Radar Sampit, Minggu, 26 Februari 2023
Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny
“Salah satu fenomena yang paling menakjubkan adalah bahwa seseorang membayangkan seseorang dapat mengharapkan pendapat independen dari orang-orang yang tergantung. Eine der erstaunlichsten Erscheinungen ist, dass man sich einbildet, von abhängigen Menschen unabhängige Meinung en erwarten zu dürfen.”
— Sigmund Graff, penulis dari Jerman 1899-1979
“Jika kebebasan berbicara diambil, maka bodoh dan diam mungkin akan membawa kita seperti domba ke pembantaian.”
— George Washington
Keterpurukan atau marjinalisasi suatu masyarakat, apalagi bersifat menyeluruh, bisa dipastikan bukanlah takdir, tetapi merupakan hasil dari suatu kebijakan politik sebagai faktor luar, dan ketidakmampuan kelompok masyarakat tersebut dalam membela, mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan serta hak-hak dasarnya sebagai faktor internal, yang memungkinkan faktor luar tersebut mewujudkan tujuannya.
Contoh dari premis ini dengan mudah bisa didapatkan dalam sejarah perkembangan masyarakat Dayak Kalimantan Tengah sehingga menjadi masyarakat yang termarjinal. Saya menyebutnya sebagai marjinalisasi total.
Salah satu saja sebagai contoh yaitu terbitnya dan berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang telah menghancurkan bentuk pemerintahan lokal masyarakat Dayak menyusul terbitnya UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965, Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ini awalnya merupakan Penetapan Presiden yang kemudian telah ditingkatkan menjadi Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969.
Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ini, pada Tambahan Lembaran Negara RI No. 2726 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 3), Bagian II Pasal Demi Pasal, Pasal 1 tertulis:
“Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini”.
Tidak disebutnya Kaharingan di dalam Tambahan Lembaran Negara RI No. 2726 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 3) tersebut berarti kepercayaan tersebut tidak diakui oleh Negara sebagai agama resmi.
Kebijakan yang dikokohkan melalui UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa telah melucuti masyarakat Dayak secara organisasi, sedangkan UU Nomor 1/PNPS/1965 melucutinya secara kebudayaan sehingga membuat masyarakat Dayak Kalteng sempurna menjadi masyarakat yatim-piatu yang tak berdaya dan berlanjut dengan marjinalisasi dengan laju arus yang deras. Karena keterpurukan demikian berlangsung sebagai hasil regulasi maka ia disebut sebagai marjinalisasi struktural.
Kalau memperhatikan pendapat-pendapat yang hidup di masyarakat, Orang Dayak Kalteng menyadari keadaan diri mereka yang terpuruk. Karena itu, muncul ungkapan ‘Manggatang Utus’, ‘Dayak Berharkat dan Bermartabat’, ‘Éla Sampai Témpun Pétak Batana Saré’ (Jangan Sampai Punya Tanah Berladang di Tepi), dan berbagai ungkapan sejenis lainnya bahkan ada yang lebih ekstrim yaitu ide tentang Borneo Merdeka.
Kesadaran demikian menyulut hasrat untuk mematahkan belenggu marjinalisasi menyeluruh itu. Berbagai organisasi Dayak Kalteng dan bahkan di seluruh benua kecil Borneo, bermunculan dengan keinginan dan mimpi serupa. Hanya saja nampaknya kesadaran akan keterpurukan menyeluruh, keberadaan sebagai masyarakat yaitim-piatu sempurna ini masih belum mampu menjadi pendorong guna terwujudnya persatuan Dayak yang solid.
Sebagai satu contoh saja adalah turunnya ke jalan “ratusan masyarakat adat dayak menggelar aksi damai, di Bundaran Besar Palangka Raya, guna menolak keberadaan organisasi masyarakat (Ormas) Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR), Jum’at (26/11/2021” yang juga dikenal sebagai Pasukan Merah pimpinan Panglima Jilah (lihat: https://kaltengtoday.com/ratusan-masyarakat-adat-dayak-gelar-aksi-damai-tolak-keberadaan-ormas-tbbr/).
Dayak mendemo Dayak, padahal katanya sama-sama berjuang untuk Dayak Berharkat dan Bermartabat. Demi Manggatang Utus. Padahal jika benar-benar mempunyai keinginan kuat yang demikian, Dayak Berharkat dan Bermartabat dan Manggatang Utus sudah bisa menjadi ide pemersatu yang kuat dan masuk akal serta diletakkan di tempat utama dan pertama.
Sulitnya Orang Dayak bersatu ini menjadi rintangan utama untuk keluar dari lingkaran keterpinggiran menyeluruh dan menjadikan keinginan seluruh strata masyarakat Dayak yang demikian tak ubah seperti si Pongang di daerah pegunungan yang hilang sendiri di antara belantara dan di dasar lembah. Atau seperti teriakan-teriakan keras seseorang di antara deru kendaraan lalu-lalang di jalan raya.
Lagi-lagi dan kembali saya teringat akan curhat Tjilik Riwut alm. bahwa “tidak gampang mengurus Dayak”, ingatan yang seyogyanya mendorong para pencinta kemanusiaan dan tanah air untuk tidak menyerah tapi melanjutkan pekerjaan besar seberapa masing-masing bisa. Apalagi bagi Dayak yang dikutuk jadi prajurit petarung, berhakekat ‘tidak ada kata pensiun’.
Kalau penyair Chairil Anwar menulis “Yang bukan penyair, minggir!”, dalam konteks masyarakat Dayak Kalteng hari ini, saya ingin mengatakan “Yang tak mau bersatu untuk urusan besar Manggatang Utus, bukanlah Dayak!”
Manggatang Utus niscayanya menjadi patokan tertinggi dalam mengurus Kalteng, baik bagi individu yang merasa dan berempati pada Dayak, maupun bagi organisasi Dayak dan lebih-lebih bagi penyelenggara Negara yang Dayak dan paham sejarah Dayak serta Kalteng sehingga ide mendirikan Kalteng pada 1957 silam tidak berubah menjadi distopia.
Mengapa persatuan solid Dayak begitu sulit diwujudkan walaupun ide pemersatu yang rasional sebenarnya sudah tersedia dan diterima oleh banyak orang Dayak yaitu ‘Manggatang Utus’?
Saya berhipotesa hal ini disebabkan antara lain oleh:
- Pola pikir dan mentalitas ‘uras pangkalima’ (semua panglima) sebagaimana ditunjukkan oleh kisah Maharaja dan Tamanggung yang membiarkan perahu mereka tenggelam karena tak seorang pun mereka yang rendah hati mau menimbanya. Pola pikir dan mentalitas begini lahir dari keadaan sosial-ekonomi pertama-tama sebagai pemburu dan setelah sedenter mereka memiliki kepingan lahan luas untuk digarap. Saat menjadi petani, umumnya pola pikir dan mentalitas petani bercorak individualis sehingga secara ekonomi mereka tidak tergantung pada pihak manapun. Dengan dasar kepemilikan alat-alat produksi begini, pada dasarnya Orang Dayak itu berkarakter individualis. Handep hakekatnya bukanlah solidaritas murni tapi barter tenaga kerja atau jasa. Misal, ketika saya membuka ladang, saya memerlukan bantuan orang sekampung. Jika pada saat warga kampung lainnya membuka ladangnya, suatu kewajiban bagi saya untuk membantunya. Jika tidak, saya akan mendapat sanksi sosial dituding sebagai tidak beradat yang bisa berbuntut dikucilkan dalam pergaulan kampung. Orang-orang yang individualis tentu tidak gampang diorganisir. Barangkali, ini pula sebabnya mengapa hari ini tidak ada organisasi Dayak yang kuat dan berpengaruh penting. Padahal untuk melakukan perubahan maju tidak mungkin dilakukan serta mencapai tujuan dengan seorang diri. Pangkalima dari semua pangkalima atau kepala suku adalah dia yang unggul dan teruji dalam menghadapi serta menangani kesulitan atau marabahaya. Dia adalah tokoh primus inter pares. Masyarakat dengan tokoh pemimpin seperti ini rentan terjerumus ke kultus individu dan fasisme. Untuk masa sekarang, primus inter pares itu adalah mereka yang berpunya, berpendidikan tinggi dan mempunyai kedudukan di pemerintahan. Gejala dan upaya membangun dinasti politik dan ekonomi atau oligarki di Kalteng, kiranya bisa dipahami dari segi ini. Demikian juga gejala pameran gelar akademi pada nama bisa ditelisik dari latar belakang budaya dan sejarah yang demikian. Sementara pentingnya posisi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tercermin dari pandangan bahwa seseorang itu baru jadi orang apabila ia mendapat zona aman sebagai Pegawai Negeri Sipil. Mantan gubernur, kepala dinas, sekretaris daerah, tetap dipandang sebagai tokoh masyarakat kendati tanpa prestasi berarti apapun kepada masyarakat kecuali peningkatan jumlah harta-benda. Kekayaan, tingkat pendidikan (di sini saya tidak memasuki masalah pendidikan di Kalteng yang tentu saja bukan tanpa persoalan) dan jabatan merupakan faktor-faktor yang menempatkan seseorang sebagai tokoh atau primus inter pares di Kalteng hari ini.
- ‘Diá jadi bari’ (Tidak jadi nasi). Pada tahun 1990-an, di rumah kontrakan saya di Jalan Rajawali, Palangka Raya, berlangsung pertemuan dengan sejumlah LSM dari seluruh Kalimantan Indonesia. Ketika saya mengetengahkan masalah standar ‘diá jadi bari’ ini, semua peserta, dari berbagai provinsi, tanpa kecuali, mengatakan telah mengalami hal serupa. Sesuatu dianggap berguna apabila sesuatu itu bisa ‘menjadi nasi’. Saya memahami keadaan ini sebagai bentuk budaya kemiskinan yang melahirkan kemiskinan budaya akibat berlangsungnya proses pemiskinan dalam masyarakat sekalipun pertumbuhan ekonomi daerah meningkat. Invasi masif investor ke Kalteng sampai hari ini, tidak atau katakanlah belum membawa kesejahteraan bagi Orang Dayak. Yang konkret terjadi, lahan garapan makin menyempit (di sini angka-angkanya tidak saya sertakan), perampasan tanah terus berlangsung baik secara terbuka ataupun terselubung, kerusakan alam berkembang cepat, banjir dan kebakaran hutan silih berganti, dan sebagainya, bermula dari serbuan HPH tahun 70-an. Situasi yang dilahirkan oleh kebijakan politik-ekonomi Jakarta yang demikian, menabur wabah kemiskinan dan melahirkan pola pikir dan mentalitas ‘diá jadi bari’ yang hedonistik. Varian pandangan dan mentalitas ini, kemudian saya dapatkan ketika setahun lebih berada di daerah perdesaan Kabupaten Kotawaringin Timur. Di kabupaten ini, saya dapatkan di kalangan Orang Dayak dan organisasi Dayak, ungkapan ‘maju tak gentar membela yang bayar’. Artinya, yang jadi pedoman dalam berkegiatan di sini adalah adanya uang diterima sebagai bayaran kegiatan. Bukan prinsip atau ide ‘Manggatang Utus’. Pandangan ini memungkinkan kian terbukanya peluang menjual diri kepada yang membayar. Di daerah perdesaan kabupaten lain pun hedonisme begini, lagi-lagi dan kembali saya dapatkan dalam berbagai bentuk. Bahkan, saya dapatkan juga pemangku adat yang jadi humas perusahaan besar swasta di tengah kericuhan kriminalisasi para petani dan konflik tenurial. Berkembangnya hedonisme, konsep dan mentalitas ‘diá jadi bari’ secara nyata menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan dan kemanusiaan itu sendiri telah direduksi hingga ke taraf yang demikian rendah. Pertanyaannya, mungkinkah organisasi-organisasi Dayak berkembang kuat dengan menerapkan hedonisme demikian? Bagaimana mungkin dengan hedonisme, Orang Dayak mencapai tujuan ‘Manggatang Utus’? Sebaliknya, bukan tidak mungkin, dengan menguatnya konsep dan mentalitas ‘diá jadi bari’, organisasi-organisasi Dayak dibeli dan disusupi kemudian menjelma jadi ‘watch dog’ yang membayar. Akibat yang lebih mengerikan dari penerapan konsep dan mentalitas ‘diá jadi bari’ ini adalah perseteruan hingga meletusnya perkelahian berdarah antar sesama Dayak dengan akibat keterpinggiran pun kian menjadi. Gejala perseteruan dan perkelahian sesama Dayak karena jadi bidak yang membayar, saya kira bukanlah khayalan sebagaimana diperlihatkan oleh berita-berita dalam media massa, baik cetak maupun elektronik pada tahun 2021 lalu. Untuk bisa leluasa mengeruk kekayaan bumi benua kecil bernama Kalimantan, meminggirkan Dayak memang sesuatu yang diperlukan. Keperluan peminggiran Dayak ini kian mendesak ketika Ibu Kota Negara dipindahkan ke pulau raya kita. Janji tidak ‘di-Betawi-kan’ bukanlah kata-kata yang bisa dipegang dan Dayak tidak perlu berpegang pada janji demikian sebab yang terpenting adalah bagaimana menguatkan diri secara nyata.
Adakah jalan itu?
Tentu saja ada. Dan jalan tersebut saya namakan ‘Jalan Independen Manggatang Utus’. Bukan Jalan Netral.
Independen artinya seperti dikatakan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “a 1. yang berdiri sendiri; yang berjiwa bebas; 2. tidak terikat pada pihak lain: organisasi kemasyarakatan itu tetap bersikap –, tidak larut dalam kekuasaan (https://kbbi.web.id/independen). Sedang netral/net·ral/ /nétral/ berarti ”a 1. tidak berpihak (tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak): kepala negara harus tetap — menghadapi pertentangan antarpartai; 2. tidak berwarna (dapat dipakai untuk segala warna): semir sepatu berwarna hitam, cokelat, — , dan merah; 3. Ling tidak dalam kelompok jantan atau betina (tentang kata-kata); 4. menunjukkan sifat yang secara kimia tidak asam dan tidak basa; 5. cak bebas; tidak terikat (oleh pekerjaan, perkawinan, dan sebagainya): saya sudah – sekarang (https://kbbi.web.id/netral).
Organisasi Dayak Independen artinya organisasi Dayak yang tidak terikat pada pihak lain, tidak larut dalam kekuasaan. Organisasi yang berdiri sendiri. Ide pemersatu, pedoman tertinggi, sekaligus menjadi tujuan organisasi-organisasi itu adalah ‘Manggatang Utus’, ‘Dayak Berharkat dan Bermartabat’, ‘Dayak Zamani’.
Dalam sejarah Dayak, persatuan kuat untuk mencapai tujuan bersama pernah berlangsung yaitu pada tahun 1957 melalui organisasi perlawanan Gerakan Mandau Talawang Panca Sila (GMTPS) untuk mendirikan Kalteng sebagai provinsi otonom. Dan berhasil. Maka adalah suatu ironi ketika Provinsi Kalteng yang diperjuangkan melalui perjuangan bersenjata, sekarang menjadi terpuruk. Dayak memakan Dayak. Dayak mengkhianati Dayak. Dayak menghancurkan dirinya sendiri.
Dituturkan oleh sejarah lisan Dayak Kalteng bahwa Tambun-Bungai itu dadanya selebar tujuh jengkal. Bupati Gunung Mas periode 2008-2013, Hambit Bintih (alm.) mengatakan pada saya bahwa gambaran demikian adalah bohong besar. Saya katakan padanya bahwa lukisan demikian adalah metafora yang berarti bahwa seorang pemimpin, seorang Dayak itu perlu berdada lebar, lapang dada, agar bisa merangkul banyak orang demi terwujudnya perubahan maju. Organisasi Dayak Independen memerlukan Dayak-Dayak yang berdada ‘tujuh jengkal’, mampu mengembarai pikiran dan perasaan sesama sebagai cara bersatu karena usaha besar mulia tidak mungkin dilakukan seorang diri.
Belajar dari sejarah perjuangan Amer-Indian dan juga Amerika Hitam terutama Rev. Martin Luther King, dalam perjuangan Manggatang Utus, persatuan itu bukan hanya digalang di kalangan Dayak, tetapi juga dengan mereka yang senasib dengan Dayak. Dayak adalah simbol saja dari para mereka yang terpuruk. Konsekuensinya maka yang dimaksud dengan ‘Dayak’ adalah ‘Dayak secara budaya dan genealogis dan mereka yang senasib dengan Dayak’. Sejarah Sjarikat Dajak (1919) dan Pakat Dajak (1926) mengatakan demikian.
Apakah organisasi-organisasi Dayak kita, termasuk yang disebut organisasi kelembagaan adat Dayak sekarang merupakan organisasi-organisasi independen atau hanya menjadi kuda tunggangan kepentingan, terutama kepentingan-kepentingan politik-ekonomi pihak-pihak tertentu?
Mengabaikan independensi, boleh jadi akan berujung dengan pengabaian cita-cita Manggatang Utus. Dayak Zamani, Berharkat dan Bermartabat menjadi sama dengan distopia, awal dari jalan Dayak menuju daerah reservasi.
Amboi, Dayak Benua Kecilku! Kau kah itu yang dikatakan Rendra “anak burung yang terjatuh dari sarangnya”? Kalau demikian, mengutip George Washington, “maka bodoh dan diam mungkin akan membawa kita seperti domba ke pembantaian”.[***]