REFERENDUM DESA ADAT

Catatan Kusni Sulang

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Banyaknya sandung, pambak, patahu, dan tiang pantar serta benda-benda pusaka keramat yang tersebar di daerah perdesaan Manuhing Raya memperlihatkan kuatnya pengaruh budaya Dayak dalam kehidupan sehari-hari masyarakat – salah satu syarat untuk menjadi desa adat. Foto ini melukiskan keadaan  budaya di Desa Oroi. Foto/Dokumentasi: Kusni Sulang, 2019

‘Referendum’ adalah bentuk gerundive dari kata kerja bahasa Latin  ‘refero’, yang secara  harfiah berarti “membawa kembali” (dari kata kerja ‘fero’, yang berarti membawa. ‘Re’ artinya kembali; ‘refero’ jadinya berarti “membawa kembali”).

Atas dasar itu maka Cambridge Academic Content Dictionary mengartikan referendum sebagai “a vote in which all the people in a country or an area decide on an important question” (suatu pemungutan suara tentang suatu masalah penting yang diikut-sertai oleh seluruh warga masyarakat dalam sebuah negeri atau suatu daerah).

Kosakata ini kemudian diadopsi oleh Bahasa Indonesia dengan arti  “penyerahan suatu masalah kepada orang banyak supaya mereka yang menentukannya (jadi, tidak diputuskan oleh rapat atau oleh parlemen); penyerahan suatu persoalan supaya diputuskan dengan pemungutan suara umum (semua anggota suatu perkumpulan atau segenap rakyat)” (https://kbbi.web.id/referendum).

Sementara orang berpendapat bahwa referendum itu padanan dari jajak pendapat. Apakah benar demikian? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ‘jajak‘, ‘menjajaki’ (v), itu berarti menduga, menelaah (1999:395). Hasil dugaan itu tidak mempunyai dampak politik apapun. Dugaan tidak mempunyai akurasi. Karena itu dalam pengumpulan pendapat umum, ruang untuk kesalahan dugaan itu disediakan dalam apa yang dinamakan margin of error (batas kesalahan) sedangkan dalam referendum selain mempunyai dampak praktis-politis, di akhir kegiatan ia sudah mempunyai kepastian hasil yang tidak bersifat dugaan lagi. Referendum merupakan salah satu cara menyelesaikan permasalahan dengan keikutsertaan “orang banyak”.

Di desa-desa Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas pada bulan Juni 2019 lalu telah dibentuk Panitia Persiapan Penetapan Desa Adat Se-Kecamatan. Sejak bulan tersebut, berbagai kegiatan untuk mengejawantahkan keinginan ini telah dilakukan. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI, dalam suratnya tertanggal 26 Agustus 2019 kepada Kepada Kepala Dinas PMD di 10 provinsi, termasuk Kepala Dinas PMD Kalimantan Tengah (Kalteng) memerintahkan agar memfasilitasi Persiapan Penataan Desa Adat. Kecamatan Manuhing Raya merupakan satu-satunya tempat di Kalimantan Tengah yang dipandang oleh kementerian ini sebagai yang berpotensi menjadi desa adat (hanya saja sejauh ini, saya belum melihat langkah-langkah PMD Provinsi Kalimantan Tengah untuk melaksanakan instruksi Kementerian Desa 26 Agustus 2019).

Berbeda dengan sikap PMD Provinsi Kalimantan Tengah adalah sikap Pemerintah dan DPRD Kabupaten Gunung Mas yang cepat tanggap dan menyatakan dukungan penuh. DPRD Kabupaten Gunung Mas telah berkali-kali menyatakan dukungan dan siap menggunakan hak inisiatif menyusun Peraturan Daerah (Perda) pada bulan Februari 2020. Karena itu, semua fraksi DPRD Gunung Mas mendesak Panitia Persiapan Penetapan Desa Adat Se-Kecamatan untuk bekerja cepat memenuhi semua persyaratan untuk ditetapkan menjadi desa adat. Salah satu syarat mutlak adalah  adanya “kesepakatan masyarakat”.

“Kami akan membantu perwujudan desa adat ini. Kami tidak akan mempersulit rakyat. Ini jalan terbaik untuk Dayak,” ujar Untung Jaya Bangas dari Fraksi Golkar anggota rombongan DPRD Gunung Mas ketika berkunjung ke desa-desa Manuhing Raya, 8 Januari 2020.

Saat bertemu dengan Wakil Bupati Gunung Mas, Efrensia, beberapa menit dalam sebuah perhelatan perkawinan seorang teman di Kuala Kurun, ia bertanya pada saya, “Apakah semuanya sudah siap?”

“Belum semuanya. Berikan kami waktu sedikit lagi.”

“Cepat, ya!” tegas wakil bupati.

Bagi saya, sikap tegas dan penuh perhatian, baik dari pihak legislatif maupun pihak eksekutif ini sangat berarti dan membantu proses terwujudnya penetapan desa adat, jalan kebangkitan dan jalan menjadi tuan di kampung lahir warga adat, cq. Dayak. Bukan jalan lima skema perhutanan sosial yang hanya memberikan akses ke penggunaan, bukan akses ke penguasaan dan kepemilikan aset. Penetapan desa adat merupakan bentuk konkret pengakuan, perlindungan dan penghormatan terhadap masyarakat adat yang telah ada jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Karena itu akan lebih praktis jika Perda Tentang Desa Adat lebih diutamakan atau didahulukan daripada penerbitan Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan Masyarakat Adat.

Seperti dikatakan oleh Punding S. Merang dari Fraksi Golkar yang juga turut datang ke  desa-desa Manuhing Raya, “Desa adat hanya menguntungkan Orang Dayak. Tapi kalianlah, warga desa yang menetapkan apakah mau berubah menjadi desa adat atau tidak. Untuk itu, ide menyelenggarakan referendum adalah ide yang sangat baik.”

Menurut rencana, referendum desa tentang desa adat di di daerah perdesaan Manuhing Raya, apabila tidak ada perubahan baru, akan dilangsungkan bulan Januari 2020 ini. Tanggal 27 Januari 2020 di Desa Tumbang Samuї; 29 Januari 2020 di Desa Tumbang Oroi, 30 Januari 2020 di Desa Tumbang Mantuhe, 31 Januari 2020 di Desa Putat Durei, dan pada 1 Februari 2020 di Desa Luwuk Tukau. Sosialisasi dari rumah ke rumah tentang apa itu desa adat dan apa manfaatnya telah dilakukan intensif. Diharapkan pada hari-hari pelaksanaan referendum tentang desa adat yang langka terjadi di Kalimantan Tengah dan bahkan di Indonesia, anggota-anggota DPRD Kabupaten Gunung Mas akan ikut hadir menyaksikannya. Sebagai persiapan referendum, berbagai kegiatan berkali-kali dilakukan mulai dari kelas belajar, sosialisasi dari rumah ke rumah, penyebaran informasi melalui selebaran-selebaran  hingga ke Pra Pumpung Haї untuk menjawab semua pertanyaan dalam skala kecamatan. Termasuk dalam persiapan referendum telah diorganisasi juga kunjungan studi banding ke Bali bagi kepala-kepala desa se-kecamatan. Penjelasan-penjelasan apa yang disebut desa adat dan referendum ini akan diteruskan oleh panitia-panitia referendum setiap desa sampai pada hari pelaksanaan. Kiranya sulit disebut bahwa warga desa tidak tahu tentang desa adat dan referendum sehingga melalui referendum bulan Januari 2020 ini jika warga desa menyatakan  tidak setuju  atau setuju dengan desa adat, ketidaksetujuan dan atau persetujuan secara hitungan segera diputuskan atas dasar pengetahuan dan bukan karena ketidaktahuan serta bukan pula karena keterpaksaan.

Penyelenggaraan referendum sepenuhnya dilakukan oleh warga desa di bawah pimpinan  Pemerintah Desa dan Panitia Persiapan Penetapan Desa Adat Se-Kecamatan. Keikutsertaan langsung seluruh warga desa yang berhak memilih atau memberikan suara dalam sebuah referendum tentang masalah-masalah penting seperti perubahan desa dinas menjadi desa adat, bermakna pula bahwa warga desa melaksanakan hak kedaulatan mereka, partisipasi langsung dalam menentukan wajah hari esok mereka. Bentuk nyata bahwa masyarakat desa sedang mengambil hak tuan mereka atas kampung-halaman dan  kampung-lahir mereka. Dengan kata lain, warga desa sedang berupaya mengubah status mereka dari posisi yang selama ini diperlakukan sebagai obyek belaka melalui kebijakan-kebijakan top-down berubah menjadi subyek berdaulat. Konsep ini dalam sejarah desa-desa Manuhing Raya dinamakan tradisi desa merdeka.

Dilihat dari segi jargon “manggatang utus”, maka referendum tentang desa adat ini adalah cara konkret untuk mewujudkan keinginan “manggatang utus” ini.  Sebab kalau pengamatan saya benar, sampai hari ini jargon “manggatang utus” lebih bersifat himbauan sedangkan bagaimana mewujudkannya, tidak pernah ada program nyata yang disusun dan dilaksanakan. Himbauan tanpa usaha konkret mewujudkannya, seberapa lama pun tidak akan pernah mengubah kenyataan. Keinginan atau cita-cita seperti “manggatang utus” selain memerlukan orientasi dan cara-cara yang tepat juga memerlukan penggalangan kekuatan yang mampu memberikan daya paksa pada kata-kata. Kekuatan demikian akan tercipta melalui organisasi dan berorganisasi. Desa Adat pada galibnya sebuah organisasi warga desa Dayak yang berpijak pada landasan budaya Dayak sendiri sambil menyerap hal-hal baik dari luar. Desa Adat sebagai organisasi akan menjadi kian kokoh dan mempunyai daya tawar baru ketika ia mempunyai sistem jejaring, baik di tingkat lokal, nasional dan internasional. Apabila berbicara tentang Kalimantan Tengah dan pemberdayaan Orang Dayak tapi tidak mendukung penetapan desa adat, saya kira politisi demikian sedang membual tentang pemberdayaan dan pembangunan Kalimantan Tengah. Dari sudut pandang inilah maka saya sangat menghargai dukungan dan janji untuk mengkonkretkan desa adat di Manuhing Raya dari pihak DPRD dan pemerintah Kabupaten Gunung Mas.

Selanjutnya, hasil referendum ini akan  diumumkan melalui Pumpung Haї Se-Kecamatan yang kemudian hasil-hasilnya akan disampaikan baik secara tertulis ataupun melalui Rapat Dengar Pendapat dengan DPRD Kabupaten Gunung Mas sebagai bahan penyusunan Perda Desa Adat Kabupaten Gunung Mas.

Referendum tentang desa adat di lima desa Kecamatan Manuhing Raya ini merupakan langkah awal kebangkitan masyarakat Dayak di daerah perdesaan; langkah awal pula bagi pemberdayaan berdasarkan budaya lokal; awal pula dari upaya pemberdayaan dan pembangunan dari desa oleh dan untuk masyarakat desa. Relatif lancarnya upaya perjuangan penetapan desa adat di lima desa Kecamatan Manuhing Raya sejauh ini tidak lepas dari kesatuan pikiran dan keserempakan langkah antara masyarakat akar rumput yang sadar dan terorganisasi dengan penyelenggara negara baik di kalangan legislatif maupun eksekutif serta pendamping non pemerintah yang berkomitmen sosial tinggi dan sungguh-sungguh. Sinerjitas kerja antara tiga pihak dengan payung hukum yang jelas ini saya namakan sebagai sinerjitas kerja tripartite.

Agaknya perubahan demokratis sesungguhnya, demikian juga pemberdayaan dan pembangunan yang memanusiawikan secara mendasar mungkin bisa dimulai dari akar rumput, dari daerah perdesaan. Untuk masyarakat Dayak, karena mayoritas daerah perdesaan masih dihuni oleh Orang Dayak, barangkali jalan desa adat merupakan jalan re-dayak-isasi atau jalan menuju Dayak Bermartabat dan Dayak Kekinian sedangkan Lima Skema Perhutanan Sosial hanyalah jalan tambal-sulam dan semu. Salah-salah siasat terselubung untuk menguntungkan korporasi sebagaimana ditunjukkan oleh pengalaman pribadi seorang penggiat LSM Kalteng.

Dilihat dari arti strategis desa adat yang dibangun dari bawah atau akar rumput antara lain melalui referendum maka kesungguhan para calon gubernur dan bupati dalam memberdayakan dan membangun Kalimantan Tengah, salah satu tolok ukurnya adalah sikap mereka terhadap penetapan desa adat. Hal ini antara lain akan terbaca melalui program yang mereka tawarkan. Sementara bagi petahana, terdeteksi melalui kebijakan-kebijakan serta tindakan nyatanya selama lima tahun berlalu. Pilihan yang tepat ditentukan oleh kesadaran politik dan atau kesadaran berwarga negara. Sementara “uang sang raja” ingin terus merawat dan menernak ketidaktahuan, kebodohan dan ketakutan. Padahal ketidaktahuan, kebodohan dan ketakutan tidak lain dari jalan ke dasar jurang gelap. Jika Orang Dayak turut beternak ketidaktahuan, kebodohan dan ketakutan, maka yang akan terjadi adalah keadaan sebagaimana ditulis oleh penyair asal Sulawesi Tengah, Tenri D. Limboto:

percuma mengaku dayak
jika hanya bisa menadah tangan
mengais-ngais belas kasihan
sudah bangga tugas penjinjing tas
untuk dua-tiga juta sebulan

kampung ini akan tetap saja terpuruk
sungai-sungai menjejerkan rumah-rumah kumuh penduduk
apabila kita mati selagi hidup
kekumuhan ini berawal dari kekumuhan jiwa
berawal dari jiwa-jiwa mati

percuma mengaku dayak
jika tidak bisa membaca
tak bisa menghitung hari ini
tidak bisa membaca isyarat langit
untuk merajut esok bermatahari

jiwa yang kumuh
ditunggu kehancuran
jiwa yang mati
dinanti kehilangan
maka aku bertanya:

siapa namamu?
kau jualkah rohmu
kau jual berapa?
kalau begitu
percuma kau menjadi Dayak

Dari: Tenri D. Limboto, ‘Percuma Mengaku Dayak’

Telah siar di Harian Radar Sampit, Halaman Masyarakat Adat, Minggu 26 Januari 2020.

MENANTI DESA ADAT, MENGAPA LAMBAT?

Oleh: Yando Zakaria*

Penyunting: Andriani SJ Kusni

  • Desa adat. Secara umum, tak ada perbedaan hak dan kewajiban antara desa dan desa adat. Perbedaan dua nomenklatur ini terletak pada kewenangan, struktur kelembagaan, dan dasar pembentuk dari desa dan desa adat.
  • Jalur perubahan status desa dan kelurahan saat ini jadi desa adat sebagai langkah pengembalian hak-hak masyarakat adat. Intinya, “sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui” alias dengan jadi desa adat, persyaratan untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah dan hutan adat terpenuhi.
  • Sejauh data tersedia, respon pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota dalam memanfaatkan peluang penerapan nomenklatur desa adat masih rendah. Baru ada dua inisiatif berarti di tingkat provinsi, Sumatera Barat dan Bali.
  • Guna mendorong desa adat, perlu upaya-upaya khusus. Beberapa langkah strategis perlu dilakukan. Pertama, menyusun peraturan pemerintah tentang desa adat. Kedua, sosialisasi tentang peluang dan tantangan nomenklatur desa adat di berbagai daerah yang relevan. Ketiga, mengembangkan kapasitas para pihak yang berkepentingan dengan penerapan nomenklatur desa adat ini.
Pra-Pumpung Haї penetapan desa adat di Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Upacara manéték pantan menyambut rombongan DPRD Gunung Mas yang sedang reses dan hadir dalam Pra-Pumpung Haї. Foto: Dokumen Yando Zakaria/2019

Warga lima desa se-Kecamatan Manuhing Raya mendengarkan penjelasan Yando Zakaria tentang Desa Adat dalam Pra Pumpung Haї, 29 November 2019 di Desa Samuї. Foto. Dok.: Kusni Sulang/2019

Matahari bersinar terik. Peluh mengalir di sekujur badan. Di beberapa bagian ada gumpalan awan hitam menggelantung. Pertanda akan turun hujan. Meski begitu, 10 perempuan paruh baya dan seorang lelaki dengan usia lebih muda seakan tak peduli. Mereka terus saja manasai (menari) diiringi petikan sape (semacam gitar) yang terdengar monoton. Wajah memancarkan kegembiraan.

Hari itu, 29 November 2019. Menurut rencana, berlangsung pra pumpung hai (musyawarah menurut adat-istiadat setempat) dengan tema “Apa itu desa adat?” Kegiatan ini harus ada mengingat banyak pertanyaan soal rencana perubahan status desa dan kelurahan di kecamatan itu jadi desa adat.

Borneo Institute telah mendampingi masyarakat di desa-desa Kecamatan Manuhing Raya, Gunung Mas, Kalimantan Tengah ini sekitar lima tahun terakhir. Diawali dengan program penanaman sejuta pohon dan tanaman kehidupan, berkembang pada usaha-usaha berkaitan dengan program perhutanan sosial. Juga upaya mendapatkan pengakuan atas hutan adat yang didaku komunitas setempat sebagai bagian dari tanah adat mereka.

Guna memperkuat kapasitas community organizer dalam melaksanakan tugas-tugas lapangan dan memotivasi kelompok-kelompok dampingan, pada pertengahan Juni lalu digelar temu refleksi di bawah tajuk “Pemberdayaan Masyarakat Adat Dayak.” Kegiatan ini diikuti kepala desa/lurah, BPD, dan tokoh-tokoh masyarakat dari enam desa dan satu kelurahan di Kecamatan Manuhing Raya. Dalam pertemuan sehari itu dibahas permasalahan yang sedang dihadapi dan peluang-peluang tersedia untuk mengatasi persoalan masyarakat di daerah itu. Dari sana lahirlah pemahaman, tersedia jalur perubahan status desa dan kelurahan saat ini menjadi desa adat sebagai langkah pengembalian hak-hak masyarakat adat yang bahkan dianggap lebih baik dibandingkan program penerbitan surat keterangan tanah adat (sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 13/2013 tentang Surat Keterangan Tanah Adat), juga dari apa yang sedang diupayakan sejumlah elit politik setempat melalui program Dayak Misik yang memiliki semangat individualisasi tanah adat semata. Intinya, “sekali dayung (jadi desa adat), dua-tiga pulau terlampaui” alias persyaratan untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah dan hutan adat terpenuhi.

Pada hakekatnya, nomenklatur desa adat adalah salah satu jalan memenuhi ketentuan pengakuan hak masyarakat adat sesuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012. Dengan menjadi desa adat, komunitas adat yang bersangkutan akan jadi subyek hukum dan memiliki wewenang mengatur dan mengurus ulayat atau wilayah adat, salah satu dari sekian hak asal-usul desa adat yang diakui melalui UU Desa yang baru itu.

Panitia persiapan penetapan desa adat di Kecamatan Manuhing Raya pun dibentuk. Diketuai Siswanton, tokoh masyarakat setempat. Kepala desa/lurah sebagai penanggungjawab kegiatan lanjutan di tingkat desa/kelurahan masing-masing. Panitia persiapan bertugas melalukan proses pendalaman ide peralihan status ini di tingkat desa atau kelurahan melalui musyawarah dengan warga desa atau kelurahan.

Pendek cerita, organisasi pendamping, para pimpinan desa atau kelurahan dan tokoh-tokoh masyarakat lain telah bersepakat, untuk memperoleh keputusan akhir perlu referendum tingkat desa. Ada tiga pilihan ditawarkan dalam refendum yang paling lama dijadwalkan Maret 2020 ini: pertama, setuju jadi desa adat; kedua, tak setuju jadi desa adat; ketiga, tidak berpendapat.

Setelah hampir 70 tahun usia kemerdekaan Republik Indonesia, kali pertama kebijakan negara tentang desa — atau disebut dengan nama lain– tidak lagi terperangkap dalam upaya penyeragaman. Seturut asas rekognisi yang dikandung dalam Pasal 18 (sebelum amandemen) dan Pasal 18B ayat (2) (pasca amandemen) Undang-undang Dasar 1945, UU Nomor 6/2006 tentang Desa–kemudian disebut UU Desa– mengakui keberadaan dua jenis desa, yaitu desa dan desa adat, atau disebut dengan nama lain.

Sebagaimana disebutkan pada Pasal 6, kedua-duanya merupakan “… kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia.”

Pada dasarnya, sebagai fakta sosial, tentu ‘desa adat’ bukanlah sesuatu yang sama sekali baru ataupun diada-adakan. Sekadar menyebut dua contoh, desa adat umum terdapat di Bali dan disebut desa pekraman, dan apa yang disebut nagari di Sumatera Barat.

Melalui UU Desa, berbeda dengan apa yang terjadi pada masa sebelum ini, desa adat tak lagi sekadar fakta sosial dan budaya. Melainkan ‘derajat ditinggikan’ sebagai ‘fakta politik dan hukum.’ Hal ini secara eksplisit tercerminkan oleh pemberian hak pada desa adat itu untuk ‘mengatur dan mengurus pemerintahan dan pembangunan’ sebagaimana diamanatkan Pasal 6 itu.

Secara umum, tak ada perbedaan hak dan kewajiban antara desa dan desa adat. Perbedaan dua nomenklatur ini terletak pada kewenangan, struktur kelembagaan, dan dasar pembentuk dari desa dan desa adat. Sebagaimana diatur pada Pasal 19, baik desa maupun desa adat pada dasarnya memiliki kewenangan sama. Meski begitu, sebagaimana diatur Pasal 103, sesuai asas rekognisi (pengakuan) sebagaimana diatur Pasal 3, desa adat dapat dikatakan memiliki kewenangan lebih luas daripada desa.

Perbedaan itu terletak pada keluasan makna hak asal usul pada desa adat yang mencakup hal-hal: pertama, pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasaran susunan asli; kedua, pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat; ketiga, pelestarian nilai sosial budaya desa adat; keempat, penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat dalam wilayah selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah; kelima, penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; keenam, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat; ketujuh, pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa adat.

Pada dasarnya, nomenklatur desa adat adalah salah satu upaya mewujudkan amanat konstitusi. Sejak awal, kontitusi Indonesia telah mengakui hak-hak ‘susunan asli’ di Indonesia. Hal ini terlihat jelas pada Penjelasan untuk Pasal 18 UUD 1945. Pada butir II disebutkan, “dalam territoir negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan“Volksgemeenschappen,” seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan lain-lain. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli karena itu dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa itu dan segala peraturan negara mengenai daerah ini akan mengingat hak-hak asal-usul daerah itu.

Amanat Konstitusi

Meski begitu, alih-alih menerjemahkan ke dalam kebijakan lebih operasional, yang terjadi pada masa-masa berikutnya justru pelanggaran ataupun pengingkaran terhadap sejumlah hak asal-usul seperti hak sosial-ekonomi, sosial-politik, dan hak-hak sosial-budaya yang melekat dalam ‘susunan asli’ itu. Ia juga menimbulkan dampak sosial dan ekologi yang tak kecil. Belakangan muncul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 yang menegaskan kembali pengakuan yang ada dalam UUD 1945.

Karena itu, dalam konteks pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat–sebagaimana diamanatkan konstitusi–nomenklatur desa adat ini adalah satu upaya melibatkan masyarakat adat dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang selama ini menyingkirkan mereka. Nomenklatur desa adat pada dasarnya sebagai upaya menyelesaikan masalah hubungan negara dan masyarakat (hukum) adat yang memang sangat beragam itu. Keberagaman itu tak hanya berdasarkan hal-hal yang bersifat turunan seperti kategori ras, kelompok etnik, dan agama. Juga, berbeda dari hal-hal bersifat capaian seperti kemampuan adaptasi lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya, yang berpangkal pada sistem teknologi dan sistem mata pencarian. Pengakuan negara akan keberagaman ini tergambarkan ke dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika yang dilanjutkan dalam pengaturan konstitusi.

Secara praktis, kehadiran nomenkatur ini juga diharapkan sebagai titik awal bagi penyelesaian sengketa atau konflik penguasaan dan pengusahaan sumber daya agraria dengan jumlah terus meningkat. Juga konflik tata batas desa dan kawasan hutan (negara). Meski begitu, sepertinya momentum perubahan yang terbuka itu, tidak atau belum termanfaatkan optimal. Padahal penerapan nomenklatur desa adat memerlukan persiapan sedemikian rupa agar distorsi dari politik desentralisasi juga otonomi pada tingkat komunitas–mulai sejak reformasi bergulir—tak terulang atau justru makin parah.

Belum Optimal

Sebagaimana banyak disebutkan para ahli politik, desentralisasi dan otonomi komunitas terdistorsi, terwujud dalam sejumlah fenomena ‘patologi sosial’ semacam elite capture, diskriminasi antar etnik atau diskriminasi antar penduduk lokal dan pendatang juga kekerasan berbasis kelompok etnik, atau kembalinya ‘raja-raja kecil’.

Soal kemungkinan terjadi sejumlah distorsi, UU Desa telah melengkapi diri dengan sejumlah norma hukum. Harapannya agar dapat mengatasi persoalan-persoalan itu. Contoh, desa adat dapat mengatur dan melaksanakan pemerintahan berdasar struktur pada susunan asli. Meskipun begitu, untuk menjamin asas-asas pengaturan desa lain terlaksana, pemerintahan desa adat tetap harus bisa menyelenggarakan “fungsi permusyawaratan dan musyawarah desa adat sesuai susunan asli atau bentuk baru dengan prakarsa masyarakat desa adat”. Ini diatur dalam Pasal 108 UU Desa.

Demikian pula, Pasal 104, pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal-usul harus memperhatikan prinsip keberagaman. Bahkan, untuk memastikan pemerintahan desa adat dapat berjalan sebagaimana mestinya, pada Pasal 98 ayat (2) diatur pula, “pembentukan desa adat setelah penetapan sebagaimana ayat (1) dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, serta pemberdayaan masyarakat desa dan sarana prasarana pendukung”.

Pada akhirnya, sejauh tak diatur khusus pada Bab XIII tentang ‘Ketentuan Khusus Desa Adat’, sebagaimana Pasal 111 ayat (2), ketentuan tentang desa berlaku juga untuk desa adat. Artinya, pengakuan terhadap nomenklatur desa adat bukan tanpa merujuk pada asas pengaturan desa (Pasal 3) dan asas penyelenggaraan pemerintahan desa, sebagaimana Pasal 24. Meski begitu, sejauh data tersedia, respon pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota dalam memanfaatkan peluang penerapan nomenklatur desa adat masih rendah. Setidaknya hanya ada dua inisiatif berarti di tingkat provinsi, Sumatera Barat dan Bali.

Perlu Upaya Khusus

Hingga kini, peraturan daerah provinsi tentang pengaturan desa adat seperti amanat Pasal 109 hanya terwujud di Sumatera Barat dengan penetapan Perda Sumatera Barat Nomor 7/2018 tentang Nagari. Perda ini mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam peraturan daerah kabupaten dan kota. Sayangnya, sudah hampir dua tahun berlalu, perda penetapan desa adat di kabupaten maupun kota di Sumatera Barat tak kunjung terjadi.

Di Bali, karena ada penolakan dari berbagai kalangan, yang muncul Peraturan Daerah Bali Nomor 4/2019 tentang Desa Adat. Ia sama sekali tak menyebut UU Desa No 6/2014 dalam konsiderannya. Jadi, dualitas di Bali tetap berlangsung. Sampai tingkat tertentu ketegangan antara desa dinas dan desa adat di Bali terus berlanjut meski tak lagi muncul dalam perdebatan di ranah publik.

Dalam situasi demikian, wajar saja bila penetapan desa adat seperti Pasal 98 di seantero negeri belum lagi beringsut. Untuk itu, perlu upaya-upaya khusus. Beberapa langkah strategis perlu dilakukan. Pertama, menyusun peraturan pemerintah tentang desa adat. Kedua, sosialisasi tentang peluang dan tantangan nomenklatur desa adat di berbagai daerah yang relevan. Ketiga, mengembangkan kapasitas para pihak yang berkepentingan dengan penerapan nomenklatur desa adat ini.

Untuk itu, inisiatif di Manuhing Raya perlu disambut walau dengan harap-harap cemas.[]

R. Yando Zakaria

Penulis adalah pakar antropologi juga peneliti Pusat Etnografi Komunitas Adat di Yogyakarta. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis. Terima kasih atas sumbangan tulisan ini, Bung Yando.

Telah siar di Harian Radar Sampit, Halaman Masyarakat Adat, Minggu 19 Januari 2020.