit, Minggu, 18 Juni 2023

Anda tidak akan pernah memahami birokrasi sampai Anda memahami bahwa bagi birokrat, prosedur adalah segalanya dan hasil tidak berarti sama sekali. Asli: You will never understand bureaucracies until you understand that for bureaucrats, procedure is everything and outcomes are nothing.
–          Thomas Sowell (1930-  ), Ekonom dari Amerika Serikat

Birokrasi adalah tempat kita semua jatuh sakit. Die Bürokratie ist es, an der wir alle kranken.
–          Otto von Bismarck(1815-1898), negarawan dan perdana menteri dari Jerman

Jadi, jika kita berbohong kepada pemerintah, itu kejahatan. Jika mereka berbohong kepada kita, itu politik.
–          Bill Murray (1950-   ), aktor Amerika

Dalam politik, kebodohan bukanlah cacat.
–          Napoleon Bonaparte

Salah satu alasan orang membenci politik adalah bukan kebenaran menjadi tujuan politisi, tapi pemilihan dan kekuasaan.
–          Cal Thomas (1942), kolumnis, pengarang dan komentator Amerika


Catatan Pengantar Andriani SJ Kusni

Tentang Konsep Osborne-Gaebler

Ilustrasi Birokrasi. Kredit: Ahmad Fauzan

Terjemahan buku Reinventing Government diterbitkan tahun 2005. Selama 23 tahun kehadirannya, nampak apa yang diketengahkan oleh David Osborne dan Ted Gaebler selaku penulis mulai menyusup ke dunia akademi dan ke kalangan para politisi.

Barangkali pengaruh ini berkaitan dengan perkembangan reformasi 1998 yang oleh berbagai pihak disebut telah dibajak, dibajak terutama oleh kelompok oligark yang sekarang menguasai penyelenggaraan Negara dengan menyingkirkan ide utama reformasi di segala bidang. Buku ini seakan memberi dasar teori bagi berlangsungnya kombinasi politisi-pembisnis seperti halnya karya Franḉis Fukuyama, The End of History, memberi penjelasan tentang keruntuhan Uni Soviet dan negeri-negeri sosialis Eropa Timur, lalu dilanjutkan oleh S. Huntington dengan buku Benturan Budaya, yang mencoba menggambarkan kontradiksi Barat versus Islam.

Resensi buku Reinventing Government ini, kami dahulukan penyiarannya dibandingkan dengan naskah-naskah tersedia lainnya karena kami ingin segera mengajak para pembaca menjawab pertanyaan: Benarkah tawaran gagasan Osborne dan Gaebler cocok untuk Indonesia yang kebingungan mencari jalan keluar? Apakah gagasan Reinventing Government sesuai dengan  cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945? Apa dampaknya bagi negeri dan bangsa ini apabila konsep Osborne dan Gaebler dijadikan pegangan oleh para penyelenggara Negara?

Bahinip itah matei,” ujar seorang petani Samuda yang sering kami kutip dan “salah satu alasan orang membenci politik adalah bukan kebenaran menjadi tujuan politisi, tapi pemilihan dan kekuasaan”, tulis Cal Thomas (1942), kolumnis, pengarang dan komentator Amerika.

Kita biarkankah kebenaran dicampakkan dari kehidupan?

Dunia pemikiran memang merupakan suatu gelanggang di mana orientasi sebuah negeri dan bangsa ditetapkan. Hasil pergulatan pemikiran ini akan menetapkan sistem apa yang akan diterapkan oleh penyelenggara Negara untuk negeri ini dan hal demikian mempengaruhi seluruh bidang kehidupan termasuk kebudayaan.[]


Resensi Buku

Mewirausahakan Birokrasi:

Mentransformasikan Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik

Oleh: Sukidjo | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Judul asli: Reinventing Government: How the Entrepreneurial is Transforming the Public Sector

Pengarang: David Osborne & Ted Gaebler

Penerjemah: Abdul Rosyid

Tahun Penerbitan: 2000

Penerbit: Pustakawan Binaman Pressindo

ISBN 979-442-043-3

Jumlah Halaman: 400 + xx

Buku ini terdiri atas 11 bab dilengkapi 2 lampiran dan indeks. Di dalam Pendahuluan, diuraikan tentang perestroika Amerika Serikat yang memberikan gambaran bahwa sejak tahun 1980 kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sudah menurun, bahkan pada tahun 1990-an penurunan kepercayaan tersebut cukup tajam sehingga dapat dikatakan pemerintahan sudah mati atau menemui jalan buntu.

Sehubungan dengan itu, tidak mengherankan jika hanya 5% warga Amerika Serikat yang akan memilih jabatan dalam pemerintahan dan hanya 13% dari pegawai tinggi federal yang merekomendasikan karier pegawai negeri. Pada tahun 1990, USA mengalami defisit yang tradisional yang sifatnya mengatur, menguasai menuju ke arah memberikan kesempatan kepada masyarakat.

Langkah pertama, mewirausahakan birokrasi adalah pemerintah lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat mengarahkan daripada kegiatan yang sifatnya mengatur. Konsekuensinya, perlu ada redistribusi kepenguasaan dan pemerintah. Secara tradisional, peran pemerintah adalah mengatur dan kurang mengedepankan dialog. Dalam konsep baru, peran pemerintah diharapkan lebih bersifat mengarahkan pada dialog serta membangun kemitraan dengan swasta khususnya kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan.

Langkah kedua, dilakukan dengan cara menempatkan pemerintah sebagai milik masyarakat dengan mengutamakan memberikan wewenang ketimbang melayani. Pemberian wewenang kepada masyarakat dipandang sebagai suatu tradisi yang telah berlaku di Amerika, mengingat negara Amerika Serikat merupakan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai kelompok organisasi masyarakat yang mandiri. Jika para birokrat tetap mengendalikan pelayanan publik, berarti akan mengurangi kepercayaan dan kompetensi warga masyarakat sehingga akan berdampak pada ketergantungan, dan adanya ketergantungan sudah tentu kurang menguntungkan. Dengan adanya pemberian kewenangan kepada masyarakat, maka partisipasi masyarakat akan meningkat. Dicontohkan dalam bidang pendidikan, para orangtua membentuk dewan sekolah dan dewan ini bertindak sebagai direksi, mempekerjakan dan menentukan kepala sekolah atas dasar jasa atau prestasi kerjanya dan bukan atas dasar senioritas belaka. Dengan memberikan kewenangan kepada masyarakat diharapkan akan dapat membangkitkan kepercayaan serta mampu memberikan solusi yang lebih baik mengingat masyarakat memiliki komitmen yang lebih tinggi serta lebih memahami masalahnya dan dapat menegakkan standar perilaku yang lebih efektif.

Langkah ketiga, perlunya pemerintahan yang kompetitif yakni perlunya persaingan dalam memberikan pelayanan. Kompetisi yang sehat akan memberikan keuntungan antara lain terjadinya efisiensi yang lebih besar, meningkatkan respon terhadap kebutuhan pelanggan, mendorong inovasi, dan membangkitkan rasa harga diri maupun semangat juang.

Langkah keempat, perlu adanya perubahan dalam tata kerja pemerintahan, yakni mengubah dari sistem pemerintahan yang digerakkan oleh peraturan menuju pemerintahan yang digerakkan oleh misi. Misi yang akan dicapai hendaknya dipandang sebagai arah kebijakan pemerintah. Organisasi yang digerakkan dengan misi ternyata memiliki keuntungan, yakni akan lebih efisien dan efektif, inovatif, fleksibel, serta memiliki semangat kerja yang lebih tinggi. Sehubungan dengan itu, disarankan dalam menyusun anggaran perlu didasarkan pada misi. Demikian juga dalam menentukan personalia. Untuk dapat membangun organisasi yang digerakkan oleh misi, perlu ada pernyataan tentang misi serta mengorganisasi berdasarkan misi dan bukan berdasarkan atas kekuasaan.

Langkah kelima adalah menciptakan pemerintahan yang berorientasi pada hasil. Penilaian hasil didasarkan pada kriteria kepuasan pelayanan, tingkat partisipasi masyarakat, serta kualitas lingkungan. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah sebaiknya mengembangkan sistem insentif sebagai bentuk penghargaan terhadap prestasi hasil.

Langkah keenam, adalah pemerintahan yang berorientasi pada pelanggan yakni berusaha memenuhi  kebutuhan pelanggan (masyarakat) dan bukan untuk memenuhi kebutuhan birokrasi. Jika pemerintah berorientasi kepada birokrasi, dikhawatirkan akan dapat menimbulkan arogansi birokrasi dan atau akan lebih mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan kelompok kepentingan. Masyarakat merupakan pelanggan pelayanan pemerintah sehingga pelayanan kepada rakyat akan semakin baik. Untuk itu, pemerintah sebaiknya lebih mendekatkan diri kepada kebutuhan rakyat.

Langkah ketujuh, pemerintahan wirausaha merupakan pemerintahan yang berorientasi untuk menghasilkan daripada sekedar membelanjakan. Jika orientasi pemerintahan hanya pada pengeluaran maka akan terjadi pemborosan. Untuk itu, perlu ada perubahan orientasi yang mendorong kekuatan dan motif bahwa setiap pengeluaran hendaknya dapat menghasilkan target tertentu. Memang diakui bahwa untuk dapat menghasilkan diperlukan biaya. Biaya tersebut dapat dikenakan kepada mereka yang mendapatkan manfaat kegiatan yang bersangkutan. Pembiayaan atau pengeluaran hendaknya dipandang sebagai kegiatan menabung sehingga setiap pengeluaran atau investasi dimasudkan untuk mendapatkan hasil. Untuk itu, perlu diadakan pengubahan pada diri manajer publik termasuk pada birokrat agar selalu bertindak dan berpikir sebagai wirausaha, bersifat inovatif, efisien, serta berani melakukan investasi.

Langkah kedelapan adalah pemerintahan yang antisipatif sehingga perlu bertindak cepat dan mempersiapkan diri terhadap keadaan yang akan terjadi berdasarkan data dan trend yang ada pada saat kini. Oleh sebab itu, perlu menerapkan prinsip ‘mencegah lebih baik dari pada mengobati’. Dalam sistem pemerintahan tradisional, umumnya kegiatan yang dilakukan lebih banyak yang bersifat reaktif: menyelenggarakan pelayanan jasa untuk mengurangi masalah. Misalnya, untuk menanggulangi masalah kesehatan, pemerintah mendanai perawatan kesehatan. Untuk mengurangi kejahatan, pemerintah mendanai polisi yang lebih banyak. Dalam pemerintahan yang antisipatif: dalam mengurangi masalah kesehatan, pemerintah membangun sarana air bersih, pengolahan limbah, pengawasan makanan, menyelenggarakan vaksinasi dan sebagainya, yang semua kegiatan merupakan upaya pencegahan. Kegiatan pencegahan macam ini diharapkan akan lebih dapat memecahkan masalah daripada hanya memberikan pelayanan jasa. Untuk dapat mengantisipasi keadaan yang akan timbul, perlu dilakukan analisis berbagai tantangan yang kemungkinan akan terjadi kemudian mempersiapkan langkah-langkah mengantisipasinya. Dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya antisipatif terhadap apa yang akan terjadi diharapkan dampak negatif akan dapat diminimalisasi serta pembiayaan untuk mengatasi hal tersebut akan lebih sedikit, serta akan dapat menghindarkan diri dari kemungkinan krisis yang timbul. Sehubungan dengan itu, maka pemerintah hendaknya memiliki pandangan ke depan dan dapat mengantisipasi akan yang akan terjadi di masa depan, selanjutnya merumuskan sejumlah kegiatan daIam suatu kerangka rencana strategis. Kegiatan yang dilakukan tidak hanya sekedar kegiatan yang sifatnya rutin. Untuk keperluan penyusun strategis dan penganggaran jangka panjang dapat dibentuk komisi masa depan.

Langkah kesembilan adalah pemerintahan desentralisasi. Lima puluh tahun lalu, pemerintahan yang tersentralisasi sangat diperlukan karena teknologi informasi masih primitif,  komunikasi antarlokasi masih sangat lamban, sumber daya manusia masih lemah. Di masa kini, teknologi komunikasi berkembang pesat, komunikasi antardaerah berjalan lancar bahkan untuk daerah terpencil sekalipun, sumber daya manusia (lebih) berkualitas, sarana dan prasarana umum lengkap dan memadai. Bahkan perubahan keadaan dalam era globalisasi dapat dikatakan luar biasa sehingga wajar bila disebut sebagai era komunikasi dan teknologi. Apa yang terjadi di suatu wilayah dengan segera dapat diketahui oleh daerah lainnya. Dengan adanya kemajuan informasi dan teknologi maka pemerintahan yang berjiwa wirausaha menghendaki terjadinya desentralisasi dalam pengambilan keputusan. Pemerintahan atau lembaga yang terdesentralisasi memiliki keunggulan: (a) lebih fleksibel karena dapat memberikan respons yang lebih cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan yang berubah; (b) lebih efektif karena dapat mengetahui perkembangan setiap saat dan dapat menciptakan solusi yang lebih baik; (c) lebih inovatif karena terbukanya gagasan dan ide dari para pelaksana di lapangan; dan (d) memberikan semangat kerja lebih tinggi, komitmen yang tinggi sehingga produktivitas yang dicapai akan semakin meningkat. Dalam rangka mendesentralisasi organisasi publik, perlu dikembangkan manajemen partisipatif. Manajemen partisipatif akan berjalan baik dalam organisasi publik yang entrepreneurial pada seluruh tingkatan organisasi.

Langkah kesepuluh adalah pemerintahan yang berorientasi pada pasar di mana perubahan-perubahan dan kebijakan-kebijakan dilakukan melalui mekanisme pasar. Dibandingkan dengan manajemen administratif, mekanisme pasar memiliki beberapa keunggulan, antara lain: (a) lebih kompetitif sehingga lebih efisien serta mutu produk dan pelayanan terjaga; (b) mendorong pelanggan untuk membuat pilihan, mengingat jumlah produk relatif cukup banyak baik jumlah maupun jenisnya; (c) dapat memberikan respon yang lebih cepat terhadap perubahan yang terjadi. Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat dalam dunia usaha, Pemerintah menyadari perlunya pengembangan budaya wirausaha bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sebenarnya, sejak akhir Orde Baru, pemerintah telah berusaha keras mengembangkan budaya wirausaha dengan melibatkan menteri, gubernur bank sentral serta seluruh masyarakat Indonesia. Tujuh belas menteri yang dilibatkan dalam pengembangan budaya kewirausahaan adalah menteri: Koperasi dan PPK, Perhubungan, Perdagangan, Pertanian, Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Energi, Pariwisata Pos dan Telekomunikasi, Keuangan, Tenaga Kerja, Pendidikan dan Kebudayaan, Penerangan, Agama, Dalam Negeri, Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas, Meneg Kependudukan/Ketua BKKBN, Meneg Pemuda dan Olahraga. Pengembangan budaya wirausaha ini tertuang dalam Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Jika dibandingkan dengan ide mewirausahakan birokrasi, pembudayaan kewirausahaan ini masih bersifat sentralistis sesuai dengan pola·kepemimpinan pada saat itu. Di masa Pemerintahan Reformasi, yang masanya dimulai oleh naiknya Presiden Habibie dan masih berlangsung hingga sekarang, pembudayaan kewirausahaan dilakukan secara terdesentralisasi yakni pemerintah menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi UKM dan golongan ekonomi lemah serta memberikan kredit lunak bagi UKM. Pada tingkat perguruaan tinggi, diprogramkan pula kegiatan untuk membudayakan kewirausahaan baik dengan jalan memberikan kesempataan yang luas menyebarluaskan pengetahuan dasar kewirausahaan, pembentukan sikap wirausaha pada mahasiswa, meningkatkan kegiatan magang kewirausahaan, penyelenggaraan konsultasi bisnis dan penempatan kerja, menyelenggarakan inkubator bisnis, serta perintisan program usaha dan jasa industri. Untuk merealisasi program pembudayaan kewirausahaan di perguruan tinggi, pemerintah memberikan dana stimulan yang dikelola oleh Direktorat Pendidikan Tinggi yang kemudian dituangkan dalam Program Pengembangan Budaya Kewirausahaan.

Sumber:

Sukidjo, S. (2002). Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasikan Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik. Jurnal Cakrawala Pendidikan, XXI(2). DOI:  https://doi.org/10.21831/cp.v2i2.1798. Retrieved from https://journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/view/1798.


Halaman Budaya SAHEWAN PANARUNG asuhan Kusni Sulang & Andriani SJ Kusni, Radar Sampit, Minggu, 18 Juni 2023. Redaktur: Farid M., Penata Letak: Rafi

Catatan Kusni Sulang: KALIMANTAN TENGAH 65 TAHUN

Radar Sampit, Minggu, 22 Mei 2022 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Rumah di Bahu Palawa tempat berlangsungnya Kongres Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) I  pada 1953 membahas pembentukan Kalimantan Tengah menjadi provinsi otonom. Foto: Kusni Sulang/2021

Apakah waktu 65 tahun sudah membuat provinsi otonom Kalteng “maju melesat” di berbagai bidang karena sudah mendapatkan dan berjalan di jalan yang tepat?

Dalam pidato pertanggunganjawab terakhirnya sebagai presiden di depan sidang MPRS 17 Agustus 1966, Bung Karno antara lain mengatakan agar kita ”Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah, Jangan Sekali-sekali Melupakan Sejarah”.  Pidato inilah kemudian yang dikenal dan terkenal dengan sebutan Pidato Jasmerah.

Menurut A. H. Nasution, waktu itu Ketua MPRS, Jasmerah merupakan akronim (singkatan) yang dibuat oleh Kesatuan Aksi, sedangkan Bung Karno sendiri memberi judul agak panjang atas pidatonya tersebut yakni ”Karno Mempertahankan Garis Politiknya yang Berlaku, Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah” (lihat: https://nasional.sindonews.com/berita/1024946/149/jasmerah-bung-karno-di-alquran-suci).

Tanggal 23 Mei  2022, Kalimantan Tengah (Kalteng) sebagai provinsi otonom tepat berusia 65 tahun–diukur dari usia anak manusia, 65 tahun adalah usia yang tentu bukan kanak lagi. Juga sebagai suatu provinsi. Apabila meminjam kata-kata Guru Besar Fisipol Universitas Gadjah Mada, almarhum Cornelis Lay: “Sekali kalian (baca: Kalteng–KS) mendapatkan jalan tepat, kalian akan maju melesat” (percakapan Cornelis Lay dan pengasuh halaman ini pada 2009 di Palangka Raya).

Apa yang dikatakan oleh Cornelis Lay, hari ini ditunjukkan oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) yang berdiri pada tahun 1949, selisih 8 tahun dari berdirinya Kalteng, RRT sekarang tumbuh berkembang menjadi kekuatan politik, militer, ekonomi yang sangat diperhitungkan dunia (lihat: I. Wibowo: “Belajar dari Cina”, Penerbit Kompas, 2004, 252 hlm; lihat juga: Zhou Tianyong, “Mimpi dan Jalan Tiongkok Menuju Kejayaan”, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2019, 333 hlm; tulisan-tulisan Dahlan Iskan tentang Tiongkok baik berupa buku maupun di DIWay).

Apakah waktu 65 tahun sudah membuat provinsi otonom Kalteng “maju melesat” di berbagai bidang karena sudah mendapatkan dan berjalan di jalan yang tepat?

Untuk menjawab pertanyaan ini barangkali ada baiknya kita membuka kembali halaman-halaman sejarah Kalteng, mulai dari sejarah perjuangan mendirikannya.

Sejarah menunjukkan bahwa Kalteng berdiri sebagai provinsi otonom bukanlah hadiah, bukan pula karena kebaikan Pemerintah Pusat atau Jakarta, tapi hasil perjuangan bersenjata mandi darah dan air mata. Hal ini antara lain tertuang dalam keputusan-keputusan Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) dan Gerakan Mandau Talawang Panca Sila.

Dalam Kongres ke-IV-nya, SKDI menerbitkan  Pernyataan No,6/Kong. IV/1954 yang berbunyi antara lain: “4, Jika Pernyataan yang penghabisan ini juga tidak mendapatkan perhatian yang segera, SKDI akhirnya akan mengambil sikap lain lagi, jalan mencapai hak-hak mutlak yang menjadi tuntutan itu” (Ludie S. Andung, 2006. Stensilan, segera diterbitkan).

Disebut “pernyataan yang penghabisan” karena tuntutan menjadi provinsi otonom, lepas dari Provinsi Kalimantan ini, telah berkali-kali disampaikan tapi tidak dijawab sama sekali oleh Jakarta.  Bahkan dalam Laporannya selaku Gubernur Provinsi Kalimantan, RTA Milono di  depan Konferensi Para Gubernur Se-Indonesia Ke-IV yang berlangsung di Istana Negara pada 17-18 Januari 1955 masih mengatakan bahwa untuk menjadi sebuah provinsi otonom, Kalimantan Tengah masih belum memenuhi syarat-syarat yang diperlukan (lihat: Laporan Gubernur Kalimantan RTA Milono, dalam: Ludie S. Andung, 2006. “Damang Sahung dan Pergerakan Serikat  Kaharingan Dayak Indonesia [SKDI] dalam Memperjuangkan Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah).

Akibat penolakan Jakarta terhadap tuntutan di atas, pada Desember 1956, bentrokan fisik antara aparat Negara dan masyarakat Dayak di bawah pimpinan Gerakan Mandau Talawang Panca Sila tidak lagi terhindarkan. Korban nyawa mulai jatuh.

Untuk mewujudkan keinginan membentuk provinsi Dayak otonom, masyarakat Dayak menggunakan berbagai macam bentuk perjuangan, mulai dari perjuangan non fisik hingga ke pemberontakan bersenjata.

Adapun tujuan membentuk Provinsi Dayak otonom ini oleh Kongres Ke-III SKDI di Bahu Palawa, 22 Juli 1953, dirumuskan sebagai berikut: “… untuk dapat menyusun dan mengatur rumah tangga dan diri sendiri, mengejar ketertinggalan-ketertinggalan akibat politik devide et impera Belanda berdasarkan: a. politik; b. sosial; c. ekonomi; d. adat istiadat dan hak beragama; e. kesenian dan kebudayaan; f. sejarah.” (Ludie S. Andung, 2006. “Damang Sahung dan Pergerakan Serikat  Kaharingan Dayak Indonesia [SKDI] dalam Memperjuangkan Pembentukan Propinsi Kalimantan Tengah).

Dalam istilah sekarang, keinginan membentuk provinsi Dayak beradasarkan faktor-faktor di atas tidak lain dari membentuk Provinsi Adat (istilah Provinsi Dayak, juga digunakan oleh Prof. Dr. Mubyarto dalam bukunya tentang Kalimantan Tengah). Provinsi Otonom Kalimantan Tengah yang berdiri pada 1957 itu hakekatnya adalah Provinsi Adat. Bisa berkibarnya Merah Putih di Tanah Dayak, saya kira tidak lepas dari keinginan berkembang maju melalui Provinsi Adat. Keinginan berkembang maju ini dalam istilah hari ini disebut Manggatang Utus.

Yang menjadi pertanyaan: Apakah generasi sekarang yang sering lantang berucap “Isen Mulang Manggatang Utus” mempunyai konsep menyeluruh tentang bagaimana Manggatang Utus itu?

Jangan-jangan istilah Manggatang Utus itu kata-kata lain dari Manggatang Partaiku, Kelompokku atau Keluargaku bahkan diriku. Kecurigaan ini muncul dari adanya pembentukan orligaki atau “dinasti politik dan ekonomi” apabila menggunakan istilah umum pada masa Pemerintahan Soekarno dulu.

Untuk mencapai dan mencoba mempertahankan lebih lanjut kekuasaan oligarki atau dinasti itu maka rupa-rupa pencitraan dilakukan sedangkan pencitraan bukanlah kebenaran (truth). Hal inilah yang membuat Kalimantan Tengah berada pada periode “post truth” (pasca kebenaran). Artinya tujuan membentuk Kalimantan Tengah sebagai provinsi otonomi berupa Provinsi Adat makin jauh panggang dari api.

Dalam keadaan demikian maka Dayak pun rentan menjadi komoditas. Kita tahu komoditas akan dimiliki oleh pihak yang berani membeli harga tinggi untuk barang dagangan tersebut. Karena itu, dalam periode post-truth ini, hedonisme menjadi dominan. Manusia dan diri sendiri pun diperdagangkan. Apalagi kedudukan. Berlangsungnya praktek “menggusurkan tukang sihir” (chasser les sorciers) dalam politik adalah pernyataan dari perdagangan jabatan. Berkuasanya hedonisme, bukan tidak mungkin akan menaklukkan semua bentuk perlawanan dan menghalang keinginan maju. Menjadi petarung seumur hidup dan konsekuen sungguh tidaklah mudah.

Hari ini, secara demografis, apalagi secara ide dan praktis, Kalimantan Tengah tidak lagi bisa seperti disebut oleh Prof. Dr. Mubyarto sebagai “Provinsi Dayak”.

Sebagai akibat dari politik transmigrasi dan keluarga berencana pukul rata, maka Dayak sudah menjadi minoritas di Tanah Dayak. Perubahan komposisi demografis ini berdampak ke semua sektor: politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan.

Sebenarnya, saya ingin mengungkapkan hal-hal menggembirakan tentang kampung-halaman ini, hanya saja kenyataan jauh lebih jelas memperlihatkan bahwa Kalimantan Tengah seperti sejak lama diingatkan oleh para tetua, terutama Dayak,  kian hari kian berada dalam keadaan “témpun pétak batana saré, témpun uyah batawah bélai, témpun kajang bisa puat” (punya tanah berladang di tepi, punya garam hambar di rasa, punya atap basah muatan”. Keadaan demikian tentu bukanlah kehidupan yang menggembirakan. Ia adalah kegelapan. Malam yang gelap. Hanya dari pada mengutuk malam, lebih baik menyalakan lilin.

Apakah lilin yang memberikan cahaya harapan itu–sekalipun mungkin lilin itu berada di bawah tiupan angin bahkan badai?

Sejarah Kalimantan Tengah, terutama sejarah Dayak mengatakan bahwa tidak ada kemajuan apapun yang didapati Dayak sebagai hadiah atau belas kasihan siapapun. Semuanya diperoleh melalui perjuangan bahkan kadang-kadang berdarah.

Perjuangan memerlukan persatuan dan organisasi, untuk mewujudkan gagasan manusiawi dan adil.  Untuk membuat organisasi itu berkembang memerlukan sumber daya manusia yang dirumuskan oleh budaya Dayak dalam trilogi manusia ideal Dayak yaitu  “mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh” (gagah-berani, cerdik dan beradat, berpikir dan bertindak berani melawan arus–out of the box, beyond the mainstream dan ulet, tekun, rajin). Manusia ideal begini merupakan syarat utama untuk berkembang sebagai minoritas kreatif. Di sini faktor pendidikan terencana merupakan hal kunci seperti telah ditunjukkan baik oleh Hausmann Baboe yang kemudian dilanjutkan oleh Tjilik Riwut sebagai Gubernur Pertama Kalimantan Tengah (1957-1967). Hal yang juga dilakukan oleh Adrianus A. Sidot saat menjadi Bupati Landak seputar 2013 (lihat: Majalah Tempo Edisi Kemerdekaan 2013).

Adapun organisasi atau alat untuk mereorganisasi masyarakat Dayak itu hari ini, pada hemat saya, yang efektif adalah desa adat sebagai wujud konkret keberadaan masyarakat adat. Dengan demikian, bisa diharapkan tenaga produktif di pedesaan bisa terbebaskan sehingga cahaya lilin akan makin dominan. Inilah titik terang  yang saya lihat di tengah kegelapan hari ini.

Seperti ujar Mochtar Lubis, saya masih meyakini bahwa masih ada hari esok walaupun jalan ke hari esok itu bukanlah jalan bertabur bunga. Tapi tak usah menyebut diri Dayak Utus Panarung jika takut bertarung.

Kalau berkah itu ada, berkah itu adalah buah perjuangan juga adanya.[***]


Negara Takluk oleh Oligarki Sawit

Oleh: Mahesa Danu

Tikus mati di lumbung padi. Pepatah itu selalu menjadi kutukan bagi negeri ini tatkala berhadap-hadapan dengan krisis pangan. Tidak terkecuali saat minyak goreng menjadi barang langka di negeri ini.

Memang ironis, lebih dari  15 juta hektar daratan negeri ini (lebih luas dari pulau Jawa yang hanya 12,8 juta hektar) ditanami sawit. Produksi sawitnya pun melimpah: 46,8 juta ton pada 2021 atau 58 persen dari total produksi sawit minyak dunia. Seharusnya, dengan angka-angka menakjubkan itu, minyak goreng tidak langka di negeri ini.

Namun, sejak akhir 2021, harga minyak goreng melambung tinggi. Data BPS menunjukkan, harga minyak goreng pada Desember 2021 mencapai Rp 21.125 per liter. Harga itu naik 34 persen dibanding Desember 2020.

Garang di Atas Kertas

Negara merespon kenaikan itu agak telat. Baru pada 3 Januari 2022, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi untuk mengambil langkah-langkah politik untuk menstabilkan harga minyak goreng.

Akhirnya, pada 19 Januari 2022, pemerintah menerapkan kebijakan satu harga minyak goreng sebesar Rp14.000 per liter. Demi menyokong kebijakan itu, negara menggelontorkan Rp7,6 triliun dari dana Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Rupanya, kebijakan itu tidak efektif. Akhirnya, pada pengujung Januari 2022, pemerintah mengeluarkan jurus baru, yaitu menetapkan harga eceran tertinggi (HET), wajib pasok dalam negeri/domestic market obligation (DMO) sebesar 30 persen, dan ketentuan harga dalam negeri/domectic price obligation (DPO).

Kebijakan DMO harusnya membuat stok minyak goreng tercukupi. Di atas kertas, dalam kurun waktu 14 Februari hingga 16 maret 2022, beleid DMO mengumpulkan 720.612 ton produk sawit (dari rencana ekspor 3,5 juta ton). Klaim Kemendag, dari jumlah DMO itu, sudah disalurkan 551.069 ton atau 570 juta liter. Sementara kebutuhan nasional kita di kisaran 327 ribu ton per bulan. Atau, kalau diandaikan setiap warga RI membutuhkan 1 liter minyak goreng per bulan, maka dibutuhkan 273 juta liter per bulan. Sekali lagi, di atas kertas, pasokan dari DMO itu seharusnya sudah jauh lebih dari cukup.

Dengan kebijakan DMO dan DPO di hulu, lalu dikawal dengan HET di hilir, seharusnya minyak goreng bisa sampai ke rakyat dengan jumlah dan harga sesuai HET (minyak goreng curah Rp 11.500 per liter, minyak goreng kemasan sederhana Rp 13.500 per liter, dan premium Rp 14.000 per). Kenyataannya, minyak goreng menghilang di pasaran. Kelangkaan minyak goreng terjadi di seantero negeri, yang membuat rakyat berjubel antri minyak goreng, bahkan menyebabkan korban jiwa di Kalimantan Timur.

Berhadap-hadapan dengan potensi gejolak sosial dan politik akibat kelangkaan minyak goreng, pemerintah pun kelabakan. Jalan pintas pun dipilih: mencabut HET dan DMO, lalu menyerahkan harga minyak goreng ke mekanisme pasar. Lucunya, tak menunggu lebih dari 24 jam pasca kebijakan pemerintah itu, rak-rak minimarket dan ritel-ritel modern lainnya tiba-tiba dipenuhi minyak goreng. Dalam sekelebat, minyak goreng kembali melimpah.

Bisa disimpulkan, selama ini ada pihak yang sengaja menahan stok minyak goreng demi mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Mereka bukan mafia kecil-kecil yang sekedar memanfaatkan aji mumpung, melainkan kekuatan ekonomi predatoris yang terorganisir. Negara yang seharusnya hadir untuk mengoreksi penyimpangan pasar, termasuk meringkus para spekulan dan penimbun, justru menyerah takluk. Negara kalah pada kekuatan ekonomi predatoris.

Kebijakan DMO seharusnya efektif kalau dikawal dengan ketat. Tidak cukup dengan bukti  realisasi distribusi berupa purchase  order, delivery order, dan faktur pajak. Pemerintah seharusnya tak mengandalkan self-reporting.

Kita tak mau berburuk sangka. Namun, di negeri yang sistem politik dan hukumnya sangat korup, apa yang tak mungkin untuk dimanipulasi. Demi mengantisipasi itu, seharusnya kendali pasokan dan distribusi DMO diambil alih oleh pemerintah dengan menugaskan BULOG.

Konsentrasi Kepemilikan

Ketika menyerahkan harga minyak goreng ke mekanisme pasar, juga ketika Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi koar-koar tentang mafia minyak goreng, ada hal mendasar yang justru tidak diusik: struktur pasar yang dikuasai segelintir pelaku usaha.

Berdasarkan catatan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), ada empat grup bisnis raksasa yang menguasai 46,5 persen minyak goreng. Mereka menguasai dari hulu ke hilir (terintegrasi), dari perkebunan, pengolahan CPO, hingga pabrik minyak goreng.

Keempat grup bisnis itu adalah Sinar Mas Group (keluarga Widjaya), Wilmar Group (Martua Sitorus), Indofood (Anthony Salim), dan Musim Mas (Bachtiar Karim). Para pemiliknya masuk dalam daftar orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes.

Masalahnya lagi, konsentrasi kepemilikan itu tidak hanya terjadi di hilir, tetapi juga di hulu.

Di Indonesia, lebih dari 56 persen lahan sawit dikuasai oleh pemain swasta, sedangkan BUMN hanya 4 persen. Dari jumlah itu, ada 25 grup usaha besar menguasai 51 persen atau 5,1 juta hektar lahan kelapa sawit di Indonesia (TUK, 2015).

Empat grup bisnis menguasai industri minyak goreng merupakan grup yang sama yang menguasai lahan sawit di hulu. Jadi, mereka menguasai hulu hingga ke hilir, dari pasokan CPO, pengolahan, hingga distribusi.

Situasi ini yang membuat minyak goreng bisa tiba-tiba hilang atau tiba-tiba melimpah di pasar. Kendali segelintir tangan dari hulu hingga ke hilir yang menciptakan kelangkaan yang disengaja atau kelangkaan semu.

Tidak mengherankan kalau dugaan kartel itu sangat kuat. Seharusnya, kalau KPPU bekerja dengan efektif dan tanpa pandang bulu, praktek kartel itu bisa dibongkar.

Permainan Oligarki

Namun, lebih besar dari isu kartel dan konsentrasi kepemilikan ini, ada isu oligarki. Bisnis sawit dan sektor ekstraktif lainnya telah menjadi basis ekonomi-politik bagi kekuasaan oligarki di Indonesia.

Dari 40 orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes, ada 15 diantaranya yang menumpuk kekayaannya dari bisnis sawit. Kalau diperkecil potretnya, 6 dari 10 orang terkaya adalah konglomerat sawit. Temuan dari TuK Indonesia, kekayaan dari 29 konglomerat sawit Indonesia setara dengan 67 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017.

Dilihat dari sejarah dan basis ekonomi-politiknya, oligarki Indonesia bercorak ekstraktif. Dari zaman Hindia-Belanda hingga 76 tahun merdeka, ekonomi Indonesia berkubang pada ekstraktivisme, yaitu kegiatan ekonomi yang bertumpu pada SDA dan dijual dalam bentuk mentah ke pasar dunia. Faisal Basri menyebutnya: keruk, jual. tebang, jual. petik, jual.

Karena hanya jualan bahan mentah, tak melalui proses pengolahan, maka tak menghasilkan nilai-tambah. Demi memaksimalkan keuntungan, ekstraktivisme membutuhkan intervensi politik untuk meminimalkan biaya operasional dan memaksimalkan keuntungan.

Sektor ekstraktif selalu membutuhkan mekanisme politik, mulai dari soal perizinan, pembebasan lahan, pengamanan saat beroperasi, insentif, keringanan pajak, kemudahan ekspor, dan lain-lain. Itu yang menyebabkan sektor ini sangat berkelindan dengan ekonomi rente dan kapitalisme kroni.

Sering terjadi, pada lapangan praktek, demi memuluskan mekanisme-mekanisme politik itu, terjadi apa yang disebut “politik ijon”, sebuah kesepakatan tertutup antara pengusaha dan politisi (parpol/kandidat) terkait pembiayaan politik yang nantinya berbalas jaminan keberlangsungan investasi.

Jadi, si pengusaha bersedia membiayai parpol/kandidat. Setelah parpol/kandidat itu berkuasa, mereka akan membalas dukungan pengusaha itu dengan kemudahan dan jaminan berinvestasi, dari soal perizinan, pembebasan lahan, keamanan, dan lain-lain.

Tidak mengherankan, ada banyak perizinan investasi di Indonesia ini, terutama pertambangan dan kehutanan, yang tidak clean and clear. Ada banyak kepala daerah (gubernur/bupati) yang tersangkut korupsi di sektor ekstraktif.

Pada level lebih tinggi, oligarki bisa mengendalikan sebuah negara dalam perangkap “state capture corruption”, yakni bentuk korupsi sistemis di mana kebijakan publik cenderung diarahkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dari sebagian kecil anggota masyarakat (oligark). Indikasi ini sangat kuat terbaca dalam kasus revisi UU KPK, revisi UU Minerba, dan pengesahan UU Cipta Kerja.

Singkat cerita, kegagalan pemerintah mengendalikan pasokan dan harga minyak goreng hanyalah potret kecil dari kendali oligarki atas negara ini. Persoalan kartel dan pasar yang oligopoli hanyalah tampilan permukaan dari dominasi oligarki.[***]


Halaman Masyarakat Adat, Radar Sampit, Minggu, 22 Mei 2022.

Emmanuel Macron: “Hegemoni Barat Hampir Berakhir!”

Presiden Macron dan Menteri Pertahahanan RI Prabowo Subianto.  Foto: Kemhan RI
Ilustrasi: Sungai Seine yang membelah Paris.

Akhir dari hegemoni Barat tidak terletak pada kemerosotan ekonomi, bukan pada kemerosotan militer, tetapi pada kemerosotan budaya.

Kita hidup bersama di dunia ini, dan para hadirin disini tahu mengenai dunia ini lebih baik daripada saya. Ya, tatanan internasional sedang dijungkirbalikkan dengan cara yang baru, dan saya yakin ini adalah pergolakan besar dalam sejarah kita, dan memiliki konsekuensi yang luas di hampir semua wilayah. Ini adalah transformasi tatanan internasional, integrasi geopolitik, dan reorganisasi strategis.

Ya, saya harus mengakui bahwa hegemoni Barat mungkin akan segera berakhir. Kita telah terbiasa dengan tatanan internasional berdasarkan hegemoni Barat sejak abad ke-18.

Ini adalah Prancis yang terinspirasi oleh Pencerahan dari abad ke-18.

Ini adalah abad ke-19 Inggris yang dipimpin oleh Revolusi Industri.

Ini adalah Amerika yang muncul dari abad ke-20 yang bangkit dari dua Perang Dunia.
Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat telah membuat Barat hebat selama 300 tahun.

Prancis adalah budaya, Inggris adalah industri dan Amerika adalah perang. Kita sudah terbiasa dengan kebesaran yang memberi kita dominasi mutlak atas ekonomi dan politik global, tapi hal-hal berubah.

Beberapa krisis datang dari kesalahan kita sendiri di Barat, sementara yang lain datang dari tantangan negara-negara berkembang.

Di negara-negara Barat, banyak pilihan salah yang dibuat Amerika Serikat dalam menghadapi krisis telah sangat mengguncang hegemoni kita.

Perhatikan bahwa ini tidak hanya dimulai dengan pemerintahan Trump, Presiden Amerika Serikat lainnya membuat pilihan yang salah jauh sebelum Trump, kebijakan Clinton di Tiongkok, kebijakan perang Bush, krisis keuangan dunia Obama, dan kebijakan pelonggaran kuantitatif.

Kebijaksanaan yang salah dari para pemimpin Amerika ini adalah kesalahan mendasar yang mengguncang hegemoni Barat. Namun, di sisi lain, kita sangat meremehkan kebangkitan kekuatan baru. Meremehkan kebangkitan kekuatan baru ini, tidak terjadi hanya dua tahun yang lalu, tetapi sejak sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu. Kita harus mengakui bahwa Tiongkok  dan Rusia telah mencapai sukses besar selama bertahun-tahun di bawah gaya kepemimpinan yang berbeda.

India juga dengan cepat muncul sebagai kekuatan ekonomi, dan pada saat yang sama ia juga menjadi kekuatan politik, Tiongkok, Rusia, India, negara-negara ini dibandingkan dengan Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris.

Jangan kita perdebatkan imajinasi politik mereka yang jauh lebih kuat daripada orang Barat saat ini. Setelah mereka memiliki kekuatan ekonomi yang kuat, mereka mulai mencari “filsafat dan budaya” mereka sendiri.

Mereka tidak lagi percaya pada politik Barat, tetapi mulai mengejar “budaya nasional” mereka sendiri. Ini tidak ada hubungannya dengan demokrasi atau tidak. India adalah negara demokrasi, dan dia juga melakukan hal yang sama, mencari “budaya nasional” sendiri.

Ketika negara-negara berkembang ini menemukan budaya nasional mereka sendiri dan mulai mempercayainya, mereka secara bertahap akan menyingkirkan “budaya filosofis” yang telah ditanamkan oleh hegemoni Barat kepada mereka di masa lalu.

Dan ini adalah awal dari berakhirnya hegemoni Barat!

Akhir dari hegemoni Barat tidak terletak pada kemerosotan ekonomi, bukan pada kemerosotan militer, tetapi pada kemerosotan budaya.

Ketika nilai-nilai Anda tidak lagi dapat diekspor ke negara-negara berkembang, itu adalah awal dari kemunduran Anda.

Saya pikir imajinasi politik negara-negara berkembang ini lebih tinggi dari kita. Imajinasi politik sangat penting. Ini memiliki konotasi kohesif yang kuat dan dapat menyebabkan lebih banyak inspirasi politik.

Apakah kita bisa lebih berani dalam politik, imajinasi politik negara-negara berkembang jauh melebihi Eropa saat ini, semua ini sangat mengejutkan saya!!!

Cina telah mengangkat 700 juta orang keluar dari kemiskinan, dan lebih banyak lagi akan diangkat dari kemiskinan di masa depan, tetapi di Prancis, ekonomi pasar meningkatkan ketimpangan pendapatan pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Kemarahan kelas menengah pada tahun lalu telah membawa perubahan besar dalam tatanan politik Prancis, dan sejak abad ke-19, kehidupan Prancis berada dalam semacam keseimbangan. Kebebasan pribadi, demokrasi, kelas menengah yang kaya, ketiganya adalah tripod yang menyeimbangkan politik Prancis, tetapi krisis lahir ketika kelas menengah tidak lagi menjadi landasan negara kita, ketika kelas menengah berpikir bahwa kepentingannya sedang dikompromikan.

Mereka akan memiliki keraguan mendasar tentang demokrasi dan sistem pasar. Bisakah sistem seperti itu masih memberi saya kehidupan yang lebih baik? Mereka berhak bersikap begitu skeptis dan berhak bergabung dengan gerakan politik radikal.

Di Inggris, kejatuhan sistem politik bahkan lebih terasa. Slogan gemilang Brexit, untuk mengambil kembali kendali, membuktikan itu semua.

Orang-orang percaya bahwa nasib mereka tidak lagi berada di tangan mereka sendiri, sehingga mereka ingin “mengambil kembali kendali”.

Dan cara langsung untuk “mengambil kembali kendali” adalah dengan meninggalkan Uni Eropa. Mereka membenci Uni Eropa, mereka membenci politik kuno, dan mereka menginginkan sesuatu yang lebih imajinatif secara politis.

Dalam analisis terakhir, sistem politik masa lalu gagal menguntungkan Inggris, dan bahkan membuat hidup mereka semakin buruk, tetapi para pemimpin politik mereka tidak menyadari hal ini.

MEREKA GAGAL!!!!

Adapun Amerika Serikat, (meski Amerika termasuk kubu Barat), selalu memiliki standar kemanusiaan yang berbeda dari Eropa. Kepekaan orang Amerika terhadap masalah iklim, kesetaraan, keseimbangan sosial, tidak ada dengan cara yang sama seperti Eropa (menyiratkan bahwa kesenjangan antara kaya dan miskin di AS jauh lebih besar daripada di Eropa).

Ada kesenjangan yang jelas antara peradaban Amerika dan peradaban Eropa. Meskipun Amerika Serikat dan Eropa sangat selaras, perbedaan KITA selalu ada. Naiknya Trump ke tampuk kekuasaan hanya memperbesar perbedaan aslinya.

Saya harus menekankan bahwa Eropa berbeda dari Amerika Serikat. Tentu saja, rencana peradaban Eropa tidak dapat diputuskan oleh Bangsa Hungaria yang beragama Katolik atau Kristen Ortodoks Rusia, tetapi tindak lanjut jangka panjang Eropa dengan Amerika Serikat untuk mengusir Rusia dari benua Eropa belum tentu benar.

Amerika Serikat perlu menghadapi Rusia dan Eropa, tetapi apakah Eropa membutuhkannya juga? Eropa bekerja sama dengan Amerika Serikat untuk mengusir Rusia, yang mungkin merupakan kesalahan geopolitik terbesar Eropa di abad ke-21.

Hasil dari pengusiran Rusia adalah bahwa Putin tidak punya pilihan selain merangkul Tiongkok, dan ini hanya memberi Tiongkok dan Rusia kesempatan untuk melakukan pemanasan.

Membiarkan salah satu pesaing kita bergabung dengan yang lain untuk menciptakan masalah besar, yang dilakukan oleh orang Amerika.

Bila saja Eropa tidak mengusir Rusia, kebijakan Rusia tidak akan pernah begitu anti-Barat. Sekarang, dalam hal geopolitik, kita tidak mungkin memberikan begitu banyak bantuan kepada kekuatan-kekuatan besar di Timur.

Tapi masalah Eropa adalah militer.

Karena keberadaan NATO, sangat sulit bagi Eropa untuk membentuk tentara Eropa lain, dan selama “tentara Eropa” tidak ada, Eropa akan dikendalikan oleh tatanan politik Amerika Serikat.

Sayangnya, ketika saya membicarakan hal ini dengan Kanselir Jerman Angela Merkel, kami semua pesimis. Di Eropa, tidak ada yang memiliki kemampuan untuk membentuk tentara Eropa. Kebijaksanaan yang memerlukan investasi. Tetapi militer Eropa adalah titik kunci untuk menyeimbangkan Amerika Serikat. Tanpa militer Eropa, Eropa tidak akan memiliki kemerdekaan nyata sama sekali.

Ya, Amerika Serikat adalah sekutu, sekutu jangka panjang kami, tetapi pada saat yang sama, dia juga sekutu yang telah menculik kami sejak lama. Prancis adalah kekuatan diplomatik yang kuat, anggota tetap Dewan Keamanan dan jantung Uni Eropa.

Membawa Rusia keluar dari Eropa mungkin merupakan kesalahan strategis yang membawa konsekuensi jangka panjang. Kalau Prancis tidak dapat menarik Rusia kembali ke Eropa, Prancis juga susah melanjutkan keterlibatannya, memicu ketegangan dan mengisolasi Rusia.

Saat ini, baik Rusia maupun kekuatan timur lainnya tidak tertarik untuk membentuk aliansi, tetapi tidak ada yang yakin apakah dunia Barat bahkan semakin menekan.

Akankah kita yakin bahwa Tiongkok dan Rusia tidak akan membentuk aliansi?

Apakah musuh teman kita juga harus menjadi musuh kita? Rusia adalah musuh Amerika Serikat, jadi haruskah dia menjadi musuh Eropa?

Kita perlu membangun kepercayaan baru dan arsitektur keamanan Eropa sendiri, karena jika kita tidak meredakan hubungan dengan Rusia, tidak akan ada perdamaian di benua itu.

Orang Amerika mengatakan negara yang banyak berinvestasi dalam senjata dan peralatan, demografi yang menurun, negara yang menua.

Orang Amerika bertanya kepada saya, haruskah kita takut dengan negara ini? Haruskah kita berdamai dengan negara seperti itu?

Saya bertanya kepada Amerika, bagaimana dengan menukar posisi Rusia dan Kanada? Selain gejolak ekonomi dan geopolitik, gejolak besar ketiga yang kita alami sekarang tidak diragukan lagi adalah gejolak revolusi teknologi.

Internet dan BIG DATA, media sosial, kecerdasan buatan, kecerdasan besar yang menyebar dalam globalisasi, kemajuan teknologi informasi berkembang dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Salah satu masalah globalisasi kecerdasan adalah globalisasi emosi, kekerasan, bahkan kebencian.

Revolusi teknologi telah membawa kita pada perubahan antropologi yang mendalam, dan juga telah menciptakan ruang baru bagi kita, ruang yang menuntut manusia untuk mengkaji ulang dan merumuskan aturan.

Ini adalah ruang aturan teknologi baru yang belum pernah disentuh dunia, dan juga aturan tatanan internasional Internet yang harus disetujui dan diikuti oleh setiap orang.

Tetapi sebelum seperangkat aturan baru ini sepenuhnya ditetapkan, revolusi teknologi baru telah membawa kita tidak hanya ketidakseimbangan ekonomi, tetapi juga kontradiksi kelas antropologis dan kontradiksi ideologis.

Pada akhirnya, itu akan membawa bencana besar dan ketidakstabilan pada demokrasi yang kita banggakan.

Anda sekalian dapat melihat gejolak ekonomi itu, gejolak geopolitik, gejolak teknologi informasi, dan gejolak demokrasi. Semua pergolakan ini terjadi pada saat yang bersamaan, dan apa yang harus kita lakukan?

Apa yang perlu kita lakukan sekarang? Apakah kita akan terus menjadi penonton, menjadi komentator, atau ikut mengambil tanggung jawab?

Tapi satu hal adalah pasti, jika kita semua kehilangan imajinasi politik kita dan kita selama beberapa dekade atau abad membiarkan kebiasaan lama mendikte strategi kita, maka kita akan menjadi boneka yang tak bermaanfaat.

Apabila seorang presiden sebuah republik, menteri, diplomat, tentara, di ruangan ini terus melakukannya seperti dulu maka pasti, kita akan “kehilangan kendali”.

Dan setelah kehilangan kendali”, kita akan menghilang. Peradaban memudar, Eropa memudar, dan momen hegemoni Barat memudar bersamanya.

Pada akhirnya, dunia akan berputar di sekitar dua kutub: Amerika dan Cina, dan Eropa harus memilih di antara dua penguasa ini.

Eropa, akan kehilangan kendali sepenuhnya, jadi sejauh ini saya hanya percaya pada satu hal sejauh, dan ini adalah keberanian–strategi politik yang berani menerobos dan mengambil risiko.

Strategi politik semacam ini, yang berbeda dari Eropa lama di masa lalu, dan akan telah menyebabkan kegagalan di banyak hal, dan ada juga sejumlah besar komentator di negara itu, dan kritikus mengatakan bahwa kita tidak akan berhasil.

Tapi yang fatal bukanlah komentar dan kritiknya, tetapi hilangnya “keberanian hati” dan “pemikiran imajinatif”, dan saya pikir hanya dengan mencoba politik yang berani dan imajinatif, kita dapat secara mendalam mencerminkan semangat nasional Prancis, ini adalah metode terbaik.

Hanya Prancis yang dapat membangun kembali peradaban Eropa yang mendalam; hanya Prancis yang dapat mempertimbangkan masalah kelangsungan hidup Eropa dari perspektif strategi Eropa dan politik internasional.

Semangat Prancis adalah semangat perlawanan yang ulet dan mengejar dunia yang berbeda. Semangat perlawanan tidak akan pernah menyerah pada keniscayaan dan kemampuan beradaptasi.

Implementasi semacam ini harus dilakukan dengan semangat luar biasa dari rakyat Prancis, dan tren sejarah akan terbentuk, bahwa hanya Prancis yang dapat mengubah tren sejarah dan Eropa lambat laun tidak ditelan “dua kutub”.

Selanjutnya, Prancis akan memiliki beberapa arah agenda penting. Yang pertama adalah “Agenda Eurasia”.

Prancis akan mempromosikan integrasi yang lebih baik dari Jalur Sutra baru Tiongkok dengan Strategi Konektivitas Eropa, tetapi integrasi ini harus dilakukan dengan menghormati kedaulatan dan aturan kami.

Sepuluh tahun yang lalu, kami membuat beberapa kesalahan dalam integrasi Eropa dan Asia. Ketika Eropa menghadapi krisis keuangan besar, untuk mendapatkan bantuan, terpaksa melakukan privatisasi untuk mengurangi sebagian kedaulatan Eropa.

Dari Italia di selatan hingga Inggris di utara, tapi kami tidak menyalahkan orang Tiongkok yang pintar, kami hanya bisa menyalahkan diri sendiri karena bodoh.

Selain itu, dalam menghadapi kebangkitan Tiongkok, Prancis juga harus menetapkan “strategi Prancis” dengan Amerika Serikat di kawasan Indo-Pasifik.

Ini merupakan “suplemen” strategi Prancis menyambut Jalur Sutra Tiongkok.

Jika kita membantu lawan di satu tempat, maka kita harus mengecek dan menyeimbangkannya di tempat lain. Ini adalah cara politik yang biasa.

Prancis harus membangun “pengaruh Prancis” di kawasan Indo-Pasifik untuk mengimbangi kebangkitan kekuatan Tiongkok di kawasan itu. Bagaimanapun, Prancis memiliki jutaan penduduk dan hampir 10.000 tentara di wilayah tersebut.

Prancis ingin menjadi salah satu kekuatan maritim utama di laut.

Agenda penting kedua Prancis adalah memprioritaskan tegaknya kedaulatan Eropa.

Saya telah berbicara dengan banyak orang bahwa kedaulatan Eropa bukanlah omong kosong, tetapi kita telah membuat kesalahan dengan menyerahkan suara kedaulatan kepada kaum nasionalis.

Nasionalis sama sekali tidak mewakili kedaulatan kita, yang merupakan kata yang baik, dan merupakan inti dari demokrasi kita. Tetapi jika pemerintah kehilangan kendali atas segalanya, tidak akan ada yang tersisa untuk kedaulatan.

Jadi kaum nasionalis memiliki hak untuk didengar suaranya, tetapi mereka sama sekali tidak mewakili kedaulatan Eropa.

Selama beberapa dekade, Eropa telah membangun pasar yang kuat dan ramah, tetapi pada saat yang sama, kami juga yang paling terbuka dan naif.

Dan ketika kita membahas kedaulatan Eropa, kita juga harus memasukkan Inggris secara mendalam. Terlepas dari hasil akhir Brexit, kedaulatan Eropa harus termasuk Inggris.

Arah lain dari kedaulatan Eropa adalah pertahanan nasional. Mengenai pertahanan Eropa, tidak ada kemajuan sejak 1950-an, bahkan dilarang untuk dibicarakan.

Tapi sudah waktunya untuk membangun inisiatif dengan lebih banyak kedaulatan pertahanan nasional, mengandalkan dana Eropa dan tentara Eropa.

Saya pikir ini adalah waktu terbaik dalam beberapa dekade untuk membahas “kedaulatan pertahanan Eropa”, yang mengharuskan semua utusan di sini untuk bekerja lebih keras.

Fokus lain dari kedaulatan Eropa adalah pemikiran Eropa tentang perbatasan, yang juga akan meluas ke topik kependudukan dan imigrasi.

Karena Eropa telah mengalami krisis migrasi yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak 2015, kita harus menjauh dari rezim manajemen darurat bagi pengungsi untuk menciptakan mekanisme pendaratan bakat yang berkelanjutan.

Lebih penting lagi, kita harus bekerja dengan Organisasi Internasional untuk Migrasi untuk menghidupkan kembali pekerjaan penyaringan imigrasi yang kita lakukan di Paris.

Bagian terakhir adalah tentang kedaulatan ekonomi dan keuangan.

Kami sekarang secara aktif berbicara tentang Iran dan terus mempertahankan klaim kami atas agenda Iran.

Tetapi dolar AS memiliki “kekhususannya”, bahkan jika kami memutuskan untuk melindungi Iran, perusahaan kami akan bergantung pada dolar AS untuk bergerak maju.

Catatan, saya tidak mengatakan kita harus melawan dolar, tetapi kita perlu membangun “kedaulatan euro” yang sebenarnya.

Tetapi apabila proses ini terlalu lambat, kemajuan kita pasti terhambat!

Dan dalam pembentukan c digital, Eropa juga perlu mempertimbangkan kembali, karena mata uang digital juga akan mempengaruhi kedaulatan ekonomi di masa depan.

Merekonstruksi kedaulatan Eropa, kedaulatan ekonomi, kedaulatan pertahanan negara, dan kedaulatan perbatasan adalah satu-satunya cara untuk benar-benar memperkuat integrasi Eropa tanpa campur tangan negara lain di luar.

Hadirin sekalian, mari kita memiliki diplomasi yang kuat dan koheren, dan pada saat hegemoni Barat sedang ditantang, kita harus menggunakan imajinasi politik kita masing-masing.

Kendalikan nasib orang Eropa sendiri dan kembalikan kendali kepada rakyat kita. Saya mengandalkan Anda untuk memainkan peran penting dalam diplomasi, dan saya berterima kasih atas permintaan ini. Saya akan selalu berada di sisi Anda untuk menjadikan Prancis sebagai pusat memimpin berbagai masalah politik penting.

Jadikan utusan kita untuk memiliki kekuatan perwakilan yang kuat di seluruh dunia untuk membela kepentingan nasional kita, bahkan melampaui kepentingan nasional kita, dan membiarkan nilai-nilai kita menyebar ke seluruh dunia.Saya berterima kasih pada Anda! Hidup Republik, Hidup Prancis!(*)

*Emmanuel Macron, Presiden Prancis. Tulisan ini diunggah dari Facebook Peter F. Ghonta yang membagikan pidato Macron dalam rapat internal partainya, Partai Republik, saat Prancis terlibat dalam perang Ukraina vs Rusia. Bandingkan pendapat Macron ini dengan pandangan ahli pertahanan dan intelejen, Dr. Connie Rahakundini Bakri, dalam sebuah Studium General (Kuliah Umum) di Universitas Gorontalo, Gorontalo, Jumat (18/3) tentang “operasi khusus” Rusia terhadap Ukraina yang memandang masalah ini dari perspektif geopolitik dan imbangan kekuatan. Connie menilai Presiden Rusia Vladimir Putin justru seperti Soekarno yang sedang berjuang membangun keseimbangan regional dan global. Dalam konsep Berdikari (Berdiri diatas kaki sendiri-red), Presiden Soekarno menyebutkan bahwa imprealismelah yang membutuhkan Indonesia, bukan sebaliknya (lihat: https://bergelora.com/makin-nyata-dr-connie-rahakundini-sebut-vladimir-putin-sama-dengan-soekarno-to-build-the-world-a-new/). Seperti Macron, Connie pun melihat invasi Rusia in sebagai petunjuk berakhirnya hegemoni Barat. 


Halaman Budaya Sahewan Panarung, Radar Sampit. Minggu, 20 Maret 2022

CATATAN KUSNI SULANG: Dua Pendekatan Melawan Marjinalisasi

Radar Sampit, Minggu, 13 Februari 2022 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Salah satu penyelenggara pendidikan tinggi di Kota Palangka Raya diantara 31 penyelenggara pendidikan tinggi di Kalimantan Tengah. Foto: Andriani SJ Kusni, 2021

Soal pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur (Kaltim) membuat masyarakat Dayak kembali mencuat ke permukaan.

Pengalaman Orang Betawi yang kian terpinggir saat Jakarta menjadi IKN menjadi kekhawatiran umum di kalangan etnik Dayak, terutama mereka yang bermukim di lokasi yang ditetapkan sebagai tempat IKN. Kekhawatiran akan terpinggir seperti nasib Orang Betawi, ditambah kekhawatiran akan makin parahnya kerusakan lingkungan.

Pemindahan IKN dipandang sebagai permainan politik para oligarki dan elit di sekitarnya, bukan berangkat dari kepentingan rakyat, apalagi kepentingan rakyat setempat. Rakyat setempat dilihat oleh kelompok yang menolak pemindahan IKN ke Kaltim akan membuat masyarakat Dayak, terutama yang berada di lokasi IKN akan kian  terpinggir. Keadaan yang oleh para tetua Kalimantan Tengah dilukiskan sebagai “témpun pétak batana saré, témpun uyah batawah bélai, témpun kajang bisa puat” (punya tanah berladang di tepi, punya garam hambar di rasa, punya atap basah muatan).

Saya sendiri melihat bahwa Orang Dayak yang sekarang tinggal di lokasi IKN, cepat atau lambat, artinya hanya soal waktu saja, akan terhalau dan tersingkir. Jumlah mereka sangat sedikit dibandingkan dengan etnik lain; tingkat pendidikan yang pas-pasan; tidak terorganisasi sehingga daya tawar yang sangat lemah. Dari segi demografis, barangkali bukan kebetulan pula IKN ditempatkan di daerah Paser-Panajam ini.

Di samping mereka  yang khawatir, terdapat pula kelompok yang melihat pemindahan IKN ke Kaltim sebagai peluang besar bagi masyarakat setempat, termasuk bagi Orang Dayak. Alasannya: Kekuasaan Pusat berada di dekat mereka sehingga bukan tidak mungkin, pada suatu hari, Orang Dayak bukan hanya jadi menteri tapi bahkan jadi Presiden Republik Indonesia (Podcast Kaltim Post,  27 Agustus 2921 #17).

Keinginan untuk duduk di kekuasaan strategis tingkat pusat di kalangan elit tertentu Dayak nampak menonjol, antara lain kembali diperlihatkan dengan tuntutan agar Orang Dayak menjadi Kepala Otorita IKN. Tentu saja keinginan ini tidak salah, apalagi jika memang memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh posisi tersebut sehingga yang duduk di tempat itu adalah “the right man on the right place”.

Ketika Pemerintah Pusat sudah memutuskan untuk memindahkan IKN ke Kaltim, orang setempat (termasuk Dayak) tidak bisa berbuat apa-apa, walaupun menyatakan ketidaksetujuan. Jika demikian, masalahnya menjadi bagaimana semestinya menghadapi keadaan demikian.

Ketika mengikuti berbagai pendapat di berbagai media dan diskusi, saya dapatkan selain kekhawatiran bernasib seperti Orang Betawi, umum juga diakui bahwa Orang Dayak secara umum masih belum mampu bersaing dengan para pendatang  baru. Karena itu, jalan keluar sangat mendesak yang juga umum diterima adalah bagaimana Orang Dayak meningkatkan taraf atau kualitas sumber daya manusia mereka agar berdaya.

Peningkatan kualitas ini merupakan faktor kunci untuk mencegah jangan sampai keadaan  “témpun pétak batana saré, témpun uyah batawah bélai, témpun kajang bisa puat” (punya tanah berladang di tepi, punya garam hambar di rasa, punya atap basah muatan) berlanjut tanpa terkendali.

Peningkatan ini akan bisa dipercepat apabila pemerintah pusat, lebih-lebih lagi pemerintah daerah turun tangan melalui pemberian beasiswa (bukan sekedar bantuan insidental). Pendidikan terencana merupakan kunci perkembangan maju.

Dalam hal ini patut benar dicatat bahwa yang dikejar melalui pendidikan itu adalah ilmunya, bukan kertasnya. Apabila nilai dan ijazah yang didapat diperoleh dengan membeli maka tak usah berharap bahwa kualitas sumber daya manusia kita akan meningkat. Universitas dan perguruan tinggi hanya akan menjadi pabrik ijazah dan pengangguran. Bukan menjadi Tunjung Nyahu, Otak Daerah.

Apa artinya lalu jika manusia pemegang kertas begini menjadi penanggung jawab daerah, menjadi menteri atau Presiden? Membeli nilai dan ijazah saja merupakan petunjuk pelakunya tidak punya tanggung-jawab sosial dan kemanusiaan. Pembelian dan penjualan nilai dan ijazah adalah suatu kejahatan moral.

Dua Pendekatan

Dalam sejarah Kalimantan setelah Proklamasi Agustus 1945, terdapat dua pendekatan yang berbeda mengenai pemberdayaan Dayak.

Tjilik Riwut ketika menjadi Gubernur Kalteng (1957-1967) dalam kebijakannya mengutamakan pendidikan. Ia melihat bahwa pendidikan merupakan kunci pemberdayaan Dayak Kalteng.

Untuk itu, ia mencari anak-anak muda Dayak untuk disekolahkan di perguruan tinggi dalam dan luar negeri dengan beasiswa (bukan bantuan incidental!). Asrama-asrama pelajar-mahasiswa ia dirikan di Jawa. Di Yogyakarta, ia bangun asrama mahasiswa Palangka Raya di Jalan Pakuningratan dan masih ada hingga hari ini (bahkan diperluas).

Mahasiswa-mahasiswa penerima beasiswa ini merupakan investasi jangka panjang bagi Kalteng. Politik atau pendekatan pendidikan ini pun sebelumnya pernah dilaksanakan oleh Hausmann Baboe melalui Sjarekat Dayak (1919) dan Pakat Dajak-nya (1926).

Sementara di Kalimantan Barat (Kalbar), Gubernur Oevang Oeray nampaknya lebih mengutamakan merekrut Orang-Orang Dayak ke jajaran birokrasi. Ketika gubernur berganti, orang-orang rekrutan Oevang Oeray ini dinonjobkan atau tidak difungsikan lagi oleh politik “memburu tukang sihir” (chaser les sorciers).

Belajar dari kemajuan Republik Rakyat Tiongkok dan negeri-negeri  lain yang mengalami kemajuan pesat, juga tidak lepas dari pendekatan pendidikan sebagaimana dilakukan Tjilik Riwut  dahulu semasa menjabat sebagai Gubernur Kalteng. Jadi bukan pertama-tama pendekatan kekuasaan.

Pengalaman sejarah ini barangkali akan berguna bila kembali direnungi sungguh-sungguh jika ingin Dayak Maju melesat dan bukan mundur ke belakang karena kian terpinggir.[***]


Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu, 13 Februari, 2022. Dokumen pribadi.

Tak Ada Perubahan Politik Tanpa Ada Tekanan Politik

Catatan untuk Generasi Maluku Tercerahkan

Penulis: Ikhsan Tualeka*

“Maluku butuh tindakan afirmatif oleh negara dan untuk itu diperlukan gerakan kolektif yang dapat menaikkan posisi tawar politik. Tak ada perubahan politik tanpa ada tekanan politik.”

Beberapa waktu terakhir sebelum menulis catatan ini, saya dapat banyak telepon, Messenger Facebook, pesan di WhatsApp dan Instagram yang mengkonfirmasi realitas di luar dugaan. Ternyata orang-orang Maluku ‘tercerahkan’ begitu banyak tapi masih memilih diam atau menjadi silent majority.

Mereka disebut tercerahkan karena sejatinya mampu melihat persoalan Maluku dengan proporsional dan objektif, namun belum banyak yang mau bersuara. Hal ini bisa jadi karena mereka menilai momentumnya belum tepat, atau menunggu hingga gerakan perubahan makin terkonsolidasi.

Kelompok tercerahkan ini punya kesamaan penilaian, bahwa persoalan besar di Maluku itu adalah soal paradigma pembangunan, kemiskinan, kualitas pendidikan dan kesehatan yang rendah, serta ketidakmampuan pengelolaan sumber daya alam. Bukan persoalan separatisme yang hanya kerap dibesar-besarkan.

Bahkan ada yang berpendapat, isu separatis justru dapat digunakan atau dikapitalisasi sehingga menjadi pintu masuk dalam mainstreaming atau pengarusutamaan isu Maluku dan meningkatkan posisi tawar politik daerah yang masih miskin dan tertinggal ini. Bagaimana caranya, itu dapat dirumuskan, asalkan mau berpikiran terbuka dan duduk bersama.

Setidaknya kontraksi politik, atau isu kekecewaan dan perlawanan publik dapat digunakan dalam strategi komunikasi politik, agar pesan-pesan politik jauh lebih lebih efektif merangsek ke dalam jantung kekuasaan. Sehingga suara-suara yang selama ini tak terdengar akan bisa lebih didengar.

Memang salah satu masalah komunikasi politik orang Maluku selama ini adalah pada ‘mainstreaming’ isu lokal sehingga menjadi pembahasan atau diskursus nasional. Dampaknya, persoalan yang dialami di daerah akhirnya terus mengendap bersama penderitaan rakyatnya.

Alih-alih mencari cara guna memantik perhatian yang lebih besar untuk Maluku, seperti yang dapat dilihat dalam dukungan yang diberikan pemerintah pusat kepada sesama daerah yang punya latar sejarah pergolakan politik dan upaya disintegras–Aceh dan Papua–banyak generasi muda Maluku justru kerap kali tidak menunjukan persatuan dalam mendorong isu atau persoalan Maluku.

Saling sikut terkadang lebih menonjol dari pada sinergi dan kolaborasi. Kritik-kreatif yang diarahkan dan diupayakan untuk mendesak dan mengingatkan pemerintah pusat pun bisa dengan gampang dicap atau tuding ‘jangan-jangan ini separatis’.

Kondisi ini yang menjadikan orang Maluku ibarat dua orang yang terperosok ke dalam sumur, meski sama-sama ingin keluar, tapi malah bertikai di dasar sumur. Kalau begini realitasnya, sampai mati, tidak ada yang bisa keluar dari sumur.

Sama seperti banyak di antara anak muda Maluku yang lebih memilih saling meniadakan, ketimbang saling mendukung. Saling melemahkan bukan menguatkan, menjadikan posisi tawar Maluku dalam konfigurasi dan kancah politik nasional menjadi lemah.

Kelemahan politik ini berdampak pada Maluku belum benar-benar menjadi prioritas dalam skema pembangunan nasional. Kecilnya alokasi APBN–padahal tantangan pembangunan di Maluku tidaklah sedikit–serta adanya sejumlah regulasi yang tidak berpihak atau justru merugikan Maluku sebagai provinsi kepulauan, adalah fakta bahwa Maluku masih ditinggal dan akhirnya terus tertinggal.

Kondisi kekinian Maluku masih belum banyak berubah dari waktu ke waktu. Orientasi pembangunan pendidikan yang belum benar-benar diarahkan untuk dapat menjawab dan memacu pertumbuhan ekonomi dan industri berbasis pada sumber daya alam yang dimiliki, menjadikan potensi laut Maluku masih sekadar pajangan atau hanya dikeruk oleh oligarki.

Sebagai lumbung ikan dunia, tak terlihat ada implikasi ekonomi yang signifikan bagi Maluku. Ibarat digambarkan dalam satu cerita rakyat, yang mengisahkan satu keluarga hidup miskin dalam gubuk, tepat di bawah timbunan harta karun peninggalan leluhurnya.

Di Maluku, angka kemiskinan tinggi, pengangguran juga demikian, indeks pembangunan manusia rendah, gizi buruk kerap ditemukan, kematian ibu dan bayi saat persalinan masih tinggi. Belum lagi rusaknya lingkungan akibat penambangan liar dan perambahan hutan terus berlanjut, adalah sejumlah kenyataan pahit yang harus dihadapi daerah yang katanya sangat kaya ini.

Kecakapan dan kemampuan pemerintah, eksekutif dan legislatif di daerah atau lokal memang juga menjadi faktor penting sejumlah masalah belum terurai dengan benar. Namun pemerintah pusat juga punya andil dan dosa besar atas realitas yang paradoks ini.

Karena itu, mendesak adanya perhatian pemerintah pusat menjadi salah satu titik tekan yang perlu terus dilakukan sebab Maluku tak akan pernah maju dan bersaing dengan daerah lain, keluar dari ketertinggalan, jika tak ada perhatian dari otoritas terkait di pemerintah pusat.

Perhatian yang diperlukan saat ini adalah soal proporsi alokasi anggaran yang memadai dan kewenangan yang lebih besar dalam mengelola potensi alam. Tanpa itu jangan berharap lebih, karena Maluku akan tetap merayap, sementara daerah lain sedang berlari.

Semoga ke depan gerakan kolektif yang mau didorong bersama dalam mengarusutamakan isu Maluku dapat diinisiasi dan terus dilakukan. Komunitas ‘Beta Kreatif’ pernah bikin Paspor Maluku dan Mata Uang Maluku sebagai bagian dari cara kreatif dalam mengkritik dan menarik perhatian pemerintah.

Memang harus diakui, dampak politiknya belum signifikan, mungkin agar resonansinya lebih kuat, perlu ada gerakan politik kreatif yang lebih besar. Misalnya ada puluhan atau bahkan ratusan anak muda yang pawai, mengajukan tuntutan bersama-sama sambil mengacungkan simbol protes, semacam Paspor dan Mata Uang Maluku atau simbol lainnya yang disepakati bersama. Apalagi didukung oleh para politisi, wakil rakyat diberbagai jenjang terutama yang duduk di Senayan, tentu nuansa dan pengaruh politiknya akan menggentarkan. Jika itu terjadi, bukan saja menjadi isu nasional, bahkan internasional.

Selain itu, mungkin juga ke depan akan lahir gerakan dan upaya-upaya lainnya yang dilakukan secara kolektif sehingga di satu sisi anak-anak muda Maluku lebih terkonsolidasi dan giat memacu diri untuk terus maju. Sementara pada sisi yang lain dapat mendorong perhatian yang lebih besar, agar Maluku benar-benar diperhatikan dan diperlakukan secara adil.

Ambon, 24 Mei 2020

* Masalah pokok yang diketengahkan tahun lalu oleh Ikhsan Tualeka masih berlangsung hari ini. Maluku bertarung melakukan perubahan karena “untuk itu diperlukan gerakan kolektif yang dapat menaikkan posisi tawar politik. Tak ada perubahan politik tanpa ada tekanan politik” . Perlawanan dari suatu “gerakan kolektif” demikian apakah ada di Tanah Dayak bernama Kalimantan Tengah? Ikhsan Tualeka adalah Founder IndoEast Network.

Haswinar Arifin: Suara dari Pojok Kalimantan

Sebuah buku yang mengulas konflik pusat-daerah. Analisis ini juga sebuah upaya pemahaman atas kenapa dukungan untuk Indonesia sebagai negara kesatuan semakin pudar.

Inilah sebuah buku yang berkisah tentang indonesia yang porak-poranda. Buku berjudul Negara Etnik berupaya mencerminkan problem khusus di Indonesia yang majemuk. Konflik yang terjadi antara elit politik dan penyelenggara negara dan konstituennya tidak hanya didasari oleh kekerasan yang dipraktekkan negara, tetapi lebih merupakan ketegangan dan konflik antara daerah dan pusat, yang masing-masing terwakili oleh suku bangsa yang berbeda. Penindasan pusat dan daerah bukan hanya berupaya perampasan sumber daya, tetapi juga merupakan dominasi suatu suku bangsa terhadap suku bangsa lainnya, dominasi sebuah kebudayaan terhadap kebudayaan lainnya. Dominasi tersebut tidak hanya mencerminkan penindasan atas hak asasi manusia, tetapi juga atas hak-hak berkebudayaan.

Situasi di Indonesia menjadi lebih rumit lagi karena untuk menjaga legitimasinya, penyelenggara negara tidak hanya melakukan pemaksaan, tetapi juga melakukan politik mengadu-domba kelompok-kelompok etnis untuk mengurangi solidaritas antarsuku yang bisa menjadi kekuatan signifikan untuk menentang dominasi kebudayaan tersebut.

Buku ini dapat dilihat sebagai sebuah pekikan warga Dayak yang cukup lantang menentang dominasi dan penindasan tersebut. Ide-ide yang termaktub di dalam buku ini merupakan sebuah alternatif tandingan terhadap konsep “pembangunan sentralistis” yang selama ini dalam kenyataannya telah mengakibatkan marginalisasi masyarakat di daerah.

Dalam menguraikan gagasannya, sang penulis bertolak dari premis yang melihat bahwa hakikat persoalan daerah terletak pada pilihan politik tertentu yang mengabdi kepada-dan mencerminkan-kepentingan-kepentingan ekonomi dari pihak yang berkuasa di pusat pemerintahan negara ini. Keresahan, protes, dan perlawanan yang datang dari daerah pada dasarnya disebabkan oleh gagalnya negara, melalui institusi-institusinya, mewujudkan secara konsisten apa yang disebut penulis dengan istilah “nilai-nilai republikan” kegagalan inilah yang mengakibatkan pudarnya dukungan daerah kepada Republik Indonesia, yang telah disepakati bersama pada masa lalu.

Pudarnya dukungan daerah telah menimbulkan berbagai tuntutan daerah, yang menyatakan keinginannya untuk berhenti menjadi konstituen bangsa ini. Walaupun demikian, satu hal penting yang dipersoalkan adalah sejauh mana daerah telah memikirkan manfaat atau perubahan yang lebih baik dari status kemerdekaannya. Hal ini dilontarkan karena tujuan utama sebuah negara adalah membentuk suatu satuan sosial-politik dan sistem-sistem yang memungkinkan terjadinya sebuah kehidupan yang lebih manusiawi. Kemerdekaan hanyalah sebuah sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Tanpa memikirkan soal “kehidupan yang manusiawi” itu, manfaat dari berbagai tuntutan merdeka yang muncul di dalam republik ini diragukan.

Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, pemberdayaan warga daerah menjadi suatu alternatif penting yang diperlukan ketimbang pembangunan daerah yang selama ini lebih menekankan pembangunan fisik, yang dalam kenyataannya merugikan daerah. Pemberdayaan terutama penting diarahkan untuk menciptakan putra daerah yang kritis dan modern tapi tidak tercerabut dari akar kebudayaan lokalnya sendiri.

Bagi seorang warga daerah dan warga suku Dayak, yang selama ini sangat tidak diuntungkan oleh situasi politik dan ekonomi di Indonesia, menulis buku tentang pemberdayaan sukunya sendiri merupakan sebuah jalan yang sangat licin. Parahnya kerugian yang diderita oleh warga daerah sering mengakibatkan pelakunya terpeleset pada sikap yang sangat skeptis dan tidak realistis, amat membela sukunya tapi melupakan eksistensi suku lain, amat mementingkan eksistensi golongan tetapi lupa bahwa penderitaan itu tidak hanya disebabkan oleh penindasan antargolongan etnis tapi juga penindasan antar kelas ekonomi tertentu di dalam golongan yang sama.

Salah satu keistimewaan buku ini terletak pada kemampuan penulis untuk tidak terpeleset ke dalam jebakan-jebakan tersebut. Walaupun tidak dinyatakan secara eksplisit, gagasan-gagasannya memperlihatkan bahwa penulis tidak segera terjebak di dalam euforia kebangkitan adat yang bersifat etnosentris. Uraiannya tentang putra daerah menyiratkan kehati-hatiannya untuk tidak serta-merta mendukung gagasan “asal putra daerah”, tapi juga mensyaratkan adanya kriteria “berakar pada kepentingan masyarakat” bagi siapa pun yang ingin membangun daerah. Penekanannya yang berkali-kali muncul tentang pentingnya memegang “nilai-ilai republikan” juga memperlihatkan toleransi penulis terhadap suku apa pun  yang merupakan konstituen bangsa ini.

Dalam konteks otonomi daerah, buku yang berisi gagasan-gagasan seperti ini sangat diperlukan oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Lontaran gagasan yang kritis, obyektif, dan realistis dari warga daerah dapat menjadi semacam alternatif konkret yang bermanfaat. Lontaran gagasan-gagasan seperti ini juga akan membuka pandangan dan pemahaman para pembuat keputusan yang “progresif” di pusat pemerintahan, sehingga dapat lebih mengerti akar persoalan dan aspirasi yang datang dari daerah.

Haswinar Arifin

Peneliti Pusat Analisis Sosial Akatiga, Bandung

Tempo, 13 Mei 2001