Catatan Kusni Sulang
http://epaper.radarsampit.net/arsip/byTanggal/2018-03-11
Hari Senin tanggal 5 Maret 2018 di Hotel Fovere, Palangka Raya, Dinas Kehutanan dan Lingkungan Hidup Provinsi menyelenggarakan sebuah rapat sosialisasi tentang Pengakuan Masyarakat Hukum Adat dan Hutan Sosial dengan pembicara utama dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Jakarta, ditambah dengan tiga orang narasumber lain, di antaranya Deddy dari Dewan Adat Dayak Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng). Dari Deddy-lah saya pertama kali mendengar tentang terjadinya Peristiwa Desa Pondok Damar, Kecamatan Mentaya Hilir Utara, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim), tanpa merinci lebih lanjut apa-bagaimana. Rincian Peristiwa saya peroleh kemudian dari media massa cetak Palangka Raya pada 6 Maret 2018 sedangkan dua videonya yang dibuat oleh seorang teman di lapangan, diperlihatkan oleh sohib saya Chandra Palusan yang mengajar di Politekhnik Kesehatan. Dua video lain hasil karya BorneoNews TV dan Apriyanto yang melukiskan suasana di medan konflik inipun bisa disaksikan melalui youtube.
Peristiwa Desa Pondok Damar yang menurut menurut kaltengekspres.com, meletus pada tanggal 3 Maret 2018, tapi tidak terekspos oleh media, bermula dari pencurian buah kelapa sawit sebanyak sembilan kilogram oleh warga Desa Pondok Damar dari kebun milik PT Mustika Sembuluh, anak perusahaan Wilmar Group. Pencurian itu diketahui oleh bagian keamanan (Satpam) PT Mustika Sembuluh. “Petugas keamanan perusahaan lantas mengejar hingga rumah penduduk hingga ke Desa Pondok Damar dimana yang dituduh mencuri bertempat tinggal atau berlindung. Petugas keamanan perkebunan yang berjumlah puluhan (orang itu–KS) kemudian merusak rumah warga dan mengakibatkan seorang ibu hamil mengalami pendarahan” (Harian Kalteng Pos, 9 Maret 2018). Harian Radar Sampit (7 Maret 2018) melaporkan bahwa petugas keamanan perkebunan yang menyerang rumah adik Santo yang dituduh mencuri buah kelapa sawit itu berjumlah sekitar 30-an orang, bersenjatakan mandau dan samurai menggunakan tiga buah kendaraan roda empat. Di samping merusak rumah warga (adik Santo), petugas keamanan perusahaan itu juga melakukan pengrusakan terhadap sapundu dan sandung (Lihat: Harian Kalteng Pos. 6, 7, 8 dan 9 Maret 2018). Sandung adalah tempat menyimpan tulang-belulang mereka yang sudah ditiwahkan. Sapundu merupakan satu kesatuan dari sandung.
Pada Minggu (4/3/2018), Komandan Kodim (Dandim) 1015 Sampit, Letkol. Inf. Sumarlin Marzuki memantau langsung kondisi Desa Pondok Damar dan mendatangi sandung serta sapundu dan rumah warga, terletak dekat sandung. Setelah melihat keadaan rumah, sandung dan sapundu itu, Sumarlin Marzuki menyayangkan adanya perusakan terhadap situs budaya suku. Sebab, situs budaya merupakan salah satu identitas kekayaan dan keragaman Indonesia. “Situs budaya semacam ini janganlah dirusak, ini bukti jika negara kita ini memiliki kebudayaan yang beragam. Harus saling jaga,” ujarnya setelah mendengar uraian singkat tentang apa sandung dan sapundu.
Sementara Kapolres setempat AKBP Muchtar S Siregar juga tidak menyangkal telah terjadi perusakan tersebut. Menurut Muchtar S Siregar. dari hasil pemeriksaan memang ada situs adat yang diduga dirusak oleh oknum satpam PT Mustika Sembuluh (Wilmar Group). Kejadian tersebut sebenarnya bermula kurang lebih satu bulan lalu, ketika satpam perusahaan sedang mengejar seseorang yang diduga melakukan pencurian buah sawit milik perusahaan. Saat itu pelaku melarikan diri ke arah rumah warga tersebut. Menduga pelaku berada di rumah warga tersebut, oknum satpam pun berusaha memanggil agar pelaku menyerahkan diri. Namun usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Merasa geram, oknum satpam pun melakukan perusakan dengan cara memecahkan beberapa kaca jendela rumah warga tersebut. Tapi pelaku tetap tidak ditemukan. Salah seorang warga yang melihat perusakan itupun tidak terima dan berusaha membalas perusakan yang dilakukan oknum satpam perusahaan tersebut dengan memecahkan kaca mobil yang digunakan para satpam. Dan pada akhirnya kejadian itupun dibawa ke ranah hukum. Demikian keterangan Muchtar S. Siregar selaku Kapolres setempat (https://www.borneonews.co.id/berita/88118-kapolres-kotawaringin-timur-situs-adat-juga-dirusak-oleh-oknum-satpam).
Keluarga Santo yang rumahnya dirusaki mengatakan “Kalau menuduh keluarga kami ada mencuri sawit, tidak seharusnya sampai merusak sandung (baca: kuburan — KS) orangtua kami. Kami sekeluarga mengeluarkan biaya besar untuk menggelar tiwah tapi mereka merusaknya”. “Keluarga Santo jual kebun untuk melakukan tiwah, kenapa dirusak? Itu bagi kami sangat sakral,” ujar Sukarjo. kepala BPD Desa Pondok Damar. Sedangkan bagi Santo dan keluarganya perusakan sandung dan sapundunya, merupakan satu pelecehan dan menyangkut soal harga diri (Harian Radar Sampit, 7 Maret 2018).
Terhadap cara penanganan masalah pencurian seperti yang dilakukan oleh petugas keamanan PT Mustika Sembuluh anak perusahaan Wilmar Group seperti di atas, Gubernur Kalteng Sugianto Sabran mengatakan bahwa kalaupun benar ada tindakan pencurian, ia meminta semua pihak tidak main hakim sendiri, serta mengupayakan tetap menjaga situasi keamanan dan ketertiban di daerah ini (Harian Kalteng Pos, 6 Maret2018) sedangkan Dewan Adat Dayak (DAD) Provinsi Kalteng memandang dengan “geram” cara-cara yang digunakan oleh petugas keamanan PT Mestika Sembuluh sebagai pelanggaran adat. DAD Provinsi Kalteng berjanji untuk mengawal penyelesaian soal penyerangan ini secara hukum dan mempertimbangkan untuk menyidangkan PT Mustika Sembuluh anak perusahaan Wilmar Group ke Pengadilan Adat (Harian Kalteng Pos, 8 Maret2018). Ketua DAD Kalteng, Agustiar Sabran menyatakan “jika memang terjadi pengrusakan situs tersebut, pihaknya akan mengusulkan kepada Gubernur Kalteng agar perusahaan tersebut dicabut hak guna usaha (HGU). Pihaknya juga akan menggelar sidang adat setelah tim investigasi mencari fakta di lokasi. (http://www.kalamanthana.com/2018/03/05/ini-usulan-dad-jika-betul-terjadi-pengrusakan-sandung-pondok-damar).
Menurut Kepala Dinas Dinas Perkebunan Kalteng Rawing Rambang, berdasarkan analisa data dan perjalanan dunia perkebunan di Kalteng, dari 183 jumlah Perusahaan Besar Swasta (PBS) di Kalteng, PT Wilmar Group merupakan yang paling sering bermasalah. Di Mustika Sembuluh, plasma hanya 182 hektare. Artinya tidak sampai satu persen dari 15 ribu hektare luas kebun (Harian Kalteng Pos, 7 Maret 2018). Selanjutnya Rawing menjelaskan bahwa “Kalau hitungan untung-rugi jika ada plasma, perusahaan tidak akan rugi. Hanya, tentu saja, keuntungan mereka yang berkurang sedikit. Toh yang diterima dari petani juga Tandan Buah Segar (TBS), belum jadi Crude Palm Oil (CPO). PT Mustika Sembuluh mempunyai luas 15 ribu dampaknya pada perekonomian pasti dirasakan daerah setempat. Apalagi secara ekonomi, investasi PBS satu ini cukup berpengaruh makro bagi Kalteng “ (Lihat: Harian Kalteng Pos, 7 Maret 2018).
Tidak dilaksanakannya ketentuan UU, Peraturan Menteri dan Perda, menurut gubernur Kalteng Sugianto Sabran dan Kepada Dinas Perkebunan Rawing Rambang menjadi sebab terjadinya sengketa, termasuk Peristiwa Desa Pondok Damar sekarang. Masyarakat sekitar tidak diberdayakan, desa termarjinalkan dan tak punya halaman. Tenaga kerja gak terserap. Yang datang tenaga kerja dari luar (lihat: Harian Kalteng Pos, 7 Maret 2018). Pencurian, berbagai kejahatan, rupa-rupa tindak kekerasan dan sengketa, lahir dari keadaan sosial-ekonomi yang buruk ini. Keadaan sosial-ekonomi berpengaruh pada pembentukan pikiran dan mentalitas yang selanjutnya mewujudkan diri dalam tindakan.
Dari kalangan petinggi-petinggi PBS, saya pernah mendapat keterangan bahwa pencurian itu selain dilatarbelakangi oleh keadaan sosial-ekonomi yang pincang, dilakukan oleh suatu mafia atau geng berjejaring. Adanya jejaring ini membuat pencurian buah kelapa sawit nampaknya akan berlangsung lama. Peserta geng berjejaring ini dipertemukan oleh kondisi sosial-ekonomi demikian juga. Kondisi sosial-ekonomi yang runyam begini pula yang menjadi tanah subur bagi tumbuh berkembangnya hedonisme. Sementara hedonisme memang punya akar dalam masyarakat Dayak Kalteng seperti tertuang dalam pandangan “dia’ jadi bari” (tidak jadi nasi).
Peristiwa Desa Pondok Damar nampaknya hanyalah pemunculan sebuah puncak dari gugusan barisan gunung es yang mengisyaratkan bahwa seperti yang dilukiskan oleh Rawing bahwa sampai hari ini, investasi di Kalteng belum menguntungkan masyarakat setempat. Undang-Undang dan peraturan tidak diindahkan. Yang berlaku adalah rencana dan kehendak PBS seperti tercermin dari sikap pongah Satpam-nya di Desa Pondok Damar. Sikap pongah Satpam PT Mutiara Sembuluh dan PT Mutiara Sembuluh yang menolak mediasi untuk menyelesaikan sengketa atau permasalahan (lihat: Harian Kalteng Pos, 9 Maret 2018). Sikap pongah ini muncul karena tahu posisi mereka dalam perekonomian Kalteng seperti dikatakan oleh Rawing Rambang “investasi PBS satu ini cukup berpengaruh makro bagi Kalteng”. Penyelenggara Negara pun tahu posisi Wilmar Group yang demikian dan boleh jadi turut mendapatkan kenyamanan khusus sehingga sekalipun tidak mematuhi UU dan berbagai peraturan, PBS ini tetap saja dibiarkan beroperasi.
Apa arti pembiaran ini? Saya memahami sikap demikian sebagai sikap dan pilihan politik: politik investasi. Soal inti dari politik investasi adalah siapa mengatur siapa? Apakah penyelenggara Negara yang mengatur investor ataukah sebaliknya, investor yang mengatur penyelenggara Negara melalui kolusi, gratifikasi, dll, dsb. Karena itu sering dikatakan bahwa sumber daya alam dan perkebunan merupakan sarang korupsi. Sikap dan tindakan PT Mutiara Sembuluh–Wilmar Group seperti mengisyaratkan bahwa dialah yang mengatur penyelenggara Negara.
Apakah pernyataan Gubernur Kalteng, Sugianto Sabran “Intinya, silakan berinvestasi, tapi yang baik,” (lihat: Harian Kalteng Pos, 6 Maret 2018) merupakan koreksi terhadap politik investasi yang diterapkan hingga hari ini, jawabannya akan diucapkan oleh waktu. Apakah berinvestasi yang baik berarti baik untuk mayoritas penduduk Kalteng ataukah hanya baik untuk segelintir. Semoga saja istilah “yang baik” ini, bukan sinonim dari upaya terselubung melakukan monopoli, yang akibatnya akan sama tidak baik; bisa menjadi basis ekonomi bagi lahir dan pengembangan dinasti, entah itu dinasti ekonomi maupun dinasti politik, yang selanjutnya akan berdampak negatif besar pada perkembangan manusia dan daerah.
Kecuali hal-hal di atas, Peristiwa Desa Pondok Damar juga saya pahami sebagai isyarat bahwa keadaan Kalteng sesungguhnya jika disebut “mapan” maka “kemapanan” itu berada di atas kerusakan. “Seperti padang ilalang kering yang rentan terbakar oleh sepercik bunga api sekalipun “, jika meminjam seorang teman yang turut bertanggungjawab atas keamanan provinsi ini. Kerentanan ini tidak lain dari produk pilihan politik — pilihan politik erat hubungannya dengan kepentingan pedagang primer yang menjadi politisi.
Isyarat lain yang dikatakan oleh Peristiwa Desa Pondok Damar adalah lemahnya masyarakat adat Dayak Kalteng baik secara organisasi atau kelembagaan maupun sebagai masyarakat adat. Jika kuat, bisa dipastikan tidak siapapun yang berani merusak kuburan orang tua atau tetua Dayak; tidak akan ada petinggi PBS cq. Indomoro Kencana yang lantang berkata di depan publik sambil mengacung-ngacung uang lembaran Rp 50 ribu: “What they need is this!” (Apa yang mereka perlukan adalah ini!). Jika masyarakat adat Dayak kuat, tidak akan ada para pihak yang menegasi keberadaan masyarakat adat Dayak. Kelemahan ini juga misalnya diperlihatkan oleh kejadian saling gugat antar pengurus DAD Kotawaringin Barat. Dan banyak contoh lagi. Kuatnya masyarakat adat dan kelembagaan adat dengan para pemangku adat yang berkualitas baik akan membuat masyarakat adat bermartabat. Perlawanan bela diri, membela dan merebut haknya akan menjadi lebih rasional, lebih cerdas, tidak hanya emosional dan berdasarkan okol. Kata-katanya akan mempunyai daya paksa.
Kemudian, apakah meletusnya Peristiwa Pondok Damar menunjukkan pemerintah hadir di tengah warga akar rumput yang merupakan dasar piramida bangunan suatu masyarakat? Konflik antara masyarakat, terutama masyarakat pedesaan dengan PBS di provinsi ini, termasuk di Kabupaten Kotim tidak pernah usai. Konflik satu disusul oleh konflik yang lain. Penyelenggara Negara hanya menjanjikan tahun depan, bulan depan, satu dua minggu lagi akan diselesaikan. Tapi janji-janji itu tidak pernah berbentuk nyata. Amorp. Bupati Kotim misalnya pernah berjanji untuk menyelesaikan sengketa antara PBS dan warga pedesaan Kotim dalam satu tahun? Hasilnya? Muncul Peristiwa Pondok Damar. Apakah janji Gubernur dan DAD Kalteng kali ini akan berbeda hasilnya?
Peristiwa Desa Pondok Damar juga mengisyaratkan bahwa sudah saatnya daerah ini tidak memperluas wilayah penanaman kelapa sawit di tanah Kalteng yang di tahun 1990 hanya tersisa 20 persen dari seluruh luas Kalteng yang luasnya 1,5 kali Pulau Jawa. Sambil menuju proses perubahan agraria sesungguhnya, barangkali melaksanakan Program Sosial yang diajukan Presiden Joko Widodo, kita coba mempercepat pelaksanaannya. Di samping itu keperluan adanya Peraturan Daerah Tentang Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan Masyarakat (Hukum) Adat sebagai pelaksanaan UU Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa hari ini kiranya kian mendesak, baik untuk tingkat Provinsi maupun tingkat kabupaten.
Kemampuan membaca isyarat kehidupan akan membantu seseorang dalam menangani secara cerdas dan tepat permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Membaca artinya mengenal persis keadaan, menganalisa dan menyimpulkan serta melaksanakan kebijakan yang didapat dari bacaan tersebut. Hanya saja memang tak sedikit yang tidak buta aksara tapi tidak bisa membaca.[]
Palangka Raya, 8 Maret 2018