HALAMAN MASYARAKAT ADAT HARIAN RADAR SAMPIT
Memperkuat Masyarakat Adat Dayak, Dasar Kalteng Bahadat
Alamat: Radar Sampit atau meldiwa@yahoo.com.sg
1013
Oleh Kusni Sulang
Tidak mengherankan jika KPK kembali datang ke Kalimantan Tengah (Kalteng), karena Kalteng, menurut catatan HuMa, merupakan provinsi yang konflik lahannya paling banyak di seluruh Indonesia. Kemarakan konflik agraria yang diiringi oleh maraknya kejahatan korupsi oleh penyelenggara Negara diperkuat oleh keterangan Deputi Pengawasan Internal dan Pelaporan Masyarakat (PIPM) KPK, Ary Widyatmoko yang mengatakan bahwa “Untuk Kalteng kita terima laporan 1013”, walau pun hanya sekitar “30-40 persen bisa ditindaklanjuti dan sebagian kasus kita supervisi.” (Radar Sampit, 19 November 2014). Tigapuluh sampai 40 persen dari 1013 laporan bukanlah jumlah kecil. Dari Sampit, sebagai kabupaten dengan konflik lahan termarak di Kalteng, KPK membawa enam kardus dokumen, terfokus pada persoalan tambang dan obral perizinan.
Berkembangnya perusahaan tambang di Kotim dikarenakan melalui perusahaan tambang itu (tanpa memperhitungkan akibat-akibatnya pada lingkungan dan kehidupan penduduk) pendapatan asli daerah bisa ditingkatkan. Sementara yang didapat dari perkebunan kelapa sawit tidak secepat dibandingkan perolehan dari tambang. Oleh karena itu terjadilah izin tumpang-tindih. Lahan yang telah ditanam oleh perkebunan diberikan kepada perusahaan tambang (data-datanya lihat edisi Halaman Masyarakat Adat Radar Sampit Edisi Tambang). Kebijakan begini menyemai benih konflik antara perusahaan dengan perusahaan. Obral perizinan begini berakar dari pola pikir dan mentalitas pedagang primer dan jalan pintas serta kontaminasi virus tebaran “uang sang raja”, yang dominan di kalangan penyelenggara Negara sebagai pemberi izin. Dilihat dari segi penyelenggaraan Negara, tentu saja praktek begini bukanlah praktek penyelenggaraan Negara yang bersih dan baik, sebaliknya ia merupakan wujud dari penyalahgunaan kekuasaan. Oleh praktek begini, tidak mengherankan seorang bupati menjelang pemilukada 2015, menjanjikan akan memberikan mobil kepada kepaladesa-kepaladesa kabupatennya, diajak “berwisata” atas nama “studi banding” dan “bimbingan tekhnis” ke Bali, Batam dan Singapura. Praktek-praktek begini tidak lain dari “pembelian” suara menjelang pilkada. Sementara masalah pendidikan yang merupakan investasi jangka panjang dan strategis bagi daerah tidak jadi pengutamaan.
Penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) begini akan tetap berlangsung jika pengawasan oleh yang menyebut diri wakil rakyat (bahkan terlibat) dan pengawasan masyarakat lemah. Daerah akan makin terkuras dan bergerak ke belakang dengan kemajuan semu, apabila para pemilih terlena dan terbujuk oleh “janji-janji” dan “pembelian suara terselubung” menjelang pilkada sehingga si petahana terpilih kembali. Menggolput sampai 70-80 persen dalam pilkada dan pileg, akan jauh lebih baik daripada memberikan suara pada penjual daerah Kemudian 70-80 persen suara ini mengorganisasi diri untuk menjadi subyek dalam kehidupan berbangsa, bernegeri dan bernegara. Pemenang pilkada dengan hanya 20-30 persen suara dari seluruh pemilih, keabsahannya patut dipertanyakan. Kemudian akan adakah anggota DPR yang terpilih jika terjadi golput dengan jumlah demikian? Boleh jadi cara ini merupakan jalan menuju perbaikan. Tapi syaratnya diperlukan kesadaran politik dan pengorganisasian diri yang demokratik. Rakyat niscaya kuat dan menjadi subyek, bukan obyek, lebih-lebih tidak sebagai pedagang penjual suara yang berdampak jauh hingga ke anak-cucu dan sangat memilukan. Pemilih patut menghargai diri sendiri, niscaya menjadi pemilih dan warganegara yang bermartabat. Hadirnya penyelenggara Negara yang menyalahgunakan kekuasaan tidak terlepas dari tanggungjawab warganegara, terutama pemilih yang memerosotkan diri menjadi pedagang kelontong suara. Hadirnya KPK dengan membawa 1013 laporan tipikor dan memboyong 6 kardus dokumen dari Kotim saja, menggambarkan keadaan penyelenggaraan Negara dan hasilnya di Kotim dan Kalteng. Lukisan ini tentu berbeda dengan gambaran BPS dan petinggi-petinggi Kalteng, berbeda dengan keadaan nyata di lapangan yaitu kesenjangan dan marjinalisasi, akumulasi pemilikan alat-alat produksi utama yaitu tanah, kelas menengah yang lepas dari produksi tapi lebih mendekati kapitalis birokrat, pendidikan yang terabaikan sekalipun slogan yang dipekikkan selalu adalah “Kalteng Harati”.
Sepulang dari kunjungan ke Tiongkok, Presiden Jokowi mengatakan majunya Tiongkok disebabkan oleh adanya tiga faktor kunci yaitu: (1). “Adanya satu Partai yang bersatu sehingga bisa menatap arah yang sama. (2}.Memiliki gagasan besar, rencana besar, dan memiliki memimpi besar. (3). membangun infrastruktur guna mempersiapkan konektivitas antarkota dan antarprovinsi.” (http://www.antaranews.com/berita/465383/presiden-jokowi-ungkap-tiga-kunci-kesuksesan-tiongkok).
Barangkali Jokowi lupa bahwa di atas segalanya kemajuan Tiongkok tidak terlepas dari investasi sumber daya manusia yang berdaya. Investasi sumber daya manusia yang berdaya dan bermutu ini disiapkan oleh pendiri-pendiri RRT jauh sebelum RRT diproklamirkan pada 1 Oktober 1949. Sumberdaya manusia yang berdaya dan bermutu tidak bisa didapat dari lembaga-lembaga pendidikan yang berdagang nilai dan ijazah serta korup. Dengan adanya sumberdaya manusia yang berdaya dan bermutu, maka kemungkinan adanya warganegara sebagai subyek yang bermartabat dan bermutu, menjadi lebih besar. Sekarang kita sedang menghadapi benteng terakhir para kriminal yaitu pengadilan, pendidikan dan kebudayaan. Pemersihan koruptor atau para kriminal oleh KPK hanya langkah awal untuk adanya RI yang betul-betul republikan dan berkeindonesiaan. Konsolidasinya dan lebih menentukan adalah apa dilakukan oleh sumberdaya manusia yang berdaya dan bermutu serta yang republikan dan berkeindonesiaan yang sadar politik dan terorganisasi. Untuk menimbulkan efek jera, koruptor patut dihukum seberat-beratnya, termasuk pencabutan hak politiknya. Nama-nama mereka patut diumumkan. Terimakasih kepada KPK yang sudah mulai bekerja di Kalteng.[]
MODAL ASING DAN NEOKOLONIALISME
Sampai kapan Indonesia bergantung terus kepada “modal asing”? Di jaman kolonialisme, bangsa kita dihisap oleh kapital asing. Sekarang pun, di jaman Indonesia merdeka, modal asing masih terus menghisap ekonomi nasional kita. Lantas, apa yang sudah berubah?
Kolonialisme, kata Bung Karno, justru menjadi jembatan bagi modal asing untuk jengkelitan di atas bumi Indonesia. Lalu, dengan mengeksploitasi kekayaan alam dan tenaga rakyat Indonesia, mereka memperbesar diri dan terus beranak-pinak. Sementara rejeki rakyat Indonesia kocar-kacir karenanya.
Bung Hatta tidak ketinggalan memperingatkan bahaya “ketergantungan” terhadap modal asing. Katanya, kalau kapital didatangkan dari luar, maka tampuk produksi akan dipegang oleh orang luaran. Hal itu akan berbahaya: pemodal asing akan dengan leluasa mengangkut keuntungan dari bumi kita. Sebab, logika modal adalah mencari keuntungan sebesar-besarnya.
Gagasan dua tokoh pendiri bangsa ini—juga para pendiri bangsa lainnya—menjadi dasar perumusan pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 jelas mengisyaratkan pengelolaan sumber daya ekonomi mesti dikontrol oleh negara untuk memastikan keuntungannya bisa memakmurkan rakyat.
Anehnya, sejak jaman orde baru hingga sekarang, tidak satupun rejim yang menjalankan amanat pasal 33 UUD 1945 itu. Pemerintah sejak saat itu sangat patuh dan menghamba kepada modal asing. Di akhir kekuasaan Soekarno, lahir produk hukum yang menaungi kepentingan modal asing: Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967.
Lalu, di puncak kejayaan rejim orde baru, pada tahun 1994, seiring dengan tuntutan perluasan modal asing, dikeluarkan PP No 20/1994. Sejak itu, modal asing dibolehkan mengambil posisi dominan dalam perekonomian Indonesia.
Kemudian, pada tahun 2007, di era pemerintahan SBY yang sangat pro-neoliberal, dikeluarkan lagi UU No 25/2007 tentang PMA. Dalam UU PMA yang baru ini, modal asing tidak lagi dibatasi—bisa 100%. Hak guna usaha bisa 94 tahun dan, jika waktunya sudah habis, bisa diperpanjang 35 tahun lagi. Lebih tragis lagi: tidak ada lagi perlakuan berbeda antara modal asing dan domestik.
Modal asing pun menggurita menguasai ekonomi nasional. Akibatnya, sebagian besar sumber daya alam dan sektor ekonomi strategis dikuasai asing. Akhirnya, seperti diperingatkan Bung Karno, sebagian besar keuntungan mengalir keluar, sedangkan rakyat ditinggal kering-kerontang. Konon, rakyat Indonesia hanya menikmati 10% dari keuntungan ekonomi, sedangkan 90%nya dibawa oleh pihak asing keluar.
Kehadiran modal asing juga memicu perampasan tanah rakyat. Tidak jarang, aksi perampasan tanah rakyat disertai kekerasan. Banyak rakyat kita yang menjadi korban di tangan aparat yang menjadi “centeng” pemilik modal. Itulah yang terjadi di Mesuji (Lampung), Bima (NTB), Tiaka (Sulteng), Papua, Sumetera Selatan dan berbagai tempat lain di Indonesia.
Modal asing juga gagal mengangkat ekonomi nasional. Pemerintah dan sejumlah ekonom pro-neoliberal menyakini, kehadiran investasi asing akan membantu pembangunan industri di dalam negeri. Yang terjadi justru sebaliknya: sebagian besar industri dalam negeri gulung tikar akibat tidak bisa bersaing dengan modal asing. Juga, atas tekanan modal asing, sejumlah BUMN strategis kita berpindah tangan kepada pemilik modal asing.
Kita tidak anti terhadap bantuan asing. Setiap bantuan ekonomi yang diterima tidak boleh disertai syarat-syarat yang merugikan: tidak boleh mendikte kita secara ekonomi dan politik. Justru, jika ada bantuan dari pihak luar, negara harus aktif untuk mengkoordinasikan dan mengarahkannya guna membiayai sektor-sektor ekonomi yang prioritas.
Begitu juga dengan investasi asing, hanya diperbolehkan di sektor-sektor yang tidak strategis dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak. Itupun harus dikontrol dan diarahkan oleh pemerintah. Kehadiran modal asing itu harus menghormati kedaulatan dan martabat bangsa Indonesia.[ http://berdikarionline.com/editorial/20120105/modal-asing-dan-neokolonialisme.html ].
MENCARI K0NTRADIKSI POKOK KONFLIK LAHAN
Catatan Andriani S. Kusni
Maraknya sengketa agraria di Kalimantan Tengah, telah menarik perhatian Minggu DëTAK Palangka Raya, dan membuat Mingguan tersebut menurunkan serangkaian tulisan di bawah tema utama “Mencari Solusi Atasi Konflik Investasi” dalam edisinya No.224/VII, 17-23 November 2014. Dalam mengantar pembahasan tema tersebut, Indra Matbun menulis:
“Iklim investasi di Provinsi Kalimantan Tengah, khususnya di sektor Perkebunan Kelapa Sawit dan Pertambangan dalam beberapa tahun terakhir ini dinilai cukup pesat. Di tengah kepesatannya, juga muncul bermacam persoalan investasi yang bergesekan dengan masyarakat lokal, salah satunya adalah konflik sengketa lahan, di mana terjadi saling kkalim lahan antara pihak investor dengan masyarakat hukum adat di beberapa kawasan perizinan investasi.
Yang menjadi pertanyaan kita, apakah konflik-konflik ini bermuara dari kepala daerah yang notabene si pemberi izin investasi atau faktor kesengajaan pihak investor menabrak aturan sehingga menjadi carut-marut atau tidak beraturan? Faktanya tanah hukum adat (barangkali yang dimaksud DëTAK, tanah masyarakat hukum adat, karena apakah ada tanah hukum adat? –ASK) masih kurang mendapat pengakuan yang absolut di negeri ini, kendati secara aturan perundang-undangan dinyatakan sudah jelas.
Konflik tidak pernah tuntas bila tidak adanya ketegasan dari pemerintah. Apalagi kontrol investasi yang berkolaborasi dengan kepentingan politik, maka diyakini akan mengabaikan aspek-aspek keberlanjutan.
Yang jelas dalam sengketa lahan ini jangan sampai terjadi ketidakpastian hukum yang berpotensi negatif. Untuk itu perlu adanya keberanian dan ketegasan kepala daerah dalam mengakomodir penyelesaian”.
Investasi di Indonesia pasti akan terus berlangsung. Presiden baru terpilih Jokowi melalui pidatonya di konfrensi APEC baru-baru ini secara lugas mengundang para investor ke negeri ini. Negeri mana pun tidak terkecuali Eropa Barat, RRT, dan lain-lain memerlukan investor. Masalahnya tidak terletak pada pada investor dan investasi tapi pada politik investasi yang diterapkan oleh penyelenggara Negara. Apakah penyelenggara Negara yang memberi izin invstasi dikendalikan oleh investor ataukah penyelenggara Negara yang mengatur dan mengendalikan investor. Oleh nilai dominan yang mengendalikan pola pikir dan mentalitas, terutama semenjak Orde Baru adalah “uang sang raja” maka di negeri ini yang terjadi adalah penyelenggara Negara yang memberi izin berkolusi dengan investor untuk meraup fulus sebesar mungkin. Melalui kolusi demikian maka investor mengendalikan penyelenggara Negara dan kehadiran investor memungkinkan korupsi terus berlangsung, investor makin bertindak semena-menaahan karena dibeking oleh kolusinyanya, yaitu penyelenggara Negara. Pola pikir dan mentalitas yang dikendalikan oleh nilai dominan demikian, sekaligus membuat penyelenggara Negara bertindak sebagai pedagang primer yang menjual sumber daya alam Kalteng tanpa berpikir jauh. Sehingga akibatnya menurut penelitian Dr. Purwanto dan Cornelis Ley et.al dari Gadjah Mada (2004), lahan garapan dari daerah seluas 1,5 X Pulau Jawa ini tersisa hanya 20 persen. Padahal lahan, tanah adalah alat produksi utama masyarakat Kalteng. Pemusatan penguasaan alat produn koksi utama ini membuat kesenjangan dan marjinalisasi makin menjadi. Sementara Bung Karno sejak lama mengingatkan bahwa “perut tidak bisa menunggu”. Tidak terelakkan bahwa keadaaan demikian melahirkan konflik agraria atau konflik lahan, bukan konflik investasi. Sebab mengatakan konflik lahan atau konflik agraria sebagai konflik investasi, mengesankan kita tidak memerlukan investasi.
Ketika warga masyarakat (hukum) adat kehilangan alat produksi utamanya yaitu tanah, yang tumbuh berkembang adalah budaya kemiskinan dan kemiskinan budaya. Dengan budaya demikianlah mereka menghadapi lawan yang sangat kuat yaitu penyelenggara Negara (termasuk polisi dan tentara) dan kolusinya yaitu investor. Imbangan kekuatan antara dua pihak utama yang berkonflik sangat tidak seimbang. Perundingan antara dua kekuatan yang tidak seimbang, tidak pernah menghasilkan keputusan yang adil. Yang lemah, apalagi tidak terorganisasi, tidak memiliki kesadaran selamanya akan menjadi obyek yang diperlakukan sekehendak hati.
Bagaimana jalan keluar atau cara untuk mengatasi konflik lahan ini?
Konflik tidak lain dari suatu kontradiksi. Dalam kontradiksi terdapat kontradiksi pokok dan yang tidak pokok. Untuk menangani suatu kontradiksi, pertama-tama kontradiksi pokoknya harus ditangani. Dalam kontradiksi pokok ada unsur yang berhegemoni, yang menentukan perkembangan kontradiksi, dan unsur lain, lawannya adalah unsur yang didominasi. Dalam konflik lahan unsur kedua yang didominasi ini adalah warga masyarakat (hukum) adat. Hubungan antara yang didominasi dan mendominasi ini secara hakiki bersifat antagonis, sulit dikompromikan. Sehingga solusinya unsur yang berhegemoni patut dirobah. Setelah perobahan terjadi pada unsur pokok kontradiksi, yang berhegemoni, baru pada saat itu penyelesaian mendasar akan ada. Barangkali yang dimaksudkan dengan perobahan oleh warganegara Republik ini pada saat pemilu adalah perobahan pada unsur dominan pada kontradiksi pokok yaitu penyelenggara Negara. Dalam istilah yang lebih ekstrim “Putus satu generasi”.Perobahan politik pada pemegang penyelenggaraan Negara merupakan unsur kunci bagi penyesalaian konflik atau kontradiksi .
Untuk bisa melakukan perubahan unsur yang didominasi perlu kuat sehingga daya tawar mereka dalam keadaan apa pun, termasuk dalam perundingan, mau tidak mau diperhitungkan. Sebab politik sebenarnya tidak lain dari masalah imbangan kekuatan. Selama imbangan kekuatan antara unsur yang berhegemoni dan yang didominasi pincang, mengharapkan terjadinya perubahan maju ibarat orang menggantang asap. Negara di negeri ini sekarang, ini tidak pernah menggelarkan karpet merah untuk rakyatnya. Negara yang didominasi oleh para kolutor, koruptor dan pedagang primer dengan pola pikir dan mentalitas instanisme, tidak pernah menjadi orang budiman. Keberanian dan ketegasan merakyat yang diharapkan dari kepala daerah, tidak akan ada jika faktor yang didominasi lemah dan tidak berdaya seperti halnya masyarakat adat Dayak Kalteng hari ini. Ketika masyarakat adat masih lemah, cerai-berai, tak tertata, terkooptasi, tidak bebas, yang akan terjadi adalah kesenjangan yang semena-semena dan kian mengangga, laju marjinalisasi makin kencang.
Narasumber DëTAK untuk edisi konflik agraria, nampak tidak mengetengahkan solusi mendasar , bahkan ada yang Nampak cuci-tangan. Barangkali pandangan-pandangan demikian cerminan dari keadaan masyarakat Kalteng hari ini. Keadaan sosial menentukan pikiran manusia. Dalam keadaan begini, the hidden leaders (pemimpin yang tak nampak) bisa sangat berperan. Siapa pun yang berkamauan baik untuk menyelesaikan konflik agrarian di Kalteng, niscaya pertama-tama mengetahui kontradiksi pokok hal-ikhwal sebelum menyusun kekuatan imbangan benih dari counter power (kekuatan tandingan). []