Halaman Budaya Sahewan Panarung | 18 Mei 2023 | Tentang Konsep Osborne-Gaebler

Radar Sampit, Minggu, 18 Juni 2023

Anda tidak akan pernah memahami birokrasi sampai Anda memahami bahwa bagi birokrat, prosedur adalah segalanya dan hasil tidak berarti sama sekali. Asli: You will never understand bureaucracies until you understand that for bureaucrats, procedure is everything and outcomes are nothing.
–          Thomas Sowell (1930-  ), Ekonom dari Amerika Serikat

Birokrasi adalah tempat kita semua jatuh sakit. Die Bürokratie ist es, an der wir alle kranken.
–          Otto von Bismarck(1815-1898), negarawan dan perdana menteri dari Jerman

Jadi, jika kita berbohong kepada pemerintah, itu kejahatan. Jika mereka berbohong kepada kita, itu politik.
–          Bill Murray (1950-   ), aktor Amerika

Dalam politik, kebodohan bukanlah cacat.
–          Napoleon Bonaparte

Salah satu alasan orang membenci politik adalah bukan kebenaran menjadi tujuan politisi, tapi pemilihan dan kekuasaan.
–          Cal Thomas (1942), kolumnis, pengarang dan komentator Amerika


Catatan Pengantar Andriani SJ Kusni

Tentang Konsep Osborne-Gaebler

Ilustrasi Birokrasi. Kredit: Ahmad Fauzan

Terjemahan buku Reinventing Government diterbitkan tahun 2005. Selama 23 tahun kehadirannya, nampak apa yang diketengahkan oleh David Osborne dan Ted Gaebler selaku penulis mulai menyusup ke dunia akademi dan ke kalangan para politisi.

Barangkali pengaruh ini berkaitan dengan perkembangan reformasi 1998 yang oleh berbagai pihak disebut telah dibajak, dibajak terutama oleh kelompok oligark yang sekarang menguasai penyelenggaraan Negara dengan menyingkirkan ide utama reformasi di segala bidang. Buku ini seakan memberi dasar teori bagi berlangsungnya kombinasi politisi-pembisnis seperti halnya karya Franḉis Fukuyama, The End of History, memberi penjelasan tentang keruntuhan Uni Soviet dan negeri-negeri sosialis Eropa Timur, lalu dilanjutkan oleh S. Huntington dengan buku Benturan Budaya, yang mencoba menggambarkan kontradiksi Barat versus Islam.

Resensi buku Reinventing Government ini, kami dahulukan penyiarannya dibandingkan dengan naskah-naskah tersedia lainnya karena kami ingin segera mengajak para pembaca menjawab pertanyaan: Benarkah tawaran gagasan Osborne dan Gaebler cocok untuk Indonesia yang kebingungan mencari jalan keluar? Apakah gagasan Reinventing Government sesuai dengan  cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945? Apa dampaknya bagi negeri dan bangsa ini apabila konsep Osborne dan Gaebler dijadikan pegangan oleh para penyelenggara Negara?

Bahinip itah matei,” ujar seorang petani Samuda yang sering kami kutip dan “salah satu alasan orang membenci politik adalah bukan kebenaran menjadi tujuan politisi, tapi pemilihan dan kekuasaan”, tulis Cal Thomas (1942), kolumnis, pengarang dan komentator Amerika.

Kita biarkankah kebenaran dicampakkan dari kehidupan?

Dunia pemikiran memang merupakan suatu gelanggang di mana orientasi sebuah negeri dan bangsa ditetapkan. Hasil pergulatan pemikiran ini akan menetapkan sistem apa yang akan diterapkan oleh penyelenggara Negara untuk negeri ini dan hal demikian mempengaruhi seluruh bidang kehidupan termasuk kebudayaan.[]


Resensi Buku

Mewirausahakan Birokrasi:

Mentransformasikan Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik

Oleh: Sukidjo | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Judul asli: Reinventing Government: How the Entrepreneurial is Transforming the Public Sector

Pengarang: David Osborne & Ted Gaebler

Penerjemah: Abdul Rosyid

Tahun Penerbitan: 2000

Penerbit: Pustakawan Binaman Pressindo

ISBN 979-442-043-3

Jumlah Halaman: 400 + xx

Buku ini terdiri atas 11 bab dilengkapi 2 lampiran dan indeks. Di dalam Pendahuluan, diuraikan tentang perestroika Amerika Serikat yang memberikan gambaran bahwa sejak tahun 1980 kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sudah menurun, bahkan pada tahun 1990-an penurunan kepercayaan tersebut cukup tajam sehingga dapat dikatakan pemerintahan sudah mati atau menemui jalan buntu.

Sehubungan dengan itu, tidak mengherankan jika hanya 5% warga Amerika Serikat yang akan memilih jabatan dalam pemerintahan dan hanya 13% dari pegawai tinggi federal yang merekomendasikan karier pegawai negeri. Pada tahun 1990, USA mengalami defisit yang tradisional yang sifatnya mengatur, menguasai menuju ke arah memberikan kesempatan kepada masyarakat.

Langkah pertama, mewirausahakan birokrasi adalah pemerintah lebih mengutamakan kegiatan yang bersifat mengarahkan daripada kegiatan yang sifatnya mengatur. Konsekuensinya, perlu ada redistribusi kepenguasaan dan pemerintah. Secara tradisional, peran pemerintah adalah mengatur dan kurang mengedepankan dialog. Dalam konsep baru, peran pemerintah diharapkan lebih bersifat mengarahkan pada dialog serta membangun kemitraan dengan swasta khususnya kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan.

Langkah kedua, dilakukan dengan cara menempatkan pemerintah sebagai milik masyarakat dengan mengutamakan memberikan wewenang ketimbang melayani. Pemberian wewenang kepada masyarakat dipandang sebagai suatu tradisi yang telah berlaku di Amerika, mengingat negara Amerika Serikat merupakan sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai kelompok organisasi masyarakat yang mandiri. Jika para birokrat tetap mengendalikan pelayanan publik, berarti akan mengurangi kepercayaan dan kompetensi warga masyarakat sehingga akan berdampak pada ketergantungan, dan adanya ketergantungan sudah tentu kurang menguntungkan. Dengan adanya pemberian kewenangan kepada masyarakat, maka partisipasi masyarakat akan meningkat. Dicontohkan dalam bidang pendidikan, para orangtua membentuk dewan sekolah dan dewan ini bertindak sebagai direksi, mempekerjakan dan menentukan kepala sekolah atas dasar jasa atau prestasi kerjanya dan bukan atas dasar senioritas belaka. Dengan memberikan kewenangan kepada masyarakat diharapkan akan dapat membangkitkan kepercayaan serta mampu memberikan solusi yang lebih baik mengingat masyarakat memiliki komitmen yang lebih tinggi serta lebih memahami masalahnya dan dapat menegakkan standar perilaku yang lebih efektif.

Langkah ketiga, perlunya pemerintahan yang kompetitif yakni perlunya persaingan dalam memberikan pelayanan. Kompetisi yang sehat akan memberikan keuntungan antara lain terjadinya efisiensi yang lebih besar, meningkatkan respon terhadap kebutuhan pelanggan, mendorong inovasi, dan membangkitkan rasa harga diri maupun semangat juang.

Langkah keempat, perlu adanya perubahan dalam tata kerja pemerintahan, yakni mengubah dari sistem pemerintahan yang digerakkan oleh peraturan menuju pemerintahan yang digerakkan oleh misi. Misi yang akan dicapai hendaknya dipandang sebagai arah kebijakan pemerintah. Organisasi yang digerakkan dengan misi ternyata memiliki keuntungan, yakni akan lebih efisien dan efektif, inovatif, fleksibel, serta memiliki semangat kerja yang lebih tinggi. Sehubungan dengan itu, disarankan dalam menyusun anggaran perlu didasarkan pada misi. Demikian juga dalam menentukan personalia. Untuk dapat membangun organisasi yang digerakkan oleh misi, perlu ada pernyataan tentang misi serta mengorganisasi berdasarkan misi dan bukan berdasarkan atas kekuasaan.

Langkah kelima adalah menciptakan pemerintahan yang berorientasi pada hasil. Penilaian hasil didasarkan pada kriteria kepuasan pelayanan, tingkat partisipasi masyarakat, serta kualitas lingkungan. Untuk mendukung hal tersebut, pemerintah sebaiknya mengembangkan sistem insentif sebagai bentuk penghargaan terhadap prestasi hasil.

Langkah keenam, adalah pemerintahan yang berorientasi pada pelanggan yakni berusaha memenuhi  kebutuhan pelanggan (masyarakat) dan bukan untuk memenuhi kebutuhan birokrasi. Jika pemerintah berorientasi kepada birokrasi, dikhawatirkan akan dapat menimbulkan arogansi birokrasi dan atau akan lebih mengutamakan untuk memenuhi kebutuhan kelompok kepentingan. Masyarakat merupakan pelanggan pelayanan pemerintah sehingga pelayanan kepada rakyat akan semakin baik. Untuk itu, pemerintah sebaiknya lebih mendekatkan diri kepada kebutuhan rakyat.

Langkah ketujuh, pemerintahan wirausaha merupakan pemerintahan yang berorientasi untuk menghasilkan daripada sekedar membelanjakan. Jika orientasi pemerintahan hanya pada pengeluaran maka akan terjadi pemborosan. Untuk itu, perlu ada perubahan orientasi yang mendorong kekuatan dan motif bahwa setiap pengeluaran hendaknya dapat menghasilkan target tertentu. Memang diakui bahwa untuk dapat menghasilkan diperlukan biaya. Biaya tersebut dapat dikenakan kepada mereka yang mendapatkan manfaat kegiatan yang bersangkutan. Pembiayaan atau pengeluaran hendaknya dipandang sebagai kegiatan menabung sehingga setiap pengeluaran atau investasi dimasudkan untuk mendapatkan hasil. Untuk itu, perlu diadakan pengubahan pada diri manajer publik termasuk pada birokrat agar selalu bertindak dan berpikir sebagai wirausaha, bersifat inovatif, efisien, serta berani melakukan investasi.

Langkah kedelapan adalah pemerintahan yang antisipatif sehingga perlu bertindak cepat dan mempersiapkan diri terhadap keadaan yang akan terjadi berdasarkan data dan trend yang ada pada saat kini. Oleh sebab itu, perlu menerapkan prinsip ‘mencegah lebih baik dari pada mengobati’. Dalam sistem pemerintahan tradisional, umumnya kegiatan yang dilakukan lebih banyak yang bersifat reaktif: menyelenggarakan pelayanan jasa untuk mengurangi masalah. Misalnya, untuk menanggulangi masalah kesehatan, pemerintah mendanai perawatan kesehatan. Untuk mengurangi kejahatan, pemerintah mendanai polisi yang lebih banyak. Dalam pemerintahan yang antisipatif: dalam mengurangi masalah kesehatan, pemerintah membangun sarana air bersih, pengolahan limbah, pengawasan makanan, menyelenggarakan vaksinasi dan sebagainya, yang semua kegiatan merupakan upaya pencegahan. Kegiatan pencegahan macam ini diharapkan akan lebih dapat memecahkan masalah daripada hanya memberikan pelayanan jasa. Untuk dapat mengantisipasi keadaan yang akan timbul, perlu dilakukan analisis berbagai tantangan yang kemungkinan akan terjadi kemudian mempersiapkan langkah-langkah mengantisipasinya. Dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang sifatnya antisipatif terhadap apa yang akan terjadi diharapkan dampak negatif akan dapat diminimalisasi serta pembiayaan untuk mengatasi hal tersebut akan lebih sedikit, serta akan dapat menghindarkan diri dari kemungkinan krisis yang timbul. Sehubungan dengan itu, maka pemerintah hendaknya memiliki pandangan ke depan dan dapat mengantisipasi akan yang akan terjadi di masa depan, selanjutnya merumuskan sejumlah kegiatan daIam suatu kerangka rencana strategis. Kegiatan yang dilakukan tidak hanya sekedar kegiatan yang sifatnya rutin. Untuk keperluan penyusun strategis dan penganggaran jangka panjang dapat dibentuk komisi masa depan.

Langkah kesembilan adalah pemerintahan desentralisasi. Lima puluh tahun lalu, pemerintahan yang tersentralisasi sangat diperlukan karena teknologi informasi masih primitif,  komunikasi antarlokasi masih sangat lamban, sumber daya manusia masih lemah. Di masa kini, teknologi komunikasi berkembang pesat, komunikasi antardaerah berjalan lancar bahkan untuk daerah terpencil sekalipun, sumber daya manusia (lebih) berkualitas, sarana dan prasarana umum lengkap dan memadai. Bahkan perubahan keadaan dalam era globalisasi dapat dikatakan luar biasa sehingga wajar bila disebut sebagai era komunikasi dan teknologi. Apa yang terjadi di suatu wilayah dengan segera dapat diketahui oleh daerah lainnya. Dengan adanya kemajuan informasi dan teknologi maka pemerintahan yang berjiwa wirausaha menghendaki terjadinya desentralisasi dalam pengambilan keputusan. Pemerintahan atau lembaga yang terdesentralisasi memiliki keunggulan: (a) lebih fleksibel karena dapat memberikan respons yang lebih cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan yang berubah; (b) lebih efektif karena dapat mengetahui perkembangan setiap saat dan dapat menciptakan solusi yang lebih baik; (c) lebih inovatif karena terbukanya gagasan dan ide dari para pelaksana di lapangan; dan (d) memberikan semangat kerja lebih tinggi, komitmen yang tinggi sehingga produktivitas yang dicapai akan semakin meningkat. Dalam rangka mendesentralisasi organisasi publik, perlu dikembangkan manajemen partisipatif. Manajemen partisipatif akan berjalan baik dalam organisasi publik yang entrepreneurial pada seluruh tingkatan organisasi.

Langkah kesepuluh adalah pemerintahan yang berorientasi pada pasar di mana perubahan-perubahan dan kebijakan-kebijakan dilakukan melalui mekanisme pasar. Dibandingkan dengan manajemen administratif, mekanisme pasar memiliki beberapa keunggulan, antara lain: (a) lebih kompetitif sehingga lebih efisien serta mutu produk dan pelayanan terjaga; (b) mendorong pelanggan untuk membuat pilihan, mengingat jumlah produk relatif cukup banyak baik jumlah maupun jenisnya; (c) dapat memberikan respon yang lebih cepat terhadap perubahan yang terjadi. Dalam rangka meningkatkan peran masyarakat dalam dunia usaha, Pemerintah menyadari perlunya pengembangan budaya wirausaha bagi seluruh masyarakat Indonesia. Sebenarnya, sejak akhir Orde Baru, pemerintah telah berusaha keras mengembangkan budaya wirausaha dengan melibatkan menteri, gubernur bank sentral serta seluruh masyarakat Indonesia. Tujuh belas menteri yang dilibatkan dalam pengembangan budaya kewirausahaan adalah menteri: Koperasi dan PPK, Perhubungan, Perdagangan, Pertanian, Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Energi, Pariwisata Pos dan Telekomunikasi, Keuangan, Tenaga Kerja, Pendidikan dan Kebudayaan, Penerangan, Agama, Dalam Negeri, Menteri Negara PPN/Ketua Bappenas, Meneg Kependudukan/Ketua BKKBN, Meneg Pemuda dan Olahraga. Pengembangan budaya wirausaha ini tertuang dalam Instruksi Presiden No. 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan. Jika dibandingkan dengan ide mewirausahakan birokrasi, pembudayaan kewirausahaan ini masih bersifat sentralistis sesuai dengan pola·kepemimpinan pada saat itu. Di masa Pemerintahan Reformasi, yang masanya dimulai oleh naiknya Presiden Habibie dan masih berlangsung hingga sekarang, pembudayaan kewirausahaan dilakukan secara terdesentralisasi yakni pemerintah menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif bagi UKM dan golongan ekonomi lemah serta memberikan kredit lunak bagi UKM. Pada tingkat perguruaan tinggi, diprogramkan pula kegiatan untuk membudayakan kewirausahaan baik dengan jalan memberikan kesempataan yang luas menyebarluaskan pengetahuan dasar kewirausahaan, pembentukan sikap wirausaha pada mahasiswa, meningkatkan kegiatan magang kewirausahaan, penyelenggaraan konsultasi bisnis dan penempatan kerja, menyelenggarakan inkubator bisnis, serta perintisan program usaha dan jasa industri. Untuk merealisasi program pembudayaan kewirausahaan di perguruan tinggi, pemerintah memberikan dana stimulan yang dikelola oleh Direktorat Pendidikan Tinggi yang kemudian dituangkan dalam Program Pengembangan Budaya Kewirausahaan.

Sumber:

Sukidjo, S. (2002). Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasikan Semangat Wirausaha ke dalam Sektor Publik. Jurnal Cakrawala Pendidikan, XXI(2). DOI:  https://doi.org/10.21831/cp.v2i2.1798. Retrieved from https://journal.uny.ac.id/index.php/cp/article/view/1798.


Halaman Budaya SAHEWAN PANARUNG asuhan Kusni Sulang & Andriani SJ Kusni, Radar Sampit, Minggu, 18 Juni 2023. Redaktur: Farid M., Penata Letak: Rafi

Jurnal Perdesaan Kusni Sulang | Ketika Léwu Berkembang Menjadi Desakota

Radar Sampit, Minggu, 12 Maret 2023

Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

Ujian terakhir dalam cara membangun peradaban ideal yang mendorong perilaku ideal manusia adalah dengan berani melihat melampaui jenis kelamin, warna kulit, asal etnis, perbedaan agama, dan perbedaan kelas untuk menemukan dan menghormati nilai setiap individu yang unik. Asli: The ultimate test on the way to establishing an ideal civilization encouraging ideal human behavior was to look bravely beyond gender, color, ethnic origin, religious difference, and class distinctions to discover and honor the value of each unique individual.
—        Aberjhani

Kita begitu cemas memikirkan masa depan, sampai-sampai kita mengabaikan masa kini, sehingga kita tidak benar-benar hidup di masa kini maupun di masa depan.
—        Paulo Coelho, Penulis dari Brazil 1947- (in: “Seperti Sungai yang Mengalir”)

Karaoke, tempat hiburan yang terletak di ujung Desakota Jakatan Raya. (Foto/Dok.: Kusni Sulang/2023)
Pasar Desakota Jakatan Raya. Foto/Dok.: Kusni Sulang /2023
Losmen Tunggal Jaya di Desakota Jakatan Raya (Foto/Dok.: Kusni Sulang/2023
Riam antara Desakota Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya. Foto/Dok.: Kusni Sulang/2023

Dalam  upaya mengembangkan Sakula Budaya mulai dari daerah perdesaan, saya dan teman-teman menjadi bolak-balik ke Linau, sebuah desa di dekat Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng).

Desa Linau, Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya terletak di tepi sungai yang sama yaitu Sungai Rungan sehingga kalau difoto dari udara agak sulit membedakan mereka dengan segera sebagaimana tidak gampang membedakan apakah itu hutan-rimba atau kebun karet atau rotan.

Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya adalah dua ‘desa’ yang terletak berhadap-hadapan berada di kedua tebing Sungai Rungan. Keduanya disambungkan oleh sebuah jembatan kecil selebar kurang lebih satu meter. Sementara, Desa Linau terletak di hulu, bisa dicapai dalam 20 menit bermobil.

Jalan menuju Desa Linau, beraspal tanpa lubang sehingga perjalanan bisa berlangsung tanpa kesulitan. Keadaan menjadi lain ketika sudah memasuki desa, apalagi pada saat atau sesudah hujan. Perbedaan keadaan  antara ‘desa’ Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya (yang berarti ‘tempat pertemuan yang ramai’), mulai dari keadaan fisik hingga ke segala bidang kehidupan.

Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya, saya sebutkan desa di antara tanda kutip sebab  saya dapatkan Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya–ibukota Kecamatan Rungan–mempunyai ciri-ciri yang tidak terdapat di daerah perdesaan sekitar, seperti di Desa Linau misalnya.

Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya walaupun masih mempunyai ciri-ciri daerah perdesaan tapi yang dominan adalah tanda-tanda kelengkapan sebuah kota. Karena itu, kedua tempat ini saya namakan desakota–bentuk permukiman yang banyak saya dapatkan di Kalimantan Tengah dewasa ini.

Bahkan ada ibukota kabupaten di di provinsi ini yang sesungguhnya belum bisa disebut sebuah kota, tapi baru berada pada taraf desakota.

Perkembangan hipotesa ini saya lihat juga di desa-desa seperti Karanganom, Jatinom dan kecamatan-kecamatan lain di Jawa Tengah (Jateng) di mana saya dibesarkan.

Desa Karanganom, Jatinom, dan lain-lain, tentu berbeda dengan kota-kota di Solo, Yogyakarta dan Klaten. Tapi sekalipun demikian, desakota-desakota tersebut mempunyai jalan-jalan yang beraspal (pada tahun 60-an, desa-desa dihubungkan oleh jalan tanah setapak), andong (kalau di Kalimantan Tengah, budaya sungai dan perahu) mulai diganti oleh sepeda motor dan mobil, mempunyai pasar dan toko-toko sebagai pusat kegiatan ekonomi (termasuk toko-toko alat bangunan), terhubungkan dengan jaringan internet dan telepon genggam, universitas tertentu mulai membuka cabang-cabangnya, mempunyai dokter dan apotik, rumah-rumah nampak kokoh sebagaimana layaknya orang tinggal menetap (sédentaire), budaya lokal mulai tergerus, para remaja mengenakan pakaian-pakaian dan berdandan ala kota yang mereka sebut sebagai ‘modern’, berbahasa pun menggunakan kosakata-kosakata yang mereka anggap sesuai zaman seperti guys, you, pergaulan muda-mudi mulai lebih leluasa, konsumerisme, hedonisme mulai dominan, dan lain-lain. Yang tidak terdapat adalah gedung-gedung kesenian atau tempat pertunjukan.

Apa yang saya lihat di desakota-desakota di Jawa Tengah, saya dapatkan kembali di Desakota Tumbang Jutuh dan Desakota Jakatan Raya dan tempat-tempat lain di Kalimantan Tengah.

Adanya perusahaan-perusahaan besar swasta (PBS) yang menyerbu Kalimantan Tengah secara masif sejak tahun 1970-an sesuai kebijakan politik dan ekonomi penyelenggara Negara (apalagi pembisnis dan politisi telah menjadi satu), menjadikan sebab pembeda penting dengan keadaan di desakota-desakota di Jawa Tengah.

Desa-desa di Kalimantan Tengah umumnya di kepung oleh PBS-PBS, entah itu HPH ataukah tambang dan perkebunan kelapa sawit. Invasi masif PBS-PBS ini, paling akhir adalah Pogram Food-Estate yang menimbulkan berbagai dampak negatif.

Tanah garapan pada tahun 2009 hanya tersisa 20 persen (penjarahan tanah ini terus berlangsung sehingga luas tanah garapan pun kian menyusut), konflik agraria terjadi dan tak selesai-selesai hingga hari ini, lapangan kerja pun menyempit terutama bagi Orang Dayak yang tidak biasa memburuh. Kegiatan-kegiatan PBS-PBS juga menyebabkan kerusakan berat terhadap lingkungan. Boleh dikatakan bahwa di antara 11 sungai besar di Kalimantan Tengah, tidak ada satupun yang bebas merkuri dan kerusakan serta tetap bisa dikonsumsi seperti sediakala. Air bersih merupakan masalah urgen mendesak.

Kalau saya perhatikan, yang dominan, apalagi di pasar Desakota Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya, bukanlah Orang Dayak, tetapi orang-orang Banjar dan Jawa. Sejak berlangsungnya invasi masif PBS, komposisi demografis provinsi ini telah berubah secara drastis. Kalimantan Tengah sudah tidak lagi menjadi Provinsi Dayak seperti yang pernah dikatakan oleh Dr. Mubyarto (alm.).

Perubahan komposisi demografis ini  berdampak pada bidang-bidang kehidupan lain termasuk dalam soal keadilan gender. Perempuan dipandang tak ubah ibarat baju. Dikenakan kalau perlu, dibuang saat dianggap tak lagi diperlukan.

Dalam kondisi begini, kawin kontrak dan atau nikah siri menjadi jamak. Saya bertanya-tanya pada diri, apakah perkawinan semacam ini bisa disebut sebagai pelacuran terselubung atau nama lain dari pelacuran model baru? Yang jelas, sependek pengetahuan saya sebagai anak damang Katingan Hilir, pada masa penjajahan Belanda dan masa awal berdirinya Republik Indonesia, hal begini dahoeloe tidak pernah terjadi sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal hukum adat Dayak berbagai Daerah Aliran Sungai (DAS). Saya tidak memandangnya sebagai suatu kemajuan yang dibawa serta oleh invasi PBS.

Desakota tumbuh dari desa memang seiring dengan invasi PBS tersebut. Di samping itu, kehadiran PBS ini membuat perdagangan narkoba, kekerasan dan pelacuran berkembang. Para pekerja PBS memerlukan doping ketika melakukan kerja fisik yang berat dan hal tersebut mereka dapatkan dari narkoba. Narkoba dan perdagangannya berada tidak jauh dari kekerasan dalam berbagai bentuk serta pelacuran baik terbuka maupun terselubung. Adanya karaoke, sebagai tempat hiburan dalam arti luas di ujung Desakota Jakatan Raya (di Kecamatan Manuhing Raya terdapat di Pasaré), tentu bukan kebetulan sebab “orang hidup tidak hanya dari dan untuk roti” (we live not for bread alone), tulis seorang sastrawan Rusia.

Di desakota-desakota di Jawa Tengah, tempat hiburan terbuka seperti ini belum pernah saya dapatkan. Benar bahwa warga desa memerlukan hiburan, tapi di Jawa Tengah mereka menggelar ketoprak dengan lakon-lakon antara lain diambil dari cerita-cerita wayang.

Kehausan akan hiburan begini, saya lihat benar ketika paman saya, Tiyel Djelau alm., membuka pasar di Kéréng Pangi, Kasongan, Katingan puluhan tahun silam. Para penambang emas terbuka di Kereng Pangi, berduyun-duyun datang dan berdangdut ria hingga larut malam. Apakah keadaan begini tidak seyogyanya membangkitkan niat untuk menggalakkan kegiatan-kegiatan hiburan sehat di perdesaan? Pelestarian budaya lokal niscayanya tidak sebatas ucapan formal standar, tapi perlu langkah-langkah konkret. Melalui kegiatan-kegiatan hiburan, kita semai nilai-nilai manusiawi dalam menyertai perubahan desa menjadi desakota–suatu perkembangan yang nampaknya ke depan akan terus berlanjut.

Guna memenuhi keperluan akan hiburan ini, di Desakota Jakatan Raya berlangsung pasar malam selama beberapa pekan. Seperti biasa, pada kesempatan ini para pedagang kecil membuka lapak dan berlangsung berbagai pertunjukan. Lagu-lagu Jawa diperdengarkan. Tapi tidak saya dengar adanya lagu-lagu Dayak. Tentu saja saya tidak berkeberatan apapun lagu-lagu Jawa atau daerah manapun diperdengarkan karena dengan cara demikian berbagai etnik bisa saling tukar budaya dan mengapa tidak kemudian saling serap.

Yang mau saya angkat di sini adalah masalah pasar malam dengan segala acara pertunjukannya sebagai sarana penyebaran budaya dan ide yang terkandung. Masalahnya di sini adalah pertahanan budaya Orang Dayak. Kalau pertahanan mereka tidak kuat, mereka akan tenggelam dan mencampakkan budaya mereka sendiri. Kalau kuat, maka apa yang dari luar itu bisa mereka jadikan acuan dalam mengembangkan budaya zamani mereka sendiri sehingga keragaman menjadi satu hal positif.

Hal-hal positif dari luar, melalui dua pemaduan, pemaduan hal-hal baik dari khazanah budaya yang sudah ada dengan hal-hal baik dari mana saja hanya akan efektif jika pertahanan budaya kita kuat. Jika tidak, kita akan menjadi epigon belaka dan atau tenggelam.

Apakah pertahanan budaya Orang Dayak cukup kuat? Tetua Desa Linau mengkhawatirkan budaya Dayak setempat makin tergerus karena itu mereka menyambut hangat adanya Sakula Budaya Bétang Tarung yang diselenggarakan di desa mereka.[**]


Kusni Sulang- Andriani SJ Kusni

Jurnal Perdesaan Kusni Sulang | Dengan Pendekatan Kebudayaan Memberdayakan Masyarakat

Radar Sampit, Minggu, 12 Februari 2023

Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

Kusni Sulang-Andriani SJ Kusni
Mendaftar peserta Sakula Budaya untuk anak-anak desa usia 8-14 tahun dan memastikan para pengajar dari desa itu sendiri. Jumlah anak-anak desa yang ingin ikut serta dalam Program Sakula Budaya ini dari hari ke hari kian bertambah. Mereka berdatangan menyatakan keinginan ikut serta. Foto: Pritendie. Dok.: Kusni Sulang, 2023

“Orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar.” —     Marcus Garvey

Apakah pemberdayaan masyarakat itu?

Banyak sekali definisi yang telah dikemukakan oleh para pihak. Beberapa dari definisi tersebut dikemukakan oleh antara lain Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDIP) yang merumuskan, pemberdayaan adalah “perluasan kemampuan dan pilihan masyarakat; kemampuan untuk menerapkan pilihan berdasarkan kondisi yang bebas dari kelaparan, kedinginan dan kekurangan; kesempatan untuk berpartisipasi dalam, atau memberi persetujuan atas, proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidupnya” (Governance for Sustainable Human Development, an UNDIP policy document, glossary key terms in: Mulya Amri, Pendahuluan: “Media Rakyat Mengorganisasi Diri Melalui Informasi”, Combine Resource Institution, Jakarta, 2007), sedangkan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mendefinisikan pemberdayaan berarti “manusia–perempuan dan laki-laki–mampu mengatur hidupnya sendiri. Perempuan dan laki-laki dapat menentukan  agendanya sendiri, menambah keterampilannya, meningkatkan kepercayaan dirinya, memecahkan masalahnya dan membangun kemandiriannya. Orang lain tidak bisa memberdayakan perempuan; hanya perempuan sendiri yang bisa memberdayakan dirinya sendiri, membuat pilihannya sendiri, atau berbicara atas namanya sendiri” (website Kementerian Pemberdayaan Perempuan, bagian glossary, in: Mulya Amri, Pendahuluan: “Media Rakyat Mengorganisasi Diri Melalui Informasi”, Combine Resource Institution, Jakarta, 2007).

Sementara Rosidi Roslan seperti disitat oleh Mulya Amri, memandang pemberdayaan adalah “segala upaya fasilitasi yang bersifat noninstruktif guna meningkatkan pengetahuan dan kemampuan  masyarakat agar mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan, dan melakukan pemecahannya, dengan memanfaatkan potensi setempat dan fasilitas yang ada” (Mulya Amri, Pendahuluan: “Media Rakyat Mengorganisasi Diri Melalui Informasi”, Combine Resource Institution, Jakarta, 2007).

Tim Penanggung Jawab Penyelenggaraan Sakula Budaya Bétang Tarung, Pebri Ayu Lestari dan Kusni Sulang, bersama sebagian anak-anak peserta Sakula Budaya. Foto Pritendie. Dok.: Kusni Sulang, 2023

Dari beberapa definisi di atas atau definisi-definisi lain yang tidak diterakan di sini, terdapat jelujur benang merah bahwa dalam kosakata pemberdayaan itu terdapat unsur-unsur yang oleh UNDIP disebut sebagai “perluasan kemampuan dan pilihan masyarakat; kemampuan untuk menerapkan pilihan berdasarkan kondisi yang bebas dari kelaparan, kedinginan dan kekurangan; kesempatan untuk berpartisipasi dalam, atau memberi persetujuan atas, proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidupnya” sementara Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan mendefinisikan pemberdayaan berarti “manusia–perempuan dan laki-laki–mampu mengatur hidupnya sendiri. Perempuan dan laki-laki dapat menentukan  agendanya sendiri, menambah keterampilannya, meningkatkan kepercayaan dirinya, memecahkan masalahnya dan membangun kemandiriannya”.

“Perluasan kemampuan dan pilihan, serta partisipasi, juga kemampuan memecahkan masalah” terjadi karena adanya peningkatan pengetahuan dan keterampilan. “Scientia potentia est pengetahuan adalah kekuatan”, ungkapan Bahasa Latin yang dikaitkan dengan Sir Francis Bacon.

Oleh Rosidi Roslan, hal ini yang digarisbawahi dan dirinci serta merupakan salah satu indikator keberdayaan ketika ia mengatakan bahwa masyarakat (anak manusia) yang berdaya adalah yang mampu mengidentifikasi masalah, merencanakan, dan melakukan pemecahannya, dengan memanfaatkan potensi setempat dan fasilitas yang ada.

Saya sebut hanya salah satu indikator dari keberdayaan masyarakat sebab Phil Barthie dalam tulisannya “Elements of Community Strength” sebagaimana dikutip oleh Mulya Amri, menyebutkan 16 indikator keberdayaan (yang di sini tidak saya bicarakan lebih lanjut).

Pengetahuan dan keterampilan yang merupakan kekuatan itu kiranya tidak bisa dipisahkan dari keberpihakan manusiawi. Tanpa keberpihakan manusiawi, pengetahuan dan keterampilan mumpuni itu bisa menjelma menjadi kekuatan perusak yang tentu saja bukan tujuan pemberdayaan manusiawi. Sebab tujuan esensial  pemberdayaan seperti disebutkan dalam budaya Dayak  melalui sastra lisannya adalah untuk membuat Saran Danum Kalunen (Pantai [dunia] Manusia), entah itu bernama bumi, tanah air, atau kampung-halaman, bisa menjadi tempat anak manusia hidup secara manusiawi sebab ciri Saran Danum Kalunen  itu adalah kekacauan tanpa henti, penuh kontradiksi. Habis satu muncul yang lain.

Untuk bisa terwujudnya perubahan Saran Danum Kalunen yang kacau itu menjadi tempat manusiawi, diperlukan anak manusia dengan tritunggal ciri yaitu gagah-berani, pintar-berbudi, kritis (berani melawan arus)-ulet, (mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh). Singkatnya, manusiawi dan berketerampilan mumpuni.

Dalam hal tuntutan memiliki keterampilan tinggi ini, pada masa Pemerintahan Soekarno dahoeloe, dikenal istilah ‘tahu segala tentang sesuatu dan tahu sesuatu tentang segala’. Maksudnya, berpandangan luas, melihat sesuatu secara multi disipliner–jika menggunakan istilah sekarang.

Anak manusia dengan tritunggal ciri tersebut yang merupakan pelaksana pemberdayaan dan perubahan maju bukanlah dilahirkan tapi menjadi atau dijadikan. Dijadikan melalui pendidikan. Gerakan penyadaran, jika meminjam istilah Pastur Brasil, Paulo Freire. Apalagi yang dimaksudkan dengan pemberdayaan dengan tujuan seperti di atas dilakukan oleh manusia dan untuk manusia. Dari, oleh dan untuk manusia.

Di mana pemberdayaan dilakukan?

Kata pemberdayaan itu sendiri menunjukkan bahwa upaya “perluasan kemampuan dan pilihan masyarakat; kemampuan untuk menerapkan pilihan” serta partisipasi itu dilakukan di tempat-tempat dan atau dikalangan lapisan masyarakat yang tidak atau kurang berdaya.

Dalam tulisan Edi Suharto, Ph.D berjudul “Pendampingan Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Miskin” sebagaimana dikutip oleh Mulya Amri, memang dilakukan khususnya dikalangan kelompok-kelompok rentan dan lemah, untuk: (a) Memiliki akses  terhadap sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa  yang mereka perlukan; dan (b) Berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Di Kalimantan Tengah (Kalteng), tempat kelompok-kelompok rentan dan lemah itu terutama di daerah perdesaan tentu tanpa menegasi adanya ketidakberdayaan di daerah perkotaan.

Untuk memenuhi keperluan hidup sehari-hari, kelompok-kelompok rentan dan lemah di daerah perdesaan Kalteng melakukannya dengan ‘menyedot’, istilah lokal untuk pencarian emas sekalipun usaha ini dinyatakan terlarang atau ilegal oleh pemerintah. Karena itu disebut PETI, penambang emas tanpa izin. Tapi karena perut tidak bisa menunggu, kelompok-kelompok rentan dan lemah ini terus saja ‘nyedot’ tanpa menghiraukan segala resiko. Artinya, usaha yang merusak lingkungan ini sebenarnya dilakukan karena terpaksa. Bagaimana tidak? Lalu mereka mendapat penghasilan dan menghidupi diri dan keluarga dari sumber apa? Karet dan rotan harganya sama sekali tidak berarti, tidak bisa menopang kehidupan, apalagi untuk menyekolahkan anak. Berladang dengan menggunakan teknologi tradisional juga dilarang–larangan ini membuat kegiatan berladang dan tradisi handep (semacam gotong-royong) memudar. Uang menggantikan segalanya, mengatur hubungan sosial.

Peraturan-peraturan yang diterbitkan oleh penyelenggara Negara mempunyai peran dalam menghancurkan kebudayaan lokal. Oleh sebab itu, keterpurukan begini saya namakan marjinalisasi total struktural. Beras dan sejumlah bahan makanan pokok lainnya jadi tergantung dari suplai luar, sedangkan dalam sejarahnya, léwu, nama dari desa adat Dayak Kalteng, dahoeloe adalah desa-desa adat mandiri, bahkan mendekati tipe autarki. Sisa-sisanya masih terdapat antara lain di desa-desa sekitar Kinipan, Kabupaten Lamandau.

Alternatif baru yang diberikan adalah Program Food-Estate yang di sementara tempat merupakan cara terselubung menjarah lahan warga. Di satu pihak mengajak partisipasi warga desa (baca: rakyat), di pihak lain tidak mengindahkan mereka–salah satu bentuk dari kepongahan kekuasaan.

Program Food Estate akan mengubah sistem pertanian di Kalteng, akan membuat warga adat Dayak Kalteng menjadi barisan koeli-koeli yang akhirnya mengubah Dayak menjadi ‘budak (jipén) kekinian’. Etnik Koeli. Ke mana-mana saya datang, terutama di daerah pedalaman, yang saya dengar nyaring pertama-tama adalah ‘jerit hewan terluka’. Ratap tangis orang kebingungan di tebing, kehilangan harapan. Saya lalu teringat akan Periode Téték Tatum (Ratap Tangis) dalam sejarah Dayak Kalteng.

Kalteng kembali menjadi kelinci percobaan program-program Jakarta.

Dampak dari ketidakberdayaan ini bersifat menyeluruh: politik-ekonomi, sosial-budaya. Karena itu penanganannya pun seyogyanya menyeluruh juga, bukan sektoral. Menyeluruh, termasuk dalam pengertian usia, mulai orang-orang tua, anak-anak remaja hingga kanak-kanak. Bukan hanya bidang-bidang.

Keadaan daerah perdesaan Kalteng hari ini selalu mengingatkan saya akan sajak Rendra (alm.) dalam antologi “Potret Pembangunan dalam Puisi”, terutama baris-baris berikut:

Aku mendengar suara
jerit hewan yang terluka

Ada yang memanah rembulan
Ada anak burung terjatuh dari sarangnya

Orang-orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan
Agar kehidupan bisa terjaga

Pertanyaan selanjutnya yang muncul adalah bagaimana ‘orang-orang harus dibangunkan’ bukan hanya sekedar ‘agar kehidupan bisa terjaga’ tapi berkembang menjadi hidup manusiawi sebagai anak manusia? Bagaimana menyelamatkan ‘anak burung terjatuh dari sarangnya’ karena anak panah pemanah rembulan bernama regulasi yang tak memihak kehidupan agar kembali terbang bebas merdeka mengangkasa sebagai laiknya seekor burung?

Dalam hubungan dengan masalah pemberdayaan, pertanyaannya menjadi ‘dari mana mulai dan apa yang harus dilakukan’?

Seperti saya katakan di atas, pemberdayaan itu dilakukan oleh manusia dan untuk manusia. Dari, oleh dan untuk manusia. Masyarakat, termasuk masyarakat adat terdiri individu-individu (anak-anak manusia) sebagai warga kesatuan atau kolektif tersebut. Kualitas warga menentukan kualitas kolektif,  entah itu bernama bangsa, etnik atau sub-etnik. Individu-individu inilah yang menjadi aktor pemberdayaan. Mendahului penguasaan keterampilan yang ‘mumpuni’, pertama-tama yang patut ditangani adalah kesadaran, pola pikir dan mentalitas. Kesadaran, pola pikir dan mentalitas inilah yang menjadi awal penting upaya pemberdayaan diri.

Kesadaran, pola pikir dan mentalitas adalah pangkalan dari tindakan.

Di Tanah Dayak Kalteng, menurut sejarah budayanya, Dayak (anak manusia) itu identik dengan pejuang, petarung (fighter dan bila diperlukan menjadi warrior). Dayak itu dikutuk jadi Dayak Panarung (Dayak Pejuang). Jika ingkar pada kutukan ini, ia akan tidak punya jalan kembali ke Saran Danum Sangiang–nama dunia setelah kematian. Bersama keterpurukan menyeluruh, pandangan dan pengetahuan tentang kutukan ini seperti menghilang dari ingatan kolektif, bersama memudarnya pengetahuan akan budaya dan sejarahnya sendiri. Padahal, sebagaimana dikatakan oleh Marcus Garvey: “Orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar.” Bukan hanya ‘seperti pohon tanpa akar’, dalam konteks Dayak Kalteng, “Orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya” secara tidak sadar mempurbakan dirinya tak peduli berapa panjang gelar akademi yang disertakan sebagai ilustrasi namanya. Patut dicatat juga bahwa orang sekolahan oleh sejarah ditunjukkan sebagai golongan yang rentan berkhianat.

Salah satu cara untuk membangunkan orang-orang ‘agar kehidupan bisa terjaga’ dan menyelamatkan ‘anak burung (yang) terjatuh dari sarangnya, sebagai bagian dari pemberdayaan holistik adalah melalui pendidikan. Pendidikan untuk melakukan perubahan maju, bukan untuk menjadi hamba sahaya. Bukan untuk kembali ke masa silam tapi untuk menjadi Manusia Kekinian. Jika ia Dayak, menjadi Dayak Kekinian.

Untuk bisa menjadi Manusia Kekinian, yang berkeinginan perlu menerapkan dua pemaduan: pemaduan hal-hal baik yang sudah terdapat di lingkungannya, dan hal-hal positif dari mana pun datangnya. Apalagi dalam pengamatan saya, semua kebudayaan itu berkembang bukan dengan tutup pintuisme tapi diperkaya oleh kemampuan menyerap. Budaya Dayak pun sejatinya adalah budaya serapan.

Serapan berbeda dengan plagiarisme dan bukan pula epigonisme.

Dilihat dari sudut pandang penyerapan ini maka kebhinnekaan merupakan suatu kekayaan dalam upaya menjadi kekinian. Karena itu, penyerapan bisa dipastikan akan melawan intoleransi. Pada saat ide penyerapan ini telah dihayati, ketika itu menjadi Dayak, Indonesia dan putera-puteri planet kecil ini tidak berbenturan. Dengan pandangan begini, maka kita bisa berdiri di kampung halaman memandang tanah air merangkul bumi. Konsep demikian, pada hemat saya merupakan esensi budaya Dayak yang sayangnya kurang diperhatikan, untuk tidak mengatakan dikesampingkan.

Konkretnya, bagaimana pendidikan itu dilakukan?

Bentuk konkretnya bisa bermacam-macam seperti seminar, diskusi, studi banding, kelas-kelas belajar yang dalam bahasa kerennya disebut training, workshop dan lain-lain. Semua bentuk kegiatan tersebut sudah pernah kami lakukan hanya saja umumnya berlangsung di daerah perkotaan. Berbeda dari bentuk-bentuk kegiatan edukatif sebelumnya, kali ini, kami (saya dan teman-teman) menggunakan bentuk lain yaitu Sakula Budaya. Yang sedang berlangsung sekarang adalah kelas untuk anak-anak desa dari usia 8-14 tahun. Anak-anak usia ini kami pandang mempunyai arti strategis menjangkau jauh karena merekalah kemudian yang menjadi penanggung jawab timbul-tenggelamnya Dayak dan Tanah Dayak.

Materi pendidikan dan cara mendidik disesuaikan dengan tingkat usia mereka: bermain dan belajar serta gembira. Mendengar adanya Sakula Budaya ini, desa-desa lain di Kecamatan Rungan dan Rungan Hulu pada tertarik. Para Kepala Desa menanyakan, “Kapan Sakula Budaya diselenggarakan di desa kami?”

Para pengajar Sakula ini berasal dari orang desa sendiri yang paham akan materi kurikulum. Untuk menjawab persoalan kekinian, diharapkan dalam waktu tidak lama, kelas Sakula Budaya untuk warga dewasa bisa berlangsung. Tentu saja metode dan kurikulumnya berbeda dari kelas untuk kanak-kanak. Target peserta adalah seluruh warga desa baik perempuan atau lelaki, anak-anak ataupun orang dewasa dengan harapan para peserta kemudian mungkin melakukan  ‘perluasan kemampuan dan pilihan serta berpartisipasi’ aktif sebagai warga Negara dengan kesadaran berwarganegara sebagai wujud nyata dari adanya kedaulatan rakyat dan rakyat berdaulat–menjadi tuan di kampung-halaman mereka sendiri.

Keinginan ini sebenarnya bisa diperlancar pelaksanaannya jika Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat dilanjutkan dengan pembentukan dan penetapan desa adat. Desa adat adalah alat untuk mereorganisasi kembali Dayak (baca: warga desa) yang diporakporandakan oleh Orde Baru, melahirkan kembali desa-desa mandiri sesuai kondisi kekinian. Sakula Budaya kemudian menjadi salah satu program yang mengisi adanya desa adat itu. Rintangan utama dalam menyelenggarakan Sakula Budaya ini adalah rintangan klasik: dana.

Secara teori, rintangan ini akan tertanggulangi ketika ‘orang-orang (telah) dibangunkan’ dari hibernasi, walaupun saya sadar benar, seperti halnya curhat alm. Tjilik Riwut kepada saudara-saudaranya saat melepaskan lelah sejenak: “Tidak gampang mengurus Dayak”.

Di depan para pengajar Sakula Budaya di Desa Linau, Kecamatan Rungan, saya katakan bahwa perubahan maju Dayak dan Tanah Dayak tidak didapat dari belas kasihan dan hadiah dari siapapun, tapi dari perjuangan mandi darah Dayak sendiri.

Para pengajar menjawab di dalam rapat persiapan, “Kalau bukan kita siapa lagi?”

Apakah  ini pernyataan tekad untuk berubah maju, hasrat kuat untuk mencampakkan belenggu marjinalisasi?

Pebri Ayu Lestari yang dari keluarga Damang, salah seorang anggota Tim Pelaksana Sakula Budaya Bétang Tarung berujar, “Kita dikutuk untuk hanya boleh berhasil, Pak!”

Seketika kata-kata penyair Chairil Anwar mengiang di telingaku: “Kerja belum selesai. Belum apa-apa”. Kemudian, seorang penyair Tiongkok di tengah keadaan Tiongkok sangat sulit menulis: “Kalau tak sampai ke puncak/Jangan katakan kami pahlawan sejati”. Tentu saja, saya bukan pahlawan, kecuali seorang anak bangsa sederhana yang hanya mempunyai kata-kata.[***]


Catatan Kusni Sulang: Dua Karikatur

Radar Sampit, Minggu, 10/01/2021

Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Rafi

Informatif, edukatif, dan artistik, membuat saya menyukai dua karikatur karya seniman lukis dari kalangan petani Indian Chiapas, Meksiko ini. Tema sosial yang diangkat oleh karikaturis dan garis-garis karikatur membawa ingatan saya kepada tradisi seni rupa Meksiko yang melahirkan pelukis-pelukis besar seperti Frida Kahlo (1907-1954), David Alfaro Siqueiros (1896-1974), pelukis, karikaturis, ilmuwan etnis (ethnologist) dan sejarawan seni‒José Miguel Covarrubias (1904 -1957), Diego María de la Concepción Juan Nepomuceno Estanislao de la Rivera y Barrientos Acosta y Rodríguez (1866-1957)–lebih dikenal dengan nama Diego Rivera.

Tema sosial, politik, dan soal identitas bangsa dalam seni rupa Meksiko menurut pengamat seni rupa Aliyuna Pratisti mempunyai akar yang dalam dan kuat dalam masyarakat. Tema ini makin berkembang dengan kegiatan Gerakan Mural oleh tiga orang pelukis besar Meksiko yang memiliki reputasi internasional sebagai figur dominan yaitu Diego Rivera, José Clemente Orozco, dan David Alfaro Siqueiros. Ketiganya kemudian dikenal sebagai Los Tres Grandes  (Big Three).

Menurut Aliyuna, dalam konteks pembentukan negara modern, mungkin hanya Meksiko yang secara eksplisit menuangkan gagasan nasionalismenya melalui guratan mural yang kemudian dikenal sebagai ‘Gerakan Mural Meksiko’.

Gerakan Mural Meksiko awalnya digagas oleh lingkaran seniman oposisi yang menentang kebijakan-kebijakan Porfirio Díaz, diktator yang mencengkeram Meksiko selama 31 tahun (1884-1911).

Walaupun komunitas seniman–yang digawangi oleh Alfonso Reyes, José Vasconcelos, dan Antonio Curo–ini telah aktif sejak masa pemerintahan Diaz, namun geliatnya baru menemukan bentuk dan dukungan politik ketika perang revolusi berakhir pada 1920. Pada era inilah, Los Tres Grandes (Big Three) muncul (lihat: https://antimateri.com/tiga-pilar-gerakan-mural-meksiko/).

Sejarah Meksiko–saya kira juga Indonesia‒memperlihatkan bahwa gerakan kesenian tidak menabukan politik. Kesenian dijadikan sebagai senjata artistik untuk mencapai tujuan bahkan menjadi alat dalam pembangunan bangsa dan  ‘pembentukan Negara modern’.

Dua karikatur tentang Gerakan Petani Indian Chiapas di atas memperlihatkan berlanjutnya tradisi demikian dalam seni lukis Meksiko. Dengan pengetahuan dan analisa politik yang dimilikinya, para seniman lukis Chiapas berhasil secara sederhana dan menjelaskan keadaan masyarakat, masalah yang dihadapi, dan bagaimana mengatasinya. Sederhana dan artistik tentu bukanlah kualitas yang gampang dicapai tapi boleh jadi merupakan keniscayaan bagi seniman pejuang.

Di jalan menuju yang disebut oleh Emilio Zapata: “Untuk Tanah dan Kebebasan” (Tierra y Libertad). Sarana artistik dan politik berjalan bersama.
Tema sosial-politik

Berbicara tentang ‘pembentukan Negara Modern’ atau bangsa yang beridentitas kekinian, dalam arti kemampuan menjadi anak zaman, dua karikatur di atas menunjukkan bahwa modernitas itu tidak lain dari kemampuan memadukan unsur-unsur baik yang sudah berakar dalam masyarakatnya sendiri dengan hal-hal baru positif atau berguna dari mana pun datangnya.

Modernitas Chiapas jadinya tidak lain dari budaya baru Chiapas yang dibangun atas dasar dua pemaduan yaitu pemaduan unsur-unsur baik yang sudah dimiliki dengan hal-hal berguna dari mana pun datangnya.

Garis-garis dua karikatur di atas memperlihatkan penggunaan garis-garis tradisional dalam seni rupa Meksiko, sebagaimana ditunjukkan oleh cukilan kayu di bawah ini.

Emilio Zapata dan pasukan petaninya

Adapun semboyan ‘Nuestra Palabra es Nuestra Arma’‒’Kata-kata adalah Senjata’‒saya kira merupakan penerapan ide ‘dua pemaduan’ yang membimbing para seniman, budayawan, dan cendekiawan Chiapas sebagai bagian dalam gerakan perjuangan petani Indian Chiapas di era kekinian.

Gerakan pembebasan melahirkan para seniman, budayawan, dan cendekiawannya sendiri.

Dalam artikelnya bertajuk Chiapas, https://indoprogress.com/2013/02/chiapas/, Lilik HS antara lain menulis: “Di sekujur nusantara, petani miskin telah menempuhi segala daya: tanda tangan darah. Mogok makan. Menjahit mulut. Menghadang traktor. Menggotong merah putih berjalan kaki ribuan kilometer. Hingga mati bersimbah darah, di ujung bedil tentara, di atas tanah yang dibelanya”. Lilik HS menyebut hal-hal tersebut sebagai ‘pemberontakan petani di bumi Khatulistiwa’.

Benarkah kegiatan-kegiatan tersebut sebagai suatu sampai pada kualitas ‘pemberontakan petani’ atau ‘gerakan petani’? Atau, tidakkah hal-hal itu baru berada pada tingkat perlawanan spontan?

Perlawanan spontan berbeda dengan gerakan seperti Gerakan Petani Indian Chiapas.

Perlawanan spontan tidak akan membawa kita kemana-mana. Perlawanan spontan tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali nestapa dan duka yang kian menggunung. Perlawanan spontan muncul sporadis karena dimana ada penindasan maka di situ akan ada perlawanan. Pertama-tama, sifatnya adalah perlawanan spontan. 

Perlawanan spontan petani kita belum sebanding dengan Gerakan Petani Indian Chiapas.

Bahwa yang ditampilkan adalah Subcomandante Marcos, kiranya berkata banyak tentang yang tidak diucapkan.[]


MENGENAL DIRI DAN MUSUH UNTUK MENJADI MANUSIA BERHARKAT


Pokok-pokok Pikiran Disampaikan pada Seminar Budaya Pesta Seni dan Budaya Dayak se-Kalimantan 2015 ‘’Menggagas Strategi Kaum Muda Dayak dalam Transformasi Masyarakat Global’’ di Yogyakarta, 3 Oktober 2015

/: Kusni Sulang

Kenali dirimu dan musuhmu, maka kau akan tak terkalahkan dalam peperangan (Sun Tzu)

Pengantar

  1. Terima kasih kepada kawan-kawan muda Kalbar yang telah mengajak saya turut serta dan diberi kesempatan berbicara dalam seminar ini. Basis kegiatan pertama saya di Kalimantan memang berawal di Kalbar. Setelah Kongres Dayak Nasional 1992, Kongres meminta saya ke Kalteng.
  2. Di Kalteng, sejak beberapa tahun terakhir, saya tak lagi sering diajak dalam pertemuan-pertemuan. Apakah disebabkan karena pendapat-pendapat saya sering berlawanan dengan pendapat arus-utama? Saya tidak tahu. Diajak atau tidak, saya mengajak semua untuk berlomba memberikan yang terbaik untuk kampung-halaman (dalam artian sempit dan luas), pétak danum atau Utus seperti yang terekam dalam filosofi Dayak Ngaju “hatindih kambang nyalun tarung mantang lawang langit” (berlomba-lomba menjadi anak manusia yang terbaik agar menjadi yang pertama-tama tiba di gerbang sorga) salah satu rincian (detail) dari konsep hidup-mati manusia Dayak “réngan tingang nyanak jata” (anak enggang putera-puteri naga) sebagai turunan Maharaja Bunu yang memegang senjata dari sanaman léténg (besi tenggelam), bukan sanaman lampang (besi timbul) dengan segala konsekuensinya. Ajakan ini saya sampaikan karena bermartabat, berharkat tidaknya léwu (kampung halaman), pétak danum dan atau Utus tergantung dari mutu manusianya atau warganya. Dayak bermutu, manusia bermutu adalah tuntutan dari filosofi “hatindih kambang nyalun tarung mantang lawang langit”.
  3. Sebelum memaparkan pokok-pokok pikiran, saya ingin membacakan sajak berikut:
BERTAHAN DI KALTENG

menahun pulauku terbakar
saban kemarau menjadi pulau api
menyembunyikan bulan dan matahari
menyekap penduduk di bumi bencana
“ini demi kemajuan kalteng”
“tanpa investasi kita berada di kegelapan langgeng”
para petinggi berkata di hadapan duka yang mengamuk penduduk
ketika kocek mereka kian gemuk, perut kian gendut
di sini, bung
disini para saudara
tak ada tempat berlindung menghindari kejaran bencana
ia telah menyerbu dapur, ruang makan dan ruang tidur
bau ajal tertinggal di tikar lampit, kasur dan bantal
setia kawan dan omong kosong menjadi sinonim
semua merasa pahlawan dan pangkalima
republik tinggal nama
indonesia jadi tameng penjajahan
hari-hari kelabu dan senyap
dikenakan serupa celana dan kemeja oleh siapa saja
sehingga kukira secara spiritual orang-orang di sini
ibarat ikan mengapung tertuba menunggu mati
dituba penderitaan, perbudakan jiwa dan ketakutan
serta racun kepentingan sedetik
yang berani berdiri dan bersuara di tengah sunyi dan tukang kroyok
hanyalah sisa-sisa dayak dahulu
itu pun bung bisa hitung dengan jari
apakah ini kemajuan?
apakah ini modern yang dibangga-banggakan angkatan kekinian?
ataukah keterbelakangan tersamar?
kabut asap ini mengungkapkan kenyataan seadanya

dari negeri salju
kutahu jalan kembali
tak kuduga kalteng dibakar api
udaranya bertuba
stigma kadaluwarsa--racun warisan
aku melihat orang-orang berlari ke belakang
harapan yang menyakitkan dalam kabut
kian sayup dan jauh
di tengahnya aku bertahan
mencoba tidak munafik dengan cinta
mengasah dan menempanya
tak menjadi bayang-bayang
di kampung ini aku berdiri
memandang tanah air
merangkul bumi
kabut asap bencana
bagian dari pilihan lama
sebagai dayak anak dunia

September 2015

Saya kira “pokok masalah dan bahasan” yang diajukan di dalam TOR Seminar kurang-lebih terdapat dalam dua sajak tersebut (kalau boleh dibilang sajak atau puisi).

Inti Permasalahan

Dalam pemahaman saya, inti “pokok masalah dan bahasan” yang diketengahkan jika diungkapkan secara lain barangkali berintikan: kita berada di mana sekarang atau bagaimana keadaan kita, mengapa demikian, lalu mau ke mana dan bagaimana menuju ke mana itu? Suatu pertanyaan klasik yang menjadi salah satu bahasan utama ketika kami bahas pada kurang lebih 30 tahun silam, ketika membangun Institut of Dayakology for Research and Development (IDRD), nama awal dari Institut Dayakologi sekarang.

Tidak mengetahui kita berada di mana sekarang atau bagaimana keadaan kita, mengapa demikian, lalu dan seperti sabut di sungai, hanyut begitu saja dibawa arus dan tersangkut entah di mana. Tanpa mengetahui kita berada di mana sekarang atau bagaimana keadaan kita, mengapa demikian, lalu mau ke mana dan bagaimana menuju ke mana itu, strategi dan taktik bagaimana menuju ke mana itu, kiranya tidak mungkin disusun. Sebab kita berada di mana sekarang atau bagaimana keadaan kita, mengapa demikian, lalu mau ke mana dan bagaimana menuju ke mana berarti sama dengan mengenal keadaan, sadar akan kenyataan. Strategi dan taktik yang tanggap hanya tersusun dengan mengenal kenyataan. Menggantikan kenyataan dengan kemauan subyektif untuk menyusun strategi dan taktik hanya menghasilkan strategi dan taktik ilusioner. Apabila meminjam istilah Bung Karno, ibarat layang-layang putus tali, melayang-layang tidak menentu.

Pertanyaan kita berada di mana sekarang atau bagaimana keadaan kita, mengapa demikian, lalu mau ke mana dan bagaimana menuju ke mana itu pada hakekatnya sama dengan mengenal diri sendiri. Untuk mengenal diri sebagaimana adanya, diperlukan kejujuran dan keberanian mengakui keadaan sebagaimana adanya. Tidak boleh bersikap seperti tokoh Ah Q dalam cerita Lu Sin yang memandang diri selalu menang dan hebat, padahal pada kenyataannya ia kalah dan babak-belur. Dalam cerita rakyat Dayak, barangkali mempunyai kesejajaran dengan Kisah Pang Palui. Saya khawatir Dayak sekarang merupakan Pang Palui Kekinian yang perlu ditempeleng agar batu kahumung (batu kebodohan) keluar dari kepala.


Kita Berada Di Mana?

Yang saya maksudkan dengan kita di sini adalah Orang Dayak, baik Dayak Kalimantan Tengah, Barat, Timur, Selatan dan Utara. Di mana sekarang kita berada? Bagaimana keadaan Dayak?

Demografis: Di Kalteng sekarang, secara jumlah, Dayak menempati posisi keempat dengan urutan sbb: (1) Jawa; 2) Banjar; 3) Bugis; 4) Dayak. Melihat arus kedatangan etnik Batak ke Kalteng, bukan tidak mungkin dalam waktu singkat etnik Batak akan menggeser posisi Dayak sedangkan Jawa dengan politik transmigrasi yang akan digalakkan oleh pemerintah Jokowi, bisa dipastikan akan bertambah besar dan dominan. Ditambah lagi dengan politik Keluarga Berencana pukul rata yang membuat yang mayoritas akan makin mayoritas, yang minoritas akan makin minoritas (karena itu saya menolak politik transmigrasi dan keluarga berencana seperti yang diterapkan sekarang). Perubahan demografis ini membawa pengaruh dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan budaya. Etnik-etnik ini secara budaya berkurung dalam ghetto budaya mereka yang berkembang menjadi budaya politik sehingga mengarah ke aneksasi wilayah melalui kekuasaan politik dengan kontrak politik pilkada.

Ekonomi: Kehilangan alat produksi utama yaitu tanah, sehingga Dayak bergerak menjurus ke arah proletarisasi. Dengan hilangnya alat produksi utama maka kesenjangan tingkat hidup antar etnik terjadi. Konflik agraria di Kalteng, menurut data HuMa adalah tertinggi di Indonesia. Invasi besar-besaran Perusahaan Besar Swasta (perkebunan dan tambang) merupakan sarang korupsi, kolusi dan gratifikasi. Izin diobral dan tumpang-tindih.

Sumber Daya Manusia: Dayak kalah bersaing. Untuk menjadi Dayak Bermutu, yang mampu bersaing dengan tenaga-tenaga dari luar. Menurut Analisis (SWOT) Peringkat Daya Saing 33 Provinsi di Indonesia yang dilakukan oleh Asia Competitiveness Institute Lee Kuan Yew School of Public Policy National University of Singapore (2015), kualitas pendidikan di Kalteng -1.2879. Pada zaman pemerintahan Gus Dur, Menteri Pendidikan menyebut Unpar mendapat score D. Yang turut membawa kualitas pendidikan di Kalteng tidak tinggi adalah unsur korupsi dan sistem pendidikan, jual-beli nilai dan ijazah. Akibatnya, terjadi pengangguran akademisi makin besar.

Karena komersialisasi pendidikan maka mutu pendidikan jadi rendah. Tidak mampu bersaing. Kampus yang mestinya jadi sarang pemikir dan kecendekiawanan menjadi sarang pengejar gelar dan kertas ijazah tanpa melahirkan cendekiawan. Tidak mengherankan apabila sekian banyak Profesor Doktor tapi tidak mempunyai karya tulis, kerdil sebagai yang disebut akademisi. Adakah dan berapa banyak cendekiawan Dayak di Kalteng, Kalbar, Kaltim, Kalsel dan Kaltara? Pemegang gelar kertas sarjana tidak otomatis menjadi intelektual.

Komersialisasi pendidikan yang dilakukan oleh orang Dayak sama dengan menghancurkan masyarakat Dayak itu sendiri.

Sosial: Penyakit sosial mewabah berbarengan dengan invasi besar-besar PBS. Pelacuran, HIV menjalar hingga ke pedesaan luas. Bahkan diterapkan sistem ijon di dunia pelacuran. Narkoba merajalela sekalipun dislogankan bahwa Tahun 2015 Kalteng Bebas Narkoba.

Budaya: Terjadi gejala bunuh diri budaya secara kolektif. Generasi muda kurang menghargai budayanya sendiri dipandang sebagai budaya jadul zaman Siti Nurbaya. Tidak modern, tidak zamani. Apakah modern dan tradisional, pasca tradisional? Mereka tidak tahu. Penyepelean atas budaya diri tidak didasarkan atas pengetahuan dan pengkajian tetapi semata-mata bertolak dari ketiadaan budaya kritis. 31 lebih lembaga pendidikan tinggi di Kalteng tidak serius melakukan penelitian dan pengkajian.

Ada tiga tendensi sikap dalam menghadapi budaya luar: (1) Menerima tanpa filter; (2) Lari ke masa lalu; (3) Pasca tradisional.

Pelajaran mulok memang ada, tapi tidak disediakan materi-materinya. Diserahkan kepada masing-masing sekolah.

Masalah kebudayaan Dayak atau lokal, bukanlah seperti yang dikatakan oleh TOR Panitia berkisar pada soal “cultural protection”. Masalah sentralnya adalah bagaimana menjadi Dayak Kekinian Yang Bermutu. Menjadi Dayak atau bukan terletak pada apakah seseorang itu menghayati dan menghidupi budaya Dayak. Seorang Dayak genealogis tanpa menghayati dan menghidupi budaya Dayak, sebenarnya bukanlah orang Dayak lagi. Melainkan orang asing. Dengan menghayati dan menghidupi budayanya, budaya etnik atau bangsa itu, bukan saja akan terproteksi tapi justru berkembang tanggap zaman (secara zamani).

Budaya lokal, termasuk budaya Dayak, secara nilai bersifat universal. Contoh konsep “hatamuéi linggu nalata” (saling mengembarai pikiran dan perasaan sesama), konsep Dayak Utus Panarung, “mangalanja kilat matanandau” (melomba petir dan matahari), tunjung nyahu sebagai konsep intelektualitas, dll. Karena itu menjadi Dayak, tidak bertentangan dengan menjadi Indonesia dan anak manusia penghuni desa planet kita. Lokalitas justru menjadi bahasa dalam pergaulan nasional dan internasional, ejawantahan dari bhinneka tunggal ika (ika dari segi kemanusiaan dan juga ber-republik dan berkeindonesiaan).

Apalagi dilihat dari segi filosofis, sari nilai kebudayaan Dayak menunjukkan budaya Dayak dan manusia Dayak itu bersifat inklusif.

Politik: Dari 14 kabupaten/kota di Kalteng, paling banyak hanya dua yang bupatinya bukan orang Dayak. Sekalipun demikian, kenyataan memperlihatkan kepala daerah-kepala daerah ini tidak berhasil mengangkat kehidupan Dayak jadi berharkat dan bermartabat. Penyelenggara Negara dengan kekuasaan di tangannya lebih menjadi pedagang primer daripada Negarawan.

Masyarakat Adat dan unsur-unsur partner sosial lainnya dalam penyelenggaraan Negara masih lemah. Masyarakat Adat selain lemah dari segi organisasi, wacana dan pengetahuan juga korumpu secara moral. Ketua DAD Kotim Hamidan selingkuh dan loncat pagar ketika ketangkap basah. Karena itu Bupati Gunung Mas Arton S. Dohong dalam Musyawarah Nasional MADN di Hotel Swissbel Danum, Palangka Raya, bulan September 2015 lalu mengatakan “DAD Gumas sebagai tidak beradat”.

MA Dayak menjadi masyarakat otopilot, padahal niscayanya pemangku adat adalah organisator dan pemikir serta panutan bagi warga MA atau dalam istilah Dr. A. Teras Narang, SH, “daya tawar MA Dayak lemah”.

Kesimpulan

Dayak berada di pinggir dan makin kepinggir. Keadaan ini bsia menjadi salah satu sumber keresahan bahkan konflik sosial. Makin terpinggirnya masyarakat Dayak disebabkan karena peminggiran sistematik oleh pilihan politik penyelenggara Negara. Hasilnya dalam bidang kebudayaan adalah budaya kemiskinan dengan berbagai bentuknya seperti eskapisme, fatalisme, dll, dengan kecenderungan tinggi berkembang menjadi hamuk.

Kita Mau Ke Mana?

Kita mau menjadi Dayak Kekinian Yang Bermutu. Dayak yang berharkat dan bermartabat. Berharkat artinya bertaraf, bermutu, berharga, berkekuatan. Bermartabat mempunyai harkat kemanusiaan. Harga diri kemanusiaan.

Bagaimana Menuju Ke Mana Itu?

Dalam rapat bisnis APINDO, 10 September 2015 di Aula Batang Garing Palangka Raya, seorang pembicara yang menyandang gelar doktor mengatakan bahwa Kalteng tidak bisa maju tanpa pendatang. Nampaknya doktor ini tidak belajar sejarah Kalteng dan Dayak dari masa ke masa.

Kemajuan Dayak tidak pernah diperoleh sebagai hadiah. Kalteng berdiri dan didirikan dengan perjuangan mandi darah dan air mata. Unpar didirikan bukan dengan tersedianya barisan profesor doktor.

Sejarah Kalteng dan Dayak juga mengatakan bahwa kita tidak ekslusif tapi inklusif. Karena itu A. M. Arsyad yang asal Bugis, Kapten Mulyono yang asal Jawa, kita pandang sebagai bagian dari Dayak.

Sejarah juga mengatakan terutama sejak Orba, Dayak kian terpojok. Masa kebangkitan yang dimulai pada 1957 terpotong pada tahun 1967.

Bagaimana menuju ke mana yaitu Dayak Kekinian Yang Bermutu, Dayak yang Berharkat dan Bermartabat?

(1) Berorganisasi menggunakan sistem administrasi sederhana dan bermutu. Mempunyai program yang jelas, bukan hanya dibiarkan tertera di kertas. Organisasi ini mempersatukan semua kekuatan yang mungkin disatukan. Dengan adanya organisasi yang solid maka Dayak mempunyai kekuatan dan daya tawar serta kata-katanya mempunyai daya paksa. Politik adalah masalah imbangan kekuatan. Hal ini ditunjukkan oleh sejarah pendirian provinsi Kalteng, perjuangan Sarikat Dajak (1919) dan Pakat Dajak (1926).

(2) Membangun barisan sumber daya manusia yang berdaya atau berharkat secara sistematik. Manusia ideal Dayak oleh orang Katingan dirumuskan sebagai “mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh, andal dia batimpal” (gagah-berani, cerdik-beradat/berbudi, tak gentar melawan arus dan rajin, hebat tidak bertara). Tentu saja manusia ideal ini berkomitmen sebagai Dayak Panarung turunan Maharaja Bunu yang bertugas menjadikan bumi yang chaos kacau menjadi tempat manusiawi untuk kehidupan manusiawi dengan kualitas terus-menerus.

Dalam hal ini, kita patut belajar pada etnis Tionghoa dan politik pembangunan sumber daya manusia RRT (lihat: I. Wibowo, Belajar dari Cina, Jakarta, 2004; Dahan Iskan: Belajar dari Tiongkok; Priyaanto Wibowo, Perubahan Sosial Cina Tahap Pertama: Mao dan Pedesaan [1949-1959], Jakarta, 2008).

(3) Memperkuat sistem kerja jaringan

(4) Belajar dan mengkaji sejarah dan budaya sendiri melalui riset berkelanjutan

(5) Menagih hak memasuki pendidikan strategis

(6) Menuntut penyelenggara Negara menerapkan politik diskriminasi positif, terutama untuk memperkuat posisi ekonomi Dayak, dan pengembalian alat produksi utama kepada Dayak

(7) Kepala daerah berbagai tingkat mutlak Dayak yang berkomitmen pada cita-cita Dayak Kekinian Bermutu, Berharkat dan Bermartabat. Bukan Dayak yang memojokkan Dayak.

(8) Mengembalikan perguruan tinggi sebagai tunjung nyahu, bukan menjadi komoditas. Mahasiswa harus aktif dan membela kebebasan mimbar.

(9) Dana pendidikan gratis dari Taman Bermain hingga S3 gratis didapat dari PBS, APBD, APBN. Jangan terulang pengalaman Yayasan Isen Mulang.

Sebenarnya Kita Tidak Siap Menghadapi MEA

Desember 2015 MEA akan dilaksanakan. Kita baru bicara bagaimana menghadapinya. SDM kita sangat lemah sehingga menjadi kuli perusahaan asing pun barangkali kita tidak masuk hitungan.

Penutup

Aku mendengar suara
jerit hewan yang terluka

Ada orang memanah rembulan
Ada anak burung jatuh dari sarangnya

Orang-orang harus dibangunkan
Kesaksian harus diberikan
Agar kehidupan terjaga

- Rendra

Palangka Raya, Oktober 2015