Hari Tani di Tumbang Oroi*

Hari Tani bertema  “Malan Itah Bésuh, Diá Malan Itah Déruh”, 23-25 September 2022 di Desa Tumbang Oroi, Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah
Pentas seni dalam perayaan Hari Tani bertema “Malan Itah Bésuh, Diá Malan Itah Déruh”, yang diselenggarakan oleh warga kampung bersama Borneo Institute, 23-25 September 2022 di Desa Tumbang Oroi, Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

*) Naskah Lengkap Pidato Kusni Sulang dalam Perayaan HARI TANI 2022 di Tumbang Oroi

Selamat pagi.

Mengharapkan kesejahteraan dan kesehatan untuk semua. Orang Katingan dahulu menyalami sesama dengan: “Hari! Has Eh!” Dijawab: “Has Eh!” Dengan kesejahteraan dan kesehatan itu, lalu kita berjuang untuk selalu berkembang maju dari hari ke hari, bukan lari ke belakang yang terpuruk. Berkembang maju dari hari ke hari ini yang dengan kata-kata lain disebut “Manggatang Utus”. Bagaimana kita bisa berkembang maju dari hari ke hari?

Hal paling mendasar yang harus dipenuhi dahulu untuk maju adalah kita tidak lapar. Ada yang menjadi pengisi perut. Adanya pengisi perut saja tidak cukup karena adanya pengisi perut yang tidak bergizi membuat otak kita tidak berkembang, membuat tingkat kecerdasan kita rendah yang dalam bahasa menterengnya disebut stunting, membuat kita tidak mampu bersaing, tidak bisa tumbuh berkembang menjadi anak manusia sepenuhnya, lalu  menimbulkan berbagai macam penyakit masyarakat. Tidak sakit tapi tidak sehat.

Mengingat kepentingan dasar yang hingga hari ini masih menjadi persoalan utama kita, maka pada perayaan Hari Tani Nasional 24 September ini, Borneo Institute menawarkan slogan “Bertani Kita Teguh, Tidak Bertani Kita Runtuh” yang kami bahasa Dayak-kan menjadi “Malan Itah Bésuh, Diá Malan Itah Déruh”. Dengan malan-manana, malan-bakabun, kita mempunyai beras, mempunyai sayur–mayur dan lauk-pauk yang bergizi. Kalau kita tidak malan maka kadéruh akan datang mengganggu kehidupan kita. Untuk malan-bakabun, syarat utama dan pertama-tama yaitu ketersediaan tanah karena kita tidak bisa malan-manana di udara. Tanah jadinya adalah nafas kehidupan. Pétak tahaséng pambélum.

Malangnya, luas tanah garapan di Kalimantan Tengah (Kalteng) pada tahun 2009 hanya tersisa 20 persen dari luas Kalteng yang besarnya 1,5x Pulau Jawa. Jumlah ini pada tahun 2022 tentu tidak akan makin membesar tapi sebaliknya kian mengecil.

Kebun kelapa sawit, tambang, taman nasional, daerah konservasi, pengusahaan hutan adalah raksasa lapar tanah. Sekarang ada program nasional baru yaitu food-estate yang dalam praktek juga ibarat raksasa lapar tanah. Keadaan menjadi kian parah ketika izin untuk perusahaan-perusahaan diobral bahkan ada yang melampaui batas kabupatennya.

Keadaan ini membuat munculnya tuan tanah-tuan tanah baru di Kalteng. Karena itu, ada saya temukan, untuk ratusan penduduk sebuah desa, yang bertani, yang malan manana tinggal 16-an orang. Mungkinkah jumlah 16-an orang yang malan-manana ini memenuhi keperluan pangan ratusan warga desa? Tentu tidak dan pasti tidak. Akibatnya, desa jadi tergantung pada bahan pangan dari luar. Sedangkan dahulu, tiap keluarga di léwu-léwu (nama dari desa adat Dayak Kalteng) mempunyai karangking, lumbung padi. Akibat lain, berlangsung tanpa henti proses pemiskinan yang melahirkan budaya kemiskinan dan kemiskinan budaya.

Hari ini, kita merayakan Hari Tani, perayaan ketiga di Kecamatan Manuhing Raya. Penetapan tanggal 24 September sebagai Hari Tani Nasional diteken Presiden Soekarno dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 169 Tahun 1963. Tanggal ini bertepatan dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).

Kemiskinan dan banyaknya petani tak bertanah dan petani gurem merupakan latar belakang kelahiran UUPA.  Sebelum pengesahan UU ini, oleh DPR-GR sejumlah panitia telah dibentuk sejak tahun 1948. Panitia-Panitia itu antara lain:

  1. Panitia Agraria Yogya (1948)
  2. Panitia Agraria Jakarta (1951)
  3. Panitia Soewahjo (1955)
  4. Panitia Negara Urusan Agraria (1956)
  5. Rancangan Soenarjo (1958)
  6. Rancangan Sadjarwo (1960)

Dari berbagai panitia dan rancangan tersebut, akhirnya Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR), yang kala itu dipimpin Haji Zainul Arifin menerimanya dan melahirkan UUPA.

Lahirnya UUPA bermakna besar bagi bangsa dan negara Indonesia, yaitu: Untuk mewujudkan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah Asli), yang menyatakan, “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Penjungkirbalikan hukum agraria kolonial dan penemuan hukum agraria nasional yang bersendikan realitas susunan kehidupan rakyatnya.

Pada intinya, UUPA dibentuk dengan meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan, dan meletakkan dasar-dasar kepastian hukum hak-hak atas tanah bagi seluruh rakyat. Pembentukan ini dilakukan demi mewujudkan kemakmuran, kebahagiaan, keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani, dalam menuju masyarakat adil dan makmur.

Presiden Joko Widodo juga mempunyai Program Reforma Agraria hanya nampaknya berjalan tidak lancar. Tuan tanah baru bukan makin berkurang tapi makin besar, bahkan turut melakukan penyelenggaraan Negara.

Sejarah lahirnya Hari Tani Nasional di atas, memperlihatkan bahwa tanah adalah nafas kehidupan; pétak tahaséng pambélum karena kita tidak bisa bertani di udara.

Hal lain yang patut diingat bahwa monopoli tanah, penguasaan tanah oleh tuan tanah-tuan tanah baru akan menghambat pelaksanaan amanat Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 (Naskah  Asli), yang menyatakan, “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Tanpa tanah, penguasaan monopoli atas tanah akan membuat proses keterpurukan berlanjut, gagasan Manggatang Utus hanya menjadi kata-kata manis pelamis bibir. Dayak akan menjadi jipén kekinian. Inikah pilihan Dayak hari ini?

Sebagai penutup, saya mengajak hadirin merenungi pesan James Brooke (1841-1863) kepada Orang Dayak:

“Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik: Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemahlembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah di mana kalian tinggal, sumber penghasilan kalian, dan bahkan makanan yang ada di mulut kalian. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”

September 2022

Penulis dan Penyusun Naskah Pidato: Kusni Sulang

Penyunting Naskah Pidato: Andriani SJ Kusni

Catatan Kusni Sulang | Membawa Hukum Masuk Desa: Suatu Kemendesakan

Radar Sampit, Minggu, 18/9/2022

Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu 18/9/2022
Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu 18/9/2022

Stop pertikaian antar Dayak. Manggatang Utus adalah ide pemersatu! Dayak dan Yang Senasib dengan Dayak mesti bersatu. Pandai berjuang dan pandai menang.           

Dari tanggal 27 Januari sampai dengan 1 Februari 2020, Pemerintah Desa (Pemdes) Tumbang Mantuhe, Putat Durei, Tumbang Samuї, Tumbang Oroi dan Luwuk Tukau telah menyelenggarakan referendum tentang setuju atau tidak mengubah desa dinas (administratif) menjadi desa adat.

Sebelum referendum, lima desa di Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas ini, dengan sokongan penuh Pemdes didampingi oleh Borneo Institute sejak 14 Juni  2019, untuk memahami apa-bagaimana desa adat itu, telah melakukan berbagai kegiatan seperti mengorganisasi kelas belajar-kelas belajar, kunjungan studi banding ke desa adat-desa adat di Bali, sosialisasi (termasuk sosialisasi dari rumah ke rumah) dan lobi- lobi politik pada berbagai tingkat hingga akhirnya penyelenggaraan referendum.

Dari semua kegiatan persiapan ini, saya melihat bahwa yang mempunyai peran menentukan adalah penjelasan atau sosialisasi mengenai Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya disingkat UU Desa) dari rumah ke rumah yang cukup melelahkan dan memakan waktu ke semua keluarga di lima desa kecamatan tersebut yang jumlahnya tidak kurang dari seribu kepala keluarga (KK).

Sosialisasi ini kemudian dikonsolidasi melalui riset dan penulisan etnografi desa. Melalui penjelasan dari rumah ke rumah ini dan dilakukan beberapa kali dalam berbagai bentuk, warga adat di lima desa Kecamatan Manuhing Raya menjadi mengerti apa itu desa adat dan bedanya dengan desa administratif menurut UU Desa. Dengan memiliki kesadaran dan pengetahuan demikian, pada hari referendum, warga adat berbondong-bondong memberikan suara mereka ke tempat pemungutan secara bebas.

Kecuali itu, melalui kegiatan persiapan berupa sosialisasi dari rumah ke rumah ini, saya melihat kemendesakan atau urgensi penjelasan tentang undang-undang, peraturan-peraturan dan ketetapan-ketetapan yang diterbitkan oleh penyelenggara Negara kepada warga desa yang secara singkat saya sebut sebagai hukum (tanpa memasuki diskusi tentang definisi hukum itu sendiri, apalagi seperti dikatakan oleh Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.: “Sebenarnya untuk memberikan pengertian hukum terasa sukar karena para sarjana hukum sendiri belum dapat merumuskan suatu pengertian hukum yang memuaskan semua pihak” (https://www.hukumonline.com/klinik/a/pengertian-hukum-dan-unsur-unsur-hukum-lt628c8643271d0).

Sekalipun demikian, dalam Catatan ini sebagai pegangan, saya menggunakan pengertian hukum (secara etimologis berasal dari kata Bahasa Arab hukum yang berarti putusan, ketetapan, perintah, pemerintahan, kekuasaan, dan hukuman (Nafis, Ph.D., M. Cholil (2011). Teori Hukum Ekonomi Syariah. Penerbit Universitas Indonesia. hlm. 15. ISBN 9789794564561) sebagaimana yang ditawarkan oleh hukumku.com bahwa “Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan. Hukum memiliki tugas untuk menjamin bahwa adanya kepastian hukum dalam masyarakat. Oleh sebab itu setiap masyarat berhak untuk memperoleh pembelaan di depan hukum. Hukum dapat diartikan sebagai sebuah peraturan atau ketetapan/ketentuan yang tertulis ataupun yang tidak tertulis untuk mengatur kehidupan masyarakat dan menyediakan sangsi untuk orang yang melanggar hukum” sedangkan unsur-unsur hukum menurut C.S.T. Kansil meliputi (hal. 39): “Pengertian mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat; Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib; Peraturan itu bersifat memaksa; Sanksi pelanggaran peraturan adalah tegas” (https://www.hukumonline.com/klinik/a/pengertian-hukum-dan-unsur-unsur-hukum-lt628c8643271d0).

Adanya unsur-unsur hukum berupa “Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang  berwajib; Peraturan itu bersifat memaksa; Sanksi pelanggaran peraturan adalah tegas” di kalangan masyarakat yang belum memiliki pengetahuan hukum sedikit atau terbatas, oleh pihak-pihak tertentu sering dijadikan alat untuk menakut-nakuti warga daerah perdesaan, bahkan kesewenang-wenangan, penipuan, kriminalisasi, dll hal negatif pun rentan terjadi. Ketidaktahuan hukum dan atau minimnya  pengetahuan hukum, ditambah dengan warga adat yang tidak terorganisasi atau organisasi masyarakat yang lemah karena secara struktural telah diporak-porandakan, masyarakat adat di daerah perdesaan yang luas ibarat anak-yatim piatu tanpa pelindung dan tidak mampu melindungi dirinya. Ketidakpuasan oleh pudarnya ketidakadilan melahirkan berbagai bentuk kekerasan anarkis karena ketakutan jika sampai pada batasnya, ia akan bisa menjelma menjadi amok (bhs. Dayak Ngaju: hamuk, amok atau sawuh).

Dalam proses penelitian dan penulisan etnografi desa dan sosialisasi dari rumah ke rumah  ribuan KK di lima desa Kecamatan Manuhing Raya, saya melihat munculnya kembali kepercayaan diri warga léwu Dayak ketika mereka mengerti hukum, paham hak dan kewajiban mereka.

Hal begini pun, saya saksikan dalam kelas-kelas belajar yang kami (cq. Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah) selenggarakan selama seminggu untuk para damang, mantir dan pemuka-pemuka léwu di Kabupaten Katingan dan Kotawaringin Timur beberapa tahun silam.

Dalam kelas-kelas belajar tersebut, para peserta yang mengikuti semua paparan dan diskusi dengan penuh semangat berulang-ulang menyatakan dengan suara keras  bahwa betapa selama ini mereka dibodoh-bodohkan dan diperbodoh (dalam Bhs.Dayak Ngaju: impambureng, berarti lebih jauh dari impambungul–diperbodohkan).

Dengan pengetahuan yang mereka baru terima, salah seorang petani yang juga pemuka warga Samuda,  Kotawaringin Timur, mengucapkan suatu kesimpulan: “Bahinip kita mati” (Diam kita mati). Artinya melalui kelas-kelas belajar ini, mereka paham perlunya “tidak diam” dalam hidup, yang oleh sejarah Kalimantan Tengah (Kalteng) dan sejarah Dayak ditunjukkan bahwa perubahan-perubahan maju di Kalteng tidak pernah didapat karena belas kasihan dan atau hadiah dari siapapun.

Darah dan airmata, Dayak Bersatu, terorganisasi, mempunyai konsep-konsep yang jelas dan diperjuangkan dengan cara yang berani serta pandai, merupakan tuntutan niscaya sebagaimana dirumuskan dalam Tritunggal Dayak Ideal yaitu mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh (gagah-berani, cerdik-berbudi, tekun-sanggup melawan arus).

Secara singkat: Hidup dan berjuang secara berani dan pandai. Pandai berjuang dan pandai menang. Menggunakan berbagai bentuk perjuangan; adil dan tahu batas.

Untuk tujuan ini, saya kira, sudah pada tempatnya mengutamakan kepentingan bersama dan meredam sisi negatif dan dari semangat “semua panglima” (uras pangkalima) dan saling memenggal kepala sesama (hakayau kulae) demi lembaran-lembaran rupiah. Dengan semangat beginilah maka salam Dayak Sabah berbunyi: “Siapa Kita?” Dijawab: ”Dayak!”

Pengetahuan hukum, baik itu hukum material, hukum formal maupun hukum adat merupakan senjata untuk mampu berjuang dan menang (apalagi Dayak dikutuk sebagai Dayak Panarung, Dayak Petarung) secara  berani dan pandai. Artinya, tidak hanya menggunakan okol tapi juga akal sehingga kata-kata Orang Dayak mempunyai daya.

Petarung berokol (seperti adanya Pasukan Merah yang tersebar di seluruh Benua Kecil Borneo) dan berakal merupakan pra-syarat untuk memberi daya pada kata-kata.

Dalam berjuang secara berakal ini perlu diperhatikan agar daya itu lebih berkekuatan, menyatukan semua kekuatan yang mungkin dipersatukan. Yang senasib dengan Dayak, perlu diperhitungkan dalam kondisi perubahan demografis telah dan terus berlangsung sesuai dengan konsep hidup-mati Dayak: Réngan Tingang Nyanak Jata (anak enggang putera-puteri naga) dan Hatindih Kambang Nyalun Tarung Mantang Lawang Langit (berlomba-lomba menjadi anak manusia yang manusiawi). Apalagi budaya Dayak itu pada hakekatnya adalah budaya inklusif sehingga tidak ada pertentangan antara menjadi Dayak, Menjadi Indonesia dan Anak Manusia.

Dalam konteks pandai berjuang dan pandai menang yang sesuai dengan konsep Tritunggal Manusia Dayak Ideal, masuknya hukum ke daerah perdesaan merupakan hal yang sangat tanggap zaman bahkan merupakan hal mendesak serta perlu digalakkan di seluruh daerah Kalteng. Apabila hal ini terjadi maka warga adat akan menjadi warga desa sadar hukum. Tidak ada yang rugi dengan munculnya kesadaran hukum di daerah perdesaan Kalteng. Seiring dengan tumbuhnya kesadaran hukum, penguasaan dan pengetahuan hukum di kalangan warga desa dan pengawasan sosial akan meningkat, kesewenang-wenangan penyelenggara Negara yang pongah dan premanis mungkin diredam, kehidupan boleh jadi lebih beradab.

Proses penyebaran grup-grup paralegal di daerah perdesaan ini tentu akan lebih cepat lagi jika pembentukan dan penetapan desa adat dilakukan. Pembentukan dan penetapan desa adat hanya memperkuat rasa keindonesiaan dan memperkokoh kedaulatan rakyat yang barangkali mengganggu para pihak tertentu yang memandang penyelenggaraan Negara merupakan ladang subur bagi pengumpulan rupiah. Dayak tipe ini saya namakan Dayak Pemburu Uang–pengganjal perkembangan maju, karena hedonisme hanya memerosotkan kemanusiaan, kebudayaan dan keadaban.

Dari sudut pandang begini, maka saya sangat menghargai langkah-langkah siapapun dan darimanapun yang telah membentuk grup-grup paralegal di daerah perdesaan, dibimbing oleh para pengacara muda yang memiliki dedikasi dan integritas.

Masuknya hukum ke daerah perdesaan melalui para ‘pemuda harapan bangsa’, meminjam istilah Soekarno, saya nilai sebagai bentuk konkret komitmen sosial para terdidik Dayak. Dayak Petarung yang terdidik.

Semoga para ‘pemuda harapan bangsa’ ini berkembang menjadi “kuda” teruji dan kian matang melalui badai-topan kehidupan bergejolak di daerah perdesaan. Sebab, daya tahan seekor kuda diuji dalam perjalanan jauh.[***]