*) Naskah Lengkap Pidato Kusni Sulang dalam Perayaan HARI TANI 2022 di Tumbang Oroi
Selamat pagi.
Mengharapkan kesejahteraan dan kesehatan untuk semua. Orang Katingan dahulu menyalami sesama dengan: “Hari! Has Eh!” Dijawab: “Has Eh!” Dengan kesejahteraan dan kesehatan itu, lalu kita berjuang untuk selalu berkembang maju dari hari ke hari, bukan lari ke belakang yang terpuruk. Berkembang maju dari hari ke hari ini yang dengan kata-kata lain disebut “Manggatang Utus”. Bagaimana kita bisa berkembang maju dari hari ke hari?
Hal paling mendasar yang harus dipenuhi dahulu untuk maju adalah kita tidak lapar. Ada yang menjadi pengisi perut. Adanya pengisi perut saja tidak cukup karena adanya pengisi perut yang tidak bergizi membuat otak kita tidak berkembang, membuat tingkat kecerdasan kita rendah yang dalam bahasa menterengnya disebut stunting, membuat kita tidak mampu bersaing, tidak bisa tumbuh berkembang menjadi anak manusia sepenuhnya, lalu menimbulkan berbagai macam penyakit masyarakat. Tidak sakit tapi tidak sehat.
Mengingat kepentingan dasar yang hingga hari ini masih menjadi persoalan utama kita, maka pada perayaan Hari Tani Nasional 24 September ini, Borneo Institute menawarkan slogan “Bertani Kita Teguh, Tidak Bertani Kita Runtuh” yang kami bahasa Dayak-kan menjadi “Malan Itah Bésuh, Diá Malan Itah Déruh”. Dengan malan-manana, malan-bakabun, kita mempunyai beras, mempunyai sayur–mayur dan lauk-pauk yang bergizi. Kalau kita tidak malan maka kadéruh akan datang mengganggu kehidupan kita. Untuk malan-bakabun, syarat utama dan pertama-tama yaitu ketersediaan tanah karena kita tidak bisa malan-manana di udara. Tanah jadinya adalah nafas kehidupan. Pétak tahaséng pambélum.
Malangnya, luas tanah garapan di Kalimantan Tengah (Kalteng) pada tahun 2009 hanya tersisa 20 persen dari luas Kalteng yang besarnya 1,5x Pulau Jawa. Jumlah ini pada tahun 2022 tentu tidak akan makin membesar tapi sebaliknya kian mengecil.
Kebun kelapa sawit, tambang, taman nasional, daerah konservasi, pengusahaan hutan adalah raksasa lapar tanah. Sekarang ada program nasional baru yaitu food-estate yang dalam praktek juga ibarat raksasa lapar tanah. Keadaan menjadi kian parah ketika izin untuk perusahaan-perusahaan diobral bahkan ada yang melampaui batas kabupatennya.
Keadaan ini membuat munculnya tuan tanah-tuan tanah baru di Kalteng. Karena itu, ada saya temukan, untuk ratusan penduduk sebuah desa, yang bertani, yang malan manana tinggal 16-an orang. Mungkinkah jumlah 16-an orang yang malan-manana ini memenuhi keperluan pangan ratusan warga desa? Tentu tidak dan pasti tidak. Akibatnya, desa jadi tergantung pada bahan pangan dari luar. Sedangkan dahulu, tiap keluarga di léwu-léwu (nama dari desa adat Dayak Kalteng) mempunyai karangking, lumbung padi. Akibat lain, berlangsung tanpa henti proses pemiskinan yang melahirkan budaya kemiskinan dan kemiskinan budaya.
Hari ini, kita merayakan Hari Tani, perayaan ketiga di Kecamatan Manuhing Raya. Penetapan tanggal 24 September sebagai Hari Tani Nasional diteken Presiden Soekarno dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 169 Tahun 1963. Tanggal ini bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).
Kemiskinan dan banyaknya petani tak bertanah dan petani gurem merupakan latar belakang kelahiran UUPA. Sebelum pengesahan UU ini, oleh DPR-GR sejumlah panitia telah dibentuk sejak tahun 1948. Panitia-Panitia itu antara lain:
- Panitia Agraria Yogya (1948)
- Panitia Agraria Jakarta (1951)
- Panitia Soewahjo (1955)
- Panitia Negara Urusan Agraria (1956)
- Rancangan Soenarjo (1958)
- Rancangan Sadjarwo (1960)
Dari berbagai panitia dan rancangan tersebut, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin menerimanya dan melahirkan UUPA.
Lahirnya UUPA bermakna besar bagi bangsa dan negara Indonesia, yaitu: Untuk mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan rakyatnya.
Pada intinya, UUPA dibentuk dengan meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Pembentukan ini dilakukan demi mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam menuju masyarakat adil dan makmur.
Presiden Joko Widodo juga mempunyai Program Reforma Agraria hanya nampaknya berjalan tidak lancar. Tuan tanah baru bukan makin berkurang tapi makin besar, bahkan turut melakukan penyelenggaraan Negara.
Sejarah lahirnya Hari Tani Nasional di atas, memperlihatkan bahwa tanah adalah nafas kehidupan; pétak tahaséng pambélum karena kita tidak bisa bertani di udara.
Hal lain yang patut diingat bahwa monopoli tanah, penguasaan tanah oleh tuan tanah-tuan tanah baru akan menghambat pelaksanaan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Tanpa tanah, penguasaan monopoli atas tanah akan membuat proses keterpurukan berlanjut, gagasan Manggatang Utus hanya menjadi kata-kata manis pelamis bibir. Dayak akan menjadi jipén kekinian. Inikah pilihan Dayak hari ini?
Sebagai penutup, saya mengajak hadirin merenungi pesan James Brooke (1841-1863) kepada Orang Dayak:
“Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik: Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemahlembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah di mana kalian tinggal, sumber penghasilan kalian, dan bahkan makanan yang ada di mulut kalian. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”
September 2022
Penulis dan Penyusun Naskah Pidato: Kusni Sulang
Penyunting Naskah Pidato: Andriani SJ Kusni