Halaman Budaya Sahewan Panarung | 14 April 2024 | Andriani SJ Kusni: SANSANA KAYAU

Radar Sampit, Minggu, 14 April 2024

Sansana Kayau dalam kehidupan sehari-hari di Desa Tumbang Liting, Kecamatan Katingan Hilir, Kalimantan Tengah. Foto dan Dok. Kusni Sulang

Sansana kayau adalah puisi lisan, diciptakan dan dinyanyikan langsung pada saat pergelaran. Di Daerah Aliran Sungai Katingan, terutama di Katingan Hilir dan Hulu, sansana kayau sampai sekarang masih hidup dan dinyanyikan, biasanya dipertunjukan pada saat pesta, upacara-upacara adat seperti menerima tamu dalam upacara pemotongan pantan, pesta perkawinan, bahkan dalam keseharian.

Puisi yang dinyanyikan tersebut diciptakan oleh penyair individual, kemudian disambut secara beramai-ramai oleh seluruh orang yang hadir. Para pelantun nyanyian puisi (disebut pasansan) bisa melantunkannya secara acapela (tanpa musik) dan bisa juga dengan iringan suling balawung dan kacapi.

Para Pasansana berdialog menggunakan puisi (sansana kayau), paduan antara kolektivitas dan individu. Pada puisi berbentuk sansana kayau ini, hubungan serasi antara individu dan kelompok dalam masyarakat Periode Bétang tergambarkan seperti juga dicerminkan dalam tari pergaulan Manasai–yang pada masa Pemerintahan Soekarno pernah diangkat secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai tari pergaulan nasional.

Dikarenakan Sansana Kayau diciptakan dan dilantunkan secara langsung (semacam karya improvivasi) dan tanpa menggunakan teks terlebih dahulu pada saat pementasannya, maka dari para pansansana dituntut penguasaan bahasa yang baik, dalam  hal ini Bahasa Katingan,  keterampilan, dan pengetahuan filsafat Kaharingan yang padan serta kecekatan membaca keadaan dan kecepatan menganalisanya. Dengan pengetahuan dan penguasaan serta keterampilan demikian, baru bisa diharapkan akan lahir karya sansana kayau yang bermutu tinggi.

Sansana Kayau menggambarkan hubungan Uluh Katingan (Orang Katingan) dengan alam, kekuasaan alam lain, hubungan antarmanusia. Artinya, sansana kayau dilahirkan oleh masyarakat Suku Dayak Katingan, oleh alam dan kehidupan manusia serta digunakan dalam kehidupan sampai hari ini.

Bentuk Sansana Kayau

Secara teknis bentuk (form) Sansana Kayau terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1) Prolog; 2) Tubuh Sansana; 3) Epilog.

Prolog dan Epilog dinyanyikan bersama-sama dalam irama tertentu dengan kata-kata: Oi, nanai, nanai, nanai, nanananai, nanai, oiiii nanai.Setelah itu, Pansansana secara tunggal (soloist) menyanyikan puisinya dan pada akhirnya ditutup untuk kemudian dilanjutkan lagi dengan prolog. Pengulangan lirik untuk prolog dan epilog sama.

Subtansi

Subtansi pesan dan isi puisi terdapat pada Tubuh Sansana, puitisitas Tubuh Sansana terdapat pada keseluruhan Tubuh Sansana, baik di awal (aliterasi), di tengah ataupun di akhir (coda).

Sansana Kayau dengan gampang berkembang menjadi sebuah naskah cerita drama, novel atau roman, hal ini terbukti oleh adanya karya epik Sansana Bandar, Sansana Kayau Pulang (warisan para Pansansana terdahulu), dan lain-lain.

Dirangkum dari: https://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2010/04/


REVITALISASI TRADISI LISAN DAYAK NGAJU: SANSANA

Oleh: Basori* | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Sansana adalah puisi lisan, diciptakan dan dinyanyikan langsung pada saat pergelaran. Di daerah Aliran Sungai Katingan, terutama di Katingan Hilir dan Hulu, sansana sampai sekarang masih hidup dan dinyanyikan, biasanya di pertunjukan pada saat pesta, pada upacara-upacara adat seperti menerima tamu dalam upacara potong pantan, pesta perkawinan, bahkan dalam keseharian (Kusni, 2010).

Puisi yang dinyanyikan tersebut diciptakan oleh pesansana yang kemudian disambut secara beramai-ramai oleh seluruh orang yang hadir. Pasansana bisa melantunkannya secara acapela (tanpa musik) dan bisa juga dengan iringan suling Balawung dan Kacapi. Paduan antara kolektivitas dan individu dalam seni sansana menggambarkan hubungan serasi antara individu dan kelompok dalam masyarakat periode rumah Betang, hubungan yang juga dicerminkan juga pada tari pergaulan Manasai.

Karena sansana dituturkan secara langsung tanpa menggunakan teks, pada saat pementasannya, maka para Pasansana dituntut menguasai bahasa Dayak Ngaju yang baik, serta keterampilan dan pengetahuan filsafat Kaharingan (agama tua suku Dayak) yang memadai.

Sansana menggambarkan hubungan Uluh Dayak (orang Dayak) dengan alam, kekuasaan alam lain, hubungan antara manusia, artinya sansana dilahirkan oleh masyarakat Dayak Ngaju, oleh alam dan kehidupan manusia (Kusni, 2010).

Sansana biasanya digelar berhubungan dengan adanya suatu hajatan. Biasanya hajatan itu timbul dari janji-janji tertentu atau wujud rasa syukur karena telah tercapainya sesuatu yang diharapkan. Misalnya, seseorang berjanji kepada diri sendiri akan mengundang tukang sansana apabila mempunyai anak laki-laki tampan, tanaman padinya panen dengan memuaskan, perjalanan berhasil dengan selamat dan lancar, dan sebagainya. Sansana juga dapat digelar apabila seseorang atau keluarga menghendaki keluarga yang damai, murah rezeki, atau ingin menyatakan rasa syukur dan gembira atas lahirnya seseorang bayi dengan selamat dan sebagainya.

Cerita yang diangkat dalam sansana adalah cerita legendaris yang berisi kisah seorang tokoh super, yang memiliki banyak pengetahuan, pengalaman, kekuatan lahir batin, kecerdasan, serta budi pekerti yang luhur. Tokoh super ini disebut bandar. Dengan demikian dapat dikatakan, bandar sebenarnya bukan nama tokoh, tetapi gelar tokoh legendaris sehingga muncul sebutan Bandar Tumanggung, Penembahan, Bandar Panjantrahan, Bandar Ratu Anom, Bandar Huntup Batu Api, dan lain-lain.

Sansana dapat digolongkan dalam bentuk prosa liris karena cerita yang disampaikan berirama, meskipun iramanya sangat sederhana dan monoton. Di luar ciri tersebut, pilihan kata dalam sansana dan penyusunannya tampak agak menyimpang dari aturan-aturan bahasa Dayak Ngaju yang dipergunakan sehari-hari oleh masyarakat.

Pemilihan sansana sebagai subjek tulisan disebabkan banyaknya karya sastra masyarakat Kalimantan Tengah, khususnya masyarakat Dayak Ngaju yang belum secara tuntas diteliti. Salah satunya adalah seni sansana. Sampai saat ini, penelitian dan pendokumentasian sastra lisan Dayak Ngaju (dan Dayak pada umumnya) amat sedikit.

Sansana, sebuah proses bernyanyi yang diiringi kecapi sebagai alat musiknya dan ditujukan sebagai penghibur hati setelah seharian bekerja di ladang merupakan media mengomunikasikan misi kebaikan, penceritaan riwayat seseorang yang dianggap sangat terhormat dan sangat berjasa, serta tentang percintaan. Tetapi, belakangan kesenian ini sudah semakin hilang dari kebiasaan masyarakat. Hal itu disebabkan kecanggihan teknologi yang menawarkan lebih dari sekadar sebuah sansana, sedangkan upaya secara sistematis untuk mempertahankan keberadaan sansana sepertinya tidak terlaksana dengan baik. Hal ini terbukti dengan kurang menguasainya kaum muda dalam kesenian ini.

Kenyataan bahwa dalam perkembangan masyarakat dan peradaban yang mengharuskan masyarakat itu mengikuti perubahan yang ada, seolah sudah tidak bisa dihindari. Hal ini membuat masyarakat tersebut secara tidak sadar meninggalkan budaya lama kemudian menggantikannya dengan budaya yang baru. Seiring dengan kemajuan zaman, semakin tertinggal pula kesenian-kesenian daerah dari hati masyarakat. Hal ini pun terjadi pada masyarakat Kalimantan Tengah, khususnya Dayak Ngaju.

Satu hal yang bisa kita lihat adalah tidak adanya regenerasi dalam bidang kesenian, khususnya kesastraan yang benar-benar intens untuk melestarikan budaya tersebut. Untuk itulah kajian ini dilakukan, agar khasanah sastra yang ada dalam suku Dayak Ngaju ini tidak hilang begitu saja. Di samping itu, kajian ini juga dimaksudkan sebagai suatu upaya penulisan karya-karya sastra yang memang tidak ada, karena pada umumnya di Kalimantan Tengah berlaku sastra lisan sehingga jika tidak ada upaya intensif dalam pencatatan dan pembukuannya, akan hilang tanpa meninggalkan bekas ditelan oleh zaman yang bergerak demikian cepat. Di samping itu, nilai-nilai yang tekandung dalam sansana sebagai bahasa hati dan sosial akan hilang begitu saja jika tidak segera menjadi perhatian yang serius. Utamanya bagi kaum intelektual yang bergerak di bidang kebudayaan serta kesenian dan kesastraan.

Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat Dayak Ngaju, dan masyarakat umum. Untuk pemerintah, penelitian ini bermanfaat sebagai salah satu sumber dasar informasi dalam pengambilan keputusan daerah dan bahan pertimbangan bagi pelaksana pembangunan di lapangan. Untuk masyarakat Dayak Ngaju, penelitian ini dapat merangsang generasi muda untuk lebih mencintai sastra lisan Dayak Ngaju; menjadi bahan pertimbangan bagi dasar pengembangan diri masyarakat dalam bidang kesenian dan kebudayaan; serta lebih meningkatkan rasa kebanggan diri terutama dalam pembangunan bangsa menuju manusia yang bermartabat. Untuk masyarakat umum, penelitian ini dapat  merangsang para sastrawan, ilmuwan, dan seniman untuk menggali lebih dalam sastra lisan Dayak Ngaju dan bisa menjadi dasar penelitian lanjutan, serta membuka pengetahuan masyarakat luas tentang sastra lisan suku Dayak Ngaju.

Landasan Teori

Tentang revitalisasi, peneliti menggunakan teori Pudentia (2008) dan Sibarani (2012). Sibarani (2014: 299) menyatakan bahwa model revitalisasi lisan dan pelestarian tradisi lisan yang ditawarkan meliputi Sumber Daya Manusia (SDM) budaya yang bergerak dalam bidang tradisi lisan, metode revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan, dan paradigma revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan yang mencakup pelaku, pendukung, akademisi, pemerintah, promotor budaya, dan industriawan budaya. Kemudian, ia menambahkan bahwa komponen revitalisasi mencakup penghidupan/pengaktifan kembali, pengelolaan, dan pewarisan tradisi lisan serta tiga komponen pelestarian, yakni: perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan tradisi lisan.

Sibarani (2012: 307) menyatakan bahwa tipe revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan dapat dilakukan secara formal melalui pendidikan formal, secara nonformal melalui sanggar-sanggar atau lembaga-lembaga adat, dan secara informal melalui kesadaran sendiri belajar di masyarakat. Ketiga tipe revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan itu sebaiknya dilakukan secara bersama-sama demi pewarisan tradisi lisan di masa mendatang.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan langkah-langkah penelitian etnografi. Langkah-langkah etnografi itu dipaparkan dalam bagian berikut:

  1. Membuat Catatan Etnografis. Membuat catatan etnografi merupakan tindakan sebagai jembatan antara temuan dan deskripsi, yang menghubungkan temuan dan deskripsi menjadi tunggal, proses yang komplit. Temuan-temuan menemukan caranya dalam akhir tulisan etnografi. Membaca catatan ini di lapangan akan menuju kepada temuan-temuan tambahan. Adanya umpan balik ketika menulis etnografi yang mengarah kepada temuan-temuan baru dan tambahan-tambahan untuk catatan etnografi. Bisa disimpulkan bahwa temuan etnografi akan dilanjutkan dengan membuat catatan etnografi dan berakhir pada deskriptif etnografi. Catatan etnografi akan mengumpulkan temuan-temuan dari sudut pandang penutur dan menuliskan etnografi akhir (deskripsi) yang merupakan perolehan yang teliti dari proses terjemahan.
  2. Menetapkan Situasi. Berdasarkan informasi dari para informan, peneliti menetapkan situasi yang akan diteliti. Spradley (1979: 39) menyatakan bahwa setiap situasi sosial diidentifikasi menjadi tiga bagian mendasar yaitu: tempat, aktor (pelaku), dan aktivitas. Dalam hal ini, lokasi atau tempat penelitian sesuai dengan hasil wawancara dan pengamatan peneliti, maka lokasi penelitian ditentukan di Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangka Raya dan Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan. Untuk aktor/pelaku, ditentukan berdasarkan  kriteria informan yang baik sesuai dengan pendapat Spradley.
  3. Melakukan Observasi Partisipasi. Spradley (1979: 54) menyatakan bahwa observasi partisipan melakukan observasi dengan dua tujuan: (1) untuk terlibat dalam aktivitas dan situasi tertentu, (2) untuk mengobservasi aktifitas, pelaku, dan aspek-aspek fisik dari situasi tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan obsevasi partisipasi dengan melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pemerolehan informasi mengenai Sansana.
  4. Membuat Catatan Etnografi. Rekaman dalam penelitian ini mencakup rekaman secara audio-video untuk mendapatkan rekaman sansana dan wawancara sekaligus dapat mengobservasi kegiatan tersebut.

Sansana, Penciptaan, dan Persebarannya

Sebagai puisi lisan tradisional, umumnya penciptaan sansana berlangsung secara spontan atau langsung di depan khalayak pada saat pertunjukan. Setelah itu pesansana akan melantunkan sansananya sesuai dengan suasana yang terjadi saat itu. Sansana biasanya menceritakan tokoh-tokoh yang memiliki banyak pengetahuan, pengalaman, kekuatan lahir batin, kecerdasan, serta budi pekerti yang luhur. Tokoh-tokoh dalam sansana ini merupakan tokoh-tokoh pemimpin dalam masyarakat Dayak.

Pada saat ini, amat sedikit orang yang mampu menciptakan sansana. Masyarakat Dayak Ngaju sendiri sadar bahwa menciptakan sansana ternyata tidak mudah, kesulitan terutama ada pada penciptaan syair. Untuk dapat menciptakan sebuah syair yang indah, seseorang dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai mengenai bahasa (Dayak Ngaju), wawasan yang cukup tentang kehidupan budaya masyarakat, keterampilan menggali dan mengolah tema, dan memiliki imajinasi yang kuat. Bahasa Dayak Ngaju sendiri saat ini mengalami pergeseran, terutama pada remaja dan anak-anak muda yang mulai menggunakan Bahasa Banjar dalam pergaulan mereka sehari-hari. Hal ini tentu saja memengaruhi keberadaan sansana itu sendiri, meski mungkin masih ada sebab lain yang lebih dominan.

Karena keterbatasan tersebut, umumnya, pencipta sansana dianggap sebagai seorang yang istimewa, meski dalam kehidupan bermasyarakat hal itu tidak memengaruhi sikap masyarakat, dalam arti ia tidak memeroleh perlakuan khusus.

Sejak mulanya, sansana tercipta sebagai media hiburan, pendidikan, dan ekspresi budaya masyarakat Dayak Ngaju. Berdasarkan pada hal tersebut, sansana tersebar luas di kalangan masyarakat di Kalimantan Tengah, dengan berbagai istilah yang melabelinya. Sansana, pada akhirnya menjadi lambang identitas masyarakat Dayak Ngaju. Sesuai dengan keberadaan etnik Dayak Ngaju sebagai kelompok etnik terbesar (dalam jumlah dan luas wilayah sebaran) di Kalimantan Tengah, seluas itu pula wilayah sebaran sansana. Tradisi migrasi etnik juga ikut memengaruhi proses persebaran sansana ke wilayah yang lebih luas.

Penyair sansana tidak lahir dari pendidikan formal. Juga tidak dari pewarisan yang turun-temurun dari generasi tua ke generasi di bawahnya secara sengaja. Penyair sansana lahir dari proses alamiah dengan adanya beberapa pemuda yang suka kemudian meniru dan belajar bagaimana bersansana. Mereka belajar dengan memerhatikan bagaimana seorang pasansana itu melantunkan nyanyian-nyanyian yang disesuaikan iramanya. Ada pula pewarisan model keturunan, seorang damang atau balian akan mewariskan kemampuannya dalam bersansana pada anaknya.

Dalam proses peniruan ini, tidak mustahil memunculkan perubahan bentuk dan pengembangan, termasuk di dalamnya adalah perubahan nada pada posisi tertentu. Dari sini terjadi proses resepsi produktif. Pilihan-pilihan kata yang digunakan amat tergantung pada pelantun dan suasana yang terjadi pada saat pelantunan. Sebagaimana umumnya sastra lisan, para penyair sansana juga tidak mencantumkan nama atau identitas penciptanya. Setiap sansana yang tercipta merupakan milik kolektif masyarakat. Hal ini terjadi sepanjang pewarisan sansana secara lisan.

Revitalisasi Sansana, Kekayaan Budaya Dayak Ngaju

Tradisi lisan, apa pun bentuknya kian memudar dan terancam seiring perubahan orientasi hidup dan kebudayaan masyarakatnya. Hal itu tidak bisa dimungkiri. Begitu juga dengan sansana, meskipun di daerah-daerah tertentu kita masih menemukan keberlangsungannya. Misalnya, di wilayah hulu Sungai Kahayan, Katingan, dan Kapuas, tradisi bersansana, karungut, deder, dan upacara-upacara tradisional yang tentunya dilengkapi dengan tradisi-tradisi lisan masih bisa kita dapati.

Berikut ini beberapa hal yang ditengarai menjadi sebab makin hilangnya sansana di kalangan masyarakat Dayak Ngaju:

Pertama, faktor intern masyarakat Dayak sendiri. Masyarakat tidak atau kurang bisa lagi menghargai diri dan budaya sendiri. Menjadi Dayak dan berbudaya Dayak dianggap sebagai “primitif” dan tidak modern. Menjadi tidak ”keren” kalau berdialog dengan siapa pun menggunakan bahasa Dayak (dengan lingkungan sesama Dayak sendiri bahkan). Keadaan ini membuat masyarakat diam-diam melakukan bunuh diri budaya, mengasingkan diri dari komunitas, dan kehilangan ketahanan budaya. Perubahan pola hidup menuju kemodernan telah memosisikan generasi muda semakin jauh berada di luar sansana. Mereka semakin menjauhi sansana karena kurang mampu berbahasa Dayak Ngaju, di samping irama sansana yang cenderung monoton dan membosankan jika dibandingkan dengan hingar-bingar musik luar.

Kedua, pergeseran pemakaian bahasa. Generasi muda masa ini lebih mahir berbahasa Banjar daripada berbahasa Dayak Ngaju. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniati (2008) terhadap seratus responden mahasiswa etnik Dayak di Palangka Raya. Hasil penelitian itu menunjukkan  bahwa banyak mahasiswa etnik Dayak sudah tidak mahir lagi dalam berbahasa Dayak Ngaju.

Ketiga, pola persebaran dan pewarisan yang bersifat individual dan tidak terorganisasi dengan baik. Pewarisan dalam bentuk demikian nyata-nyata tidak efektif membentuk generasi penerus. Generasi muda masa ini sudah gagap budaya sendiri. Mereka lebih suka dengan permainan yang lebih “modern” dengan gitar, piano, drum, dan sebagainya.

Keempat, pendokumentasian yang tidak terbarukan lagi. Pendokumentasian sansana dengan kaset yang hanya bisa didengar melalui tape recorder terasa tidak ada artinya pada saat dunia sudah sangat akrab dengan media video youtube.

Kelima, peran media massa, RRI, yang makin mengurangi jumlah jam siar sansana. Media massa cetak pun sudah tidak ada lagi yang memuat syair-syair sansana. Penerbitan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sangat terbatas dalam hal jumlah cetakan dan sebarannya.

Keenam, peran pemerintah yang diharapkan bisa menjadi benteng terakhir keberadaan sansana juga semakin berkurang. Media festival hanya menjadi semacam rutinitas tahunan yang bahkan tidak bergerak. Dari tahun ke tahun yang menghadiri dan mengikuti lomba adalah peserta yang itu-itu juga.

Festival yang diharapkan mampu menjadi jaring regenerasi nyata telah kehilangan fungsi dengan makin kuatnya keinginan untuk menjadi pemenang tanpa memerhatikan keberlangsungan regenerasi. Yang paling mendasar sebenarnya adalah masuknya tradisi lokal ini dalam kurikulum sekolah dalam materi muatan lokal atau ekstrakurikuler. Faktor ini tampaknya tidak digarap dengan sungguh-sungguh bahkan beberapa sekolah di Palangka Raya justru memasukkan bahasa Inggris sebagai muatan lokal (hal yang aneh). Pewarisan dan penyebaran lewat sanggar-sanggar seni juga belum kelihatan hasilnya.

Berkaitan dengan masalah-masalah tersebut, revitalisasi sansana menjadi penting untuk mulai dipikirkan dan menjadi program mendesak dalam upaya untuk melestarikan kebudayaan ini. Revitalisasi ini juga mesti mempertimbangkan bahwa sansana merupakan puncak kebudayaan Dayak. Segala sesuatu yang sudah mencapai puncak tentu tidak akan bisa berkembang lebih baik lagi. Langkah yang bisa diambil adalah menciptakan sesuatu yang baru atas dasar unsur-unsur yang sudah mencapai puncak itu. Tentu saja ini tidak bermaksud untuk menggugat atau bahkan mengganti sesuatu yang berada di puncak itu. Ini merupakan salah satu cara untuk mengembangkan dan sekaligus melestarikan kebudayaan dalam fungsinya. Sebagaimana seni campur sari dalam kebudayaan Jawa.

Beberapa langkah yang sangat mungkin untuk bisa dilakukan terkait dengan masalah tersebut antara lain: pertama, mengembalikan fungsi dan peran bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Lingkungan keluarga menjadi garda depan untuk membiasakan diri menggunakan bahasa Dayak Ngaju; kedua, bahan ajar muatan lokal bahasa dan budaya Dayak Ngaju juga mesti disiapkan dengan baik. Hal ini tentu saja menuntut peran yang lebih banyak dari pemerintah daerah. Balai Bahasa Kalimantan Tengah sudah menyusun Tata Bahasa Dayak Ngaju, Kamus Dayak Ngaju. Hal ini perlu dilanjutkan dengan penyusunan bahan ajar muatan lokal; ketiga, pendokumentasian dengan media terbarukan. Sansana bisa dibuat dalam bentuk film animasi yang diharapkan akan menarik minat para pelajar untuk mengetahui dan belajar bersansana; keempat, pasansana harus lebih kreatif dalam bersansana, menciptakan pola baru dari pola-pola yang sudah ada. Kreatif memilih tema dan menggunakan kata.

Simpulan

Sansana sudah semakin kehilangan peminat seiring perkembangan teknologi. Apabila sansana tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi ini, sansana akan semakin hilang. Apabila hal ini tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh, dikhawatirkan kehidupan sansana akan surut dan hilang dalam satu generasi ke depan. Kusni, penyair Dayak yang tinggal di Paris, pernah mengungkapkan gagasan revitalisasi terhadap sansana dalam pertemuan Sastrawan Borneo, 2005. Tampaknya, hal itu perlu segera kita sambut sebagai bagian dari pemertahanan dan pengembangan sansana di masa mendatang. (Sumber: Jurnal Sastra Lisan, Volume 1, Nomor 1, 2021).

*Basori, Peneliti pada Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan Badan Riset dan Inovasi Nasional. Disunting berdasarkan keperluan penyiaran ini.


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 14 April 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 17 Maret 2024 | Cerpen Korrie Layun Rampan: HAYAPING

Radar Sampit, Minggu, 17 Maret 2024

Salah satu karya seniman Indonesia di pameran Kitab Visual Ianfu (https://medium.com/@febrianafirdaus/ianfu-ada-dan-berlipat-ganda-50ff4d04d3d0)

Kalau bukan karena Ogay, aku tidak akan sampai ke Hayaping. Pernah kudengar nama itu dari temanku, seorang wartawan tabloid reformasi, tapi aku tak juga mampu tiba semauku di tempat itu. Tapi, Ogay membuat aku terpikat, terutama karena di tempat itu terdapat sebuah gua yang dinamakan Liang Saragi.

“Kata orang gua itu indahsekali,” Ogay merayuku.

“Sayang kalau kita tidak menyempatkan diri datang ke situ.”

Dengan motor sewaan aku diboncengi  Ogay menuju Hayaping. Meskipun jalannya agak rusak jika berjalan dari arah Tamiang Layang, tetapi  Hayaping  memiliki daya tarik yang segera membuat aku menyukai tempat itu. Pasarnya yang menjorok ke arah dalam dan keadaan sekitarnya yang membayangkan sebuah kampung yang khas milik orang Dayak.

Kekhasan itu terlihat dari bentuk rumah, logat bicara, dan terutama babi-babi yang lepas berkeliaran di sekitar rumah dan di sepanjang jalan. Bahkan, Ogay hampir saja menabrak seekor babi dengan sejumlah anaknya yang masih kecil saat kami berdua sudah mendekati belokan menuju pasar. Kebetulan kami memang memilih hari pasar yaitu hari Selasa.

Ingin aku menulis tentang sebuah kampung yang merangkak menuju dunia modern, tetapi pada sisi lain masih memelihara tradisi desa tertinggal dengan pola kehidupan nenek-moyang.

“Itulah sebabnya aku membawamu kemari,” Ogay berargumentasi. “Tanpa melihat dari dekat, kau hanya membuat tulisan dari mimpi.”

“Aku memang tak mau menulis impian,” aku membenarkan Ogay. “Karena itu, aku ikut kau melihat kenyataan.”

Sebenarnya, aku mempunyai pengetahuan yang samar-samar dari Billa, puteri pemilik losmen tempat aku menginap di Tamiang Layang. Kampung ini  agak jauh menjorok ke dalam, mirip sebuah kota pedalaman. Selebihnya adalah sebuah pasar yang hanya ramai seminggu sekali dan kondisi kampung yang dipenuhi para wisatawan domestik jika tiba masanya ada acara ijame atau musim liburan sekolah dan anak-anak remaja akan memasuki gua.

Ketika aku menggali sumber-sumber kisah dari berbagai kalangan di Kampung Patung dan Simpang Bingkuang, ada yang mengatakan bahwa Liang Saragi merupakan gua terindah dan terpanjang di dunia.

“Jika saja di dalamnya dipelihara dengan baik dan dibuatkan penerangan sehingga terlihat stalaktit dan stalakmit, gua itu akan mampu menghasilkan devisa,” ujar kepala desa. “Panjang liang dunia itu sungguh menakjubkan. Kata orang sampai ratusan kilometer, bahkan mencapai Kota Tanjung di Kabupaten Tabalong.”

“Tapi, siapa yang pernah masuk ke sana? Melihat  keindahan yang tak bertara?” seorang anak muda yang tampak cukup kritis berkata dari atas motor ojeknya. “Kita semua hanya mendengar cerita. Tak ada yang berani  membuktikan!”

“Kau sendiri tak berani,” seorang anak muda lain menjawab. “Bagaimana kita tahu keadaan sebenarnya kalau hanya menduga-duga?”

“Cobalah kau yang meneliti,” lelaki pengojek lainnya menimpali. “Mudah-mudahan kau akan menemukan harta atau ular siluman.”

“Kau kok malah menakut-nakuti,” lelaki yang lebih kurus  berkata bagaikan pokrol bambu. “Kata orang, di zaman Jepang banyak sekali intan permata milik rakyat yang disembunyikan di dalam gua itu.”

“Nah, bukankah itu harta karun?” kepala desa membesarkan nyali warganya. “Kalian bisa minta jaminan keamanan kepada aparat untuk meneliti liang penghasil devisa. Coba, ajukan proposal …”

Para tukang ojek saling pandang. Mungkin kata proposal dianggap aneh. Apa pula maksudnya? Suatu surat lamaran? Pemberitahuan akan melakukan kerja untuk negara? Atau, suatu permintaan untuk mengelola harta masyarakat?

Kudapat cukup bekal untuk melihat kenyataan sebuah gua yang memberi kegirangan bagi pengunjungnya karena indahnya panorama bawah tanah. Jika Billa hanya memberikan bahan samar-samar, para pengojek menambah dengan sejumlah cerita yang mengundang keingintahuan. Tapi, masih bisa kusauk data-data terjadinya gua dan keindahannya serta data-data sejarah dari pihak parawisata. Bukankah mereka sangat berkepentingan dengan gua sebagi sumber pendapatan pemerintah daerah?

Dengan Ogay, aku jakin dapat membuat perjalanan jadi menyenangkan. Kami sudah siapkan peralatan khusus untuk sebuah gua. Dari penuturan kawanku, Danu, yang sering masuk di gua walet Karang Bolong, kutahu banyak mengenai benda-benda penting untuk seseorang pengarung gua. Bukankah berjalan di bawah tanah kadang menemukan bahaya tak terduga. Bukan saja mungkin menemukan ular berbisa, tapi juga disergap gas beracun yang mematikan. Belum lagi bahaya longsor, kejatuhan batu-batu yang licin, atau tercebur ke dalam telaga yang dingin seperti es. Bisa juga ditemukan sumber air panas yang mendidih dan bisa membuat pengarung terebus bagaikan ayam yang matang di kuali para penjual ayam potong di pasar tradisional.

Hayaping dan Liang Saragi membuat aku dan Ogay lebih menyiapkan mental. Jika hanya ingin berbelanja barang-barang di pasar Selasa, kami berdua tidak perlu membawa perlengkapan yang memadai.  Soto Banjar yang  enak dapat menjadi pengganjal perut dan goreng pisang khas Pasar Hayaping tentu saja bisa menggoyang lidah. Akan tetapi, kami berdua bukan hanya akan melihat keramaian pasar. Kami lebih memfokuskan diri untuk masuk ke dalam gua yang terkenal dengan segala legenda.

Aku sendiri tidak yakin dengan dongeng. Bukankah dongeng adalah cerita rekaan yang diciptakan seorang ahli sastra tradisional yang biasa mengucapkannya secara lisan? Akan tetapi, aku juga tidak bisa menghapus keyakinan masyarakat sehingga tercipta sebuah mitos mengenai kawasan tertentu. Gua Saragi yang diyakini masyarakat sebagai penjelmaan dari suatu peristiwa, harus pula disiasati dengan cerdas bahwa legenda yang ada pasti ada hubungannya dengan kehadiran masyarakat yang mendukung cerita tersebut.

Menurut beberapa informasi yang aku dapatkan dari masyarakat Hayaping, gua itu bukanlah gua yang angker. Belum ada catatan resmi bahwa gua itu menyimpan gas yang menjadi alat pembunuh.  Tidak juga pernah terjadi kematian karena dipatuk ular berbisa. Bahkan, di zaman Jepang, di mana sering terjadi gua-gua dan lubang bawah tanah diceritakan menjadi lubang maut, tidak pernah dikisahkan oleh masyarakat  yang mengalami zaman itu. Gua Saragi benar-benar merupakan obyek wisata yang paling aman di dunia.

Tak kuragu untuk  masuk ke dalam gua. Ogay yang tiba-tiba jadi begitu antusias menemaniku, seperti melupakan tugasnya yang harus segera pulang ke Jakarta karena masa peliputannya di Tumbang Samba sudah selesai. Bahkan berita-berita menyedihkan dari Sampit dan Palangka Raya telah pula direkamnya dan menjadi berita bersambung yang dimuat media tempatnya bekerja.

Tiga jam sudah kami berdua berjalan di lubang gua yang gelap dan pengap. Bagiku sendiri, pengalaman ini adalah pengalaman pertama menyusup di dalam terowongan alami di perut bumi. Aku memang pernah memasuki terowongan kereta api bawah tanah yang disebut metro di Paris. Pernah juga memasuki lekuk dan liku kereta di dalam terowongan di Tokyo. Akan tetapi, gua yang kumasuki ini bukanlah gua yang dibuat manusia. Batu-batu yang menjadi bagian gua alam itu memang indah. Tak ada tangan manusia yang menatanya. Kepengapan yang menandai  kelembapan karena berada pada suatu kedalaman bumi, menciptakan sirkulasi udara yang berbeda jika dibandingkan dengan udara di padang terbuka. Masker dan oksigen yang kami bawa sungguh membantu sebagai penguat keyakinan bahwa kami tidak akan terbencana karena terhirup udara busuk atau gas beracun yang dapat menghilangkan nyawa.

Gerakan kelelawar atau walet kadang membuat kejutan. Akan tetapi, apa yang kemudian teronggok di depan kami terasa lebih dari kejutan. Ketika dua lensa senter kami arahkan ke benda-benda yang ada di depan, mata kami jadi terbelalak. Suatu yang tak pernah terbayangkan, justru benar-benar  menjadi kenyataan.

***

Upacara penghargaan itu berlangsung dengan meriah. Aku dan Ogay bolak-balik Jakarta-Tokyo karena penemuan di Gua Saragi. Kami berdua diberikan penghargaan karena menemukan rangka Jenderal Takashi Imamura yang harakiri di Gua Saragi pada akhir Perang Dunia Dua. Tapi, saat upacara sedang berada di puncaknya, kala diadakan di Hayaping, kami dikejutkan oleh datangnya teriakan dari seorang wanita tua yang compang-camping.

“Hentikan pemberian hadiah itu. Hentikan!” suaranya dalam teriakan yang serak. “Rangka itu rangka suami saya. Rangka itu bukan rangka Imanura. Rangka itu rangka suami saya karena kekejaman Jepang !”

Acara hampir saja mulur dan kacau kalau pihak keamanan tidak cepat turun tangan untuk mengamankan wanita tua compang-camping. Apa benar rangka itu suami wanita compang? Bukankah sudah dites forensik di laboratorium canggih milik pemerintah negara adikuasa di Asia? Tapi, bukankah jutaan orang Indonesia pernah hilang selama Perang Dunia Kedua? Dan, di dalamnya Jepang dan Belanda harus bertanggung jawab karena mereka yang menciptakan perang di bumi Nusantara?

“Batalkan pemberian hadiah!” teriak wanita itu. “Batalkan pemberian hadiah! Berikan hadiah kepada ahli waris mereka yang telah menjadi korban perang. Berikan hadiah untuk para wanita yang dijadikan jugun ianfu. Berikan hadiah kepada anak cucu korban Perang Dunia Kedua! Tuan-Tuan, jangan menggelar ketidakadilan dengan cara seolah-olah adil!”

Kurasa berjuta mata arwah memandang tajam bagaikan pisau silet melihat ke arah bungkusan hadiah yang diberikan kepadaku dan Ogay. Bukankah kami hanya iseng, tapi menemukan hadiah yang jumlahnya luar biasa. Siapa yang memberikan hadiah untuk mereka yang menjadi korban kekerasan  perang dan kekejaman nafsu manusia?

Ludah tak tertelan di tenggorokanku saat tanganku menyambut bungkusan hadiah yang tampak begitu mewah! Cukupkah nilainya untuk dibagikan kepada seluruh korban?

Sentawar, 27 Juni 2001

Catatan:

Ijame = upacara penguburan abu tulang belulang anggota keluarga

Jugun ianfu = memiliki arti “wanita penghibur para tentara”. Sebenarnya sebutan untuk para wanita penghibur dalam beberapa dokumen resmi tentara Jepang adalah Teishintai, berarti barisan sukarela penyumbang tubuh. Sebagian besar para Jugun Ianfu bukan wanita yang bersedia menghibur tentara Jepang secara sukarela. …  Proses perekrutan Jugun Ianfu di wilayah Indonesia dilakukan dengan melibatkan perangkat pemerintahan bentukan pemerintah militer Jepang, mulai dari kepala desa hingga ketua tonarigumi dilibatkan dan diwajibkan untuk merekrut perempuan muda dengan dalih program pengerahan tenaga kerja (Oktorino, 2016: 262). ( https://esi.kemdikbud.go.id/wiki/Jugun_Ianfu)


Dr. Hilmar Farid:

“Sakula Budaya Membuka Jalan bagi Anak-Anak Mengenal Lebih Dekat Kebudayaan”

Sambutan pada Acara Tamat Sakula Budaya Handep Hapakat, Desa Sumur Mas, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, 2 Maret 2024

Hilmar Farid (keempat dari kanan) menghadiri pembukaan Kemah Budaya Nasional (KBN) Tahun 2017 bertema “Harmoni dalam Kebinekaan di Bumi Tambun Bungai, Bumi Pancasila” di Palangka Raya, 17-22 Juli 2017. (Andriani SJ Kusni)

Salam budaya,

Pertama-tama, saya ingin mengucapkan selamat atas berlangsungnya kegiatan Sakula Budaya Handep Hapakat di Desa Sumur Mas, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah.

Saya sudah mendengar banyak cerita tentang kegiatan ini, tapi suatu waktu ingin menyaksikan sendiri dan berinteraksi dengan para penyelenggara maupun peserta kegiatan ini. Semoga diberi jalan pada suatu waktu.

Selaku Direktur Jenderal Kebudayaan yang bertugas melaksanakan amanat konstitusi untuk memajukan kebudayaan, saya tentu menyambut baik Sakula Budaya ini sebagai sebuah tonggak penting. Sakula Budaya ini membuka jalan bagi anak-anak kita untuk mengenal lebih dekat kebudayaan mereka, bukan hanya yang terkait kesenian, tapi juga yang berkaitan dengan kebiasaan hidup kita, seperti sandang dan pangan.

Saya secara khusus ingin menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada para pemrakarsa Sakula Budaya, serta semua pihak yang telah mengambil bagian, mulai dari komunitas kesenian, pemangku adat desa, pemerintah desa, dan rekan-rekan di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata baik dari Provinsi Kalimantan Tengah maupun Kabupaten Gunung Mas, yang telah bergotong-royong mewujudkan kegiatan ini dan juga mengawal agar terus bisa berlanjut di masa mendatang.

Sakula Budaya ini juga sejalan dengan semangat Program Merdeka Belajar yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dalam program ini, para penyelenggara pendidikan dan peserta didik bersama-sama menggali sumber belajar dari kebudayaan setempat. Proses belajar-mengajar pun menjadi lebih intim, lebih menyenangkan, dan berakar dalam kebudayaan.

Sekian sambutan ini saya sampaikan, atas perhatian dan partisipasinya, saya ucapkan terima kasih.

Salam budaya.

Hilmar Farid

Direktur Jenderal Kebudayaan

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 17 Maret 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 4 Februari 2024 | Catatan Kebudayaan Andriani SJ Kusni: ANGKATAN BINGUNG DAN INSTAN

Sapundu Tingang

Tari Ajai Besar yang ditampilkan dalam acara Festival Budaya Dayak Kenyah pada 18-20 Juni 2018 di halaman Lamin Adat Pemung Tawai Kelurahan Budaya Pampang, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Kancet_Papatai#/media/Berkas:Tari_Ajai_Besar.JPG

Bahasa adalah lumbung khazanah budaya suatu etnik. Punahnya sebuah bahasa berarti lumbung khazanah budaya itu pun lenyap pula. Kemudian, etnik dan atau bangsa itu pun menjadi etnik dan atau bangsa yang sudah lain dari dirinya semula. Punah tidaknya suatu bahasa, faktor utama penentunya adalah terletak pada para penuturnya.

Di kalangan masyarakat Dayak Kalimantan Tengah (Kalteng) sekarang, menurut Kusni Sulang, mulai dari kota hingga daerah perdesaan yang luas, nampak gejala bunuh diri budaya. Keluarga-keluarga inti Dayak, makin kurang menggunakan bahasa Dayak sebagai alat berkomunikasi mereka. Yang digunakan adalah Bahasa Indonesia dan atau Bahasa Banjar. Anak-anak dari angkatan muda yang sekarang disebut Angkatan Milenial, berbicara sesama mereka dengan lancar dalam Bahasa Banjar dan atau Bahasa Indonesia, bukan dalam Bahasa Dayak.

Sastra berkaitan langsung dengan bahasa. Ketika bahasa itu punah, kepunahan ini pun akan diikuti oleh kepunahan sastranya. Gejala bunuh diri budaya di kalangan masyarakat Dayak Kalteng ini jika berlanjut maka bukan tidak mungkin bahasa-bahasa Dayak, termasuk Bahasa Dayak Ngaju yang merupakan lingua franca di kalangan etnik-etnik Dayak Kalteng, cepat-lambat akan punah, lalu disusul oleh sastranya. Warga Dayak kemudian mengungkapkan diri mereka dalam bahasa baru, entah itu Bahasa Indonesia ataukah Bahasa Banjar.

Keadaan begini, barangkali ada kaitannya dengan kurang kuatnya pertahanan budaya Orang Dayak, sebagai salah satu hasil dari agresi kebudayaan seperti politik desivilisasi ’ragi usang’ yang dilakukan oleh kolonialis Belanda dan berlangsung berabad-abad, yang menyisakan sampai sekarang kompleks rendah diri menjadi Dayak.

Apakah memang demikian rendah, demikian tak pantasnya nilai-nilai yang terdapat dalam budaya Dayak itu bagi terwujudnya masyarakat manusiawi, upaya penelitian sungguh-sungguh pun kurang diperlihatkan.

Di antara sekitar 30-an lembaga pendidikan tinggai di Kalteng, cuma Universitas PGRI saja yang mempunyai prodi sejarah dan tak satu pun yang mempunyai jurusan antropologi. Tanpa penelitian dan kajian sungguh-sungguh, pembicaraan dan segala diskusi kurang-lebih akan berangkat dari asumsi ‘katanya’ dan ‘kira-kira’ – budaya yang hari ini nampaknya dominan di kalangan generasi muda dan satu dua angkatan di atasmya. Jalan pintas atau instanisme lebih banyak dipilih daripada kesukaan berpikir. Akibatnya, bentuk luar dipandang sebagai hakekat, sebagai  nilai dasar budaya. Dengan demikian, keterasingan pada diri sendiri pun kian menjadi-jadi dan tidak disadari. Sejarah tidak akan menjelaskan apa-apa tentang hari ini dan menjadi suluh perjalanan ke depan lebih jauh. Membuntuti keadaan seperti itu, muncullah dengan pongah kebingungan dan ketidaktahuan bagaimana maju melesat, bagaimana keluar dari permasalahan yang membelit, sekalipun antara sadar dan tidak, mengetahui diri dalam keadaan terpuruk. Angkatan Bingung yang rentan hilang pun lahir.

Di tengah keadaan demikian, tiba-tiba muncul sosok seorang perempuan muda Dayak dengan perrtanyaan: Éwéh Ikau? (Siapa Dirimu? Secara harafiah: Siapa Kau), pertanyaan dalam bentuk sajak dalam dua bahasa: Dayak Ngaju dan Indonesia, seperti mau menyentak semua, terutama orang seangkatannya sesama Dayak, yang lengkapnya sajak tersebut di bawah ini.

Sosok perempuan muda Dayak itu bernama Swary Utami Dewi, biasa disapa Tami, keponakan A. F. Nahan alm., penulis yang sangat berjasa dan belum tergantikan dalam mengangkat ulang cerita-cerita rakyat Dayak, dengan ketekunan luar biasa, lebih-lebih pada saat ia bekerja di bawah pimpinan Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Kalimantan Tengah, Kiwok Rampai. Atas jasanya, sangat pada tempatnya jika almarhum dihargai Anugerah Kebudayaan apa pun namanya.

Menurut biodata yang tertera dalam buku Idealisme & Kearifan Arief Budiman yang dia edit bersama Syaefudin Simon (Global  Express Media. Jakarta 2020, xviii+416 hlm), selain penulis artikel, cerita pendek dan  puisi, Tami juga adalah konsultan dan pegiat  pada isu perhutanan sosial, perubahan iklim, kehutanan multi-pihak, pemberdayaan dan gender. Ia pernah mengikuti program doktoral di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, menyelesaikan program master di Monash University, Australia, serta  Jurusan Kriminologi, S1 Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu  Politik UI dan D-3 Sastra Perancis UI. Dengan latar pendidikan demikian, Tami selain menguasai bahasa-bahasa asing Inggris dan sedikit Perancis, ia juga fasih berbahasa daerah Jambi, Palembang, Melayu, Dayak Ngaju, Banjar dan Bakumpai.

Pengalaman kerjanya? Tami pernah bekerja,baik sebagai koordinator maupun manejer program untuk berbagai program nasional dan internasional; menjadi staf ahli di Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia dan  menjadi Tim Ahli Menteri Pertanian Republik Indonesia sampai 2019.  Pada Oktober 2019, menjadi panelis ahli di Kantor PBB di Jenewa, Swiss. Singkatnya, Tami adalah seorang perempuan Dayak Ngaju terdidik yang mempunyai pengalaman kerja nasional dan internasional. Karena itu, ia sering tampil sebagai moderator dalam pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh nasional.

Secara tak terduga, dua minggu lalu, Tami mengirimkan sebuah sajak  yang ia tulis dalam dua bahasa: Bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa Indonesia berjudul “Siapa Kau”. Saya menerimanya dari Kusni Sulang.

Sajak ini menarik perhatian saya karena dua hal. Pertama, karena isinya yang merupakan suatu renungan serius mengenai apa-siapa dirinya. Melalui renungan itu, dengan menasehati dirinya sendiri, Tami sekaligus mengkritik orang-orang yang lupa dan tidak gubris akan daerah dan etnik asalnya setelah ia mencapai hasil dan kualitas tertentu di daerah luar kampung kelahirannya. Bahkan, tidak jarang malu mengaku dirinya seorang Dayak. Sikap begini menjadi penting bagi masyarakat Dayak Kalimantan Tengah hari ini, di mana berlangsung tidak kurang jumlahnya orang Dayak yang mengkhianati Dayak dengan 1001 cara, tidak peduli nasib Dayak tapi di mulut menyebut diri Dayak, padahal yang terjadi, Dayak dijadikan sebagai komoditas. Sumber daya manusia Dayak yang berkualitas bagi Tami merupakan salah satu prasyarat membuat Utus Bermartabat, bukan untuk bersombong, apalagi bersombong di tengah keterpurukan Utus. Berapa banyak gerangan angkatan milenial Dayak terdidik yang suka dan mau berpikir lalu bersikap seperti Tami dewasa ini? Barangkali bukanlah kebetulan pula, bila Wakil Sekretaris Jenderal Satupena, sebuah organisasi para penulis Indonesia, tidak mencantumkan gelar akademi yang ia peroleh di depan atau di belakang namanya.

Hal kedua yang menarik dari sajak Tami yang ia kirimkan secara khusus untuk Rubrik Kebudayaan Radar Sampit ini adalah ia membuatnya dalam dua bahasa, yaitu Bahasa Dayak Ngaju dan Bahasa Indonesia. Sejauh ini, sangat jarang seorang penulis Dayak menulis dalam Bahasa Dayak. Yang umum terjadi adalah penulis Dayak berbicara tentang Dayak dan permasalahannya dalam Bahasa Indonesia, karya-karya yang saya anggap tidak bisa dikategorikan sebagai sastra Dayak. Sastra Dayak adalah sastra yang menggunakan Bahasa Dayak. Keberadaan sastra Dayak bisa berlanjut karena sastra lisan, karungut, deder dan karya-karya yang menggunakan Bahasa Dayak yang umumnya diciptakan oleh kalangan masyarakat di akar rumput. Karya-karya ini sangat jarang diterbitkan sebagai sebuah buku tapi lebih banyak terbit dalam bentuk kaset. Pembahasannya pun hampir tidak pernah dilakukan, selain karena tidak adanya media cetak yang memberi ruang untuk hal demikian, juga boleh jadi karena tiadanya kritikus sehingga apresiasi sastra berjalan di tempat untuk tidak mengatakan tidak berkembang. Kecuali itu, tentu faktor-faktor nonsastra yang menekan tidak bisa ditiadakan dari tidak berkembangnya apresiasi sastra Dayak. Kemudian, kritik di daerah ini dipandang sebagai hujatan, dianggap sebagai meludah muka seseorang di depan umum.

Karena itu, hadirnya Tami dengan sajak dua bahasa, menjadi berarti dilihat dari upaya memelihara dan mengembangkan sastra Dayak; sedangkan penerjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia, akan memungkinkan pembacanya bertambah luas. Dengan karya dua bahasa begini, kita bisa mengembangkan sastra daerah dan sastra Indonesia sekaligus. Walaupun, besaran ruang Rubrik Kebudayaan Harian Radar Sampit ini sangat terbatas, tapi ia bisa digunakan untuk tujuan tersebut.

Upaya yang dilakukan oleh Tami ini, sekalipun ia telah melanglang buana ke berbagai penjuru mata angin tapi tetap fasih berbahasa Dayak Ngaju, saya kira patut dikembangkan oleh para penulis Dayak jika Orang Dayak ingin sastra Dayak Ngaju terhindar dari kepunahan tapi terus berkembang. Upaya ini pun kian nampak pentingnya dihadapan kian maraknya gejala bunuh diri budaya di masyarakat Dayak Kalteng, yang jika berkembang terus, akan membuat Dayak hanyalah sebuah predikat kosong.

Bersastra adalah suatu kegiatan estetis dan berpikir sehingga kiranya tidak salah bila mengatakan bahwa bersastra adalah salah satu cara menangani masalah lahirnya angkatan bingung dan instan yang menempatkan kegiatan berpikir di daerah pinggiran kehidupan yang pelik.

Kebingungan dan instanisme hanya membuat Dayak tetap berada di dasar lubuk marjinalisasi. Sederet panjang gelar akademi menyertai nama, akhirnya tidak jauh berbeda dari papan reklame suatu komoditas apalagi jika pendidikan adalah barang dagangan juga.***


Sajak Swary Utami Dewi*
ÉWÉH IKAU



Éwéh ikau
Dumah ka léwu
Dia taú ikau mahaga utus

Éwéh ikau
Ji balua hung hétuh
Indum ji manak ikau
Inampam mahamen uluh itah

Éwéh ikau
Ji diá katawan tambi buem
Pahari biti', mina mama

Puji ikau maingat arep
Tégé ikau manampayah atei léwu
Cangkah ikau dumah bara ngawa'
Sakula gantung, malihi lewu

Éwéh ikau nah...
Ji diá maingat asal bélum ayum
Mahamen mangaku uluh itah

Éwéh ikau
Ji diá bingat asal utus uluh itah


SIAPA KAU
(Swary Utami Dewi)



Siapa kau
Datang kembali ke kampung ini
Tidak bisa kau jaga (marwah) leluhur

Siapa kau
Yang keluar (lahir) di sini
Dari ibu yang melahirkanmu
(Namun) kau buat malu suku bangsa kita

Siapa kau
Yang tak (lagi) mengenal moyangmu, saudaramu, paman bibimu

Pernahkah kau mawas diri
Pernah kau mengingat esensi kampung asalmu
Congkak lagakmu datang dari sana
(Sesudah) menapak ilmu tinggi, meninggalkan desa

Siapakah engkau
Yang tidak mengingat asal-usulmu
Yang malu mengaku orang kita (Ngaju)

Siapa kau
Yang tidak lagi mengingat asal leluhurmu

*Swary Utami Dewi, dipanggil Tami, adalah Wakil Sekretaris Jenderal Satupena sejak Agustus 2021. Tami mengedit beberapa buku, termasuk tentang perhutanan sosial, Arief Budiman, Azyumardi Azra dan Buya Ahmad Syafii Maarif. Tami, yang asli Dayak Ngaju, masih aktif menulis artikel, cerita pendek dan puisi, serta sedang menyiapkan beberapa buku.


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 4 Februari 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 7 Januari 2024 | Catatan Andriani SJ Kusni: SEPERTI DIKETEPIKAN

Radar Sampit, Minggu, 7 Januari 2024

Antologi Puisi Indonesia, terbitan Yayasan Lontar Jakarta, 2017

John H. McGlynn, Ketua Redaksi penyusunan Antologi Puisi Indonesia. Kumpulan Pilihan Yayasan Lontar. Penerjemah lebih 200 buku sastra Indonesia ke bahasa Inggris sesuai motto Yayasan Lontar “Promoting Indonesia through Literature and Culture”. Foto: https://www.indoindians.com/john-h-mcglynn-sharing-indonesian-literature-worldwide/

Sekitar enam-tujuh tahun lalu, tepatnya pada tahun 2016 dan 2017, telah terbit dua antologi puisi Indonesia. Dalam sejarah perpuisian Indonesia, sebelumnya tidak pernah diterbitkan bunga rampai puisi setebal dua buku ini, demikian juga jumlah penyair yang disertakan.

Antologi pertama berjudul Matahari Cinta Samudera Kata, diterbitkan pada tahun 2016 oleh Yayasan Hari Puisi dan Yayasan Sagang, Pekan Baru, diselenggarakan oleh penyair asal Riau, Rida K.  Liamsi. Antologi puisi ini melibatkan 216 penyair dari usia 14-80 tahun, diterbitkan sebagai “bagian dari memeriahkan peringatan Hari Puisi Indonesia” dan diluncurkan pada 12 Oktober 2016 di Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Kiranyalitera.co.id  tidak salah jika mengatakan bahwa antologi puisi Matahari Cinta Samudera Kata merupakan buku puisi tertebal di Indonesia hingga hari ini karena ketebalan buku berukuran 24 cm ini mencapai2016 halaman untuk puisi biodata penyair, ditambah dengan  40 halaman romawi kecil dari halaman sampul, Catatan Penyelenggara, dan Kata Pembuka (https://www.litera.co.id/2016/09/25/matahari-cinta-samudra-kata-buku-puisi-tertebal-di-indonesia/).

Sayangnya, saya belum memiliki antologi ini. Informasi yang saya dapatkan sangat tidak memadai karena sebatas keterangan dari  SerambiNews.co,  aceh.tribunnews.com, litera.co.id, sejumlah blog, sehingga saya tidak bisa berbicara banyak mengenai antologi puisi tertebal ini.

Dari sumber-sumber tersebut, saya dapatkan daftar nama 216 penyair  yang karya-karya mereka dimuat dalam antologi. Tapi, keterangan-keterangan ini pun masih tidak menjawab keseluruhan apa yang saya cari. Dari daftar nama tersebut, saya dapatkan mayoritas penyair berada pada tingkat usia yang tidak jauh berbeda. Artinya mayoritas mereka adalah penyair seangkatan. Walaupun ada yang berusia 80 tahun, ada pula yang baru 14 tahun. Dalam perbandingan, perbedaan mencolok ini tentu saja jumlahnya tidak akan besar, sebab jika jumlah usia 14an tahun ini cukup banyak, barangkali akan mempengaruhi kriteria pemilihan apa yang akan dimasukkan ke dalam antologi. Sekalipun tidak besar, adanya perbedaan usia yang mencolok ini menimbulkan pertanyaan tentang kriteria pemilihan karya oleh redaksi antologi tertebal ini—suatu jerih-payah yang perlu dihargai.

Pada tahun 2017, antologi puisi penting lainnya berjudul Antologi Puisi Indonesia. Kumpulan Pilihan Yayasan Lontar. Melacak Sejarah Bangsa Indonesia Abad Ke-20 Melalui Puisi (selanjutnya disingkat Antologi Puisi Lontar) diterbitkan oleh Yayasan Lontar Nusantara atas bantuan Henry Luce Foundation. Antologi setebal v-xxix+796 halaman ini, memuat 460 puisi karya 240 penyair Indonesia dari berbagai angkatan dan aliran pandangan serta berbagai daerah sejak tahun 1920-2000. Walaupun antologi puisi pilihan Yayasan Lontar ini tidak setebal Matahari Cinta Samudera Kata, tapi jumlah penyair yang ditampilkan jauh lebih banyak.

Untuk penyusunan Antologi Puisi Lontardibentuk sebuah tim terdiri dari Dewan Redaksi, Redaksi Tamu, Penasihat, Manajer Redaksi, Asisten Redaksi, Sampul dan Perwajahan, dan Tata Letak. Dewan Redaksi terdiri dari John H. McGlynn (Ketua), Dorothea Rosa Herliani, dan Debra Cole. Redaksi Tamu: Agus R. Sardjono, Eka Budianta, Joko Pinurbo, Radhar Panca Dahana. Dan yang menarik, dalam Tim Penasihat tertera nama Rida K. Liamsi, penyelenggara antologi puisi Indonesia tertebal hari ini,  Matahari Cinta Samudera Kata—barangkali bentuk upaya Yayasan Lontar untuk menarik pengalaman dari Rida, bagaimana menyusun sebuah antologi puisi yang bermutu.

Tentang kriteria pemuatan puisi dalam Antologi Puisi Lontarini, oleh John McGlynn dijelaskan melalui Pengantar Penerbit, sebagai berikut: “Adapun puisi-puisi yang dimasukkan dalam buku kumpulan ini, selain didasarkan pada prestasi mereka di bidang kesusasteraan atau kepenyairan, juga dipilih atas dasar kemampuan karya tersebut dalam memberikan sumbangan pada berbagai topik yang mewakili keragaman pengalaman dalam perjalanan sejarah Indonesia sebagai bangsa selama abad kedua puluh, lepas dari apakah penyair tersebut sudah terkenal atu sudah diterima masyarakat luas atau belum.”

Berangkat dari kriteria tersebut, memang “keragaman pengalaman dalam perjalanan sejarah Indonesia sebagai bangsa selama abad kedua puluh” relatif tercermin dalam Antologi Puisi Lontar ini, walaupun sajak-sajak yang dipilih barangkali bukan puisi yang terbaik dari penulis tersebut.

Saya anggap, walaupun kriteria ini sesungguhnya bukan sesuatu yang baru, tetapi ketika pada hari ini ia dilaksanakan maka hal demikian merupakan suatu contoh bagaimana melaksanakan prinsip yang sering diucapkan tapi sering jauh dari perwujudan. Lebih jauh, saya ingin menyebutnya sebagai suatu terobosan maju. Bagaimana menjadikan kata-kata adalah terjemahan dari perbuatan dan tindakan adalah ungkapan dari kata-kata yang membuat kata-kata tidak kehilangan makna. Hal begini menjadi penting di negeri  yang cenderung menghilangkan makna bahasa sehingga muncul keadaan orang-orang yang bisa berkata-kata tapi tidak bisa berbahasa.

Hal lain yang menarik dari Antologi Puisi Lontar adalah pendekatannya.

Tim penyusun antologi membaca puisi dengan pendekatan sejarah sebagaimana tercermin dari sub judul “Melacak Sejarah Bangsa Indonesia Abad Ke-20 Melalui Puisi”. Kalau bukan sesuatu yang baru untuk negeri ini, pendekatan begini paling tidak jarang dilakukan. Yang banyak dilakukan adalah membahas puisi dari segi teknis perpuisian—walaupun puitisitas bagi penyair memang penting. Antologi Puisi Lontar memperlihatkan dengan jelas bahwa pemikiran-pemikiran yang kemudian membimbing gerakan kemerdekaan dan gerakan-gerakan perlawanan atau perjuangan lainnya, pertama-tama muncul dalam sastra, termasuk puisi.

Sebelum masuk ke gerakan politik atau gerakan perjuangan konkret, pergulatan pertama-tama berlangsung di dunia sastra dalam berbagai genre. Revolusi Besar Kebudayaan Proletar di Republik Rakyat Tiongkok dimulai dari debat tentang drama “Hai Jui Dipecat dari Jabatannya”, pemberontakan Hungaria melawan Uni Soviet dimulai dari diskusi sastra di Café Sandor Petöfi, perlawanan terhadap militerisme Jepang di Indonesia juga berlangsung di bidang teater sebagaimana dituangkan oleh Cak Bowo dengan syairnya “pagupon umahe doro/melu Nipon tambah sengsoro” yang berujung dengan dibunuhnya pemain ludruk itu. Contoh lain ditunjukkan oleh Antologi Puisi Lontar melalui antara lain sajak-sajak Hatta, Yamin, dan lain-lain dari periode 1920-2000.

Sejarawan adalah pemburu kebenaran. Demikian pun sastrawan, termasuk penyair. Dalam perburuan, sejarawan tidak mengenal daerah terlarang, apapun resikonya. Di sinilah, saya melihat bertemunya kerja sejarawan dengan sastrawan dan seniman pada umumnya. Dengan menggunakan kriteria pemilihan karya seperti yang dijelaskan oleh John H. McGlynn, saya kira dasar ini, prinsip kerja seniman-sastrawan dan sejarawan, bersesuaian. Kedua-duanya pemburu kebenaran. Antologi Puisi Lontar telah melakukan pendekatan puisi (baca: sastra-seni) yang langka dilakukan di negeri ini, saat kebanyakan asyik berindah-indah, lupa kehidupan yang tak ramah.

Sebagai ilustrasi, di sini saya ingin menceritakan dialog Whatsapp singkat antara Putu Oka Sukanta dengan Kusni Sulang.

Putu mengirimkan sajaknya kepada Kusni dengan keterangan, “Ini sajak eksperimenku”. Kusni menjawab, “Bagus saja kau bereksperimen. Saya tidak ada waktu untuk itu. Keadaaan sehari-hari di lapangan yang berat mendesakku untuk berkata sederhana dan jelas sehingga kalau pun aku bersajak, yang aku pikirkan bagaimana pesan sajakku sampai kepada sasaran. Sederhana itu indah, sekalipun tak gampang karena perlu perenungan dan kedewasaan. Saya tidak ada niat sedikit pun untuk jadi pembaharu dalam puisi. Yang saya inginkan adalah kampungku bermartabat manusiawi. Boleh jadi ini puisi terindah.”

Kalau Joko Pinurbo selaku Redaksi Tamu Antologi Puisi Lontarmengatakan bahwa “the poetry anthology would show the relationship between literature and the country’s history from one period to another” (antologi puisi ini mau memperlihatkan hubungan antara sastra dan sejarah negeri dari satu periode ke periode lain”, (https://www.thejakartapost.com/news/2016/05/09/lontar-to-globally-publish-selected-indonesian-poems-short-stories.html), saya kira maksud demikian kurang-lebih tercapai.

Selanjutnya Joko Pinurbo mengatakan: ”The anthology doesn’t serve as the representation of the best selected poems of Indonesian writers, but it aims to show the diversity of Indonesia through poems” (Antologi ini bukanlah sebagai perwakilan pilihan sajak-sajak terbaik para penulis Indonesia, tapi ingin memperlihatkan keragaman Indonesia melalui puisi).

Tentang keragaman Indonesia ini, saya jadi teringat akan kebijakan H. B. Yassin melalui Majalah Kisah. Yassin secara sadar mengangkat penulis-penulis dari berbagai daerah Indonesia. Saya kira, kebijakan demikian sangat tepat dan perlu diteruskan sehingga bisa berlangsung desentralisasi estetika. Seniscayanya, keberadaan universitas-universitas di setiap provinsi bisa menjadi dasar kelembagaan dan sosial sekaligus bagi desentralisasi estetika ini sehingga dengan demikian sastra-seni kepulauan atau kampung-halaman bisa berkembang sebagai dasar dari sastra-seni Indonesia. Keragaman Indonesia seyogyanya diberikan jalan berkembang, tidak berhenti di kata-kata.

Pada tahun 1985 (dicetak ulang 1995), penyair asal Karo, Tariganu, pernah menerbitkan kumpulan puisi berbentuk degu (bentuk puisi Dayak Taboyan) disertai “Sebuah Catatan Alit” dari M. S. Hutagalung. Dari apa yang dilakukan oleh Tariganu, nampak bahwa sastra suku bangsa bisa menjadi bahan berguna dalam mengembangkan sastra Indonesia. Di masyarakat Dayak, selain degu, masih terdapat bentuk-bentuk puisi lainnya (yang berbeda dengan pantun), misalnya sansana kayau, karunya, mantera, dan lain-lain, tapi belum pernah diperhatikan apalagi diteliti.

Kalau sekarang kita mengenal yang disebut musikalisasi puisi, di Tanah Dayak hal tersebut bukanlah sesuatu yang baru. Di Tanah Dayak, umumnya puisi itu dinyanyikan. Karena itu, saya ingin mengatakan bahwa sastra (di) Indonesia itu sesungguhnya bukan hanya sastra berbahasa Indonesia tetapi juga sastra yang ada dan masih hidup di daerah-daerah. Seberapa jauh pengenalan kita terhadap sastra suku bangsa-suku bangsa di negeri ini? Saya berani mengatakan bahwa sastra etnik tidak kurang puitis dari apa yang diteorikan para sarjana sastra.

Dalam hal ini, apa yang dilakukan oleh Tim Penyusun Antologi Puisi Lontar dengan mengangkat penulis-penulis dari berbagai daerah merupakan suatu kebijakan yang menggembirakan dan sudah sepatutnya.

Puisi-puisi dalam Antologi Puisi Lontar disusun berdasarkan periode-periode. Tiap periode didahului dengan kata pengantar. Barangkali rincian pengantar ini perlu lebih teliti mengenai soal data. Misal, apakah benar Rivai Apin termasuk penyair eksil setelah Tragedi September 1965? Apakah benar Mawie terpaksa tinggal di Beijing?

Sementara, mengenai substansi Pengantar, tentu saja bisa diperdebatkan, tapi rubrik ini tidak memadai untuk melakukannya. Barangkali karena banyaknya persoalan yang bisa dibicarakan dalam Antologi Puisi Lontar, buku penting dan patut dihargai ini, apakah karena itu maka baik terhadap Matahari Cinta Samudera Kata maupun atas Antologi Puisi Lontar,saya belum mendapatkan adanya ulasan atau resensi menyeluruh sehingga terkesan kedua antologi, lebih-lebih terhadap Antologi Puisi Lontar dengan pendekatan sejarahnya, seperti diketepikan oleh para kritikus dan peminat sastra.

Kalau terhadap soal kepeloporan dalam puisi esai, Remy Sylado, Acep Syahril dan Abda Imran bisa membahasnya dalam sebuah buku berjudul Skandal Sastra Undercover (2019) setebal 333 halaman, bukan mustahil pembahasan serius tentang Antologi Puisi Lontar berupa sebuah buku dengan pendekatan multi-disipliner dapat dilakukan.[]


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 24 Desember 2023. Redaktur Heru Prayitno, Penata Letak Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 22 Oktober 2023 | Cerpen Andriani SJ Kusni JEMBATAN RT 2

RT 2 adalah salah satu dari lima RT di Kampung Darung Bawan, nama seorang tokoh legendaris dalam cerita rakyat Daerah Aliran Sungai Katingan. Penamaan demikian bukanlah kebetulan karena mayoritas warganya berasal dari Katingan. Saya belum menelusuri musabab mengapa banyak Uluh Katingan memilih bertempat tinggal di RT ini sehingga bahasa pergaulan yang digunakan di RT ini pun otomatis adalah Bahasa Katingan, bukan Bahasa Indonesia dan Bahasa Ngaju. Sikap Uluh Katingan yang demikian sesuai dengan amanat Sumpah Pemuda 1928 yang menyebutkan bukan berbahasa satu yaitu Bahasa Indonesia, tapi “Menjunjung Bahasa Nasional, Bahasa Indonesia”. Dengan ‘menjunjung’ maka Bahasa Daerah tidak ditelan oleh Bahasa Nasional. Nasionalisme tidak berarti melenyapkan kebhinnekaan.

Dibandingkan dengan RT-RT lain, penduduk RT 2 ini berjumlah paling banyak sehingga administrasi publik di tingkat lebih tinggi, suka tidak suka niscaya memperhitungkan mereka ditambah lagi oleh watak Katingan mereka yang gampang bertindak ekstrim jika merasakan ketidakadilan sedang berlangsung dan mendekati garis batas.

RT 2 dikitari oleh parit-parit besar sehingga kalau hujan deras, berapa lama dan sederas apa pun, RT 2 tidak pernah terancam banjir seperti tidak sedikit RT-RT lain yang umumnya dibangun di atas lahan gambut. Di bagian belakang mengalir sebuah anak sungai yang masih jernih dinaungi oleh pepohonan rindang–suatu kekecualian langka di tengah kerusakan alam Kalimantan Tengah yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya oleh penduduk daerah.

Dedaunan yang dahulu tak tertembus matahari, bersamaan dengan invasi besar-besaran para investor, hutan dibabat, matahari pun seperti kuda liar berlari ke segala arah di padang lapang. Sungai yang tadinya jernih, sekarang keruh warna lumpur dan jadi tong sampah besar. Air raksa di dalamnya membinasakan jutaan ikan yang dahulu pada musim bertelur, berenang ke hulu membuat permukaan sungai bergelombang. Anak-anak milenial sekarang tidak bisa membayangkannya dengan alat tercanggih terbaru sekalipun karena teknologi tidak bisa memutar kembali waktu.

Dengan keadaan geografis yang demikian, jembatan-jembatan dari kayu besi atau dari kayu biasa lebih besar dari badan mobil, banyak dibangun agar bisa memasuki RT 2. Kampung dikelilingi air mengingatkan saya akan bangunan kuta-kuta, kampung-benteng Dayak zaman dahulu dalam upaya menghadapi serangan dari luar.

Ulin pun bahan utamanya, ulin tetap kayu yang tidak mampu melawan kuasa waktu dan hukum gerak abadi yang mampu merapuhkan segala. Dua jembatan utama masuk RT menampakkan tanda-tanda kerusakannya. Politik dana bantuan Inpres telah melenyapkan budaya harubuh dalam menanggulangi persoalan-persoalan bersama. Jembatan utama dibiarkan tak diurus sehingga makin gampang matahari, air curahan langit dan waktu memperparah kondisi jembatan yang terus menua. Gelontoran bantuan dana dari para ‘dewa pemegang kuasa’ seperti Godot yang ditunggu-tunggu, tak juga kunjung tiba.

Pada saat pemilu, RT 2 dengan jumlah penduduknya yang banyak, menjadi RT yang selalu ramai dikunjungi para kandidat, entah itu mereka yang merindukan kedudukan di Badan Legislatif atau menjadi orang pertama atau kedua tertinggi di kota. Para pengunjung ini dengan gaya ‘bajenta-bajurah’, entah asli atau dibuat-buat, sangat mengincar suara pemilih RT 2. Cuan pun dengan gampang keluar dari kocek.

Warga RT 2 sangat paham perangai para pengunjung istimewa dan musiman ini. Uluh Katingan yang dewasa dengan harga diri yang tinggi memandang dari jauh, menyuruh anak-anak kecil mereka mengerumuni para pengunjung istimewa musiman sambil menunggu remah-remah keluar dari saku celana yang licin disetrika diiringi hamburan senyum lebar. Saat mendapatkan lembaran-lembaran warna hijau atau merah, anak-anak dengan girang melambai-lambaikan kertas tersebut sambil berseru-seru dengan riuh.

“Terima kasih, Bué. Terima kasih, Bué.”

Juru potret para pengunjung istimewa musiman itu sibuk memainkan kamera menangkap suasana untuk kemudian muncul di berbagai media ataupun menjadi latar baliho melukiskan kedekatan mereka dengan masyarakat bawah.

Beberapa tahun lalu, ketika menemani para pengunjung istimewa musiman itu berkeliling kampung, Markoni, Ketua RT 2 dan perangkatnya berkata, “Nanti, kalau Bapak-Ibu terpilih, kami minta dua jembatan utama masuk kampung ini tolong mendapat perhatian agar segera diperbaiki. Dua jembatan yang Bapak-Ibu lihat tadi  sangat penting bagi warga kami.”

 “Pasti, pasti, Pak Markoni. Tak perlu khawatir akan hal itu.”

Dengan suara warga RT 2 yang  tidak sedikit, di antara para pengunjung istimewa musiman itu, ternyata ada yang terpilih, bahkan ada yang menjadi orang pertama kota.

Lima tahun berlalu. Dua jembatan utama masuk ke RT 2 bukan hanya belum diperbaiki, tapi justru makin parah keadaannya. Hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Itu pun dengan penuh kehati-hatian kalau tidak ingin jatuh ke air parit selebar lima meter dengan kedalaman serupa. Untuk masuk ke kampung, mobil dan sepeda motor harus mengambil jalan memutar, masuk  menggunakan jembatan kayu lain yang masih aman berfungsi sebagai jembatan.

Dalam rapat RT 2 dengan perangkat lengkapnya, Markoni yang masih menjabat Ketua RT menanyakan pada para hadirin sidang, “Ini pemilu segera tiba lagi. Seperti pemilu yang lalu, kali ini pun  para pengunjung istimewa musiman itu pasti akan kemari lagi. Kita apakan dua jembatan itu? Apa kita perbaiki bersama-sama agar para pengunjung istimewa musiman itu bisa masuk dengan gampang, tak perlu mengambil jalan memutar? Kas RT masih ada untuk memperbaikinya, apalagi jika dilakukan dengan harubuh?”

Seperti paduan suara, para peserta rapat serentak menjawab marah.

“Bodoh sekali kalau kita memperbaikinya. Biarkan mereka datang. Melalui jalan mana dan bagaimana, bukan urusan kita. Mereka perlu suara kita.”

”Pertimbangkan dengan tenang, bukan dengan rasa marah,” ujar Markoni. ”Kalau mereka datang, kan kita dapat cuan,” tambah Markoni lagi menahan tawa.

“Emang harga diri kita cuma lima puluhan ribu atau ratusan ribu rupiah?” ujar yang lain tetap dengan suara berang.

”Ambil uangnya. Seperempat untuk kas RT, tiga perempat untuk yang menerima, tapi jangan pilih mereka lagi. Jembatan kita hancurkan sebagai tanda kemarahan kita atas pengingkaran janji,” terdengar usul baru dari peserta rapat kampung.

“Suara kita untuk mereka kali ini harus nol. Yang memberikan mereka suara, sama dengan pengkhianat kampung ini,” ujar yang lain lagi.

Setelah berdiskusi panjang lebar, rapat perangkat RT 2 memutuskan dua jembatan utama masuk RT 2 dihancurkan. Bahkan anak-anak beramai-ramai menuju ke arah jembatan. Kurang dari satu jam, dua jembatan utama yang sudah rusak itu hanya tinggal bekasnya saja.

Seperti biasa, dalam rangka kampanye, para pengunjung istimewa musiman itu kembali datang. Perangkat RT dan penduduk dari seberang parit memandang mereka yang berdiri di seberang lain. Mereka saling pandang.

“Bagaimana kami menyeberang?” tanya salah seorang dari para pengunjung istimewa musiman itu.

“Gampang, Pak. Kami bikin jembatan darurat,” ujar salah seorang perangkat RT.

Sesuai rencana, mereka dengan cekatan menbentangkan tiga keping papan dan beberapa batang bambu di sampingnya, sebagai jembatan darurat. Seorang dari perangkat RT itu berjalan di atasnya sebagai bukti bahwa jembatan darurat itu bisa diandalkan.

“Silahkan nyeberang, Bapak-Ibu,” ujarnya ketika berada di samping para para pengunjung istimewa musiman itu.

Setelah berpandangan sebentar dengan anggota rombongannya, salah seorang, nampaknya orang terpenting dari para pengunjung istimewa musiman itu berkata, ”Baik, saya akan menyeberanginya.”

Semua perhatian dan mata tertuju pada lelaki 50-an tahun, berkacamata dan perut sedikit ke depan. Tas hitam di tangan. Ketika sampai di tengah-tengah jembatan darurat itu, ia nampak kehilangan keseimbangan lalu jatuh seperti setangkai dahan patah ke air selokan. Seluruh tubuhnya sempat tak kelihatan. Tas hitam nampak hanyut dibawa arus, dikejar ajudannya, sedangkan kacamata hitamnya tak lagi nampak. Entah di mana. Barangkali di dasar selokan.

Melihat keadaan itu, anak-anak kecil RT 2 tak bisa menahan ketawa bahkan ada yang secara spontan beteriak, “Horeeeee …  ”

Markoni, sambil menahan senyum, hanya berkata kepada bocah-bocah itu, “Husshhh, jangan ngetawain orang.”

Anak-anak itu memandang Markoni sambil menutup mulut dengan kedua tangan kecil mereka. Sempat saya dengar salah seorang bocah berbisik kepada temannya, “Seperti tikus kena perangkap.”

“Husshhh,” ujar temannya sambil mencubit. Keduanya cubit-cubitan tapi tidak bisa mengalihkan perhatian rombongan para pengunjung istimewa musiman itu pada lelaki yang jatuh.

Sejenak mereka nampak berunding.

“Lain kali kami datang lagi,” ujar lelaki yang basah kuyup itu sambil berjalan, tanpa kacamata lagi, menuju kendaraan roda empatnya.

Para pengguna lalu lintas lainnya, berhenti sejenak memperhatikan keadaan yang tak biasa itu. Warga RT melepas para pengunjung istimewa musiman itu dengan pandangan geli. Kendaraan para pengunjung istimewa musiman itu melaju meninggalkan debu disambut lepasnya gelak-bahak seluruh warga RT 2, tak memperdulikan hidup yang lama dipenuhi debu. Langitnya pun kelabu abu.

Saya jadi teringat perangai Ayah mertuaku yang kocak dan berakal. Beliau selalu tertawa, caranya berpikir. Menjadi manusia berakal dan bisa menertawai diri adalah pesannya kepadaku. Almarhum adalah Damang Katingan yang kehadirannya kembali kulihat di RT 2 ini.[]


Alibi Kebhinnekaan?

Oleh: Lidia Kristina* | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Foto: Oki Sobara Sumber: https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Carnaval_baju_daerah.jpg

Indonesia sangat terkenal dengan sebutan negara multikultural. Dengan demikian, banyak suku yang mendiami wilayahnya. Keberadaaan suku-suku ini menjadi tanda pulau yang menjadi tempat mereka tinggal. Salah satu dari sekian banyak suku di tanah air itu adalah Suku Dayak yang berada di Pulau Kalimantan.

Jika mendengar kata ‘suku’ di Kalimantan, pikiran akan segera tertuju pada Suku Dayak, walaupun masih terdapat suku-suku lain. Mengapa? Karena Suku Dayak merupakan suku tertua yang mendiami wilayah ini, jadi Kalimantan tidak akan asing dengan kata “Uluh Itah” yang artinya ‘Orang-Orang Dayak’.

Kalimantan mempunyai begitu banyak keunikan, mulai dari sumber daya alam yang kaya dan menjadi salah satu alasan yang membuat suku-suku lain berimigrasi ke Kalimantan seperti Suku Batak yang berimigrasi dari Pulau Sumatera, Suku Jawa dari Pulau Jawa dan masih banyak lagi sehingga tidak terelakkan pencampuran budaya berlangsung antar mereka.

Nah, pertanyaan selanjutnya: Bagaimana berbagai etnik yang berbeda-beda dengan latar budaya yang berbeda-beda pula,  seniscayanya berinteraksi atau berperilaku satu terhadap yang lain di Pulau Kalimantan?

Dayak sendiri juga memiliki kelompok etnik dan sub-etnik yang bermacam-macam tapi mereka bisa saling menghargai satu sama lain. Sikap menghargai suku-suku lain non-Dayak ini pun telah ditunjukkan oleh Orang Dayak, tapi apakah suku-suku lain non-Dayak itu sudah menghargai Orang Dayak sebagai penduduk lokal lebih awal secara semestinya juga?

Jika menoleh ke belakang, terutama ke Tragedi Sampit pada tahun 2000 di mana perseteruan berdarah antara Suku Dayak dengan Suku Madura terjadi yang  memakan korban jiwa cukup banyak dan harta-benda yang tidak kecil: Mengapa hal ini bisa terjadi padahal Indonesia memiliki semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu jua sehingga seharusnya tragedi itu tidak terjadi?

Tragedi seperti ini bukan hanya terjadi di wilayah Kalimantan saja tetapi juga di  berbagai  tempat di tanah air sehingga oleh tragedi demi tragedi seperti ini, masalah ‘kesatuan’ menjadi tidak nyata adanya. Apakah ada yang salah dengan semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’? Kalau ada, di mana letak kekeliruan itu? Upaya seperti apa yang seyogyanya dilakukan agar peristiwa perpecahan seperti ini tidak terulang lagi?

Menurut hemat saya, sesuatu yang harus dibenahi adalah ‘pendidikan moral dan karakter’.

Dulu bahkan sampai dengan saat ini, masih banyak yang hanya berfokus pada bagaimana melestarikan dan mencintai suku dan budaya identitas. Oleh kecintaan pada suku dan identitasnya, maka mereka melihat bahwa suku lain adalah saingan. Begitu pula sebaliknya. Suku ‘asing’ menstigma suku asli dengan menganggap mereka lemah dan tidak memiliki kemampuan membangun daerahnya sendiri. Anggapan seperti ini tentu saja menjadi penyebab utama meletusnya konflik.

Dalam mengejawantahkan semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’, hal yang perlu menjadi titik perhatian adalah ‘pendidikan karakter’. Pendidikan berwawasan budaya dan etika akan mengajarkan niscayanya memiliki karakter dan sikap benar dan baik. Kunci dalam mengembangkan pendidikan yang berkarakter dan beretika ini adalah lembaga pendidikan yang seharusnya tidak hanya fokus mengajarkan ilmu pengetahuan.

Moral dalam menerapkan ilmu pengetahuan juga harus ditanamkan sejak awal, apalagi dalam melakukan interaksi sosial, nilai-nilai etika sepatutnya dijadikan pedoman. Dengan demikian, bisa diharapkan bahwa konsep Bhinneka Tunggal Ika akan semakin nyata adanya dan tidak hanya semboyan semata.[]

*  Penulis, mahasiswi FISIPOL Jurusan Sosiologi, Universitas Palangka Raya; anggota Komunitas Belajar Menulis Palangka Raya


Sajak Andriani SJ Kusni

Métu adalah Sebutan Tepat

Aku tak tahu persisnya berapa diberikan kepala perusahaan kepada penembak itu
Tapi benar akan senantiasa begini:
Nurani yang dijual adalah wujud perbudakan modern
Mereduksi manusia jadi mesin kejahatan
Siang-malam yang berat mereka taburi kotoran
Seragam polisi dan seluruh tubuh jiwa mereka berlumur darah
Dan amis bangkai kerna profesi mereka memang pembunuh bayaran
Agaknya Republik tak cermat merekrut komandan dan awak pasukan
Sehingga penjara, rumah tanahan penuh, warga bermatian
Bukan, bukan salah rekrut. Penjelasannya:
Republik telah dikudeta oligark tapi menggunakan tatanan semula
Pembunuh bayaran yang menembak mati Dayak Seruyan itu
Oleh serba kekurangan di bawah oligark lalu menjual nuraninya
Tidak mengherankan jika mereka bukan lagi manusia
Métu! Istilah Orang Katingan
Penyelenggara Negaranya?
Ah, kau namai sendiri sesukamu
Yang pasti bukan dari Republik Indonesia!

2023


Halaman Budaya Sahewan Panarung Asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 22 Oktober 2023.

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 8 Oktober 2023 | Cerita Pendek Andriani SJ Kusni “HUTANG”

Radar Sampit, Minggu, 08/10/2023

Telepon genggamku berdering beberapa kali. Kulihat layarnya, nomor penelpon tidak tertera di daftar, maka tidak kuangkat. Mendengar dering itu berulang-ulang seakan-akan mengatakan ada suatu keperluan mendesak, akhirnya telepon kuangkat.

“Ya, halo. Ini Tun Ruang. Apakah Anda menelpon nomor yang memang Anda kehendaki?”

”Ya, tentu saja. Aku memang ingin menjumpaimu. Aku Aleks, teman SMA di Yogya dulu.”

Mendengar keterangan demikian, aku mencoba mengumpul ulang ingatan tentang periode SMA. Ya, ketika di SMA Santo Thomas memang ada teman sebangku bernama Aleks. Lelaki muda, tegap dan berambisi jadi pejabat, baik itu di legislatif maupun eksekutif. Yang paling dia inginkan adalah menjadi bupati. Bupati daerahnya. Ambisi ini muncul karena ia melihat kehidupan para pejabat itu sangat menyenangkan. Penuh dengan segala kemudahan. Uang lebih dari cukup, mobil disediakan. Pergi ke sana kemari dibayar dan dapat uang saku.

“Tidak nyaman hidup serba kekurangan dan cemas saban hari berganti. Cemas akan belanja hari esok,” Aleks mengetengahkan alasannya jadi pejabat.

“Aleks, kau di mana sekarang?”

“Aku di Palangka Raya. Lebih dari sepuluh tahun kita tak bertemu. Aku mau ketemu.”

“Di mana? Jam berapa?”

“Sekarang. Di La Luna.”

“Baik, Leks. Aku berangkat sekarang.”

Aku pun berangkat menggunakan sepeda ontel yang baru saja dibelikan oleh istriku agar aku bebas bepergian. Bersepeda memang merupakan salah satu kesukaanku, walaupun Apuk—teman masa kanakku  di kampung—mengatakan sebagai memalukan. Apalagi Apuk tahu, aku sudah ke sana kemari, tapi pulang-pulang ke kampung hanya bersepeda ontel sedangkan ia sendiri sudah menjadi kepala daerah dengan segala fasilitas dan kemewahan jabatan itu.

Di Tanah Dayak, seseorang itu baru disebut menjadi ‘orang’, apabila ia sudah menjadi pegawai negeri dan ‘orang mapan’ serta ‘tokoh’, apabila menduduki jabatan tinggi. Aku tidak peduli dengan standar yang memang standarku ini.

Karena rumah kontrakanku memang tidak jauh dari La Luna, kafé milik mantan seorang bupati dan sekarang menjadi anggota DPR-RI, sekalipun menggunakan sepeda ontel, aku datang lebih dahulu. Tidak berapa lama, sebuah Toyota Fortuner warna hitam masuk. Kaca jendela dekat sopir dibuka dan suara keras girang terdengar.

“Tun!” Suaranya menggema di bawah dedaunan halaman kafé dan mobil-mobil yang berderet hingga ke sadel sepeda ontelku.

“Aleks!”

Aleks bergegas meninggalkan Toyota Fortuner-nya. Memelukku hangat. Kami saling mengamati dari ujung rambut hingga ke kaki. Puluhan tahun tak berjumpa tidak menyulitkan kami untuk kembali saling mengenal. Perubahan fisik tidak terlalu banyak.

“Naik apa kemari?” tanya Aleks sambil kami berjalan mencari meja di ruang dalam.

“Sepeda ontel,” jawabku datar.

“Perangaimu masih seperti dahulu-dahulu saja. Kau kuundang malam ini.”

Terima kasih,” jawabku datar, tidak merasakan suatu keistimewaan apa pun.

“Kau mendapatkan banyak kemajuan nampaknya, Leks.”

“La vie est rose, Cher Monsieur,”  ujar Aleks menggunakan sepotong kalimat Bahasa Perancis  yang kami pelajari di sekolah dulu. “Kau lama tahu bahwa aku takut susah,” lanjutnya, sambil kami mengambil tempat duduk masing-masing.

“Minum apa?” tanya Aleks.

“Bir Bintang agar nadiku tidak tersumbat lemak.” Aleks tertawa mendengar pesananku serta alasan yang menyertainya.

“Makanan?”

 “Urusanmulah itu,” ujarku.

Aleks melihat sejenak daftar menu dan memesannya. Pesanan yang tidak perlu menunggu lama, sudah terhidang di meja. Hidangan itu sebenarnya menjadi penyerta pertemuan kami saja sebab yang utama adalah saling bertanya mengetahui keadaan dan perkembangan masing-masing setelah tidak berjumpa lebih dari sepuluh tahun. Melihat bir-ku habis, Aleks memesannya lagi dan sebotol untuk dirinya sendiri.

“Bagaimana hidupmu sekarang?”tanya Aleks.

“Aku pernah jadi guru di sejumlah pendidikan tinggi. Hanya kemudian pekerjaan itu aku tinggalkan karena merasa sia-sia.”

“Sia-sia bagaimana?”

“Berbusa-busa mulutku, ternyata apa yang kusampaikan tidak sampai melekat di kepala dan hati yang mendengar. Aku jadinya merasa seperti orang gila bicara sendiri. Ditambah lagi semuanya dipandang seperti bisa diselesaikan dan didapat dengan uang.”

“Lalu?”

“Aku kembali ke pekerjaan lama. Menulis. Di dunia ini, aku merasa bebas.”

“Bisa hidup?”

“Dibisa-bisakan. Kau sendiri bagaimana kisah perjalananmu hingga sekarang?”

“Aku?”

“Aleks… ”

“Kau tahu sejak lama bahwa aku capek melarat. Takut serba kekurangan. Aku terjun ke dunia pertambangan dan perkebunan. Di situlah rahasianya maka ada Fortuner itu.” Aleks tertawa kecil karena tahu aku mempunyai banyak pendapat yang berseberangan dengan para pengusaha tambang dan perkebunan yang menimbulkan banyak kerusakan lingkungan dan konflik lahan tak kunjung selesai.

“Jangan khawatir, Leks. Teruskan kisahmu.” Sejenak ia memandangku. “Teruskan saja.”

“Kau juga tahu aku punya obsesi jadi pejabat, paling tidak jadi bupati. Mula-mula, aku ikut mencaleg menjadi anggota DPR-RI.”

“DPR-RI atau DPRD?”

“DPR-RI!”

“Wow! Hasilnya?”

“Sabar kau.” Aku melihat wajahnya sedikit kecut. Ada rasa geram didalamnya.

“Untuk nyaleg… bupati, gubernur, kau perlu perahu sebagai partai pengusung.”

“Ya.”

“Aku mendekati satu partai politik. Ketemu langsung dengan orang pertama partai tersebut. Hadir dalam konfernasnya dan turut mengambil keputusan untuk pemilu. Aku ditempatkan dalam caleg DPR-RI pada urutan nomor satu. Kau tahu, di benakku, sudah terbayang-bayang betapa aku si anak kampung sohibmu ini menjadi anggota DPR-RI mewakili daerah kita.”

“Aku membayangkan ketika kau jadi anggota DPR-RI, saat melihat aku jalan kaki, mobil mewahmu kau hentikan dan membuka pintu belakangnya sambil berkata ‘Masuk, jangan bodoh berpanas-panas di hari terik begini’”.

Kami berdua tertawa membayangkan fantasi tersebut.

“Ya terus, aku dengar.”

“Dua mobil dipinjamkan partai itu untuk kampanye. Baliho, kaos, dan lain-lain, dibikinkan oleh partai itu. Aku pun makin mabuk oleh bayangan bakal menjadi anggota DPR-RI. Kekuasaan ekonomi dan politik sekaligus akan ada di tanganku. Tim pengawas di tempat pemungutan suara sudah kubentuk. Lobi-lobi dengan pihak tertentu yang turut menentukan keberhasilan dan kekalahan pun sudah kulakukan. Tapi pembayarannya belum karena aku tak punya cukup uang dan aku pun mikir-mikir juga menggunakan uang perusahaanku. Perusahaan yang tidak terlalu besar juga.”

“Lalu?”

“Sampailah hari H. Partai tidak menggelontorkan dana untuk keperluan kunci menentukan di atas. Walaupun konfernas telah memutuskan bahwa dana tersebut akan digelontorkan. Karena kekurangan dana untuk akhir langkah maka segala rencana jadi buyar. Aku malah terlilit hutang di sana-sini.”

Aku menyaksikan pertunjukan melo-komedi, tapi tak sanggup tertawa. Aku tidak mau menertawai teman SMA-ku itu yang mengalami kesusahan. Mencoba mengurangi perih lukanya, aku menceritakan bahwa di sungaiku pernah ada seseorang yang turut merebut kedudukan orang nomor satu provinsi. Ia minta sanak-keluarga membantunya berkampanye tapi tanpa menyediakan dana kampanye apa pun. Sanak-keluarganya menjanjikan pembayaran dilakukan pada akhir pemilihan. Ternyata calon itu tidak menang. Orang-orang yang dijanjikan mendapat imbalan atas jerih payah mereka berkampanye, menagih janji. Sang calon tidak memperlihatkan batang-hidungnya. Akhirnya, sanak-keluarga calon itu terpaksa menjual sapi dan babi untuk membayar hutang janji mereka.

“Apa kau jera?” tanyaku.

‘O, tidak! Untuk menjadi kaya, perlu posisi politik. Posisi politik didapat dengan berpolitik bersama partai politik,” jawabnya datar mengenang pengalaman pahit yang pernah dialaminya.

“Kau tak ingin bergabung dengan partai politik?” tanyanya padaku.

“Tidak. Partai politik punya aturan dan disiplin. Aku tidak mau diikat oleh aturan dan disiplin mereka. Aku merasa nyaman dengan kebebasanku sebagai penulis sekalipun selalu dihantui kekurangan.”

“Kalau kau ikut tim sukses seorang calon dan calon itu kemudian menang, akan nyaman hidupmu. Bukan tidak mungkin, kau menjadi komisaris BUMN atau posisi apakah lagi yang  menyenangkan hidupmu. Kau pikirkanlah.”

“Tidakkah seniscayanya posisi-posisi penting itu diberikan kepada orang-orang tepat?”

“Kau lupa, ya? Hidup ini bukan mimpi, tapi nyata.”

Tak terasa waktu sudah mendekati tengah malam. Telepon genggam Aleks berdering.

”Istriku yang pencemburu,” ujarnya. “Aku akan mengundangmu lagi.”

“Jaga dirimu baik-baik. Berpolitiklah, kalau itu memang pilihanmu. Tapi bisa nggak berpolitik tanpa jadi penjahat?”

Masih terngiang jawabannya setengah berbisik di telingaku, “Sulit dielakkan! Aturan moral tak berlaku di politik negeri kita.”

Kulihat kepalanya menekur, tidak tegak.

Kami berpelukan kemudian ke kendaraan masing-masing. Ia ke Fortuner hitamnya, aku ke sepeda ontelku.[]


Sajak-Sajak Andriani SJ Kusni
MALAIKAT SEWAAN

Aku melihat malaikat 
Berpakaian serba kelabu
Berumah di padang gambut 
Memanjat langit

Entah perintah siapa 
Ia lalu turun tiba-tiba
Membakar apa saja
 
Hutan
Kebun karet
Kebun séngon
Kebun rotan
Ladang-ladang 

Ia datangi rumah demi rumah
Tanpa ayal 
Membakarnya musnah
Lolong-ratap 
Percuma
Tak diindah

Nyawa seperti kebenaran 
Di negeri ini tak pernah masuk hitungan

Daerah yang memang tak memiliki barisan Damkar
Rata dengan tanah tinggal abu
Hidup pun hitam tunggul pohon terbakar
Tanpa police line di tempat peristiwa
Hinting Pali tak boleh dipasang

Menguntitnya sejak bertahun ia tiba
Kuketahui malaikat serba kelabu itu  
Punya kantor
Punya kementerian
Punya pemerintahan 
Membawahi Republik negeriku 
Malaikat kelabu itu 
Ternyata malaikat sewaan

Perintah penyewa malaikat
Sederhana singkat:
Abukan Kalimantan!
Kami mau berkebun
Dan menambang
Proyek-proyek maha mega 
Menanti lahan


 2023
 

BASTA!

Kukira duka ini sudah lebih dari cukup, sangat cukup 
Hitung saja berapa tahun, bahkan berabad-abad 
Darah dan airmata tak pernah jeda mengairi sungai
Laut, tasik, danau di kaki gunung dan dataran 
Para sarjana sosial bisa menjelaskan gamblang 
Mengapa pemberontakan demi pemberontakan tani tak berkeputusan
Mengapa penjara-penjara selalu saja dipenuhi para jelata 
Dihalang ketakutan pada kenyataan dan yang utama ancaman kematian  
Yang padahal kedatangannya tak mungkin ditolak
Yang tak pernah terus-terang diucapkan 
Bagaimana melenyapkan jahiliah berkelanjutan ini
Atas nama tata krama dan ilmiah 
Orang-orang bertutur berputar-putar 
Hingga bahasa dan pesan mereka tidak dimengerti
Tidakkah itu pula sebabnya maka milenial
Angkatan Z dan entah angkatan apalagi nanti
Otak dan hati mereka dikosongkan 
Agar jauh dari negeri dan hidup sebenarnya
Sehingga duka menjelma serigala lapar memburu mangsa
Tanah air menjadi padang terhampar mereka kuasai

Kukira duka ini sudah lebih dari cukup, sangat cukup 
Yang tidak cukup bahkan sangat kurang 
Adalah penjelasan dan pengaturan
Bagaimana menang dan pandai menang 
Bagaimana meninggalkan kekalahan ajeg

Basta! 
Indian Chiapas berseru dari ujung Barat dunia
Basta! 
Mereka pekikkan dari punggung-punggung kuda perlawanan
Meretas jalan keluar dari semak belukar

Sementara di sini 
Di tengah pulau raya Kalimantan ini
Kita meraung-raung dari tengah kubangan lumpur
Dalam sedagu


2023

Pengasuh: Kusni Sulang & Andriani SJ Kusni, Redaktur: Heru P., Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 20 Mei 2023 | Cerita Rakyat dan Penafsirannya

Catatan Kebudayaan Andriani SJ Kusni

Halaman Budaya Sahewan panarung Harian Radar Sampit
Patung Tambun-Bungai di Kuala Kurun, Kabupaten Gunung Mas. Yang satu memegang dohong dan perisai, yang lain menggenggam sumpitan dan mandau terselempang di pinggang. Semuanya alat-alat perang. Foto/Dok.: Andriani SJ Kusni, 2013

Sahéwan Panarung, Rubrik Kebudayaan Harian ini pada edisi 16 April 2023telah menerbitkan Cerita Rakyat Kalimantan Tengah (Kalimantan Tengah) berjudul “Perempuan Dayak” yang ditutur ulang oleh Muhammad Yasir.

Di bawah judul cerita, Muhammad Yasir mencantumkan sebuah kalimat menyerupai kesimpulannya yang berbunyi: ”Darah dibalas darah dan kematian dibalas kematian. Begitulah semua ini bermula.”

Cerita “Perempuan Dayak”yang ditutur ulang oleh Muhammad Yasir memang cerita yang alurnya penuh dengan kucuran darah sehingga kesimpulan Yasir tidaklah keliru.

Pertanyaan saya: Apakah kesimpulan demikian juga merupakan tafsiran Muhammad Yasir tentang perangai Manusia Dayak daholoe dan sekarang?

Pada Catatan Kaki edisi tersebut, saya telah berjanji untuk menulis sebuah Catatan mengenai bagaimana para seniman Kalimantan Tengah, terutama para penulis dan koreograf menafsir ulang cerita rakyat-cerita rakyat dan mitologi Dayak Kalimantan Tengah, entah itu dalam bentuk penuturan ulang ataupun kreasi baru.

Ketika memilih Kalimantan Tengah sebagai tempat berdomisili sejak sepuluhan tahun lebih,  saya telah menyaksikan beberapa pergelaran  mulai dari yang kecil hingga yang kolosal, baik tari maupun sendratari dengan mengangkat tema-tema dari cerita rakyat atau mitologi Dayak Kalimantan Tengah.

Salah satu yang termasuk kolosal adalah pementasan Kisah Tambun-Bungai yang diselenggarakan di halaman Museum Balanga dengan sponsor Bank Indonesia pada masa pemerintahan Walikota Riban Satia, kemudian kisah Mihing Manasa.

Usai pertunjukan, Pak Riban turun dari panggung menemui dan menanyai Kusni Sulang yang juga hadir di tengah hadirin.

“Bagaimana pendapat Pak Kusni?”

Kusni Sulang waktu itu balik bertanya, “Apa memang demikian Tambun-Bungai?”

“Pertanyaan itu juga menjadi pertanyaan saya,” ujar Pak Riban.

Dari dialog Pak Riban dan Kusni Sulang tersebut, saya menangkap ada masalah dalam penafsiran cerita rakyat dan mitologi. Saya katakan ada masalah dalam penafsiran karena untuk mendapatkan tafsiran yang tepat, diperlukan penelitian sejarah yang serius, bukan hanya sekedar dan berhenti pada pengumpulan cerita berdasarkan beberapa sumber. Melalui penelitian sejarah demikian, kita bisa mendapatkan gambaran relatif utuh tentang segala aspek peristiwa pada zamannya, lalu dari situ bisa dilakukan penafsiran yang padan.

Penulisan sastra dan penciptaan karya-karya seni, seyogyanya tidak mengabaikan pekerjaan riset. Apalagi dalam pemahaman saya, cerita rakyat dan mitologi selain merupakan cara warga setempat mencatat peristiwa sejarah komunitasnya, juga cerita rakyat-cerita rakyat dan atau mitologi itu menyimpan pesan tersirat melalui lambang-lambang untuk generasi berikut. Jika meminjam sudut pandang Ernst Cassirer, yang mengartikan manusia sebagai animal symbolicum (lihat: Ernst Cassirer, An Essay on Man, New Heaven: Yale Universiy Press, 1944), manusia Dayak termasuk kategori animal symbolicum. Lebih-lebih kebudayaan masyarakat Dayak Kalimantan Tengah yang dominan adalah kebudayaan lisan. Segala peristiwa, pesan dan pandangan disimpan dalam lambang-lambang. Mengutip Blasius Mengkaka, guru profesional Bahasa Jerman di SMA Kristen Atambua dan SMA Suria Atambua, Kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timue: “Manusia ialah makhluk yang menonjokan simbol di mana simbol menyembunyikan makna yang hanya dapat dimengerti melalui belajar. Umpamanya: simbol lalu lintas berupa lampu berwarna hijau berarti boleh terus berjalan, lampu warna kuning berarti boleh berjalan namun harus hati-hati serta simbol lampu warna merah berarti berhenti sama sekali” (https://www.kompasiana.com/1b3las-mk/552c01dd6ea83451198b45a4/animal-symbolicum).

Makna simbol akan tertangkap apabila ketika mengenal sejarah dan latar sejarah peristiwa.

Sebagai contoh tentang dada Tambun-Bungai yang dikatakan selebar tujuh (7) jengkal. Saya memandang ini, sebagaimana dikatakan oleh Kusni Sulang, adalah simbol yang mau mengatakan bahwa pemimpin itu harus lapang dada, toleran, bisa membedakan antara mana yang pokok dan tidak pokok,  sehingga bisa mempersatukan sebanyak mungkin orang untuk menghadapi musuh bersama. Simbol yang memesankan betapa pentingnya persatuan.

Sejauh ini, dalam kegiatan kreatif dengan mengangkat cerita rakyat-cerita rakyat dan mitologi, saya tidak melihat para seniman Kalimantan Tengah sudah menangkap simbol-simbol yang disiratkan. Upaya mereka terhenti pada cerita yang disampaikan para narasumber sehingga bisa disebut sebagai penyampaian ulang tuturan para narasumber.

Akibatnya, ketika cerita-cerita tersebut dipentaskan yang menonjol adalah kekerasan berdarah. “Darah dibalas darah dan kematian dibalas kematian”, sebagaimana antara lain disimpulkan oleh Muhammad Yasir sehingga dengan kalimat demikian, Manusia Dayak itu muncul sebagai sosok-sosok ganas, pendendam, haus darah, suka kekerasan atau berperang. Padahal menurut Dr. James J. Masing, seorang antrolog dari suku Iban di Sarawak mengutip pendapat dalam Webster’s World Dictionary menyatakan: “something that stands for or represent another thing, especially an object used to represent something abstract”. Simbol dalam arti beginilah yang belum tertangkap sehingga yang ditampilkan terhenti pada permukaan masalah, belum sampai pada hakekat.

Barangkali penafsiran umum demikian terhadap cerita rakyat-cerita rakyat dan mitologi Dayak Kalimantan Tengah yang demikian, bermula dari anggapan bahwa perangai demikian adalah wujud dari watak mamut-ménténg (gagah-berani), jika mengutip pendapat Kusni Sulang merupakan bagian dari trilogi manusia Dayak ideal yaitu  mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh. Tiga watak ini tidak bisa dipisah-pisahkan. Merupakan satu kesatuan. Hanya menonjolkan misalnya mamut-ménténg saja maka yang berkembang adalah ‘budaya’ kekerasan yang gampang menjurus ke banditisme, vandalisme dan yang sejenis. Hanya  pintar-harati saja bisa menjadi manusia licik dan pengecut. Menonjolkan maméh-uréh bakal terperosok ke arah yang disebut Orang Dayak Ngaju sebagai paléng, tidak beradab. Mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh adalah tiga satuan tunggal atau trilogi. Dalam istilah sekarang, boleh jadi trilogi karakter ini mempunyai kemiripan dengan ‘berani dan pandai berjuang, berani dan pandai menang, atau manusiawi dan ahli’. Demikian menurut Kusni Sulang.

Saya kira, berdasarkan lukisan yang dituturkan oleh berbagai sumber, Tambun-Bungai dengan dada selebar  tujuh jengkal itu adalah figur yang memiliki trilogi karakter demikian. Ia berjuang bukan dengan tujuan membunuh dan orang yang haus darah tapi demi keadilan, kemerdekaan, kebenaran, membela dan menjaga hak dasar. Mengapa soal-soal dasar yang bersifat universal begini luput dari perhatian dan dikebawahkan sehingga yang ditonjolkan adalah sikap kekerasan haus darah?

Bila merujuk pada pemikiran Kusni Sulang, Kalimantan Tengah mengambil perisai sebagai ikon atau simbolnya, saya kira tidak lepas dari pemisahan unsur-unsur trilogi karakter manusia Dayak Ideal itu juga. Dayak Kalimantan Barat mengambil enggang sebagai ikonnya seperti yang terlihat, misalnya pada Monumen Khatulistiwa, Rumah Radakng di Pontianak, dan tempat-tempat lain. Dayak Sarawak juga menempatkan enggang sebagai simbol utama mereka.

Dalam pemahaman saya yang pasti perlu terus belajar dan meneliti, budaya Dayak memandang darah itu, lebih-lebih darah manusia, sebagai sesuatu yang sakral. Tidak boleh tumpah dengan mudah. Apabila darah manusia tumpah, dengan apapun alasannya, berarti bumi kita telah dikotori oleh tindak manusia. Oleh karena itu, bumi yang telah dikotori itu perlu dibersihkan dengan upacara mamapas léwu, seperti misalnya yang dilakukan setelah Tragedi Sampit tahun 2000.

“Hasaki/Hapalas adalah salah satu upacara tradisional masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah. Upacara ini adalah proses penyucian diri secara lahir dan batin anak manusia. Upacara ini dilakukan karena adanya anggapan bahwa dalam kehidupan manusia sering kali melakukan tindakan-tindakan/perbuatan yang tidak berkenan dengan ajaran-ajaran yang telah diperintahkan oleh Ranying Hattala Langit. Dalam ritual ini, biasanya menggunakan media darah hewan, seperti darah ayam, sapi ataupun kerbau untuk mereka-mereka yang muslim, sedang kan yang non muslim biasanya menggunakan darah babi. Proses upacara ini dengan cara mengoleskan darah hewan tersebut pada dahi, tangan, dada, dan kaki. Menurut kepercayaan nenek moyang suku Dayak, karena darah adalah lambang hubungan antar makhluk dan antarmanusia, serta dipercaya memiliki fungsi mendinginkan atau menetralisir” (https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/? newdetail &detailCatat=5623; Disetujui oleh admin WBTB pada tanggal 01-01-2015).

Terjadinya “tindakan-tindakan/perbuatan yang tidak berkenan dengan ajaran-ajaran yang telah diperintahkan oleh Ranying Hattala Langit” akan membuat terganggunya keseimbangan.

Tentang soal keseimbangan ini, Jhon Bamba dari Institut Dayakologi, Pontianak dalam bukunya Dayak Jalai di Persimpangan Jalan, (Institut Dayakologi, 2010) menulis: “Sebagai bagian dari alam, permasalahan akan muncul manakala keseimbangan tersebut terganggu. Dalam persepsi masyarakat adat, gangguan terhadap keseimbangan tersebut  terjadi melalui ketidaktaatan terhadap adat istiadat yang telah menjadi prasyarat bagi harmoni dalam kehidupan (cosmological harmony). Dalam pandangan ini, seseorang yang melanggar adat bukan semata-mata karena ia telah merugikan orang lain, melainkan terutama karena dia telah mengganggu keseimbangan yang seharusnya dijaga antara manusia dengan isi dunia lainnya (kosmos). Keseimbangan yang terganggu tersebut mengancam kehidupan seluruh unsur kosmos, tidak hanya manusia atau si pelanggar adat.”

Teori keseimbangan ini yang dalam budaya Dayak Kalimantan Tengah dicerminkan oleh enggang dan naga, boleh jadi ada pengaruh filosofi yin-yang Tiongkok. Ide dasarnya adalah bagaimana perdamaian bisa selalu terjaga, bagaimana manusia-manusia di kampung-halaman bisa menjadi manusia-manusia yang seimbang, bersih, jujur sebagaimana mestinya ‘anak enggang-putera-puteri naga’ dengan visi-misi hidup-matinya.

Sebagai pertanyaan ilustratif-reflektif: Apakah manusia Dayak hari ini memenuhi tuntutan konseptual demikian? Apakah upacara mamapas léwu, hasaki-hapalas benar-benar dihayati maknanya atau lebih merupakan acara formal tanpa makna seperti halnya pendangkalan bahasa yang umum berlangsung di kehidupan sekarang? “Aksi dan darah, sekarang mendapatkan permainannya. Tapak-tapak menjijikkan bagi yang namanya perdamaian,” ujar Amos Bronson Alcott (1799-1888), filsuf dan pendidik dari Amerika Serikat.

Konsep “darah dibalas darah dan kematian dibalas kematian”, sebenarnya tidak akan ditulis jika orang tahu antara lain upacara sumpah téték-uéi (sumpah potong rotan). Yang terlibat dalam sumpah ini adalah pihak yang telah menumpahkan darah dan pihak korban.

Pada upacara ini, pihak yang menumpahkan darah bersumpah untuk tidak lagi mengulangi lagi perbuatannya. Jika diulangi, maka ia akan dimakan oleh sumpahnya sendiri, seperti abu, garam dan beras yang ditabur, demikian pula akhir hidupnya. Jika benar si penumpah darah mengulangi perbuatannya, ia tidak dibunuh, tapi diusir dari kampung tersebut kalau ia tinggal di kampung itu. Jika ia berani kembali, saat itu tidak seorang pun yang bisa menjamin keselamatan nyawanya lagi. Artinya, di sini apa yang ditulis oleh Muhammad Yasir bahwa  “darah dibalas darah dan kematian dibalas kematian” adalah suatu kesimpulan yang terburu-buru, berangkat dari penafsiran yang kurang dalam sehingga tidak menangkap adanya simbol dalam artian “something that stands for or represent another thing, especially an object used to represent something abstract”.

Jika didalami lebih jauh,  filosofi Dayak bukanlah filosofi yang amis darah, melainkan filosofi pemberdayaan dan pembebasan manusia. Demikian menurut Kusni Sulang. Untuk itu, diperlukan perdamaian, kerjasama antar anak manusia untuk menjadikan bumi yang berciri selalu chaos (dalam istilah lain: penuh dengan kontradiksi, teratasi satu, datang kontradiksi yang lain. Bumi manusia adalah bumi kehidupan yang penuh kontradiksi). Visi-misi manusia (Dayak) hadir di bumi adalah untuk membuat bumi yang chaos itu menjadi tempat anak manusia hidup secara manusiawi dengan kualitas yang terus-menerus meninggi ibarat alur sebuah spiral.

Untuk mewujudkan tujuan tersebut, tentu saja tidak bisa seorang diri. Filosofi Dayak bukan termasuk aliran‘manusia supra’ (über alles), melainkan percaya dan bersandar pada kekuatan orang banyak. Karenanya, perlu diciptakan suatu barisan kekuatan perubahan yang besar dan kuat. Dalam istilah sekarang ‘membentuk suatu aliansi atau front persatuan’, demikian istilah pada masa pemerintahan Bung Karno dahoeloe.

Hal ini dituangkan dalam konsep yang disebut hatamuei lingu nalata (saling mengembarai pikiran dan perasaan sesama, untuk bisa saling mengerti dan bekerjasama). Setelah saling mengerti dan bersepakat, maka prinsip berikutnya adalah hatindih kambang nyalun tarung mantang lawang langit, (berlomba-lomba menjadi anak manusia yang paling manusiawi) dalam upaya mewujudkan bumi, kampung-halaman, tanah air, daerah, atau sebutan lainnya,  sebagai menjadi tempat anak manusia hidup secara manusiawi dengan kualitas yang terus-menerus meninggi ibarat alur sebuah spiral. Guna mewujudkan visi-misi ini diperlukan dan dituntut adanya anak manusia ideal dengan trilogi ciri seperti diterangkan di atas. Filosofi ini bisa dipastikan dituangkan dalam cerita rakyat-cerita rakyat, mitologi, tari, sansana, deder, karungut, dan berbagai karya lainnya.

Di bidang organisasi, seperti Sjarikat Dajak (1919), Pakat Dajak (1926), sifat keterbukaan, mempersatukan semua kekuatan yang mungkin dipersatukan untuk mencapai tujuan bersama sebagai pengejawantahan konsep filosofis di atas, juga terlihat. Etnosentrisme bukan jalan menuju kemajuan, ia semacam bentuk fanatisme. “Fanatisme agama dengan jelas telah menghasilkan, dan kemungkinan besar akan terus menghasilkan, pertengkaran, perkelahian, kekerasan, pertumpahan darah, pembunuhan, permusuhan, perang, dan genosida dalam jumlah besar,”tulis Albert Ellis (1913-2007), psikoterapis dari Amerika Serikat. Suku, agama, dan lain-lain bukan tidak mungkin berada di satu tempat bernama fanatisme atau ketertutupan, yang pasti bukan tradisi dan budaya Dayak.

Ketika menyimak konsep filosofis di atas, saya mencoba mendapatkan di mana gerakan adanya konsep amis darah “darah dibalas darah dan kematian dibalas kematian”yang disebut oleh Muhammad Yasir dan para penafsir cerita rakyat-cerita rakyat dan mitologi Dayak lainnya itu? Apalagi dalam pemahaman saya, kebudayaan di mana pun intinya pemanusiawiaan kehidupan dan manusia. Bukan menganjurkan pembunuhan, apalagi genosida.

Tentang hal ini Jhon Bamba menulis: “Orang Dayak Jalai percaya bahwa dunia harus dipertahankan eksistensinya dengan cara memberikan jaminan agar semua mahluk, baik yang kelihatan maupun tidak, yang hidup ataupun benda mati, manusia maupun binatang dan tumbuhan, dapat eksis secara bersama-sama dalam interaksi yang seimbang dan harmonis” (Jhon Bamba, Dayak Jalai di Persimpangan Jalan, Institut Dayakologi, 2010). Bau darahkah pandangan dan sikap Orang Dayak Jalai ini?

Singkatnya, penafsiran menjadi relatif padan jika didahului oleh penelitian yang serius. Berkesenian pun memerlukan penelitian, sesuatu yang sekaligus sekali lagi mengingatkan kita, betapa banyak pekerjaan menunggu Uluh Kalimantan Tengah.

Dengan tulisan ini, saya telah menunaikan janji, pendapat lain bahkan yang bersilang pun pasti berguna untuk tiba pada apa-bagaimana sejatinya hal-ihwal.[]


Halaman Budaya Sahewan Panarung, Radar Sampit, Minggu, 20 Mei 2023 | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny | Pengasuh: Kusni Sulang & Andriani SJ Kusni

Potensi Terpendam dalam Sastra Dayak Kalteng

Radar Sampit, Minggu, 28/8/2022

Oleh: Kusni Sulang | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

Tariganu bersama para tokoh seniman Sanggar Bumi Tarung
Foto Tariganu bersama para tokoh seniman Sanggar Bumi Tarung. Dilihat dari kiri ke kanan: Toga Tambunan (penyair), Djoko Pekik (maestro pelukis), Amrus Natalsya (maestro pematung), Tariganu (penyair yang juga pelukis), Muhammad Tempel Tarigan (mantan wartawan Merdeka Grup), dan Salim (pelukis). Foto diambil sebelum pameran tunggal pelukis Misbach Thamrin (sekarang tinggal di Banjarmasin) dibuka di Galeri Seni Jakarta, 2015. Sumber foto: FB Muhammad Tempel Tarigan.

Suatu pagi, Yanedi Jagau, Direktur Borneo Institut Palangka Raya tiba-tiba mendekati meja kerjaku, sambil menyodorkan sebuah buku antologi puisi menanyakan apakah saya kenal dengan penyairnya: Tariganu (cara menulisnya yang sebenarnya adalah Drs. Usaha Tarigan).

Saya memperhatikan antologi buku berjudul Elang itu sejenak sambil mengumpulkan ingatan yang saya sadar benar dayanya melemah oleh usikan usia.

“Mungkin iya, mungkin tidak, hanya nama itu sepertinya tidak asing bagi saya.”

Setiba di rumah, saya membaca lebih teliti antologi yang terdiri dari 98 puisi berbentuk degu atau dongkoi–salah satu bentuk puisi di dunia sastra lisan Dayak Kalimantan Tengah (Kalteng). Di samping itu, saya mencari informasi lanjut tentang Tariganu, sang penyair yang dilahirkan pada 9 Oktober 1938 di Medan, Sumtera Utara.

Informasi-informasi yang terkumpul itu mengembalikan ingatan bahwa benar, saya pernah berjumpa dengan Tariganu pada tahun 2005 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Ketika itu, berlangsung peluncuran dan bedah tiga buku saya yang diterbitkan oleh Ombak, Yogyakarta. Di antara hadirin terdapat Tariganu.

Ia memberiku satu kopie antologi puisi berbahasa Karo yang ia terbitkan. Ya, saya kembali ingat sekarang. Saya memanggilnya Bung Tarigan. Entah mengapa, percakapan singkat kami seperti pembicaraan antara dua sahabat lama tidak berjumpa. Barangkali  di dunia kesenimanan, hal demikian merupakan hal biasa. Sekarang pun saya ingat pertanyaan saya ketika menerima buku kumpulan puisi Karo yang ia tulis.

“Apa Bung percaya bahwa sastra daerah mempunyai hari depan di negeri ini?”

“Tentu saja, tapi lebih banyak dan lebih tentu lagi tergantung pada pendukung sastra daerah itu sendiri dan politik kebudayaan yang dipilih penyelenggara Negara.”

Ia menatap lurus ke mataku dan aku pun demikian. Tangannya kujabat erat sambil berucap: “Paham dan sepakat!”

“Tak usah kau katakan, aku tahu kau sepakat,” jawabnya mengguncangkan tanganku.

Sejak itu kami tidak pernah berjumpa lagi.

Hadirnya antologi puisi Elang pagi itu adalah pertemuan kami kembali. Antologi puisi berbentuk degu ini memunculkan banyak topik menarik untuk didiskusikan baik dalam bidang konsepsional maupun sastra itu sendiri.

Misalnya“Darah Medan Elang Taboyan”, proklamasi Tariganu tentang apa-siapa dirinya, saya kira selain paralel dengan apa yang sering saya ungkapkan “Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng” sebagai pengejawantahan nyata dari gagasan bhinneka tunggal ika, boleh jadi ia sekaligus menyiratkan apa-siapa dan bagaimana menjadi Indonesia itu, bagaimana hubungannya dengan ide “kemanusiaan itu tunggal”.

Dengan menyatakan diri sebagai seseorang yang ber-“Darah Medan” tapi juga adalah “Elang Taboyan”, penyair memperlihatkan bahwa akhirnya ia merasa sebagai orang Taboyan itu sendiri. Bukan sebagai orang Taboyan biasa tapi Taboyan yang “elang”. Karena merasa Taboyan adalah bagian dari dirinya, sampai-sampai Tarigan enggan menulis Dayak (dengan K) tapi menulisnya dengan Daya.

Barangkali Tarigan belum tahu bahwa dalam tahun 1992-an, dalam sebuah pertemuan internsional Dayak di Pontianak, peserta bulat-sepakat menghentikan polemik tentang nama etnik dengan menyebut diri sebagai Dayak. Jika tadinya Dayak dilontarkan untuk menghina, maka pertemuan internasional itu sepakat untuk mengubah hinaan tersebut dengan isi yang positif. Sikap ini menampakkan kesejajaran sikap dengan “Black is Beautiful” yang digagas dan dilontarkan Leopod Senghor dari Senegal dan Aime Cesar dari Guadaloupe, Karibia saat rasialisme terhadap orang-orang berkulit hitam sedang marak-maraknya.

Tarigan mempelajari sungguh-sungguh budaya suku Dayak Taboyan itu dan kemudian menemukan degu adalah bentuk puisi yang cocok untuk mengungkapkan diri.

Dalam sastra lisan Dayak, memang terdapat berbagai bentuk seperti sansana (dengan segala variasinya), tandak, karungut, deder, degu, dan lain-lain—bentuk-bentuk yang sampai sekarang masih jauh dari perhatian pengamat sastra.

Ketika Tarigan menemukan degu atau dongkoi sebagai pengungkap diri yang sesuai, nampak bahwa sesungguhnya jika dipelajari benar-benar maka bentuk-bentuk sastra lokal itu, sesungguhnya penuh potensi dan relevan untuk hadirnya sastra Indonesia Kekinian. Bentuk-bentuk lokal ini bisa dijadikan salah satu bahan penting dalam membangun kebudayaan baru yang zamani. Hal inilah yang dilakukan oleh Tariganu.

Dalam Kata Pengantarnya untuk antologi Elang, M.S. Hutagalung, kritikus sastra Indonesia dari Universitas Indonesia, memahami degu atau yang  juga disebut dongkoi–puisi rakyat suku Dayak Taboyan antara lain sebagai berikut:

“…degu atau dongkoi (adalah) puisi rakyat suku Taboyan di Kalimantan Tengah   Seperti biasanya, puisi rakyat ini pun dilagukan (bisa didapat pada youtoube–KS) dalam bentuk irama “piak koko” atau “sintang tuke”. Saya tertarik terutama pada kepadatan isinya dan kombinasi bunyi yang menarik.”

Pada tahun 70-an, penyair memberi keterangan mengenai bentuk persajakan tersebut dalam sebuah esainya yang berjudul “Catatan tentang Dongkoi Daya Taboyan”, yang dimuat dalam ruangan kebudayaan harian “Mimbar Mahasiswa”, Banjarmasin. Ia mengatakan bahwa, barangkali hanya sajak-sajak yang dikumpulkan Confusius di dalam Shi Jing, yang dapat dibandingkan dengan sajak-sajak kecil berbentuk degu.

Ditinjau dari segi bentuk terutama dalam hal rima, degu sama rumit, pelik dan ketatnya dengan puisi klasik Cina sejak kumpulan Shi Jing sebelum Masehi sampai Dinasti Tang (Abad ke-VIII). Degu selalu terdiri dari tiga larik (baris). Kata terakhir larik pertama senantiasa berirama dengan kata terakhir larik ketiga dan kata pertama larik pertama senantiasa berirama dengan kata terakhir larik kedua. Demikianlah rimanya seperti mata rantai melingkar.

Degu juga kaya dengan lambang-lambang dan kias. Kecuali dalam upacara kematian, degu dilagukan  juga waktu pesta-pesta panen,  jamuan, upacara perkawinan, waktu bercinta maupun waktu kerja.

Saya kira, masih ada bentuk sajak kecil yang agak mirip dengan degu ini yakni haiku Jepang. Dan barangkali masih ada bentuk-bentuk seperti ini di daerah lain.”

Penelitian barangkali bisa membantu orang Dayak mengenal khazanah budaya mereka dan menghentikan kehanyutan dan keterasingan diri.

Tariganu telah menunjukkan potensi sastra Dayak.[]


Tariganu, Penyair Asal Tanah Karo

Pengangkat Degu, Bentuk Puisi Dayak Taboyan Kalimantan Tengah

Ditutur ulang oleh Andriani SJ Kusni

Tariganu
Tariganu (Usaha Tarigan). Foto diambil dari https://karosiadi.com/ (03/04/2019)
Tariganu, Elang, Sajak-Sajak 1968-1974 dalam Bentuk Degu. Yayasan Bengkel Sastra, Jakarta, Cetakan II, 1998
Mari kemari banting kemudi
Ikut aku menghadap matahari!
Menghadap Matahari, 1981, Tariganu

Menurut karosiadi.com, Tariganu atau Drs. Usaha Tarigan lahir di dataran tinggi Tanah Karo (Karolanden), 9 Oktober 1938. Saat ipetelayoken (upacara mandi pertama di sungai waktu berusia 7 hari) diberi gelar Usahakita, merga Tarigan, bere Ginting, kempu Purba, binuang Sinulingga, kampah Ketaren, soler Sitepu.

Pendidikan terakhir di Universitas Peking (RRC) dan Universitas Indonesia (UI). Tariganu yang juga pelukis ini, menulis puisi sejak tahun 50-an, menerjemahkan puisi Chairil Anwar dan Amir Hamzah ke bahasa Tiongkok, pernah tinggal di Tiongkok saat menjelang zaman peralihan terjadi di Indonesia. Sempat mengajar sastra Cina di UI dan mendirikan Yayasan Bengkel Sastra ’78.

Sejumlah tulisannya pernah dimuat dalam antologi puisi tunggal maupun bersama antara lain Kemudikan Hari Menjadi Cerah, Balai Pustaka (1964). Kumpulan Sajak-Sajak Amir Hamzah dan Kumpulan Sajak-Sajak Chairil Anwar diterjemahkan oleh Tariganu ke dalam bahasa Tionghoa (Yayasan Kebudayaan Jamrud, 1965), Anggrek Hitam (1971), Elang dan Menghadap Matahari (Yayasan Bengkel Seni’78, 1981), Tembang Negeri Hijau kumpulan bersama Virga Bellan dkk (1986), Ritus Warna Ritus Kata antologi bersama Adjim Arijadi dan Ajammudin Tifani, (1994), antologi Kami Bicara: Kembang Setaman Prosa dan Puisi, LBH Jakarta (2006).

Tariganu juga menulis lebih dari 500 puisi dalam bahasa Karo yang diterbitkan dalam buku Pincala (Hasta Mitra, 2004) dan Bunga Dawa (Yayasan Bengkel Seni’78, 2010).

Musikalisasi puisi-puisi Tariganu juga sudah dilakukan. Diantaranya berjudul “Pincala”, “Leng-leng Keleng”, “I stasiun Semut”, “Karo Simalem”, “Kuakap”, “Rombak-ombak”, “Katanduana”, “Ralep-Alep”, dan lain-lain.

Tariganu, sang penyair, telah dipanggil Sang Pencipta pada tanggal 2 April 2019, di usia 81 tahun, pada pukul 20.00 WIB di RS Polri Kramat Jati. Berita duka yang membuat banyak orang-orang merasa kehilangan. Selamat jalan menuju keabadian. Lurus menuju Sang Khalik.

Pincala yang tertinggal tetap berkicau menyuarakan suara hati KINIKARON dan suara hati MANUSIA-MANUSIA MERDEKA!

…
Sebut kerina bintang-bintang
deleng-deleng meganjang
lau simaler page simole
kerangen kendit simelang
je kap aku
rende ngogeken puisi
puisi pincala bunga dawa
cinta langit cinta doni.

Puisi “Je Aku” oleh Tariganu, dari https://karosiadi.com/penyair-tariganu-berpulang/

Untuk hidup, selain berkecimpung di bidang sastra, seusai menyelesaikan pendidikan sastra di Universitas Indonesia dan Universitas Beijing, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), sekitar tahun 1965, Tariganu mulai berkecimpung dalam dunia bisnis. Di masa-masa mengelola pabrik crumb-rubber di daerah, ia terlibat dalam berbagai kegiatan sosial seperti aktif sebagai Ketua I GAPKINDO (Gabungan Produsen Karet Indonesia) cabang Jambi (selama di Jambi) dan cabang Kalimantan Selatan serta Kalimantan Tengah (Kalteng) selama berada di Banjarmasin.

Kegiatan sastra-seni, ia lakukan di luar jam-jam pekerjaan tersebut dengan bergabung dengan sanggar-sanggar seni sastra, lukis, patung, teater, dan sebagainya.

Saat berada di Kalteng-lah, ia berjumpa dengan sastra Dayak Taboyan lalu menggunakan bentuk degu ketika berpuisi dalam Bahasa Indonesia. Degu inilah yang kemudian ia himpun dalam antologi Elang (Cetakan II, 1998). Tariganu seperti menemukan dirinya dalam degu yang juga disebut dongkoi.

Selama berada di Kalteng, Tariganu intens mempelajari sastra dan budaya Dayak, terutama Taboyan. Bahkan ia memproklamirkan diri sebagai “Elang Taboyan”.[]


Sajak-Sajak Degu Tariganu

Prelude
Darah Medan elang Taboyan
Berlagu degu di pintu sejarah
Tebang goncang  di ujung layan

Pengembara
Kepada Arti & Goenawan

Riang ria mega kembara
Sahabat Daya Dusun Malang
Elang Putih dari Sumatra

Elang
Elang terbang laut lelawas
Tiada biawas dahan baelang*
Pikiran terang mata mawas

Keterangan: Baelang (bhs Banjar): bertandang

Palangka Raya
Kepada Dilun Ikas

Pasir kerikil Palangka Raya
Jantung penggetar sejuta anjir*
Pasang surut terang benua

Keterangan: anjir = terusan

Tjilik Riwut*
Meruah damba cinta nirmala
Menghidangi rimba pedalaman riah
Anjir di mimpi sarang laba-laba

Keterangan: Degu ini aslinya berjudul “Cilik Riwut”. Diubah menjadi “Tjilik Riwut” sesuai cara penulisan nama yang benar

Cerita Tanah Garapan
Kepada Ayat Rohaidi

Kereringat membiji jagung
Tanah digarap darah bersukat
Tanam padi kaki tersandung

Dongkai Daya Taboyan
Sejuta kulit durian
Tiupkan api sampai menyala
Suluh durian waris Taboyan

Sumber: Tariganu, Elang, Sajak-Sajak 1968-1974 dalam Bentuk Degu. Yayasan Bengkel Sastra, Jakarta, Cetakan II, 1998

Halaman Budaya SAHEWAN PANARUNG, Radar Sampit, Minggu, 28/8/2022
Halaman Budaya SAHEWAN PANARUNG, Radar Sampit, Minggu, 28/8/2022

Catatan Andriani SJ Kusni | 404 NOT FOUND

Radar Sampit | Minggu, 17 Oktober 2021

Mural “404: Not Found” terpampang di dinding di Tangerang. Gambar tangkap layar dari dok. istimewa
Kulit muka antologi puisi Berto Tukan, Aku Mengenangmu dengan Pening yang Butuh Panadol. Foto: Andriani SJ Kusni

Karya seni adalah anak zamannya. Tiap zaman mempunyai cara pengungkapan diri masing-masing.

Istilah “404 Not Found” menjadi makin dikenal setelah kata-kata tersebut digunakan oleh seorang seniman seni rupa dalam sebuah karya muralnya.

Yang membuat karya mural tersebut menjadi pembicaraan luas karena kata-kata tersebut dituliskan di atas wajah seorang lelaki mirip wajah Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Saat ini mural tersebut sudah dihapus oleh pihak kepolisian dan dikabarkan aparat tengah mencari pembuat mural wajah mirip Jokowi “404 Not Found” tersebut. Pencarian pembuat mural itu karena dianggap menghina Presiden Jokowi sebagai lambang negara (detikInet, Minggu, 15 Agu 2021 11:41 WIB)–soal yang tidak menjadi topik Catatan pendek ini.

Apa arti “404 Not Found” yang terdapat di mural wajah mirip Jokowi di Batuceper, Tangerang, yang ramai diperbincangkan di media sosial?

Kode error “404 Not Found” adalah istilah yang ada di bidang teknologi. Biasanya hal tersebut ditemukan saat pengguna tidak bisa menemukan sesuatu yang dicarinya. Misalnya, ketika pengguna mencari dengan mengetik sesuatu di internet, namun browser tidak menemukan sesuatu tersebut. Pada akhirnya, browser akan menampilkan kode error “404 Not Found”. Pakar media sosial dari Drone Emprit, Ismail Fahmi mengungkapkan, angka 404 itu muncul di layar komputer atau browser bila pencarian gagal menemui hasil. Ia lantas menjelaskan sejarah dari kode error “404 Not Found” tersebut. Berdasarkan informasi yang diterimanya, 404 tercipta di lantai 4 gedung CERN (Conseil Européen pour la Recherche Nucléaire/Dewan Eropa untuk Riset Nuklir), di Swiss. Di lantai 4 gedung CERN, ada ruangan bernama Room 404. Di dalam Room 404, staf-staf ditugasi mencari berkas-berkas. Hasil pencarian yang didapat staf akan dikirim lewat sistem informasi yang sudah sangat lazim digunakan saat ini yakni world wide web (WWW). Adapun WWW sendiri ditemukan oleh Tim Berners-Lee pada 1990. Saat itu, bila staf-staf di Room 404 tidak menemukan berkas yang dicari, mereka akan berkirim pesan lewat WWW dengan menyampaikan keterangan bertuliskan “Room 404: File not found”. “Ketika WWW (world wide web) digunakan makin luas, tidak hanya di lingkungan simulasi gedung CERN, protokol WWW tetap menggunakan 404 sebagai kode error ketika halaman yang dicari di sebuah situs web tidak ditemukan,” kata Ismail Fahmi lewat akun Twitter-nya (lihat: https://inet.detik.com/cyberlife/d-5682680/apa-arti-404-not-found-yang-ada-di-mural-wajah-mirip-jokowi).

Artinya, “404 Not Found” adalah suatu istilah atau bahasa di bidang teknologi yang kemudian disadur ke dalam kehidupan sehari-hari, terutama oleh angkatan muda atau milenial yang akrab dengan penggunaan komputer.

Istilah “404 Not Found” ini dalam pemahaman saya, merupakan bentuk konkret dari apa yang sering dikatakan oleh Kusni Sulang tentang “dua pemaduan”: pemaduan unsur-unsur baik dalam budaya diri sendiri dengan hal-hal positif dari luar–dari manapun datang dan asalnya”.

Melalui dua pemaduan ini maka suatu angkatan melahirkan budayanya sendiri yang tanggap zaman. Budaya tanggap zaman ini dengan kata lain bisa dikatakan sebagai budaya kekinian atau kebudayaan modern–kalau mau menggunakan istilah modern.

Dua pemaduan hanya mungkin terjadi jika kreativitas berkembang. Kreativitas hanya mungkin berkembang jika terdapat kemerdekaan berpikir (bedakan antara kemerdekaan dan kebebasan).

Kemerdekaan berpikir, mencipta dan mengungkapkan diri, ketika ia dikungkung atau dibelenggu, akan tetap menyatakan diri dalam satu dan lain bentuk. Ungkapan diri ini bisa saja sebatas melukiskan keadaan sebagaimana adanya sedang kreasi yang lebih jauh, akan menawarkan saran jalan keluar.

Kreasi sebagai sesuatu hal yang baru, terkadang ia hadir melawan arus, berpikir dan bertindak beyond the main stream atau out of box. Dalam bahasa Dayak Ngaju disebut maméh atau dalam kata-kata penulis, “kreativitas itu pemberontakan”.

Jadinya, istilah “404 Not Found” dari segi bahasa merupakan bentuk kreativitas. Hasil dari dua pemaduan, merupakan suatu karya saduran sedangkan isinya dalam pemahaman saya menggambarkan absennya Negara–konkretnya penyelengara Negara–di tengah-tengah masyarakat. State is NOT FOUND among her citizens sehingga warganegaranya menjadi memiloti kehidupan diri mereka sendiri.

Tiap generasi melahirkan  model pengungkapan diri masing-masing, baik itu dalam hal melukiskan keadaan maupun dalam menyatakan buah pikiran, entah itu berupa bentuk atau cara maupun dalam substansi, termasuk istilah-istilah.

Mural wajah mirip Jokowi ditutupi tulisan “404 Not Found” di Batuceper, Tangerang, hanyalah salah satu contoh saja dari sekian banyak fakta. Contoh lain, saya dapatkan pada antologi puisi Berto Tukan (sebuah cerpennya pernah diterbitkan di ruang kebudayaan Sahéwan Panarung Radar Sampit ini).

Judul antologi puisi Berto Tukan adalah “Aku Mengenangmu dengan Pening yang Butuh Panadol” (CV Pustka Anagram, Jakarta, 2021). Antologi puisi setebal 80 halaman ini bercerita tentang kehidupan di Jakarta yang oleh Bagus Purwadi, pengajar pada Institut Kesenian Jakarta, penulis Epilog antologi, disebut sebagai “kota bajingan”. Walapun demikian, “kota bajingan” itu selalu dikenang kendati dengan pening sehingga perlu minum panadol.

Judul antologi ini saja, saya rasakan sebagai sesuatu yang kocak sekaligus pahit. Kepahitan hidup yang dihadapi dengan rasa penuh jenaka sejenaka mural wajah mirip Jokowi ditutupi tulisan “404 Not Found” di Batuceper itu.

Berto adalah seorang penulis dan peneliti kelahiran Malang, Jawa Timur dan sekarang berdomisili di Jakarta. Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain Seikat Kisah Tentang Yang Bohong (Kumpulan Cerita, 2016), Sudah Lama Tidak Bercinta Ketika Bercinta Tidak Lama (Kumpulan Puisi, 2018).

Di samping itu, ia aktif di Gudskul Studi Kolektif dan Ekosistem Seni Rupa Kontemporer, sebuah lembaga studi seni alternatif. Ia juga mengajar paruh waktu di sebuah kampus swasta di Tanggerang Selatan. Setiap Kamis malam, ia dan Dirdho Adithyo mengampu program titikdua:segalanya tentang sastra di rururadio.org.

Puisi-puisi Berto dalam antologi Aku Mengenangmu dengan Pening yang Butuh Panadol, mengesankan penyair sangat akrab dengan kehidupan akar rumput dan barangkali juga cukup mengenyam pahit dan kejamnya kehidupan di “kota bajingan” Jakarta sehingga kata-kata yang digunakannya (istilah menterengnya: diksi) terasa keras dan lugas.

Yang paling menarik bagi saya bahwa dalam antologi Aku Mengenangmu dengan Pening yang Butuh Panadol ini, Berto menggunakan kata-kata dan masalah-masalah yang aktual dalam kehidupan hari ini seperti bpjs, grabmotor, android, digital, komputer, panadol, dan lain-lain yang sejenis. Bahasa-bahasa daerah (terutama Jawa) pun, ia gunakan. Tidak ada tabu bagi Berto dalam penggunaan diksi. Ia memegang erat kemerdekaan kepenyairannya.

Apa yang dilakukan oleh Berto dalam antologi Aku Mengenangmu dengan Pening yang Butuh Panadol agaknya tidak pernah terdapat pada diksi-diksi penyair angkatan sebelum Berto.

Hal wajar karena, sekali lagi, tiap angkatan hidup dan berkembang dalam kondisi sosial, politik, ekonomi, lingkungan dan tantangan  yang berbeda-beda.

Hal-hal ini tentu tidak terelakkan mempengaruhi cara mengungkapkan diri. Sebagai perbandingan, pada siaran di halaman ini, saya kutip beberapa sajak penyair angkatan pendahulu Berto.[]

Sajak Putih 
/: Sapardi Djoko Damono

Beribu saat dalam kenangan
surut perlahan
kita dengarkan bumi menerima tanpa mengaduh
sewaktu detik pun jatuh

kita dengar bumi yang tua dalam setia
Kasih tanpa suara
sewaktu bayang-bayang kita memanjang
mengabur batas ruang

kita pun bisu tersekat dalam pesona
sewaktu ia pun memanggil-manggil
sewaktu Kata membuat kita begitu terpencil
di luar cuaca.

Peta Baru Pelayaran
/: Raudal Tanjung Banua:

Laut dan teluk
yang kelewat tenang
seperti beku di mataku
Pulau-pulau jadi sehening batu
Kapal-kapal berlayar kaku
Menara dan mercu
jadi semati tugu

Maka aku nyalakan mata penaku
buat menggerakkan laut
dan pulau tanah airku
Kutulis samudera, maka gelombang
menggetarkan karang
Kutulis rempah, kopra dan kapal dagang
pulau-pulau terapung bagai kiambang
kapal-kapal berlari seligat kuda pacuan

Kawan, bila mata penamu
dan seribu mata pena lain
dinyalakan, maka laut
dan teluk akan terbakar
Abad-abad lewat
merentang jalan: berkobar
segala menara dan mercu
Atau sekadar jadi lilin
Tapi kuyakin,
tiap tetesnya jadi peta baru

Kepada Penyair Bohang 
/:Chairil Anwar

Suaramu bertanda derita laut tenang...
Si Mati ini padaku masih berbicara
Karena dia cinta, dimulutnya membusah
Dan rindu yang mau memerahi segala
Si Mati ini matanya terus bertanya!

Kelana tidak bersejarah
Berjalan kau terus!
Sehingga tidak gelisah
Begitu berlumuran darah.

Dan duka juga menengadah
Melihat gayamu melangkah
Mendayu suara patah:
"Aku saksi!"

Bohang,
Jauh di dasar jiwamu
bertampuk suatu dunia;
menguyup rintik satu-Satur
Kaca dari dirimu pula...

1945

Denyut 
/: Sutardji Calzoum Bachri

akan kau kau kan kah hidupmu
kau nanti kau akan kau mau kau mau

siapa yang tikam burung yang waktu
waktukutukku waktukutukku waktukutukku waktukutukku

kapan kau sayap diamnya batu
battuba battubi battubu

yang langit yang gapai tangan
denyutku denyutku denyutkuj
senja jakarta kesekian
pada puisi tersia-sia

senja jakarta kesekian
pada puisi tersiasia
/: Berto Tukan

orang-orang bergelantungan pada
mendung mendengung
senja jakarta

kebengisan multidimensional
anjing! Kayak orang pinter gue! 

janji-janji manis sebelum tercecap
sepah pun dibuang 

namun ada cinta, pada kelokan jalan
kawan sekantor membonceng seseorang
migrannya kambuh, sayang ke dokter
bpjs lalai diurus.

16 Juli 2017

Andriani SJ Kusni, penulis Kumpulan Sajak Mengumpulkan Remah-Remah. Untuk perbandingan selanjutnya, bisa dibaca Antologi karya Berto Tukan, Aku Mengenangmu dengan Pening yang Butuh Panadol.


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Andriani SJ Kusni dan Kusni Sulang, Radar Sampit, Minggu, 17 Oktober 2021

Catatan Andriani SJ Kusni: Menghidupkan Sastra di Pulau Borneo

Radar Sampit | Minggu, 22 Agustus 2021

Repro.

Korrie Layun Rampan, lahir pada 17 Agustus 1953 di Samarinda, Kalimantan Timur. Serangan jantung mengakhiri kiprah sastrawan Dayak Benuaq ini  pada 19 November 2015 di Cikini, Jakarta.

Ketika dikunjungi oleh Masri Sareb Putra, seorang penulis Dayak kelahiran Sekadau, Kalimantan Barat, Korrie, dalam artikelnya berjudul Rumah Sastra Korrie Layun Rampan, Masri antara lain menulis: “Ada “titipan” Korrie pada saya, yang saya kira wajib dilunasi. Saya diminta meneruskan karya dan perbuatan-sastranya. Waktu itu (2015), kami berjanji berbagi mengumpulkan profil dan senarai karya sastrawan dan pengarang Dayak.”

Permintaan “meneruskan karya dan perbuatan-sastranya” ini oleh seorang penulis senior, Dodi Mawardi, dalam artikelnya bertajuk “Menanti Geliat Baru Sastra Orang Kalimantanditafsirkan sebagai “pesan khusus dari sastrawan besar Kalimantan yang sudah wafat–Korrie Layun Rampan–untuk meneruskan perjuangan tetap menghidupkan sastra di Pulau Borneo”.

Dalam upaya melaksanakan pesan ini maka Masri, menurut Dodi, “mengajak pegiat sastra di Kalimantan, khususnya Dayak, untuk bersama-sama bergerak dan menggeliatkan literasi fiksi di sana” (baca: Pulau Borneo-ASJK).

Artinya, menurut penafsiran Dodi Mawadi, meneruskan “perbuatan sastra” yang dimaksudkan oleh Korrie itu terutama atau sebatas “menggeliatkan literasi fiksi”Pulau Borneo, termasuk di Sabah dan Sarawak, sebagaimana dilakukan selama ini oleh berbagai pihak, terutama Dayak.

Guna mewujudkan keinginan diperlukan organisator, syarat dan cara konkret.

Organisator dan sponsor itu nampaknya berada di tangan Dr. Yansen Tipa Padan, M.Si, seorang Dayak kelahiran 14 Januari 1960, Pa’Upan, Krayan Selatan; mantan Bupati Malinau dua periode 2011-2016 dan 2016-2021 dan sekarang menjadi Wakil Gubernur Kalimantan Utara periode 2021-2025  berpasangan dengan Gubernur Zainal Arifin Paliwang, asal Makassar. Keduanya disokong kuat oleh organisasi saudagar Bugis.

Yansen mempunyai perhatian besar terhadap dunia tulis-menulis. Buku-bukunya yang sudah diterbitkan adalah Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat, dan Kaltara Rumah Kita. Perhatian terhadap dunia literasi ini kemudian ia lanjutkan dengan mendirikan ytprayeh.com yang diasuh oleh sebuah tim terdiri dari: Pelindung: Yansen Tipa Padan; Editor Konten: Pepih Nugraha; Lobi dan Marketing: Masri Sareb Putra; Bisnis dan Pengembangan: Dodi Mawardi; Desain Web/Aplikasi dan IT: Riki Kurniadi.

Dalam web dijelaskan bahwa ytprayeh.com didirikan sebagai “media warga, wadah bagi penulis yang berminat pada literasi, kebudayaan, kebangsaan, peradaban, serta pemikiran lintas agama, etnis, dan golongan dalam bentuk artikel, kajian, feature, dan analisis yang ditulis dari sudut pandang berbeda dari berita media arus utama. Kantor Pusat Lembaga ini terdapat di D’Mandiri Building 3nd Floor Merdeka 10, Malinau 55518, Kalimantan Utara. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa sebagai sebuah lembaga, ytprayeh.com bersifat terbuka dan lintas etnik sebagaimana juga tercermin dalam komposisi tim pengasuh.

Oleh sifat lintas etnik demikian, maka agak sulit membayangkan bahwa sastra dalam bahasa lokal akan memperoleh tempat. Apabila sastra tidak terpisahkan dari bahasa, lalu sastra dalam bahasa, lalu sastra berbahasa, apakah yang digeliatkan dan mau digeliatkan oleh Korrie serta ingin dilanjutkan oleh Masri sebagai pengemban pesan?

Sifat lintas etnik lembaga sudah menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia sehingga sastra yang ingin digeliatkan juga adalah sastra berbahasa Indonesia. Bukan sastra berbahasa Dayak. Apalagi secara demografis Orang Dayak di Kaltara sudah tidak dominan lagi.

Penggeliatan sastra berbahasa Indonesia di Pulau Borneo ini juga nampak dari kegiatan-kegiatan Korrie semasa hidup. Tidak nampak tanda-tanda bahwa Korrie menaruh perhatian pada sastra berbahasa Dayak. Hal inipun tidak nampak pada Yansen. Yang diangkat oleh Yansen dalam paparannya di Seminar Kebudayaan Dayak di Gedung Bappenas Jakarta tahun 2020 adalah meminta dibukanya kesempatan untuk duduk di pos-pos strategis.

Pertanyaannya: Apakah tidak mungkin dilakukan secara bersamaan, penggeliatan sastra berbahasa daerah dan sastra berbahasa Indonesia? Tidak adanya atau minimnya perhatian pada bahasa daerah setempat akan mempercepat punahnya bahasa-bahasa daerah tersebut apalagi komposisi demografi yang terus berubah yang menempatkan Orang Dayak makin berada dalam posisi minoritas di kampung kelahiran sendiri.

Punahnya sebuah bahasa sama artinya dengan lenyapnya lumbung nilai dan kearifan beberapa generasi serta bisa menyebabkan kita menjadi orang asing terhadap diri kita sendiri. Kebhinnekaan yang merupakan suatu kekayaan dan modal untuk menciptakan sesuatu yang baru akan menjurus ke uniformitas yang tidak indah. Soempah Pemoeda Oktober 1928 antara lain menyebutkan bahwa “KETIGA: Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia”. Bukan “berbahasa satu”.

Korrie Layun Rampan pernah menjadi anggota DPRD Kutai Barat diusung oleh Partai Demokrat. Yansen Tipa Padan sekarang adalah salah seorang Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Partai Demokrat. Warna partai ini pun tercermin dalam ytprayeh.com. Ada puisi yang menyanjung AHY, ketua umum  partai, ada juga rangkaian tulisan-tulisan Susilawati yang sangat berbau Partai Demokrat.

Membaca hal-hal demikian, saya jadi ragu apakah betul ytprayeh.com hadir untuk menggeliatkan sastra di Pulau Borneo. Keraguan ini muncul karena saya pikir, kalau tujuannya memang untuk menggeliatkan sastra di Pulau Borneo, seyogyanya diciptakan ruang seluas mungkin agar banyak kalangan bisa terlibat. Penonjolan Partai Demokrat dalam lembaga ini boleh jadi akan membuat ruang tersedia menjadi sempit sedangkan dunia seni termasuk sastra, seperti yang dikatakan oleh Naguib Mahfouz, penulis asal Mesir penerima Hadiah Nobel Sastra, “Art is a criticism of society and life, and I believe that if life became perfect, art would be meaningless and cease to exist.”

Independensi merupakan prasyarat bagi sastra-seni untuk bisa melakukan fungsi mengkritik masyarakat dan kehidupan.  Apakah ada independensi kalau sudah dikaitkan dengan partai politik dan politiknya?

Untuk menggeliatkan kehidupan sastra-seni di Pulau Borneo, terutama kebudayaan Dayak, perlu adanya lembaga independen yang mampu menghimpun semua kekuatan, selain konsep kebudayaan jelas yang mau diwujudkan.

Dalam upaya penggeliatan sastra-seni ini niscayanya sastra-seni lokal (baca Dayak) selayaknya tidak ditinggalkan. Menjadi Indonesia tidak berarti mengakhiri diri sebagai Dayak, sebagai Ambon, Papua, Makassar, dan lain-lain.

Menyingkirkan Budaya Ibu, apa gerangan bedanya dengan bunuh diri budaya dan atau mengajak orang untuk melakukan bunuh diri budaya?[]


Halaman Budaya Harian Radar Sampit . Minggu, 22 Agustus 2021.