Catatan Kusni Sulang | Jalan Indepénden Manggatang Utus

Radar Sampit, Minggu, 26 Februari 2023

Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

“Salah satu fenomena yang paling menakjubkan adalah bahwa seseorang membayangkan seseorang dapat mengharapkan pendapat independen dari orang-orang yang tergantung. Eine der erstaunlichsten Erscheinungen ist, dass man sich einbildet, von abhängigen Menschen unabhängige Meinung en erwarten zu dürfen.”
—     Sigmund Graff, penulis dari Jerman 1899-1979

“Jika kebebasan berbicara diambil, maka bodoh dan diam mungkin akan membawa kita seperti domba ke pembantaian.”
—     George Washington
Patung Pembebasan Irian Barat dari perunggu karya Edhy Sunarso. Pesan sentral yang ingin disampaikan oleh patung ini adalah tentang pentingnya kebebasan, baik berpikir ataupun bertindak. Foto: mutualart.com

Unjuk rasa sejumlah organisasi Dayak Kalteng di Palangka Raya, Jum’at 26/11/2021, menolak kehadiran Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR) yang yang juga dikenal sebagai Pasukan Merah. Pertanyaannya, apakah unjuk rasa ini unjuk rasa independen? Berangkat dari kepentingan apa dan siapa?  Foto: kaltengtoday.com

Keterpurukan atau marjinalisasi suatu masyarakat, apalagi bersifat menyeluruh, bisa dipastikan bukanlah takdir, tetapi merupakan hasil dari suatu kebijakan politik sebagai faktor luar, dan ketidakmampuan kelompok masyarakat tersebut dalam membela, mempertahankan dan memperjuangkan kepentingan serta hak-hak dasarnya sebagai faktor internal, yang memungkinkan faktor luar tersebut mewujudkan tujuannya.

Contoh dari premis ini dengan mudah bisa didapatkan dalam sejarah perkembangan masyarakat  Dayak Kalimantan Tengah sehingga menjadi masyarakat yang termarjinal. Saya menyebutnya sebagai marjinalisasi total.

Salah satu saja sebagai contoh yaitu terbitnya dan berlakunya Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa yang telah menghancurkan bentuk pemerintahan lokal masyarakat Dayak menyusul terbitnya UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965, Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama. Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ini awalnya merupakan Penetapan Presiden yang kemudian telah ditingkatkan menjadi Undang-Undang melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969.

Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 ini, pada Tambahan Lembaran Negara RI No. 2726 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 3), Bagian II Pasal Demi Pasal, Pasal 1 tertulis:

Agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia ialah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu (Confusius). Hal ini dapat dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama-agama di Indonesia. Karena 6 macam Agama ini adalah agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia, maka kecuali mereka mendapat jaminan seperti yang diberikan oleh pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar, juga mereka mendapat bantuan-bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan oleh pasal ini”.

Tidak disebutnya Kaharingan di dalam Tambahan Lembaran Negara RI No. 2726 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 1965 Nomor 3) tersebut berarti kepercayaan tersebut tidak diakui oleh Negara sebagai agama resmi.

Kebijakan yang dikokohkan melalui UU Nomor 5 Tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa telah melucuti masyarakat Dayak secara organisasi, sedangkan UU Nomor 1/PNPS/1965  melucutinya secara kebudayaan sehingga membuat masyarakat Dayak Kalteng sempurna menjadi masyarakat yatim-piatu yang tak berdaya dan berlanjut dengan marjinalisasi dengan laju arus yang deras. Karena keterpurukan demikian berlangsung sebagai hasil regulasi maka ia disebut sebagai marjinalisasi struktural.

Kalau memperhatikan pendapat-pendapat yang hidup di masyarakat, Orang Dayak Kalteng menyadari keadaan diri mereka yang terpuruk. Karena itu, muncul ungkapan ‘Manggatang Utus’, ‘Dayak Berharkat dan Bermartabat’, ‘Éla Sampai Témpun Pétak Batana Saré’ (Jangan Sampai Punya Tanah Berladang di Tepi), dan berbagai ungkapan sejenis lainnya bahkan ada yang lebih ekstrim yaitu ide tentang Borneo Merdeka.

Kesadaran demikian menyulut hasrat untuk mematahkan belenggu marjinalisasi menyeluruh itu. Berbagai organisasi Dayak Kalteng dan bahkan di seluruh benua kecil Borneo, bermunculan dengan keinginan dan mimpi serupa. Hanya saja nampaknya kesadaran akan keterpurukan menyeluruh, keberadaan sebagai masyarakat yaitim-piatu sempurna ini masih belum mampu menjadi pendorong guna terwujudnya persatuan Dayak yang solid.

Sebagai satu contoh saja adalah turunnya ke jalan “ratusan masyarakat adat dayak menggelar aksi damai, di Bundaran Besar Palangka Raya, guna menolak keberadaan organisasi masyarakat (Ormas) Tariu Borneo Bangkule Rajakng (TBBR), Jum’at (26/11/2021” yang juga dikenal sebagai Pasukan Merah pimpinan Panglima Jilah (lihat: https://kaltengtoday.com/ratusan-masyarakat-adat-dayak-gelar-aksi-damai-tolak-keberadaan-ormas-tbbr/).

Dayak mendemo Dayak, padahal katanya sama-sama berjuang untuk Dayak Berharkat dan Bermartabat. Demi Manggatang Utus. Padahal jika benar-benar mempunyai keinginan kuat yang demikian, Dayak Berharkat dan Bermartabat dan Manggatang Utus sudah bisa menjadi ide pemersatu yang kuat dan masuk akal serta diletakkan di tempat utama dan pertama.

Sulitnya Orang Dayak bersatu ini menjadi rintangan utama untuk keluar dari lingkaran keterpinggiran menyeluruh dan menjadikan keinginan seluruh strata  masyarakat Dayak yang demikian tak ubah seperti si Pongang di daerah pegunungan yang hilang sendiri di antara belantara dan di dasar lembah. Atau seperti teriakan-teriakan keras seseorang di antara deru kendaraan lalu-lalang di jalan raya.

Lagi-lagi dan kembali saya teringat akan curhat Tjilik Riwut alm. bahwa “tidak gampang mengurus Dayak”, ingatan yang seyogyanya mendorong para pencinta kemanusiaan dan tanah air untuk tidak menyerah tapi melanjutkan pekerjaan besar seberapa masing-masing bisa. Apalagi bagi Dayak yang dikutuk jadi prajurit petarung, berhakekat ‘tidak  ada kata pensiun’.

Kalau penyair Chairil Anwar menulis “Yang bukan penyair, minggir!”, dalam konteks masyarakat Dayak Kalteng hari  ini, saya ingin mengatakan “Yang tak mau bersatu untuk urusan besar Manggatang Utus, bukanlah Dayak!”

Manggatang Utus niscayanya menjadi patokan tertinggi dalam mengurus Kalteng, baik bagi individu yang merasa dan berempati pada Dayak, maupun bagi organisasi Dayak dan lebih-lebih bagi penyelenggara Negara yang Dayak dan paham sejarah Dayak serta Kalteng sehingga ide mendirikan Kalteng pada 1957 silam tidak berubah menjadi distopia.

Mengapa persatuan solid Dayak begitu sulit diwujudkan walaupun ide pemersatu yang rasional sebenarnya sudah tersedia dan diterima oleh banyak orang Dayak yaitu ‘Manggatang Utus’?

Saya berhipotesa hal ini  disebabkan antara lain oleh:

  1. Pola pikir dan mentalitas ‘uras pangkalima’ (semua panglima) sebagaimana ditunjukkan oleh kisah Maharaja dan Tamanggung yang membiarkan perahu mereka tenggelam karena tak seorang pun mereka yang rendah hati mau menimbanya. Pola pikir dan mentalitas begini lahir dari keadaan sosial-ekonomi pertama-tama sebagai pemburu dan setelah sedenter mereka memiliki kepingan lahan luas untuk digarap. Saat menjadi petani, umumnya pola pikir dan mentalitas petani bercorak  individualis sehingga secara ekonomi mereka tidak tergantung pada pihak manapun. Dengan dasar kepemilikan alat-alat produksi begini, pada dasarnya Orang Dayak itu berkarakter individualis. Handep hakekatnya bukanlah solidaritas murni tapi barter tenaga kerja atau jasa. Misal, ketika saya membuka ladang, saya memerlukan bantuan orang sekampung. Jika pada saat warga kampung lainnya membuka ladangnya, suatu kewajiban bagi saya untuk membantunya. Jika tidak, saya akan mendapat sanksi sosial dituding sebagai tidak beradat yang bisa berbuntut dikucilkan dalam pergaulan kampung. Orang-orang  yang individualis tentu tidak gampang diorganisir. Barangkali, ini pula sebabnya mengapa hari ini tidak ada organisasi Dayak yang kuat dan berpengaruh penting. Padahal untuk melakukan perubahan maju tidak mungkin dilakukan serta mencapai tujuan dengan seorang diri. Pangkalima dari semua pangkalima atau kepala suku adalah dia yang unggul dan teruji dalam menghadapi serta menangani kesulitan atau marabahaya. Dia adalah tokoh primus inter pares. Masyarakat dengan tokoh pemimpin seperti ini rentan terjerumus ke kultus individu dan fasisme. Untuk masa sekarang, primus inter pares itu adalah mereka yang berpunya, berpendidikan tinggi dan mempunyai kedudukan di pemerintahan. Gejala dan upaya membangun dinasti politik dan ekonomi atau oligarki di Kalteng, kiranya bisa dipahami dari segi ini. Demikian juga gejala pameran gelar akademi pada nama bisa ditelisik dari latar belakang budaya dan sejarah yang demikian. Sementara pentingnya posisi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) tercermin dari pandangan bahwa seseorang itu baru jadi orang apabila ia mendapat zona aman sebagai Pegawai Negeri Sipil. Mantan gubernur, kepala dinas, sekretaris daerah, tetap dipandang sebagai tokoh masyarakat kendati tanpa prestasi berarti apapun kepada masyarakat kecuali peningkatan jumlah harta-benda. Kekayaan, tingkat pendidikan (di sini saya tidak memasuki masalah pendidikan di Kalteng yang tentu saja bukan tanpa persoalan) dan jabatan merupakan faktor-faktor yang menempatkan seseorang sebagai tokoh atau primus inter pares di Kalteng hari ini.
  2. ‘Diá jadi bari’ (Tidak jadi nasi). Pada tahun 1990-an, di rumah kontrakan saya di Jalan Rajawali, Palangka Raya, berlangsung pertemuan dengan sejumlah LSM dari seluruh Kalimantan Indonesia. Ketika saya mengetengahkan masalah standar ‘diá jadi bari’ ini, semua peserta, dari berbagai provinsi, tanpa kecuali, mengatakan telah mengalami hal serupa. Sesuatu dianggap berguna apabila sesuatu itu bisa ‘menjadi nasi’. Saya memahami keadaan ini sebagai bentuk budaya kemiskinan yang melahirkan kemiskinan budaya akibat berlangsungnya proses pemiskinan dalam masyarakat sekalipun pertumbuhan ekonomi daerah meningkat. Invasi masif investor ke Kalteng sampai hari ini, tidak atau katakanlah belum membawa kesejahteraan bagi Orang Dayak. Yang konkret terjadi, lahan garapan makin menyempit (di sini angka-angkanya tidak saya sertakan), perampasan tanah terus berlangsung baik secara terbuka ataupun terselubung, kerusakan alam berkembang cepat, banjir dan kebakaran hutan silih berganti, dan sebagainya, bermula dari serbuan HPH tahun 70-an. Situasi yang dilahirkan oleh kebijakan politik-ekonomi Jakarta yang demikian, menabur wabah kemiskinan dan melahirkan pola pikir dan mentalitas ‘diá jadi bari’ yang hedonistik. Varian pandangan dan mentalitas ini, kemudian saya dapatkan ketika setahun lebih berada di daerah perdesaan Kabupaten Kotawaringin Timur. Di kabupaten ini, saya dapatkan di kalangan Orang Dayak dan organisasi Dayak, ungkapan ‘maju tak gentar membela yang bayar’. Artinya, yang jadi pedoman dalam berkegiatan di sini adalah adanya uang diterima sebagai bayaran kegiatan. Bukan prinsip atau ide ‘Manggatang Utus’. Pandangan ini memungkinkan kian terbukanya peluang menjual diri kepada yang membayar. Di daerah perdesaan kabupaten lain pun hedonisme begini, lagi-lagi dan kembali saya dapatkan dalam berbagai bentuk. Bahkan, saya dapatkan juga pemangku adat yang jadi humas perusahaan besar swasta di tengah kericuhan kriminalisasi para petani dan konflik tenurial. Berkembangnya hedonisme, konsep dan mentalitas ‘diá jadi bari’ secara nyata menunjukkan nilai-nilai kemanusiaan dan kemanusiaan itu sendiri telah direduksi hingga ke taraf yang demikian rendah. Pertanyaannya, mungkinkah organisasi-organisasi Dayak berkembang kuat dengan menerapkan hedonisme demikian? Bagaimana mungkin dengan hedonisme, Orang Dayak mencapai tujuan ‘Manggatang Utus’? Sebaliknya, bukan tidak mungkin, dengan menguatnya konsep dan mentalitas ‘diá jadi bari’, organisasi-organisasi Dayak dibeli dan disusupi kemudian menjelma jadi ‘watch dog’ yang membayar. Akibat yang lebih mengerikan dari penerapan konsep dan mentalitas ‘diá jadi bari’ ini adalah perseteruan hingga meletusnya perkelahian berdarah antar sesama Dayak dengan akibat keterpinggiran pun kian menjadi. Gejala perseteruan dan perkelahian sesama Dayak karena jadi bidak yang membayar, saya kira bukanlah khayalan sebagaimana diperlihatkan oleh berita-berita dalam media massa, baik cetak maupun elektronik pada tahun 2021 lalu. Untuk bisa leluasa mengeruk kekayaan bumi benua kecil bernama Kalimantan, meminggirkan Dayak memang sesuatu yang diperlukan. Keperluan peminggiran Dayak ini kian mendesak ketika Ibu Kota Negara dipindahkan ke pulau raya kita. Janji tidak ‘di-Betawi-kan’ bukanlah kata-kata yang bisa dipegang dan Dayak tidak perlu berpegang pada janji demikian sebab yang terpenting adalah bagaimana menguatkan diri secara nyata.

Adakah jalan itu?

Tentu saja ada. Dan jalan tersebut saya namakan ‘Jalan Independen Manggatang Utus’. Bukan Jalan Netral.

Independen artinya seperti dikatakan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) “a 1. yang berdiri sendiri; yang berjiwa bebas; 2. tidak terikat pada pihak lain: organisasi kemasyarakatan itu tetap bersikap –, tidak larut dalam kekuasaan (https://kbbi.web.id/independen). Sedang netral/net·ral/ /nétral/ berarti ”a 1. tidak berpihak (tidak ikut atau tidak membantu salah satu pihak): kepala negara harus tetap — menghadapi pertentangan antarpartai; 2. tidak berwarna (dapat dipakai untuk segala warna): semir sepatu berwarna hitam, cokelat, — , dan merah; 3. Ling tidak dalam kelompok jantan atau betina (tentang kata-kata); 4. menunjukkan sifat yang secara kimia tidak asam dan tidak basa; 5. cak bebas; tidak terikat (oleh pekerjaan, perkawinan, dan sebagainya): saya sudah – sekarang (https://kbbi.web.id/netral).

Organisasi Dayak Independen artinya organisasi Dayak yang tidak terikat pada pihak lain, tidak larut dalam kekuasaan. Organisasi yang berdiri sendiri. Ide pemersatu, pedoman tertinggi, sekaligus menjadi tujuan organisasi-organisasi itu adalah ‘Manggatang Utus’, ‘Dayak Berharkat dan Bermartabat’, ‘Dayak Zamani’.

Dalam sejarah Dayak, persatuan kuat untuk mencapai tujuan bersama pernah berlangsung yaitu pada tahun 1957 melalui organisasi perlawanan Gerakan Mandau Talawang Panca Sila (GMTPS) untuk mendirikan Kalteng sebagai provinsi otonom. Dan berhasil. Maka adalah suatu ironi ketika Provinsi Kalteng yang diperjuangkan melalui perjuangan bersenjata, sekarang menjadi terpuruk. Dayak memakan Dayak. Dayak mengkhianati Dayak. Dayak menghancurkan dirinya sendiri.

Dituturkan oleh sejarah lisan Dayak Kalteng bahwa Tambun-Bungai itu dadanya selebar tujuh jengkal. Bupati Gunung Mas periode 2008-2013, Hambit Bintih (alm.) mengatakan pada saya bahwa gambaran demikian adalah bohong besar. Saya katakan padanya bahwa lukisan demikian adalah metafora yang berarti bahwa seorang pemimpin, seorang Dayak itu perlu berdada lebar, lapang dada, agar bisa merangkul banyak orang demi terwujudnya perubahan maju. Organisasi Dayak Independen memerlukan Dayak-Dayak yang berdada ‘tujuh jengkal’, mampu mengembarai pikiran dan perasaan sesama sebagai cara bersatu karena usaha besar mulia tidak mungkin dilakukan seorang diri.

Belajar dari sejarah perjuangan Amer-Indian dan juga Amerika Hitam terutama Rev. Martin Luther King, dalam perjuangan Manggatang Utus, persatuan itu bukan hanya digalang di kalangan Dayak, tetapi juga dengan mereka yang senasib dengan Dayak. Dayak adalah simbol saja dari para mereka yang terpuruk. Konsekuensinya maka yang dimaksud dengan ‘Dayak’ adalah ‘Dayak secara budaya dan genealogis dan mereka yang senasib dengan Dayak’. Sejarah Sjarikat Dajak (1919) dan Pakat Dajak (1926) mengatakan demikian.

Apakah organisasi-organisasi Dayak kita, termasuk yang disebut organisasi kelembagaan adat Dayak sekarang merupakan organisasi-organisasi independen atau hanya menjadi kuda tunggangan kepentingan, terutama kepentingan-kepentingan politik-ekonomi pihak-pihak tertentu?

Mengabaikan independensi, boleh jadi akan berujung dengan pengabaian cita-cita Manggatang Utus. Dayak Zamani, Berharkat dan Bermartabat menjadi sama dengan distopia, awal dari jalan Dayak menuju daerah reservasi.

Amboi, Dayak Benua Kecilku! Kau kah itu yang dikatakan Rendra “anak burung yang terjatuh dari sarangnya”? Kalau demikian, mengutip George Washington, “maka bodoh dan diam mungkin akan membawa kita seperti domba ke pembantaian”.[***]


Halaman Masyarakat Adat Radar Sampit Asuhan Kusni Sulang-Andriani SJ Kusni

Catatan Kebudayaan Andriani SJ Kusni | Gejala Perkembangan Sastra Dayak Ngaju

Radar Sampit, Minggu, 19 Februari 2023

Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

“Kenyamanan tanpa sastra adalah kematian. Otium sine litteris mors est.”
–          Lucius Annaeus Seneca (4 SM-65 M), filsuf Stoik, negarawan dan penulis drama pada Zaman Perak sastra Latin, kelahiran Cordoba, Spanyol

“Tujuan seni adalah membersihkan debu kehidupan sehari-hari dari jiwa kita.”
–          Pablo Picasso, pelukis kelahiran Spanyol

Desy, juara pertama lomba karungut pada Festival Budaya Mihing Manasa Kabupaten Gunung Mas, pengajar karungut pada Sakula Budaya Bétang Tarung Desa Linau, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas. Foto: Kusni Sulang/2023

Peserta Sakula Budaya Bétang Tarung Desa Linau, sedang berlatih main (seni bela diri Dayak). Foto: Kusni Sulang /2023

Pengajar dan peserta Sakula Budaya Bétang Tarung Desa Linau, Kecamatan Rungan, berfoto bersama seusai acara pembukaan. Dok.: Kusni Sulang/2023

Ketika kembali dari pekerjaan di daerah perdesaan, Kusni Sulang datang dengan membawa ratusan lirik karungut dalam bahasa Dayak Ngaju karya Kalpino D. Ijau, seorang pemuka tertua di Desa Linau, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas. Ratusan lirik karungut itu sudah dijilid rapi, berjudul Karungut Salundik Tumbang Jutuh menuturkan berbagai kisah yang hidup di sekitar Desa Linau.

Secara bentuk, mulai dari jumlah kata, suku kata, persajakan sampai kepada jumlah baris, karungut mempunyai kesamaan dengan syair, bukan pantun. Karena karungut, umumnya tidak menggunakan sampiran, tapi langsung masuk ke substansi.

Sebagai salah satu medium pengungkapan diri yang sangat populer di kalangan masyarakat Dayak Kalimantan Tengah (Kalteng), baik di kota maupun di desa hingga hari ini, terutama di kalangan suku Dayak Ngaju, karungut umumnya dinyanyikan, diiringi oleh kecapi, rebab, gong, suling bambu dan kangkanong (kenong).

Para penumpang pesawat udara yang mendarat di Bandara Tjilik Riwut, Palangka Raya, akan disambut dengan alunan musik karungut. Dalam perkembangan terakhir, instrumen pengiring oleh sementara grup dibawakan dengan iringan gitar atau keyboard.

Popularitas karungut yang sedemikian rupa itu, barangkali ada kaitannya dengan peran semula karungut dalam kehidupan Orang Dayak.

Dahoeloe, karungut dalam Bahasa Sangen digunakan dalam upacara-upacara Kaharingan sedangkan pada waktu itu, mayoritas Orang Dayak menganut kepercayaan tersebut. Popularitas demikian merupakan warisan sejarah kebudayaan Dayak.

Sebagai kosakata, menurut Andianto yang dikutip oleh Dunis Iper, karungut berasal dari kata karunya dalam bahasa Sangiang atau bahasa Sangen (bahasa Ngaju Kuno) yang berarti  ‘tembang atau nyanyian’ (lihat: Dunis Iper, Karimun Nyamat, Montoi. Tema, Amanat, dan Nilai Budaya Karungut Wajib Belajar 9 Tahun dalam Sastra Dayak Ngaju, Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2003).

Hanya saja, mengindonesiakan karungut sebagai tembang atau nyanyian boleh jadi tidak sepenuhnya tepat, kecuali jika diimbuhkan keterangan ‘lagu atau nyanyian dalam irama tertentu’. Apalagi dalam sastra lisan, terdapat bentuk lain puisi yang dinyanyikan dan  masih hidup hingga sekarang, misalnya sansana kayau, deder, dégu, dan lain-lain.

Terjemahan’ karungut’ sebagai sinonim dari ‘tembang’ atau ‘nyanyian’ bisa diterima sekedar untuk memudahkan komunikasi. Dalam hal ini, boleh jadi akan ada relevansinya jika kita membandingkan puisi-puisi Tiongkok yang diimbuhi dengan keterangan seperti dalam irama Ching Ping Lo, Shen Yuan Chun, Pu Sa Man, dan lain-lain.

Prof. Dr. Ir. Mohammad Nuh, DEA, saat menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, pada tanggal 16 Desember 2013 dengan Nomor Registrasi: 192870/MPK.F/DO/2013 menetapkan karungut sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia (https://kebudayaan.kemdikbud. go.id /bpnbkalbar/wp-content/uploads/sites/22/2017/06/KARUNGUT.pdf).

Yang menjadi pertanyaan, setelah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia, lalu apa tindak lanjut penetapan tersebut yang dilakukan oleh para pihak terkait untuk perkembangan hidup karungut itu sendiri? Apakah berhenti pada kebanggaan saja?

Catatan ini tidak bermaksud menjawab pertanyaan tersebut karena yang ingin dibicarakan adalah karungut sebagai karya sastra, bukan sebagai karya musik sekalipun album-album karungut sudah banyak tersebar di media sosial dan dijual di pasar–perkembangan baru yang layak didiskusikan.

Sastra Dayak Ngaju umumnya adalah sastra lisan. Secara umum bisa dikatakan bahwa Dayak tidak mengenal aksara walaupun sementara peneliti asing pernah menemukan semacam bentuk aksara dimasyarakat Dayak Iban.

Dalam masyarakat non-aksara dan agraris primer, agaknya karya-karya berbentuk prosa seperti cerpen panjang, novel atau roman, langka terdapat. Barangkali kelangkaan ini berkaitan dengan daya ingat manusia ketika bertutur ulang guna mentransferkannya ke generasi berikut. Dalam keadaan demikian, transfer pengetahuan dan pengalaman dilakukan secara spontan melalui karya-karya berbentuk puisi. Lebih singkat, spontan dan memberi ruang kebebasan yang lebih. Ciri-ciri demikianlah yang menurut pengamatan saya merupakan tanda-tanda penting dunia perpuisian lisan Dayak Ngaju Kalteng yang kaya bentuk dan gagasan (tapi belum jadi perhatian mendalam pengamat sastra) seperti karungut, sansana kayau, degu, deder, tandak, dan lain-lain.

Kemudian sejak awal tahun 1990-an, didorong kekhawatiran karya-karya mereka lenyap begitu saja, beberapa penyair karungut bersemangat seperti antara lain Nyalun Menteng alm., Kurnia Untel, mulai menerbitkan sendiri karungut mereka dan atau merekamnya dalam bentuk kaset (baca: album). Penerbitan sendiri karungut ini makin berkembang, sekarang, bukan hanya berlangsung di daerah perkotaan, tapi nampaknya juga terjadi hingga di daerah perdesaan sebagaimana ditunjukkan oleh kumpulan puisi karungut  Kalpino D. Ijau, pemuka Desa Linau yang dibawa pulang oleh Kusni Sulang dari desa.

Puisi-puisi lisan berbentuk lain seperti sansana kayau, dégu, deder, tandak sejauh ini masih belum nampak upaya menerbitkannya atau mendokumentasikannya dalam bentuk album. Tariganu, penyair asal Tanah Karo, ketika bekerja di Kalimantan Selatan dan Tengah, berkenalan dengan puisi Dayak Tabalong yang berbentuk dégu. Tariganu lalu mengangkat bentuk dégu ke tingkat perpuisian nasional Indonesia melalui antologi puisinya Elang diterbitkan oleh YBS ’78 dengan Kata Pengantar dari pengamat sastra Universitas Indonesia, M. S. Hutagalung. Usaha Tariganu ini dikomentari oleh sahabatnya, Kusni Sulang, sebagai petunjuk adanya potensi dalam perpuisian dan sastra Dayak.

Guna mendorong minat terhadap Sansana Kayau, puisi khas Daerah Aliran Sungai Katingan, pada tahun 1990-an, Komunitas Sastrawan-Budayawan Palangka Raya (KSB-PR) yang didirikan oleh Kusni Sulang dkk, mementaskan sansana kayau di Gedung Pertunjukan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota. Kemudian dalam film 45 menit bertajuk Gerilyawan-Gerilyawan Kecil (skenario ditulis oleh Kusni Sulang berdasarkan novelet karya penulis) produksi TVRI Kalteng, mengajak  Mama (Paman) Mael alm. untuk membuat iringan musik film berbentuk sansana kayau. Setelah itu, tidak nampak upaya pengembangan baru baik dari pihak penyelenggara Negara ataupun dari kalangan seniman setempat yang lebih tergiur pada dangdut yang cenderung erotik itu (kalau mau mencari akar kecenderungan ini boleh jadi berhubungan dengan pengaruh luar yaitu musik gambusan yang sekarang tidak pernah muncul lagi ke permukaan). Berbeda halnya dengan puisi karungut.

Dalam dunia perpuisian karungut terdapat cukup banyak buku-buku yang telah terbit, tanpa memasukkan album-album yang bertebaran baik di media sosial ataupun pasar.

Beberapa dari antologi tersebut misalnya karya-karya Syaer Sua alm. yang mana di Kalteng dipandang sebagai penyair dan penyanyi karungut terkemuka; Bilton dengan karyanya a.l. Anak Léwu;  Tujai Mura dengan a.l. Intihan Atei; Haliadi dengan a.l. Legenda Tumbang Sanak; Diana dengan a.l. Nulé Bapa; Budi P. dengan a.l. Tampara Cinta; Rika Salitang dengan a.l. Suneta; M. R. Hanyi dengan a.l. Kasinta Hétang Tulang;  Ebong R. Tuyoi dengan. a.l. Pétak Malai Buluh Marindu; Kurnia Untel menerbitkan 10 antologi karungut. Dan tentu masih banyak nama penyair karungut lainnya.

Gejala ini kemudian menimbulkan pertanyaan pada diri saya: Apakah sastra Dayak Ngaju, terutama dunia perpuisiannya sekarang mulai menggunakan dua cara mengembangkan diri, yaitu tetap mempertahankan tradisi lisannya, tetapi di samping itu mulai beralih ke penerbitan? Dalam hal ini, saya teringat akan keprihatinan Kusni Sulang yang melihat adanya gejala bunuh diri budaya di kalangan Orang Dayak.

Jika jawaban pertanyaan di atas adalah positif maka agaknya kekhawatiran dan keprihatinan Kusni Sulang tersebut memperoleh sedikit daya tawar. Adanya penerbitan-penerbitan puisi karungut berbahasa Dayak Ngaju berarti bahasa dan sastra Dayak Ngaju akan mampu bertahan dan berkembang.

Bahasa dan sastra bertahan untuk tidak lenyap dan bisa berkembang ditentukan antara lain oleh penutur bahasa, pencipta dan penikmat dan konsumen produk. Karungut mempunyai semua unsur-unsur penunjang tersebut. Agar bisa berkembang zamani, memasuki segala lapisan masyarakat, boleh jadi hal ini banyak ditentukan oleh kreativitas penyair.

Percobaan kreatif yang dilakukan oleh penyair kelahiran Tanah Karo dengan menzamanikan puisi dégu Dayak Tabalong agaknya upaya kreatif yang perlu dipertimbangkan oleh para penyair Dayak. Dalam karya eksperimennya, Tariganu memadukan khazanah positif yang sudah kita miliki dengan unsur-unsur baik dari mana pun asalnya.

Di sinilah terletak arti penting mengenal diri sendiri dan sejarah perkembangannya. “Orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar”, tulis Marcus Garvey.[***]


Album Syair-Syair Karungutdalam Bahasa Indonesia dan Dayak Ngaju Jilid 3

Pengantar: Kurnia Untel

Pengarang: Kurnia Untel

Penerbit: –

Tahun Terbit: 2002

Daerah/Wilayah: Kalimantan Tengah

Rak: SAS-819 (810-819)

ISSN/ISBN: –

Jumlah Halaman: 64

Syair-syair Karungut dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Dayak Ngaju ini diterbitkan dalam 10 (sepuluh) jilid, merupakan kumpulan naskah syair-syair yang kami susun sejak tahun 1963 sampai sekarang. Pada Jilid 1 s/d 5 adalah ciptaan kami sendiri (Kurnia Untel–Red.), sedangkan pada jilid 6 s/d 10 merupakan syair-syair yang baik ciptaan kami sendiri (Kurnia Untel–Red.), maupun ciptaan rekan-rekan seniman lainnya yang sengaja kami (Kurnia Untel–Red.) kumpulkan agar jangan hilang.

Adapun judul di Album Syair-syair Karungut dalam Bahasa Indonesia dan Dayak Ngaju jilid 3 yaitu: 1.  Barito Timur Semoga Berjaya; 2.  Terima Kasih pada Pemerintah; 3.  Harta dan Pangkat Hanya Pinjaman; 4.  Pesan kepada Pemuda Pancasila; 5. Pendaftaran Benda Cagar Budaya; 6.  Peranan PKK dalam Pembangunan; 7.  Wajib Belajar Pendidikan Dasar; 8. Hikmah Pekan Budaya Isen Mulang; 9.  Ceritera Bandar; 10. Sansana Bandar.

Sumber:https://www.pustaka-bpnbkalbar.org/pustaka/album-syair-syair-karungut-dalam-bahasa-indonesia-dan-dayak-ngaju-jilid-3


Kusni Sulang-Andriani SJ Kusni

Jurnal Perdesaan Kusni Sulang | Dengan Pendekatan Kebudayaan Memberdayakan Masyarakat

Radar Sampit, Minggu, 12 Februari 2023

Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

Kusni Sulang-Andriani SJ Kusni
Mendaftar peserta Sakula Budaya untuk anak-anak desa usia 8-14 tahun dan memastikan para pengajar dari desa itu sendiri. Jumlah anak-anak desa yang ingin ikut serta dalam Program Sakula Budaya ini dari hari ke hari kian bertambah. Mereka berdatangan menyatakan keinginan ikut serta. Foto: Pritendie. Dok.: Kusni Sulang, 2023

“Orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar.” —     Marcus Garvey

Apakah pemberdayaan masyarakat itu?

Banyak sekali definisi yang telah dikemukakan oleh para pihak. Beberapa dari definisi tersebut dikemukakan oleh antara lain Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDIP) yang merumuskan, pemberdayaan adalah “perluasan kemampuan dan pilihan masyarakat; kemampuan untuk menerapkan pilihan berdasarkan kondisi yang bebas dari kelaparan, kedinginan dan kekurangan; kesempatan untuk berpartisipasi dalam, atau memberi persetujuan atas, proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidupnya” (Governance for Sustainable Human Development, an UNDIP policy document, glossary key terms in: Mulya Amri, Pendahuluan: “Media Rakyat Mengorganisasi Diri Melalui Informasi”, Combine Resource Institution, Jakarta, 2007), sedangkan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mendefinisikan pemberdayaan berarti “manusia–perempuan dan laki-laki–mampu mengatur hidupnya sendiri. Perempuan dan laki-laki dapat menentukan  agendanya sendiri, menambah keterampilannya, meningkatkan kepercayaan dirinya, memecahkan masalahnya dan membangun kemandiriannya. Orang lain tidak bisa memberdayakan perempuan; hanya perempuan sendiri yang bisa memberdayakan dirinya sendiri, membuat pilihannya sendiri, atau berbicara atas namanya sendiri” (website Kementerian Pemberdayaan Perempuan, bagian glossary, in: Mulya Amri, Pendahuluan: “Media Rakyat Mengorganisasi Diri Melalui Informasi”, Combine Resource Institution, Jakarta, 2007).

Sementara Rosidi Roslan seperti disitat oleh Mulya Amri, memandang pemberdayaan adalah “segala upaya fasilitasi yang bersifat noninstruktif guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan  masyarakat agar mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan, dan melakukan pemecahannya, dengan memanfaatkan potensi setempat dan fasilitas yang ada” (Mulya Amri, Pendahuluan: “Media Rakyat Mengorganisasi Diri Melalui Informasi”, Combine Resource Institution, Jakarta, 2007).

Tim Penanggung Jawab Penyelenggaraan Sakula Budaya Bétang Tarung, Pebri Ayu Lestari dan Kusni Sulang, bersama sebagian anak-anak peserta Sakula Budaya. Foto Pritendie. Dok.: Kusni Sulang, 2023

Dari beberapa definisi di atas atau definisi-definisi lain yang tidak diterakan di sini, terdapat jelujur benang merah bahwa dalam kosakata pemberdayaan itu terdapat unsur-unsur yang oleh UNDIP disebut sebagai “perluasan kemampuan dan pilihan masyarakat; kemampuan untuk menerapkan pilihan berdasarkan kondisi yang bebas dari kelaparan, kedinginan dan kekurangan; kesempatan untuk berpartisipasi dalam, atau memberi persetujuan atas, proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidupnya” sementara Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mendefinisikan pemberdayaan berarti “manusia–perempuan dan laki-laki–mampu mengatur hidupnya sendiri. Perempuan dan laki-laki dapat menentukan  agendanya sendiri, menambah keterampilannya, meningkatkan kepercayaan dirinya, memecahkan masalahnya dan membangun kemandiriannya”.

“Perluasan kemampuan dan pilihan, serta partisipasi, juga kemampuan memecahkan masalah” terjadi karena adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan. “Scientia potentia est pengetahuan adalah kekuatan”, ungkapan Bahasa Latin yang dikaitkan dengan Sir Francis Bacon.

Oleh Rosidi Roslan, hal ini yang digarisbawahi dan dirinci serta merupakan salah satu indikator keberdayaan ketika ia mengatakan bahwa masyarakat (anak manusia) yang berdaya adalah yang mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan, dan melakukan pemecahannya, dengan memanfaatkan potensi setempat dan fasilitas yang ada.

Saya sebut hanya salah satu indikator dari keberdayaan masyarakat sebab Phil Barthie dalam tulisannya “Elements of Community Strength” sebagaimana dikutip oleh Mulya Amri, menyebutkan 16 indikator keberdayaan (yang di sini tidak saya bicarakan lebih lanjut).

Pengetahuan dan keterampilan yang merupakan kekuatan itu kiranya tidak bisa dipisahkan dari keberpihakan manusiawi. Tanpa keberpihakan manusiawi, pengetahuan dan keterampilan mumpuni itu bisa menjelma menjadi kekuatan perusak yang tentu saja bukan tujuan pemberdayaan manusiawi. Sebab tujuan esensial  pemberdayaan seperti disebutkan dalam budaya Dayak  melalui sastra lisannya adalah untuk membuat Saran Danum Kalunen (Pantai [dunia] Manusia), entah itu bernama bumi, tanah air, atau kampung-halaman, bisa menjadi tempat anak manusia hidup secara manusiawi sebab ciri Saran Danum Kalunen  itu adalah kekacauan tanpa henti, penuh kontradiksi. Habis satu muncul yang lain.

Untuk bisa terwujudnya perubahan Saran Danum Kalunen yang kacau itu menjadi tempat manusiawi, diperlukan anak manusia dengan tritunggal ciri yaitu gagah-berani, pintar-berbudi, kritis (berani melawan arus)-ulet, (mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh). Singkatnya, manusiawi dan berketerampilan mumpuni.

Dalam hal tuntutan memiliki keterampilan tinggi ini, pada masa Pemerintahan Soekarno dahoeloe, dikenal istilah ‘tahu segala tentang sesuatu dan tahu sesuatu tentang segala’. Maksudnya, berpandangan luas, melihat sesuatu secara multi disipliner–jika menggunakan istilah sekarang.

Anak manusia dengan tritunggal ciri tersebut yang merupakan pelaksana pemberdayaan dan perubahan maju bukanlah dilahirkan tapi menjadi atau dijadikan. Dijadikan melalui pendidikan. Gerakan penyadaran, jika meminjam istilah Pastur Brasil, Paulo Freire. Apalagi yang dimaksudkan dengan pemberdayaan dengan tujuan seperti di atas dilakukan oleh manusia dan untuk manusia. Dari, oleh dan untuk manusia.

Di mana pemberdayaan dilakukan?

Kata pemberdayaan itu sendiri menunjukkan bahwa upaya “perluasan kemampuan dan pilihan masyarakat; kemampuan untuk menerapkan pilihan” serta partisipasi itu dilakukan di tempat-tempat dan atau dikalangan lapisan masyarakat yang tidak atau kurang berdaya.

Dalam tulisan Edi Suharto, Ph.D berjudul “Pendampingan Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin” sebagaimana dikutip oleh Mulya Amri, memang dilakukan khususnya dikalangan kelompok-kelompok rentan dan lemah, untuk: (a) Memiliki akses  terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa  yang mereka perlukan; dan (b) Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Di Kalimantan Tengah (Kalteng), tempat kelompok-kelompok rentan dan lemah itu terutama di daerah perdesaan tentu tanpa menegasi adanya ketidakberdayaan di daerah perkotaan.

Untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari, kelompok-kelompok rentan dan lemah di daerah perdesaan Kalteng melakukannya dengan ‘menyedot’, istilah lokal untuk pencarian emas sekalipun usaha ini dinyatakan terlarang atau ilegal oleh pemerintah. Karena itu disebut PETI, penambang emas tanpa izin. Tapi karena perut tidak bisa menunggu, kelompok-kelompok rentan dan lemah ini terus saja ‘nyedot’ tanpa menghiraukan segala resiko. Artinya, usaha yang merusak lingkungan ini sebenarnya dilakukan karena terpaksa. Bagaimana tidak? Lalu mereka mendapat penghasilan dan menghidupi diri dan keluarga dari sumber apa? Karet dan rotan harganya sama sekali tidak berarti, tidak bisa menopang kehidupan, apalagi untuk menyekolahkan anak. Berladang dengan menggunakan teknologi tradisional juga dilarang–larangan ini membuat kegiatan berladang dan tradisi handep (semacam gotong-royong) memudar. Uang menggantikan segalanya, mengatur hubungan sosial.

Peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh penyelenggara Negara mempunyai peran dalam menghancurkan kebudayaan lokal. Oleh sebab itu, keterpurukan begini saya namakan marjinalisasi total struktural. Beras dan sejumlah bahan makanan pokok lainnya jadi tergantung dari suplai luar, sedangkan dalam sejarahnya, léwu, nama dari desa adat Dayak Kalteng, dahoeloe adalah desa-desa adat mandiri, bahkan mendekati tipe autarki. Sisa-sisanya masih terdapat antara lain di desa-desa sekitar Kinipan, Kabupaten Lamandau.

Alternatif baru yang diberikan adalah Program Food-Estate yang di sementara tempat merupakan cara terselubung menjarah lahan warga. Di satu pihak mengajak partisipasi warga desa (baca: rakyat), di pihak lain tidak mengindahkan mereka–salah satu bentuk dari kepongahan kekuasaan.

Program Food Estate akan mengubah sistem pertanian di Kalteng, akan membuat warga adat Dayak Kalteng menjadi barisan koeli-koeli yang akhirnya mengubah Dayak menjadi ‘budak (jipén) kekinian’. Etnik Koeli. Ke mana-mana saya datang, terutama di daerah pedalaman, yang saya dengar nyaring pertama-tama adalah ‘jerit hewan terluka’. Ratap tangis orang kebingungan di tebing, kehilangan harapan. Saya lalu teringat akan Periode Téték Tatum (Ratap Tangis) dalam sejarah Dayak Kalteng.

Kalteng kembali menjadi kelinci percobaan program-program Jakarta.

Dampak dari ketidakberdayaan ini bersifat menyeluruh: politik-ekonomi, sosial-budaya. Karena itu penanganannya pun seyogyanya menyeluruh juga, bukan sektoral. Menyeluruh, termasuk dalam pengertian usia, mulai orang-orang tua, anak-anak remaja hingga kanak-kanak. Bukan hanya bidang-bidang.

Keadaan daerah perdesaan Kalteng hari ini selalu mengingatkan saya akan sajak Rendra (alm.) dalam antologi “Potret Pembangunan dalam Puisi”, terutama baris-baris berikut:

Aku mendengar suara
jerit hewan yang terluka

Ada yang memanah rembulan
Ada anak burung terjatuh dari sarangnya

Orang-orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan
Agar kehidupan bisa terjaga

Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana ‘orang-orang harus dibangunkan’ bukan hanya sekedar ‘agar kehidupan bisa terjaga’ tapi berkembang menjadi hidup manusiawi sebagai anak manusia? Bagaimana menyelamatkan ‘anak burung terjatuh dari sarangnya’ karena anak panah pemanah rembulan bernama regulasi yang tak memihak kehidupan agar kembali terbang bebas merdeka mengangkasa sebagai laiknya seekor burung?

Dalam hubungan dengan masalah pemberdayaan, pertanyaannya menjadi ‘dari mana mulai dan apa yang harus dilakukan’?

Seperti saya katakan di atas, pemberdayaan itu dilakukan oleh manusia dan untuk manusia. Dari, oleh dan untuk manusia. Masyarakat, termasuk masyarakat adat terdiri individu-individu (anak-anak manusia) sebagai warga kesatuan atau kolektif tersebut. Kualitas warga menentukan kualitas kolektif,  entah itu bernama bangsa, etnik atau sub-etnik. Individu-individu inilah yang menjadi aktor pemberdayaan. Mendahului penguasaan keterampilan yang ‘mumpuni’, pertama-tama yang patut ditangani adalah kesadaran, pola pikir dan mentalitas. Kesadaran, pola pikir dan mentalitas inilah yang menjadi awal penting upaya pemberdayaan diri.

Kesadaran, pola pikir dan mentalitas adalah pangkalan dari tindakan.

Di Tanah Dayak Kalteng, menurut sejarah budayanya, Dayak (anak manusia) itu identik dengan pejuang, petarung (fighter dan bila diperlukan menjadi warrior). Dayak itu dikutuk jadi Dayak Panarung (Dayak Pejuang). Jika ingkar pada kutukan ini, ia akan tidak punya jalan kembali ke Saran Danum Sangiang–nama dunia setelah kematian. Bersama keterpurukan menyeluruh, pandangan dan pengetahuan tentang kutukan ini seperti menghilang dari ingatan kolektif, bersama memudarnya pengetahuan akan budaya dan sejarahnya sendiri. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Marcus Garvey: “Orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar.” Bukan hanya ‘seperti pohon tanpa akar’, dalam konteks Dayak Kalteng, “Orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya” secara tidak sadar mempurbakan dirinya tak peduli berapa panjang gelar akademi yang disertakan sebagai ilustrasi namanya. Patut dicatat juga bahwa orang sekolahan oleh sejarah ditunjukkan sebagai golongan yang rentan berkhianat.

Salah satu cara untuk membangunkan orang-orang ‘agar kehidupan bisa terjaga’ dan menyelamatkan ‘anak burung (yang) terjatuh dari sarangnya, sebagai bagian dari pemberdayaan holistik adalah melalui pendidikan. Pendidikan untuk melakukan perubahan maju, bukan untuk menjadi hamba sahaya. Bukan untuk kembali ke masa silam tapi untuk menjadi Manusia Kekinian. Jika ia Dayak, menjadi Dayak Kekinian.

Untuk bisa menjadi Manusia Kekinian, yang berkeinginan perlu menerapkan dua pemaduan: pemaduan hal-hal baik yang sudah terdapat di lingkungannya, dan hal-hal positif dari mana pun datangnya. Apalagi dalam pengamatan saya, semua kebudayaan itu berkembang bukan dengan tutup pintuisme tapi diperkaya oleh kemampuan menyerap. Budaya Dayak pun sejatinya adalah budaya serapan.

Serapan berbeda dengan plagiarisme dan bukan pula epigonisme.

Dilihat dari sudut pandang penyerapan ini maka kebhinnekaan merupakan suatu kekayaan dalam upaya menjadi kekinian. Karena itu, penyerapan bisa dipastikan akan melawan intoleransi. Pada saat ide penyerapan ini telah dihayati, ketika itu menjadi Dayak, Indonesia dan putera-puteri planet kecil ini tidak berbenturan. Dengan pandangan begini, maka kita bisa berdiri di kampung halaman memandang tanah air merangkul bumi. Konsep demikian, pada hemat saya merupakan esensi budaya Dayak yang sayangnya kurang diperhatikan, untuk tidak mengatakan dikesampingkan.

Konkretnya, bagaimana pendidikan itu dilakukan?

Bentuk konkretnya bisa bermacam-macam seperti seminar, diskusi, studi banding, kelas-kelas belajar yang dalam bahasa kerennya disebut training, workshop dan lain-lain. Semua bentuk kegiatan tersebut sudah pernah kami lakukan hanya saja umumnya berlangsung di daerah perkotaan. Berbeda dari bentuk-bentuk kegiatan edukatif sebelumnya, kali ini, kami (saya dan teman-teman) menggunakan bentuk lain yaitu Sakula Budaya. Yang sedang berlangsung sekarang adalah kelas untuk anak-anak desa dari usia 8-14 tahun. Anak-anak usia ini kami pandang mempunyai arti strategis menjangkau jauh karena merekalah kemudian yang menjadi penanggung jawab timbul-tenggelamnya Dayak dan Tanah Dayak.

Materi pendidikan dan cara mendidik disesuaikan dengan tingkat usia mereka: bermain dan belajar serta gembira. Mendengar adanya Sakula Budaya ini, desa-desa lain di Kecamatan Rungan dan Rungan Hulu pada tertarik. Para Kepala Desa menanyakan, “Kapan Sakula Budaya diselenggarakan di desa kami?”

Para pengajar Sakula ini berasal dari orang desa sendiri yang paham akan materi kurikulum. Untuk menjawab persoalan kekinian, diharapkan dalam waktu tidak lama, kelas Sakula Budaya untuk warga dewasa bisa berlangsung. Tentu saja metode dan kurikulumnya berbeda dari kelas untuk kanak-kanak. Target peserta adalah seluruh warga desa baik perempuan atau lelaki, anak-anak ataupun orang dewasa dengan harapan para peserta kemudian mungkin melakukan  ‘perluasan kemampuan dan pilihan serta berpartisipasi’ aktif sebagai warga Negara dengan kesadaran berwarganegara sebagai wujud nyata dari adanya kedaulatan rakyat dan rakyat berdaulat–menjadi tuan di kampung-halaman mereka sendiri.

Keinginan ini sebenarnya bisa diperlancar pelaksanaannya jika Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dilanjutkan dengan pembentukan dan penetapan desa adat. Desa adat adalah alat untuk mereorganisasi kembali Dayak (baca: warga desa) yang diporakporandakan oleh Orde Baru, melahirkan kembali desa-desa mandiri sesuai kondisi kekinian. Sakula Budaya kemudian menjadi salah satu program yang mengisi adanya desa adat itu. Rintangan utama dalam menyelenggarakan Sakula Budaya ini adalah rintangan klasik: dana.

Secara teori, rintangan ini akan tertanggulangi ketika ‘orang-orang (telah) dibangunkan’ dari hibernasi, walaupun saya sadar benar, seperti halnya curhat alm. Tjilik Riwut kepada saudara-saudaranya saat melepaskan lelah sejenak: “Tidak gampang mengurus Dayak”.

Di depan para pengajar Sakula Budaya di Desa Linau, Kecamatan Rungan, saya katakan bahwa perubahan maju Dayak dan Tanah Dayak tidak didapat dari belas kasihan dan hadiah dari siapapun, tapi dari perjuangan mandi darah Dayak sendiri.

Para pengajar menjawab di dalam rapat persiapan, “Kalau bukan kita siapa lagi?”

Apakah  ini pernyataan tekad untuk berubah maju, hasrat kuat untuk mencampakkan belenggu marjinalisasi?

Pebri Ayu Lestari yang dari keluarga Damang, salah seorang anggota Tim Pelaksana Sakula Budaya Bétang Tarung berujar, “Kita dikutuk untuk hanya boleh berhasil, Pak!”

Seketika kata-kata penyair Chairil Anwar mengiang di telingaku: “Kerja belum selesai. Belum apa-apa”. Kemudian, seorang penyair Tiongkok di tengah keadaan Tiongkok sangat sulit menulis: “Kalau tak sampai ke puncak/Jangan katakan kami pahlawan sejati”. Tentu saja, saya bukan pahlawan, kecuali seorang anak bangsa sederhana yang hanya mempunyai kata-kata.[***]