Jurnal Toddoppuli
Cerita Buat Andriani S. Kusni & Anak-Anakku
Oleh: Kusni Sulang
Belum Bahadat* (hidup beradat) termasuk salah satu istilah yang paling sering diucapkan, terutama oleh para petinggi daerah dan orang-orang dari Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) serta Dewan Adat Dayak (DAD).
Apakah yang dimaksudkan dengan ‘belum bahadat’ (‘bahadat’ berasal dari kata dasar ‘hadat’, dalam bahasa Dayak Ngaju) itu? Tentang hal ini pun dalam perumusan, yang merupakan cerminan dari pemahaham, nampaknya juga masih belum satu.
Menurut Perda No. 16 Tahun 2008 “Yang dimaksud dengan falsafah hidup “Budaya Huma Betang atau Belom Bahadat” adalah perilaku hidup yang menjunjung tinggi kejujuran, kesetaraan, kebersamaan dan toleransi serta taat pada hukum (hukum negara, hukum adat dan hukum alam). Apabila telah mampu melaksanakan perilaku hidup “Belom Bahadat”, maka akan teraktualisasi akan wujud “Belom Penyang Hinje Simpei” yaitu hidup berdampingan, rukun dan damai untuk kesejahteraan bersama” (hlm. 49).
Sedangkan Drs. Silvanus Subandi, STL. PR. dari Keuskupan Palangka Raya, merumuskan belum bahadat “prinsip dasar hidup yang menjunjung tinggi nilai adat-istiadat yang menekankan nilai moral dan spiritual seperti hormat terhadap orang tua, sesama, alam semesta dan Sang Pencipta” (bedah buku Falsafah Hidup Budaya Huma Betang dalam Membangun Kerukunan Hidup Umat Beragama di Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah, disampaikan pada 13 April 2012). Drs. Silvanus Subandi , STL. PR. menamakan prinsip dasar hidup ini juga sebagai “prinsip hidup inklusif dan pluralis” (ibid).
Perbedaan dua perumusan di atas terletak pada bahwa yang satu menganggap belum bahadat sebagai perilaku sedangkan yang lain yaitu Drs. Silvanus Subandi, STL. Pr. memandangnya sebagai prinsip dasar hidup. Dari prinsip dasar hidup inilah perilaku itu bermula. Kemudian Drs. Silvanus Subandi, STL. Pr. juga mencakup dua bidang yaitu bidang etika, moral, dan spiritual. Yang etika dimisalkan oleh Pastur Subandi seperti hormat terhadap orang tua dan terhadap sesama, kejujuran, toleransi, sedangkan nilai moral mengungkapkan diri dalam bentuk menghormati kebersamaan hidup bermasyarakat, memandang sesama secara setara.
Sementara penghormatan pada alam semesta tidak lepas dari sikap menghormati kepentingan hidup bermasyarakat sebab dampak kerusakan alam oleh sikap tidak menghormatinya, akan mendera banyak orang.
Penghormatan kepada Sang Pencipta berarti mematuhi jalan yang ditunjukkan-Nya dan diturunkan melalui berbagai Nabi. Jalan ini jalan menuntun anak manusia yang diciptakannya. Apabila anak manusia tidak menghormati Sang Penciptanya ia akan menyeleweng dari Jalan Sang Pencipta itu sehingga terjadi hal-hal yang dia bahadat (tidak beradat, tidak menjunjung nilai-nilai hadat. Jalan Sang Pencipta adalah jalan yang holistik. Mencakup seluruh bidang kehidupan.
Dari perumusan Pastur Subandi nampak bahwa belum bahadat adalah menjunjung nilai-nilai hadat dan mencakup hubungan antar sesama, hubungan dengan alam, dan hubungan Sang Pencipta, tiga hubungan yang dirangkum oleh filosofi. Filosofi ini lahir dan berkembang dengan berpatokan pada jalan yang ditunjukkan oldeh Sang Pencipta, sebagai bentuk penghormatan kepada-Nya.
Kemudian menggunakan filosofi ini guna menjawab permasalahan kehidupan, lahirlah hadat. Mula-mula berbentuk kebiasaan, kemudian dalam proses perkembangnya diterima sebagai konvensi bersama, lalu konvensi ini berkembang menjadi hukum yaitu hukum hadat.
Dalam ruang dan waktu, masyarakat tidak henti berkembang, demikian pun hukum hadat berkembang menyertainya. Yang tidak mampu berkembang mengikuti perubahan waktu dan ruang, bisa dipastikan akan lenyap. Misal, upacara perdamaian saki palas menggunakan darah hewan, barangkali pada suatu waktu tertentu, yaitu pada saat agama Orang Dayak relatif homogen, berlaku pada semua Orang Dayak. Tetapi pada saat Orang Dayak sudah menganut bermacam-macam agama, maka upacara saki palas ini tidak digunakan untuk mereka yang menganut agama Islam yang memandang upacara menggunakan darah hewan sebagai hal yang tidak bisa diterima. Untuk itu, sebagai gantinya diberlakukan upacara tampung tawar, upacara damai tanpa menggunakan darah. Bentuk upacara yang bisa diterima oleh semua pihak. Upacara tampung tawar, selain mengandung sifat relijiusitas, secara etika ia pun menunjukkan keluwesan dan toleransi dalam hadat Dayak. Fleksibilitas ini pun diperlihatkan pada upacara manetek pantan , saat menerima tamu-tamu yang dihormati. Baram (tuak lokal) digantikan dengan air putih. Tanduk kerbau digantikan dengan gelas.
Kedekatan hubungan antara ciri relijiusitas atau spiritualitas dan adat, sangat nampak pada tingkat masyarakat agraris. Apabilaa dlihat dari segi sejarah perkembangan masyarakat, ciri-ciri ini dominan di tingkat masyarakat komune primitif, perbudakan dan feodal, pada tingkat-tingkat mana alat produksi dan cara berproduksi masih bersandar pada alam dan tangan manusia. Misalnya melindungi lingkungan dilakukan dengan pahewan, pali-pali, gana, dan meyakini bahwa setiap pohon, sungai, gunung dan lain-lain mempunyai penunggu yang harus diminta izin terlebih dahulu sebelum diolah. Barangkali hakikat dibalik yang disebut polytheisme adalah sikap menghormati alam semesta.
Dilihat dari proses kelahirannya, hadat dan hukum adat yang demikian, nampak bahwa tujuannya tidak lain dari bagai kehidupan itu bisa diselenggarakan secara beradab sesuai dengan filosofi yang merupakan pengejawantahan Jalan Sang Pencipta sebagai sumber. Karena itu, hadat, di samping mempunyai karakteristik etik dan moral, ia pun mempunyai sifat spiritual atau relijiusitas.
Apabila membaca sejarah kebudayaan Dayak, akan tujuan memanusiawikan diri sendiri, kehidupan dan masyarakat, sejak Maharaja Bunu sebagai manusia pertama di bumi (“Saran Danum Kalunen”), setelah meninggalkan Saran Danum Sangiang, ia dan turunannya membawa misi yang demikian.
Jadi hadat sebenarnya tidak lain dari salah satu wujud produk kebudayaan suatu masyarakat untuk membuat masyarakatnya beradab, bahadat atau manusiawi. Selain sebagai wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat, hadat juga adalah salah satu wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan nilai-nilai, norma-norma, peraturan-peraturan, dan sebagainya (Kluckhohn, in: Prof. Dr. Koentjaraningrat, 2004:2).
Idea atau gagasan sentral hadat jadinya terletak pada upaya memanusiawikan diri sendiri sebagai manusia, kehidupan dan masyarakat. Bagaimana memperadabkan tutur kata, perilaku warga masyarakat, guna menciptakan masyarakat yang beradab sehingga kalau dilihat dari tujuan ini hadat, pertama-tama adalah gagasan, ide, prinsip dasar, yang dijelmakan dalam ketentuan-ketentuan yang diterima sebagai suatu konsensus sosial dengan mana kemudian antara hidup masyarakat diatur, termasuk bagaimana berperilaku di hadapan sesama, lingkungan, alam semesta dan Sang Pencipta. Perilaku hanyalah bentuk pengejawantahan apakah prinsip dasar hidup ini dilaksanakan atau tidak. Yang tidak melaksanakan akan disebut dia bahadat dan akan didera oleh sanksi sosial.
Dengan adanya sanksi sosial sebagai hukum bagi yang tidak melaksanakan konsensus sosial ini, secara implisit hadat melukiskan suatu tipe manusia yang dikehendaki oleh suatu masyarakat pada suatu zaman dan ruang tertentu.
Tiap-tiap etnik dan bangsa sesuai dengan sejarah perkembangan etnik dan atau bangsa itu mempunyai tipe manusia yang dikehendaki sesuai konsensus sosial mereka. Hal ini dilukiskan dan disimpulkan secara baik oleh tetua dalam kata-kata “lain padang lain belalang, lain lubuk lain ikannya’. Karena itu para tetua juga menyimpulkan agar “di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”. Kesimpulan ini pun bertolak dari ide sentral, membangun masyarakat yang beradab atau bahadat. Dijunjung tidaknya ide sentral ini bisa diketahui dari bahasa, sebagai lumbung nilai seseorang, etnik dan atau bangsa, sehingga para tetua juga menyimpulkan pengalaman mereka dalam ungkapan “bahasa menunjukkan bangsa”. Melalui bahasa yang digunakan interlukutor bisa membaca hadat pengguna bahasa itu. Sehingga bahasa merupakan bagian dari hadat.
Kalimantan Tengah sebagai bagian dari wilayah Republik Indonesia RI), komposisi demografisnya telah mengalami perubahan drastis. Kalau dahulu dominasi Dayak sangat jelas sehingga Prof. Dr. Mubyarto setelah melakukan penelitian di Kalteng, menyebut Kalteng sebagai “The Heartland of Dayak”, oleh adanya transmigrasi masif dan eksploitasi alam yang terkadang buas (l’exploitation sauvage), yang menarik minat warga RI dari etnik-etnik lain untuk datang, maka Tanah Dayak secara demografis tidak lagi didominasi oleh Orang Dayak. Mereka beranak beristri, tinggal dan bekerja di Kalteng hingga berpuluh-puluh tahun. Tapi ironinya, tidak sedikit di antara mereka yang berbahasa Dayak pun tak bisa, apalagi mengenal adat-istiadat Dayak. Secara kebudayaan mereka masih hidup di ghetto-ghetto budaya mereka tanpa berbaur. Kalteng hanya jadi kemah sementara mereka sebelum balik kampung. Kalteng dijadikan kebun halaman rumah mereka di tempat lain.
Sikap beradat menurut budaya Dayak dan nilai-nilai republikan serta berkeindonesiaan, mereka niscayanya memandang Kalteng sebagai kampung-halaman mereka sendiri. Kampung halaman mereka sesungguhnya, bukan kampung halaman-kampung halaman, apalagi memandangnya hanya sebagai tempat berkemah atau kebun halaman rumah mereka di tempat lain. Memandang /Kalteng secara begini, mempertahankan ghetto budaya, hanya akan memelihara benih konflik secara tidak sadar, dan menjurus ke penguasaan Kalteng sebagai tanah jajahan di zaman RI.
Yang paling sesuai adalah bersikap seperti yang dirumuskan oleh Salengkat Pardosi, Kepala Kesbangpolinmas Provinsi: “Saya Uluh Kalteng yang lahir di Sumatera Utara”. Artinya Pardosi merasa dirinya Uluh Kalteng (Orang Kalteng), bukan pendatang. Sebagai Uluh Kalteng, Pardosi, dalam batas kemampuannya, turut membangun Kalteng sebagai kampung halamannya. Sikap Pardosi ini adalah sikap republikan dan berkeindonesiaan, sikap bahadat. Sebagai Uluh Kalteng menguasai bahasa Dayak dan terus belajar budaya Dayak. Dengan pandangan, sikap dan praktek begini, Pardosi telah meninggalkan konsep “dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung”sebagai konsep usang dan kadaluwarsa. Pardosi melaksanakan wacana baru dimana langit dijunjung di situ bumi dibangun. Saya kira, Jalan Pardosi atau Jalan Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng adalah jalan yang semestinya dilakukan oleh semua Uluh Kalteng tanpa kecuali. Jalan Pardosi adalah jalan belum bahadat sesungguhnya. Sebab belum bahadat sesungguhnya tidak lain dari prinsip dasar hidup yang republikan dan berkeindonesiaan.
Apakah dengan memilih jalan demikian, Pardosi melepaskan budaya ibunya yaitu budaya Tapanuli? Saya kira tidak. Budaya Batak tidak bisa dibuang dari nadi Pardosi. Tapi di Kalteng, Pardosi sudah menjadi Dayak-Batak atau Uluh Kalteng sebagai pengejawantahan nilai-nilai hadat republikan dan berkeindonesiaan di Kalimantan Tengah.
Republik dan Indonesia, saya kira tidak lain dari semacam hadat bagi bangsa dan negeri ini. Pengejawantahan hadat RI ini di masing-masing ruang akan disesuaikan dengan keadaan ruang tersebut sehingga membumi. Karena itu ada hadat lokal, ada pula hadat nasional. Keduanya rasuk (compatible). Tidak bertentangan tapi saling melengkapi. Untuk pemanusiawian hidup dan masyarakat di wilayah RI, niscayanya pemerintah mengakui hadat lokal ini, sehingga tidak terjadi apa yang dikatakan oleh Hakim Agung Dr. Abdurahman bahwa “Orang Dayak itu eksistensinya diakui tapi hak-haknya tidak diakui”.
Hadat lokal, dalam sejarahnya ada dan berlaku di masyarakat lokal jauh sebelum RI sebagai Negara berdiri. Juga sudah ada sebelum kolonialisme tiba. Hadat lokal ini oleh Belanda diakui eksistensinya dan perannya sebagai lembaga independen. Pada masa Orde Baru , sesuai dengan pendekatannya yang notorious yaitu “pendekatan keamanan dan stabilitas nasional”, lembaga-lembaga adat digolkarkan. Seperti diketahui Golkar pada masa Orde Baru Soeharto adalah partai pemerintah. Artinya lembaga adat dianeksi oleh kekuasaan demi kepentingan politiknya. Sejak itu, lembaga adat Dayak Kalteng mengalami kerusakan dan pelemahan luar biasa. Orde Baru jauh lebih berhasil daripada kolonialisme Belanda dalam melemahkan lembaga adat Dayak Kalteng.
Pada masa pemerintah gubernur Warsito Rasman, atas prakarsa antara lain LSM pertama Kalteng Talusung Damar bekerjasama dengan Universitas Palangka Raya dan Pemerintah Provinsi, sebuah seminar diselenggarakan dan mengeluarkan suatu rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi untuk mengembalikan lembaga adat sebagai lembaga independen
Independensi ini kemudian ditarik kembali oleh Perda No. 16 Tahun 2008, yang membuat lembaga adat kembali dianeksi oleh kekuasaan. Sebagai lembaga yang dianeksi, lembaga adat kehilangan independensi dan tidak lagi bisa leluasa antara lain melakukan pengawasan sosial sebagai salah satu perannya. Yang menjadi pertanyaan, apakah lembaga adat perlu dianeksi oleh kekuasaan atau tidakkah lebih zamani dan perlu jika cukup dengan rekognisi (pengakuan) baik oleh pemerintah pusat maupun oleh pemerintah daerah? Dampak dari aneksi tentu akan berbeda daripada rekognisi. Oleh aneksi, mau-tidak mau, suka-tidak suka, lembaga adat akan mengikuti alur politik penganeksi, sehingga hakekatnya tidak lain dari kendaraan politik saja dari penganeksi. Lembaga adat menjadi kehilangan peran sejatinya. Dan bukan tidak mungkin adat pun jadi komoditas.
Dalam keadaan demikian sulit membayangkan lembaga adat bisa sangat berperan dalam mewujudkan belum bahadat, sebagai prinsip dasar hidup. Ia tidak bisa bersuara dan bertindak dihadapan perilaku dia bahadat pemegang kekuasaan. Lembaga adat akhirnya menjadi alat jinak (docile tool) kekuasaan politik, bahkan dijadikan barisan pengawal kekuasaan. Pergulatan politik di tingkat elit kekuasaan, memungkinkan lembaga-lembaga adat yang berada di bawah kendali masing-masing elit, bisa berlaga satu dengan yang lain. Atau menyabot berkembangnya lembaga-lembaga adat. Sementara slogan “manggatang utus” (mengangkat etnik Dayak), walaupun secara substansi sangat baik dan zamani, tapi dalam keadaan tertentu, ia pun bisa menjadi slogan pencitraan kekuasaan dan dimanfaatkan kekuasaan.
Sebagai docile tool atau barisan pengawal kekuasaan, lembaga adat akan kehilangan prakarsa. Padahal prakarsa dan berkembangnya prakarsa merupakan salah satu ciri dari belum bahadat. Karena seperti dikatakan di atas, tujuan dari konsensus sosial adalah untuk menjadikan bumi (Saran Danum Kalunen) sebagai tempat hidup anak manusia secara manusiawi dengan mutu yang terus-menerus meningkat. Tujuan ini hanya bisa dilaksanakan jika prakarsa berkembang leluasa. Keleluasaan prakarsa dan mutu prakarsa berkembang akan berjalan seiring dengan mutu sumber daya manuusia (SDM).
Oleh sebab itu, peningkatan belum bahadat banyak ditentukan oleh kesadaran dan pengetahuan sehingga warga masyarakat adat menjadi aktor kemajuan diri sendiri dan masyarakat yang pintar-harati (berketerampilan dan bahadat atau berbudi) dan berkomitmen manusiawi sesuai filosofi hidup-mati manusia Dayak, “rengan tingang nyanak jata” (anak enggang putera-puteri naga). Untuk terwujudnya yang terakhir ini, pendidikan melalui berbagai cara memainkan peran penting menentukan. Bukan disandarkan pada sanksi. Singer, sebagai bentuk sanksi hadat sesungguhnya juga dimaksudkan untuk mendidik agar anak manusia, yaitu anggota masyarakat adat itu menghormati diri sendiri, sesama, alam semesta dan Sang Pencipta. Manusia yang beretika, bermoral, berwacana dan berkomitmen manusiawi. Dari segi ini, maka belum bahadat, bisa dikatakan sebagai wacana pendidikan di kalangan masyarakat Dayak, bukan hanya suatu perilaku. Di samping itu, ia pun merupakan wacana kebudayaan, sehingga warga masyarakat adat Dayak, selain menjadi Dayak juga menjadi anak manusia yang beradab (bahadat) tapi juga anak manusia yang tidak lepas akar. Budaya lokalnya, budaya Dayak menjadi bahasanya dalam pergaulan di tingkat-tingkat lebih luas dari langit kampung-halamannya. Dalam pergaulan dengan budaya-budaya lain inilah hadat membuat dirinya kian kaya dan zamani .
Yang terjadi sekarang di Kalteng justru keadaan sebaliknya. Kreativitas diganti oleh epigonisme, ciri produktif diganti oleh kemabukan konsumtif, sifat mandiri diganti oleh ketergantungan. Untuk melayani keperluan konsumtif ini, apa saja dijual, termasuk kampung-halaman dijual, tanpa berpikir panjang dan dampak-dampaknya, baik dampak publik maupun individual.
Konsumerisme ini mengubah manusia Dayak, lebih-lebih para elitnya menjadi pedagang primer. Apa saja yang bisa dijual, dijual, termasuk kebudayaan yaitu hambaruan manusia. Ciri-ciri yang jauh dari cita-cita dan prinsip dasar hidup belum bahadat. Ciri-ciri yang jauh dari tujuan wacana belum bahadat ini dipandang sebagai modernitas, tanggap dengan yang disebut era globalisasi, tanpa mengetahui bahwa globalisasi yang dimaksudkan adalah globalisasi sebagai perkembangan mutakhir dari kapitalisme yang memperdagangkan bumi dan bahkan manusia. Mereka sama sekali tidak tahu tentang altermondial yang dicetuskan di Porto Alegre, sebuah kota kecil di Brasilia.
Konsumerisme yang demikian berkembang di Kalteng, bertolakbelakang dengan wacana belum bahadat, telah mengembangkan pola pikir dan mentalitas instanisme dan egoisme dikalangan manusia Dayak yang cenderung individualis dari dulu.
Kreativitas adalah keakraban pada keadaan. Dilihat dari temuan-temuannya maka kreativitas itu hakekatnya adalah pemberontakan terhadap ketidakadilan dan segala yang tidak manusiawi. Termasuk ketidakmanusiawian dan ketidakadilan yang terdapat pada hukum formal. Terhadap hukum begini, sesuai dengan filosofi Dayak yang Utus Panarung maka penafsiran belum bahadat antara lain sebagai “taat pada hukum (hukum Negara, hukum adat dan hukum alam)” saya khawatirkan merupakan perumusan berbahaya. Sebab bisa berkembang menjadi ketaatan membuta dan menjadi alat jinak kekuasaan tanpa mengindahkan apakah hukum itu adil, manusiawi atau tidak.
Hukum tidak selamanya adil dan manusiawi. Hukum bukan Sang Pencipta tapi diciptakan oleh manusia sehingga terbuka pada kesalahan bahkan ketidakmanusiawian. Pembatalan ratusan Perda oleh Mendagri dan revisi beberapa pasal UU oleh Mahkamah Konstitusi tidak lain dari bukti dari terbukanya Perda dan UU pada kesalahan dan ketidakadilan. Karena itu, belum bahadat menurut filosofi Dayak adalah termasuk keberanian melawan ketidakadilan dan ketidakmanusiawian yang terdapat pada hukum dan peraturan-peraturan. “Diam , tidak melawan kita akan dibunuh” (silence on tue), tulis filosof Perancis Andre Glucksman.
Kalau pengamatan saya benar, saya melihat bahwa lembaga adat sesungguhnya merupakan gantungan harapan masyarakat lapisan bawah untuk membela hak-hak mereka dan memberdayakan diri, terutama masyarakat Dayak. Apabila lembaga adat ini lemah seperti sekarang, bahkan terkontaminasi oleh virus yang ditebarkan oleh “uang sang sang raja” (l’argent roi), saya tidak bisa optimis melihat ke depan. Yang saya lihat jelas, jika tidak segera ada pemberdayaan lembaga adat, tindakan-tindakan dia bahadat akan makin menjadi-jadi. Berharap sekali bahwa saya salah. Belum bahadat akhirnya tinggal jargon atau slogan politik kosong. Hidup berharkat dan bermartabat tak obah cakrawala nampak di mata tapi tak teraih tangan. Cakrawala nampak itu pun berada di genggaman “uang sang raja”.
Dengan lemahnya lembaga-lembaga adat, masyarakat, terutama masyarakat Dayak, tidak lagi mempunyai sarana untuk melakukan pengawasan sosial dan alat untuk membela dan memperjuangkan hak-hak dan kepentingan mereka, lebih-lebih dalam keadaan Negara meninggalkan warganegaranya sehingga masyarakat menjadi masyarakat otopilot.
Untuk memperkuat kembali lembaga adat, barangkali pertama-tama pemahaman tentang apa hakekat yang disebut belum bahadat sebagai wacana perlu jelas-jemelas. Kejelasan dalam pemahaman merupakan condition sine qua non penguatan lembaga adat dan terwujudnya prinsip dasar hidup belum bahadat.
Pemahaman mendalam ini bisa diperoleh apabila kita seperti dikatakan oleh mantan Presiden RI Abdurrahrahman Wahid, jika “bila mau mengembangkan alat-alat “kultural” yang senada, seperti pepatah Minangkabau “bule’ aia di pambuluah, bule’ kato di mufakat” (bulat air di pancuran, bulat kata karena mufakat), yang menunjukkan kepada kita, segala sesuatu harus dimusyawarahkan. Dan, pendapat yang berjumlah kecil harus mematuhi pendirian yang berjumlah besar, sedangkan yang besar harus menghargai pendapat mereka yang berjumlah kecil” ( in:http://www.kompas.com/kompas-cetak/0406/28/opini/1110135.htm, 28 Juni 2004).
Saling mendengar dan saling memberikan tempat cukup lapang bagi kebenaran pihak lain, apalagi dalam pencarian yang bersifat pemikiran atau ide. Pendekatan kekuasaan dan kekuatan tidak memberikan tempat lapang begini dan membuat kemampuan mendengar jadi berkurang. Padahal segalanya bermula dari pikiran atau pemahaman. Sehingga sebagaimana ditulis oleh tajuk rencana Harian Kompas, Jakarta (20 April 2012): “Tanpa rekayasa dan intervensi sistematis untuk membalikkan kondisi ini, sama saja kita kita sedang membangun bangsa konsumen raksasa dan gali kubur sendiri”. Peringatan Tajuk Rencana Harian Kompas ini pun juga dialamatkan kepada Kalimantan Tengah, yang jika mau jujur mempunyai ciri-ciri masyarakat daerah jajahan.
Dengan kata lain, perubahan masyarakat (transformasi sosial) melalui rehumanisasi sosial merupakan agenda yang pengabaiannya akan membuat liang kubur menganga lebar. Dilaksanakan-tidaknya prinsip dasar hidup holistik belum bahadat jadinya, terutama dan pertama-tama oleh pengelola kekuasaan dan elit masyarakat terlebih dahulu merupakan keniscayaan mendesak.[]
*) Saya tidak menuliskan belum bahadat dengan ortografi belom bahadat, sebagaimana yang yang digunakan oleh Perda No.16 Tahun 2008 dan banyak penulis. Sebab dalam bahasa Dayak Ngaju, sebuah kosakata dibaca sebagaimana ia ditulis, dan ia ditulis sebagaimana kosakata itu diucapkan. Bahasa Dayak Ngaju tidak mengenal perbedaan antara yang diucap dengan yang ditulis. Apabila kosakata belum ditulis sebagai belom maka ia dibaca belom bukan belum. Belom adalah kosakata yang tidak dikenal oleh bahasa Dayak Ngaju. Artinya antara fonetik dan ortogrqafik tidak ada perbedaan. Sampai sekarang dalam bahasa Dayak Ngaju terdapat kesimpang-siuran ortografi. Karena itu seniscayanya kesimpangsiuran ini diselesaikan melalui suatu kongres atau konfrensi daerah tentang bahasa Dayak Ngaju.
KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah (Lekda Kalteng)