PRAKTEK KELEDAI
Oleh Andriani S. Kusni
Dengan biaya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), di Arena Pameran Tamanggung Tilung, tahun 2015 ini, Taman Budaya KalimantanTengah (TBKT) mulai dibangun. TBKT ini menurut rencana memiliki paling sedikit 18 fasilitas seperti gedung pertunjukan tertutup dan terbuka, teater arena, galeri, gugusan kuliner, lapangan upacara adat, dan lain-lain. (Lihat: Bagan). Yang mulai dibangun tahun ini adalah gedung untuk kantor. Fasilitas bangunan-bangunan TBKT itu nanti, menurut Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Kalimantan Tengah, Yuel Tenggara, akan lengkap. Yuel Tenggara berkeyakinan dengan adanya TBKT akan “mampu menggali potensi budaya” dan bisa menjadi “sarana promosi wisata Bumi Tambun-Bungai”.
Pandangan Yuel tentang hubungan budaya dan wisata merupakan pendapat resmi di negeri ini bahwa budaya merupakan komoditas yang akibatnya mempengaruhi corak perkembangan kebudayaan.
Apakah dengan beridirinya TBKT, potensi kebudayaan Kalteng akan mengalami perkembangan baru? Hal ini tergantung pada kemampuan Disbudpar sebagai organisator dan pemikir formal serta prakarsa para pekerja seni itu sendiri. Sarana memang merupakan salah satu fasilitas, tapi sarana itu akan menjadi tidak berarti banyak jika mengutamakan corak dagangnya cirri dagang itu kemudian meracuni prakarsa para pekerja seni. Agar sarana yang katanya bakal lengkap itu benar-benar berfungsi baik, saya sarankan agar Dinas terkait sebagai organisator dan pemikir budaya formal, mempunyai kerendahan hati untuk banyak dan pandai mendengar, sedar kelapangan dada dan keterbukaan hati untuk mengulurkan tangan pada semua pekerja kebudayaan berbagai genre. Artinya sebagai organisator dan pemikir budaya formal, Dinas terkait dan UPT-nya bersahabat akrab dengan para pekerja kebudayaan.
Sedangkan dalam pembangunan TBKT di Tamanggung Tilung, barangkali pengalaman masa lalu patut ditelaah agar dana APBN tidak mubazir. Sebab Gedung Teater tertutup yang terletak di belakang Museum Balanga Jln. Tjilik Riwut Km.2,5 Palangka Raya, juga pembangunanannya dilakukan dengan dana ABPN, bermiliaran Rupiah pada belasan tahun silam. Alat-alatnya gedung pertunjukan itu pun disediakan. Hasilnya: perlengkapan yang lengkap itu raib tak menentu ke mana, gedung kesenian tertutup tidak terbangun.
Seusai sidak ke kompleks gedung kesenian tersebut dan Gubernur A. Teras Narang, SH. Marah-marah , maka Gedung Teater tertutup itu dibangun lagi. Tapi jika dilihat dari segi akustik, luas panggung, dan syarat-syarat lain untuk pertunjukan, Gedung Teater tersebut sama sekali tidak memenuhi syarat. Disewa untuk helat perkawinan pun tidak layak. Sehingga dari gedung yang tidak terbangun hingga memperoleh bentuknya seperti sekarang, bisa dikatakan uang yang digunakan seperti mubazir saja. Sampai hari ini, Gedung Kesenian Tertutup itu tidak difungsikan dan menurut Radar Sampit digunakan sebagai gudang.
Berdasarkan pengalaman di atas, saya mengikuti perkembangan TBKT dengan cemas-cemas harap. Apabila Kadisbudpar tidak belajar dari pengalaman terdahulu dan mengulang praktek usang, lapuk terdahulu, menjadikan pembangunan TBKT sebagai “proyek”, bisa saja TBKT akan terbangun tapi pembangunannya bakal bersifat asal-asalan model hasil “proyek”. Belum lagi soal pengelolaannnya. Mengulangi praktek lama, hasilnya pun tidak bakal jauh berbeda. Apa beda praktek begini dengan seekor keledai yang tersandung beberapa kali pada batu serupa? Perasaan cemas-cemas harap ini ditambah oleh kotor dan rusaknya birokrasi sebagai penyelenggara Negara negeri ini, termasuk provinsi Kalteng. Makin besar “proyek” makin besar fulus masuk kocek. Apakah TBKT suatu kekecualian?
BAHASA DAYAK NGAJU
Asuhan Kusni Sulang.
UNGKAPAN FILOSOFI DAYAK
Épat Pa, atau sering juga disebut Épat P (Empat P) . P di sini merupakan singkatan dari kata-kata: Pananjaru (Pembohong), Panakau (Pencuri), Pambusik (Penjudi), Pambawi (Main perempuan). Épat P ini mempunyai kemiripan dengan Empat M (Maling, Main, Madat dan Madon) di Jawa Tengah.
Dalam masyarakat Dayak dahoeloe, perilaku Épat P merupakan perbuatan-perbuatan terkutuk.
Panakau (Pencuri). Perbuatan terkutuk lainnya dalam budaya Dayak adalah mencuri (manakau). Kutukan keras terhadap pencuri sampai-sampai berlangsung di dunia lain yang dihuninya setelah ia mati. Di dunia lain setelah kematian itu, si pencuri membawa barang curiannya sebagai tontonan dan beban sekaligus. Ia baru bisa lepas dari beban dan dipermalukan dengan memperontonkan barang curiannya itu, setelah yang dicuri mengampuninya. Tanpa pengampunan ini ia mondar-mandir mempertontonkan diri selamanya sebagai pencuri. Hukuman demikian, oleh Orang Dayak dahoeloe sangat diyakini karena itu dahoeloe ketika Orang Dayak pergi keluar rumah, misalnya ke ladang, mereka tidak mengunci pintu rumah.
Dilihat dari segi visi-misi hidup-mati Réngan Tingang Nyanak Jata – Anak Enggang Putera-Puteri Naga (lihat edisi-edisi terdahulu), mencuri sangatlah bertentangan dengan visi-misi hidup-mati menurut konsep Dayak tersebut. Sebaliknya mencuri menimbulkan keresahan dalam masyarakat.
Dilihat dari konsep bélum bahadat, mencuri pun adalah tindakan sangat tidak beradat dan bisa menumbuhkan saling ketidakpercayaan antar warga masyarakat.
Dalam konteks sekarang, mencuri mengambil berbagai bentuk, seperti menjapret, merampok (bégal), menerima suap, korupsi.
Dilihat dari segi berkembangnya pencurian dalam berbagai bentuk oleh berbagai kalangan, dari tingkat elite hingga ke tingkat desa dalam masyarakat Kalteng sekarang, maka masyarakat Kalteng tidak bisa dikatakan Kalteng Beradat. Dalam perbandingan, dari segi ini masyarakat Kalteng mengalami kemerosotan yang curam.
Sketsa May Swan
BERDIALOG DENGAN TEMAN
Mungkin karena sudah cukup lama hidup di Singapur, dengan sendirinya
terpengaruh dengan lingkungangnya. Terutama dalam perspective towards
life. Condong melihat kehidupan berdasarkan MERITOCRACY dan SUCCESS
ORIENTED. Misalnya, tukang sapu jalan juga bisa ada anak yang mendapat
pendidikan tinggi universitas, kalau memang anaknya berotak akademis
dan ingin maju. Satu lagi contoh, tukang cuci mobil di dalam estate
saya punya dua anak lulusan NUS, satu akan jadi dokter, satu lagi
ambil jurusan bahasa. Ini tidak mengherankan bagi kami disini. Bukan
sesuatu yang luar biasa, bahkan taken for granted. Masyarakat baik
muda dan tidak muda senantiasa dianjurkan agar tidak berhenti belajar
tidak berhenti to improve themselves, terutama dalam bidang
menggunakan alat alat information technology modern. Banyak teman yang
sudah menjadi grandparents masih belajar menggunakan computer, ipad
dsb.
Perlu diungkap, justeru karena SUCCESS ORIENTED menjadi prioritas,
pembangunan material juga menjadi tujuan utama. Sehingga kurang
memperhatikan masalah lain yang berhubungan dengan apa yang sering
disebut sebagai demokrasi dan freedom of expression. Pendapat
masyarakat umumnya: loh kalau sudah berhasil, sudah nyaman, sudah
tercapai full employment, apalagi yang hendak di protest? Pada
basisnya masyarakat Singapur masih terhitung masyarakat imigrant,
mengemban semangat imigran bersedia banting tulang mencurah keringat
demi taraf hidup yang lebih baik di masa depan. Kehidupan yang lebih
baik untuk anak cucu di kemudian hari. Maka ucapan “Gong Xi Fat Cai”
menjelang CNY umum dipakai di Singapura dan Malaysia, tidak di
mainland China. Karena ucapan itu bermakna selamat berhasil menumpuk
kekayaan; berhasil menjadi kaya setelah bekerja berat setahun panjang.
Sekarang yang banyak protest adalah activist anak anak muda yang telah
menikmati hasil jerih payah generasi sebelumnya. Mereka dapat
berkomunikasi dengan dunia luar, dapat melihat adanya kebebasan yang
tak terhingga dalam mengutarakan pandangan, kebebasan mempertanyakan,
mengkritik, mencela kebijakan pemerintah. Mereka mulai mencari cari
kesalahan dalam bidang politik, ekonomi, social dan kejadian sehari
hari dll. Ya, tentunya ada saja, karena nyatanya tidak ada kebijakan
pemerintah, bahkan peraturan dan undang undang yang tidak perlu
di-amended atau dihapus sepanjang masa. Perobahan itu perlu. Kita
semua sadar perobahan adalah bagian dari kehidupan. Sama seperti
kematian adalah bagian dari kehidupan. Nah, inilah yang terjadi di
Singapur pada masa ini. Dalam konteks ini Singapore has become the
victim of its own success. Gejala perkembangan yang serupa sudah lama
tampak dalam masyarakat Barat, dimana demokrasi, human rights dan
freedom of expression menjadi mantra tujuan hidup, ingin ditiru oleh
sebagian masyarakat lain, tanpa mempertimbangkan proses
perkembangannya.
Banyak yang mengatakan, “Oh Singapur itu kecil, maka tidak menherankan
jika ia berhasil. Karena kecil maka mudah diatur.” Ucapan itu ada
benarnya, khususnya kecil ukuran luasnya. Habibie pernah berkata,
“Singapur itu hanya sebuah titik di atas peta.” Itu benar. Tapi
sebagai sebuah titik tanpa kekayaan alam natural resources apa pun,
tanpa tenaga kerja yang berjumlah besar, tanpa bantuan foreign
funding, foreign debt namun dapat berdiri, bertahan hidup cukup layak
selama ini ( baru-baru ini Singapur merayakan ulang tahun ke 50 )
berasal dari sebuah kampung nelayan, sebuah pelabuhan kecil terbuat
dari kayu dan bambu diikat dengan serat pohon pisang, hingga hari ini
dikenal oleh dunia internasional sebagai setaraf dengan dunia kesatu:
First World Country. Kalau dicari di mana letak kelebihannya, tidak
terlepas dari semangat imigran tekun dan rajin yang selama ini telah
menjelma menjadi semangat nasional. Semangat human survival vital
dalam perjoangan hidup. Kemajuan datang dari keinginan. Keinginan
berasal dari kepentingan. Survival instinct berupa yang terkuat dari
banyak unsur instinct lainnya.
Indonesia sebagai Negara besar, luas dan kaya, kekayaan alam
berlimpah, human resource usia muda yang terbesar di Asia Tenggara,
sangat memperhatikan dan peduli dengan spirit of democracy, human
rights dan freedom of expression, semua unsur kemajuan sudah tersedia
dan tercapai. Kita mengharap selanjutnya Indonesia akan bertambah
maju dari hari ke hari. Perjuangan INTI dan NABIL telah banyak berjasa
dalam menyebar the seed of progress demi meremajakan kesadaran
kehidupan politik di Indonesia. Carry on the good work! []