Catatan Kusni Sulang
Penyunting: Andriani SJ Kusni
‘Referendum’ adalah bentuk gerundive dari kata kerja bahasa Latin ‘refero’, yang secara harfiah berarti “membawa kembali” (dari kata kerja ‘fero’, yang berarti membawa. ‘Re’ artinya kembali; ‘refero’ jadinya berarti “membawa kembali”).
Atas dasar itu maka Cambridge Academic Content Dictionary mengartikan referendum sebagai “a vote in which all the people in a country or an area decide on an important question” (suatu pemungutan suara tentang suatu masalah penting yang diikut-sertai oleh seluruh warga masyarakat dalam sebuah negeri atau suatu daerah).
Kosakata ini kemudian diadopsi oleh Bahasa Indonesia dengan arti “penyerahan suatu masalah kepada orang banyak supaya mereka yang menentukannya (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen); penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum (semua anggota suatu perkumpulan atau segenap rakyat)” (https://kbbi.web.id/referendum).
Sementara orang berpendapat bahwa referendum itu padanan dari jajak pendapat. Apakah benar demikian? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘jajak‘, ‘menjajaki’ (v), itu berarti menduga, menelaah (1999:395). Hasil dugaan itu tidak mempunyai dampak politik apapun. Dugaan tidak mempunyai akurasi. Karena itu dalam pengumpulan pendapat umum, ruang untuk kesalahan dugaan itu disediakan dalam apa yang dinamakan margin of error (batas kesalahan) sedangkan dalam referendum selain mempunyai dampak praktis-politis, di akhir kegiatan ia sudah mempunyai kepastian hasil yang tidak bersifat dugaan lagi. Referendum merupakan salah satu cara menyelesaikan permasalahan dengan keikutsertaan “orang banyak”.
Di desa-desa Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas pada bulan Juni 2019 lalu telah dibentuk Panitia Persiapan Penetapan Desa Adat Se-Kecamatan. Sejak bulan tersebut, berbagai kegiatan untuk mengejawantahkan keinginan ini telah dilakukan. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI, dalam suratnya tertanggal 26 Agustus 2019 kepada Kepada Kepala Dinas PMD di 10 provinsi, termasuk Kepala Dinas PMD Kalimantan Tengah (Kalteng) memerintahkan agar memfasilitasi Persiapan Penataan Desa Adat. Kecamatan Manuhing Raya merupakan satu-satunya tempat di Kalimantan Tengah yang dipandang oleh kementerian ini sebagai yang berpotensi menjadi desa adat (hanya saja sejauh ini, saya belum melihat langkah-langkah PMD Provinsi Kalimantan Tengah untuk melaksanakan instruksi Kementerian Desa 26 Agustus 2019).
Berbeda dengan sikap PMD Provinsi Kalimantan Tengah adalah sikap Pemerintah dan DPRD Kabupaten Gunung Mas yang cepat tanggap dan menyatakan dukungan penuh. DPRD Kabupaten Gunung Mas telah berkali-kali menyatakan dukungan dan siap menggunakan hak inisiatif menyusun Peraturan Daerah (Perda) pada bulan Februari 2020. Karena itu, semua fraksi DPRD Gunung Mas mendesak Panitia Persiapan Penetapan Desa Adat Se-Kecamatan untuk bekerja cepat memenuhi semua persyaratan untuk ditetapkan menjadi desa adat. Salah satu syarat mutlak adalah adanya “kesepakatan masyarakat”.
“Kami akan membantu perwujudan desa adat ini. Kami tidak akan mempersulit rakyat. Ini jalan terbaik untuk Dayak,” ujar Untung Jaya Bangas dari Fraksi Golkar anggota rombongan DPRD Gunung Mas ketika berkunjung ke desa-desa Manuhing Raya, 8 Januari 2020.
Saat bertemu dengan Wakil Bupati Gunung Mas, Efrensia, beberapa menit dalam sebuah perhelatan perkawinan seorang teman di Kuala Kurun, ia bertanya pada saya, “Apakah semuanya sudah siap?”
“Belum semuanya. Berikan kami waktu sedikit lagi.”
“Cepat, ya!” tegas wakil bupati.
Bagi saya, sikap tegas dan penuh perhatian, baik dari pihak legislatif maupun pihak eksekutif ini sangat berarti dan membantu proses terwujudnya penetapan desa adat, jalan kebangkitan dan jalan menjadi tuan di kampung lahir warga adat, cq. Dayak. Bukan jalan lima skema perhutanan sosial yang hanya memberikan akses ke penggunaan, bukan akses ke penguasaan dan kepemilikan aset. Penetapan desa adat merupakan bentuk konkret pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap masyarakat adat yang telah ada jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Karena itu akan lebih praktis jika Perda Tentang Desa Adat lebih diutamakan atau didahulukan daripada penerbitan Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan Masyarakat Adat.
Seperti dikatakan oleh Punding S. Merang dari Fraksi Golkar yang juga turut datang ke desa-desa Manuhing Raya, “Desa adat hanya menguntungkan Orang Dayak. Tapi kalianlah, warga desa yang menetapkan apakah mau berubah menjadi desa adat atau tidak. Untuk itu, ide menyelenggarakan referendum adalah ide yang sangat baik.”
Menurut rencana, referendum desa tentang desa adat di di daerah perdesaan Manuhing Raya, apabila tidak ada perubahan baru, akan dilangsungkan bulan Januari 2020 ini. Tanggal 27 Januari 2020 di Desa Tumbang Samuї; 29 Januari 2020 di Desa Tumbang Oroi, 30 Januari 2020 di Desa Tumbang Mantuhe, 31 Januari 2020 di Desa Putat Durei, dan pada 1 Februari 2020 di Desa Luwuk Tukau. Sosialisasi dari rumah ke rumah tentang apa itu desa adat dan apa manfaatnya telah dilakukan intensif. Diharapkan pada hari-hari pelaksanaan referendum tentang desa adat yang langka terjadi di Kalimantan Tengah dan bahkan di Indonesia, anggota-anggota DPRD Kabupaten Gunung Mas akan ikut hadir menyaksikannya. Sebagai persiapan referendum, berbagai kegiatan berkali-kali dilakukan mulai dari kelas belajar, sosialisasi dari rumah ke rumah, penyebaran informasi melalui selebaran-selebaran hingga ke Pra Pumpung Haї untuk menjawab semua pertanyaan dalam skala kecamatan. Termasuk dalam persiapan referendum telah diorganisasi juga kunjungan studi banding ke Bali bagi kepala-kepala desa se-kecamatan. Penjelasan-penjelasan apa yang disebut desa adat dan referendum ini akan diteruskan oleh panitia-panitia referendum setiap desa sampai pada hari pelaksanaan. Kiranya sulit disebut bahwa warga desa tidak tahu tentang desa adat dan referendum sehingga melalui referendum bulan Januari 2020 ini jika warga desa menyatakan tidak setuju atau setuju dengan desa adat, ketidaksetujuan dan atau persetujuan secara hitungan segera diputuskan atas dasar pengetahuan dan bukan karena ketidaktahuan serta bukan pula karena keterpaksaan.
Penyelenggaraan referendum sepenuhnya dilakukan oleh warga desa di bawah pimpinan Pemerintah Desa dan Panitia Persiapan Penetapan Desa Adat Se-Kecamatan. Keikutsertaan langsung seluruh warga desa yang berhak memilih atau memberikan suara dalam sebuah referendum tentang masalah-masalah penting seperti perubahan desa dinas menjadi desa adat, bermakna pula bahwa warga desa melaksanakan hak kedaulatan mereka, partisipasi langsung dalam menentukan wajah hari esok mereka. Bentuk nyata bahwa masyarakat desa sedang mengambil hak tuan mereka atas kampung-halaman dan kampung-lahir mereka. Dengan kata lain, warga desa sedang berupaya mengubah status mereka dari posisi yang selama ini diperlakukan sebagai obyek belaka melalui kebijakan-kebijakan top-down berubah menjadi subyek berdaulat. Konsep ini dalam sejarah desa-desa Manuhing Raya dinamakan tradisi desa merdeka.
Dilihat dari segi jargon “manggatang utus”, maka referendum tentang desa adat ini adalah cara konkret untuk mewujudkan keinginan “manggatang utus” ini. Sebab kalau pengamatan saya benar, sampai hari ini jargon “manggatang utus” lebih bersifat himbauan sedangkan bagaimana mewujudkannya, tidak pernah ada program nyata yang disusun dan dilaksanakan. Himbauan tanpa usaha konkret mewujudkannya, seberapa lama pun tidak akan pernah mengubah kenyataan. Keinginan atau cita-cita seperti “manggatang utus” selain memerlukan orientasi dan cara-cara yang tepat juga memerlukan penggalangan kekuatan yang mampu memberikan daya paksa pada kata-kata. Kekuatan demikian akan tercipta melalui organisasi dan berorganisasi. Desa Adat pada galibnya sebuah organisasi warga desa Dayak yang berpijak pada landasan budaya Dayak sendiri sambil menyerap hal-hal baik dari luar. Desa Adat sebagai organisasi akan menjadi kian kokoh dan mempunyai daya tawar baru ketika ia mempunyai sistem jejaring, baik di tingkat lokal, nasional dan internasional. Apabila berbicara tentang Kalimantan Tengah dan pemberdayaan Orang Dayak tapi tidak mendukung penetapan desa adat, saya kira politisi demikian sedang membual tentang pemberdayaan dan pembangunan Kalimantan Tengah. Dari sudut pandang inilah maka saya sangat menghargai dukungan dan janji untuk mengkonkretkan desa adat di Manuhing Raya dari pihak DPRD dan pemerintah Kabupaten Gunung Mas.
Selanjutnya, hasil referendum ini akan diumumkan melalui Pumpung Haї Se-Kecamatan yang kemudian hasil-hasilnya akan disampaikan baik secara tertulis ataupun melalui Rapat Dengar Pendapat dengan DPRD Kabupaten Gunung Mas sebagai bahan penyusunan Perda Desa Adat Kabupaten Gunung Mas.
Referendum tentang desa adat di lima desa Kecamatan Manuhing Raya ini merupakan langkah awal kebangkitan masyarakat Dayak di daerah perdesaan; langkah awal pula bagi pemberdayaan berdasarkan budaya lokal; awal pula dari upaya pemberdayaan dan pembangunan dari desa oleh dan untuk masyarakat desa. Relatif lancarnya upaya perjuangan penetapan desa adat di lima desa Kecamatan Manuhing Raya sejauh ini tidak lepas dari kesatuan pikiran dan keserempakan langkah antara masyarakat akar rumput yang sadar dan terorganisasi dengan penyelenggara negara baik di kalangan legislatif maupun eksekutif serta pendamping non pemerintah yang berkomitmen sosial tinggi dan sungguh-sungguh. Sinerjitas kerja antara tiga pihak dengan payung hukum yang jelas ini saya namakan sebagai sinerjitas kerja tripartite.
Agaknya perubahan demokratis sesungguhnya, demikian juga pemberdayaan dan pembangunan yang memanusiawikan secara mendasar mungkin bisa dimulai dari akar rumput, dari daerah perdesaan. Untuk masyarakat Dayak, karena mayoritas daerah perdesaan masih dihuni oleh Orang Dayak, barangkali jalan desa adat merupakan jalan re-dayak-isasi atau jalan menuju Dayak Bermartabat dan Dayak Kekinian sedangkan Lima Skema Perhutanan Sosial hanyalah jalan tambal-sulam dan semu. Salah-salah siasat terselubung untuk menguntungkan korporasi sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman pribadi seorang penggiat LSM Kalteng.
Dilihat dari arti strategis desa adat yang dibangun dari bawah atau akar rumput antara lain melalui referendum maka kesungguhan para calon gubernur dan bupati dalam memberdayakan dan membangun Kalimantan Tengah, salah satu tolok ukurnya adalah sikap mereka terhadap penetapan desa adat. Hal ini antara lain akan terbaca melalui program yang mereka tawarkan. Sementara bagi petahana, terdeteksi melalui kebijakan-kebijakan serta tindakan nyatanya selama lima tahun berlalu. Pilihan yang tepat ditentukan oleh kesadaran politik dan atau kesadaran berwarga negara. Sementara “uang sang raja” ingin terus merawat dan menernak ketidaktahuan, kebodohan dan ketakutan. Padahal ketidaktahuan, kebodohan dan ketakutan tidak lain dari jalan ke dasar jurang gelap. Jika Orang Dayak turut beternak ketidaktahuan, kebodohan dan ketakutan, maka yang akan terjadi adalah keadaan sebagaimana ditulis oleh penyair asal Sulawesi Tengah, Tenri D. Limboto:
percuma mengaku dayak jika hanya bisa menadah tangan mengais-ngais belas kasihan sudah bangga tugas penjinjing tas untuk dua-tiga juta sebulan kampung ini akan tetap saja terpuruk sungai-sungai menjejerkan rumah-rumah kumuh penduduk apabila kita mati selagi hidup kekumuhan ini berawal dari kekumuhan jiwa berawal dari jiwa-jiwa mati percuma mengaku dayak jika tidak bisa membaca tak bisa menghitung hari ini tidak bisa membaca isyarat langit untuk merajut esok bermatahari jiwa yang kumuh ditunggu kehancuran jiwa yang mati dinanti kehilangan maka aku bertanya: siapa namamu? kau jualkah rohmu kau jual berapa? kalau begitu percuma kau menjadi Dayak Dari: Tenri D. Limboto, ‘Percuma Mengaku Dayak’
Telah siar di Harian Radar Sampit, Halaman Masyarakat Adat, Minggu 26 Januari 2020.