Sajak Mahmoud Darwish*
Aku Milik Tempat Itu
Aku milik tempat itu. Aku memiliki banyak kenangan. Aku dilahirkan seperti setiap orang dilahirkan.
Aku memiliki seorang ibu, sebuah rumah dengan banyak jendela, saudara-saudara laki-laki, kawan-kawan, dan sebuah sel penjara dengan sebuah jendela yang dingin menggigilkan! Aku memiliki ombak yang direbut oleh burung-burung camar dan panorama milikku sendiri.
Aku memiliki padang rumput yang basah embun. Di horison kataku, aku memiliki sebuah bulan, makanan untuk burung, dan sebuah pohon zaitun yang tak mati-mati.
Aku sudah tinggal di negeri itu lama sebelum pedang membuat manusia jadi mangsa.
Aku milik tempat itu. Waktu sorga meratapi ibunya, kukembalikan sorga ke ibunya.
Dan aku menangis biar awan yang pulang ke sana akan membawa airmataku.
Untuk melanggar aturan, aku pelajari semua kata yang dibutuhkan bagi pengadilan darah.
Telah kupelajari dan bongkar semua kata agar bisa kudapatkan satu kata tunggal: Rumah.
Mahmoud Darwish (1941–2008) adalah penyair terbesar Palestina. Darwish memakai Palestina sebagai metafor hilangnya Taman Firdaus, kelahiran dan kelahiran-kembali, dan derita kehilangan dan eksil. Dia digambarkan sebagai inkarnasi dan refleksi dari “tradisi penyair politik dalam Islam, manusia aksi yang memakai puisi sebagai aksinya”. Dia juga pernah jadi editor beberapa majalah sastra di Palestina. Darwish menerbitkan kumpulan puisi pertamanya Daun-Daun Zaitun pada 1964, waktu berusia 22 tahun. Sejak itu, dia telah menerbitkan tigapuluh buku puisi dan prosa yang telah diterjemahkan ke lebih daripada duapuluh dua bahasa. Buku-buku puisinya antara lain Beban Kupu-kupu (2006), Sayangnya, Sorga: Seleksi Puisi (2003), Pengepungan (2002), Adam dari Dua Firdaus (2001), Mural (2000), Tempat Tidur Orang Asing (1999), Kenapa Kau Biarkan Kuda Itu Sendiri? (1994), dan Musik Daging Manusia (1980). Mahmoud Darwish juga penerima berbagai penghargaan internasional, antara lain Lannan Cultural Freedom Prize dari Lannan Foundation, Lenin Peace Prize, and the Knight of Arts and Belles Lettres Medal dari Prancis. Sajak ini diindonesiakan oleh Saut Situmorang dari berbagai sumber berbahasa Inggris.
apa kabar, tolong balas email saya
makasi orang berjiwa muda….
saya jadi punya koleksi puisi lebih banyak
saya guru sastra di sekolah swasta…
Kepada sahabatku JJ. Kusni dan seperti yang kau paparkan diakhir puisimu “janganlah menangis hatiku
janganlah berduka;
karena yang sudah tak lagi nyata
bagaikan tak pernah ada.”
ya jangan lagi menangis. simpanlah tangis itu meski membara didada. dan kamu tetaplah tersenyum disaat duka itu datang menghunjam. biarlah ia menjadi memori tentang kisah kesaksian hidupmu. kelak pada masanya, semua orang bingung, bila kamu pun bisa membuat dunia berbeda.. (tabe dari titisan bara sungai arut bung JJ. Kusni)
terimakasih,bung. apabila ke palangkraya,mudahan bisa jumpa
puisi itu persaan kita
🙂
Keren banget…
bahasanya enak tapi penuh makna……..
terus berkarya, ya…????????
🙂
KEREN
Senang bisa membaca puisi-puisi terjemahan Bapak J.J Kusni. Terima kasih, Pak Kusni.