Kembali ke Sampit: Catatan Perjalanan

cover

Judul                      : Kembali ke Sampit

Penerbit                 : Bayumedia Publishing, Malang

Tebal                      : 435 hlm.

Terbit                     : Januari 2013

Pengantar Pemimpin Redaksi Harian Radar Sampit

Journalysis

Tak perlu lama bagi saya untuk mengambil keputusan menerima kerja sama yang ditawarkan Kusni Sulang dan Andriani S. Kusni untuk membuat ruang kebudayaan di harian Radar Sampit. Pun ketika kami bertatap muka secara langsung di Sampit hingga kemudian mencuat keinginan dari keduanya untuk menuliskan catatan perjalanan singkat mereka selama di Kota Sampit (Sampit Revisited). Keputusan untuk kembali menyetujuinya juga berlangsung set-setswuet. Karenanya, salam hormat harus saya sampaikan kepada Kusni Sulang dan Andriani S. Kusni atas inisiatifnya melakukan kerja sama dengan Radar Sampit.

Sebagai orang koran, melakukan evaluasi terhadap produk-produk redaksi merupakan rutinitas kerja. Mengukur respons pembaca terhadap konten yang disajikan adalah suatu keharusan. Cara paling sederhana untuk mengukurnya yakni dengan melihat interaksi warga melalui ruang publik dan capaian sirkulasi yang terus tumbuh.

Beberapa catatan perjalanan “Sampit Revisited” telah diterbitkan di harian Radar Sampit. Bagaimana responsnya? Pandangan indera Kusni Sulang dan Andriasni S. Kusni dalam perspektif histori Kota Sampit, kepemimpinan, tata kelola pemerintahan, kebudayaan, civil society dengan kekuatan analisisnya ternyata mendapat respons yang luar biasa.

Lewat tulisan “Sampit Revisited”, Kusni Sulang dan Andriani S. Kusni telah mengenalkan istilah JOURNALYSIS – istilah hibrida dari jurnalis dan analisis. Bahwa analisis demi kedalaman adalah keharusan. Tak punya waktu untuk menyajikan analisis? Itu alasan tak berlaku.

Sebagai koran dengan tiras terbesar di wilayah Kotawaringin, Kalimantan Tengah, kami sangat beruntung bisa bekerja sama dengan Kusni Sulang dan Andriani S. Kusni untuk memerankan media sebagai aktivis sosial dan politik, mengagendakan banyak gerakan besar, bukan sekadar institusi ekonomi. Misalnya soal kewajiban negara  memikirkan soal kepemimpinan. Buku “Sampit Revisited” cukup banyak mengulas soal kepemimpinan. Kampanye menggugah rasa cinta terhadap daerah, kritis pada kebobrokan kondisi daerah sendiri, peduli pada segala hal-ihwal Kota Sampit dan Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), dan tetap bangga dengan kekayaan kultural sendiri. Saya kira tak ada hati orang Kotim yang tak tergetar setelah membaca buku “Sampit Revisited”.

Catatan perjalanan pulang kampung Kusni Sulang dan Andriani S. Kusni banyak menyoroti berbagai masalah di Kota Sampit dan Kabupaten Kotawaringin Timur, sampai permasalahan-permasalahan itu diberi perhatian dan menemukan jalan keluarnya. Masalah-masalah di suatu daerah tentu tak satu wajah, dan cara keluar dari masalah itu juga bermacam-macam.

Saya mengajak Anda untuk membaca buku ini dan mengikuti pengalaman-pengalaman yang dialami Kusni Sulang dan Andriani S. Kusni dalam napak tilasnya di Kota Sampit. Saya berharap buku ini bisa menambah cakrawala kita tentang Sampit dan Kotawaringin Timur.

Salam Hangat, Ajid Kurniawan

Budaya Dayak: Permasalahan & Alternatifnya

cover buku budaya dayak 01

PENGANTAR

GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH

Kata Pengantar Gubernur Kalimantan Tengah

(Agustin Teras Narang, S.H.)

 Membangun Kebudayaan Berjati Diri

Komposisi kependudukan sebuah daerah, apalagi sebuah negeri, dimana pun selalu ditandai dengan kemajemukan (heterogen). Demikian halnya Republik Indonesia, sesungguhnya adalah betang bersama semua etnik, termasuk di dalamnya Provinsi Kalimantan Tengah.

Buku “Budaya Dayak: Permasalahan dan Alternatifnya” yang sekarang berada di tangan para pembaca, mencoba menyajikan olah pikir dan perenungan sejumlah cendekiawan yang telah menyediakan waktu dan pemikirannya untuk  berkumpul  mendiskusikan  masalah dan solusi persoalan kebudayaan lokal, khususnya kebudayaan Dayak di tengah-tengah kemajemukan suku bangsa. Apresiasi yang setinggi-tingginya saya sampaikan kepada para penulis, yang walaupun bukan asal etnik Dayak, seperti halnya Saudara Mgr. DR. M. Sutrisnaatmaka, MSF, Uskup Palangka Raya yang berasal dari Jawa Tengah, DR. Erwin Endaryanta dari Universitas Gadjah Mada yang berasal dari Jawa Timur yang pernah berkali-kali melakukan penelitian di Bumi Tambun Bungai, dan Sdr(i) Andriani S. Kusni, seorang arsitek dan desainer asal Makassar, atas prakarsa, jerih payah, sumbang pikir dan renungan para penulis dan cendekiawan dari berbagai daerah dan etnik sehingga dapat melahirkan buku ini.

Melalui buku ini secara nyata telah memperlihatkan kepada kita bahwa betapa kekayaan potensi bangsa beserta permasalahan suatu etnik adalah merupakan persoalan bangsa. Lebih dari itu, merupakan permasalahan mereka sendiri sebagai anak bangsa. Sikap ini merupakan sikap berkeindonesiaan yang patut dimiliki oleh semua anak negeri dan bangsa serta merupakan modal budaya bagi bangsa kita, lebih-lebih di tengah keadaan seperti ini.

Dalam buku ini, para penulis juga memandang bahwa budaya lokal merupakan modal penting yang tak bisa diabaikan dalam upaya membangun budaya nasional berjati diri dan tanggap zaman. Pemikiran kita semua, terutama menggelitik pemikiran, semangat dan intensitas kegiatan kecendekiawanan Uluh Kalteng dan cendekiawan-cendekiawa Dayak. Mengintensifkan penggalian, penelitian, pengkajian dan mempublikasian hasil-hasilnya, sehingga kearifan lokal diketahui dan menjadi sumbangan kepada upaya pembangunan budaya nasional yang tidak lepas akar.

Khazanah budaya lokal tidak akan dikenal dan disadari makna pentingnya apabila tidak diketahui dengan baik apabila tidak  digali, diteliti, dikaji dan dipublikasikan. Jika tidak, kekayaan itu akan tetap jadi sesuatu  yang terpendam.

Atas nama Pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah dan Masyarakat Kalimantan Tengah, saya mengucapkan terimakasih sekaligus juga penghargaan dan dukungan kepada upaya nyata para penulis serta penerbit yang bekerja dengan roh yang sama. Buku ini merupakan sumbangan berharga bagi Kalimantan Tengah dan Masyarakat Dayak.

Ayo itah hapakat hatantiring maatur pambelom, manggatang Utus, Amun dia wayah tuh pea hindai, amun dia Itah eweh hindai. (Mari kita bersepakat, untuk bersama-sama mensejahterakan dan mengangkat harkat serta martabat masyarakat adat Dayak, kalau bukan sekarang, kapan lagi, dan kalau bukan kita, Siapa lagi?

Semoga Tuhan Yang Maha Esa Menolong dan Menyertai kita semua.