Jurnal Toddopuli
(Cerita Untuk Andriani S. Kusni & Anak-Anakku)
Kelompok musik, organisasi-organisasi seni-sastra-budaya di Kalteng, seperti kerakap di atas batu? hidup segan mati tak mau. (Foto dan dok. Andriani S. Kusni, 2009)
Hampir setelah 10 tahun kemudian, saya kembali ke Kalimantan Tengah. Setelah “menyepi” beberapa,hari untuk mengurusi urusan-urusan pribadi, baru saya mencari teman-teman lama baik yang dahulu berhimpun di Ikatan Sastrawan Indonesia (ISASI) Kalimantan Tengah mau pun yang pernah sama-sama berada di Dewan Kesenian di mana saya didaulat untuk menjadi Ketuanya, tapi didepak ke atas oleh Gubernur Warsito. Yang tidak mengetahui di mana saya berada selama hampir sepuluh tahun itu, ketika melihat saya tampil dalam sebuah acara teleivisi lokal, saat interaksi berkata: “Jangan mengkhianati kami Pak Kusni. Jangan putus asa, Jangan biarkan kesenian kita mandeg,Pak Kusni. Kami di belakang Pak Kusni”.
Baik ISASI mau pun Dewan Kesenian, yang ada hanyalah nama belaka, dengan nol kegiatan.”Masing-masing sibuk di kamar masing-masing dan diri sendiri”, Mohamad Alimulhuda, seorang pekerja teater,yang sehari-hari dipanggil Huda, dan sekarang bekerja di TVRI Kalimantan Tengah. Alasan tentang nol kegiatan Dewan Kesenian, adalah alasan klasik: “ketiadaan dana”, padahal dana untuk Dewan Kesenian disediakan oleh Anggaran Belanja Pembangunan Daerah. Apakah benar karena ketiadaan dana yang menjadi kendala utama ataukah ketiadaan atau miskinnya prakarsa? Pertanyaan begini muncul apabila saya membandingkannya dengan komunitas-komunitas di Jawa dan tempat-tempat lain di tanahair, juga du Perancis, di mana para senimannya berkegiatan dengan membiayai diri mereka sendiri. Komunitas Rumah Dunia di Serang, Banten atau Festival Lima Gunung di sekitar Magelang , Jawa Tengah misalnya, untuk menyebut dua contoh saja, berkegiatan secara mandiri. Festival Lima Gunung, mengongkosi festival seminggu mereka, dengan menghimpun hasil bumi dari pedesaan yang kemudian dijual untuk memperoleh dana bagi Festival. Hasilnya? Berlebihan dari keperluan, yang kemudian digunakan untuk penerbitan-penerbitan. Bagaimana ISASI Kalimantan Tengah pada sepuluh tahun silam membiayai kegiatan-kegiatannya pun bisa disa dikenang sebagai contoh.ISASI tidak bergiat mulai dari tersedianya dana, tapi aktif dan berprakarsa untuk mencari dana guna membiayai kegiatan-kegiatannya. Bahkan dari kegiatan-kegiatannya, ISASI sanggup memberi beasiswa beberapa tahun untuk anak-anak penjual koran di jalan-jalan utama Palangka Raya. Majalah Dermaga berhasil diterbitkan. Beberapa antologi puisi dicetak dan beredar di kalangan masyarakat Kalimantan Tengah, terutama di Palangka Raya. Koran-koran, radio dan tivi dilobbie untuk memberikan ruangan bagi karya-karya anggota ISASI.
Sepuluh tahun kemudian sampai hari ini, saat datang kembali ke Kalimantan Tengah, saya dapatkan hidup ISASI seperti kerakap di atas batu. Hidup segan mati tak mau. ISASI tinggal nama. Dewan Kesenian juga demikian sejak tahun didirikan sepuluh tahun silam. Huda , teman setia seorang pekerja teater Palangka Raya, menceritakan bahwa teman-teman lama di kepengurusan ISASI dahulu sudah pada pindah ke pulau atau kota-kota lain menyusul keberangkatan saya sepuluh tahun silam. Ada yang ke Makassar, ada yang ke Kuala Kapuas, ada yang sudah di alam baka, ada yang ke Jawa. Padahal justru teman-teman ini yang menjadi motor kegiatan ISASI. Terkesan pada saya bahwa Huda merasa sendiri dan merasa tidak cukup tenaga lebih untuk menangani ISASI oleh kegiatan-kegiatannya di TVRI Kalimantan Tengah. Dari tuturan Huda demikian, saya dapatkan kesan tentang arti penting tenaga teras untuk menggerakkan kolektif sebuah organisasi , termasuk ISASI. Tenaga teras ini merupakan motor yang melahirkan prakarsa dan pelaksana prakarsa. Tenaga teras ini mempunyai kecintaan dan dari cinta pada bidang yang digelutinya tumbuh komitmen kuat pada bidang tersebut. Komitmen profesionalisme, tingkat yang lebih tinggi dari amatirisme, kegiatan pengisi waktu luang..Profesionalisme di bidang kesenian agaknya masih berada pada derajat nol di Kalimantan Tengah. Sanggar tari yang aktif secara konsisten, hanya ada dua di Palangka Raya, tapi menjadi subur saat menjelang adanya kegiatan besar seperti Festival Seni Isen Mulang yang berlangsung setahun sekali. Barangkali Festival Isen Mulang memberikan semacam insentif finansial kepada kelompok-kelompok yang ikut-serta sehingga mendorong munculnya potensi-potensi tersimpan dalam masyarakat yang sebelum Festival dalam posisi “tiarap”.
Adanya insentif dan bantuan finansial begini, saya lihat benar pada saat kami merintis pembangun Dewan Kesenian Daerah pada tahun 1990an. Semua sanggar dan kelompok kesenian, terutama di Palangka Raya nampak bergairah. Di sini, masalah finansial, selain berarti finansial dalam artian harafiah, juga berarti penghargaan dan sokongan atas dasar kesadaran akan arti penting sastra-seni dalam kehidupan bermasyarakat serta pengembangannya. Faktor finansial bisa dating dari berbagai jurusan seperti dari pemerintah, dari pengusaha, dari pedagang-pedagang yang cinta (maecenas), di samping buah usaha dan prakarsa para sastrawan-seniman sendiri secara mandiri terutama mereka yang telah meilih sastra-seni sebagai profesi. Peranan dukungan finansial dari unsur-unsur ini, lebih dirasakan perlunya dalam keadaan sosial-ekonomi dan tingkat apresiasi sastra-seni yang tidak memberi syarat menguntungkan bagi para sastrawan-seniman. Apresiasi sastra-seni di provinsi Kalimantan Tengah boleh dibilang sangat minim seminim jumlah karya-karya yang dihasilkan. Pendidikan pelajaran sastra di sekolah-sekolah juga tidak mendukungnya, demikian juga media massa baik yang tulis mau pun radio dan televisi. Tidak ada satu harian pun yang memberikan imbalan kepada para penulis yang tulisan-tulisan mereka dimuat. Harian-harian Kalimantan Tengah, tanpa kecuali tidak pernah mau mengeluarkan seketip pun untuk para penulis penyumbang. Sedangkan TVRI jika memberikan imbalan terhadap jerih payah para penulis dan pemain sinetron mereka produksi atau yang diwawancara dalam siaran-siaran , jumlah imbalan sangat di bawah minim yang wajar. Bahkan terkadang tidak diberikan sepeser honorarium, padahal . Alasan yang digunakan: “Karena demikianlah kebiasaan kami sejak lama”. Kebiasaan lama yang tidak mampu memberi apresiasi jerih payah, karya dan tidak bisa mengapresiasi jasa orang lain. Apakah ini kebiasaan yang beradat, jika menggunakan istilah masyarakat Dayak dalam konsep « belum bahadat » (hidup beradat)? Apakah bedanya meminta orang bekerja tanpa penghargaan dengan eksploatasi? Apakah beradat membayar anak-anak yang berpanas-panas selama 4 hari siang malam untuk pembuatan sebuah sinetron hanya dengan Rp. 75.000,– dan naskah skenario dihargai hanya dengan Rp.350.000,–? Apakah juga beradat main akal-akalan dalam pembayaran terhadap pemilik rumah yang dipinjam sebagai lokasi syuting? Inikah “kebiasaan kami sejak lama” itu?
Karya-karya sastra yang disiarkan oleh Harian Kalteng Pos, umumnya bukanlah karya-karya dari Kalimantan Tengah, tetapi karya-karya yang diambil entah dari internet atau pun dari “gudang naskah dan berita” Jawa Pos. Jika demikian, apakah Harian Kalteng Pos bisa dikatakan mendorong upaya dan kegiatan kreatif di Kalimantan Tengah? Sedangkan Harian Palangka Pos, dari nomor-nomor yang terbit, nampak bahwa minatnya pada sastra-seni jauh lebih kurang lagi. Satu-satunya ruang seni-budaya sehalaman penuh yang lebih serius adalah yang muncul di Harian Dayak Pos saban Senin sejak bulan Juni 2009 lalu. Ruangan ini bermottokan “Untuk Kebangkitan Kebudayaan Dayak dan Yang Majemuk Di Kalimantan Tengah”. Tulisan-tulisan yang diterbitkan di ruangan yang diasuh oleh Andriani S. Kusni ini, berfokuskan pada masalah Kalimantan Tengah, menyiarkan tulisan-tulisan asli dan umumnya berasal dari Kalimantan Tengah. Ruangan seni-budaya ini juga menyiarkan pelajaran Bahasa Dayak Ngaju dalam rangka mewujudkan motto di atas. Pengasuh dan penulis di ruangan seperti halnya dengan koran-koran lain juga sama sekali tidak mendapatkan imbalan bagi jerih payah mereka. Dalam usianya yang belum sampai dua bulan, tentu saja ruang seni-budaya Harian Dayak Pos tidak bisa membawa keluar sastra-seni Kalimantan Tengah keluar dari tingkatan nol.
Ruang sastra lain didapatkan pada siaran sastra RRI Palangka Raya yang diasuh oleh sastrawan asal Jawa M. Anwar MH. Ruangan sastra RRI yang diasuh bersama dengan Huda ini lebih diarahkan kepada pembentukan apresiasi sastra pelajar dari SMP hingga SMA. Sejauh yang saya ketahui, ruangan ini pun kurang bisa mendorong perkembangan sastra di Kalimantan Tengah. Lingkup acaranya sebatas pembacaan puisi, lomba puisi dan kritik puisi. Menurut M.Anwar MH, berdasarkan reaksi atau interaksi dari para pendengar siaran yang dilakukan saban Minggu malam ini, sekarang kurang menggembiraakan.
Adanya majalah-majalah Bawi, Detak, Panarung Budaya (diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palangka Raya) dan Suar Betang (diterbitkan oleh Balai Bahasa Kalimantan Tengah) agaknya juga tidak mampu mengobah situasi, tidak bisa mengeluarkan kehidupan sastra-seni provinsi dari tingkatan nol. Majalah yang lebih serius adalah Jurnal Studi Agama Dan Masyarakat yang kadang-kadang memuat kajian serius, diterbitkan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Palangka Raya. Dalam Volume 5, Nomor 1, Juni 2008, Jurnal ini telah menerbitkan Siminto, dosen pada STAIN, berjudul “Novel “Gadis Pantai” Karya Pramoedya Ananta Toer : Analisis Struktural Lévi Strauss ». Sementara Buletin Jurnal Sospol Fakultas Ekonomi UNPAR, « Hapakat », agaknya masih menuntut usaha dan kerjakeras lagi untuk layak sampai ke tingkat yang dicanangkan oleh mottonya : « Pelopor Transformasi Politik, Sosial & Budaya ». Esai, karya-karya sastra dan tulisan-tulisan lainnya yang diterbitkan di « Hapakat », masih sangat jauh dari tujuan yang ditetapkan oleh motto, baik dalam analisa atau pun tekhnik pengetengahan masalah ditakar dari standar akademi. Demikian juga dari taraf penampilan sebuah jurnal yang ingin jadi «pelopor ».
Apakah dalam bidang kesenian lainnya terdapat keadaan lain dari yang saya tuturkan di atas tentang kehidupan sastra ? Juga tidak. Sanggar-sanggar yang stabil aktif hanya dua buah. Selebihnya tumbuh kembali menjelang Festival Isen Mulang yang berlangsung setahun sekali. Itupun tidak kita saksikan meluapnya karya-karya baru. Yang banyak diperlombakan dan digelarkan adalah karya-karya lama yang ditarikan ulang. Bagi orang luar Kalimantan Tengah, tentu saja karya-karya lama ini masih bersifat eksotis. Tapi kalau dilihat dari segi kreativitas, maka karya-karya lama yang digelarkan dan dilombakan tidak bisa disebut sebagai mekarnya kreativitas di dunia tari.
Keadaan dunia seni rupa lebih parah lagi. Tidak banyak nama perupa yang dikenal di Palangka Raya. Yang berhasil menyelenggarakan pameran tunggal di Palangka Raya hanyalah P. Lampang S.Sn. lulusan Yogyakarta. Suryo menjadi ilustrator Majalah Siswarta, Majalah Sekolah (Katolik) Yayasan Siswarta Cabang Palangka Raya, Atak ( ?), karikaturis Harian Dayak Pos yang garis-garis dan analisa karikaturnya masih lemah dan kurang tajam. Lukisan-lukisan yang lebih artistik dan menarik adalah diciptakan oleh Kilat Kasanang dari Kelompok Kaos Dayak.
Keadaan dunia teater dan penciptaan sintron pun tidak bisa dikatakan menggembirakan. Keadaan yang agak berbeda adalah apa yang berlangsung di dunia musik. Di dunia musik ini telah terbit beberapa album musik-musik pop berbahasa Dayak Ngaju dan Dangdut Dayak. Sekali pun demikian, Sekali pun demikian menurut seorang Event Organizer dari Jakarta yang pernah bekerja beberapa tahun di Palangka Raya, « Palangka Raya khususnya dan Kalimantan Tengah sangat kekurangan hiburan dan events ». Artinya seni musik karya musikus-musikus lokal masih jauh dari memadai, baik dari segi jumlah, mau pun mutu». Singkatnya, kreativitas di bidang musik pun tidak membantu Kalimantan Tengah keluar dari lingkaran tingkatan nol dunia kreativitas sastra-seni.
Ucun Tingang,A.Md, guru SMPN—6 Palangka Raya dalam Buletin “Panarung Budaya”, majalah yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Palangka Raya (Edisi 01/Triwulan II/2009 , melukiskan Tingkat Nol sastra-seni di Kalimantan Tengah disebabkan karena alasan-alasan sebagai berikut:
« Pertama, kurang dilakukannya « regenerasi » atau pelatihan mau pun istilah pemberian tongkat estafet dari kaum tua terhadap kaum muda.
Kedua, Belum adanya tempat/wadah pembinaan yang jelas guna menampung serta melatih para generasi , agar bisa,membuat mereka lebih suka dan cinta terhadap seni budaya daerahnya baik di perkotaan apalagi di pedesaan, sehingga perlahan tapi pasti membuat mereka semakin lupa dan malas dalam ikut melestarikan seni budaya.
Ketiga, karena perubahan ùasa/kemajuan zaman yang sangat mempengaruhi kehidupan para generasi tersebut contoh karena maraknya seni atau budaya yang datang dari luar daerah baik secara nasional bahkan budaya internasional yang baru dan sangat modern.
Keempat, hingga saat ini seni budaya/kesenian daerh Kalimantan Tengah masih belum mendapat posisi atau kalkulasi nominasi nilai yang layak dari para pemakai/pengguna jasa, baik oleh pihak pemerintah, swasta, pengusaha , atau apapun namanya. Karena rupanya masih dianggap sebagai « nasi tambah » artinya anggapan bahwa para seniman-seniwati daerah/lokal ini mzdih belum dizp serta kurang lengkap dalam penyajian pertunjukan dan pementasannya, sehingga pembinaan, imbalan, bayaran, atau pun hadiah, yang selalu diberikan masih jauh dari harapan serta standar apalagi jika kita bandingkan dengan daerah lain yang ada di Indonesia.
Kelima, masih belum adanya pihak-pihak yang lahir berbagai sponsor atau penyandang dana baik dari kalangan eksekutif, kaum konglomerat, PT, CV, yang mau melirik seni budaya ini dan jangankan yang mengantar para seniman-seniwati hingga menuju ke dapur rekaman. »
Oleh lima sebab di atas maka Ucun A. Tingang,A.Md berkesimpulan : « Maka dari itu, kita jangan heran mengapa kesenian daerah Kalteng berupa karungut, deder dan bahkan semua ragam seni budaya yang ada termasuk berbagai unsur pendukungnya sampai saat ini masih belum mengalami kemajuan yang berarti malah semakin ditinggalkan dan tenggelam. Alasan yang mendasari adalah bahwa pra pelaku seni mungkin sudah merasa cape dan lelah dalam berbuat dan berkarya namun apa yang diharapkan, hasil yang diraih selama ini masih belum mampu menjamin untuk kelangsungan hidup atau kesejahteraan bagi para pelaku seni/budayawan daerah ini ».
Singkatnya, kreativitas di bidang musik pun tidak membantu Kalimantan Tengah keluar dari lingkaran tingkatan nol dunia kreativitas sastra-seni.
Yang bisa menolong Kalimantan Tengah untuk keluar dari lingkaran tingkatan nol ini, di samping keaktifan kreatif para seniman sendiri, adalah peran Dewan Kesenian Kota dan Dewan Kesenian Provinsi (jika Dewan Kesenian Provinsi mau dipertahankan. Sejauh pengetahuan saya, Dewan Kesenian tidak dibentuk untuk tingkat provinsi, tapi untuk tingkat kota). Dan Dewan Kesenian seniscayanya tidak dipimpin oleh para birokrat, apalagi oleh birokrat yang tak mengerti dan tidak tertarik pada bidang kebudayaan, tapi diselenggarakan oleh para seniman itu sendiri seperti yang berlangsung sekarang ini. ***
Palangka Raya, 2009
JJ. KUSNI