oleh: John Roosa dan Ayu Ratih
Bagi para peneliti yang mengkaji sejarah Indonesia saat ini, sejarah lisan menawarkan banyak harapan. Sejarah lisan tampak sebagai sebuah metode untuk menggali pengalaman orang biasa, mengatasi keterbatasan dokumen-dokumen tertulis yang tidak banyak dan sering tidak terawat. Sejarah lisan dapat pula menyoroti beberapa episode sejarah yang gelap dan misterius, seperti pembantaian massal 1965-66. Sejak jatuhnya Soeharto pada Mei 1998, sejumlah individu dan organisasi telah melakukan penelitian sejarah lisan mengenai bermacam-macam topik, dari sejarah komunitas kelas buruh hingga kerusuhan di daerah perkotaan yang terjadi pada saat jatuhnya Soeharto. Tidak diragukan lagi minat baru terhadap kisah-kisah pribadi ini merupakan perkembangan yang sehat bagi penulisan sejarah Indonesia , yang masih dihinggapi obsesi positivis akan obyektivitas dan keterpukauan pada sejarah politik pemerintah pusat (yang bisa disebut sebagai pendekatan istana-sentris). Sekarang sudah semakin biasa kita mendengar peneliti berbicara tentang menemukan kembali suara korban kekerasan, suara kaum miskin, dan suara orang kecil atau mereka yang dipinggirkan (subaltern). Meski wawancara lisan dengan kaum elit politik jelas masih diperlukan untuk memahami lebih baik kejadian-kejadian tertentu yang terjadi setelah kemerdekaan, janji lebih besar yang ditawarkan sejarah lisan di Indonesia dewasa ini adalah rangsangan untuk menulis sejarah sosial. Menurut Henk Schulte-Nordholt, “sejarah lisan sangat penting bagi historiografi Indonesia,” bukan saja karena birokrasi pemerintah pada era Soeharto “tidak banyak meninggalkan arsip yang terbuka untuk umum,” tetapi juga karena sejarah lisan membuka peluang bagi sejarawan untuk mengalihkan perhatiannya dari negara dan “menyoroti pengalaman-pengalaman pribadi yang berada di luar kerangka kaku yang ditetapkan lembaga-lembaga negara.” (2004: 18)
Namun, betapapun menggiurkannya janji sejarah lisan, dalam praktek ternyata metode ini tidak dapat diwujudkan begitu saja. Sejarah lisan ternyata jauh lebih sulit daripada yang dibayangkan para pengagumnya. Sejumlah kegiatan penelitian sejarah lisan yang telah dicoba di Indonesia banyak yang gagal: beberapa berhenti di tengah jalan, beberapa lagi menghasilkan rekaman wawancara yang kemudian berselimut debu karena tidak disimpan dalam sistem pengarsipan yang baik dan tidak dikemas agar dapat digunakan masyarakat luas, beberapa lagi berakhir dengan sang peneliti yang terlalu kebingungan untuk mampu menuliskan apapun tentang hasil wawancara mereka, dan beberapa lagi diterbitkan dengan mutu yang meragukan.(1) Kegagalan-kegagalan ini sebagian mencerminkan masalah-masalah umum yang dijumpai dalam penelitian sejarah di Indonesia. Sistem pendidikan pada era Soeharto menghasilkan sebuah generasi yang sedikit sekali memiliki kesadaran sejarah dan hampir tidak mengenal buku-buku sejarah. Peneliti cenderung mulai dengan kesimpulan, bukan dengan pertanyaan. Kemudian, tanpa menghiraukan prinsip atau konsekuensi metodologis ia kumpulkan butir-butir informasi yang sesuai dengan kesimpulan-kesimpulan yang telah ditetapkannya terlebih dahulu itu.
Metode sering dicampur-adukkan dengan sumber, seolah-olah sumber dengan sendirinya sudah bermakna lugas dan memadai sehingga tidak diperlukan metode tertentu untuk menafsirkan atau mengolahnya lebih lanjut. Kami bertemu dengan banyak calon sejarawan lisan yang percaya bahwa untuk memulai penelitian mereka hanya perlu memilih topik (kekerasan 1965-66, misalnya) dan sumber (wawancara lisan). Sejarah lisan bagi mereka adalah hal yang sederhana: tinggal taruh alat perekam di hadapan seseorang, lalu berbicara dengan orang itu. Tetapi begitu wawancara mulai berjalan, mereka dilumpuhkan kebingungan: Bagaimana saya memilih orang yang akan saya wawancarai? Mengapa orang yang saya wawancarai tidak dengan sendirinya berbicara bebas lepas? Apa pertanyaan yang harus saya ajukan kepada orang yang saya wawancarai? Apa yang harus saya tulis? Singkatnya, ia tidak menguasai prosedur dasar penelitian.
Masalah-masalah lain yang dihadapi peneliti sejarah lisan lebih banyak terkait dengan ciri-ciri khas sejarah lisan itu sendiri. Bahkan meski seorang peneliti memiliki latar belakang pengetahuan sejarah yang cukup kuat pun, ia mungkin masih sama bingungnya, jika tidak lebih bingung, dibandingkan dengan peneliti lain, begitu berhadapan dengan sejarah lisan. Beberapa dari buku-buku sejarah Indonesia yang cukup terkenal dan didasarkan pada hasil wawancara lisan (seperti buku Benedict Anderson Java in a Time of Revolution) menggunakan wawancara lisan dengan cara yang persis sama dengan cara buku-buku itu menggunakan dokumen-dokumen tertulis, yakni sebagai sumber lain informasi faktual. Dari pengalaman kami, mahasiswa yang banyak membaca justru bisa menjadi pewawancara lisan terburuk. Jika ia hanya mencari fakta (seperti umumnya dilakukan sejarawan Indonesia ), ia tampaknya lebih percaya kepada dokumen tertulis daripada kepada orang biasa dengan ingatan yang bisa salah. Jika terpikir saja untuk mengadakan wawancara lisan, mereka lebih tertarik mewawancarai pejabat-pejabat tinggi pemerintah dan orang-orang penting – para tokoh. Mereka yang bukan penganut empirisme bisa saja tidak berminat kepada sejarah lisan. Peneliti yang berminat kepada teori sosial, seperti mazhab Frankfurt yang sudah diperkenalkan dan disebarluaskan di sejumlah universitas Katolik, menghadapi kesulitan membangkitkan antusiasme menjelajahi dusun dan kampung untuk belajar dari orang-orang miskin yang tidak pernah mendengar nama besar filsuf Theodor Adorno, misalnya. Teori sosial, di Indonesia seperti halnya di tempat-tempat lain, menjadi setara dengan teologi sekuler baru, yang bukannya membantu penganutnya memahami masalah-masalah kehidupan sehari-hari, melainkan merentangkan jarak antara mereka dan masalah-masalah itu. Baik penganut empirisme maupun ahli teori sosial, belum berhasil mengembangkan narasi-narasi baru tentang sejarah Indonesia . Bisa dikatakan bahwa narasi dari zaman Soeharto yang kelewat menyederhanakan dan seringkali palsu mampu bertahan sedemikian kokohnya antara lain disebabkan oleh ketidakmampuan sejarawan Indonesia menembus asumsi-asumsi mereka sendiri mengenai cara melakukan penelitian sejarah.
Tulisan ini merupakan penjelajahan berbagai dilema yang dihadapi sejarawan lisan. Kami tidak bermaksud mempermudah praktek sejarah lisan. Sebaliknya, kami berniat menjelaskan beberapa dari kesulitan-kesulitan yang muncul dalam penelitian yang sepintas lalu tampak sangat mudah, yang konon sesuai bagi “sejarawan amatir” – menurut pandangan sejumlah sejarawan profesional Indonesia . Sejarah lisan menuntut perimbangan antara berbagai prioritas yang saling bersaing, dan banyak dari prioritas ini berkaitan dengan kepekaan peneliti akan hubungan pribadi antar manusia. Sisi afektif dan emosi dalam penelitian sejarah paling menonjol dalam sejarah lisan, karena dalam sejarah lisan kita berdialog dengan orang-orang yang hidup. Di luar beberapa masalah teknis, seperti misalnya dimana sebaiknya meletakkan mikrofon dan bagaimana menyusun katalog hasil rekaman, buku penuntun tidak akan banyak membantu.
Tak ada buku penuntun yang dapat menetapkan dasar-dasar aturan main yang benar untuk memperkenalkan diri kita kepada orang lain, bercakap-cakap dengan mereka, dan menuliskan pengalaman-pengalaman mereka. Untuk melakukan penelitian sejarah lisan, peneliti harus melakukan apa yang disebut “working through” sehubungan dengan respons emosional mereka terhadap orang yang diwawancarai dan kejadian-kejadian yang sedang dikaji. “Working through” adalah proses yang berlangsung terus-menerus untuk menguji kembali asumsi-asumsi yang telah berurat-akar dalam diri kita, memeriksa apa yang kita anggap wajar, atau pandangan apa yang kita kendalikan agar tidak muncul ke permukaan.
Istilah “working through” berasal dari Freud dalam tulisannya pada 1914, “Remembering, Repeating, and Working Through,” yang membahas neurosis pada pasien yang mengulang-ulang suatu perilaku/tindakan tanpa henti, seolah-olah ia terperangkap dalam sebuah lingkaran (Freud 1911). Pasien seperti itu tidak ingat bahwa ia sudah pernah melakukan tindakan tersebut dan karena itu mengulang-ulanginya terus: “Ia mereproduksi tindakan itu bukan sebagai ingatan tetapi sebagai tindakan; ia mengulangi tindakan tersebut, tentu saja, tanpa menyadari bahwa ia sedang mengulanginya.”(Freud 1958:150). Pengulangan suatu tindakan dari masa lampau tanpa berpikir adalah salah satu cara untuk menekan ingatan terhadap tindakan tersebut. Ia tidak memiliki jarak agar dapat melihat masa lalu dan membuat masa lalu itu sebuah obyek yang dapat digambarkan, diceritakan, atau dinilai. Freud menggunakan istilah “working through” untuk mengacu ke proses menciptakan jarak dengan masa lalu dan mengakhiri apa yang ia namakan “acting out” [memperagakan] masa lalu yang tidak reflektif. Tugas bagi penganalis dan si pasien adalah mengidentifikasi, melalui dialog, akar masalah ketakmampuan si pasien mengambil jarak tersebut. Freud tidak menawarkan standar yang tegas, bebas konteks, dan universal untuk menilai jarak yang tepat. Sebaliknya ia mengusulkan bahwa pengungkapan dengan kata-kata tentang kejadian pada masa lalu saja sudah menunjukkan adanya suatu gerakan menjauhi pengulangan kejadian pada masa lampau. Pada tahap ini, kita dapat berbicara tentang seberapa dekat atau jauh kita akan bergerak (Philips 2004).
Analisa Freud mengenai seseorang yang terlalu dekat dengan kejadian pada masa lampau, bahwa kejadian pada masa lalu itu bagi dia tetap ada pada masa kini, dapat diterapkan kepada siapa saja, tidak hanya kepada pasien psikiatri, dan juga dapat diterapkan pada ingatan sosial kelompok, bukan hanya pada ingatan pribadi individu. Konsep Freud tentang “working through” digunakan di Jerman, setelah pemusnahan kaum Yahudi (Holocaust), oleh salah seorang filsuf terkemuka di negeri itu, yakni Theodor Adorno. Dalam tulisannya, “The Meaning of Working Through the Past” (2003), Adorno mengatakan, orang Jerman perlu merenungkan kesalahan mereka dalam kaitan dengan pembantaian kaum Yahudi tanpa mencoba mencari orang lain untuk disalahkan, tanpa mempertahankan kepercayaan dan tingkah laku serupa yang memungkinkan Holocaust itu terjadi. “Working through”, menurut pendapatnya, adalah salah satu cara bagi orang Jerman untuk, pertama, keluar dari pengulangan tanpa sadar kejadian-kejadian pada masa lalu, dan dengan demikian mencapai tahap yang lebih tinggi dari “level of reproach” [menyalahkan orang lain] ketika menggambarkan kekerasan, dan, kedua, untuk mendukung ide bahwa “kita seharusnya tidak menghujat keluar tetapi melihat ke diri sendiri dan merenungkan hubungan kita dengan apapun yang telah terus-menerus dihantam oleh kesadaran kita yang membatu.” (Adorno, 2003: 15-16). Kata-kata seperti ini juga dapat diucapkan di Indonesia sekarang, ketika banyak sejarawan yang tampaknya terperangkap dalam sebuah lingkaran — mereka mengulang-ulang rumusan-rumusan usang dalam tulisan-tulisan sejarah dari zaman Soeharto, menghujat habis-habisan berbagai kambing hitam lama yang diresmikan negara (e.g. PKI, separatis, dst.), dan tidak mempedulikan suara para korban kekerasan negara. Sejarawan yang berminat pada sejarah lisan perlu diingatkan sebelumnya bahwa sejarah lisan bukanlah sebuah metode sederhana untuk mengumpulkan cerita, tetapi sebuah cara melakukan penelitian yang menuntut peneliti untuk melibatkan diri terus menerus dengan filsafat subyektivitas.
Empati dan Jarak Kritis
Berdasarkan pengalaman kami, peneliti di Indonesia cenderung menggunakan salah satu dari dua posisi ekstrim dalam hubungan mereka dengan orang-orang yang diwawancarai. Mereka mempertahankan sikap obyektifikasi yang dingin, atau berempati penuh dengan orang yang diwawancarai. Pendekatan obyektifikasi barangkali paling banyak digunakan. Penghalang utama proyek-proyek penelitian sejarah lisan di Indonesia adalah asumsi bahwa wawancara hanyalah sebuah kegiatan “mengumpulkan data” atau merekam “kesaksian” yang dapat dilakukan dengan cara-cara yang dipakai ilmuwan sosial, pengacara, penyelidik hak asasi manusia, atau wartawan. Peneliti berusaha memadukan peranan sejarawan lisan dengan peranan yang sudah mereka kenal, yakni peranan yang dibangun berdasarkan gagasan ideal penjagaan jarak. Penolakan melibatkan emosi, atau ketakutan melibatkan emosi, telah membuat peneliti tidak mampu mengatasi persoalan-persoalan intersubyektif yang kompleks yang mereka hadapi dalam wawancara. Dalam melakukan wawancara, peneliti tidak bisa berpatokan semata-mata pada kuesioner atau daftar pertanyaan dan memperlakukan orang yang diwawancarai sebagai subyek tanpa nama untuk sebuah survei statistik. Peneliti mau tidak mau harus terlibat secara pribadi.
Kecenderungan di Indonesia untuk mempraktekkan sejarah lisan dengan mengikuti praktek penelitian yang sudah ada sebenarnya tidak mengherankan. Sebelum sejarah lisan berkembang menjadi bidang tersendiri di Amerika Serikat, pelaku-pelakunya yang masih sangat jarang – dan prakteknya sendiri masih belum bernama ‘oral history’ – memahami wawancara dalam kerangka disiplin ilmu mereka masing-masing. David Boder, seorang ahli psikologi dan pengajar di sebuah universitas di Illinois , mengadakan penelitian sejarah lisan pertama tentang orang-orang yang selamat dari kamp konsentrasi Nazi di Eropa pada tahun 1946. Ia mengadakan wawancara sebagaimana seorang psikolog melakukan eksperimen di laboratorium. Untuk menjaga agar reaksi fisiknya, sengaja atau tidak sengaja, tidak mempengaruhi orang yang diwawancarai, Boder berbicara dari balik tirai sehingga bahasa tubuhnya tidak terlihat oleh orang yang diwawancarai (Boder 1949). Tujuan kegiatan Boder ialah memperoleh kisah otentik yang berasal seluruhnya dari orang yang diwawancarai itu sendiri, tanpa dicemari dialog dengan pewawancara yang pasti memiliki prasangka. Ia melihat wawancara sebagai “spoken literature”, sastra lisan, sebagai semacam penuturan dari apa yang akan ditulis seseorang jika ia dibiarkan sendiri menyusun karangan dalam diam. Namun, transkrip dari rekaman wawancara itu menunjukkan bahwa orang yang diwawancarainya jarang melontarkan monolog dan cenderung memberikan jawaban-jawaban singkat seadanya terhadap pertanyaan-pertanyaannya, bahkan saat ia terus berusaha mendorong mereka untuk menceritakan apa yang disebutnya “the whole story,” seluruh kisah.(2) Boder seringkali menyela kisah-kisah yang diutarakan dengan singkat untuk memperjelas fakta. Monolog ternyata sesuatu yang mustahil. Kemudian, setibanya kembali di Amerika Serikat, “data” itu diolahnya secara kuantitatif. Ia menugaskan salah seorang mahasiswanya di tingkat pasca sarjana menghitung jumlah kata sifat dan kata kerja dalam pernyataan-pernyataan orang yang diwawancarai. Rasio “kata sifat-kata kerja” dianggap dapat mengungkap berbagai keadaan emosi orang yang diwawancarai. Metodologi ilmiah Boder tidak dapat mengatasi gejolak emosi mahasiswa pasca sarjana berusia 21 tahun itu. Ia menangis tersedu-sedu ketika membaca kekejaman-kekejaman yang diderita para tahanan dalam kamp konsentrasi Jerman. Mahasiswa psikologi itu belakangan bercerita: “Rasanya saya membacai transkrip-transkrip wawancara itu tiga atau empat kali. Saya duduk di meja saya, air mata mengalir membasahi pipi saya, sambil mencoba menghitung kata sifat dan kata kerja.”(3) Meskipun Boder mengadakan wawancara itu karena dorongan empatinya yang besar terhadap para korban, paradigma ilmiah yang ia gunakan melarangnya terlibat secara produktif dengan pengalaman-pengalaman para korban.(4)
Sejarah lisan telah berubah, bahkan telah mengalami kemajuan, sejak pertengahan tahun 1940-an. Sekarang sudah ada pengakuan terbuka bahwa wawancara adalah sebuah “oral dialogue”, dialog lisan, bukan rekaman solilokui, pembicaraan dengan diri sendiri, yang sudah tersusun rapi. Tetapi prinsip ini, yang demikian mendasar sehingga terdengar klise, diabaikan bukan saja oleh paradigma ilmu yang mengharuskan pengamat bersikap netral tetapi juga oleh lawannya: paradigma identifikasi empatik total peneliti dengan orang yang diwawancarai. Paradigma ini dapat dilihat pada aktivis yang menggunakan sejarah lisan sebagai cara untuk memperjuangkan kepentingan orang yang diwawancarai. Misalnya, sejumlah aktivis dari organisasi-organisasi yang didirikan para korban di Indonesia percaya bahwa korban kekerasan negara adalah sejenis makhluk suci, kata-katanya otomatis mengandung kebenaran. Peneliti kemudian berperan sebagai penyampai kebenaran korban dari balik layar, penghubung tidak kentara antara korban dan masyarakat luas. Peneliti dituntut melayani korban dan mengidentifikasi diri sepenuhnya dengan penderitaan korban sehingga penderitaan korban menjadi penderitaannya sendiri. Disini, lagi-lagi, prinsip dialog diabaikan.
Sedikit empati memang dibutuhkan. Sulit membayangkan seseorang melakukan penelitian sejarah lisan mengenai orang-orang yang tidak ia pedulikan atau musuhi. Sumber cerita tidak akan mau diwawancarai. Lebih sulit lagi membayangkan tidak adanya empati yang besar terhadap korban kekerasan negara. Tetapi jika tujuan kita adalah “counter-transference” sepenuhnya (artinya, dalam psikoanalisa, pengidentifikasian diri si penganalis dengan orang yang sedang dianalisa), kita menghambat kemampuan berpikir rasional yang diperlukan untuk merekonstruksi kejadian-kejadian masa lalu dan untuk memahami apa yang dialami korban. Kita harus membayangkan seolah-olah kita orang yang diwawancarai, tanpa menganggap mereka tonggak kebenaran. Jika pewawancara terserap ke dalam ego sang korban, membayangkan dirinya menempati posisi korban sebagai subyek, tindakan ini justru seperti menjauh dari upaya keras untuk memahami posisi korban. Ini mirip dengan pretensi bahwa karena kita tinggal di sebuah negara atau daerah tertentu, maka secara otomatis kita memiliki kedudukan istimewa dengan otoritas untuk berbicara mengenai negara atau daerah itu. Kami teringat pada seorang sejarawan Indonesia di Jakarta yang membela temuan-temuannya yang sangat rapuh dan tidak meyakinkan mengenai Jawa Timur dengan kata-kata penuh amarah, serta mencanangkan bahwa ia sudah 20 tahun tinggal di tempat yang ditelitinya itu.
Kami sependapat dengan LaCapra yang mengatakan bahwa “dimensi-dimensi konvensional dalam penelitian sejarah”, teknik untuk menguji kesahihan fakta, meski “mutlak perlu,” tetap tidak cukup (2001:147). Sejarah lebih daripada sekadar penentuan fakta dan penyajian fakta dengan menarik. Salah satu aspek penting penulisan sejarah ialah sikap sejarawan, posisi sejarawan dalam kaitan dengan subyek penelitian. LaCapra menganjurkan agar sejarawan, bukan hanya sejarawan lisan, mencoba “mengolah hubungan-hubungan yang sangat peka, dan kadang-kadang tegang, antara empati dan jarak kritis ini (ibid, 147).”
Sulitnya mencari keseimbangan antara empati dan jarak kritis ini mungkin tidak mudah dipahami masyarakat luas. Dalam sisa-sisa khayalan sosial patologis dari era Soeharto yang masih merajalela, empati terhadap para korban bangkitnya kekuasaaan Soeharto, yakni orang-orang yang dicap PKI, dianggap sama dengan memberikan dukungan penuh tanpa syarat kepada PKI. Kami sering dituduh pro-PKI oleh orang-orang yang tidak pernah melakukan lebih daripada sekadar membaca anak judul dari buku yang kami sunting: “Memahami Pengalaman Korban 1965.” Jarak kritis yang sudah kami upayakan dalam buku itu diabaikan, sementara kecurigaan menebal bahwa kami pasti memiliki semacam agenda tersembunyi untuk menghidupkan kembali partai itu, atau kami pasti punya hubungan darah dengan orang-orang mantan anggota PKI.
Jika peneliti hanya bersibuk diri dengan fakta semata-mata, ia akan menemukan kekecewaan yang sangat besar dengan sejarah lisan. Akan sia-sia ia mencari orang yang sanggup menceritakan kebenaran seutuhnya, yang kata-katanya dapat diandalkan tanpa klarifikasi. Tak bisa dielakkan bahwa wawancara sarat dengan pengaburan, pengingkaran, separuh kebenaran, kesenjangan, dan bahkan dusta. Banyak hal tidak dapat dibuktikan. Tetapi sejarah lisan tidak dapat dikesampingkan begitu saja karena masalah-masalah tersebut. (Bukankah teks tertulis tidak jauh berbeda – bahwa teks memperoleh perlakuan lebih istimewa menunjukkan kata-kata tertulis masih memiliki aura magis yang dimilikinya sejak zaman kuno.). Kita harus berhati-hati saat mengarungi hutan belantara kekaburan, dimana hanya segelintir klaim kebenaran dapat ditetapkan dengan pasti (seperti pernyataan bahwa pembantaian 1965-66 memang benar-benar terjadi), sementara banyak sekali pernyataan lain (seperti berbagai pernyataan mengenai bagaimana pembantaian itu terjadi) yang masih membutuhkan penyelidikan lebih lanjut. Dalam semua penulisan sejarah, bukan hanya sejarah lisan, kita dihadapkan pada tantangan untuk mengemukakan klaim mengenai kebenaran (truth-claims) ditengah-tengah hamparan perspektif dan kisah yang berbeda-beda satu sama lain.
Karya Alessandro Portelli dapat menjadi teladan dalam hal ini karena karya tersebut memperlihatkan bagaimana sejarawan lisan menghadapi versi-versi keliru tentang kejadian-kejadian masa lalu yang diperolehnya dari orang-orang yang diwawancarainya – dalam beberapa hal, dari sebagian besar orang yang diwawancarainya. Dalam tulisan-tulisannya, kita menemukan kombinasi pernyataan-pernyataan penuh percaya diri dan tidak kenal kompromi mengenai kebenaran dengan eksplorasi-eksplorasi diskursif yang sensitif mengenai bagaimana dan mengapa hampir semua orang salah ingat mengenai kejadian-kejadian tertentu (1991; 2003). Ia tidak menempatkan dirinya sebagai penakluk pongah yang dengan bersenjatakan fakta membasmi konsep-konsep populer yang keliru gagas. Sebaliknya, posisinya lebih sebagai lawan bicara yang bersedia menyimak orang yang diwawancarai, memikirkan mengapa orang-orang itu percaya pada cerita-cerita yang mereka sampaikan, dan mengubah pandangannya selama kegiatan wawancara berlangsung.
Mendengarkan sebagai seorang sejarawan lisan menuntut kita mengesampingkan sementara keyakinan-keyakinan kita dan siap menyimak kisah orang yang diwawancarai dengan sungguh-sungguh. Dalam sebuah lokakarya di Yogyakarta pada tahun 2003, seorang peneliti, Razif, bercerita bahwa seorang buruh pelabuhan yang sudah berumur menyatakan bahwa kondisi buruh di Jakarta lebih baik pada zaman kolonial. Seorang peneliti lain, yang berlatar-belakang aktivis politik pada akhir tahun 1990-an, menyesali Razif karena dia tidak memberi tanggapan dalam wawancara itu untuk menyanggah pandangan yang bertentangan dengan narasi progresif nasionalisme. Ia bersikeras bahwa Razif seharusnya segera meluruskan pendapat buruh tua itu, yang tampaknya tidak mendapat pendidikan politik memadai tentang hasil gilang gemilang yang dicapai perjuangan gerakan nasionalis. Peneliti muda itu sama sekali tidak mempertimbangkan pendapat si buruh tua untuk menguji gagasan-gagasannya (peneliti muda) sendiri tentang patriotisme, bahkan ia abaikan pendapat pencerita tentang topik yang tidak ia ketahui secara langsung (kondisi buruh pada tahun 1930an-40an). Peneliti muda ini lalu mengungkapkan kekecewaannya karena wawancara-wawancara yang sudah dilakukannya dengan para buruh pabrik tidak banyak memberikan informasi yang belum diketahuinya. Tak mengherankan, ternyata ia hanya menanyakan hal-hal yang sudah diketahuinya, sehingga para buruh yang diwawancarai itu akhirnya balik bertanya, menurut pengakuannya sendiri: “Mengapa menanyakan hal itu kepada saya? Anda kan lebih tahu.”
Proses telisik menyeluruh (working through) di dalam diri sejarawan tidak seharusnya dilakukan hanya, atau bahkan terutama, melalui perenungan diri, laiknya dialog bisu dengan diri sendiri. Pengalaman kami ketika mengkoordinir sekelompok peneliti meyakinkan kami akan kegunaan penelitian kolektif. Kelompok kami mengadakan pertemuan setiap minggu untuk berbagi hasil dan bertukar gagasan, untuk berdebat mengenai bermacam gaya wawancara, menilai wawancara-wawancara yang baru saja dilakukan, dan membahas reaksi kami masing-masing, apakah terlalu berempati atau terlalu sinis, terlalu dekat atau terlalu jauh dari sumber cerita. Diskusi kelompok, dengan berbagai penilaian yang disampaikan, membantu setiap peneliti yang terlibat untuk memperkirakan bagaimana keseimbangan harus diupayakan.
Dalam melakukan wawancara, kami menyukai wawancara riwayat hidup, karena proses ini cenderung menimbulkan empati yang lebih dalam dan memberikan pengetahuan yang lebih luas. Wawancara riwayat hidup dapat mencegah wawancara diartikan sebagai kegiatan sederhana untuk mengumpulkan data. Bahkan jika peneliti memusatkan perhatian pada satu peristiwa saja dan mencari informasi mengenai hanya satu kejadian dalam kehidupan orang yang diwawancarainya, ia sebaiknya memperluas ruang lingkup wawancara agar bisa memperoleh gambaran tentang lintas perjalanan (trajectory) hidup seseorang. Kami menemukan bahwa untuk dapat memahami satu tahap dalam hidup seseorang, kita perlukan pandangan awal tentang lintas perjalanan hidupnya secara umum dan bagaimana orang yang diwawancarai itu sendiri menggambarkan lintas perjalanan tersebut. Katakanlah seorang peneliti sedang menyelidiki satu peristiwa tertentu, misalnya pemogokan buruh, dan ia mewawancarai sejumlah buruh yang ikut dalam pemogokan itu. Jika ia hanya bertanya tentang peristiwa pemogokannya sendiri, ia tidak akan dapat mengevaluasi informasi yang diberikan. Beberapa buruh mengatakan kepada peneliti pemogokan itu gagal total, karena para pemimpin serikat buruh tidak kompeten; beberapa lagi mengatakan pemogokan itu berhasil dengan gemilang, karena para pemimpin serikat buruh cemerlang. Untuk menghindari kesimpulan yang dangkal, bahwa buruh-buruh itu memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang hasil pemogokan dan tentang kualitas para pemimpin serikat buruh, peneliti harus menentukan pendapat-pendapat mana yang lebih akurat. Penentuan keakuratan serupa ini menuntut sejumlah pemikiran mengenai sebab-musabab orang-orang yang diwawancarai menganut pandangan-pandangan yang mereka anut. Pengalaman macam apa yang dilalui seorang buruh sebelum, selama, dan sesudah pemogokan yang membentuk penilaiannya tentang pemogokan itu sekarang?
Mari kita ambil contoh lain dari pengalaman kami mewawancarai para mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Boleh dikatakan hampir setiap mantan anggota yang kami wawancarai memiliki pendapat masing-masing mengenai penyebab keruntuhan partai itu. Tentu, mereka semua menyalahkan Soeharto tetapi mereka juga menemukan kesalahan-kesalahan di dalam tubuh PKI sendiri. Beberapa mengatakan bahwa pimpinan partai terlalu Maois (artinya, dalam pikiran mereka, terlalu keras bersikap terhadap musuh-musuhnya dan terlalu gegabah). Beberapa percaya bahwa partai terlalu dekat pada garis Uni Sovyet (artinya, terlalu moderat, reformis, dan mau berkompromi – posisi yang oleh kaum Maois disingkat menjadi “remo”: revisionisme modern). Beberapa lagi percaya bahwa Aidit harus disalahkan, bahwa partai itu sendiri sebenarnya sangat sehat tetapi Aidit kemudian menjadi pimpinan yang bersikap seperti diktator, penaik darah, dan tidak berpikir panjang; dia sendiri membawa partai ke jurang kehancuran. Ada yang percaya bahwa Aidit seorang pemimpin yang baik tetapi ia diperdaya oleh sayap klandestin partai, yakni Biro Khusus, yang memainkan peran sebagai agent provocateur, provokator. Semua pendapat mengenai sebab-sebab partai itu runtuh memberi kami kesan sebagai penjelasan-penjelasan yang membenarkan posisi diri sendiri. Orang-orang yang pro-Peking atau anti-Peking, pro-Aidit atau anti-Aidit sebelum tahun 1965 mengembangkan penjelasan-penjelasan mengenai keruntuhan partai itu setelah tahun 1965 yang membenarkan keyakinan-keyakinan dogmatis mereka masing-masing. Karena kami melakukan wawancara riwayat hidup, sedikit banyak kami tahu peranan mereka dalam partai sebelum tahun 1965 dan bagaimana keyakinan politik mereka berubah atau tidak berubah setelah tahun 1965.
Wawancara riwayat hidup juga penting jika kita melakukan penelitian kolektif. Pada proyek kami, peneliti tidak saja mengadakan wawancara untuk keperluan segera (seperti misalnya menulis artikel tentang topik tertentu), tetapi juga untuk arsip, artinya, untuk kebutuhan peneliti-peneliti yang lain. Pertanyaan-pertanyaan harus mencakup masalah-masalah lain diluar yang langsung berkaitan dengan perhatian masing-masing peneliti. Semua wawancara yang dilakukan sebagai bagian dari proyek kami adalah wawancara riwayat hidup.
Empati dapat dibawa terlalu jauh, seperti ketika sejarawan lisan mencampur-adukkan pekerjaan mereka dengan pekerjaan psikolog. Mereka menganggap wawancara mereka sebagai bagian dari “healing process”, proses pemulihan. Menurut pendapat kami, mencampur-adukkan kedua jenis pekerjaan ini keliru. Masalahnya bukan hanya sejarawan lisan tidak memiliki latar belakang pendidikan dan ketrampilan seorang psikolog, atau mungkin tidak punya waktu untuk menggabungkan penelitian sejarah dengan pemberian konseling. Ada soal yang lebih mendasar. Bagi sejarawan lisan, orang yang dihadapi adalah orang yang diwawancarai, bukan pasien, dan tanggung jawab utamanya ialah kepada sejarah, bukan kepada orang yang diwawancarai, seperti tampak jelas ketika ada pertentangan antara versi sejarah sang sejarawan dan versi orang yang diwawancarai. Sejarawan harus menulis sejarah sesuai dengan apa yang benar dan penting menurut perasaannya, bahkan ketika pertimbangan ini bertentangan dengan keinginan orang yang diwawancarai. Sejarawan tidak dapat menyesuaikan penulisan sejarah dengan segala sesuatu yang mungkin dapat membuat orang yang diwawancarai merasa lebih baik. Seorang psikolog terutama berkepentingan dengan kesehatan jiwa seorang pasien dan mungkin memutuskan untuk berbohong kepada si pasien, seperti sering dilakukan salah seorang pelopor psikologi abad ke-19, Pierre Janet, yang tampaknya menghasilkan sesuatu yang baik. Ia menawarkan kenangan-kenangan palsu kepada pasien untuk membantu mereka mengatasi traumanya. (Hacking 1995: 195-197). Pilihan ini jelas tertutup bagi sejarawan.
Tujuan yang berbeda antara kedua profesi ini juga dapat dilihat dalam pemilihan subyek penelitian. Jika tugas sejarawan adalah memulihkan, maka penelitian harus terpusat pada orang-orang yang paling tidak tahu apa-apa dan yang kisah-kisahnya paling tidak dapat dipercaya. Orang-orang yang membutuhkan layanan psikolog tidak dapat dijadikan subyek wawancara yang baik untuk kepentingan sejarawan. Seorang bekas tahanan politik (eks-tapol) di Surabaya bercerita bahwa ia berjumpa dengan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter di pulau Buru menjelang akhir tahun 1970-an. Ia menderita gangguan jiwa, seperti diakui semua temannya. Mengadakan penelitian tentang gangguan jiwa yang diderita eks-tapol tersebut mungkin menarik tetapi karena sedikit sekali yang diketahui mengenai apa yang sebenarnya terjadi di pulau Buru , agaknya dapat dimaklumi jika sejarawan tidak memberikan prioritas utama kepada wawancara dengan eks-tapol itu. Kami bertemu dengan mantan tokoh PKI yang terperangkap di negeri asing dan tidak bisa pulang pada waktu Soeharto mengambil alih kekuasaan. Ia menceritakan kepada kami bahwa isterinya di Jakarta, yang menderita guncangan psikologis, menjadi lupa ingatan setelah 1965 karena tertekan akibat kekerasan militer, stigma dari masyarakat, dan beban membesarkan anak-anaknya seorang diri. Kami berjumpa dengan sang isteri di Jakarta dan menyadari bahwa dia menderita katatonia (salah satu bentuk schizophrenia yang menyebabkan penderita kehilangan kesadaran secara berkala). Wawancara lisan tidak akan memberikan pemulihan baginya. Bahkan bantuan psikologis yang telah diupayakan sanak saudaranya tampaknya tidak banyak menolong. Sejarawan lisan harus mengakui keterbatasan kegiatan-kegiatan mereka.
Kami menduga ide menggabungkan wawancara dengan pemulihan tidak lain dari bentuk lain kepongahan kaum terdidik. Dalam pengalaman kami dengan para korban-penyintas (survivor) peristiwa 1965-66, sedikit sekali kami jumpai orang yang menderita gangguan kejiwaan seperti sang istri yang kami bahas diatas, yang demikian trauma (jika ini memang gambaran akurat mengenai keadaannya) sehingga mereka tidak dapat bercerita mengenai kejadian-kejadian pada masa lalu. Tugas pertama sejarawan lisan ialah memahami bagaimana para korban, dengan daya upaya sendiri serta bantuan teman-teman dan saudara-saudara mereka, dapat mengatasi pengalaman-pengalaman traumatis mereka dengan cukup baik sehingga dapat berbicara mengenai pengalaman-pengalaman itu sekarang. “Proses pemulihan” terjadi jauh sebelum kita para sejarawan lisan bertemu mereka dan karena itu kita perlu belajar dari mereka, dan tidak menganggap mereka sebagai korban yang membutuhkan pertolongan kita. Pandangan ini bahkan berlaku pula bagi orang-orang yang diwawancarai yang tampaknya memang menderita trauma. Salah satu dari para peneliti dalam kelompok kami menemui seorang perempuan paruh baya di Sumatra selatan yang ingin diwawancarai sendiri, tanpa kehadiran teman atau tetangganya. Ketika ia duduk sendiri dengan si peneliti di rumahnya, ia menangis tersedu-sedu, dan terus menangis tanpa henti selama sekitar lima belas menit. Peneliti itu membatalkan niatnya mewawancarai si ibu dan minta diri begitu ia telah tenang kembali. Keesokan harinya si ibu menghubungi sang peneliti dan memintanya datang lagi untuk wawancara. Kali ini si ibu dapat berbicara. Ia menjelaskan dalam wawancara bahwa ia diperkosa sejumlah serdadu pada tahun 1965 dan melaporkan hal itu kepada komandan mereka. Sang komandan lalu melakukan pemeriksaan dan membawa serdadu-serdadu itu ke pengadilan militer. Tangisan si ibu pada hari pertama menunjukkan bahwa seluruh pengalaman diperkosa dan proses pengadilan itu tetap mengganggunya dengan sangat dalam selama hampir empat puluh tahun kemudian, tetapi kemampuannya untuk mengisahkan semua itu pada esok harinya menunjukkan bahwa dia berhasil membangun jarak dengan peristiwa itu dan memisahkan masa lalu dari masa kini. Kemampuan itu datang dari perjuangannya untuk bertahan waras tanpa bantuan ahli profesional dan dari keberaniannya berhadapan dengan orang-orang yang memperkosanya di depan pengadilan tanpa dukungan luas dari masyarakat.
Dengan membedakan sejarawan lisan dari psikolog kami tidak bermaksud mengatakan bahwa sejarawan lisan tidak perlu memetik pelajaran apapun dari ahli psikologi. Justru sebaliknya. Sejarah lisan, menurut pendapat kami, dapat menarik pelajaran banyak sekali dari teori sosial yang diilhami tradisi psikoanalisa. Ada banyak titik persamaan. Misalnya, beberapa ahli psikoanalisa mengemukakan bahwa tujuan analisa ialah membantu seseorang mencapai suatu titik tempat ia dapat menceritakan perjalanan hidupnya dengan runtut dan masuk akal. Judith Butler mengatakan, “belajar menyusun suatu kisah adalah praktek yang sangat penting, terutama bila kepingan-kepingan pengalaman yang terpatah-patah tetap tercerai satu sama lain karena kondisi-kondisi traumatik.” Namun menurut pendapatnya, koherensi seperti itu, jika dibawa terlalu jauh, dapat menggiring kita kepada keyakinan palsu bahwa kita menguasai makna pengalaman-pengalaman kita sepenuhnya. Butler , seperti banyak filsuf abad ke-20 yang menekuni konsep subyek sejak Freud dan selanjutnya, mengatakan bahwa subyek dibentuk oleh bahasa, tatanan simbolik, norma sosial yang berada di luar kendali si subyek: “sang ‘aku’ yang mulai bercerita dapat menuturkan kisahnya hanya dengan mengikuti norma-norma tentang kisah hidup yang sudah dikenali (2005:52).” Ia menekankan bahwa narasi apa saja tentang jalan kehidupan selalu ditujukan kepada penerima cerita, yang benar ada maupun yang dibayangkan ada, dan karena itu merupakan sebuah tindak pertunjukan yang sudah tersirat dalam sejarah orang lain: “Orang lain dengan demikian berada dalam tindakan saya bercerita; ini bukan sekedar soal penyampaian informasi kepada sosok lain yang ada di seberang sana, jauh dari saya, yang menunggu untuk tahu” (ibid, 81). Karena sang ‘aku’ terbentuk oleh hubungannya dengan norma-norma sosial dan dengan orang lain, sang ‘aku’ harus menyadari bahwa ia sendiri tidak dapat dipahami ketika menceritakan sejarah kehidupannya, ketika tercapai keutuhan yang bersifat sementara itu.
Proses Menulis dan Suara Orang Yang Diwawancarai
Seorang peneliti yang telah menyelesaikan sejumlah besar wawancara yang panjang dan rinci mungkin masih menemui jalan buntu ketika harus menentukan apa yang akan ditulis berdasarkan hasil-hasil wawancara itu. Jelas, salah satu tujuan menulis sejarah lisan ialah membiarkan kata-kata dari orang yang diwawancarai muncul dengan segenap kekuatan yang mungkin. Idealnya pembaca dapat merasakan sifat lisan dari kisah-kisah orang yang diwawancarai: ungkapan-ungkapan khas yang digunakan, gaya bicara, cara bercerita. Tetapi sampai seberapa jauh tujuan ini sebaiknya diwujudkan? Sampai penerbitan transkrip kata demi kata dari wawancara? Barangkali. Tetapi sering sulit bagi pembaca untuk mengikuti transkrip rekaman wawancara. Peneliti atau penulis harus mencari keseimbangan antara keperluan penyajian kisah-kisah orang yang diwawancarai itu sendiri dan tuntutan menyusun, memperkenalkan, menjelaskan, dan memberikan ulasan tentang kisah-kisah itu.
Dalam buku yang kami sunting, kami menggunakan dua format penulisan sejarah lisan. Format pertama ialah profil setiap orang yang diwawancarai. Pembaca disuguhi riwayat hidup seseorang, yang disampaikan sebagian besar melalui kutipan-kutipan panjang dari wawancara. Dengan format ini, tugas penulis ialah memberikan ulasan yang menjalin kutipan satu dengan yang lain agar pembaca dapat mengikuti alur sejarah kehidupan orang tersebut. Penulis juga diharapkan mengangkat hal-hal tertentu untuk penekanan dan menjelaskan apa yang paling bermakna dari riwayat hidup ini menurut pendapatnya. Dalam buku kami, masing-masing esai yang memuat profil orang-orang yang diwawancarai menggabungkan beberapa riwayat hidup dari orang-orang dengan tipe-tipe tertentu: tahanan politik perempuan, janda dan anak-anak dari laki-laki yang dihilangkan secara paksa, dan tahanan politik yang berhasil bertahan setelah mengalami penyiksaan. Pengelompokan profil-profil ke dalam kategori-kategori spesifik ini dimaksudkan untuk membangun sebuah argumen tertentu. Esai-esai ini memberi gambaran kepada pembaca tentang apa yang dialami para korban dalam kategori-kategori khusus tersebut. Selain itu, pengelompokan ini berfungsi sebagai semacam pengujian kasar terhadap keakuratan kisah-kisah perorangan; semakin banyak persamaan diantara kisah-kisah itu, semakin kuat kredibilitas masing-masing kisah.
Format lain yang kami gunakan dalam buku kami ialah tulisan analitis dengan tujuan utama menyajikan argumen mengenai peristiwa tertentu. Kutipan-kutipan terpilih diambil dari wawancara sehingga pembaca tidak terlalu banyak tahu mengenai riwayat hidup orang yang diwawancarai. Perhatian utama esai serupa ini ialah membangun argumen mengenai bagaimana dan/atau mengapa suatu peristiwa terjadi. Peristiwa-peristiwa yang dianalisa dalam buku kami ialah penangkapan besar-besaran di Jawa Tengah pada tahun 1965-66, percobaan PKI melancarkan pemberontakan bersenjata di Blitar Selatan pada tahun 1967-68, dan kerja paksa yang dijalankan tahanan politik dari akhir tahun 1960-an hingga akhir tahun 1970-an. Kutipan-kutipan dalam esai-esai jenis ini digunakan untuk membuat klaim kebenaran dan karena itu beberapa ulasan penulis harus didasarkan pada keterandalan pernyataan-pernyataan orang yang diwawancarai dan pada metode-metode yang digunakan untuk menguji kebenaran pernyataan-pernyataan tersebut. Esai serupa ini berbeda dengan tulisan-tulisan sejarah yang lazim dijumpai (seperti buku Anderson yang tersebut di atas) dari sisi panjang kutipan dan kesetiaan terhadap suara pembicara dalam kutipan dari transkripsi. Kami memasukkan kutipan-kutipan panjang, kata per kata (verbatim).
Perimbangan suara penulis dan suara orang yang diwawancarai, dan perimbangan paparan riwayat hidup dan analisa sebuah peristiwa, sejalan dengan perimbangan yang diuraikan diatas antara empati dan obyektifikasi. Bentuk penulisan dengan kadar empati yang ekstrim akan menyajikan seluruh kisah dalam suara orang yang diwawancarai dan terpusat sepenuhnya pada riwayat hidup orang tersebut. Bentuk penulisan dengan obyektifikasi yang ekstrim akan menekankan suara penulis dan analisanya sendiri tentang sebuah peristiwa dan mengutip wawancara hanya sebagai butir-butir pembuktian.
Agar perbedaan tegas antara berbagai gaya menulis ini lebih jelas, kita dapat membandingkan esai-esai dalam buku kami dengan esai-esai dalam sebuah buku lain mengenai korban kekerasan tahun 1965-66 yang terbit kurang lebih bersamaan waktunya dengan penerbitan buku kami. Buku ini, Menembus Tirai Asap, berisi sebelas tulisan riwayat hidup (Sasongko 2003). Setiap esai menguraikan pengalaman seorang eks-tapol. Tidak ada tulisan yang bersifat analitis. Beberapa dari esai-esai itu bergerak ke bentuk empati ekstrim, sehingga si penulis menggunakan suara orang yang diwawancarai dan menghilangkan perbedaan antara kutipan dan ulasan penulis sendiri. Penulis mengambil alih identitas kata ganti orang pertama.(5) Esai-esai lain, yang mengacu ke orang yang diwawancarai dengan kata ganti orang ketiga dan dengan jelas memisahkan kutipan dari teks utama, ditulis dengan gaya sentimental yang mirip dengan cerita anak-anak dan tulisan dalam rubrik “Oh Mama, Oh Papa” dari majalah Kartini. Teks dalam buku ini berupa paparan kaku kisah-kisah pribadi dan tidak berupaya mencari makna historis dari setiap cerita, serta sejauh mana kisah-kisah tersebut mewakili atau berhubungan dengan pengalaman para korban yang lain. Tidak ada perenungan tentang mengapa orang yang diwawancarai menyusun riwayat hidupnya dengan cara yang ia gunakan. Pemilihan sebelas orang untuk ditampilkan ceritanya tampaknya dilakukan secara acak. Masing-masing berdiri sendiri sebagai kasus peng-korban-an yang terpisah sehingga pembaca tidak mendapat gambaran mengenai pola-pola umum. Menurut pendapat kami, buku ini terlalu jauh condong ke sisi empati.(6)
Sejumlah tulisan sejarah lisan ditandai oleh proses penempatan diri pada posisi orang lain (transference) yang berbeda jenisnya. Penulis menggunakan riwayat hidup orang yang diwawancarai untuk memenuhi agenda pribadinya. Tujuan wawancara disini bukan untuk memahami sejarah orang yang diwawancarai tetapi untuk menyederhanakannya menjadi kasus umum yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan sang penulis saat ini. Keinginan penulis untuk menjadi jurubicara orang-orang yang diwawancarai menunjukkan ada empati, paling tidak di permukaan. Misalnya, beberapa penulis tentang kekerasan tahun 1965-66 menyebarkan kisah-kisah para korban kepada masyarakat sedemikian rupa sehingga peranan penulis sebagai perantara lebih menonjol. Karena pusat perhatian bukan pada para korban tetapi pada penampilan sikap yang diambil penulis, penderitaan korban digambarkan secara umum.(7) Beberapa dari draft pertama esai-esai untuk buku yang kami sunting sarat dengan tuduhan berapi-api mengenai penindasan yang dialami para korban dan, sayangnya, sangat sedikit mengandung informasi yang diperlukan untuk memahami apa persisnya penindasan itu. Sebuah buku yang baru-baru ini diterbitkan seorang peneliti muda dari Bali tentang peristiwa tahun 1965-66 tidak melakukan lebih dari sekedar menunjukkan betapa ironisnya kekerasan massal terjadi di ‘pulau dewata’ nan cerminan surgawi itu. Ia pandai menuliskan pendapat dengan gaya tajuk rencana suratkabar tetapi tidak tahu cara melakukan penelitian yang dapat menyingkap temuan-temuan baru mengenai kejadian-kejadian di masa lalu. Ungkapan empati menyemburkan banyak panas tetapi hanya sedikit sinar (I Ngurah Suryawan 2005).
Barangkali empati yang berlebihan dapat dipahami dan ditolerir. Mengingat bahwa para korban 1965-66 telah habis-habisan dipersetankan selama empat puluh tahun, mungkin ada baiknya kita sambut sikap apa pun yang menunjukkan empati kepada mereka. LaCapra percaya bahwa “acting out” – pengulangan tak terkendali sebuah pengalaman karena dorongan dari dalam diri, yang tidak mudah dikemukakan kepada orang lain dan tidak terserap ke dalam khazanah pengalaman pribadi yang lain – “mungkin perlu dan bahkan tidak dapat dihindari.” Ia juga percaya bahwa “acting out” dan “working through” bukanlah dua kutub berlawanan atau tahapan-tahapan yang jelas bedanya; keduanya mengandung beragam “interaksi yang kompleks” dan “berubah-ubah menurut konteks dan posisi subyek.” (LaCapra 2004:104,130). “Acting out” yang dilakukan para penulis masa kini, kecenderungan mereka untuk menghujat kekerasan 1965-66 tanpa menempatkannya sebagai bahan analisa, dapat dianggap sebagai langkah positif dalam upaya mengubah persepsi yang salah di pihak masyarakat Indonesia mengenai para korban. Namun, kami tetap meragukan manfaat “acting out” untuk mempengaruhi sikap masyarakat sejauh ini. Sesungguhnya, pertarungan memperebutkan empati telah dimulai di Indonesia , ketika semua pihak berusaha membuktikan bahwa mereka korban penderitaan yang unik dan tidak semestinya terjadi.
Drama dan Melodrama
Kecenderungan melodrama sangat kuat dalam seni modern Indonesia , terutama sejak tahun 1965. Pertunjukan teatrikal narsistik penyair Taufiq Ismail dan Rendra, serta film-film penguras air mata Usmar Ismail dan Teguh Karya menebar emosi berlebihan untuk merangsang reaksi empati dari penonton (Sen 1993). Film yang didukung pemerintah mengenai Gerakan 30 September, Pengkhianatan G30S/PKI (1983), yang kemudian dijadikan buku oleh penulis terkenal Arswendo Atmowiloto, adalah sebuah dongeng moralitas hitam-putih tentang setan-setan penjahat (PKI) yang menyerang jenderal-jenderal angkatan darat yang agung dan patriotik. Dengan tradisi melodrama seperti ini, banyak penulis beranggapan bahwa masyarakat Indonesia baru akan menunjukkan empati jika disuguhi adegan-adegan pedih bercucuran air mata dan jeritan-jeritan melolong yang memilukan. Melimpahnya melodrama membawa berbagai implikasi bagi penelitian sejarawan lisan, baik dari segi bagaimana kita menyimak orang yang diwawancarai, maupun dari segi bagaimana kita menyajikan kisah-kisah orang yang diwawancarai kepada masyarakat.
Kita coba lihat drama Ratna Sarumpaet mengenai korban kekejaman tahun 1965-66, Anak-Anak Kegelapan – sebuah drama yang menurutnya ditulis setelah berbicara dengan sejumlah korban dan membaca banyak buku sejarah. Dia menerbitkan naskah drama itu, lengkap dengan daftar pustaka berupa buku-buku non-fiksi terkait dengan peristiwa 1965-66 (2004). Drama dimulai dengan tokoh utama, Zuraida, menyendiri di dalam kamarnya, gundah setelah membaca buku-buku di berbagai perpustakaan. Ia ingat beberapa dari kisah-kisah yang telah dibacanya dan membayangkan “saksi-saksi” sedang memberikan kesaksian di hadapannya mengenai kekerasan yang mereka lihat atau alami. Saksi pertama menggambarkan pembunuhan massal di tepi Bengawan Solo di Jawa Tengah: “Ratusan mayat mengapung di atas air yang memerah. Banyak diantaranya tak berkepala. Kaki lepas dari tubuh.” (Sarumpaet 2004: 8) Seorang saksi lain, eks tapol, berkata: “Puluhan ribu tahanan telah dibantai disini. Didepan mata kami. Mereka disembelih.” (ibid : 9) Seorang perempuan muncul dan berkisah mengenai kandungannya yang gugur setelah ia berkali-kali ditendang oleh sipir penjara. Drama kemudian beralih ke adegan antara Zuraida dan ibunya. Sejak saat itu sampai selesai, drama ini sebagian besar terdiri dari konfrontasi antara generasi muda, yang bersikeras untuk mengetahui kebenaran mengenai masa lalu, dengan orang tua mereka, juga sama bersikerasnya untuk membiarkan mereka tetap berada dalam gelap. Tokoh-tokoh berteriak-teriak satu sama lain, atau kepada penonton, dalam hampir setiap adegan. Dalam pementasan Anak-Anak Kegelapan, penonton mendengar serangkaian monolog yang mengaku-aku paling benar sendiri dan penuh dendam mengutuk dusta, sikap hipokrit, dan kekejaman tanpa sedikitpun memperoleh pandangan tentang peristiwa bersejarah yang seharusnya ditampilkan drama tersebut. Sang sutradara melakukan “acting out” mengenai masa lalu, yang dalam semangat aliran Freud berarti menghidupkan kembali emosi-emosi trauma dari masa lalu tanpa memberi kesempatan kepada emosi-emosi itu untuk diuji secara rasional. Yang tampil kemudian ialah penempatan diri sutradara sendiri sebagai kampiun kebenaran dan keadilan, bukan pemahaman lebih mendalam tentang cara-cara kompleks yang digunakan orang Indonesia untuk menangani ingatan mereka tentang zaman teror itu.
Dalam pengalaman kami selama melakukan wawancara dengan para korban tahun 1965-66, kami tidak pernah mendapati mereka menggunakan gaya melodrama ketika menceritakan pengalamannya. Sebagian besar berbicara dengan terus terang tentang penderitaan yang mereka tanggung. Misalnya, seorang eks tapol, Tan Swie Ling, menggunakan kata ganti orang ketiga ketika menggambarkan penyiksaan yang dialami, seolah-olah semua itu terjadi pada orang lain. Ia telah melakukan telisik menyeluruh terhadap pengalamannya sampai ke titik yang memungkinkannya mengambil jarak dari pengalaman tersebut. Adalah mutlak perlu untuk mendengarkan kisah masing-masing korban karena mereka mengalami kejadian yang sama dengan cara-cara yang berbeda. Menyampaikan bahwa seseorang disiksa dalam bentuk laporan pelanggaran hak asasi manusia tidak berbicara apa-apa mengenai apa makna siksaan itu bagi korban. Kita tidak dapat secara otomatis mengambil kesimpulan tentang subyektivitas seseorang. Bagi Tan, penyiksaan itu sendiri tidak menimbulkan trauma jangka panjang. Teman-temannya juga banyak yang disiksa. Mereka saling mengobati luka-luka yang mereka derita dan saling membantu agar tetap waras. Hal yang tetap membuat Tan sakit hati, hal yang masih tetap hidup dalam ingatannya, ialah sikap rasisme anti-Cina orang-orang yang menyiksanya. Mengapa penghinaan dengan kata-kata dan bukannya penderitaan fisik yang menimbulkan trauma? Inilah jenis pertanyaan yang seharusnya muncul begitu kita menggali subyektivitas unik dari orang yang kita wawancarai– jenis pertanyaan yang hanya dapat didekati melalui interpretasi.
Tulisan-tulisan bekas tahanan politik Hersri Setiawan (2004) dan Pramoedya Ananta Toer (1995) berlawanan dengan model melodrama yang lazim digunakan. Sementara memaparkan penderitaan tahanan politik, gaya berkisah kedua penulis itu tetap tegas berpegang pada rincian konkrit pengalaman mereka. Mereka tidak meloncat ke uraian umum dan abstrak mengenai kekerasan atau ke cerita-cerita sensasional (seperti yang ditampilkan dalam drama Sarumpaet yang disinggung diatas). Gaya mereka yang rinci dan terus terang bertolak-belakang dengan sebagian besar kepustakaan Orde Baru, dan juga dengan tulisan-tulisan otobiografis beberapa dari teman-teman sesama eks tapol. Kedua penulis ini lebih suka nada ironis yang tampaknya dimaksudkan untuk merentangkan jarak antara mereka dengan orang-orang yang menganiaya mereka dan bahkan dengan kesakitan mereka sendiri.
Perhatikan surat Pramoedya kepada anak perempuannya yang menceritakan perjalanannya sebagai tawanan dalam sebuah kapal menuju pulau Buru (1995: 1-13). Ia mengawali surat itu dengan mengingat kembali kali terakhir anaknya mengunjunginya di penjara, waktu ia datang memperkenalkan calon suaminya kepadanya sesaat sebelum upacara nikah, waktu anaknya terburu-buru, “kuatir tertinggal kereta rejeki.” Pramoedya membandingkan perjalanan putrinya menuju masa depan yang lebih cerah dengan perjalanannya sendiri ke yang tak diketahui. “Kau berbulan madu di happy land yang sudah jelas. Aku ke happy land, somewhere” Para tahanan politik yang berhimpitan dalam kapal itu tidak punya gambaran mengenai apa yang menanti mereka di pulau Buru . Ia juga mempertahankan harapan bahwa pembuangan akan membawanya ke sesuatu yang lebih baik daripada penjara di Jawa, sementara ia juga menyadari bahwa pulau Buru mungkin saja ternyata tanah yang mengandung penderitaan tanpa akhir. Suratnya berlanjut dengan serangkaian ironi: sebuah bangsa dengan tradisi bahari yang membanggakan dan berabad-abad umurnya melayarkan “kapal bobrok” dengan “nafas terengah-engah” yang tampak siap tenggelam setiap waktu; kelaparan yang diderita para tawanan menyingkap kekosongan cita-cita kaum nasionalis Indonesia tentang hak-hak bagi warga negara; para ulama menceramahi tahanan yang kelaparan tentang pentingnya berpuasa; para sipir penjara bersikeras bahwa sebagai warga negara Indonesia mereka harus membantu mempertahankan pulau Buru terhadap serangan dari luar; satu-satunya keuntungan menjadi warga negara Indonesia adalah memiliki cukup ruang untuk kuburan sendiri: “Tidak percuma kau memilih jadi warga negara Indonesia, tanahnya luas dan lautnya lebih luas lagi untuk berkubur diri.”
Nada ironis dalam tulisan Pramoedya cukup konsisten. Pembaca tahu Pramoedya menderita tetapi tidak mendengar dia berkeluh-kesah atau mengutuk. Sebaliknya, pembaca mendapatkan dia bersimpati dengan korban-korban yang lain, di zaman lain dan di tempat lain. Ia teringat pada orang-orang Spanyol yang tewas oleh alat-alat negara pimpinan Jenderal Franco dan bagaimana salah satu dari para pejuang anti-fasis yang berhasil bebas dari penjara, Marcos Ans, mengunjungi kamp konsentrasi di Buchenwald setelah Perang Dunia II: “Di situ, ketika ia mulai menangis, seorang perempuan mengungkapkan rasa herannya bahwa ia, yang sudah menghabiskan dua puluh tiga tahun kehidupannya di dalam penjara, masih punya air mata untuk dicucurkan. Katanya pada perempuan itu: “Aku menangis bagi mereka yang gugur: apakah di pihakmu atau di pihakku, tak jadi soal, mereka adalah bagian dari kita semua.” Pramoedya melihat penderitaannya bukanlah sesuatu yang istimewa. Ia tidak marah kepada Soeharto atau kepada para perwira militer yang menyiksa dan memasukkannya ke dalam penjara. Sebaliknya ia memandang mereka sebagai sosok-sosok yang patut dikasihani, orang-orang dengan “kepekaan zaman batu” yang keberadaannya mencerminkan keterbelakangan budaya Indonesia . Tulisan-tulisan Pramoedya memperlihatkan bahwa pandangan Denise Riley tentang ironi benar adanya, “ironi akan bangkit dengan sendirinya dari cedera yang telah dipaksa tenggelam dalam kepekatan perenungan diri. Ironi bukanlah akibat dari kelegaan jarak, tetapi dari keterlibatan yang paling kuat dan paling sungguh-sungguh dengan kepedihan.”(2000: 162).
Kesimpulan
Pembahasan di atas menunjukkan bahwa adaptasi selektif dan kritis dari konsep-konsep Freud untuk analisa sosial, seperti “working through”, “acting out”, “transference”, dapat membantu sejarawan lisan untuk beranjak menjauhi metodologi empirisis dan memulai perenungan diri yang sulit tentang hubungan dengan orang yang diwawancarai, dengan kejadian-kejadian di masa lalu, dan dengan pembaca yang menjadi sasaran tulisan. Tentu saja, teori sosial tidak bisa berakhir dengan Freud, tetapi tulisan-tulisannya merupakan tempat yang baik untuk memulai. Sebuah paradigma interpretasi bagi sejarah lisan dapat menjadi alternatif bagi paradigma-paradigma yang diperoleh dari ilmu alam – paradigma yang sama sekali tidak tepat untuk mengkaji subyektivitas. Sejarawan lisan di Indonesia akan berhasil dalam penelitiannya apabila mereka tidak melakukan identifikasi empatis sepenuhnya dengan orang yang diwawancarai atau mengambil tindakan obyektifikasi ekstrim. Mereka juga akan berhasil jika selalu mengingat bahwa posisi sejarawan lisan itu unik. Posisi itu tidak dapat disamakan dengan posisi wartawan, peneliti hak asasi manusia, aktivis politik, atau psikolog.
Catatan Kaki
1 Ada delapan penelitian sejarah lisan sejak tahun 2000 yang kami ketahui, beberapa dikerjakan bersama-sama, beberapa lagi oleh perseorangan.
2 Penilaian ini berdasarkan uji petik catatan rekaman wawancara Boder; catatan ini dapat diperoleh melalui situs web : http://voices.iit.edu/interview.html
3 Dikutip dalam Carl Marziali, “In Their Own Words,” UCLA Magazine, Fall 2004: http://www.magazine.ucla.edu/year2004/fall04_05.html
4 Film Kinsey memperagakan dengan jelas kesulitan serupa dalam menerapkan paradigma ilmiah: Kinsey, yang dibimbing oleh metode penelitian biologi, mencoba tidak melibatkan emosinya ketika mewawancarai sejumlah orang mengenai kehidupan seks mereka, seolah-olah mereka sama saja dengan hewan, yang didorong faktor-faktor biologis belaka, tetapi kebetulan dianugerahi kemampuan berbicara.
5 Lihat tulisan tentang Hartono, Oei Hiem Hwie, Meriana, dan Sumilah. Penyunting buku ini, Melani Budianta, memuji penulisnya: “[dia] dengan penuh empati masuk ke dalam diri tokoh yang diceritakannya … dan bercerita dengan gaya aku-an.” hlm. xx. Menurut LaCapra empati adalah sebuah “pengalaman maya tetapi tidak bersifat menggantikan, artinya, sejarawan menempatkan dirinya pada posisi orang lain tanpa mengambil alih tempat orang tersebut atau menjadi pengganti atau berperan sebagai wakil orang itu dengan wewenang untuk berbicara atas nama orang lain tersebut.” Lihat La Capra (2004: 65)
6 Empati ekstrim isi buku ini sangat bertolak belakang dengan sikap tidak berperasaan yang tergambar pada sampul buku — sampul depan dihiasi gambar palu arit yang sedang terbakar (menyampaikan pesan bahwa korban-korban yang dibahas dalam buku ini orang Komunis), sedangkan pada sampul belakang tampak gerombolan anak-anak muda yang bersorak-sorai sambil mengacung-acungkan senjata tajam — orang-orang yang melakukan kekerasan terhadap “PKI.” Analoginya, sebuah buku berorientasi kemanusiaan tentang riwayat hidup para korban pembantaian Yahudi diberi sampul muka dengan foto anak remaja Nazi yang sedang bergembira ria.
7 Lihat memoir Ribka Tjiptaning Aku Bangga Jadi Anak PKI (2002). Pembaca sama sekali tidak belajar apapun tentang sang ayah yang sangat dibanggakan penulis, tetapi menjadi cukup banyak tahu tentang capaian-capaian penulis di bidang politik sehingga ia memenuhi syarat untuk menduduki posisi yang tinggi dalam partai politik yang didukungnya.
Daftar Pustaka
Adorno, Theodore W.
2003 Can One Live After Auschwitz ? A Philosophical Reader (Stanford: Stanford University Press)
Boder, David
1949 I Did Not Interview the Dead ( Urbana : University of Illinois Press)
Butler, Judith
2005 Giving an Account of Oneself ( New York : Fordham University Press)
Freud, Sigmund
1958 “Remembering, Repeating and Working-through,” The Standard Edition of the Complete Psychological Works of Sigmund Freud, terj. dan ed. James Strachey, Vol. XII ( London : Hogarth)
Hacking, Ian
1995 Rewriting the Soul: Multiple Personality and the Sciences of Memory (Princeton: Princeton University Press)
I Ngurah Suryawan
2005 Narasi Dalam Kuasa: Politik dan Kekerasan di Bali ( Yogyakarta : Ombak)
LaCapra, Dominick
2001 Writing History, Writing Trauma ( Baltimore : Johns Hopkins University Press)
LaCapra, Dominick
2004 History in Transit ( Ithaca : Cornell University Press)
Philips, Adam
2004 “Close-Ups”, History Workshop Journal, no. 57, hal.142-149
Portelli, Alessandro
1991 The Death of Luigi Trastulli and Other Stories ( Albany : State University of New York Press)
2003 Order Has Been Carried Out: History, Memory, and Meaning of a Nazi Massacre in Rome ( New York : Palgrave)
Riley, Denise
2000 The Words of Selves: Identification, Solidarity, Irony (Stanford: Stanford University Press)
Sarumpaet, Ratna
2004 Anak-Anak Kegelapan: Naskah Drama ( Jakarta : Satu Merah Panggung)
Sasongko, Haryo H.D dan Melani Budianta
2003 Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965 ( Jakarta : Lontar)
Schulte-Nordholt, Henk
2004 “De-colonizing Historiography,” Centre for East and South-East Asian Studies, Lund University , Working Paper no. 6, 2004
Sen, Krishna
1992 “Politics of Melodrama in Indonesian Cinema,” dalam Melodrama and Asian Cinema, edited by Wimal
Dissanayake ( Cambridge : Cambridge University Press)
Setiawan, Hersri
2004 Memoar Pulau Buru Magelang, IndonesiaTera
Tjiptaning, Ribka
2002 Aku Bangga Jadi Anak PKI ( Jakarta : Cipta Lestari)
Toer, Pramoedya Ananta
1995 Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, vol I dan II, ( Jakarta : Hasta Mitra)
1999 The Mute’s Soliloquy: A Memoir, terj. Willem Samuels ( New York : Hyperion)
*) esai ini telah diterbitkan dalam buku “Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia” editor: Henk Schulte Nordholt, Bambang Purwato, dan Ratna Saptari