Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah bekerja sama dengan Institute for Ecosoc Right Jakarta dan JPIC Kalimantan Tengah menyelenggarakan Pelatihan Damang dan Mantir di Kabupaten Katingan pada 19-22 November 2012 bertempat di Aula Kantor Kecamatan Katingan Hilir. Salah satu hasil pelatihan adalah terbentuknya Forum Komunikasi MA Dayak Katingan Peduli HAM dan Lingkungan Hidup.
Pernyataan Sikap dan Seruan
FORUM KOMUNIKASI MASYARAKAT ADAT DAYAK KATINGAN
Peduli HAM & Lingkungan Hidup
Kabupaten Katingan – Propinsi Kalimantan Tengah
Kami Forum Komunikasi Masyarakat Adat Dayak Katingan Peduli HAM & Lingkungan Hidup, menyadari bahwa masyarakat adat Dayak Katingan menghadapi persoalan serius dengan beroperasinya Perusahaan Besar Swasta (PBS) – HPH, perkebunan sawit dan pertambangan di wilayah Kabupaten Katingan khususnya dan Kalimantan pada umumnya. Ini berdampak pada keberlangsungan hidup masyarakat adat Dayak.
Untuk itu kami:
Menyerukan dan mengajak Masyarakat Adat Dayak di mana pun berada dan khususnya Masyarakat Adat Dayak Katingan untuk tidak lagi tinggal diam dan menyatukan diri dalam perjuangan untuk mengembalikan hak-hak masyarakat adat atas tanah, hutan, adat-budaya dan lingkungan hidup untuk keberlangsungan hidup masyarakat adat Dayak.
Mendesak Pemerintah Republik Indonesia, Pemerintah Daerah Propinsi Kalimantan Tengah, lebih khusus Pemerintah Daerah Kabupaten Katingan, untuk sepenuhnya menjalankan kewajiban menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat Katingan.
Terkait dengan keberlangsungan hidup masyarakat adat Dayak pada umumnya dan secara khusus masyarakat adat Katingan, kami menyampaikan hal-hal berikut :
Bahwa kami masyarakat adat Katingan dan sekitarnya, telah menyaksikan bagaimana hutan, sungai, bukit dan pegunungan di berbagai tempat di pulau Kalimantan telah menghilang dari kehidupan masyarakat adat. Bagi kami tidak akan ada lagi masyarakat adat Dayak apabila tidak ada lagi hutan, sungai, bukit dan pegunungan yang melekat pada identitas masyarakat adat Dayak. Kehilangan hutan, sungai, bukit dan pegunungan bagi masyarakat Dayak juga berarti penghilangan hak hidup, bukan hanya karena hak-hak dasar yang tidak lagi terpenuhi, tetapi juga hilangnya kemanusiaan dan kehidupan yang bermartabat. Apa artinya hidup kalau kehilangan martabat dan kemanusiaan.
Bahwa sejak awal masyarakat adat Dayak Katingan adalah bagian tak terpisahkan dari satu kesatuan unsur alam yang membentuk kehidupan petak-danum (tanah air) kami. Hutan, tanah, air, alam, sungai dengan segala isinya adalah Ibu kami, jiwa dan darah yang mengalirkan kehidupan kami.
Bahwa secara budaya dan alamiah (adat istiadat lokal) hidup kami masyarakat adat Dayak Katingan sudah dan harus tetap memiliki hak dan kebebasan dalam memanfaatkan dan mengelola lingkungan, sumber daya alam, serta ekosistemnya
Bahwa kelembagaan adat Dayak telah terkooptasi (di bawah pengaruh) kekuasaan negara sekaligus dilumpuhkan perannya dalam tata kehidupan kemasyarakatan adat Dayak.
Bahwa penguasa dan perusahaan memandang ekosistem (habitat) hidup kami (hutan, tanah, air, alam, sungai dan segala isinya) hanya sebagai komoditas ekonomi, sumber peningkatan keuntungan semata. Mereka hanya peduli tentang bagaimana mengeruk sebanyak-banyaknya rupiah atau dolar dari tanah dan hutan kami, sementara kesejahteraan kami terabaikan dan makin terpuruk dari hari ke hari.
Dengan ini pula, kami menyatakan sikap dan tuntutan kepada Pemerintah (pusat, provinsi dan kabupaten) dan perusahaan untuk:
Mengakui, menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak masyarakat adat dayak atas tanah, hutan, bukit dan gunung, budaya dan adat istiadat sebagai sumber kehidupan dan keberlangsungan hidup masyarakat adat sebagaimana yang tercantum dalam konvensi internasional tentang hak masyarakat adat.
Menghentikan penyalahgunaan kelembagaan adat untuk kepentingan individu, kelompok, golongan dan pihak-pihak yang berkuasa.
Menghentikan segala bentuk tindakan memecah-belah dan menguasai masyarakat adat demi mendapatkan tanah dan hutan.
Menyelesaikan berbagai bentuk pelanggaran HAM yang dialami oleh warga dan komunitas masyarakat adat Dayak.
Apabila hal-hal tersebut diabaikan, maka ketidakadilan akan terus dipelihara dan dipertahankan. Hal ini akan menjadi “bom waktu”, yang suatu saat akan meledak dan menciptakan bencana yang tak terkendali baik di daerah maupun nasional. Siapapun yang berkehendak baik, hendaknya tidak pernah melupakan berbagai konflik berdarah yang sarat pelanggaran HAM (Ambon, Poso, Papua, Sanggau Ledo, Mesuji, Sampit, dan lainnya) akibat ketidakadilan yang terus menerus dibiarkan.