1013

HALAMAN MASYARAKAT ADAT HARIAN RADAR SAMPIT
Memperkuat Masyarakat Adat Dayak, Dasar Kalteng Bahadat
Alamat: Radar Sampit atau meldiwa@yahoo.com.sg

1013
Oleh Kusni Sulang
Tidak mengherankan jika KPK kembali datang ke Kalimantan Tengah (Kalteng), karena Kalteng, menurut catatan HuMa, merupakan provinsi yang konflik lahannya paling banyak di seluruh Indonesia. Kemarakan konflik agraria yang diiringi oleh maraknya kejahatan korupsi oleh penyelenggara Negara diperkuat oleh keterangan Deputi Pengawasan Internal dan Pelaporan Masyarakat (PIPM) KPK, Ary Widyatmoko yang mengatakan bahwa “Untuk Kalteng kita terima laporan 1013”, walau pun hanya sekitar “30-40 persen bisa ditindaklanjuti dan sebagian kasus kita supervisi.” (Radar Sampit, 19 November 2014). Tigapuluh sampai 40 persen dari 1013 laporan bukanlah jumlah kecil. Dari Sampit, sebagai kabupaten dengan konflik lahan termarak di Kalteng, KPK membawa enam kardus dokumen, terfokus pada persoalan tambang dan obral perizinan.
Berkembangnya perusahaan tambang di Kotim dikarenakan melalui perusahaan tambang itu (tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya pada lingkungan dan kehidupan penduduk) pendapatan asli daerah bisa ditingkatkan. Sementara yang didapat dari perkebunan kelapa sawit tidak secepat dibandingkan perolehan dari tambang. Oleh karena itu terjadilah izin tumpang-tindih. Lahan yang telah ditanam oleh perkebunan diberikan kepada perusahaan tambang (data-datanya lihat edisi Halaman Masyarakat Adat Radar Sampit Edisi Tambang). Kebijakan begini menyemai benih konflik antara perusahaan dengan perusahaan. Obral perizinan begini berakar dari pola pikir dan mentalitas pedagang primer dan jalan pintas serta kontaminasi virus tebaran “uang sang raja”, yang dominan di kalangan penyelenggara Negara sebagai pemberi izin. Dilihat dari segi penyelenggaraan Negara, tentu saja praktek begini bukanlah praktek penyelenggaraan Negara yang bersih dan baik, sebaliknya ia merupakan wujud dari penyalahgunaan kekuasaan. Oleh praktek begini, tidak mengherankan seorang bupati menjelang pemilukada 2015, menjanjikan akan memberikan mobil kepada kepaladesa-kepaladesa kabupatennya, diajak “berwisata” atas nama “studi banding” dan “bimbingan tekhnis” ke Bali, Batam dan Singapura. Praktek-praktek begini tidak lain dari “pembelian” suara menjelang pilkada. Sementara masalah pendidikan yang merupakan investasi jangka panjang dan strategis bagi daerah tidak jadi pengutamaan.
Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) begini akan tetap berlangsung jika pengawasan oleh yang menyebut diri wakil rakyat (bahkan terlibat) dan pengawasan masyarakat lemah. Daerah akan makin terkuras dan bergerak ke belakang dengan kemajuan semu, apabila para pemilih terlena dan terbujuk oleh “janji-janji” dan “pembelian suara terselubung” menjelang pilkada sehingga si petahana terpilih kembali. Menggolput sampai 70-80 persen dalam pilkada dan pileg, akan jauh lebih baik daripada memberikan suara pada penjual daerah Kemudian 70-80 persen suara ini mengorganisasi diri untuk menjadi subyek dalam kehidupan berbangsa, bernegeri dan bernegara. Pemenang pilkada dengan hanya 20-30 persen suara dari seluruh pemilih, keabsahannya patut dipertanyakan. Kemudian akan adakah anggota DPR yang terpilih jika terjadi golput dengan jumlah demikian? Boleh jadi cara ini merupakan jalan menuju perbaikan. Tapi syaratnya diperlukan kesadaran politik dan pengorganisasian diri yang demokratik. Rakyat niscaya kuat dan menjadi subyek, bukan obyek, lebih-lebih tidak sebagai pedagang penjual suara yang berdampak jauh hingga ke anak-cucu dan sangat memilukan. Pemilih patut menghargai diri sendiri, niscaya menjadi pemilih dan warganegara yang bermartabat. Hadirnya penyelenggara Negara yang menyalahgunakan kekuasaan tidak terlepas dari tanggungjawab warganegara, terutama pemilih yang memerosotkan diri menjadi pedagang kelontong suara. Hadirnya KPK dengan membawa 1013 laporan tipikor dan memboyong 6 kardus dokumen dari Kotim saja, menggambarkan keadaan penyelenggaraan Negara dan hasilnya di Kotim dan Kalteng. Lukisan ini tentu berbeda dengan gambaran BPS dan petinggi-petinggi Kalteng, berbeda dengan keadaan nyata di lapangan yaitu kesenjangan dan marjinalisasi, akumulasi pemilikan alat-alat produksi utama yaitu tanah, kelas menengah yang lepas dari produksi tapi lebih mendekati kapitalis birokrat, pendidikan yang terabaikan sekalipun slogan yang dipekikkan selalu adalah “Kalteng Harati”.
Sepulang dari kunjungan ke Tiongkok, Presiden Jokowi mengatakan majunya Tiongkok disebabkan oleh adanya tiga faktor kunci yaitu: (1). “Adanya satu Partai yang bersatu sehingga bisa menatap arah yang sama. (2}.Memiliki gagasan besar, rencana besar, dan memiliki memimpi besar. (3). membangun infrastruktur guna mempersiapkan konektivitas antarkota dan antarprovinsi.” (http://www.antaranews.com/berita/465383/presiden-jokowi-ungkap-tiga-kunci-kesuksesan-tiongkok).
Barangkali Jokowi lupa bahwa di atas segalanya kemajuan Tiongkok tidak terlepas dari investasi sumber daya manusia yang berdaya. Investasi sumber daya manusia yang berdaya dan bermutu ini disiapkan oleh pendiri-pendiri RRT jauh sebelum RRT diproklamirkan pada 1 Oktober 1949. Sumberdaya manusia yang berdaya dan bermutu tidak bisa didapat dari lembaga-lembaga pendidikan yang berdagang nilai dan ijazah serta korup. Dengan adanya sumberdaya manusia yang berdaya dan bermutu, maka kemungkinan adanya warganegara sebagai subyek yang bermartabat dan bermutu, menjadi lebih besar. Sekarang kita sedang menghadapi benteng terakhir para kriminal yaitu pengadilan, pendidikan dan kebudayaan. Pemersihan koruptor atau para kriminal oleh KPK hanya langkah awal untuk adanya RI yang betul-betul republikan dan berkeindonesiaan. Konsolidasinya dan lebih menentukan adalah apa dilakukan oleh sumberdaya manusia yang berdaya dan bermutu serta yang republikan dan berkeindonesiaan yang sadar politik dan terorganisasi. Untuk menimbulkan efek jera, koruptor patut dihukum seberat-beratnya, termasuk pencabutan hak politiknya. Nama-nama mereka patut diumumkan. Terimakasih kepada KPK yang sudah mulai bekerja di Kalteng.[]
MODAL ASING DAN NEOKOLONIALISME
Sampai kapan Indonesia bergantung terus kepada “modal asing”? Di jaman kolonialisme, bangsa kita dihisap oleh kapital asing. Sekarang pun, di jaman Indonesia merdeka, modal asing masih terus menghisap ekonomi nasional kita. Lantas, apa yang sudah berubah?
Kolonialisme, kata Bung Karno, justru menjadi jembatan bagi modal asing untuk jengkelitan di atas bumi Indonesia. Lalu, dengan mengeksploitasi kekayaan alam dan tenaga rakyat Indonesia, mereka memperbesar diri dan terus beranak-pinak. Sementara rejeki rakyat Indonesia kocar-kacir karenanya.
Bung Hatta tidak ketinggalan memperingatkan bahaya “ketergantungan” terhadap modal asing. Katanya, kalau kapital didatangkan dari luar, maka tampuk produksi akan dipegang oleh orang luaran. Hal itu akan berbahaya: pemodal asing akan dengan leluasa mengangkut keuntungan dari bumi kita. Sebab, logika modal adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Gagasan dua tokoh pendiri bangsa ini—juga para pendiri bangsa lainnya—menjadi dasar perumusan pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 jelas mengisyaratkan pengelolaan sumber daya ekonomi mesti dikontrol oleh negara untuk memastikan keuntungannya bisa memakmurkan rakyat.
Anehnya, sejak jaman orde baru hingga sekarang, tidak satupun rejim yang menjalankan amanat pasal 33 UUD 1945 itu. Pemerintah sejak saat itu sangat patuh dan menghamba kepada modal asing. Di akhir kekuasaan Soekarno, lahir produk hukum yang menaungi kepentingan modal asing: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967.
Lalu, di puncak kejayaan rejim orde baru, pada tahun 1994, seiring dengan tuntutan perluasan modal asing, dikeluarkan PP No 20/1994. Sejak itu, modal asing dibolehkan mengambil posisi dominan dalam perekonomian Indonesia.
Kemudian, pada tahun 2007, di era pemerintahan SBY yang sangat pro-neoliberal, dikeluarkan lagi UU No 25/2007 tentang PMA. Dalam UU PMA yang baru ini, modal asing tidak lagi dibatasi—bisa 100%. Hak guna usaha bisa 94 tahun dan, jika waktunya sudah habis, bisa diperpanjang 35 tahun lagi. Lebih tragis lagi: tidak ada lagi perlakuan berbeda antara modal asing dan domestik.
Modal asing pun menggurita menguasai ekonomi nasional. Akibatnya, sebagian besar sumber daya alam dan sektor ekonomi strategis dikuasai asing. Akhirnya, seperti diperingatkan Bung Karno, sebagian besar keuntungan mengalir keluar, sedangkan rakyat ditinggal kering-kerontang. Konon, rakyat Indonesia hanya menikmati 10% dari keuntungan ekonomi, sedangkan 90%nya dibawa oleh pihak asing keluar.
Kehadiran modal asing juga memicu perampasan tanah rakyat. Tidak jarang, aksi perampasan tanah rakyat disertai kekerasan. Banyak rakyat kita yang menjadi korban di tangan aparat yang menjadi “centeng” pemilik modal. Itulah yang terjadi di Mesuji (Lampung), Bima (NTB), Tiaka (Sulteng), Papua, Sumetera Selatan dan berbagai tempat lain di Indonesia.
Modal asing juga gagal mengangkat ekonomi nasional. Pemerintah dan sejumlah ekonom pro-neoliberal menyakini, kehadiran investasi asing akan membantu pembangunan industri di dalam negeri. Yang terjadi justru sebaliknya: sebagian besar industri dalam negeri gulung tikar akibat tidak bisa bersaing dengan modal asing. Juga, atas tekanan modal asing, sejumlah BUMN strategis kita berpindah tangan kepada pemilik modal asing.
Kita tidak anti terhadap bantuan asing. Setiap bantuan ekonomi yang diterima tidak boleh disertai syarat-syarat yang merugikan: tidak boleh mendikte kita secara ekonomi dan politik. Justru, jika ada bantuan dari pihak luar, negara harus aktif untuk mengkoordinasikan dan mengarahkannya guna membiayai sektor-sektor ekonomi yang prioritas.
Begitu juga dengan investasi asing, hanya diperbolehkan di sektor-sektor yang tidak strategis dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Itupun harus dikontrol dan diarahkan oleh pemerintah. Kehadiran modal asing itu harus menghormati kedaulatan dan martabat bangsa Indonesia.[ http://berdikarionline.com/editorial/20120105/modal-asing-dan-neokolonialisme.html ].

MENCARI K0NTRADIKSI POKOK KONFLIK LAHAN
Catatan Andriani S. Kusni

Maraknya sengketa agraria di Kalimantan Tengah, telah menarik perhatian Minggu DëTAK Palangka Raya, dan membuat Mingguan tersebut menurunkan serangkaian tulisan di bawah tema utama “Mencari Solusi Atasi Konflik Investasi” dalam edisinya No.224/VII, 17-23 November 2014. Dalam mengantar pembahasan tema tersebut, Indra Matbun menulis:
“Iklim investasi di Provinsi Kalimantan Tengah, khususnya di sektor Perkebunan Kelapa Sawit dan Pertambangan dalam beberapa tahun terakhir ini dinilai cukup pesat. Di tengah kepesatannya, juga muncul bermacam persoalan investasi yang bergesekan dengan masyarakat lokal, salah satunya adalah konflik sengketa lahan, di mana terjadi saling kkalim lahan antara pihak investor dengan masyarakat hukum adat di beberapa kawasan perizinan investasi.
Yang menjadi pertanyaan kita, apakah konflik-konflik ini bermuara dari kepala daerah yang notabene si pemberi izin investasi atau faktor kesengajaan pihak investor menabrak aturan sehingga menjadi carut-marut atau tidak beraturan? Faktanya tanah hukum adat (barangkali yang dimaksud DëTAK, tanah masyarakat hukum adat, karena apakah ada tanah hukum adat? –ASK) masih kurang mendapat pengakuan yang absolut di negeri ini, kendati secara aturan perundang-undangan dinyatakan sudah jelas.
Konflik tidak pernah tuntas bila tidak adanya ketegasan dari pemerintah. Apalagi kontrol investasi yang berkolaborasi dengan kepentingan politik, maka diyakini akan mengabaikan aspek-aspek keberlanjutan.
Yang jelas dalam sengketa lahan ini jangan sampai terjadi ketidakpastian hukum yang berpotensi negatif. Untuk itu perlu adanya keberanian dan ketegasan kepala daerah dalam mengakomodir penyelesaian”.
Investasi di Indonesia pasti akan terus berlangsung. Presiden baru terpilih Jokowi melalui pidatonya di konfrensi APEC baru-baru ini secara lugas mengundang para investor ke negeri ini. Negeri mana pun tidak terkecuali Eropa Barat, RRT, dan lain-lain memerlukan investor. Masalahnya tidak terletak pada pada investor dan investasi tapi pada politik investasi yang diterapkan oleh penyelenggara Negara. Apakah penyelenggara Negara yang memberi izin invstasi dikendalikan oleh investor ataukah penyelenggara Negara yang mengatur dan mengendalikan investor. Oleh nilai dominan yang mengendalikan pola pikir dan mentalitas, terutama semenjak Orde Baru adalah “uang sang raja” maka di negeri ini yang terjadi adalah penyelenggara Negara yang memberi izin berkolusi dengan investor untuk meraup fulus sebesar mungkin. Melalui kolusi demikian maka investor mengendalikan penyelenggara Negara dan kehadiran investor memungkinkan korupsi terus berlangsung, investor makin bertindak semena-menaahan karena dibeking oleh kolusinyanya, yaitu penyelenggara Negara. Pola pikir dan mentalitas yang dikendalikan oleh nilai dominan demikian, sekaligus membuat penyelenggara Negara bertindak sebagai pedagang primer yang menjual sumber daya alam Kalteng tanpa berpikir jauh. Sehingga akibatnya menurut penelitian Dr. Purwanto dan Cornelis Ley et.al dari Gadjah Mada (2004), lahan garapan dari daerah seluas 1,5 X Pulau Jawa ini tersisa hanya 20 persen. Padahal lahan, tanah adalah alat produksi utama masyarakat Kalteng. Pemusatan penguasaan alat produn koksi utama ini membuat kesenjangan dan marjinalisasi makin menjadi. Sementara Bung Karno sejak lama mengingatkan bahwa “perut tidak bisa menunggu”. Tidak terelakkan bahwa keadaaan demikian melahirkan konflik agraria atau konflik lahan, bukan konflik investasi. Sebab mengatakan konflik lahan atau konflik agraria sebagai konflik investasi, mengesankan kita tidak memerlukan investasi.
Ketika warga masyarakat (hukum) adat kehilangan alat produksi utamanya yaitu tanah, yang tumbuh berkembang adalah budaya kemiskinan dan kemiskinan budaya. Dengan budaya demikianlah mereka menghadapi lawan yang sangat kuat yaitu penyelenggara Negara (termasuk polisi dan tentara) dan kolusinya yaitu investor. Imbangan kekuatan antara dua pihak utama yang berkonflik sangat tidak seimbang. Perundingan antara dua kekuatan yang tidak seimbang, tidak pernah menghasilkan keputusan yang adil. Yang lemah, apalagi tidak terorganisasi, tidak memiliki kesadaran selamanya akan menjadi obyek yang diperlakukan sekehendak hati.
Bagaimana jalan keluar atau cara untuk mengatasi konflik lahan ini?
Konflik tidak lain dari suatu kontradiksi. Dalam kontradiksi terdapat kontradiksi pokok dan yang tidak pokok. Untuk menangani suatu kontradiksi, pertama-tama kontradiksi pokoknya harus ditangani. Dalam kontradiksi pokok ada unsur yang berhegemoni, yang menentukan perkembangan kontradiksi, dan unsur lain, lawannya adalah unsur yang didominasi. Dalam konflik lahan unsur kedua yang didominasi ini adalah warga masyarakat (hukum) adat. Hubungan antara yang didominasi dan mendominasi ini secara hakiki bersifat antagonis, sulit dikompromikan. Sehingga solusinya unsur yang berhegemoni patut dirobah. Setelah perobahan terjadi pada unsur pokok kontradiksi, yang berhegemoni, baru pada saat itu penyelesaian mendasar akan ada. Barangkali yang dimaksudkan dengan perobahan oleh warganegara Republik ini pada saat pemilu adalah perobahan pada unsur dominan pada kontradiksi pokok yaitu penyelenggara Negara. Dalam istilah yang lebih ekstrim “Putus satu generasi”.Perobahan politik pada pemegang penyelenggaraan Negara merupakan unsur kunci bagi penyesalaian konflik atau kontradiksi .
Untuk bisa melakukan perubahan unsur yang didominasi perlu kuat sehingga daya tawar mereka dalam keadaan apa pun, termasuk dalam perundingan, mau tidak mau diperhitungkan. Sebab politik sebenarnya tidak lain dari masalah imbangan kekuatan. Selama imbangan kekuatan antara unsur yang berhegemoni dan yang didominasi pincang, mengharapkan terjadinya perubahan maju ibarat orang menggantang asap. Negara di negeri ini sekarang, ini tidak pernah menggelarkan karpet merah untuk rakyatnya. Negara yang didominasi oleh para kolutor, koruptor dan pedagang primer dengan pola pikir dan mentalitas instanisme, tidak pernah menjadi orang budiman. Keberanian dan ketegasan merakyat yang diharapkan dari kepala daerah, tidak akan ada jika faktor yang didominasi lemah dan tidak berdaya seperti halnya masyarakat adat Dayak Kalteng hari ini. Ketika masyarakat adat masih lemah, cerai-berai, tak tertata, terkooptasi, tidak bebas, yang akan terjadi adalah kesenjangan yang semena-semena dan kian mengangga, laju marjinalisasi makin kencang.
Narasumber DëTAK untuk edisi konflik agraria, nampak tidak mengetengahkan solusi mendasar , bahkan ada yang Nampak cuci-tangan. Barangkali pandangan-pandangan demikian cerminan dari keadaan masyarakat Kalteng hari ini. Keadaan sosial menentukan pikiran manusia. Dalam keadaan begini, the hidden leaders (pemimpin yang tak nampak) bisa sangat berperan. Siapa pun yang berkamauan baik untuk menyelesaikan konflik agrarian di Kalteng, niscaya pertama-tama mengetahui kontradiksi pokok hal-ikhwal sebelum menyusun kekuatan imbangan benih dari counter power (kekuatan tandingan). []

SEKALI LAGI TENTANG PENGUMBARAN IZIN

HALAMAN MASYARAKAT ADAT HARIAN RADAR SAMPIT
Memperkuat Masyarakat Adat Dayak, Dasar Kalteng Bahadat
Alamat: Radar Sampit atau meldiwa@yahoo.com.sg

Sekali Lagi Tentang Pengumbaran Izin
Oleh Kusni Sulang
Yang saya maksudkan dengan izin di sini adalah izin berusaha bagi perusahaan besar swasta (PBS).
Menurut data HuMa (pernah disiarkan dalam Halaman Masyarakat Adat Harian ini), Kalimantan Tengah merupakan provinsi dengan angka konflik agraria tertinggi di Indonesia. Sedangkan Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) merupakan salah satu kabupaten dengan konflik paling marak. Data HuMa ini kemudian digarisawahi oleh 1013 pengaduan dari Kalteng ke KPK.
Oleh karena maraknya konflik di provinsi ini dan pengumbaran izin, KPK bulan lalu, akhirnya datang ke Kalteng bertemu dengan banyak pihak mengumpulkan informasi melengkapi data-data yang sudah dimiliki.” KPK membidik para kepala daerah terkait dugaan jual-beli izin tambang dan kebun, diprioritaskan di Provinsi Sulawesi Tengah, Riau, Kepulauan Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Jambi, Sumatra Selatan, Bangka Belitung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara” (http://sinarharapan.co/news /read /140328191 /Izin-Pertambangan-Bakal-Menjerat-Banyak-Kepala-Daerah
Di awal tahun ini, orang pertama kabupaten dengan konflik tertinggi ini, pernah mengatakan bahwa tahun ini konflik-konflik tersebut akan dituntaskan penyelesaiannya. Tapi sampai dengan kedatangan kembali KPK di Kalteng, termasuk ke Kotim, janji tersebut belum tunai. Malah berkembang dengan terjadinya konflik antara perusahaan besar swasta (PBS) dengan PBS lainna disebabkan oleh di atas lahan perkebunan ang sudah ditanam diberikan izin kepada perusahaan tambang. Oleh pemberian izin tumpangtindih begini maka skala konflik bukan mengecil tapi melebar dan meluas. Nyala pertikaian bukan kian meredup apalagi padam, sebagaimana dijanjikan (janji politisi yang asal omong tanpa menghitung makna dan dampak janji), sebaliknya menjadi kian marak.
Izin ini diberikan dengan perhitungan bahwa perusahaan tambang bisa memberikan hasil lebih cepat untuk peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan perkebunan. Peningkatan PAD di satu sisi, akan menjadi modal politik dan finansial dalam menghadapi pilkada seperti janji memberikan mobil kepada semua kepala desa (kades), atas nama melakukan bimbingan tekhnis mengirim kades ke Batam lalu ke Singapura –bentuk terselubung dari persiapan membeli suara dalam pilada 2015. Rombongan lain ke Bali.
Keadaan di atas menampakkan bahwa pengumbaran izin merupakan salah satu sumber konflik agraria yang berkepanjangan. Data-data tersebut juga mengatakan bahwa konflik agraria jadinya diciptakan bahkan dipelihara oleh penyelenggara Negara sebagai pemberi izin. Adanya konflik agraria merupakan sumber penghasilan, modal politik dan finansial bagi kegiatan politik.
Disebut modal politik dan finansial karena seperti dikatakan oleh praktisi hukum Pontianak, Tamsil Syoekoer “sudah jadi rahasia umum, investor yang bergerak di bidang perkebunan dan pertambangan, mesti jadi sapi perah oknum kepala daerah. Dari seluruh tahapan administrasi perizinan, baru bisa dilanjutkan ke tahap berikutnya, apabila investor mau menyerahkan uang dalam jumlah tertentu kepada oknum kelapa daerah.” Pernyataan Tamsil ini diucapkan ketika menanggapi pernyataan Wakil Ketua KPK, Zulkarnaen di Palembang, Rabu (26/3). Zukarnaen, menegaskan kepala daerah akan diproses hukum, jika terbukti melakukan jual beli izin tambang dan perkebunan, dan atau menerima setoran upeti dari investor selama kepengurusan IzinUsaha Pertambangan dan Izin Usaha Perkebunan. Sementara menurut Tamsil, untuk sebuah izin pertambangan dan perkebunan hingga siap beroperasi uang suap yang diberikan minimal Rp 3 milyar hingga Rp 10-an milyar. Selain kepada kepala daerah, suap diberikan kepada oknum di Badan Pertanahan Nasional, polisi, jaksa, TNI, hingga preman, agar bisnis tetap jalan sesuai harapan.( http://sinarharapan.co/news /read /140328191 /Izin-Pertambangan-Bakal-Menjerat-Banyak-Kepala-Daerah)-
Konflik akan menjadi kian meruncing dan bisa berkembang jauh apabila PBS mengundang aparat Negara (polisi dan tentara) atas nama “melindungi obek vital”. Saya katakan “kian meruncing dan berkembang jauh” karena seperti dikatakan oleh Damang Basel dari Sabangau dalam kelas belajar adat dan hukum adat Dayak PT Makin Group di Baronang Miri , Kotim, 11 November 2014 lalu: “Apabila masyarakat sudah sampai pada batas kesabarannya, polisi dan tentara pun tidak akan menakutkan mereka. Mereka akan menyerbu aparat Negara yang melindungi PBS tersebut. Contohnya diperlihatkan oleh Tragedi Sampit tahun 2000-2001”. Jika hal ini terjadi maka konflik berdarah tidak terhindarkan. Kalau pun konflik berdarah berakhir, yang masih tersisa dan tidak terhapuskan adalah dendam generatif. Penanggungjawab utama jika hal demikian terjadi tidak lain si pengumbar izin yaitu kepala daerah. Jika demikian, salahkah pengumbaran izin sama dengan bermain api tanpa memperhitungkan kemungkinan malapetaka yang ditimbulkannya? Malapetaka berdarah (sudah terjadi) karena egoisme tak terkendali. Karena penyelenggara Negara, terutama orang pertamanya, berpola pikir dan mentalitas pedagang, jika meminjam istilah mantan Presiden JB Habibie. “Bermental calo”, ujar seorang sopir taksi Palangka Raya-Sampit. Egoisme tak terkendali membuat orang malas berpikir. “Orangnya sih ada, yang mikir tidak ada” jika meminjam kata-kata Sekretaris Daerah Kabupaten Kotim, Putu Sudarsana. Kata-kata ini melukiskan betapa dominannya instanisme atau jalan pintas dalam masyarakat dan birokrasi negeri ini.
Penanggungjawab lainnya adalah pemilih. Para pemilih turut bertanggungjawab karena telah memilih calon bermental calo itu tanpa memikirkan akibat-akibatnya lebih jauh dan sangat merusak sekedar untuk mendapatkan uang tunai 50-250 rupiah yang mungkin sudah habis dibelanjakan dalam sehari. Merusak bukan hanya untuk hari ini tetapi berakibat sampai ke angkatan berikut. Penanggungjawab lain adalah partai politik yang korumpu.
Sekiranya masyarakat adat dan kelembagaan adat kuat dan betul-betul beradat, barangkali ia bisa menjadi patner sosial dalam sistem tripartit dalam hal pemberian izin usaha.. Seandainya demikian, maka Free (Bebas), Prior (Diutamakan, Didahulukan) Informed [Dijelaskan], Consent [Kesetujuan] (FPIC).prinsip yang ditetapkan oleh United Nation Declaration on the Rights of Indigineous People (UNDRIP) bisa terlaksana dan dilaksanakan. Apabila prinsip FPIC ini dilaksanakan maka konflik agraria paling tidak diminimkan skala kejadiannya. Masalahnya bagi Kalteng terletak pada masyarakat (hukum) adat sangat lemah dan belum mempunyai syarat untuk menjadi patner sosial karena terkooptasi. Karena itu menata, mengembalikan masyarakat (hukum) adat pada kedudukan independen kembali, memperkuat dan memberdayakannya antara lain melalui kelasbelajar-kelasbelajar merupakan pekerjaan mendesak. Berharap pada masyarakat (hukum) adat sebagai patner sosial, kiranya jauh lebih dekat jangkauannya dan praktis daripada berharap pada adanya sarikat buruh, sarikat tani dan sarikat pekerja lainnya yang diorganisir oleh buruh, tani dan para pekerja itu sendiri, bukan rekayasa. []

Apa Itu Prinsip FPIC

FPIC merupakan singkatan dari kata bahasa Inggris Free (Bebas), Prior (Diutamakan, Didahulukan) Informed (Dijelaskan), Consent (Kesetujuan). FPIC disusun sebagai bagian dari UNDRIP. FPIC sebagai landasan dari semua proses-proses kebijakan terkait Masyarakat Adat . Suatu penjabaran hak Masyarakat Adat untuk menentukan bentuk-bentuk kegiatan apa yang mereka inginkan pada tanah mereka.
Pelaksanaannya di tingkat komunitas mendapatkan respon baik dalam kebijakan lembaga-lembaga internasional. Asian Development Bank (ADB, Bank Pembangunan Asia) dan IFC sebagai lembaga Keuangan Internasional dan UNREDD sebagai lembaga REDD+ yang dibentuk oleh tiga intitusi PBB (FAO, UNDP dan UNEP), telah menyusun lebijakan mengenai FPIC terkait Masyarakat Adat dan bagaimana mengimplemenatasikannya. AMAN terlibat dalam forum-forum kebijakan di UNREDD, sebagai peninjau penuh dengan hak bicara, mewakili Masyarakat Adat Asia.
FPIC merupakan penyepakatan Masyarakat Adat yang diberikan sesuai dengan hukum dan praktek-praktek adat. Mungkin saja ada beberapa orang anggota komunitas Masyarakat Adat yang berbeda pendapat, namun keputusan harus tetap berdasarkan adat yang berlaku, apabila dalam tahap membuat keputusan awal saja sudah mengakibatkan konflik dalam Masyarakat Adat, maka rencana kegiatan tersebut layak untuk ditolak. Hal ini didasari p0emikiran, bila pada awalnya saja sudah menimbulkan konflik, maka bila rencana dilanjutkan, maka konflik akan semakin meluas, dan masyarakat adat kembali menjadi korban. Penolakan yang diambil sebagai keputusan merupakan hak Masyarakat Adat yang harus dihormati. Setelahnya tidak boleh ada upaya membujuk dan merayu sehingga menimbulkan perpecahan dalam Masyarakat Adat.
Mengapa FPIC Begitu Penting?
Biasanya, skema pembangunan dan konservasi dipaksakan kepada Masyarakat Adat tanpa konsultasi m partisipasi atau perundingan – tanpa penghormatan terhadap hak-hak mereka. Akibatnya adalah bahwa masyarakat mendapatkan hutan mereka ditebang, tanah-tanah mereka ditambang, lembah-lembah mereka kebanjiran, kawasan berburu mereka dipagari, ladang mereka diduduki, lembaga adat mereka dihina. Semuanya berlangsung tanpa ada kesempatan bagi mereka untuk menyampaikan suara atau aspirasinya dalam proses tersebut, dan seringkali tanpa mereka rasakan atau mereka ketahui apa manfaatnya bagi mereka. Mereka bisa saja secara paksa dipindahkan, atau dipaksa meninggalkan tanah-tanah mereka dan ‘dilatih-kembali’ untuk melayani kebutuhan masyarakat nasional, tetapi tidak untuk memenuhi kebutuhan utama mereka sendiri. Umumnya , ini mengakibatkan mereka akhirnya menjadi lebih miskin dan jauh lebih menderita daripada sebelumnya.
Cara-cara penerapan FPIC yang benar harus menghentikan penyimpangan-penyimpangan tersebut. FPIC menyetarakan hubungan antara komunitas dan pihak luar, karena ini bermakna menghargai hak-hak komunitas Masyarakat Adat atas wilayah-wilayah mereka dan untuk menentukan apa yang ingin mereka lakukan di atasnya. Ini hendaknya berarti bahwa pembangunan hanya dapat dilanjutkan ketika dan jika Masyarakat Adat telah menerima bahwa kegiatan-kegiatan yang ditawarkan akan bermanfaat bagi mereka. Artinya bahwa semua bentuk pembangunan yang hanya membahayakan mereka tidak boleh diteruskan karena masyarakat akan menokaknya.(Sumber: “Panduan Praktis Untuk Masyarakat Adat Dalam Perjuangan. Perlindungan Masyarakat Adat & REDD”, AMAN Kalimantan Tengah-TIFA, 2012, 36-39).

Manipulator Prinsip FPIC
Siapa saja yang dapat melakukan manipulasi prinsip FPIC?
Pihak-pihak yang dapat melakukan manipulasi:
• Manipulasi oleh komunitas itu sendiri: Oleh perwakilan komunitas, struktur adat, dan kelompok kepentingan lainnya di dalam komunitas yang terutama merugikan kelompok-kelompok paling rentan di dalam komunitas, seperti perempuan dan kelompok pemuda.
• Manipulasi oleh pihak investor: melakukan pendekatan kepada orang-orang tertentu di dalam komunitas, memberikan informasi yang menyesatkan bagi komunitas, manipulasi tentang luasan tanah dan hutan.
• Manipulasi oleh pemerintah: penafsiran sepihak tentang hukum, pendekatan diam-diam dengan perusahaan, pembuatan kebijakan (perda) yang sepihak, penetapan tata batas tanpa persetujuan komunitas.
Bagaimana menghindari manipulasi para pihak itu?
• Untuk menghindari manipulasi yang dilakukan oleh komunitas: perwakilan komunitas harus berbentuk sekelompok orang atau lembaga yang merepresntasikan berbagai kelompok sosial di dalam komunitas; mekanisme pengambilan keputusan harus melibatkan seluruh anggota komunitas; harus ada proses pelaporan dan umpan balik untuk setiap tahapan perundingan oleh perwakilan kepada seluruh anggota komunitas; wewenang perwakilan hanya terbatas mpada menyampaikan apa yang menjadi keputusan komunitas; seluruh proses ini sebaiknya didokumentasikan.
• Untuk menghindari manipulasi yang dilakukan oleh investor: masyarakat harus mencari, mempelajari dan memahami tentang rencana investasi, peta lokasi, ijin perusahaan, AMDAL, manajemen perusahaan, prosedur yang harus ditempuh oleh pihak perusahaan, dan standar-standar sosial, ekonomi dan lingkun gan yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Setiap tahapan proses negosiasi harus didokumentasikan dan ditandatangani pihak-pihak yang berunding.
Untuk menghindari manipulasi yang dilakukan oleh pihak pemerintah: masyarakat harus terlibat dalam proses pembuatan kebijakan, masyarakat dengan bantuan Ormas, LSM harus menganalisis kebijakan-kebijakan yang telah dikeluarkan oleh pemerintah daerah, dan melakukan pemetaaan, partisipatif atas wilayah-wilayah adat masyarakat, masyarakat juga harus terlibat dalam proses dan pengukuhan tata batas kawasan hutan. (Sumber: “Panduan Praktis Untuk Masyarakat Adat Dalam Perjuangan. Perlindungan Masyarakat Adat & REDD”, AMAN Kalimantan Tengah-TIFA, 2012, 36-39).
UNDRIP dan FPIC
UNDRIP merupakan singkatan dari United Nation Declaration on the Rights of Indigineous People. Dalam bahasa Indonesia berarti Deklrarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hak-Hak Masyarakat Adat.
UNDRIP telah diadopsi oleh General Aseembly Resolution 61/295 (Resolusi Sidang Umum PBB) pada tanggal 13 September 2007. Dengan demikian UNDRIP menjadi acuan dalam hal yang berkaitan dengan Hak-Hak Masyarakat Adat bagi negara anggota PBB.(Termasuk Indonesia -Red.).
Merupakan salah satu standar minimal untuk perlindungan, penghormatan dan pemenuhan Hak Azasi Manusia (HAM) Masyarakat Adat, member penegasan bahwa Masyarakat Adat memiliki hak kolektif, antara lain yang terpenting, adalah hak atas menentukan nasib-sendiri, hak atas tanah, wilayah dan sumberdaya alam, hak atas identitas budaya dan kekayaan intelektual, hak atas free, prior and informed, consent (FPIC) dan hak atas penentuan model dan bentuk-bentuk pembangunan yang sesuai bagi mereka sendiri.
Indonesia merupakan salah satu negara yang menandatangani UNDRIP, sehingga, Hak-Hak Masyarakat Adat yang tercantum dalam Deklrarasi ini mengikat Indonesia secara moral untuk mengakui, menghormati dan memenuhi hak-hak Masyarakat Adat di wilayah Indonesia. Dengan demikian, UNDRIP merupakan salah satu alat bagi Masyarakat Adat di Indonesia untuk menekan pemerintah Indonesia agar mengakui, menghormati dan memenuhi Hak-Hak Masyarakat Adat.

Apa Isi UNDRIP?
Deklarasi PBB ini memuat 24 paragraf pembukaan dan 46 pasal yang mencantumkan dan menjelaskan hak-hak azasi internasional Masyarakat Adat. Di antara isi Deklarasi ini yang penting adalah diakuinya hak-hak Masyarakat Adat: hak untuk mendefinisikan diri sendiri sebagai sebagai Masyarakat Adat; hak untuk menentukan nasib sendiri; hak atas tanah, wilayah dan sumber daya yang terkandung di dalamnya; hak untuk menyetujui atau tidak menyetujui tanpa paksaan atas segala macam kegiatan pembangunan di tnah dan wilayah mereka; dan hak-hak yang tercantum dalam instrumen-instrumen HAM lainnya.
Deklarasi ini juga bersifat khusus karena berbicara tentang hak bersama (kolektif).Hal ini penting bagi Masyarakat Adat karena sebagian besar aspek dalam kehidupan Masyarakat Adat dilakukan secara bersama-sama, khususnya mengenai tanah dan suber daya alam.
Bagian Pembukaan berisi 24 alinea. Berisi tentang pengakuan bahwa ketidakadilan di masa lalu terhadap MA termasuk, penjajahan; menegaskan kesetaraan Masyarakat Adat dengan yang lain dan pentingnya memajukan dan menghormati hak-hak yang melekat pada Masyarakat Adat. Mengakui pula bahwa penghormatan pengetahuan Masyarakat Adat berkontribusi positif terhadap pembangunan berkelanjutan dan lingkungan.
Bagian Operasional berisi 46 pasal. Bagian ini berisi pasal-lasal yang merangkum hak-hak Masyarakat Adat yang diakui oleh PBB (Sumber: “Panduan Praktis Untuk Masyarakat Adat Dalam Perjuangan. Perlindungan Masyarakat Adat & REDD”, AMAN Kalteng-TIFA, 2012, 26-28).
Undrip Di Wilayah Hukum Indonesia

Apakah UNDRIP dapat digunakan di Wialayah Indonesia?
Indonesia merupakan negara anggota PBB dan salah satu negara yang menandatangani naskah UNDRIP, dengan demikian, UNDRIP sebagai instrumen internasional yang mkengikat secara moral bagi Indonesia untuk mengakui hak-hak Masyarakat Adat di wilayah hukum Indonesia untuk mengakui, menghormati dan memenuhi.
Artinya UNDRIP dapat digunakan sebagai alat untuk mempertahankan/memperjuangkan hak-hak masyarakat adat di wilayah hukum Indonesia.

Apa hubungan antara Hak Masyarakat Adat dan UNDRIP?
Hukum internasional mengakui bahwa hak masyarakat adat tidak tergantung pada hukum suatu Negara karena hak mereka berasal dari hukum dan kebiasaan mereka sendiri. Ini karena hak asasi manusia dianggap hak bawaan dan bukan merupakan pembefrian suatu pemerintahan.
Masyarakat Adat memiliki hak asasi karena Masyarakat Adat adalah umat manusia bukan karena Negara mengakui kita atau mengakui hak kita.

Apa kata UNDRIP tentang hubungan antara Negara dan Masyarakat Adat?
UNDRIP mensyaratkan ada komunitas masyarakat adat dengan hak kolektif. Berpijak atas asumsi dasar bahwa ada hak Negara dan ada hak masyarakat. Juga alat membuka ruang untuk titik temu Negara dan Masyarakat Adat. Selain itu UNDRIP mengangkat hak masyarakat sebagai satu satuan sosial, ekonomi, budaya dan politik. (Sumber: “Panduan Praktis Untuk Masyarakat Adat Dalam Perjuangan. Perlindungan Masyarakat Adat & REDD”, AMAN Kalimantan Tengah-TIFA, 2012, 26-29-31).

PETA OVERLAPPING PT. WYKI DAN MSK DENGAN PERTAMBANGAN

OVERLAPPING PERUSAHAAN PERKEBUNAN SAWIT DENGAN PERUSAHAAN TAMBANG DI CEMPAGA, KOTIM, 2013-2014.
NO PT/KOP LUAS IL (PT & KOP) LUAS TERTANAM (PT & KOP) OVERLAPPING DILUAR OVERLAPING (Ha)
PT LUAS Ha
1 KIU 28,287.50 19,298.78 PT. Sekti Rahayu Indah 580.26 18,718.52

2 IPK 12,000.00 5,759.69 5,759.69

3 WYKI 1,500.00 4,347.78 PT. Aldy Surya Gemilang 87.22 530.69
PT. Bumi Makmur Waskita 3,349.80
PT. Awang Sejahtera 380.07

4 SISK 6,702.00 6,859.99 PT. Batu Bara Kalimantan 986.33 1,314.07
PT. Batu Mulia Kalimantan 1,544.15
PT. Wahyu Murti Garuda Kencana 2,067.31
PT. Energi Buana Artha 948.13

5 MSK 4,210.00 4,182.68 PT. Aldy Surya Gemilang 941.21 3,241.46

Total 52,699.50 40,448.92 10,884.49 29,564.43
Sumber: Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, 2014.

TRIPARTIT

HALAMAN MASYARAKAT ADAT HARIAN RADAR SAMPIT
Memperkuat Masyarakat Adat Dayak, Dasar Kalteng Bahadat
Alamat: Radar Sampit atau meldiwa@yahoo.com.sg

TRIPARTIT
Oleh Kusni Sulang

Masyarakat sipil yang oleh sejumlah penulis disebut juga dengan masyarakat madani yang telah berkembang jauh, misalnya Perancis, Inggris, Jerman, Italia, pengelolaannya dilakukan oleh tiga pihak. Tiga pihak itu ialah, pertama, pemerintah yang mengemban tugas menyelenggarakan Negara, kedua pelaku ekonomi atau lebih spesifik lagi pengusaha, dan ketiga masyarakat sadar yang terorganisasi yang disebut dengan istilah patner sosial, seperti Sarikat Buruh (dari berbagai sektor), Sarikat Tani, pemuda, Sarikat Nelayan, dan sebagainya. Untuk Indonesia barangkali, masyarakat adat bisa dimasukkan sebagai bagian dari patner sosial.
Tiga pihak pengelola kehidupan bermasyarakat yang niscayanya bersinergi ini disebut tripartit. Segala keputusan yang tidak disepakati oleh salah satu unsur dari tripartit ini tidak bakal berjalan, misalnya tentang tingkat upah minimum. Tidak akan jalan sebab tiga unsur ini dari segi imbangan kekuatan boleh dibilang seimbang.
Di Indonesia, patner sosial sebagai bagian dari tripartit masih lemah, lebih-lebih di Kalimantan Tengah. Sehingga yang tersisa dan menentukan dari tripartit itu adalah penyelenggara Negara dan perusahaan. Oleh dominannya konsep dan praktek ‘uang sang raja’ (l’argent roi), maka yang penyelenggara Negara dimainkan oleh pengusaha dalam bentuk seperti kolusi, gratifikasi dan korupsi. Akibatnya Negara menjadi absen dari tengah-tengah warganegaranya. Masyarakat menjadi masyarakat otopilot.Lemahnya patner sosial membuat praktek top-down umum digunakan, diperkuat oleh ciri masyarakat patrimondial ditambah oleh kekosongan wacana (the emptiness of concept, la vide de l’ideologie) yang memberikan ruang manuvre leluasa bagi segala rupa rekayasa. Keadaan demikian memberikan syarat bagi dipraktekkannya kekerasan, baik yang resmi atau partikelir, yang menjadi sarana utama dalam menghadapi keresahan sosial (social unrest) dan kontestasi sosial – petunjuk dari tingkat demokrasi atau masyarakat sipil di suatu negeri. Kekerasan resmi atau pun partikelir dalam berbagai bentuk, tidak lain dari wujud dari dominasi instanisme atau jalan pintas, menunujukkan bahwa demokrasi kita masih di taraf awal sehingga watak penindasan (represif)-nya sangat menonjol hingga hari ini, termasuk di Kalteng yang oleh sementara pihak disebut “Bumi Pancasila” sekalipun dalam kenyataan membelakangi Pancasila.
Untuk sampai ke tingkat berlangsungnya tripartit, hal kunci tidak lain dari pendidikan kepada tiga unsur tripartit tersebut. Melalui pendidikan, kesadaran yang kokoh diperoleh, melalui pendidikan penyadaran tiga unsur tripartit itu menjadi subyek yang kemudian bersama-sama mengelola kehidupan bermasyarakat, bernegeri, berbangsa dan bernegara. Dengan adanya kesadaran demikian, maka Negara tidak lagi menjadi alat penindas, tapi bagian dari tripartit dalam pengelolaan masyarakat menuju masyarakat keadaban yang terus meningkat tarafnya. Untuk memiliki kesadaran demikian penyelenggara Negara di tingkat apa pun niscaya membuang kepongahan kekuasaan, tidak menyenonimkan kekuasaan dengan kebenaran. Memelihara kepongahan kekuasaan dan menyenonimkan kekuasaan dengan kebenaran hanya menutup jalan kemajuan manusiawi; perusahaan tidak lagi semata-mata memburu laba, yang menyebabkan mereka dipandang secara gampang sebagai musuh oleh masyarakat lapisan bawah dan para ekstrim, tapi mempunyai peran sosial dan keadaban. Perusahaan, baik besar atau pun kecil bukanlah musuh, lebih-lebih perusahaan nasional; demikian pula patner sosial selain menjadi kekuatan pengontrol sosial juga berperan sebagai pembangun masyarakat beradab. Di Kalteng, kelembagaan adat Dayak mempunyai potensi untuk tumbuh menjadi patner sosial jika ia dikembalikan pada status kelembagaan adat yang sebenarnya, jika para pemangku adat mempunyai tingkat pengetahuan dan meresapi nilai-nilai hakiki dari budaya Dayak.
Pekerjaan pendidikan penyadaran tentu saja pekerjaan berjangka panjang, tidak segera nampak hasilnya tetapi mendasar. Ia harus dilakukan terus-menerus dan tekun. Menggunakan istilah populer sekarang, pekerjaan pendidikan penyadaran adalah cara utama untuk mewujudkan “revolusi mental”.
Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah sejak berdirinya memang menitikberatkan program-programnya pada upaya ini melalui penelitian, penulisan dan penerbitan serta pengorganisasian kelas-kelas belajar. Untuk melaksanakan program “revolusi mental”, yang mendesak dilakukan adalah penguatan dan pemberdayaan patner sosial. Untuk Kalteng terutama kelembagaan adat Dayak yang independen sehingga mampu menjadi subyek dan bagian aktif dari tripartite, mempunyai daya tawar yang tak bisa diabaikan siapa pun, kata-katanya mempunyai daya paksa. Perundingan hanya berlangsung adil jika kekuatan seimbang.
Sejalan dengan upaya ini pula, pada tanggal 11 November 2014, pimpinan PT Makin Group Kotawaringin Timur dan Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah, menyelenggarakan kelas belajar untuk para manajer PT Makin Group mengenai adat dan hukum adat Dayak. Melalui kelas-kelas belajar ini, antara perusahaan dan masyarakat adat sebagai bagian dari tripartit, boleh jadi bisa dicapai bahasa yang sama dan sinerjitas. Konflik tidak menguntungkan siapapun. Tidak menguntungkan pemerintah, juga tidak membawa kegunaan bagi perusahaan, apalagi masyarakat adat. Karena itu tidak semestinya dipertahankan. Dengan adanya bahasa yang sama dan sinerjitas sebagai unsur-unsur dari tripartit, barangkali penyelesaian sengketa mendapat landasan mendasarnya. Kehadiran investor, lebih-lebih investor nasional yang nasionalis tidak bisa dilepaskan dari cita-cita kemerdekaan yang diterakan dalam Konsitusi 45.[]

TUNTUTAN MASYARAKAT KEPADA POLDA KALIMANTAN SELATAN
KASUS PENEMBAKAN WARGA DAYAK DI MERATUS, BELUM SELESAI TUNTAS

Radar Sampit, 9 November 2014. Walaupun Kapolda Kalimantan Selatan (Kalsel), Brigadir Jenderal (Pol) Machfud Arifin Jumat 31Oktober 2014 lalu mengatakan bahwa “kasus penembakan terhadap warga adat (warga masyarakat adat Dayak Meratus –Red.) itu sudah selesai”, dan dilakukannya mutasi terhadap Kapolres Tanah Bumbu, daerah penembakan, tapi kemarahan masyarakat dalam kenyataannya belum selesai. Hal ini ditunjukkan oleh keluarnya sebuah Pernyataan Sikap Bersama yang diterbitkan pada 4 November 2014 lalu oleh AMAN Kalsel, YCHI, MADN, Gerdayak Kalsel, Keranda, LPMA Borneo, LSM Peta Kalsel, Peta Tanah Bumbu, BLHI Kalsel, WALHI KALSEL, Yayasan Sumpit dan wartawan individual.
Pernyataan Sikap Bersama itu antara lain pertama-tama selain menyatakan penghormatan dan penghargaan terhadap proses perdamaian yang diinisiasi oleh Bupati Tanah Bumbu, tapi juga mengutuk keras tindakan penembakan warga Dayak Meratus hingga tewas oleh pihak Polres Tanah Bumbu pada 22 Oktober 2014 lalu. Pernyataan Sikap Bersama tersebut tembusannya dikirimkan ke Presiden RI, DPR RI, MENKUMHAM RI, Gubernur Kalsel, DPRD Kalsel , Sekjen AMAN Nasional, Presiden MADN, Kontras dan WALHI Pusat, menuntut pihak Polda Kalsel dan pihak terkait untuk tetap mengusut kasus penembakan tersebut secara komprehensif, obyektif, terbuka, jujur dan tegas sesuai ketentuan yang belaku. Polda Kalsel juga dituntut untuk menyampaikan secara terbuka kepada publik hasil penanganan kasus penembakan tersebut. Polda Kalsel juga dituntut untuk mengungkap pihak-pihak yang diduga terlibat di belakang kasus ini serta memberikan komitmen teividualrtulis untuk lebih arif dalam penanganan kasus-kasus agraria, sumber daya alam, lingkungan hidup yang melibatkan masyarakat sipil atau masyarakat adat dan tidak mengulangi lagi perbuatan asal tembak/represif terhadap warga sipil. Kemudian Pernyataan Sikap Bersama tersebut meminta kepada semua pihak untuk ikut menjaga dan mengawal penanganan kasus tersebut. (ask-2-11-14)

NKRI JANGAN JADI ALAT PENINDAS DAERAH
Oleh Aju

“Pembangunan berorientasi kepada pasar bebas dan terjadi pengkhianatan Pasal 33 UUD 1945.”
Berbagai kalangan masyarakat di Kalimantan Barat mengingatkan pemerintah pusat agar tidak menindas rakyat di daerah dengan mengatasnamakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Penyeragaman pelaksanaan berbagai aturan strategis hanya akan membuat masyarakat merasa asing di negeri sendiri. Ini tidak adil,” kata Tobias Ranggie, praktisi hukum di Pontianak dan Krisantus Herusiswanto, Ketua Forum Masyarakat Perbatasan Provinsi Kalimantan Barat kepada SH secara terpisah Jumat (2/8).
Menurut Tobias, dalam banyak kasus pemerintah pusat menjadikan ideologi NKRI sebagai alat untuk menyederhanakan masalah. Pembangunan ekonomi yang berorientasi kepada pasar bebas dan pengkhianatan pada Pasal 33 UUD 1945 pada akhirnya telah menimbulkan ketidakadilan ekonomi di daerah.
“Program pembangunan di bidang perkebunan kelapa sawit misalnya, lahan masyarakat seenaknya digusur, dicuri, dirampas oleh pengusaha hitam berkolaborasi dengan birokrat pemerintah hanya lantaran tidak dilengkapi bukti kepemilihan secara sah berupa sertifikat atas tanah yang dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional. Ini bukti penindasan terstruktur yang dilegalkan pemerintah pusat,” ujar Tobias.
Padahal, secara tradisional, menurutnya, lahan itu mereka miliki secara adat secara turun-temurun. Masyarakat adat sudah lahir sebelum Indonesia memerdekakan diri sejak 17 Agustus 1945. “Tidak semua aturan yang diterapkan secara nasional bisa membuat masyarakat di daerah tenteram. Malah justru sebaliknya, karena sering kali menimbulkan masalah yang berujung kepada konflik sosial di dalam aplikasinya,” kata Tobias.
Krisantus Herusiswanto menambahkan, Indonesia sebagai negara kepulauan terluas dan terbesar di dunia, dihuni 240 juta jiwa, tersebar di 17.408 pulau, terdiri dari 1.128 suku bangsa dengan menggunakan 746 bahasa daerah, dicatat sebagai sebuah bangsa multikultural. “Sejatinya, sesuai etika administrasi dan tatanan ketatanegaraan global, Indonesia dalam kondisi multikultural masih saja dipaksakan menjadi sebuah negara kesatuan, amat sangat aneh dan hanya menimbulkan masalah di kemudian hari. Masyarakat multikultural seperti Indonesia hanya cocok jadi negara federal,” kata Herusiswanto.
Menurutnya, untuk menghindari konflik di daerah, pemerintah pusat mesti memiliki sebuah desain besar terhadap aplikasi pembangunan multikulturalisme. Multikulturalisme adalah sebuah ideologi yang menekankan pengakuan dan penghargaan pada kesederajatan perbedaan kebudayaan. Tercakup dalam pengertian kebudayaan adalah para pendukung kebudayaan, baik secara individual maupun secara kelompok, dan terutama ditujukan terhadap golongan sosial askriptif, yaitu suku bangsa (dan ras), gender, dan umur. (Diunduh dari (http://www.shnews.co/detile-23088-nkri-jangan-jadi-alat-penindas-daerah.html).

Ironis, Regulasi SDA Marjinalisasi Adat
Oleh Simon Pabaras

Meskipun konstitusi, beberapa peraturan perundang-undangan, dan putusan Mahkamah Konstitusi mengakui hak masyarakat adat, praktiknya lewat regulasi pula mereka dimarjinalisasi. Investasi sektor pertambangan dan kehutanan telah membuat masyarakat adat kian terpinggir dan semakin memprihatinkan.
Juli lalu, misalnya, Mahkamah Konstitusi menegaskan jaminan hak masyarakat dalam pengelolaan hutan. Ketika ditemukan sumber-sumber energi dan mineral di suatu kawasan yang dihuni masyarakat adat, lahan itu lambat laun akan menjadi sengketa. Ironisnya, kebijakan pemerintah relatif selalu lebih berpihak pada upaya menggusur masyarakat dari lokasi tersebut. Pimpinan masyarakat adat yang kritis dan pendamping mereka sering menjadi sasaran kriminalisasi. Bahkan tak jarang dihukum di pengadilan.
Peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, minyak dan gas bumi dipandang lebih mengedepankan investasi dan sering mengabaikan perlindungan masyarakat adat. “Masyarakat adat seringkali terusir atau bahkan tergusur dari tanah yang sudah mereka tempati jauh sebelum negara ini berdiri,” kata akademisi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, I Nyoman Nurjaya kepada hukumonline, di sela-sela Seminar Pengkajian Hukum Nasional 202, di Jakarta, Rabu (05/12).
Nurjaya menunjuk contoh seringnya konflik di lahan yang dijadikan lokasi pertambangan atau perkebunan. Demi alasan investasi, status hutan lindung pun bisa berubah. Masyarakat yang ada di kawasan hutan dipandang sebagai warga kelas dua.
Menurut Guru Besar Ilmu Hukum ini, regulasi tak menempatkan masyarakat hukum adat sebagai entitas hukum yang kedudukannya setara dengan hak negara atau individu. “Pemeintah hanya melihat dari sisi komoditas ekonomi,” ujarnya, prihatin.
Keprihatinan senada disampaikan Prof. Muhammad Yamin. Guru Besar Hukum Agraria Universitas Sumatera Utara (USU) ini mengatakan pemerintah terlalu mudah memberikan izin pengelolaan dan eksplorasi migas, dan perpanjangan kontrak kerjasamanya. Ditambah pengawasan yang kurang, jadilah kebijakan yang diterbitkan memberi ruang bagi investor ‘merebut’ lahan dari masyarakat adat.
Yamin menilai seharusnya pemerintah memperhatikan prinsip bahwa siapa yang datang dan bertempat tinggal pertama kali dalam suatu wilayah, maka dialah yang berhak untuk di layani.“pemerintah harusnya memahami prinsip who first come who serve”, paparnya.
Dalam pengelolaan sumber daya di sektor migas, kata Prof. Yamin, perlu kiranya dianut prinsip-prinsip dalam hukum adat yang selama ini lebih mencerminkan nilai-nilai kearifan lokal. Sebagai contoh, prinsip-prinsip bagi hasil yang ada di dalam masyarakat adat itu sangat tepat apabila dijadikan landasan prinsipil dalam pengelolaan sumber daya alam di sektor migas. Namun sayangnya pemerintah seringkali menafikan prinsip-prinsip yang ada dalam hukum adat.
Problematika yang perlu disoroti saat ini ialah seringkali para investor dan pemerintah ‘berselingkuh’ dalam rangka mempermudah akses penguasaan terhadap sumber daya alam di sektor migas. Sementara kepentingan rakyat nyaris tak dianggap. “Seharusnya rakyat dilibatkan dalam pengambilan keputusan,” ujarnya.
Sumber:http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt50c1f8a620608/ironis–regulasi-sda-marjinalisasi-masyarakat-hukum-adat

PPMAN Temukan 5 Kejanggalan Dayak Meratus Berdarah
Radar Sampit, 9 November 2014. Peristiwa penembakan oleh oknum aparat Kepolisian Polres Tanah Bumbu pada tanggal 22 Oktober 2014 dini hari waktu setempat hingga menyebabkan tewasnya INUS (35) anggota masyarakat adat Dayak Meratus Kab. Tanah Bumbu Propinsi Kalimantan Selatan beserta 16 orang lainnya luka-luka, dinilai terdapat kejanggalan oleh Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN). Masyarakat adat Dayak Meratus ini adalah komunitas-komunitas adat yang masing-masing dipimpin oleh Ketua Lembaga Adat yang mewarisi kepemilikan dan pengelolaan wilayah dan hutan adat secara turun temurun jauh sebelum kemerdekaan RI. Dibalik peristiwa berdarah ini, PPMAN mendapati 5 kejanggalan, yakni :1). Penembakan itu tidak memiliki cukup dasar dan alasan hukum yang jelas dan kuat, karena INUS dkk tidak sedang terlibat dalam tindak kejahatan apapun, melainkan mereka hanya bermaksud menemui dan mempertanyakan penangkapan terhadap 7 orang warga desa Batung yang dituduh melakukan penebangan kayu di lokasi perusahaan. Sebagaimana diketahui bahwa setibanya di tempat kejadian penangkapan 7 orang warga, INUS dkk dihadang aparat kepolisian yang berjumlah lebih dari 30 orang yang langsung berteriak jangan bergerak dan melakukan penembakan, karena merasa terancam INUS dkk dengan mengendarai mobil jenis pickup langsung berbalik arah hingga dikejar aparat polisi dengan terus melakukan penembakan hingga akhirnya INUS tewas luka tembak sebanyak 3 lubang masing-masing di paha, di pinggang hampir tembus, dan kepala hampir tembus; 2). Adanya pertemuan musyawarah yang dipimpin langsung oleh Bupati yang mengarahkan perdamaian dengan pihak keluarga korban INUS. Pertemuan pertama dihadiri Bupati Tanah Bumbu, Kapolres, Dandim, keluarga korban, dan perwakilan masyarakat dilakukan pada tanggal 22 Oktober 2014 sore hari di hari yang sama terjadinya peristiwa penembakan, dan pertemuan kedua dilakukan pada tanggal 27 Oktober 2014 di kantor Bupati Tanah Bumbu dipimpin langsung oleh Bupati lengkap bersama unsur muspida Kapolres, Dandim, Kepala Kejaksaan Negeri, Ketua Pengadilan Negeri, dengan mengundang keluarga korban, dan perwakilan lembaga adat. Keputusannya keluarga korban diberikan uang santunan dari Bupati Tanah Bumbu juga dari Polres Tanah Bumbu, dan permasalahan dianggap telah selesai. Pertanyaannya adalah aneh atas peristiwa pidana yang bukan menjadi kewenangannya, Bupati dengan cepat memimpin langsung musyawarah perdamaian dengan melibatkan unsur muspida tanpa terkecuali, dan tidak satupun institusi penegak hukum yang mengikuti rapat ini mendorong agar proses hukum harus tetap dijalankan sesuai hukum yang berlaku; 3). Bahwa dengan alasan sudah adanya perdamaian dengan pihak keluarga korban, aparat kepolisian Polres Tanah Bumbu tidak lagi melakukan proses hukum atas tindakan kekerasan dan penembakan yang menyebabkan tewasnya INUS dan 16 orang lainnya yang luka-luka. Hal ini tentu bertentangan dengan ketentuan hukum pidana, bahwa tidak satupun aturan hukum yang mengatur perbuatan pidana dapat hapus oleh karena adanya perdamaian kecuali delik aduan; 4). Pihak Kepolisian berdalih bahwa penangkapan-penangkapan yang dilakukan terhadap warga merupakan kegiatan operasi penangkapan pelaku illegal logging, tapi pada faktanya dari setiap penangkapan yang dilakukan, tidak satupun yang diproses hukum secara serius menurut hukum hingga ke pengadilan melainkan selalu dilepas setelah dimintai pernyataan untuk tidak mengulangi perbuatan; 5). Bahwa diatas wilayah-wilayah yang menjadi target operasi penangkapan pelaku illegal logging oleh aparat kepolisian disinyalir kuat merupakan wilayah izin konsesi pengusahaan hutan, dan HTI atas nama PT. Kodeco yang sudah beroperasi sejak tahun 1968 yang izinnya diperpanjang pada tahun 1998, didalamnya juga terdapat aktifitas usaha perkebunan kelapa sawit milik perusahaan, dan praktek tambang batubara illegal yang diorganisir pemodal dengan menyingkirkan hak masyarakat adat setempat. Tercatat sejak tahun 2011, aparat kepolisian seringkali melakukan intimidasi kepada warga untuk tidak melakukan kegiatan apapun di dalam wilayah konsesi PT. Kodeco, bahkan terlibat mengawal tindakan penggusuran terhadap ladang, kebun, dan pondok-pondok masyarakat adat setempat. Demikian dinyatakan oleh Ketua PPMAN, Mualim Pardi Dahlan dalam siarannya 29 Oktober 2014 lalu.(ask-02-09-14).

BELAJAR ADAT DAN HUKUM ADAT DAYAK

HALAMAN  MASYARAKAT ADAT HARIAN RADAR SAMPIT
Memperkuat Masyarakat Adat Dayak, Dasar Kalteng Bahadat
Alamat: Radar Sampit atau meldiwa@yahoo.com.sg
BELAJAR ADAT DAN HUKUM ADAT DAYAK
Oleh Kusni Sulang

Seluruh pengambil keputusan, manajer, dan penanggungjawab bagian keamanan Perusahaan Besar Swasta (PBS) PT Makin Group yang beroperasi di kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) pada tanggal 11 November 2012 telah menyelenggarakan kelasbelajar sehari tentang adat, hukum adat dan budaya Dayak. Kelasbelajar yang berlangsung sehari penuh di Aula Kasai kebun PT Makin di desa Baronang Miri diselenggarakan bersama dengan Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah. Sebelum kelas belajar untuk PBS ini, Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah bersama Ecosoc Institut Jakarta, dengan sokongan kuat dari pemerintah daerah kabupaten Kotim, telah menyelenggarakan kelas belajar tentang adat, hukum adat, UU Desa dan Hak Asasi Manusia, selama lima hari untuk para pemangku adat dan kepala desa seluruh Kotim, bahkan ada peserta yang datang dari hulu Sungai Mentaya. Kelasbelajar untuk pemangku adat, lembaga-lembaga adat juga sangat diperlukan karena tidak sedikit mereka yang tidak tahu adat, hukum adat dan budaya Dayak bahkan menjadi pelanggar adat dan hukum adat itu sendiri – lebih parah lagi mengatasnamai adat untuk melakukan pungutan liar dan pemerasan.
Kelasbelajar-kelasbelajar ini diselenggarakan dengan tujuan agar PBS dan masyarakat adat Dayak yang merupakan unsur-unsur utama yang terlibat dalam konflik, bisa memperoleh bahasa yang sama dalam menghadapi dan menangani konflik, terutama konflik agraria. Seperti diketahui, konflik agraria di Kalteng merupakan yang tertinggi jumlahnya dan intensitasnya di Indonesia. Sedangkan Kotim merupakan tempat konflik agraria yang paling banyak di Kalteng. Menciptakan dan mendapatkan bahasa yang sama dalam menghadapi dan menangani konflik artinya secara pendekatan yang diutamakan bukanlah pendekatan keamanan atau kekerasan tetapi pendekatan kebudayaan. Pendekatan keamanan, apalagi jika sampai melibatkan aparat Negara seperti polisi, Brimob dan atau tentara, seperti yang umum dilakukan oleh PBS, bukannya menyelesaikan konflik tapi justru memeliharanya dan memupuk dendam turunan. Bahkan menurut analisa Damang Sabangau, Basel Ahat Bangkan yang menjadi salah seorang narasumber, “jika masyarakat adat sudah mentok dan kehabisan kesabaran, aparat Negara pun bukanlah sesuatu yang mereka takuti, dan kalau titik ini sudah dicapai maka tragedi seperti yang terjadi pada tahun 2000-2001 bukan tidak mungkin terjadi”. Ketika itu ingatan ditembak matinya oleh arapat Negara sejumlah orang Dayak yang unjuk rasa di Bundaran Besar Palangka Raya akan muncul ke permukaan menambah marak kobar kemarahan. Pendekatan kekerasan, apalagi jika mendekati tindak premanisme dari pihak mana pun tidak akan memecahkan persoalan yang dihadapi. Oleh karena itu menangani konflik agraria dengan pendekatan kebudayaan, atau secara adat setempat (bukan adat-adatan!), bukan pendekatan keamanan, merupakan pendekatan terbaik. Dengan pendekatan kebudayaan dan atau adat, yang bercirikan menang-menang, bukan menang-kalah seperti jika menggunakan hukum formal, masalah akan tertangani secara mendasar. Sementara jika menggunakan pendekatan keamanan atau “main uang”, masalah hanya tertunda sebentar. Penundaan, tidak menyelesaikan soal.
Kecuali bagi yang berdagang dengan ketidakamanan, keamanan memang diperlukan oleh semua pihak. Diperlukan oleh masyarakat, diperlukan oleh penyelenggara Negara dan juga oleh perusahaan. Ketidakamanan membuat terganggunya, bahkan mungkin terhenti, kegiata sosial-ekonomi, pemerintahan dan bidang-bidang lainnya. Keamanan mendasar tidak lain dari keamanan yang didapat melalui pendekatan kebudayaan. Penjaga dan perawat keamanan demikian adalah masyarakat, perusahaan dan penyelenggara Negara, cq aparat Negara. Karena itu bahasa yang sama patut diciptakan dan didapat. Bahasa yang sama ini sebagai bagian dari kebudayaan, hanya bisa didapat melalui belajar.
Setelah Tragedi Sampit 2000-2001, saya pernah menyarankan kepada Polisi Daerah Provinsi Kalteng melalui seorang Mayor Polisi asal Jawa, agar pihak aparat Negara perlu belajar adat, hukum adat dan budaya di mana mereka bertugas, jika di Kalteng adalah adat, hukum adat dan budaya Dayak. Saran ini sekarang saya sampaikan kembali sehingga melalui belajar pihak aparat. Republik dan Indonesia mempunyai bahasa yang sama dengan warga negaranya. Sehingga dengan demikian warga masyarakat tidak memandang aparat Negara , cq Brimob dan polisi sebagai musuh yang dipandang dengan jijik dan kebencian. Keamanan tidak bisa dijaga hanya dengan bedil.
Kelasbelajar inipun niscayanya juga diselenggarakan untuk penyelenggara Negara terutama yang setingkat SKPD sebagai pihak yang bisa mengambil keputusan. Perlu untuk tripartit penyelenggara Negara, kehidupan bernegeri, berbangsa dan bermasyarakat.
Kelasbelajar tentang adat, hukum adat dan budaya Dayak yang tentu akan berlanjut, persiapannya hampir dua tahun, yang dilakukan oleh PT Makin Group di Kotim, selain sesuai dengan visi-misi PT Makin Group sebagai perusahaan nasional, juga merupakan pengejawantahan dari motto “di mana langit dijunjung, di situ bumi dibangun” (bukan: di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung” yang sudah tidak zamani!). Dalam masyarakat sipil yang telah berkembang maju, perusahaan nasional bukanlah musuh, tapi merupakan salah satu unsur dari tripartit penyelenggaraan Negara, kehidupan bernegeri, berbangsa dan bermasyarakat. Dengan penyelenggaraan kelasbelajar tentang adat, hukum adat dan budaya Dayak ini, PT Makin Group sebagai perusahaan nasional yang nasionalis di Kotim telah merambah jalan panjang baru bagi penanganan konflik agraria untuk “tumbuh dan berkembang bersama”. Apakah PBS-PBS asing dan nasional lain akan melakukan hal serupa ataukah semata-mata hadir untuk meraup laba sebesar-besarnya dari kekayaan Kalteng? Jika kehadiran mereka hanya bersifat peraup laba yang bengis, kiranya Masyarakat Adat, yang juga harus diberdayakan dan diperkuat sehingga tumbuh berkembang menjadi subyek, kata-katanya mempunyai daya paksa, patut membuat perhitungan secara lain pada mereka dan para kolusinya. Kehidupan Dayak dan Kalteng bukan komoditas, tuan-tuan dan puan-puan. Salahkah jika menghadapinya bersama kolusinya kita berkata: “Go to hell with these kind of investors and corrupt bureaucrats?” (Para investor dan birokrat koruptif jenis ini buanglah ke neraka”. Masyarakat adat yang berdaya merupakan benteng para panarung, subyek yang berani dan pandai bertarung, berani dan pandai menang.[]
Brimob Dilarang Menjaga Keamanan Kebun
[PONTIANAK] Kapolda Kalimantan Barat (Kalbar) Brigjen Pol Arief Sulistiyanto, melarang semua anggota Brimob Polda Kalbar yang melaksanakan pengamanan secara langsung atau mengepos di areal perkebunan sawit. Untuk pengamanan areal atau wilayah perusahaan perkebunan sawit, perusahaan harus membangun dan meningkatkan jumlah personel satuan pengamanan (Satpam) kebun.
Hal itu dikatakan Kapolda Kalbar Brigjen Pol Arief Sulistiyanto kepada wartawan di Pontianak, Minggu (9/11).
Ia mengatakan, selama ini, banyak perusahaan perkebunan sawit yang meminta pengamanan kepada Polri, dalam hal ini Brimob Polda Kalbar. “Padahal kita ketahui tugas Polri khususnya Polda Kalbar adalah menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat Kalbar,” katanya.
Oleh sebab itu, seluruh kekuatan diarahkan untuk kegiatan yang berhubungan dengan masyarakat. Diakui memang pengamanan objek vital menjadi tugas dan tanggung jawab Polri.
“Namun tidak semua objek vital itu secara langsung dijaga oleh aparat Kepolisian dari Polda Kalbar. Oleh sebab itu setiap perusahaan harus membentuk satuan pengamanan perusahaan,” tandas Kapolda.
Selanjutnya Polisi melaksanakan eksistensi terhadap satuan pengamanan di perusahaan secara berkesinambungan. Dengan demikian aparat Kepolisian tidak melaksanakan pengamanan secara langsung di loaksi perusahaan.
Perkebunan sebagai satu unit usaha yang mendatangkan keuntungan diharapkan dapat membangun satuan pengamanan yang cukup. Artinya sesuai dengan kebutuhan atau sesuai dengan luas areal yang dimiliki dan dikelola perusahaan.
“Semakin luas areal atau wilayah yang di kelola perusahaan, maka jumlah personel satuan pengamanan harus semakin banyak jumlahnya. Salah satu contoh jika satu perusahaan mengelola seluas 30.000 hektare kebun, maka satuan pengamanan yang dimiliki perusahaan minimal 100 personel,” katanya.
Jadi ketika ada gangguan di perusahaan, maka perusahaan dalam melaksanakana pengamanan dan tidak langsung meminta bantuan Polisi untuk melaksanakan pengamanan secara langsuung. Dengan demikian polisi bukan polisi kebun tetapi polisi milik masyrakat. [146/N-6]
http://sp.beritasatu.com/home/brimob-dilarang-menjaga-keamanan-kebun/68637

KOMUNITAS ADAT SEBAGAI SUBJEK
Oleh Hendrikus Adam*
Menempatkan komunitas sebagai subjek pembangunan dan membiarkan mereka berdaulat mengakses SDA melalui inisiatif kearifan lokal penting dipertimbangkan.

Ada kisah pilu yang saya ingat tentang kegelisahan tiga warga kampung dari Bengkayang, Landak dan Sintang.
Di Bengkayang, Masyarakat Adat Semunying Jaya pernah mendekam dalam bui dan harus berjuang ekstra atas penyerobotan hutan adat oleh perusahaan perkebunan yang mengabaikan rasa keadilan.
Negara dalam kasus ini tak sungguh memihak, apalagi memberi solusi. Persetujuan bebas tanpa paksaan (prinsip FPIC) pun turut diabaikan.
Jamaludin, pria asal kampung Pareh di Semunying Jaya karena kesal berujuar; “Pihak perusahaan kami anggap melakukan penindasan, perampasan dan pemerasan terhadap warga Semunying Jaya.
Pihak perusahaan bukan malah menguntungkan, penjajah bagi kami. Masalah perizinan mereka itu tidak jelas, siapa yang memberi izin. Katanya dari bupati, kenapa tidak izin pada masyarakat?”
Sedang di Sintang, L. Edar, 49, pria asal kampung Sungai Garuk di kecamatan Serawai dicopot sebagai kepala dusun dengan tak hormat, sejak 1 April 2011. Dia dianggap tak mendukung kebijakan pemerintah soal perkebunan kelapa sawit dan terlibat dalam organisasi GEMAS.
Edar warga Masyarakat Adat Melahui di kampung Sungai Garuk sadar bahwa wilayah mereka tidak untuk dieksploitasi apalagi diambil paksa.
“Manusia bisa beranak, tanah tidak. Tanah juga tidak bisa bertambah. Tetapi bila tanah diambil perusahaan, di mana masyarakat akan hidup?”begitu dia berujar soal hutan dan sumberdaya alam sekelilingnya.

Keteguhan Sikap

Lain lagi kisah Akbertus, seniman ukir dari Kampokng Sahapm di kecamatan Sengah Temila, Kabupaten Landak. Dia adalah Albertus. Pria berusia 45 tahun ini konsisten dalam menjaga alam dan mempertahankan warisan leluhur dengan caranya.
Menurut dia, sekitar tahun 1990an hutan adat kampung Sahapm diincar investor yang berniat membuka perkebunan kelapa sawit. Orang-orang suruhan menakut-nakuti warga kerap dengan mengatakan bahwa tanah yang berada di wilayah adat mereka adalah tanah atau hutan (milik) negara.
Abertus saat itu menjabat ketua RT 03 bersama warga lain yang didukung para tetua yang kini sebagian telah meninggal konsisten melawan. Kendati menuai ancaman dan teror, mereka memetik hasilnya.
Komunitas dengan kekhasan budayanya berikut kawasan hutan sekitar dapat terjaga keberadaannya. Hingga kini masih saja ada pihak yang berharap wilayah itu dapat digarap untuk investasi perkebunan.
”Saat itu, kita (saya) diancam pihak perusahaan karena dianggap sebagai provokator. Pernah diundang pihak aparat (Polisi dan Koramil) untuk diminta keterangan. Dengan berbagai macam teror, mungkin dirasakan tidak mempan, kemudian secara halus mereka mendatangi kita. Manager perusahaan saat itu datang membawakan uang dalam kantong plastik hitam sebanyak ratusan juta rupiah,” tutur Albertus pada penulis.
Bagi dia, apa yang dilakukan perusahaan bukan cara untuk menghargai mereka secara baik. Dia pun menolak uang itu secara halus.
Diakhir kisahnya, Albertus bertutur dalam bahasa daerah Dayak Kanayatn,
”Kade’ diri nana’ bapikir, nana’ paduli ka’ urakng lain, mungkin udah samuanya baralih ka’ perusahan. Kami bapikir demi kepentingan generasi, gali’ uga’ akibatnya walau nana’ ditele’ urakng rami”
(Kalau tidak berpikir, tidak peduli kepada warga lainnya, mungkin semuanya sudah beralih ke perusahaan. Kami berpikir demi kepentingan generasi, takut juga akibatnya walau tidak dilihat orang ramai)”.
Ini mengambarkan keteguhan sikap warga kampung yang ingin alam wilayah sekitar tetap terjaga dan terhindar dari eksploitasi. Mencerminkan kedekatan dengan sumber daya alamnya.
Ada kesamaan pesan ketiga warga dari kampung yang berbeda itu.
Masyarakat Adat cenderung rentan menjadi korban kebijakan pembangunan yang tak mereka inginkan. Ungkapan mereka memiriskan karena bertutur soal penyerobotan lahan, riak dan konflik, intimidasi, pembungkaman secara halus (menghalalkan cara dengan menyuap warga) dan berbagai potensi destruktif lain.
Sisi positif darinya adalah kesadaran bahwa SDA perlu dilestarikan, sikap kritis, semangat rela berkorban, keinginan kuat mempertahankan budaya, jati diri dan ruang hidup komunitas, kejujuran, keberpihakan pada kebenaran dan seterusnya.

Keutuhan SDA
Kisah dan kesaksian Jamaludin, Edar dan Albertus hanya bagian kecil ’cerita pilu’ di negara republik ini. Upaya mereka bersama komunitasnya boleh jadi mewakili ”kegelisahaan” komunitas (Masyarakat Adat/lokal) pada umumnya. Perjuangan komunitas Masyarakat Adat bagi keutuhan dan keberlanjutan SDA patut jadi refleksi.
Hemat penulis, tidak perlu lagi ada tuduhan dini bernada sinis dan sepihak yang kerap dialamatkan pada komunitas. Cukup sudah selama ini komunitas menjadi korban. Negara melalui aparatur seharusnya tertantang untuk menyuguhkan perlakuan humanis yang beradab dan sanggup memanusiakan warganya.
Hutan, tanah dan sungai (air) sebagai bagian penting dan mendesak bagi kelangsungan hidup maupun kehidupan komunitas tidak seharusnya jadi objek eksploitasi semaunya oleh ”Si Kaya” – ”Si Kuasa”. Pejabat pemerintah tak perlu merasa mumpung punya kewenangan lantas bertindak melebihi batas ideal hingga melukai perasaan warga.
Seharusnya mereka menempatkan setiap individu dan komunitas Masyarakat Adat sebagai subjek dalam setiap (kebijakan) pembangunan berbasis sumber daya alam. Keutuhan SDA dengan keberpihakan negara terhadap masa depan warganya, termasuk komunitas Masyarakat Adat yang tersebar se Nusantara, mesti segera diwujudkan.

Bukan Hutan Negara
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materi (Judicial Review) atas UU 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang diajukan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Masyarakat Adat Kenegerian Kuntu dan Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu, pastilah menggembirakan.
Putusan yang disampaikan dalam sidang pleno MK pada Kamis, 16 Mei 2013 tersebut mengakui dan menegaskan bahwa ”Hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat”.
Dengan kata lain, putusan bernomor 35/PUU-X/2012 sederhananya dapat dipahami bahwa; ”hutan adat bukan (lagi) hutan negara.
Putusan MK itu mungkin kemenangan Masyarakat Adat, tentu perjuangan selanjutnya jauh lebih penting. Tantangannya adalah bagaimana memastikan agar putusan tersebut menjadi rujukan, dilaksanakan dan memiliki kekuatan (eksekusi) mengikat. Dengan demikian dia dapat ”memaksa” untuk pencapaian situasi komunitas yang diidamkan; berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan bermartabat secara budaya.
Bagaimanapun, harus disadari bahwa kedekatan hubungan komunitas terhadap hutan adat berikut wilayah kelola dan sumber daya alam sekitarnya adalah satu kesatuan utuh. Ini perlu diapresiasi dan menjadi kesadaran kolektif segenap pemangku kepentingan.
Menempatkan komunitas sebagai subjek pembangunan dan membiarkan mereka berdaulat mengakses SDA melalui inisiatif kearifan lokal penting dipertimbangkan. Ini adalah pilihan strategis aparatur negara.
Putusan bahwa ”hutan adat bukan hutan negara” sedianya tidak malah menambah jeritan hati dan kegelisahan komunitas seperti halnya testimoni kegelisahan ketiga warga di atas. Sebaliknya, putusan tersebut kiranya menjadi sumber inspirasi yang dapat memperkuat kesadaran, tindakan maupun keyakinan kolektif komunitas Masyarakat Adat dalam menjawab kegelisahan dan tantangan yang dihadapi.
Suara kegelisahan Masyarakat Adat hendaknya membangkitkan hati nurani pemimpin negeri untuk memberi pelayanan prima bagi warganya. Semoga***

*) Penulis warga Kalimantan Barat, aktifis Walhi dan peminat isu demokrasi dan HAM. (http://www.aruemonitor.co/suara-kegelisahan-masyarakat-adat/)

APAKAH JOKOWI TAK PEDULI DENGAN CITRANYA KETIKA MENAIKKAN BBM?

APAKAH  JOKOWI TAK PEDULI DENGAN CITRANYA KETIKA MENAIKKAN BBM?

http://news.detik.com/read/2014/11/18/074638/2751095/10/apakah-jokowi-tak-peduli-dengan-citranya-ketika-menaikkan-bbm
Selasa, 18/11/2014 07:46 WIB
Indah Mutiara Kami – detikNews

Jakarta – Tudingan miring selalu dialamatkan pada Jokowi. Tengok saja di media sosial, aneka rupa tudingan menyeruak. Salah satunya disebut sebagai presiden pencitraan.

Saat Jokowi menaikkan harga BBM, para oposan, kritikus, haters, berlomba-lomba menyerang Jokowi. Lagi-lagi aneka tudingan muncul, tak heran kemudian muncul di twitter trending #ShameonyouJokowi.

Tapi sepertinya, kata pencitraan luput dari tudingan para kritikus di media sosial saat BBM naik ini. Entah mengapa, apakah menaikkan BBM bukan pencitraan?

Pastinya, bila melihat tindakan yang dia lakukan dengan menaikkan BBM subsidi, Jokowi tak peduli dengan citranya. Baru satu bulan dia langsung mengambil tindakan tegas, BBM naik.

“Pemerintah memutuskan untuk melakukan pengalihan subsidi BBM dari sektor konsumtif ke sektor-sektor produktif,” kata Jokowi, Senin (17/11) malam di Istana.

Jokowi tak menyebut kata menaikkan BBM, tetapi mengalihkan subsidi ke sektor produktif antara lain, kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur. Selama ini anggaran negara memang dikuras untuk subsidi BBM yang umumnya dinikmati oleh mereka yang memiliki mobil.

Sektor produktif luput dari subsidi tinggi, padahal perlu untuk meningkatkan seluruh kesejahteraan masyarakat. Menaikkan BBM memang sakit di awal, Jokowi sendiri mengakui kalau itu adalah pilihan sulit

“Dari waktu ke waktu kita sebagai bangsa kerap dihadapkan pada pilihan sulit. Meski demikian kita harus memilih dan mengambil keputusan. Selama ini negara membutuhkan anggaran untuk membangung infrastruktur untuk membangun pendidikan dan kesehatan. Namun anggaran ini tidak tersedia karena dihamburkan untuk subsidi BBM,” masih kata Jokowi dalam pidatonya di Istana.

BBM subsidi sudah naik, premium dari Rp 6.500 menjadi Rp 8.500, solar subsidi dari Rp 5.500 menjadi Rp 7.500. Kini subsidi tepat sasaran yang ditunggu, yang bisa langsung dirasakan masyarakat.

Semoga saja kerja cepat Jokowi menaikkan BBM dan membuat kartu KIP, KIS, dan KKS bisa diimbangi kerja bawahannya. Kerja kerja kerja.
(ndr/rmd)

Tak Ada Aksi Masif, Rakyat Seperti Menerima Kenaikkan Harga BBM

http://sp.beritasatu.com/home/tak-ada-aksi-masif-rakyat-seperti-menerima-kenaikkan-harga-bbm/69293

Selasa, 18 November 2014 | 11:21
Yenny Sucipto. [Google]
Berita Terkait
• Selamat Kepada Jokowi Yang Menaikkan BBM Ketika Harga Minyak Dunia Turun
• Ibas Tak Sudi SBY Disalahkan Terkait BBM
• Kenaikan BBM Rp 2.000/Liter Ternyata Memicu Inflasi 1,2%
• Polri Tetapkan Siaga Satu Pasca Kenaikan BBM
• Golkar Tuding Jokowi Alihkan Beban Fiskal Ke Pundak Rakyat
[JAKARTA] Pemerintah sudah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM). Respons masyarakat atas kebijakan pemerintah ini biasa-biasa saja.
Tidak ada aksi demonstrasi jalanan seperti yang terjadi pada pemerintahan sebelum-sebelumnya.
Sekretaris Nasional Fitra, Yenny Sucipto juga menilai yang sama bahwa demonstrasi tolak kenaikkan harga BBM bersubsidi tidak masif seperti yang terjadi para era pemerintahan sebelumnya.
Pada era SBY, kata dia, kenaikkan harga BBM selalui diwarnai dengan demonstrasi yang cukup masif.
“Pada era Jokowi-JK kenaikkan harga BBM justru direspons secara posistif dengan oleh sebagian besar rakyat. Meskipun ada demo, tetapi itu tidak masif,” kata Yenny di Jakarta, Selasa (18/11).

Menurutnya, salah satu alasannya adalah masyarakat sudah megetahui bahwa kenaikkan harga BBM merupakan dampak dari pembahasan pemerintahan sebelum Jokowi-JK atau pemerintahan SBY-Boediono.
Dia mengakui bahwa masa transisi pemerintahan saat ini memang berat, karena banyak warisan negatif pemerintahan sebelumnya termasuk isu BBM bersubsidi.

“Banyak program-program titipan dari pemerintahan lama, sehingga pemerintah baru dan DPR dihadapan pada persoalan politik yang belum selesai,” katanya.
Yenny pun berharap agar pemerintahan Jokowi-JK terus melakukan sosialisasi kepada masyarakat alasan kenaikkan BBM bersubsidi.
“Kenaikkan harga BBM ini perlu terus dikaji agar kenaikkan harga ini benar-benar ditujukkan kesejahteraan rakyat,”pungkasnya. [YUS/L-8]

ANTITESIS PRESIDEN JOKOWI

ANTITESIS PRESIDEN JOKOWI

http://nasional.kompas.com/read/2014/11/11/19141841/Antitesis.Presiden.Jokowi?utm_campaign=popread&utm_medium=bp&utm_source=news

Selasa, 11 November 2014 | 19:14 WIB
Terkait
• Antitesis Presiden Jokowi
• Menang dan Kalah dalam Politik
• Media dan Pertarungan Politik
• Reformasi Hukum di Era Jokowi-JK

KOMPAS.com – ADALAH sebuah ironi menyaksikan banyak orang ”pintar” yang belum bisa menerima kenyataan bahwa seorang juragan mebel kelas kampung mampu menjadi presiden dari sebuah negara yang GDP-nya masuk dalam 10 besar negara di dunia.

Mereka mengkritik dan menghujat bahkan berusaha menjegal langkah-langkah strategis yang akan diambil. Mulai dari soal arak-arakan pesta rakyat menyambut pelantikan presiden baru, lambatnya proses pembentukan kabinet, pemilihan nama-nama beberapa anggota kabinet yang dianggap sebagai kontroversi, blusukan para menteri kabinet yang dianggap pencitraan belaka, peluncuran tiga kartu yang dianggap inkonstitusional, hingga rencana pengalihan subsidi yang dianggap prokapitalis.

Saya mengupas fenomena Jokowi dari kacamata manajemen strategis. Fenomena Joko Widodo memang sebuah antitesis dari pemerintahan sebelumnya. Sebagai sebuah antitesis, pendekatan yang dilakukan Jokowi memang sangat berbeda dengan pendekatan pemerintah sebelumnya. Kalau SBY dikenal sebagai seorang ahli strategi yang andal dalam proses strategy formulation, Jokowi lebih menekankan pada aspek eksekusi strateginya.

Studi pada ranah manajemen strategis membuktikan, sebagian besar kegagalan sebuah perusahaan dalam menciptakan keunggulan bersaing bukan terletak pada konten strateginya, melainkan pada proses eksekusi strategi. Strateginya mungkin sudah sangat bagus disusun, tetapi lemah dalam proses eksekusinya. Fenomena serupa juga terjadi.

Ironisnya di sekolah-sekolah bisnis, bahkan di sekolah keilmuan dalam ranah manajemen strategis, pembahasan soal eksekusi strategi mendapatkan porsi jauh lebih kecil dibandingkan dengan pembentukan dan konten strategi itu sendiri. Eksekusi dianggap sebagai manajemen kelas bawah (low level management) yang bersifat taktis dan kurang ”bersifat strategis”.

Kritik ini juga sempat dilontarkan pengamat ketika menyaksikan debat capres, yang menganggap level Jokowi cuma ”eksekutor”. Maka, wajar dan bisa dimengerti jika banyak ”manajer” lulusan sekolah bisnis, bahkan doktor sekalipun, gagal ketika harus mengeksekusi strategi indah yang sudah direncanakan. Ini sebuah ”pembenaran” yang bisa diterima secara akademis, sekaligus sebuah keniscayaan yang naif.

Penekanan Jokowi pada eksekusi strategi tergambar jelas dari pemilihan nama Kabinet Kerja. Untuk mendukung keberhasilan eksekusi strateginya, tidak mengherankan jika pemilihan anggota kabinet didominasi orang-orang yang memiliki aliran sama.

Beberapa nama menonjol, seperti Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menhub Ignatius Jonan, Menpora Imam Nahrawi, Menaker Hanif Dhakiri, dan Mendag Rahmat Gobel, langsung mewarnai pemberitaan media dengan gerakan blusukan mereka. Sebagai sebuah langkah awal, hal ini tentu harus diapresiasi. Lewat blusukan diharapkan banyak hambatan dan simpul-simpul kendala dalam eksekusi strategi bisa diurai secara langsung.

Kunjungan perdana Jokowi ke Sinabung contoh sukses bagaimana pemimpin terjun langsung ke lapangan dan mengambil langkah strategis sesuai temuan di lapangan. Mintzberg (1998) dalam 5P Strategy menyebut hal ini sebagai strategi sebuah pola, yaitu munculnya inisiatif-inisiatif strategis berdasarkan pada perkembangan kondisi lingkungan eksternal tempat proses strategi formulasi dan formasi dilakukan.

Langkah Jokowi mengubah nomenklatur Kabinet Kerja juga sejalan dengan teori yang dikemukakan Chandler (1962). Menurut Chandler, struktur perusahaan perlu disesuaikan dengan pilihan strategi yang diambil. Pada ranah negara yang dimaksud dengan struktur adalah nomenklatur kabinet. Kalau melihat visi dan misi pemerintahan Jokowi-JK yang terinspirasi oleh konsep Trisakti yang dikemukakan Presiden Soekarno tahun 1963, yaitu berdaulat secara politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian secara sosial budaya, memang perubahan nomenklatur kabinet dilakukan untuk mengamankan visi dan misi tersebut.

Satu lagi fenomena yang menarik, yaitu soal perubahan budaya yang diterapkan oleh Jokowi dalam pemerintahannya. Revolusi mental yang dicanangkan Jokowi pada hakikatnya adalah sebuah perubahan budaya. Jokowi adalah penganut falsafah bahwa pemerintah itu hakikatnya adalah ”pelayan” masyarakat. Maka, tentu pemerintah sebagai ”pelayan” harus bekerja semaksimal mungkin demi masyarakat yang dilayaninya. Lewat blusukan saat menjadi Gubernur DKI, Jokowi berusaha memberikan contoh implementasi perubahan budaya ini di lingkungan kerjanya.

Penggunaan baju putih sebagai ”simbol” di acara pengumuman kabinet dan batik di acara pelantikan kabinet juga cermin dari perubahan budaya yang sedang diimplementasikan. Ini sejalan dengan tokoh Resource Based View, yaitu Barney (1986), yang mengemukakan bahwa budaya sebagai sebuah sumber daya bisa menjadi sumber keunggulan bersaing bagi perusahaan. Dalam hal ini Jokowi menyelaraskan budaya dengan pilihan strateginya.

Mencermati semua fenomena di atas, saya sebagai seorang praktisi dan akademisi di ranah manajemen strategis yakin, Jokowi sebagai sebuah antitesis ternyata adalah seorang ”strategist” sekaligus ”eksekutor” yang andal. Waktu yang akan membuktikannya. Mari kita kawal pemerintahan baru ini demi Indonesia yang lebih.

Harris Turino
Doctor in Strategic Management
__._,_.___

AHOK GUBERNUR DKI

AHOK GUBERNUR DKI

Ahok Dilantik Jadi Gubernur DKI, Ibunda: Saya Nggak Bangga

http://news.detik.com/read/2014/11/19/143226/2752931/10/ahok-dilantik-jadi-gubernur-dki-ibunda-saya-nggak-bangga
Rabu, 19/11/2014 14:32 WIB
Moksa Hutasoit – detikNews
Jakarta – Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta hari ini. Ibunda Ahok Buniarti Ningsih mengaku belum bangga anaknya dilantik menjadi gubernur. Kenapa?

“Saya nggak bangga, karena masih ada yang miskin, masih banyak yang banjir, masih banyak masalah lain. Kalau itu semua sudah selesai saya baru bangga,” ucap Buniarti saat menghadiri acara pelantikan Ahok di Istana Negara, Jl Veteran, Jakarta Pusat, Rabu (19/11/2014).

Buniarti yang biasa dipanggil ‘Emak’ oleh Ahok ini berpesan agar anaknya bisa menjaga amanah dalam menjalani tugas. Dia juga selalu berdoa agar anaknya selalu diberi keselamatan di manapun berada.

“Kalau dia jujur dan cinta negara ini, Tuhan pasti jaga,” ucap Buniarti yang sehari-hari tinggal di rumah Ahok ini.

Pukul 14.00 WIB Presiden Jokowi melantik Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) menjadi Gubernur DKI Jakarta. Ahok kini sah menjadi Gubernur Jakarta.

“Saya berjanji akan memenuhi kewajiban saya sebagai gubernur dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya,” ujar Ahok yang mengikuti ucapan Jokowi.
(slm/nwk)
Mendagri terima usul DPRD DKI soal Ahok

http://www.antaranews.com/berita/464417/mendagri-terima-usul-dprd-dki-soal-ahok
Jumat, 14 November 2014 23:54 WIB |Pewarta: Fransiska Ninditya

Mendagri Tjahyo Kumolo (ANTARA FOTO/OJT/Abdul Malik)
Surat dari Ketua DPRD DKI tentang usulGubernur DKI Jakarta sudah diterima Kemendagri. Saya akan melaporkan langsung ke Sekretaris Negara Prayitno besok (Sabtu, 15/11),”
Jakarta (ANTARA News) – Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan pihaknya telah menerima usul DPRD DKI Jakarta terkait pengangkatan Wakil Gubernur Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur definitif DKI Jakarta.

“Surat dari Ketua DPRD DKI tentang usulGubernur DKI Jakarta sudah diterima Kemendagri. Saya akan melaporkan langsung ke Sekretaris Negara Prayitno besok (Sabtu, 15/11),” kata Tjahjo melalui pesan singkat kepada Antara di Jakarta, Jumat malam.

Berdasarkan surat dari DPRD DKI Jakarta tersebut, Mendagri berkewajiban meneruskannya kepada Presiden Joko Widodo guna penerbitan Keppres bagi Ahok.

Akan ada dua Keppres yang diterbitkan, yakni pemberhentian Ahok dari jabatannya sebagai Wakil Gubernur DKI Jakarta dan pengangkatannya sebagai Gubernur hingga akhir masa jabatan 2017.

Sementara itu terkait waktu pelantikan, Tjahjo mengatakan, hal itu menjadi wewenang Setneg dalam menentukan kapan pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta hingga 2017.

Sebelumnya, Kepala Pusat Penerangan Kemendagri Dodi Riyadmadji menjelaskan bahwa Ahok, sebagai Wagub sekaligus Pelaksana Tugas Gubernur, berhak menduduki posisi nomor satu di Provinsi DKI Jakarta, sesuai dengan perintah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota.

Dalam Perppu tersebut memuat pasal 203 yang menyatakan bahwa dalam hal terjadi kekosongan jabatan Gubernur hasil pilkada berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda, maka yang menggantikannya sampai dengan berakhir masa jabatan adalah Wakil Gubernur.

Sehingga, lanjut Dodi, dalam hal ini pasal 173 di Perppu tersebut, seperti yang dilontarkan pihak-pihak oposisi Ahok, tidak dapat diterapkan.

“Kalau melihat Perppu Nomor 1 Tahun 2014, itu mengatur pelaksanaan pilkada untuk 2015 yang pemilihannya tunggal yakni hanya memilih gubernur, bupati dan wali kota saja, tanpa wakil (non-paket). Sehingga tidak masuk akal kalau di kasus DKI Jakarta ini mengacu pada pasal 173,” ujarnya.

Keabsahan Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta hingga 2017 berlaku setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan Keppres pengangkatan dan pelantikannya.
Editor: Ruslan Burhani
COPYRIGHT © ANTARA 2014
Ahok Akan Jadi Kepala Daerah Pertama yang Dilantik Presiden

http://megapolitan.kompas.com/read/2014/11/14/10023591/Ahok.Akan.Jadi.Kepala.Daerah.Pertama.yang.Dilantik.Presiden?utm_source=WP&utm_medium=box&utm_campaign=Kpopwp

Jumat, 14 November 2014 | 10:02 WIB
Kompas.com/Kurnia Sari Aziza Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama saat memberi sambutan dalam Seminar Sehari Mengatasi Banjir di Jakarta, Hotel Atlet Century Park, Jakarta, Kamis (30/10/2014).
Terkait
• Ahok Merajai Linimasa
• Ahok: Badan Saya Masih Oke, Belum Gendut Banget…
• Bakal Diangkat Jadi Gubernur, Ahok Belum Bisa Langsung Tunjuk Wagub
• Ahok Setujui Upah Buruh di DKI pada 2015 Minimal Rp 2,7 Juta
JAKARTA, KOMPAS.com — Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama akan menjadi gubernur pertama yang dilantik oleh Presiden Joko Widodo apabila telah diumumkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang pemilihan kepala daerah.

“Nanti yang melantik Presiden. Jokowi melantik Ahok. Dilantik di Ibu Kota oleh Presiden,” kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta Kamis (13/11/2014).

Pasal 163 Perppu Pilkada mengatur bahwa gubernur dilantik oleh presiden di ibu kota negara. Apabila presiden berhalangan, pelantikan gubernur dilakukan oleh wakil presiden. Apabila wakil presiden berhalangan, pelantikan dilakukan oleh menteri.

Menurut Djohermansyah, pelantikan yang semula dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diubah menjadi dilakukan presiden agar gubernur merasa menjadi wakil pemerintah pusat.

“Jadi, bisa saja dilakukan di Istana. DPRD hanya undangan, mereka menyaksikan pelantikan,” kata dia.

Sebelumnya, Ketua DPRD DKI Jakarta Prasetyo Edi Marsudi memutuskan bahwa rapat paripurna istimewa yang digelar pada hari ini, Jumat (14/11/2014), mengagendakan pengumuman pengusulan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta. Namun, keputusan ini mendapatkan tentangan dari Koalisi Merah Putih di DPRD DKI Jakarta yang meminta prosedur pengangkatan Ahok menunggu pandangan hukum dari Mahkamah Agung karena dianggap ada benturan aturan.

Meski demikian, Djohermansyah mengatakan, DPRD DKI Jakarta tak berwenang untuk menyatakan setuju atau menolak penetapan Ahok sebagai gubernur DKI Jakarta, menggantikan Joko Widodo yang mengundurkan diri karena terpilih sebagai Presiden RI. Pimpinan DPRD DKI Jakarta, kata dia, hanya berwenang mengumumkan dan kemudian menyerahkan nama Ahok ke Kementerian Dalam Negeri. Selanjutnya, hal itu disampaikan ke presiden untuk dikeluarkan keputusan presiden tentang pengangkatan Ahok sebagai gubernur definitif.
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
• Ahok Memimpin DKI Jakarta
Penulis : Sabrina Asril
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary
Tolak Ahok Tak Hargai Konstitusi

Komentar “Awind j.gedearka@upcmail.nl, in: [GELORA45]” GELORA45@yahoogroups.com, Saturday, 15 November 2014, 6:23
On 11/14/2014 11:20 PM, Awind wrote:

Soeharto- ORBA juga tidak pernah menghargai konstitusi. Tidaklah mengherankan jika pengikut-pengikut Soeharto-ORBA sampai saat ini berusaha menjegal pelaksanaan konstitusi baik dengan cara membuat peraturan-peraturan maupun dengan cara pat gulipat seperti apa yang dilakukan di DPRD DKI dalam
masalah pangangkatan Ahok jadi orang nomor satu DKI. Belum lagi dengan cara-cara diluar konstitusi maupun peraturan-peraturan yang berlaku seperti tindak-tanduk MUI-FPI.

Awind
http://sp.beritasatu.com/home/tolak-ahok-tak-hargai-konstitusi/69107
Tolak Ahok Tak Hargai Konstitusi
Jumat, 14 November 2014 | 11:52
Umbu Rauta
Berita Terkait
• DPR Wakil Rakyat, Bukan Wakil Koalisi
[SEMARANG] Sikap dan tindakan kelompok masyarakat khususnya FPI yang menolak pengangkatan dan pelantikan Wagub DKI menjadi Gubernur mencerminkan minimnya penghargaan atas konstitusi.

“Secara konstitusional, Indonesia adalah negara hukum dan berkedaulatan rakyat,” tegas pengamat hukum tata negara UKSW, Umbu Rauta, Jumat (14/11).

Artinya, sikap tindak warga masyarakat maupun penyelenggara negara wajib sesuai dengan hukum (termasuk ketentuan perundang-undangan) yang berlaku.

Umbu menegaskan, sebagai negara demokrasi, kita perlu menghargai hasil pilihan rakyat saat Pilgub DKI tahun 2012, dimana Jokowi dan Ahok sbg Gubernur dan Wagub.

Implikasinya, ketika kepala daerah (Gubernur) berhalangan tetap, maka wakil kepala daerah (Wagub) berhak menggantikan kepala daerah.

“Bagi saya, negara melalui alat perlengkapan negara wajib menunjukan kewibawaan di mata rakyat. Negara mesti bertindak tegas terhadap setiap sikap tindak yang tidak sejalan atau seturut dengan amanat konstitusi dan perundang-undangan lainnya,” tegasnya. [142/L-8]

Ahok Jadi Gubernur, Anggota DPRD Teriakkan Yel-yel ‘Dukung Pak Ahok!’
http://news.detik.com/read/2014/11/14/121144/2748326/10/ahok-jadi-gubernur-anggota-dprd-teriakkan-yel-yel-dukung-pak-ahok
Jumat, 14/11/2014 12:11 WIB

Taufan Noor Ismailian – detikNews

Ahok Diangkat Jadi Gubernur
Jakarta – Rapat paripurna DPRD DKI Jakarta telah mengesahkan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) sebagai gubernur hingga 2017. Para anggota yang hadir meneriakkan yel-yel mendukung kepemimpinan Ahok.

“Dukung! Dukung Pak Ahok!” teriak mereka sambil mengepalkan tangan.

Hal itu mengemuka saat Ahok diwawancarai wartawan usai menghadiri rapat paripurna di Gedung DPRD DKI, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (14/11/2014). Ahok didampingi oleh para anggota DPRD.

“Saya akan khawatir kalau semua di DPRD ini nggak ada yang dukung, tapi ini kan dukung semua DPRD,” ucap Ahok sambil tersenyum saat ditanya wartawan apakah dia khawatir tidak didukung DPRD.

Mendengar ucapan Ahok, para anggota dewan langsung meneriakkan yel-yel,”Dukung Pak Ahok!”

Rapat paripurna hari ini tidak diikuti oleh semua anggota. Yang hadir hanya anggota dari PDIP (19 orang), Hanura (8), PKB (6) dan NasDem (3). Sedang politisi dari Koalisi Merah Putih DKI Jakarta yaitu Gerindra 15 anggota, PKS 11 anggota, PPP 10 anggota, Demokrat 10 anggota, dan PAN 2 anggota, tidak hadir. Sejak jauh hari, mereka memang berniat menjegal Ahok.

Rapat paripurna hari ini dipimpin Edi Prasetyo dari PDIP. Edi menyatakan, kuorum atau pun tidak, pihaknya tetap menggelar rapat pengesahan Ahok sebagai gubernur. Edi menjadikan payung Kemendagri sebagai dasar pengesahan tersebut.
(slm/nrl)

AHOK JADI GUBERNUR DKI
Komentar “‘Sunny’ ambon@tele2.se , in:[nasional-list]” nasional-list@yahoogroups.com, Saturday, 15 November 2014, 2:51

“ Ahok jadi gubernur membuat Muhammad Rizieg bin Hussein Shihab atau dikenal sebagai Habib Rizieg, snewen dan marah-marah kepada anak buahnya, demikian berita tidak resmi.” Hehehe”

http://sinarharapan.co/news/read/141114008/ahok-jadi-gubernur-nbsp-

Ahok Jadi Gubernur
14 November 2014 14:15 Nani Suherni Politik
inShare

SH / Daniel Pietersz
PARIPURNA DPRD DKI – Plt Gubernur DKI, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) memenuhi undangan DPRD DKI Jakarta untuk menghadiri paripurna istimewa terkait pengangkatannya sebagai Gubernur DKI Jakarta, di gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat (14/11).
KMP tak hadir dalam rapat paripurna.
JAKARTA – Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dipastikan menjadi Gubernur Jakarta setelah DPRD, Jumat (14/11) pagi ini, mengumumkannya dalam Rapat Paripurna Pengumuman Pengisian Kekosongan Gubernur DKI Jakarta di gedung DPRD Jakarta di Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
Ahok hadir dalam rapat paripurna yang tidak satu pun dihadiri anggota fraksi dari Koalisi Merah Putih (KMP). Rapat hanya berlangsung 10 menit. Dari daftar hadir, 42 anggota DPRD DKI Jakarta dari Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sudah melakukan absen. Daftar absensi juga menyebutkan dari Koalisi Merah Putih (KMP) yang tidak hadir, seperti Gerindra, Golkar, PKS, PAN, Demokrat, dan PPP.
Ketua DPRD DKI Jakarta, Prasetyo Edi Marsudi mengatakan, rapat paripurna tersebut sesuai Keputusan Presiden No/98/P/2014/26 Oktober pengesahan pemberhentian Ir Joko Widodo dan mengangkat Ir Basuki Tjahaja Purnama sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur DKI Jakarta. Juga sesuai surat dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) No.121.32/4438/OTDA tentang mekanisme pengangkatan Wakil Gubernur DKI Jakarta menjadi Gubernur DKI Jakarta, Sisa Masa Jabatan 2014-2017.
Rapat paripurna tanpa dihadiri empat wakil Ketua DPRD DKI Jakarta. Namun, Prasetyo Edi Marsudi tetap mengumumkan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. “Sesuai kedua surat tersebut, saya umumkan Ir Basuki Tjahaja Purnama sebagai Gubernur DKI Jakarta,” katanya menegaskan.
Sebelum rapat paripurna istimewa pagi ini, Prasetyo Edi Marsudi mengatakan kepada SH, ketidakhadiran empat pemimpin dewan dalam paripurna pengumuman posisi Plt Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama menjadi Gubernur DKI Jakarta, tidak berpengaruh dengan kuorum dalam paripurna.
Ia mengatakan, pihaknya sebagai ketua dewan hanya mengumumkan sesuai mekanisme yang diperintahkan menteri dalam negeri (mendagri). Kelangsungan pelantikan Ahok justu bukan kewenangan DPRD, melainkan mendagri dan presiden.
Politikus PDIP ini juga memastikan keputusannya menggelar paripurna tersebut tidak melanggar konstitusi. Justru, dalam hal ini pihaknya sudah menjalankan tugas pertama sebagai ketua dewan.
Dalam hal ini, Pras menegaskan, jabatan Gubernur yang diemban Ahok adalah hak konstitusi. Sama halnya saat mantan Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi) yang mengundurkan diri sebagai Wali Kota Solo mengikuti Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta. Posisi Wali Kota otomatis dilimpahkan kepada wakilnya, FX Hadi Rudyatmo.
Oleh sebab itu, perselisihan dalam keputusan tersebut, Pras meminta semua pihak harus mengartikan Undang-Undang dan Peraturan Presiden Pengganti Undang-Undang (Perppu) secara detail. “Kita mengatakan Ahok itu dipilih rakyat, itu jabatan politik. Harusnya UU dan perppu jangan, diartikan setengah-setengah. Nggak masalah kuorum atau tidak,” tuturnya menegaskan.
Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta, Muhammad Taufik, yang dihubungi SH secara terpisah pagi ini menegaskan, kali ini pihaknya tidak akan mengikuti paripurna yang dijadwalkan pada Jumat pukul 10.00 WIB. Ia juga memastikan semua anggota yang tergabung dalam KMP tidak akan menghadiri paripurna pengumuman Ahok sebagai Gubernur DKI.
Ia juga menuturkan, usai acara paripurna pihak KMP akan menggelar konferensi pers untuk aksi tanggapan atas paripurna yang dilaksanakan tersebut.

Tak Ambil Pusing
Plt Gubernur DKI Jakarta Ahok yang dicegat sebelum memasuki ruang kerja di Balai Kota Jakarta pagi ini mengatakan, pihaknya tidak mempermasalahkan penolakan KMP terhadap paripurna pengumumannya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Bahkan, mantan politikus Gerindra tersebut tidak mempermasalahkan posisinya nanti di DKI.
“Itu urusan DPRD, saya nggak mau memusingkan. Saya mau jadi plt, mau jadi gubernur, sama saja. Kuasanya sama, beda gaji doang sejuta. Ngapain pusing,” tutur Ahok.
Menjelang rapat paripurna istimewa, penjagaan di sekitar gedung DPRD Jakarta di Jalan Kebon Sirih Jakarta Pusat, diperketat. Bahkan, Tim Gegana Polri melakukan ste¬rilisasi ruang rapat paripurna DPRD DKI Jakarta, sekitar pukul 10.00 WIB, Jumat (14/14). Penyisiran dilakukan selama 15 menit

Sumber : Sinar Harapan
________________________________________

Ahok Tolak Pesta Rakyat Usai Dilantik

http://www.gatra.com/nusantara-1/jawa-1/96740-ahok-tolak-pesta-rakyat-usai-dilantik.html
Tuesday, 18 November 2014 15:55
Plt Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (ANTARA/Wahyu Putro)
Jakarta, GATRAnews – Basuki Tjahaja Purnama dilantik sebagai gubernur definitif, Rabu (19/11) besok di Istana Merdeka oleh Presiden Joko Widodo. Ia menjadi gubernur pertama yang dilantik oleh presiden berdasarkan Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Kepada awak media, Ahok menegaskan tidak memiliki persiapan apa pun untuk pelantikan besok. Pria asal Belitung Timur ini mengaku tidak akan mengenakan pakaian dan sepatu baru untuk hari bersejarahnya itu.

“(Pakai) yang lama saja, sepatu sudah disemir, sudah bersih. Baju pakai yang putih,” ucap Basuki saat blusukan meninjau proyek sodetan Sungai Ciliwung-Kanal Banjir Timur di Kampung Pulo, Jakarta Timur, Selasa (18/11).

Pria yang karib disapa Ahok ini juga tidak melakukan perayaan apa pun usai dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta. Usai dilantik Presiden Jokowi dirinya langsung bekerja menyelesaikan sejumlah pekerjaan rumah di Jakarta.

“Enggak lah, banyak kerjaan. Ngapain juga dirayain, mending langsung kerja,” ucap mantan politisi Partai Gerindra ini. Ahok menjadi Gubernur DKI Jakarta sampai dengan tahun 2017 menggantikan Joko Widodo (Jokowi).
________________________________________

Penulis: Abdul Rozak
Editor: Arief Prasetyo

KOLOM AGAMA DI KTP

Kolom Agama di KTP
Komentar “jonathangoeij@yahoo.com, in: [GELORA45]” GELORA45@yahoogroups.com, Saturday, 8 November 2014, 13:36:
“Pengamat kok asal njeplak, memangnya kapan Amerika ada kolom agama? “’’

Menurut Hanief, Amerika saja masih menyertakan kolom agama pada identitas kenegaraan warganya. “Bahkan di United Kingdom (UK) saja ada agama Anglican yang merupakan agama kerajaan,” kata Hanief.

—-
KAMIS, 19 DESEMBER 2013 | 05:05 WIB
Pengamat UI Kritik Ahok Soal KTP

Kartu Tanda Penduduk | KTP dan permasalahannya
TEMPO.CO, Depok – Pengamat dari Universitas Indonesia, Hanief Saha Ghafur, mengkritik wacana penghapusan kolom agama di Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sosiolog yang juga Ketua Program Studi Kajian Timur Tengah dan Islam Program Pascasarjana UI ini menanggapi pernyataan sebelumnya dari Wakil Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.

“Kalau mau menghapus kolom agama di KTP, ya hapus dulu kementerian yang bersangkutan,” kata Hanief, Rabu, 18 Desember 2013. Itu artinya, dia menambahkan, wacana penghapusan kolom agama akan berbuntut pada kinerja dan urgensi Kementerian Agama.

Sebelumnya, Basuki atau yang akrab disapa Ahok berpendapat kolom agama di KTP tidak penting. Dia membandingkan dengan pemerintah Malaysia yang tidak mencantumkan agama selain Islam di identitas kependudukan.

Menurut Hanief, Amerika saja masih menyertakan kolom agama pada identitas kenegaraan warganya. “Bahkan di United Kingdom (UK) saja ada agama Anglican yang merupakan agama kerajaan,” kata Hanief.

Selain itu, Hanief mengakui penghapusan tidak mudah dilakukan di Indonesia. Mengingat penghapusan harus dilakukan dari struktur teratas lebih dulu. Di Indonesia, kata dia, identitas keagamaan masih sangat diperlukan karena sistem administrasi di Indonesia menggunakan status tersebut.

“Yang membuat itu ada kan karena sistem administrasi kenegaraan,” kata dia. Kalau memang tidak diperlukan, maka sistem administrasinya juga tak usah ada. “Ya kemungkinan kementerian yang terkait akan dihapuskan juga,” tambahnya.

ILHAM TIRTA

JK: Kolom Agama Bisa Dikosongkan
http://id.beritasatu.com/home/jk-kolom-agama-bisa-dikosongkan/99368
Jumat, 7 November 2014 | 22:23

JAKARTA – Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, tidak ada penghapusan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sebaliknya, warga negara Indonesia (WNI), yang tidak menganut salah satu dari enam agama — Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu, dan Khonghucu – dapat mengosongkan kolom itu.
“Tidak ada penghapusan. Kalau seseorang agamanya bukan Islam, bukan Kristen, bukan Katolik, bukan Budha, bukan Hindu, dan bukan Khonghucu. Katakanlah dia Syiah atau kepercayaan lain, nah kolom itu dikosongkan saja,” kata JK di Kantor Wakil Presiden Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, pada Jumat (7/11).
JK mengatakan, setiap warga negara berhak untuk menentukan, apakah akan mengisi kolom agama atau tidak. “Kalau seseorang menganut aliran kepercayaan, nah itu mesti kosong toh,” jelas dia.
Menurut JK, agama adalah masalah pribadi, yang tidak dapat diganggu gugat maupun dipaksakan pihak lainnya. Sebab, masalah agama merupakan urusan pribadi dengan Sang Pencipta.
“Itu kan masalah personal, agama itu. Kan orang cuma datang ke kantor kelurahan, isi formulir, dan kalau tidak mau isi folmulir karena agamanya bukan Islam, ya masa mau dipaksa,” kata JK. (nov)
Kolom Agama Hanya Untuk Pemeluk 6 Agama Resmi
Bergelora.com,Sabtu, 08 November 2014

JAKARTA- Pengosongan kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk bisa dilakukan oleh warga negara yang tidak menganut 6 agama resmi yang diakui negara yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Confusius. Hal ini ditegaskan oleh Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo kepada Bergelora.com di Jakarta, Sabtu (8/11).

“Kolom agama bisa dikosongkan bagi warga negara yang menganut keyakinan di luar enam agama resmi yang diakui negara. Agar mereka bisa mendapatkan KTP dan mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara,” kata Tjahjo.
Ia menjelaskan, bagi penganut keyakinan tidak dipaksa mencantumkan agama dalam kolom agama. karena itu selama ini banyak di antara mereka yang ditolak dalam pembuatan KTP sebab yang bersangkutan tidak mau menulis kolom agama yang beda dengan keyakinannya.
Mendagri menegaskan bahwa dirinya bertugas mengayomi semua warga negara Indonesia yang majemuk sehingga memberi kebebasan kepada mereka untuk mengisi atau mengosongkan kolom agama dalam kartu tanda penduduk.
“Kita bukan negara sekuler dan juga bukan negara agama. Tapi agama menjadi bagian dari tata kenegaraan kita,” jelasnya.
Ia juga menjelaskan bahwa pihaknya masih berkonsultasi dengan Menteri Agama dan tokoh-tokoh agama di Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI), Parisada Hindu, Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), untuk mendengarkan masukan tentang katagori ajaran sesat.
“Kalau semua sudah clear, baru Kemendagri mengeluarkan aturan resmi dan semua ada prosesnya dan Kemendagri kan ingin memberikan pengayoman kepada seluruh warga negara Indonesia yang mejemuk ini,” tegasnya.
Selain itu ia Mendagri menegaskan bahwa, bagi yang memeluk salah satu dari 6 agama resmi tersebut maka, berkewajiban untuk mengisi kolom agama sesua dengan ketentuan dalam Undang-Undang tentang Administrasi Kependudukan.
“Warga negara pemeluk agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khong Hu Cu (Confusius), wajib hukumnya dicantumkan dalam KTP. Undang-undang sudah mewajibkan untuk mencantumkan salah satu dari enam agama resmi yang diakui oleh negara dan diperingati secara nasional,” ujarnya.
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas UU No. 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan Pasal 64 Ayat (1), disebutkan bahwa KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pasfoto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP dan tanda tangan pemilik KTP. (Web Warouw)
Copyright © 2014 bergelora.com. All Rights Reserved. Developed by kreatifweb.net
Mendagri Janji Hapus Diskriminasi Pada Minoritas
Bergelora.com, Kamis, 06 November 2014

JAKARTA- Beberapa perwakilan dari Gereja Kristen Indonesia (GKI), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) Filadelfia, Syiah, Bahai, Ahmadiyah, Penghayat – Sunda Wiwitan Rabu (5/11) mengunjungi Menteri Dalam Negeri untuk mengadukan tidak terpenuhinya hak-hak sipil akibat pelayanan aparat pemerintahan daerah yang diskriminatif. Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo berjanji akan segera menghapus semua diskriminasi pada kelompok minoritas. Hal ini disampaikan oleh mantan Anggota DPR-RI, Eva Kusuma Sundari Kepada Bergelora.com di Jakarta, Kamis (6/11).

“Produk-produk peraturan daerah misalnya Pergub Jawa Barat, Perbub/walkot yang merupakan turunan dari SKB (Surat Keputusan Bersama) 3 Menteri tentang IMB maupun tentang Ahmadiyah yang menjadi pemicu tindakan diskriminasi dari aparat negara setempat yang tidak terjadi di daerah lain,” ujarnya.
Mantan anggota Tim Khusus (Timsus) Fraksi Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan di DPR 2009-2014 untuk hak minoritas ini menjelaskan lagi bahwa meskipun Menteri Agama sudah mengakui Agama Bahai sebagai agama resmi tetapi aparat pencatatan sipil masih menolak melayani karena belum ada disposisi dari Mendagri.
“Demikian juga dari kelompok penghayat yang ditolak pelayanan KTP, sertifikat lahir, pencatatan perkawinan bahkan mayat yang sudah dikubur dipaksa untuk digali kembali dan dipindahkan. Semua ketidakadilan ini diterima karena keyakinan yang tidak mainstream,” ujarnya.
Sementara itu menurutnya Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan HKBP Filadelfia memohon pengawasan Mendagri semua putusan pengadilan yang melegalkan IMB dan menyerah pelaksanaannya oleh MA dan Ombudsman kepada Walikota Bogor dan Bupati Bekasi.
“Sedangkan Ahmadiyah dan Syiah mengeluhkan modus kriminalisasi dan tindakan kekerasan oleh kelompok-kelompok yang intoleran bersama aparat pemerintahan lokal seperti satpol, aparat pemda dan pemkot atau keamanan polisi dan TNI,” ujarnya
Untuk itu, Mendagri mencatat dan menjanjikan tindakan segera untuk menyelesaikan persoalan hak-hak sipil dari kelompok penganut agama atau keyakinan minoritas. Mendagri akan melibatkan para korban untu bersama-sama menyelesaikan permasalan secara konkrit bahwa Republik Indonesia bukan negara agama, tapi negara konstitusi dan hukum.
“Negara harus memenuhi hak-hak sipil dan ekonomi semua warga negara Indonesia tanpa pandang bulu,” tegasnya. (Calvin G. Eben-Haezer)
Jokowi-JK Tetap Pertahankan Kolom Agama di KTP + JK: Kolom Agama Bisa Dikosongkan 

Komentar ‘Sunny’ ambon@tele2.se, in [GELORA45]

” Kalau tidak perlu diisi kolom agama di KTP, tetapi mengapa kolom yang tidak perlu diisi harus ada? Kemana tujuan logikanya?”

http://id.beritasatu.com/home/jokowi-jk-tetap-pertahankan-kolom-agama-di-ktp/87461
MESKI BERKOMITMEN TINGGI PADA KEBERAGAMAN,
Jokowi-JK Tetap Pertahankan Kolom Agama di KTP
Oleh Markus Junianto Sihaloho | Rabu, 18 Juni 2014 | 23:38

JAKARTA- Pernyataan Musdah Mulia, akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah yang juga anggota Tim Pemenangan Joko Widodo-Jusuf Kalla bahwa duet itu bakal menghilangkan kolom agama di kartu tanda penduduk (KTP) merupakan pendapat pribadi. Pasalnya, duet capres yang dikenal dengan sebutan Jokowi-JK itu memang tak punya program menghapus kolom agama di KTP.

“Itu sama sekali bukan pendapat Jokowi-JK dan juga bukan program PDI Perjuangan,” kata Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kerohanian dan Kebudayaan, Hamha Haq, Rabu (18/6) malam.

Hamka yang juga guru besar di Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar itu menjelaskan, Jokowi-JK memang memiliki komitmen tinggi bagi keberagaman di Indonesia. Namun, lanjut Hamka, upaya membangun nasionalisme dan pluralisme tidak berarti menghilangkan keragaman sebagai bangsa Indonesia dengan menghapus kolom agama.

Hamka menegaskan, ada beberapa hal yang menjadi alasan sehingga kolom agama harus tetap ada dalam KTP.

“Antara lain untuk menghindari perlakuan umum dari ketentuan yang seharusnya hanya berlaku pada umat agama tertentu. Misalnya ketentuan pakai jilbab di Aceh hanya untuk umat Islam. Jadi agar umat agama lain tidak dikenakan ketentuan tersebut, maka perlu ada identitas agama pada KTP,” jelasnya.

Kolom agama di KTP juga bermanfaat saat pemiliknya tiba-tiba meninggal tanpa ada orang lain yang mengenalnya. “Kalau tidak ada di kolom KTP, mau dikubur atau diupacarakan jenazahnya berdasarkan agama apa?” terangnya.

Sebelumnya, anggota tim pemenangan Jokowi-JK, Musdah Mulia mengatakan, jika duet yang dijagokannya itu terpilih menjadi presiden dan wakil presiden maka kolom agama di KTP akan dihapus. Alasannya, keterangan agama pada kartu identitas diri itu justru rawan disalahgunakan. (b1)
+++++
http://id.beritasatu.com/home/jk-kolom-agama-bisa-dikosongkan/99368
JK: Kolom Agama Bisa Dikosongkan
Jumat, 7 November 2014 | 22:23

JAKARTA – Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) mengatakan, tidak ada penghapusan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sebaliknya, warga negara Indonesia (WNI), yang tidak menganut salah satu dari enam agama — Islam, Kristen Protestan, Katolik, Budha, Hindu, dan Khonghucu – dapat mengosongkan kolom itu.
“Tidak ada penghapusan. Kalau seseorang agamanya bukan Islam, bukan Kristen, bukan Katolik, bukan Budha, bukan Hindu, dan bukan Khonghucu. Katakanlah dia Syiah atau kepercayaan lain, nah kolom itu dikosongkan saja,” kata JK di Kantor Wakil Presiden Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, pada Jumat (7/11).
JK mengatakan, setiap warga negara berhak untuk menentukan, apakah akan mengisi kolom agama atau tidak. “Kalau seseorang menganut aliran kepercayaan, nah itu mesti kosong toh,” jelas dia.
Menurut JK, agama adalah masalah pribadi, yang tidak dapat diganggu gugat maupun dipaksakan pihak lainnya. Sebab, masalah agama merupakan urusan pribadi dengan Sang Pencipta.
“Itu kan masalah personal, agama itu. Kan orang cuma datang ke kantor kelurahan, isi formulir, dan kalau tidak mau isi folmulir karena agamanya bukan Islam, ya masa mau dipaksa,” kata JK. (nov)
.

Komentar ‘Sunny’ ambon@tele2.se, in [ppiindia] :
“Kalau tidak perlu diisi kolom agama di KTP, tetapi mengapa kolom yang tidak perlu diisi harus ada? Kemana tujuan logikanya?”

Komentar “jonathangoeij@yahoo.com, in: [GELORA45]” GELORA45@yahoogroups.com, Saturday, 8 November 2014, 8:06

Beliau lupa menambahkan bahwa kolom agama juga mengakibatkan pemiliknya yg hidup jadi meninggal dunia.

Kolom agama di KTP juga bermanfaat saat pemiliknya tiba-tiba meninggal tanpa ada orang lain yang mengenalnya. “Kalau tidak ada di kolom KTP, mau dikubur atau diupacarakan jenazahnya berdasarkan agama apa?” terangnya.

.

Editorial: A Crisis of Identify That Needn’t Be

http://thejakartaglobe.beritasatu.com/opinion/editorial-crisis-identify-neednt/
By Jakarta Globe on 12:10 am Nov 08, 2014
Home Affairs Minister Tjahjo Kumolo, in the job less than a month, has caused waves with his suggestion that the religion field on citizens’ ID cards, or KTP, can be left blank.
The notion of having to declare one’s religion on an official document should be an abhorrent one under a secular government — but Indonesia, for all its well-meaning avowals of pluralism, is not a secular state. The first tenet of the state ideology, Pancasila, declares a “Belief in the one and only God.”
So does Tjahjo’s statement mean that agnostics or atheists who have to pick a religion to identify with for official purposes may in the future no longer have to do so? Hardly. The minister has tempered his proposal to extend only to those Indonesians who currently subscribe to a faith that is not among the six officially recognized religions.
This measure, coupled with Religious Affairs Minister Lukman Hakim Saifuddin’s earlier offer to consider official recognition for faiths like Baha’i, should be lauded for its inclusive spirit. But it doesn’t go far enough toward granting true religious freedom to all.
An individual’s personal beliefs are just that: personal. They should not be displayed on an identity card. People have been attacked and killed simply on the basis of what their KTP states, as in the brutal sectarian violence in Maluku from 1999 to 2002, and self-professed atheists prosecuted for “lying” about their religion on their KTP.
Ultimately it comes down to a question of what purpose the religion field on the KTP serves. Allowing those of unrecognized faiths to leave the field blank is a half-measure. But perhaps a better half-measure — given that true secularism can never be attained as long as Indonesia subscribes to Pancasila — would be to not have the field at all.
__._,_.___

Home Affairs Minister Criticized by All Sides in Religion ID Debate
By Jakarta Globe on 12:05 am Nov 08, 2014

Komentar “‘Sunny’ ambon@tele2.se, in: [ppiindia]” ppiindia@yahoogroups.com, Saturday, 8 November 2014, 3:19,

” Diperlukan taruh agama di KTP, karena kalau mati dan tubuh dalam proses dimakan cacing dan jiwa mau masuk surga harus menunjukan KTP agar yang beragama keliru bisa dicegah agar surga tidak penuh sesak dan tidak terjadi perebutan malaekat cantik nan sexy untuk bersantai di taman firdaus, demikian keterangan petinggi dan ahli ahli surga NKRI. Pada pihak lain seorang rational mengatakan bahwa adanya agama ditulis di KTP ialah salah satu cara mendiskriminasi kaum minoritas, misalnya antara lain untuk mendapat pekerjaan dan/atau kedudukan dsb. ”

http://thejakartaglobe.beritasatu.com/news/home-affairs-minister-criticized-sides-religion-id-debate/

Jakarta. Home Affairs Minister Tjahjo Kumolo waded in to a heated debate after suggesting that people have the option of leaving the religion column blank on their identity cards, forcing him to clarify his original remarks.
The minister earlier said on Thursday that stating or not stating one’s religion is “a matter of privacy,” but later changed his statement saying that the option only applies to followers of religions that are not formally recognized by the state.
“The government should not meddle in citizens’ choice of beliefs, providing [those beliefs] don’t disturb the general order,” he said earlier.
Indonesia formally recognizes only six religions, namely Islam, Protestantism, Catholicism, Buddhism, Hinduism and Confucianism. Followers of the six religions are required to fill the column, he said.
Religious freedom advocacy group , the Setara Institute noted that Tjahjo’s stance does not differ much from the existing regulations set by his predecessor Gamawan Fauzi.
Under the current laws and regulations, observers of minority and indigenous religions such as Sunda Wiwitan, Buhun and Kejawen have their religion column left blank, regardless of whether they wish to state their faith or not.
It is not clear whether Tjahjo will allow observers of such faiths to openly state their religions on their identification cards.
For minority religions “we will consult about this with the Indonesian Council of Ulema, PGI [Indonesian Communion of Churches] and so on. Are these [minority religions] considered deviant or not. That is up to the Ministry of Religious Affairs and religious figures,” he said.
“What is important is for people not to obtain their right [of acquiring an identification card] because their religions are not recognized [by the state].”
Haris Azhar, coordinator of human rights group the Commission for the Disappeared and Victims of Violence (Kontras) said Tjahjo’s remarks showed that the minister has no real standing on the matter.
“I think that it’s better to delete the column. I don’t understand — what’s the use of a religion column on the identification card,” he told the Jakarta Globe.
Haris highlighted cases where stating religion on identification cards can be dangerous, saying it was often used to identify enemies during bloody sectarian conflicts in Poso, Central Sulawesi and Ambon, Maluku between 2000 to 2005.
In the past, members of religious minority groups have had to identify themselves as observers of state-recognized religions, which could lead to criminal charges.
Former civil servant Alexander Aan, who was sentenced to two years in prison for writing “God does not exist” on his Facebook page also faced charges of giving false information for stating in his identification card that he was a Muslim.
Similar charges were also to several members of the Ahmadiyah group, who identify themselves as Muslims but are declared as deviant or even non-Muslims by other Muslim groups.
“Our constitution guarantees the freedom to choose a belief,” said Poengky Indarti, executive director of the Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial).
“Both religion and beliefs are personal human rights in which the state cannot intervene. Stating one’s religion on an ID card is a form of government intervention. It’s going to divide people and opens up opportunities for discrimination for certain religious groups, especially the minorities.”
Poengky said only a few countries in the world require their citizens to state their religion on their identification cards, “most of them are countries where the citizens are suppressed when it comes to their religious choices.”
Arwani Thomafi, a lawmaker from the Islam-based United Development Party rejected Tjahjo’s plan.
“Leaving [the religion column] empty can create the impression that the person has no religion. And observing a religion is the manifestation of Pancasila,” he said referring to the state ideology.
Atheism is banned in Indonesia since the 1965 massacre against communist sympathizers.
“The religion column is important. It shows we are not a secular country although we are also not a country based on a particular religion,” Arwani said. “It is important to state one’s religion. [Otherwise] there will be problems such as marriages, child custody and so on.”
Salahuddin Wahid, a prominent figure of Nahdlatul Ulama, the country’s biggest Muslim organization, said Tjahjo should consider the matter carefully as religion is a very sensitive issue in the Muslim majority country.
“Discuss this first with other parties,” he told Republika newspaper on Friday.
Salahuddin said he neither supports nor dismisses the inclusion of religion column on identification card but said both sides have valid arguments and should be accommodated by Tjahjo.
Tjahjo’s remarks came after the government stated it wished to continue the graft-ridden electronic identity card program, which was stopped after the Corruption Eradication Commission (KPK) found that tens of millions of dollars earmarked for the scheme has been siphoned.
It is unclear whether the recent controversy will further delay the program.
The KPK on Friday gave the green light for the ministry to resurrect the program.
“As long as the Ministry of Home Affairs believes that the project should continue,” Corruption Eradication Commission (KPK) spokesman Johan Budi said. “The KPK has no right to reject or approve a project.”
Johan said the KPK would continue to investigate the project, which it says has relieved the Indonesian taxpayer of Rp 1.12 trillion ($92 million) in corruption to date.
The e-KTP procurement was originally projected to cost Rp 5.8 trillion and confer a major technological upgrade on the country’s identity card system. It was intended to offer more efficient applications and better, more secure data.
The project was mothballed, however, and many high-profile lawmakers were directly accused of having taken $500,000 bribes. Graft convict and former Democratic Party treasurer Muhammad Nazaruddin accused the previous home affairs minister, Gamawan, of having taken a kickback. While the man in charge of the tender between 2011-12 — Sugiharto — has also been named a suspect by the KPK.
Despite its past troubles Tjahjo believes the project could be rehabilitated.
“So we are not halting the e-KTP project but we are evaluating it because there’s a legal problem, so let’s investigate to find out the core of the problem,” Tjahjo said.
Antigraft activists have urged the KPK to prioritize the investigation of the e-KTP project, which they see as particularly egregious given the size of the bribes alleged to be involved and the paucity of formal charges issued.
Uchok Sky Khadafi, the investigations director of the Indonesian Forum for Budget Transparency (Fitra), expressed surprise that the KPK had managed to net so few suspects after it had been investigating the project for some time.
“The KPK must find new suspects from the consortium of companies or from the ministry,” he said. “So far there has been only one suspect and he has been sacrificed to take the fall.”

Muslim politicians reject Tjahjo’s proposal
The Jakarta Post, Jakarta | National | Sat, November 08 2014, 4:33 AM

Komentar, “‘Sunny’ ambon@tele2.se, in: [nasional-list]” nasional-list@yahoogroups.com, Saturday, 8 November 2014, 6:03

: “Apakah dalam Al Quran ada ayat yang menyatakan bahwa pada KTP harus ada kolom dimana tertera agama pemegang kartu tsb? “

http://www.thejakartapost.com/news/2014/11/08/muslim-politicians-reject-tjahjo-s-proposal.html

Politicians from Islamic-based political parties have opposed the government’s decision to allow adherents of non-recognized faiths to leave the religion column on their ID cards blank.
The politicians said on Friday that the decision contradicted the country’s founding philosophy of Pancasila, especially the first of its five principles, namely of the “Belief in one supreme God”.
United Development Party (PPP) politician Arwani Thomafi said “religion is the most visible manifestation of the first principle of Pancasila”.
Prosperous Justice Party (PKS) politician Aboebakar Al Habsy said that newly installed Home Minister Tjahjo Kumolo’s proposal could tarnish the country’s national identity.
“If we believe that Pancasila is our state ideology and our national identity, then why we should we be ashamed of including our religion on our KTP [national identity card]?” he asked.
Arwani added that the inclusion of religious identity was for the benefit of citizens.
“[Otherwise] problems will happen on the issues of marriage, child custody and many things,” he said.
Previously, Tjahjo pushed local government officials to allow adherents of non-officially recognized religions to not state their religious beliefs on official documents, including ID cards.
“If they wish to do it, just allow them to. Don’t impose any religion on them. It’s up to the people [to fill in the religion column on ID cards],” he said.
__._,_.___
Ini Alasan Mendagri Mengosongkan Kolom Agama di KTP
Sabtu, 8 November 2014 | 6:37

http://sp.beritasatu.com/nasional/ini-alasan-mendagri-mengosongkan-kolom-agama-di-ktp/68586

[JAKARTA] Menteri Dalam Negeri (mendagri) Tjahjo Kumolo mengatakan, bahwa penghayat kepercayaan di luar agama resmi memang bisa dikosongkan lebih dahulu kolom agamanya di e-Kartu Tanda Penduduk (e-KTP). Yang harus diutamakan menurut Tjahjo adalah hak setiap warga negara memperoleh identitas kependudukan.

“Jangan sampai kalau orang di luar agama itu tidak berhak mendapatkan e-KTP,” kata Tjahjo Kumolo di kompleks Kepresidenan, Jumat (7/11).

Tjahjo membenarkan bahwa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 24 tahun 2013, yang diacantumkan dalam KTP adalah agama yang diakui negara. Namun demikian, ada pasal lain yang menyebutkan bahwa yang agamanya belum diakui atau dianggap sebagai penghayat kepercayaan tetap dilayani dengan kolom agama masih dikosongkan.

Namun demikian, Tjahjo mengatakan untuk hal ini dia juga akan meminta pendapat para kaum ulama dari agama-agam yang diakui negara.

“Jadi apa bisa di luar enam (agama resmi) itu bisa kosong dulu. Dimana agamanya masyarakat sesat atau tidak,” kata dia lagi.

Sesuai dengan keputusan menteri kata dia dimungkinkan adanya konsultasi untuk keputusan ini. [B1/N-6]

________________________________________
Legislator: kolom agama KTP tak boleh dihapus
http://www.antaranews.com/berita/463167/legislator-kolom-agama-ktp-tak-boleh-dihapus?utm_source=fly&utm_medium=related&utm_campaign=flybox

Sabtu, 8 November 2014 10:38 WIB | 4.518 Views
Pewarta: Darwin Fatir

Jazuli Juwaini (ANTARA/Rosa Panggabean)
Jakarta (ANTARA News) – Anggota Komisi Agama DPR Jazuli Juwaini mengatakan kolom agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) tidak boleh dihapus karena bertentangan dengan Undang-undang Dasar dan Pancasila, khususnya sila pertama.

“Indonesia memang bukan negara agama, tapi agama di Indonesia adalah landasan dan menjadi fundamental yang dicetuskan para pendiri bangsa pada Pancasila, sila pertama,” kata Jazuli di Jakarta, Jumat.

Pemikiran dalam membuat Pancasila sebagai dasar negara, kata dia, bukanlah suatu kebetulan tapi memerlukan pertimbangan yang panjang dan membutuhkan tenaga dalam mencetuskan sila pertama bagi umat beragama.

Lebih jauh Jazuli menjelaskan, bila kolom agama dihapus maka bukan saja agama Islam saja yang tersakiti tapi pemilik agama lain.

“Itu terkait status kematian dan ikatan perkawinan, bagaimana kalau agama tidak ada? Tentu itu bisa dijadikan orang menipu dan memanipulasi status,” katanya.

Menurut dia, ketika kolom agama dihapus maka ada diskriminasi. Oleh karena itu, semua agama mesti diakui dan dicantumkan dalam kolom agama di KTP.

Ia mencontohkan, dulu Konghucu juga tidak diakui sebagai agama, namun pada era Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Khonghucu diakui sebagai agama.

Legislator lainnya Saleh Partaonan Daulay berpendapat senada. Menurut dia, penghapusan kolom agama bertentangan dengan semangat sila pertama Pancasila dan Pasal 29 ayat 1 dan 2 UUD 1945.

Negara sejauh ini mengakui enam agama resmi di Indonesia, yaitu Kristen Protestan, Kristen Katolik, Islam, Buddha, Hindu, dan Konghuchu.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengizinkan pengosongan kolom agama pada KTP untuk sementara bagi warga negara yang bukan pemeluk salah satu agama dari enam agama resmi tersebut, dan pihaknya akan berkoordinasi dengan Menteri Agama untuk membahas persoalan itu.
Editor: Aditia Maruli

JOKOWI EXPANDS ON HIS MARITIME VISION

JOKOWI EXPANDS ON HIS MARITIME VISION

Komentar “‘Marco45665 .’ comoprima45@gmail.com, in: [nasional-list]” nasional-list@yahoogroups.com, Sunday, 16 November 2014, 2:40:

Well of course ….If Admiral Nelson could declare : RULE THE WAVE -RULE BRITAIN” .
THAN WHY NOT CAN WE ( THE REPUBLIC OF INDONESIA ) DECLARE THE SAME THINGS
” RULE THE MARITIME SOVEREIGNTY-RULE INDONESIA” ?!
http://www.asiasentinel.com/politics/jokowi-expands-maritime-vision/
Written by Our Correspondent
FRI,14 NOVEMBER 2014
Indonesia’s new president tells Asian leaders his country will play an expanding role at sea
Indonesian President Joko Widodo, in major speeches in China and Myanmar, has unveiled a significant diplomatic agenda that goes well beyond his country’s pressing domestic needs, making a maritime axis his signature international message and serving notice that Indonesia will be a presence in the South China Sea.
Jokowi, a former small city mayor, is nonetheless demonstrating a strikingly sophisticated approach to international affairs. He first alluded to plans to turn his country into a maritime nation during his five-year term of office in his inaugural address in October.
He has expanded that message at the APEC meeting in Beijing on November 10, telling businessmen he plans to build 24 new seaports as part of a plan to expand Indonesia’s maritime infrastructure. Then on Novemer 13 at the East Asia Summit in Myanmar he said the sea will have an increasingly important role in Indonesia’s future. In short, he say Indonesia will assert itself as a maritime nation, becoming a force between the Indian and Pacific Oceans.
The comments in Myanmar, made before the 10-member Association of Southeast Asian Nations along with the leaders of Australia, China, India, Japan, New Zealand, South Korea, the US and Russia, appeared to send a message that his country would play a major role in the South China Sea, where China and the US have been squaring off amid rising tensions over the past half-decade, exacerbated by the territorial claims of a half dozen littoral nations.
In Myanmar’s capital Naypyidaw, in a brief five-minute address, Jokowi underscored Indonesia’s ambition to take its place at the center of geographic, economic and political changes sweeping the globe and changing the balance of power from west to east. First and foremost, he said, Indonesia must protect its own archipelago of 18,200 islands, only 8,800 of them even named, in a sea of 8.8 million square kilometers.
Indonesia, he said, “should assert itself as the World Maritime Axis. This position opens opportunities for Indonesia to develop regional and international cooperation for the prosperity of the people.”
His Maritime Axis doctrine, he said, rests on five pillars that include ensuring regional security as well as safeguarding navigational safety and maritime security, a regional role that the US has played since World War II.
Those five pillars, he said, include rebuilding the country’s maritime culture, maintaining and managing its sea resources and establishing sovereignty over sea-based food products, which currently are poached almost with impunity by international fishing interests; prioritizing infrastructure and maritime connectivity development by building sea tolls and deep sea ports while also improving the shipping industry, logistics and maritime tourism; ending “the sources of conflict at sea, such as fish thefts, violation of sovereignty, territorial disputes, piracy and pollution; and building its own maritime defense power. That means a significant increase in the number of patrol and other combat vessels.
In his October inaugural address, Jokowi made repeated references to the sea, indicating an urgent need, as Southeast Asia’s biggest country with 250 million people, to fulfill its mantle as a significant regional maritime power, cooperating with neighbors while protecting its fishery resources from over-exploitation, whether by locals or foreigners.
Jokowi has also indicated he would shift defense spending from the army to the navy and he has namd Indroyono Soesilo, a relative of former Finance Minister Sri Mulyani Indrawati, as Coordinating Minister for Maritime Affairs, with a broad remit running from fisheries to ports, inter-island shipping and natural resources. Although there have been statutory problems in creating the super-ministry, the transport, maritime affairs and fishery, tourism and energy and mineral resources ministries will all fall under Indroyo.
Jokowi said that because of its importance he chose the Asian leadership meeting to express his ideas about Indonesia as a global maritime fulcrum.
In alluding to problems in the South China Sea, where China, Vietnam, the Philippines and Taiwan have squared off, he said the seas must not be “used as a platform for the seizure of natural resources, territorial disputes or maritime supremacy.” He called on all parties to exercise restraint and seek solutions based on international law. China so far has refused to permit arbitration under the United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).
It is uncertain what challenges Jokowi will face in turning his vision into reality. Since the late strongman Suharto took over the government in 1967, Indonesia’s defense forces have been organized into territorial commands dominated by the Army with the aim of maintaining domestic stability inthe face of fractious regions, some of which didn’t want to be a part of Indonesia at all, including what is now Timor Leste and Papua.
The Army continues to receive the bulk of a defense budget that amounts to about only about 1 percent of GDP. While the country has the largest navy in Southeast Asia, it is only slightly larger than that of Thailand, with two operational submarines and three under construction, six frigates and two under construction, 10 corvettes, 55 aircraft, 21 missile-carriers, 12 minesweepers and assorted other craft. By contrast, the tiny island of Singapore has 143 aircraft alone including advanced versions of US-supplied F15s and F16s.
In 2005, the Ministry of Defense set out a Minimum Essential Force (MEF) of a naval force of 274 ships with enhanced strike and patrol capabilities to be built over the next two decades, up sharply from its current level of about 150 ships of various kinds.
Shifting limited resources to the navy, which currently has about the same number of personnel as the army, will be a delicate task. It may explain why, for the first time since the overthrow of Suharto a conservative retired army chief of staff, Ryamizard Ryacudu, has been given the Defense Ministry. Jokowi has hinted that he will continue to augment the defense budget, which is expected to grow to 1.5 percent of GDP.
Despite the increase, the military budget is comparatively small compared those of with other major Asian countries, which average defense spending of about 2 percent of GDP. According to the Stockholm International Peace Research Institute, which tracks defense budgets, across the region, aggregate defense budgets rose by 5 percent to US35.9 billion in 2013 and are expected to grow to US$40 billion by 2016, more than doubling since 1992. []

JOKOWI TELLS INTERNATIONAL INVESTOR’S THE DOOR’S OPEN

Jokowi Tells International Investors the Door’s Open
Written by Our Correspondent

http://www.asiasentinel.com/econ-business/jokowi-tells-international-investors-doors-open/

TUE,11 NOVEMBER 2014

Newly installed Indonesian President Joko Widodo has made a sharp turn from his predecessor’s restrictive investment policy, telling business leaders at the Asia-Pacific Economic Cooperation CEO summit in Beijing Monday that his country needs international investment and throwing open the doors to them.
It probably isn’t going to be that easy, with considerable vested interests standing behind the previous economic nationalism that characterized the government of former President Susilo Bambang Yudhoyono. For the past two years, particularly under the tutelage of Yudhoyono’s economics czar Hatta Rajasa, Indonesia has turned away foreign investment in infrastructure and made it difficult for the country’s extractive industries to do business. That has resulted in resource crises in China and Japan, where the shutdown on nickel imports has hampered the steel industry.
At the Beijing conference, Jokowi, as he is known, wore a business suit instead of his trademark short-sleeved shirt, spoke in English and showed slides in his appeal to investors, saying that land acquisition procedures would be streamlined and that a national one-stop service for business permits is in place to facilitate investment.
“On behalf of the Indonesian government and the people of Indonesia I would like to thank you for your listening to my presentation,” he said. “We are waiting for you to come to Indonesia. We are waiting for you to invest in Indonesia.”
That is a far cry from the previous situation, where in the first open manifestation of economic nationalism, the Indonesian government in January of 2012 in abruptly canceled a tender for a US$1.3 billion new container terminal in North Jakarta to modernize the rickety Tanjung Priok port, turning to local investors to handle the construction. From that point forward, it became increasingly clear that government leaders were demanding domestic ownership of a wide range of investments.
That was fine while the country was taking advantage of a rising economic outlook. But falling global commodity prices have hit hard, with Indonesia’s traditional trade surplus vanishing, falling into deficit in 2012 and 2013 as prices for its main exports – coal, crude, natural gas and palm oil eroded. A mineral exports ban aimed at fostering the domestic smelter industry has also played havoc with exports, particularly to China. The current account deficit is forecast to widen further.
The economy, which throughout the early part of the global economic downturn had cruised along at a 6.5 percent clip, eclipsing its Southeast Asian neighbors, has drifted down to closer to 5 percent and appears headed lower yet as global prices have slumped dramatically from US$125 per barrel to US$82 for benchmark Brent crude this week.
Although a dynamic middle income economy has been driven by consumer spending, the rupiah has gone into the tank, falling by nearly 40 percent from its high. Inflation, while easing, remains a problem , but may be exacerbated by Jokowi’s stated aim to drastically cut fuel subsidies, amounting to US$27 billion in a budget of US$167 billion, in an effort to combat the fiscal budget deficit. Efforts to cut the subsidies are encouraging from a fiscal standpoint, however, because it puts the budget on a more rational basis.
The broad policy guidelines enunciated so far by Jokowi’s economic advisers are encouraging to international investors, particularly the streamlined permit process and other changes the president mentioned in his speech. How far he will get remains to be seen. Prabowo Subianto, whom Jokowi defeated in the July general election, has been neutralized to some extent by Jokowi’s combined charm offensive and jawboning prior to the inauguration. But the House of Representatives remains hostile territory, with Prabowo’s coalition largely intact and intent on foiling his plans as much as possible.
At the same time, planners face a major dilemma in that promotion of industry and manufacturing are at the top of their list, downplaying natural resources as the key to a modern economy. However, the infrastructure is not in place to compete with others including the Thais, who have built formidable auto and electronics export industries. And, while downplaying natural resources, they need the funds that natural resource investment brings in. From the 1960s, Malaysia, Singapore, Taiwan and Thailand got in early, following Japan with export-led economies that resulted in the construction of much of that infrastructure.
“They want to tell investors what to invest in,” said a western political analyst. “But the big dollars are still in natural resources, and that’s where the investors want to be.”
In his speech to the business community, Jokowi started out by saying he had been a businessman himself before he entered politics. He announced that the government wants use the money saved from the reversal of the fuel subsidy to build 25 dams in five years to bring water to farming areas and to channel other funds into health and education. He hopes to build 24 new seaports and deep seaports, mentioning the notorious Tanjung Priok port, whose 2009 capacity of 3.6 million ton equivalent units must be increased to 15 million TEUs by 2017. He also said the country needs to vastly expand its railway network in Sumatra, Kalimantan, Sulawesi and Papua and that “this is your opportunity,” an open invitation to investment.
He described plans to build mass transit in six cities including Medan, Makassar, Semarang, Bandung and Surabaya and announced that “this is also your opportunity.” He invited investors to participate in construction of 35,000 megawatts of power to “to build our industries, projects, industrial zones, [manufacturing] zones. So we need power plants. This is also your opportunity to invest in this project.”