BELUM BAHADAT

Jurnal Toddoppuli

Cerita Buat Andriani S. Kusni & Anak-Anakku

Oleh: Kusni Sulang

Belum Bahadat* (hidup beradat) termasuk salah satu istilah yang paling sering diucapkan, terutama oleh para petinggi daerah dan orang-orang dari Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) serta Dewan Adat Dayak (DAD).

Apakah yang dimaksudkan dengan ‘belum bahadat’ (‘bahadat’ berasal dari kata dasar ‘hadat’, dalam bahasa Dayak Ngaju) itu? Tentang hal ini pun dalam perumusan, yang merupakan cerminan dari pemahaham, nampaknya juga masih belum satu.

Menurut Perda No. 16 Tahun 2008 “Yang dimaksud dengan falsafah hidup “Budaya Huma Betang atau Belom Bahadat”  adalah perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta  taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam). Apabila telah mampu melaksanakan perilaku hidup “Belom Bahadat”, maka akan teraktualisasi akan wujud “Belom Penyang Hinje Simpei” yaitu hidup berdampingan, rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama” (hlm. 49).

Sedangkan Drs. Silvanus Subandi, STL. PR. dari Keuskupan Palangka Raya, merumuskan belum bahadat “prinsip dasar hidup yang menjunjung tinggi nilai adat-istiadat yang menekankan nilai moral dan spiritual seperti hormat terhadap orang tua, sesama, alam semesta dan Sang Pencipta” (bedah buku Falsafah Hidup Budaya Huma Betang dalam Membangun Kerukunan Hidup Umat Beragama di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, disampaikan pada 13 April 2012).  Drs. Silvanus Subandi , STL. PR. menamakan prinsip dasar hidup ini juga sebagai “prinsip hidup inklusif dan pluralis” (ibid).

Perbedaan dua perumusan di atas terletak pada bahwa yang satu menganggap belum bahadat sebagai perilaku sedangkan yang lain yaitu Drs. Silvanus Subandi, STL. Pr. memandangnya sebagai prinsip dasar hidup.  Dari prinsip dasar hidup inilah perilaku itu bermula. Kemudian Drs. Silvanus Subandi, STL. Pr. juga mencakup dua bidang yaitu bidang etika, moral, dan spiritual. Yang etika dimisalkan oleh Pastur Subandi seperti hormat terhadap orang tua dan terhadap sesama, kejujuran, toleransi,  sedangkan nilai moral mengungkapkan diri dalam bentuk menghormati kebersamaan hidup bermasyarakat, memandang sesama secara setara.

Sementara penghormatan pada alam semesta tidak lepas dari sikap menghormati kepentingan hidup bermasyarakat sebab dampak kerusakan alam oleh sikap tidak menghormatinya, akan mendera banyak orang.

Penghormatan kepada Sang Pencipta berarti mematuhi jalan yang ditunjukkan-Nya dan diturunkan melalui berbagai Nabi. Jalan ini jalan menuntun anak manusia yang diciptakannya. Apabila anak manusia tidak menghormati Sang Penciptanya ia akan menyeleweng dari Jalan Sang Pencipta itu sehingga terjadi hal-hal yang dia bahadat (tidak beradat, tidak menjunjung nilai-nilai hadat. Jalan Sang Pencipta adalah jalan yang holistik. Mencakup seluruh bidang kehidupan.

Dari perumusan Pastur Subandi nampak bahwa belum bahadat adalah menjunjung nilai-nilai hadat dan mencakup hubungan antar sesama, hubungan dengan alam, dan hubungan Sang Pencipta, tiga hubungan yang dirangkum oleh filosofi. Filosofi ini lahir dan berkembang dengan berpatokan pada jalan yang ditunjukkan oldeh Sang Pencipta, sebagai bentuk penghormatan kepada-Nya.

Kemudian menggunakan filosofi ini guna menjawab permasalahan kehidupan, lahirlah hadat. Mula-mula berbentuk kebiasaan, kemudian dalam proses perkembangnya diterima sebagai konvensi bersama, lalu konvensi ini berkembang menjadi hukum yaitu hukum hadat.

Dalam ruang dan waktu, masyarakat tidak henti berkembang, demikian pun hukum hadat berkembang menyertainya. Yang tidak mampu berkembang mengikuti perubahan waktu dan ruang, bisa dipastikan  akan lenyap. Misal, upacara perdamaian saki palas menggunakan darah hewan, barangkali pada suatu waktu tertentu, yaitu pada saat agama Orang Dayak  relatif homogen, berlaku pada semua Orang Dayak. Tetapi pada saat Orang Dayak sudah menganut bermacam-macam agama, maka upacara saki palas ini tidak digunakan untuk mereka yang menganut agama Islam yang memandang upacara menggunakan darah hewan sebagai hal yang tidak bisa diterima. Untuk itu, sebagai gantinya diberlakukan upacara tampung tawar, upacara damai tanpa menggunakan darah. Bentuk upacara yang bisa diterima oleh semua pihak.  Upacara tampung tawar, selain mengandung sifat relijiusitas, secara etika ia pun menunjukkan keluwesan dan toleransi dalam hadat Dayak. Fleksibilitas ini pun diperlihatkan pada upacara manetek pantan , saat menerima tamu-tamu yang dihormati. Baram (tuak lokal) digantikan dengan air putih. Tanduk kerbau digantikan dengan gelas.

Kedekatan hubungan antara ciri relijiusitas atau spiritualitas dan adat, sangat nampak pada tingkat masyarakat agraris. Apabilaa dlihat dari segi sejarah perkembangan masyarakat, ciri-ciri ini dominan di tingkat masyarakat komune primitif, perbudakan dan feodal, pada tingkat-tingkat mana alat produksi dan cara berproduksi masih bersandar pada alam dan tangan manusia. Misalnya melindungi lingkungan dilakukan dengan pahewan, pali-pali, gana, dan meyakini bahwa setiap pohon, sungai, gunung dan lain-lain mempunyai penunggu yang harus diminta izin terlebih dahulu sebelum diolah. Barangkali hakikat dibalik yang disebut  polytheisme adalah sikap menghormati alam semesta.

Dilihat dari proses kelahirannya, hadat dan hukum adat yang demikian, nampak bahwa tujuannya tidak lain dari bagai kehidupan itu bisa diselenggarakan secara beradab sesuai dengan filosofi yang merupakan pengejawantahan Jalan Sang Pencipta sebagai sumber. Karena itu, hadat, di samping mempunyai karakteristik etik dan moral, ia pun mempunyai sifat spiritual atau relijiusitas.

Apabila membaca sejarah kebudayaan Dayak, akan tujuan memanusiawikan diri sendiri, kehidupan dan masyarakat, sejak Maharaja Bunu sebagai manusia pertama di bumi  (“Saran Danum Kalunen”), setelah meninggalkan Saran Danum Sangiang, ia dan turunannya membawa misi yang demikian.

Jadi hadat sebenarnya tidak lain dari salah satu wujud produk kebudayaan suatu masyarakat untuk membuat masyarakatnya beradab, bahadat atau manusiawi. Selain sebagai wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, hadat juga  adalah salah satu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya (Kluckhohn, in: Prof. Dr. Koentjaraningrat, 2004:2).

Idea atau gagasan sentral hadat jadinya terletak pada upaya memanusiawikan diri sendiri sebagai manusia, kehidupan dan masyarakat.  Bagaimana memperadabkan tutur kata, perilaku warga masyarakat,  guna menciptakan masyarakat yang beradab sehingga kalau dilihat dari tujuan ini hadat, pertama-tama adalah gagasan, ide, prinsip dasar, yang dijelmakan dalam ketentuan-ketentuan yang diterima sebagai suatu konsensus sosial dengan mana kemudian antara hidup masyarakat diatur, termasuk bagaimana berperilaku di hadapan sesama, lingkungan, alam semesta dan Sang Pencipta. Perilaku hanyalah bentuk pengejawantahan apakah prinsip dasar hidup ini dilaksanakan atau tidak. Yang tidak melaksanakan akan disebut dia bahadat dan akan didera oleh sanksi sosial.

Dengan adanya sanksi sosial sebagai hukum bagi yang tidak melaksanakan konsensus sosial ini, secara implisit hadat melukiskan suatu tipe manusia yang dikehendaki oleh suatu masyarakat pada suatu zaman dan ruang tertentu.

Tiap-tiap etnik dan bangsa sesuai dengan sejarah perkembangan etnik dan atau bangsa itu mempunyai tipe manusia yang dikehendaki sesuai konsensus sosial mereka. Hal ini dilukiskan dan disimpulkan secara baik oleh tetua dalam kata-kata “lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya’. Karena itu para tetua juga menyimpulkan agar “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Kesimpulan ini pun bertolak dari ide sentral, membangun masyarakat yang beradab atau bahadat. Dijunjung tidaknya ide sentral ini bisa diketahui dari bahasa, sebagai lumbung nilai seseorang, etnik dan atau bangsa, sehingga para tetua juga menyimpulkan pengalaman mereka dalam ungkapan “bahasa menunjukkan bangsa”. Melalui bahasa yang digunakan interlukutor bisa membaca hadat  pengguna bahasa itu. Sehingga bahasa merupakan bagian dari hadat.

Kalimantan Tengah sebagai  bagian dari wilayah Republik Indonesia RI), komposisi demografisnya telah mengalami perubahan drastis. Kalau dahulu dominasi Dayak sangat jelas sehingga Prof. Dr. Mubyarto setelah melakukan penelitian di Kalteng, menyebut Kalteng sebagai “The Heartland of Dayak”, oleh adanya transmigrasi masif dan eksploitasi alam yang terkadang buas (l’exploitation sauvage), yang menarik minat warga RI dari etnik-etnik lain untuk datang, maka Tanah Dayak secara demografis tidak lagi didominasi oleh Orang Dayak. Mereka beranak beristri, tinggal dan bekerja di Kalteng hingga berpuluh-puluh tahun. Tapi ironinya, tidak sedikit di antara mereka yang berbahasa Dayak pun tak bisa, apalagi mengenal adat-istiadat Dayak. Secara kebudayaan mereka masih hidup di ghetto-ghetto budaya mereka tanpa berbaur. Kalteng hanya jadi kemah sementara mereka sebelum balik kampung. Kalteng dijadikan kebun halaman rumah mereka di tempat lain.

Sikap beradat menurut budaya Dayak dan nilai-nilai republikan serta berkeindonesiaan, mereka niscayanya memandang Kalteng sebagai kampung-halaman mereka sendiri. Kampung halaman mereka sesungguhnya, bukan kampung halaman-kampung halaman, apalagi memandangnya hanya sebagai tempat berkemah atau kebun halaman rumah mereka di tempat lain. Memandang /Kalteng secara begini, mempertahankan ghetto budaya, hanya akan memelihara benih konflik secara tidak sadar, dan menjurus ke penguasaan Kalteng sebagai tanah jajahan di zaman RI.

Yang paling sesuai adalah bersikap seperti yang dirumuskan oleh Salengkat Pardosi, Kepala Kesbangpolinmas Provinsi: “Saya Uluh Kalteng yang lahir di Sumatera Utara”. Artinya Pardosi merasa dirinya Uluh Kalteng (Orang Kalteng), bukan pendatang. Sebagai Uluh Kalteng, Pardosi, dalam batas kemampuannya, turut membangun Kalteng sebagai kampung halamannya. Sikap Pardosi ini adalah sikap republikan dan berkeindonesiaan, sikap bahadat. Sebagai Uluh Kalteng menguasai bahasa Dayak dan terus belajar budaya Dayak. Dengan pandangan, sikap dan praktek begini, Pardosi telah meninggalkan konsep “dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”sebagai konsep usang dan kadaluwarsa. Pardosi melaksanakan wacana baru dimana langit dijunjung di situ bumi dibangun. Saya kira, Jalan Pardosi atau Jalan Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng adalah jalan yang semestinya dilakukan oleh semua Uluh Kalteng tanpa kecuali. Jalan Pardosi adalah jalan belum bahadat sesungguhnya. Sebab belum bahadat sesungguhnya tidak lain dari prinsip dasar hidup yang republikan dan berkeindonesiaan.

Apakah dengan memilih jalan demikian, Pardosi melepaskan budaya ibunya yaitu budaya Tapanuli? Saya kira tidak. Budaya Batak tidak bisa dibuang dari nadi Pardosi. Tapi di Kalteng, Pardosi sudah menjadi Dayak-Batak atau Uluh Kalteng sebagai pengejawantahan nilai-nilai hadat republikan dan berkeindonesiaan di Kalimantan Tengah.

Republik dan Indonesia, saya kira tidak lain dari semacam hadat bagi bangsa dan negeri ini. Pengejawantahan hadat RI ini di masing-masing ruang akan disesuaikan dengan keadaan ruang tersebut sehingga membumi. Karena itu ada hadat lokal, ada  pula hadat nasional. Keduanya rasuk (compatible). Tidak bertentangan tapi saling melengkapi. Untuk pemanusiawian hidup dan masyarakat di wilayah RI, niscayanya pemerintah mengakui hadat lokal ini, sehingga tidak terjadi apa yang dikatakan oleh Hakim Agung  Dr. Abdurahman bahwa “Orang Dayak itu eksistensinya diakui tapi hak-haknya tidak diakui”.

Hadat lokal, dalam sejarahnya ada dan berlaku di masyarakat lokal jauh sebelum RI sebagai Negara berdiri. Juga sudah ada sebelum kolonialisme tiba. Hadat lokal ini oleh Belanda diakui eksistensinya dan perannya sebagai lembaga independen. Pada masa Orde Baru , sesuai dengan pendekatannya yang notorious yaitu  “pendekatan keamanan dan stabilitas nasional”, lembaga-lembaga adat digolkarkan.  Seperti diketahui Golkar pada masa Orde Baru Soeharto adalah partai pemerintah. Artinya lembaga adat dianeksi oleh kekuasaan demi kepentingan politiknya. Sejak itu, lembaga adat Dayak Kalteng mengalami kerusakan dan pelemahan luar biasa. Orde Baru jauh lebih berhasil daripada kolonialisme Belanda dalam melemahkan lembaga adat Dayak Kalteng.

Pada masa pemerintah gubernur Warsito Rasman, atas prakarsa antara lain LSM pertama Kalteng Talusung Damar bekerjasama dengan Universitas Palangka Raya dan Pemerintah Provinsi, sebuah seminar diselenggarakan dan mengeluarkan suatu rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi untuk mengembalikan lembaga adat sebagai lembaga independen

Independensi ini kemudian ditarik kembali oleh Perda No. 16 Tahun 2008, yang membuat lembaga adat kembali dianeksi oleh kekuasaan. Sebagai lembaga yang dianeksi, lembaga adat kehilangan independensi dan tidak lagi bisa leluasa antara lain melakukan pengawasan sosial sebagai salah satu perannya. Yang menjadi pertanyaan, apakah lembaga adat perlu dianeksi oleh kekuasaan atau tidakkah lebih zamani dan perlu jika cukup dengan rekognisi (pengakuan) baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah? Dampak dari aneksi tentu akan berbeda daripada rekognisi. Oleh aneksi, mau-tidak mau, suka-tidak suka, lembaga adat akan mengikuti alur politik penganeksi, sehingga hakekatnya tidak lain dari kendaraan politik saja dari penganeksi. Lembaga adat menjadi kehilangan peran sejatinya. Dan bukan tidak mungkin adat pun jadi komoditas.

Dalam keadaan demikian sulit membayangkan lembaga adat bisa sangat berperan dalam mewujudkan belum bahadat, sebagai prinsip dasar hidup. Ia tidak bisa bersuara dan bertindak dihadapan perilaku dia bahadat pemegang kekuasaan. Lembaga adat akhirnya menjadi alat jinak (docile tool) kekuasaan politik, bahkan dijadikan barisan pengawal kekuasaan. Pergulatan politik di tingkat elit kekuasaan, memungkinkan  lembaga-lembaga adat yang berada di bawah kendali masing-masing elit, bisa berlaga satu dengan yang lain. Atau menyabot berkembangnya lembaga-lembaga adat. Sementara slogan “manggatang utus” (mengangkat etnik Dayak), walaupun secara substansi sangat baik dan zamani, tapi dalam keadaan tertentu, ia pun bisa menjadi slogan pencitraan kekuasaan  dan dimanfaatkan kekuasaan.

Sebagai docile tool atau barisan pengawal kekuasaan, lembaga adat akan kehilangan prakarsa. Padahal prakarsa dan berkembangnya prakarsa merupakan salah satu ciri dari belum bahadat. Karena seperti dikatakan di atas, tujuan dari konsensus sosial adalah untuk menjadikan bumi (Saran Danum Kalunen) sebagai tempat hidup anak manusia secara manusiawi dengan mutu yang terus-menerus meningkat. Tujuan ini hanya bisa dilaksanakan jika prakarsa berkembang leluasa. Keleluasaan prakarsa dan mutu prakarsa berkembang akan berjalan seiring dengan mutu sumber daya manuusia (SDM). 

Oleh sebab itu, peningkatan belum bahadat banyak ditentukan oleh kesadaran dan pengetahuan sehingga warga masyarakat adat menjadi aktor kemajuan diri sendiri dan masyarakat yang pintar-harati (berketerampilan dan bahadat atau berbudi) dan berkomitmen manusiawi sesuai filosofi hidup-mati manusia Dayak, “rengan tingang nyanak jata” (anak enggang putera-puteri naga). Untuk terwujudnya yang terakhir ini, pendidikan melalui berbagai cara memainkan peran penting menentukan. Bukan disandarkan pada sanksi.   Singer, sebagai bentuk sanksi hadat sesungguhnya juga dimaksudkan untuk mendidik agar anak manusia, yaitu anggota masyarakat adat itu menghormati diri sendiri, sesama, alam semesta dan Sang Pencipta. Manusia yang beretika, bermoral, berwacana dan berkomitmen manusiawi. Dari segi ini, maka belum bahadat, bisa dikatakan sebagai wacana pendidikan di kalangan masyarakat Dayak, bukan hanya suatu perilaku. Di samping itu, ia pun merupakan wacana kebudayaan, sehingga warga masyarakat adat Dayak, selain menjadi Dayak juga menjadi anak manusia yang beradab (bahadat) tapi juga anak manusia yang tidak lepas akar. Budaya lokalnya, budaya Dayak menjadi bahasanya dalam pergaulan di tingkat-tingkat lebih luas dari langit kampung-halamannya. Dalam pergaulan dengan budaya-budaya lain inilah hadat membuat dirinya kian kaya dan zamani .

Yang terjadi sekarang di Kalteng justru keadaan sebaliknya. Kreativitas diganti oleh epigonisme, ciri produktif diganti oleh kemabukan konsumtif, sifat mandiri diganti oleh ketergantungan. Untuk melayani keperluan konsumtif ini, apa saja dijual, termasuk kampung-halaman dijual, tanpa berpikir panjang dan dampak-dampaknya, baik dampak publik maupun  individual.

Konsumerisme ini mengubah manusia Dayak, lebih-lebih para elitnya menjadi pedagang primer. Apa saja yang bisa dijual, dijual, termasuk kebudayaan yaitu hambaruan manusia. Ciri-ciri yang jauh dari cita-cita dan prinsip dasar hidup belum bahadat. Ciri-ciri yang jauh dari tujuan wacana belum bahadat ini dipandang sebagai modernitas, tanggap dengan yang disebut era globalisasi, tanpa mengetahui bahwa globalisasi yang dimaksudkan adalah globalisasi sebagai perkembangan mutakhir dari kapitalisme yang memperdagangkan bumi dan bahkan manusia. Mereka sama sekali tidak tahu tentang altermondial yang dicetuskan di Porto Alegre, sebuah kota kecil di Brasilia.

Konsumerisme yang demikian berkembang di Kalteng, bertolakbelakang dengan wacana belum bahadat,  telah mengembangkan pola pikir dan mentalitas instanisme dan egoisme dikalangan manusia Dayak yang cenderung individualis dari dulu.

Kreativitas adalah keakraban pada keadaan. Dilihat dari temuan-temuannya maka kreativitas itu hakekatnya adalah pemberontakan terhadap ketidakadilan dan segala yang tidak manusiawi. Termasuk ketidakmanusiawian dan ketidakadilan yang terdapat pada hukum  formal. Terhadap hukum begini, sesuai dengan filosofi Dayak yang Utus Panarung maka penafsiran belum bahadat antara lain sebagai “taat pada hukum (hukum Negara, hukum adat dan hukum alam)” saya khawatirkan merupakan perumusan berbahaya. Sebab bisa berkembang menjadi ketaatan membuta dan menjadi alat jinak kekuasaan tanpa mengindahkan apakah hukum itu adil, manusiawi atau tidak.

Hukum tidak selamanya adil dan manusiawi. Hukum bukan Sang Pencipta tapi diciptakan oleh manusia sehingga terbuka pada kesalahan bahkan ketidakmanusiawian. Pembatalan ratusan Perda oleh Mendagri dan revisi beberapa pasal UU oleh Mahkamah Konstitusi tidak lain dari bukti dari terbukanya Perda dan UU pada kesalahan dan ketidakadilan. Karena itu, belum bahadat menurut filosofi Dayak adalah termasuk keberanian melawan ketidakadilan dan ketidakmanusiawian yang terdapat pada hukum dan peraturan-peraturan. “Diam , tidak melawan kita akan dibunuh” (silence on tue), tulis filosof Perancis Andre Glucksman.

Kalau pengamatan saya benar, saya melihat bahwa lembaga adat sesungguhnya merupakan gantungan harapan masyarakat lapisan bawah untuk membela hak-hak mereka dan memberdayakan diri, terutama masyarakat Dayak. Apabila lembaga adat ini lemah seperti sekarang, bahkan terkontaminasi oleh virus yang ditebarkan oleh “uang sang sang raja” (l’argent roi), saya tidak bisa optimis melihat ke depan. Yang saya lihat jelas, jika tidak segera ada pemberdayaan lembaga adat, tindakan-tindakan dia bahadat akan makin menjadi-jadi. Berharap sekali bahwa saya salah. Belum bahadat akhirnya tinggal jargon atau slogan politik kosong. Hidup berharkat dan bermartabat tak obah cakrawala nampak di mata tapi tak teraih tangan. Cakrawala nampak itu pun berada di genggaman “uang sang raja”.

Dengan lemahnya lembaga-lembaga adat, masyarakat, terutama masyarakat  Dayak, tidak lagi mempunyai sarana untuk melakukan pengawasan sosial dan alat untuk membela dan memperjuangkan hak-hak dan kepentingan mereka, lebih-lebih dalam keadaan Negara meninggalkan warganegaranya sehingga masyarakat menjadi masyarakat otopilot.

Untuk memperkuat kembali lembaga adat, barangkali pertama-tama pemahaman tentang apa hakekat yang disebut belum bahadat sebagai wacana  perlu jelas-jemelas. Kejelasan dalam pemahaman merupakan condition sine qua non penguatan lembaga adat dan terwujudnya prinsip dasar hidup belum bahadat.

Pemahaman mendalam ini bisa diperoleh apabila kita seperti dikatakan oleh mantan Presiden RI Abdurrahrahman Wahid, jika “bila mau mengembangkan alat-alat “kultural” yang senada, seperti pepatah Minangkabau “bule’ aia di pambuluah, bule’ kato di mufakat” (bulat air di pancuran, bulat kata karena mufakat), yang menunjukkan kepada kita, segala sesuatu harus dimusyawarahkan. Dan, pendapat yang berjumlah kecil harus mematuhi pendirian yang berjumlah besar, sedangkan yang besar harus menghargai pendapat mereka yang berjumlah kecil” ( in:http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/28/opini/1110135.htm, 28 Juni 2004).

Saling mendengar dan saling memberikan tempat cukup lapang bagi kebenaran pihak lain, apalagi dalam pencarian yang bersifat pemikiran atau ide. Pendekatan kekuasaan dan kekuatan tidak memberikan tempat lapang begini dan membuat kemampuan mendengar jadi berkurang. Padahal segalanya bermula dari pikiran atau pemahaman. Sehingga sebagaimana ditulis oleh tajuk rencana Harian Kompas, Jakarta (20 April 2012): “Tanpa rekayasa dan intervensi sistematis untuk membalikkan kondisi ini, sama saja kita kita sedang membangun bangsa konsumen raksasa dan gali kubur sendiri”. Peringatan Tajuk Rencana Harian Kompas ini pun juga dialamatkan kepada Kalimantan Tengah, yang jika mau jujur mempunyai ciri-ciri masyarakat daerah jajahan.

Dengan kata lain, perubahan masyarakat (transformasi sosial) melalui rehumanisasi sosial merupakan agenda yang pengabaiannya akan membuat liang kubur menganga lebar. Dilaksanakan-tidaknya prinsip dasar hidup holistik belum bahadat jadinya, terutama dan pertama-tama oleh pengelola kekuasaan dan elit masyarakat terlebih dahulu merupakan keniscayaan mendesak.[]

*) Saya tidak menuliskan belum bahadat dengan ortografi belom bahadat, sebagaimana yang yang digunakan oleh Perda No.16 Tahun 2008 dan banyak penulis. Sebab dalam bahasa Dayak Ngaju, sebuah kosakata dibaca sebagaimana ia ditulis, dan ia ditulis sebagaimana kosakata itu diucapkan. Bahasa Dayak Ngaju  tidak mengenal perbedaan antara yang diucap dengan yang ditulis. Apabila kosakata belum ditulis sebagai belom maka ia dibaca belom bukan belum. Belom adalah kosakata yang tidak dikenal oleh bahasa Dayak Ngaju. Artinya antara fonetik dan ortogrqafik tidak ada perbedaan. Sampai sekarang dalam bahasa Dayak Ngaju terdapat kesimpang-siuran ortografi. Karena itu seniscayanya kesimpangsiuran ini diselesaikan melalui suatu kongres atau konfrensi daerah tentang bahasa Dayak Ngaju.

KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah (Lekda Kalteng)

APA ARTI ISEN MULANG?

Jurnal Toddoppuli

Cerita untuk Andriani S. Kusni & Anak-Anakku

Mayoritas penduduk Kalimantan Tengah (Kalteng) berbagai generasi bisa dipastikan hapal dan sering mengucapkan kata-kata “Isen Mulang” yang menjadi motto kota Palangka Raya. Kalau ditanya apa makna motto tersebut, tidak ayal mayoritas pula akan menjawab serupa bahwa “Isen Mulang” adalah sinonim dari kata-kata “Maju Tak Gentar”.

Tepatkah terjemahan Isen Mulang menjadi “Maju Tak Gentar”?

Maju Tak Gentar, sekalipun untuk “membela yang benar” jika meminjam lanjutannya dari lagu karya Cornel Simanjuntak dengan judul yang sama, berarti berjuang dengan segala daya dan upaya tanpa memperdulikan segala kesulitan dan rintangan, bahkan termasuk menantang ajal, untuk membela (yang benar itu). Sikap Maju Tak Gentar demikian lahir dari suatu kesadaran, muncul sebagai bentuk penghayatan ide oleh penganutnya sehingga ide itu berubah menjadi suatu kekuatan material nyata, bernama Semangat Maju Tak Gentar.

Misalnya setelah ide “Indonesia Merdeka Sekarang Juga” dihayati rakyat, maka ide ini menjelma menjadi suatu sikap nyata berupa perjuangan mati-matian untuk merebut serta membela kemerdekaan dengan resiko apapun. Maka sejarah memperlihatkan bagaimana ada yang dengan berani memanjat tiang bendera dimana bendera Belanda sedang berkibar, lalu menyobek bagian berwarna biru sehingga yang tersisa di tiang adalah bendera berwarna Merah Putih. Dengan latar perubahan ide menjelma jadi kekuatan material, maka di tembok-tembok kota Yogyakarta, tertera semboyan “Merdeka Atau Mati”  atau bagaimana pasukan-pasukan gerilya hanya dengan bersenjata bambu runcing, mandau, sumpitan, dan senjata-senjata sederhana, bertempur melawan Belanda.

Dari keadaan demikian, nampak proses lahirnya suatu kesadaran, peran kesadaran dalam perjuangan serta perubahan maju, latar belakang politik nasional ataupun internasional, peran cendekiawan dalam masyarakat, apa-siapa pendukung utama atau kekuatan induk perjuangan perubahan maju, bagaimana hubungan massa dan individu serta bagaimana proses lahirnya seorang pemimpin yang merakyat. Hal-hal di atas adalah hal-hal umum yang berlaku di semua negeri. Kalaupun ada perbedaan, ia terletak dalam istilah-istilah lain, seperti “Lebih baik mati berdiri daripada mati berlutut”, “Liberté ou Mort”, “Liberta ou Muerte”,  dan lain-lain. Hanya saja slogan Maju Tak Gentar itu, tidak memperlihatkan  latar dan penjelasan budaya tertentu.

Bagaimana dengan slogan Isen Mulang? Apakah terjemahan Isen Mulang menjadi Maju Tak Gentar, Pantang Menyerah, itu rasuk dengan ide aslinya sebagaimana yang terdapat dalam budaya Dayak?

Saya kira, Isen Mulang sebagai sebuah diskursus atau wacana mengandung pengertian “tidak pulang kalau tidak menang”. Artinya, sekali orang Dayak memutuskan turun ke medan laga, sangat memalukan jika ia pulang tanpa membawa kemenangan. Karena itu, lebih baik pulang nama daripada pulang menating kekalahan. Bagi yang pulang kalah, yang bersangkutan tidak akan mempunyai tempat menaruh muka di depan masyarakat. Ia tidak dipandang sebelah mata lagi. Daripada pulang tidak lagi dipandang oleh masyarakat kampungnya, pertanda bahwa ia bukan seseorang yang “mamut-menteng, pintar-harati, mameh-ureh, andal dia batimpal” (gagah-berani, cerdik-berbudi, urakan dan tekun, hebat tiada bertara), maka  dari pada hidup menanggung malu, lebih baik bertarung habis-habisan merebut kemenangan. Kalaupun mati dalam pertarungan ini, hidup, harkat dan martabatnya telah ia bela dengan semestinya sebagai seorang Dayak.

Pandangan dan sikap begini barangkali ada kesejajarannya dengan ungkapan penyair Chairil Anwar: “Sekali berarti sudah itu mati’”.  Secara lambang, pandangan dan sikap Isen Mulang ini diungkapkan dengan “lawung bahandang” (ikat kepala merah), malahap atau manakir petak (menumiti bumi). Sekali Uluh Itah mengenakan lawung bahandang, memasang mangkok merah, malahap atau manakir pétak, artinya ia siap turun berlaga dengan motif seperti di atas.

Sesuai diskursus demikian maka Utus Itah menyebut diri sebagai Utus Panarung, wajah dari manusia ideal atau idaman. Isen Mulang sebagai bagian dari tatanan nilai tentang manusia idaman, dinyatakan pula dengan pandangan rendah terhadap seorang pendusta, yang kata dan perbuatannya berbeda, pada pengkhianat, pencuri.

Status Utus Panarung ditetapkan oleh konsep hidup-mati di “Saran Danum Kalunen” yaitu menjadikan “Saran Danum Kalunen ” (Bumi) ini sebagai tempat hidup anak manusia (kalunen) secara manusiawi sebagaimana yang terdapat di “Saran Danum Sangiang“. Untuk mampu mewujudkan diskursus ini maka pertama-tama seseorang itu niscaya menjadikan diri sebagai anak manusia yang manusiawi sebagaimana tersirat dalam konsep “kalune” (manusia).

Dalam sastra lisan Dayak Kalteng, kalunen ditimang sebagai “rengan tingang nyanak jata” (anak enggang putera-puteri naga). Yang tidak mampu jadi kalunen, akan tidak mendapat tempat di  Lewu Liau (Negeri Sesudah Kematian). Apabila mengikuti alur filosofi ini, maka tidak serta-merta kalunen (manusia) berkadar atau menjadikan diri sebagai kalunen (manusia). Ada kalunen yang berkadar bakei (kera), makian terkeras dalam masyarakat Dayak Kalteng. Sedang bakara (kera merah), makian Uluh Katingan pada Belanda. Bakara termasuk manusia berkadar kera atau bakei (kata-kata makian atau tema senda-gurau yang digunakan dalam masyarakat, sebenarnya bisa dijadikan petunjuk untuk melihat tatanan nilai dalam suatu masyarakat).

Keterangan di atas memperlihatkan bahwa Isen Mulang merupakan bagian tak terpisahkan dari filosofi hidup-mati Manusia Dayak yang mewujudkan diri dalam berbagai bentuk, termasuk ke dalam sastra-seni. Karena itu mengindonesiakan Isen Mulang dengan Maju Tak Gentar atau Pantang Menyerah, barangkali sangat tidak memadai, untuk mengatakan sangat tidak rasuk. Maju Tak Gentar dan atau Pantang Menyerah tidak mampu menampung keluasan dan kedalaman diskursus Manusia Dayak dahulu tentang hidup-mati (saya katakan Manusia Dayak dahulu, karena yang menyebut diri Manusia Dayak sekarang, tidak sedikit yang mengasingkan diri secara sukarela dari budaya Dayak. Bahkan tidak sedikit yang mencemoohnya sebagi ‘budaya setan’, dan lain-lain yang negatif).

Tapi kiranya diskursus Isen Mulang sebagai bagian tak terpisahkan dari filosofi Dayak termasuk diskursus yang masih sangat tanggap zaman untuk diejawantahkan, perlu dikhayati. Bukan hanya diucapkan dan dihapal. Saya malah berhipotesa jika diskursus Isen Mulang ini dibandingkan dengan harakiri dari Jepang, “siri” dari Tanah Bugis, mempunyai kekhususan. Barangkali diskursus Isen Mulang lebih menyeluruh. Jelas juga bahwa Isen Mulang sebagai dikursus jauh berbeda dari wacana “mampir ngumbé” Orang Jawa.

Apabila Max Weber mengatakan bahwa Protesanisme mendorong laju perkembangan kapitalisme yang berarti juga mendorong maju perkembangan masyarakat Eropa Barat, terlintas di kepala saya, mengapa tidak Utus Panarung dengan Isen Mulang sebagai salah satu bagian isi diskursusnya,  jika sari nilainya dihayati dan diterapkan akan mampu  membawa Kalteng maju melesat seperti yang diucapkan oleh Cornelis Lay dalam pembicaraan kami di Hotel Aquarius Agustus 2009 lalu?

Boleh jadi, kajian terhadap wacana Utus Panarung dengan Isen Mulang-nya bisa  memberi sumbangan yang pantas dilirik oleh ilmu sosial dunia. Sayangnya di Kalteng, untuk menghargai diri sendiri saja agaknya masih sesuatu masalah yang tidak sederhana.[]

KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah (Lekda Kalteng)

DUSTA DALAM SEJARAH

Jurnal Toddopuli

(Cerita untuk Andriani S. Kusni & Anak-Anakku)

“Berdustalah terus-menerus dan sampai akhir, maka dustamu akan dipandang sebagai kebenaran”, demikian doktrin Goebel, Menteri Penerangan rezim  Hitler di bidang informasi pada masa Perang Dunia II.

Dusta sebagai doktrin begini pun telah diikuti oleh banyak negeri di dunia dalam melancarkan perang urat-saraf atau psy-war. Sampai seorang perwira tinggi tentara Kerajaan Inggris yang bertugas pada Departemen Psy-War semasa Perang Dunia II, dalam buku kenang-kenangannya (Memoire) menyebut diri sebagai “pahlawan dusta”. Sementara itu L’Histoire, sebuah majalah bulanan Perancis, Paris, yang mengkhususkan diri dalam bidang sejarah, pernah menerbitkan sebuah nomor khusus bertemakan “Dusta dalam Sejarah Dunia”.

Adanya dusta dalam sejarah, dilakukan berkaitan erat dengan kepentingan dan tujuan-tujuan politik sejarah. Karena itu sering kita dengar ucapan bahwa “sejarah adalah sejarah pihak yang berkuasa”. Sejarah yang ditulis dan diajarkan di sekolah-sekolah sering merupakan sejarah pihak yang berkuasa yang tidak segan melakukan dusta. Karena itu Prof. Dr. Arkoun dari Universitas Sorbonne, Paris membedakan adanya dua jenis penulisan sejarah yaitu sejarah ilmiah dan sejarah politik.

Sejarah politik adalah sejarah yang penuh dengan warna kepentingan dan tujuan politik. CIA, dinas rahasia Amerika Serikat yang notorius itu, menurut Letkol. Penerbang Heru Atmodjo, mantan Kepala Dinas Intelijen AURI zaman Pemerintahan Soekarno, yang pernah belajar pada CIA, dalam salah sebuah ceramahnya di Paris, mengatakan bahwa CIA menggunakan metode Goebel juga dalam informasi dan menanggapi isu-isu.

Masalah pencukilan mata dan tindakan-tindakan pengirisan bagian-bagian tubuh tertentu para jendral oleh Gerwani dan yang terbunuh pada awal terjadinya Tragedi Kemanusiaan September 1965 adalah salah satu bentuk dusta dalam sejarah Indonesia. Oleh penuhnya sejarah Indonesia dengan dusta maka sementara sejarawan menyerukan perlunya upaya dan berupaya “meluruskan sejarah”.

Dusta dalam sejarah negeri kita, paling tidak telah menduduki tempat utama semasa Orde Baru. Dusta dalam sejarah menjadi alat politik dari pihak yang sedang berkuasa guna mempertahankan kekuasaannya. Dari keadaan demikian, nampak bahwa sejarah merupakan medan tarung berbagai kepentingan politik sehingga sejarah yang dominan lebih banyak menampakkan diri sebagai sejarah kepentingan politik. Para pahlawan dalam sejarah kepentingan politik demikian sering dibunuh berkali-kali.

Jika demikian, mungkinkah ilmu sosial, termasuk ilmu sejarah, benar-benar obyektif? Pertanyaan ini dijawab oleh  Jan Myrdal, sosiolog dari Swedia, bahwa obyektivitas  ilmu sosial mempunyai batasnya.

Soal dusta dalam sejarah ini juga sempat menjadi salah satu tema pembicaraan saya ketika pada suatu malam berkunjung ke rumah Pak Sabran Ahmad – salah seorang tokoh yang sering disebut sejak awal turut berjuang mendirikan Kalimantan Tengah sebagai provinsi tersendiri lepas dari Kalimantan Selatan.

“Pada beberapa tulisan, wawancara, konfrensi-konfrensi dan kongres yang diselenggarakan oleh komunitas Dayak di Kalimantan Tengah, sejak tahun 1990an, saya sering membaca dan mendengar tentang peran penting Gerakan Mandau Talawang Panca Sila (GMTPS) dalam pembentukan provinsi  Kalimantan Tengah. GMTPS melancarkan pemberontakan  bersenjata untuk mewujudkan keinginan tersebut. Sebagai salah seorang tokoh dari angkatan tua yang mengikuti sejak awal perkembangan dan turut berjuang supaya Kalimantan Tengah sebagai provinsi tersendiri, saya ingin mengetahui duduk perkara sebenarnya. Apakah benar Provinsi Kalimantan Tengah berdiri karena pemberontakan GMPTS?” Demikian saya bertanya kepada Pak Sabran Achmad yang rambutnya sudah putih semua, tapi dalam usia senja demikian, beliau selalu nampak hadir dalam kegiatan-kegiatan penting di Palangka Raya.

“Saya memastikan bahwa pandangan demikian tidak lain dari pernyataan dusta yang dipolitisir. Demi kepentingan politik pihak tertentu. Tuntutan Kalimantan Tengah provinsi tersendiri sebenarnya sudah disetujui oleh Kementerian Dalam Negeri, jauh sebelum adanya GMTPS),” tegas Pak Sabran Achmad. “GMPTS mempunyai kaitan dengan Kesatuan Rakjat Jang Tertindas yang dipimpin Ibnu Hajar setelah terjadi yang berpusat di Kalimantan Selatan. Kesatuan Rakjat Jang Tertindas ini lahir menyusul “rasionalisasi dalam tubuh TNI”, sebuah politik dari pemerintah pusat untuk membuat TNI lebih profesional. Karena tidak puas dengan politik rasionalisasi ini, maka Ibnu Hajar dengan Kesatuan  Rakjat Jang Tertindas-nya melancarkan kerusuhan-kerusuhan. Oleh TNI, Kesatuan Rakjat Jang terindas dipandang sebagai “gerombolan pengacau”. “Nama lain dari Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII/NII) yang dpimpin oleh Kartosuwiryo dan Kahar Muzakar, sedangkan di Kalimantan dipimpin oleh Ibnu Hajar. Gembolan Kesatuan Rakjat Jang Tertindas ini berkeliaran juga di daerah Hulu Sungai, mau pun pedalaman kabupaten Kapuas, Barito, dan Kotawaringin, dipimpin oleh Adjai dan Sapari ( Prof. Dr. Ahim S. Rusan, et al, 2006:114).

Didalamnya terdapat orang-orang yang kemudian membentuk dan bergabung dengan GMTPS. Kongres Rakyat Kalimantan Tengah Pertama mengusulkan amnesti terhadap mereka yang dari Kalimantan Tengah  dan tergabung dalam Kesatuan Rakjat Jang Tertindas. Setelah amnesti ini diberlakukan maka jumlah pengikut  GMTPS di Kalimantan Tengah menjadi bertambah besar. Sayangnya mereka banyak melakukan tindak-tindak kriminal sehingga diburu dan dikejar oleh TNI. Demikian Pak Sabran Achmad yang selanjutnya mengatakan bahwa dibesar-besarkannya peran GMTPS disertai oleh latar politik. Kepentingan politik jugalah yang sering memutarbalik sejarah.

Untuk memastikan keterangan maka saya kembali menanyai Pak Sabran Achmad: “Jadi tidak benar bahwa terbentuknya provinsi Kalimantan Tengah dicapai melalui perjuangan bersenjata?”

“Sama sekali tidak. Pemerintah Pusat di Jakarta melalui Kementerian Dalam Negeri sudah menyetujui pembentukannya. Tinggal melaksanakan keputusan tersebut. Pembentukan provinsi Kalimantan Tengah adalah hasil perjuangan damai. Saya turut dalam upaya ini sejak awal.”

Tentang hal ini “Sejarah Kalimantan Tengah” yang disusun oleh Prof. Dr. Ahim S. Rusan et.al. menulis:

“Ketika Menteri Dalam Negeri Prof. Dr. Mr. Hazairin, berkunjung ke Banjarmasin pada tanggal 25 Juni 1954, Panitia Penyalur  Hasrat Rakyat Kalimantan Tengah (PPHRKT)  dengan juru bicara J. M. menyampaikan pernyataan kepada Mendagri, yang intinya:

  1. Menyambut dengan tangan terbuka pengangkatan Raden Tumenggung Arjo Milono (RTA Milono) sebagai Gubernur Kalimantan  yang baru oleh Pemerintah Pusat;
  2. Menegaskan baha resolusi, mosi dan pendapat-pendapat rakyat yang disampaikan kepada Pemerintah Pusat melalui PPHRKT tentang terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah yang berotonom penuh agar segera direalisasikan, demi perubahan dan jaminan perbaikan nasib mereka. Pernyataan yang sama menyusul datang dari PPHRKT  Sampit – Kabupaten Kotawaringin yang ditandatangani oleh Paul Alang, Tiel Jelau dan Eddy Yacob.  (Prof. Dr. Ahim S.Rusan et.al. 2006:119)

Sedangkan Gerakan Mandau Talawang Panca Sila baru didirikan pada 23 Agustus 1953. Sementara Sarikat Kaharingan Dayak  Indonesia (SKDI) yang mempunyai basis massa kuat, berdiri pada 20 Juli 1950 dan dalam Kongres Bahu Palawa (15-22 Juli 1953, menuntut terbentuknya Provinsi Kalimantan Tengah. Ikatan Keluarga Dayak (IKAD) pada tahun 1951 tanpa ragu menyokong tuntutan SKDI. IKAD pada tahun 1954 memprakarsai pembentukan Panitia Penyalur Hasrat Rakyat Kalimantan Tengah (PPHRKT).

Dari catatan-catatan di atas nampak bahwa hasrat untuk mendirikan provinsi Kalimantan Tengah, jauh sudah ada sebelum GMTPS didirikan 23 Agustus 1953 di Desa Bunnar (Bundar), Kecamatan Dusun Utara.

“Apa tujuan penonjolan peran GMTPS seakan sangat menentukan?”

“Masalahnya sederhana, yaitu agar orang-orang GMTPS diakui sebagai barisan para pejuang dan mereka bisa menuntut dana dan posisi dari pemerintah sebagai  para pejuang. Yang lebih menarik, agar bisa diakui sebagai pimpinan GMTPS ada orang yang mengubah tanggal lahirnya sehingga lebih tua dari abang kandungnya sendiri, yang memang berjasa untuk Kalimantan Tengah. Waktu perjuangan membentuk Kalimantan Tengah orang ini masih berada di SMP.”

“Soal lain, dari seorang teman asal Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito, saya mendapat keterangan bahwa di Barito santer terdengar cerita bahwa ada sebuah tempat di mana Simbar (dari Barito), salah seorang pimpinan GMTPS, melakukan duel dengan Tjilik Riwut (dari Katingan). Apakah cerita ini mempunyai dasar kebenaran?”

“Cerita demikian tidak lain dari isapan jempol belaka,” jawab Sabran Achmad singkat.

Saya mengkhawatirkan kesemrawutan yang disebut sejarah begini bisa dijadikan benih yang sengaja ditabur untuk kepentingan politik tertentu untuk mengadu orang dari DAS satu dengan DAS lainnya, sesuatu yang sudah sangat kadaluwarsa. Hanya saja yang kadaluwarsa pun untuk kepentingan politik bisa dibongkar dan dibangkitkan kembali. Barangkali petaka beginilah yang bisa ditimbulkan oleh dusta dalam sejarah. Dusta dan rumor sama berperannya dan sering digunakan dalam politik lalu menabur pertikaian.

Sebagai acuan, dalam simpang-siur pandangan tentang GMTPS ini berikut saya kutip apa yang ditulisan oleh Prof. Dr. Ahim S. Rusan et al dalam “Sejarah Kalimantan Tengah”. Kutipan panjang ini bermaksud berupaya mendeteksi apa GMTPS itu sebenarnya – yang isunya masih mencuat sampai sekarang. Barangkali penelitian netral dan berjarak  tentang GMTPS masih diperlukan agar bisa lepas dari lingkaran kesemrawutan sejarah di Kalimantan Tengah.

4. PERJUANGAN GERAKAN MANDAU TALAWANG PANCA SILA (GMTPS)

1. Berdirinya GMTPS

Meski pun dalam penjelasan UU Nomor 25 Tahun 1956 ada peluang untuk membentuk provinsi Kalimantan Tengah tiga tahun kemudian, rakyat di tiga Kabupaten merasa kurang puas. Rakyat  tidak sabar dan tetap mendesak agar pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah segera dilaksanakan. Ketidakpuasan dan ketidaksabaran rakyat yang tergambar dengan timbulnya gerakan-gerakan yang kemudian merupakan perlawanan bersenjata terhadap alat kekuasaan Pemerintah.

Pada tanggal 23 Agustus 1953, rakyat di Kewedanaan Barito Hilir, diprakarsai pemuda Desa Bunnar (Bundar) di wilayah Kecamatan  Dusun Utara sekarang, mendirikan sebuah organisasi perjuangan yang diberi nama Gerakan Mandau Talawang Panca Sila (GMTPS) dengan susunan pengurus:

Ketua: Christian Simbar/Mandulin/Uria Mapas

Wakil Ketua: Satiman Dusau

Sekretaris: Buri Ngaji

Wakil Sekretaris: Mading Liwan

Bendarahara: Sinin Dinan

Wakil Bendahara: Komodor Nimban

Pembantu Umum: Nating Rani, Kudi, dan Debar

Adapun tujuan pokok perjuangan GMTS adalah:

Memperjuangkan agar memiliki provinsi sendiri terpisah dari Kalimantan Selatan dengan nama Provinsi Kalimantan Tengah.

Dengan berstatus Provinsi, GMTPS selanjutnya memperjuangkan peningkatan harkat dan martabat dan kesejahteraan rakyat di Kalimantan Tengah dan

Mewaspadai segala bentu kegiatan sementara kalangan yang berniat menghianati Negara Republik Indonesia Proklamasi 17 Agustus 1945 yang bersendikan Pantja Sila.

Berdasarkan tujuan pokok tersebut di atas, GMTPS sebenarnya tidak memiliki program perjuangan dengan cara kekerasan dan kekuatan senjata.

Apabila pada awal berdirinya GMTPS dicurigai oleh aparat keamanan  sebagai “pengacau keamanan”, tapi sesungguhnya GMTPS setia kepada Negara Kesatuan RI seperti yang dinyatakan dalam butir  (3) tujuan pokok perjuangan GMTPS di atas. Fakta juga membuktikan bahwa:

Bersamaan waktu dengan gencarnya tuntutan membentuk Provinsi Kalimantan Tengah, hadir pula gerakan yang menamakan diri KJRT(Kesatuan Rakjat Jang Tertindas) pimpinan Ibnu Hdjar, yaitu faksi bagian dari gerombolan DI/TIII yang bergerak di Kalimantan Selatan termasuk daerah Kalimantan Tengah sekarang). Apabila gerombolan KRJT melakukan aksinya di desa-desa, dan diketahui bertemu dengan gerombolan GMTPS , pasti terjadi kontrak senjata di antara kedua kubu. Tindakan GMTPS itu menunjukkan bahwa mereka ikut membantu pihak keamanan dalam menanggulangi kekacauan daerah yang ditimbulkan gerombolan KRJT itu.

Praduga keterlibatan GMTPS menggunakan kekerasan bersenjata berawal dari peristiwa terbunuhnya Taoke kapal “Gin Wan II” mili Warga Negara Keturunan Cina di Desa Kalahien (kurang lebih 14 kilometer dari Kota Buntok) pada akhir bulan September 1953. Pihak Kepolisian Buntok menuduh GMTPS terlibat dalam tindakan kekerasan tersebut. Atas dasar tuduhan itu pada bulan Oktober 1953, Kepolisian melakukan penyerangan dan penangkapan terhadap anggota GMTPS. Pihak GMTPS  tidak dapat menerima serangan polisi itu karena  tidak didasarkan atas informasi dan penyelidikan yang teliti. Sehingga pada tanggal 21 Oktober 1953,  dipimpin langsung oleh ketuanya Ch. Simbar dan didukung oleh penduduk di desa-desa sekitarnya, GMTPS melakukan serangan balasan terhadap markas Kepolisian Buntok.

Setelah diproses secara hukum, dan atas atas bantuan beberapa tokoh masyarakat Kalimantan Tengah yang ada di Banjarmasin, akhirnya hanya empat orang pengurus GMTPS yang ditahan di Banjarmasin yaitu Ch. Simbar, Satiman Dusau, Sinin Dinan dan Boeboe Simbar

Dengan demikian, sesungguhnya GMTPS terpaksa melakukan perlawanan bersenjata dan menjadi “kelompok penekan”, dalam ikut menentukan berhasilnya perjuangan rakyat Kabupaten Barito, Kapuas, dan Kotawaringin membentuk Provinsi Otonom Kalimantan Tengah (Prof. Dr. Ahim S. Rusan, et.al, 2006:121-124).

Bahwa dalam pergulatan politik, pemaduan antara perjuangan bersenjata dan perjuangan politik sudah merupakan hal yang jamak. Perjuangan bersenjata merupakan kelanjutan dan puncak perjuangan politik. Demikian pula, sudah lumrah dan dikenal umum bahwa untuk keperluan logistiknya, pasukan-pasukan geriliya melakukan “perampokan”, tapi “perampokan” yang terukur. Sebab jika tak terkendalikan, pasukan akan berubah menjadi pasukan bandit. Menjelma menjadi barusan kriminal. Siapa yang “dirampok” pun dilakukan dengan penuh pertimbangan, bukan asal-asalan. Niscayanya, jika mau berimbang dalam informasi, dokumen-dokumen pihak kepolisian dan pemerintah perlu juga ditelaah – hal yang absen dari daftar pustaka acuan “Sejarah Kalimantan Tengah”.

Kalimat-kalimat Prof. Dr. Ahim S. Rusan et. al. di atas ada mengesankan suatu kehati-hatian besar, terutama mungkin oleh pertimbangan-pertimbangan politis, terutama masalah persatuan antar Dayak, sehingga “Sejarah Kalimantan Tengah” terhadap  masalah GMTPS seperti kalimat-kalimat kompromis. Ataukah kompromi begini dimaknakan sebagai melihat permasalahan secara imbang dan adil?

Tapi dari sejarah yang kompromis, tidak bisa diharapkan untuk mendapatkan kejelasan obyektif. Sejarah yang kompromis dibimbing oleh ide penyatuan, suatu tujuan politik. Kebenaran berada di tingkat kedua atau ketiga.

Dusta, pemelintiran, kompromi agaknya penyakit akut dalam penulisan sejarah.***

Palangka Raya, 2009

JJ. Kusni