Halaman Budaya Sahewan Panarung | 30 Juli 2023 | MENGAPA KONGRES KEBUDAYAAN KALTENG MENDESAK DISELENGGARAKAN?

“Pembangunan yang beraras pada kebudayaan menjadi inti pemikiran dalam kerangka kegiatan Pra dan Kongres agar kebudayaan menjadi pilar utama pembangunan.”
Muslimin A.R. Effendy

Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIII Muslimin A.R Effendy menerima kunjungan Pengasuh Halaman Budaya Radar Sampit Andriani SJ Kusni, untuk  diwawancarai di rumah dinas Jl. Pattimura No. 11, Palangka Raya, Senin, (24/7/2023). Foto/Dok.: Kusni Sulang

Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) adalah unit pelaksana teknis (UPT) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia yang berada di daerah dengan tugas melaksanakan pelestarian cagar budaya dan objek pemajuan kebudayaan. Pembentukannya didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI No. 33 Tahun 2022. Balai ini berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Kebudayaan. Pengasuh Halaman Budaya Sahewan Panarung Andriani SJ Kusni mewawancarai Kepala BPK Muslimin A.R Effendy pada Senin, 24 Juli 2023 di rumah dinas Jl. Pattimura No. 11, Palangka Raya.

RADAR SAMPIT: Selamat sore, Pak Muslimin. Terima kasih atas waktu dan kesediaan menerima kami untuk diwawancarai. Pertama-tama, boleh ceritakan sedikit tentang diri Bapak? Lahir di mana, kapan, sebelum ke Kalimantan Tengah tugas di mana?

MUSLIMIN: Saya lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang heterogen. Bapak saya turunan Gowa yang sudah lama merantau ke Nusa Tenggara Barat, kemudian bertemu Ibu saya lalu kawin-mengawin. Saya 9 bersaudara, anak keenam, dilahirkan 17 Agustus 1967 pada hari Jumat. Pendidikan SD, SMP, SMA, saya selesaikan di Bima, tempat kelahiran saya kemudian melanjutkan Program Studi Sejarah di Universitas Hasanuddin, lalu lanjut di program pascasarjana S2 dan S3 bidang Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia, Depok. Di samping bekerja sebagai pengajar, dosen Universitas Hasanuddin di Departemen Ilmu Sejarah, saya juga mengabdikan diri sebagai birokrat, suatu kombinasi antara dunia akademik dan dunia praktisi yang mengharuskan saya berbagi dan mengkombinasi dua bidang yang kadang tidak selalu sejalan antara apa yang kita pelajari dengan prakteknya. Tapi itu menarik buat saya, melihat terutama, misalnya apakah kebudayaan kita dalam batas tertentu sudah menganut proses purifikasi dalam perkembangannya atau justru mereka bermain pada wilayah yang terasa hambar. Orang tidak merasakan kehadirannya tapi gaungnya terdengar dengan baik. Saya sudah terbiasa sejak kecil mendiskusikan hal-hal tertentu dengan Bapak saya terutama. Beliau adalah contoh dan teladan yang baik dan banyak mengilhami jalan kehidupan saya. Saya 4 tahun bertugas di BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Kalimantan Timur yang wilayah kerjanya satu pulau Kalimantan. 5 provinsi, 56 kabupaten/kota. Januari 2023, Pemerintah melaksanakan reorganisasi di lingkungan Dirjen Kebudayaan dengan membentuk UPT baru guna mengintegrasikan dua instansi berbeda dengan fungsi berbeda yakni BPCB (fokus pada benda) dan BPNB (Balai Pelestarian Nilai Budaya, fokus pada nilai) yang sifatnya komplementer. Wilayah kerja mengalami pemekaran. Kalau dulu satu pulau, sekarang menjadi dua provinsi di Kalimantan. Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan berkantor di Palangka Raya, namanya BPK Wilayah XIII. BPK Wilayah XIV berkedudukan di Samarinda, wilayah kerjanya Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, sedangkan BPK Wilayah XII, berkedudukan di Pontianak membawahi satu provinsi saja, Kalimantan Barat. Tugas inti hanya empat: Pertama, melakukan perlindungan budaya baik benda maupun tak benda; Kedua, melakukan pengembangan kebudayaan; Ketiga, pemanfaatan warisan budaya yang tujuannya tidak semata-mata diarahkan untuk memajukan kebudayaan tapi juga menghidupi ekosistem kebudayaan secara luas; Keempat, melakukan koordinasi, konteksnya pembinaan kebudayaan. Siapa yang dibina? Komunitas, pelaku budaya, penghayat kepercayaan, kelompok-kelompok seni. Mitra kami di daerah adalah dinas yang membidangi masalah kebudayaan. BPK di Kalimantan Tengah efektif beroperasi mulai Juli 2023. Banyak gagasan dan mimpi kami.

RADAR SAMPIT: Dari pengalaman sebagai akademisi dan birokrat, apa cara paling efektif melestarikan kebudayaan?

MUSLIMIN: Pertama adalah pelibatan masyarakat secara masif. Kita tidak bisa membuat program aksi tanpa dukungan masyarakat. Kita menempatkan Pemerintah itu, sebetulnya hanya sebagai regulator dan fasilitator. Semua implementasi bentuk, regulator. Untuk itu harus mudah dipahami dan dilaksanakan di level bawah. Selama beberapa dekade jalan kebudayaan itu, kita diarahkan untuk bersatu dalam keragaman tapi tidak diperlihatkan beragam dalam kesatuan. Paradigma ini berkembang dalam waktu cukup panjang. Kebudayaan adalah salah satu jalan pembangunan yang mau-tidak mau harus direspon dengan perspektif yang bertumpu pada kebudayaan. Seharusnya itu yang menjadi arah kebijakan pembangunan kita. Jadi, bukan kalau ada kesalahan, ditimpakan kepada kebudayaan. Contoh sederhana, korupsi sudah merajalela dan korupsi seolah-olah sudah menjadi budaya kita. Kadang-kadang, saya miris mendengarnya, bahwa semua kesalahan ditimpakan kepada kebudayaan padahal desain manusia untuk mengembangkan kebudayaan dengan cara dan proses belajar itu mengharuskan kita melewati tahap perkembangan tertentu dengan proses pembelajaran yang juga sangat intens. Jadi, kita tidak (boleh) selalu melihat kebudayaan sebagai bagian yang dianggap bisa mengganggu pertumbuhan atau perkembangan pembangunan. Paradigma itu yang ingin kita ubah. Kebudayaan itu adalah jalan pembangunan terbaik sebetulnya.

RADAR SAMPIT: Pelibatan masif masyarakat dalam pelestarian kebudayaan yang Bapak katakan, konkritnya seperti apa?

MUSLIMIN: Bisa dalam banyak cara. Pertama, dari penyusunan desain pembangunan kita, dalam bentuk musrenbang. Di situ sebetulnya tahapan pembicaraan mengenai bagian dari kebudayaan itu dilibatkan. Artinya, segala perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan itu harus melibatkan masyarakat. Ada kegiatan-kegiatan pada event-event tertentu di berbagai level. Selama ini, kesan saya selama berkecimpung dalam bidang ini, seolah-olah masyarakat itu hanya diundang dan dihadirkan sebagai penonton, tidak sebagai pelaku. Sekarang kita balikkan model itu bahwa masyarakatlah yang menjadi inti dan tumpuan kebudayaan. Bukan mereka sekedar menjadi tontonan dan obyek tetapi menjadi subyek. Banyak contoh bisa kita tunjukkan bagaimana pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan kebudayaan khususnya pelestarian. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sudah mengembangkan model pelestarian berbasis masyarakat terutama masyarakat yang tinggal di sekitar situs atau masyarakat yang menjadi bagian dari inti kebudayaan itu. Dengan cara pelibatan seperti itu, ke depan diharapkan kita tidak akan mengeluhkan lagi bahwa pelestarian kebudayaan itu menjadi pekerjaan utama pemerintah tapi pilar utama kita justru ada di tengah masyarakat. Di Kalimantan Timur ketika saya bertugas, ada banyak program yang kita rancang dengan melibatkan ibu-ibu rumah tangga, pelajar, mahasiswa, peneliti, dosen, dari berbagai kelompok masyarakat dan mereka turut serta di dalam, mengambil bagian dalam pelestarian itu. Secara sederhana, pelestarian yang kami maksudkan tidak hanya semata bertumpu kepada kegiatan atau aktivitas riil. Dalam cara sederhana misalnya, orang diberi kesempatan melakukan postingan dengan latar obyek kebudayaan atau warisan-warisan kebudayaan yang ada atau mereka diberikan ruang yang cukup untuk memberikan apresiasi bagi pelestarian itu. Dengan cara apa? Misalnya, mereka mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal pelestarian. Mereka juga mengevaluasi apakah kerja-kerja kebudayaan yang dilakukan pemerintah selama ini benar atau tidak, dengan melibatkan masyarakat atau tidak. Pelibatan bukan hanya pada akhir kegiatan, tapi dari hulunya. Perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, dan seterusnya. Itu bagian dari proses. Dialektika kebudayaan yang baik sebetulnya itu, menurut saya.

RADAR SAMPIT: Sebelumnya kita pernah bertemu dalam suatu diskusi dan Bapak bercerita mengenai Anugrah Kebudayaan, waktu masih di Kaltim. Apakah cara itu efektif dalam upaya melakukan pelestarian kebudayaan dan apakah ada dampaknya?

MUSLIMIN: Oh ya, betul. Tahun 2020, saya menggagas satu event yaitu pemberian apresiasi kepada masyarakat yang memiliki kepedulian dan dedikasi tinggi terhadap pelestarian kebudayaan. Ada 10 kategori yang diambil berdasarkan bagian-bagian dalam UU Pemajuan Kebudayaan. Tradisi lisan, bahasa, permainan rakyat, manuskrip, macam-macam dari 10 OPK itu. Apakah dia itu pelestari kebudayaan yang sifatnya untangible atau dia semata-mata bergerak di luar wilayah mainstream. Bergerak dalam tanda petik liar, tidak terkoordinasi dalam kelompok-kelompok utama dalam perkembangan kebudayaan. Misalnya, ada pemain keliling yang menawarkan kegiatan-kegiatan kebudayaan yang dapat memberikan hiburan menarik kepada satuan pendidikan paling rendah, kelompok bermain, TK dan SD. Di Samarinda itu ada kelompok pemain, saya lupa namanya, yang dedikasinya puluhan tahun mengembangkan kesenian tradisi. Kita melihat, penting orang-orang seperti ini kita apresiasi. Setelah saya diskusikan dengan teman-teman di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi, mereka merespon baik dan itu menjadi program aksi provinsi sejak tahun 2021. Kita bikin tim penilaian dan penjurian sejak tahapan administrasi sampai verifikasi lapangan, apakah data yang mereka usulkan itu sesuai benar dengan kenyataan lapangan. Kita coba lihat kembali rekam jejaknya, apakah pernah menerima penghargaan sebelumnya dari Pemerintah, dari organisasi atau lembaga-lembaga lain, sebagai pertanda bahwa mereka memang orang-orang yang berdedikasi di bidangnya. Di awal, kami menetapkan standar agak tinggi. Hasilnya menjadi role model bagi kegiatan anugrah kebudayaan lain. Dan saya kira ini langkah baik dalam rangka melestarikan kebudayaan. Tidak hanya para pelakunya yang diapresiasi tapi juga aspek-aspek budaya yang mereka kembangkan. Jadi, ada dua strategi pemajuan kebudayaan sekaligus yang dilakukan. Pertama, orangnya dengan melihat kinerja para pelaku budaya. Dalam pengertian apa yang mereka pikirkan, lakukan, lalu apa apresiasi yang patut kita berikan atas dedikasi itu. Kedua, dampak domino yang dihasilkan dari kegiatan itu apa yang dapat menjadi contoh baik bagi perkembangan kebudayaan ke depan. Dan ternyata ada banyak sebetulnya yang tidak tercover oleh kami. Di situ juga terungkap, betapa banyak pelaku budaya kita yang tidak diperhatikan oleh negara.

RADAR SAMPIT: Kenapa tidak diperhatikan?

MUSLIMIN: Saya pikir, nah ini juga kealpaan kita. Pada level paling rendah misalnya di Pemerintahan Desa, kecamatan, maupun kabupaten, tidak mendidik mereka sebagai bagian dari industri, dalam tanda petik, industri kreatif yang bisa dikembangkan. Ini adalah potensi besar, paling tidak untuk lingkungan terbatas. Atraksi-atraksi yang mereka jaga kemudian mereka pentaskan di panggung-panggung itu perlu kita wadahi dalam bentuk mengembangkan komunitasnya, memberikan ruang mengekpresikan kebudayaan. Sebetulnya itu PR paling besar. Pemerintah tidak lupa tapi begitu banyak yang ditangani sehingga butuh perhatian dari kelompok-kelompok yang ada di bawahnya. Maka kita merancang, kegiatan kebudayaan itu dimulai dari level paling bawah, tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, kemudian nasional melalui pekan kebudayaan daerah lalu pekan kebudayaan nasional. Tahapan itu yang ingin dirancang.

RADAR SAMPIT: Terkait salah satu tugas inti BPK, saya ingin menyoroti tugas pengembangan kebudayaan, apakah salah satu tujuannya untuk memajukan kebudayaan? Kalau iya, budaya apa/siapa yang  dijadikan dasar pemajuan di Kalteng?

MUSLIMIN: Iya. Kami tidak akan memisahkan dari seluruh rangkaian tradisi atau kebudayaan yang ada di daerah ini. Semua akan coba kami petakan melalui program aksi secara bertahap. Kalau dulu, kita membuat desain program aksi  berdasarkan kecenderungan etnisitas mayoritas penduduk, apa yang paling dominan. Sekarang, tidak lagi. Kami mengakomodasi seluruh kebutuhan riil di masyarakat, artinya kami membuat platform rencana aksi yang bisa mengakomodasi kepentingan berbagai pihak. Kedengarannya sangat idealistik, ya. Tapi dengan cara seperti itu, kita tidak terkooptasi dalam kepentingan atau sekat-sekat yang membatasi ruang kita berkebudayaan. Kami mencoba keluar dari frame yang selama ini dibentuk bahwa kebudayaan yang berkembang itu adalah kebudayaan yang berasal dari orang-orang besar atau bangsa-bangsa mayoritas yang dominan. Kami pikir, semua kebudayaan berinteraksi dan memberi pengaruh masing-masing dan apa yang berkembang sekarang adalah hibridasi dari kebudayaan yang berkembang sebelumnya. Kebudayaan yang sifatnya nonmaterial, ini sangat movable, mudah berpindah-pindah karena terkait dengan orang, gagasan, kami berikan atensi khusus terutama kebudayaan yang bisa menumbuhkembangkan tradisi untuk orang bisa tetap survive. Tahun ini kami melakukan kajian tentang ketahanan pangan yang dalam pemetaan kami, ada beberapa kelompok di beberapa daerah semakin tergusur dan cara mereka bertani secara tradisional semakin hilang. Kenapa? Karena mereka beralih profesi dan lahan mereka untuk berkebun dan berladang sudah diokupasi oleh negara lewat operasi perusahaan-perusahaan besar. 11 Agustus nanti, kami akan lakukan studi di Pulang Pisau dibantu teman-teman dari BRIN. Kenapa ketahanan pangan lokal kita semakin ambruk di tengah kepungan sumber-sumber pangan baru. Masyarakat Dayak tidak lagi meramu dan menemukan makanan di hutan karena lahan mereka atau sumber-sumber daya alam yang ada sudah semakin berkurang maka sekarang mereka beralih profesi menjadi buruh tani, buruh tambang, buruh kelapa sawit. Apakah pemerintah tidak punya kepedulian untuk memberikan lahan alternatif atau pemerintah mengarahkan untuk masuk ke dalam modernitas? Saya pikir, sementara masyarakat Dayak belum siap merespon modernisasi secara baik. Ada banyak faktor. Masalah akses ke dunia pendidikan, akses ke sumber daya keuangan, dan seterusnya. Ini rencana program, akan diterbitkan dalam bentuk buku. Kenapa penting? Literasi perlu kami kembangkan sebagai bagian dari proses penyadaran diri untuk bersama memikirkan atau melihat kebijakan-kebijakan apa yang tepat untuk dimunculkan dalam rangka membuat ekosistem menjadi lebih baik. Dulu, tidak ada ancaman kelaparan karena sumber bahan pangan cukup tersedia di kebun, di hutan. Sekarang tidak. Kenapa sekarang orang berpindah konsumsi ke nasi, tidak lagi sorgum dan umbi-umbian, itu kan bagian dari kerja kebudayaan juga. Nah, studi kajian ketahanan pangan arahnya kepada itu sebetulnya.

RADAR SAMPIT: Dari sekian banyak gagasan dan rencana, apa yang diprioritaskan?

MUSLIMIN: Pertama, dalam waktu dekat kami akan merancang satu pra kongres kebudayaan. Ketika membaca dan berdiskusi dengan Pak Kusni, mungkin gagasan sudah ada tapi tahap implementasi belum sementara di daerah lain sudah berkali-kali kongres itu diselenggarakan. Apa tujuannya? Untuk mendengarkan apa keluh-kesah pemangku kebudayaan termasuk juga dari institusi negara. Hambatan dan apa solusi yang tepat mengenai kegiatan pembangunan kebudayaan ini, maka kita rancang dalam dua tahap kegiatan. Pertama, pra-kongres. Lalu, kongres. Kita melakukan roadshow di beberapa daerah untuk menghimpun berbagai informasi dan berdiskusi dengan para tokoh, budayawan, kira-kira apa strategi kebudayaan yang paling pas. Istilah strategi kebudayaan ini sudah lama. Pak Kusni tahu persis, sejak tahun 60an sudah didengungkan. Pidato kebudayaan misalnya oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Mohtar Loebis, sudah lama, tapi itu hanya gaung tanpa program aksi yang direncanakan secara baik. Nah, tugas kita generasi sekarang, merancang desain pembangunannya. Salah satu cara saja itu, kongres kebudayaan dengan tahapan tadi, pra kongres kemudian kongres. Kenapa perlu ada tahapan? Ibarat bikin Pekan Olahraga Nasional, ada Porda, ada PON. Berjenjang begitulah. Saya paham, ini tidak mudah karena akan berhadapan dengan banyak benturan. Benturan itu justru datang bukan dari kelompok-kelompok marjinal tapi dari kelompok yang dominan, the ruling party, kelompok-kelompok mainstream. Mungkin gugatan mereka, apa pentingnya ini diselenggarakan? Lalu, kelompok-kelompok kecil juga berharap banyak, apa kami ikut dipotret di dalam pra kongres dan kongres itu? Dipotret dalam pengertian, apakah mereka menjadi bagian dari inti pembicaraan itu? Apakah hanya dihadirkan sebagai penonton atau pendengar saja? Jadi, saya tidak menggunakan platform yang mendikotomi kebudayaan berdasarkan konsep etnisitas tapi kita melihat kebutuhan secara keseluruhan. Kalau begitu, apa yang kita inginkan ke depan? Agar desain pembangunan kebudayaan itu betul-betul menjadi sumber inspirasi bagi daerah, pemerintah daerah, dan menjadi strategi bersama dalam rangka pembangunan nasional. Kita mencari akar permasalahan sikap resistensi masyarakat, ambruknya ketahanan pangan lokal, konflik, intoleransi, segregasi sosial, karena apa, tentunya dari perspektif kebudayaan. Intinya, kebudayaan menjadi tulang punggung pembangunan. Mudah-mudahan rencana ini tidak dilihat dalam perspektif kepentingan praktis. Saya bukan politisi, bukan orang yang suka membelanjakan persoalan.

RADAR SAMPIT: Kapan rencananya kongres dilaksanakan?

MUSLIMIN: Rencana saya, September.

RADAR SAMPIT: Bisa terkejar? Mengingat tadi Bapak mengatakan ada pra kongres.

MUSLIMIN: Nah, itu dia. Pra kongres itu Agustus. Ini juga yang menjadi bahan pikiran saya. SDM kami sangat terbatas. Itu juga jadi masalah.

RADAR SAMPIT: Kira-kira bisa dilaksanakan targetnya? Persiapan sejauh mana sekarang?

MUSLIMIN: Mari kita coba dahulu. Sekarang baru identifikasi soal dan isu-isu yang akan dibicarakan dalam pra kongres. Jumat lalu, saya sudah bicarakan dengan Bu Diah (Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah). Beliau merespon baik. Saya diminta menyerahkan semacam TOR supaya Beliau bicarakan dan diskusikan dengan Pak Gubernur.

RADAR SAMPIT: Target minimal dan maksimal dari Kongres Kebudayaan?

MUSLIMIN: Munculnya rumusan baku tentang strategi pembangunan kebudayaan di Kalimantan Tengah. Strategi itu dicapai dengan cara apa. Tidak lagi bertumpu pada visi-misi, itu kan hal yang dibayangkan, sangat idealistik. Apa caranya? Lalu, kelompok mana yang bisa mengeksekusi? Jadi kita bukan hanya bicara caranya tapi juga kelompok pemangkunya, pendanaannya bagaimana. Sedetail itu.

RADAR SAMPIT: Terakhir, apa yang ingin dicapai dari rencana program Kongres Kebudayaan?

MUSLIMIN: Ini adalah langkah strategis awal yang kita lakukan untuk menghimpun berbagai gagasan, ide, solusi terhadap permasalahan kebudayaan yang kita hadapi. Hubungan pembangunan yang beraras pada kebudayaan menjadi inti pemikiran kita di dalam kerangka kegiatan pra dan kongres nanti agar kebudayaan menjadi pilar utama pembangunan. Masyarakat Kalimantan Tengah, saya paham, mereka mencintai kebudayaannya tapi kecintaan itu harus diwujudkan dalam bentuk aksi nyata. Tidak hanya dalam bentuk slogan. Jadi hasil kongres nanti, ada semacam panduan baku yang menjadi pedoman kerangka kerja kebudayaan. Kami tidak ingin mengambil semua peran yang diemban banyak instansi tapi kami berikan peran kepada instansi yang memang menangani hal itu. Kami ingin menjadi semacam gerbang untuk membantu menjelaskan arah kebijakan pembangunan di bidang kebudayaan, dengan dukungan berbagai stakeholder.

RADAR SAMPIT: Kami mengucapkan terima kasih atas penjelasan Bapak. Itu bahan berharga.[]


Wawancara khusus Kepala Balai Pelestarian Wilayah XIII Muslimin A.R. Effendy oleh Andriani SJ Kusni
Halaman Budaya SAHEWAN PANARUNG, Radar Sampit, Minggu, 30/07/2023. Pengasuh: Kusni Sulang & Andriani SJ Kusni, Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Masyarakat Adat | 23 Juli 2023 | Catatan Kusni Sulang: POLITIK ETNIK JAWA-SENTRIS PATUT SEGERA DITINGGALKAN

“Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!“
–          Soekarno, Presiden pertama Indonesia 1901-1970

Ensuring that no one is left behind – How do we protect the poorest and most vulnerable from the crisis and empower them to realize the SDGs. Menjamin bahwa tak seorang pun yang ditingggalkan di belakang. Bagaimana melindungi mereka yang termiskin dan terpapa dari krisis serta bagaimana memberdayakan mereka guna melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.”
–          Statements Office of the High Commissioner for Human Rights, 06 July 2021


Penyunting: Andriani SJ Kusni

Dalam rangka merayakan Hari Kemerdekaan yang ke-76, Suku Dayak Iban di Desa Lintang Batu, Kapuas Hulu, Kalimantan Barat yang tinggal di perbatasan, membentangkan di atap Rumah Betang mereka, bendera Merah Putih sepanjang 168 meter dan lebar tiga meter. Untuk memasang bendera itu, 42 orang telah dikerahkan. Foto: Antara (Diambil dari https://kalbar.inews.id/berita/bendera-merah-putih-sepanjang-168-meter-dibentangkan-di-atap-rumah-suku-dayak)

Sependek pengetahuan saya, baru dan hanya Presiden Joko Widodo (Jokowi) sajalah yang berani dengan terus-terang dan berkali-kali mengakui di depan publik bahwa pembangunan Indonesia sejak 1945 bersifat Jawa-Sentris.

Dengan maksud agar pembangunan menjadi Indonesia-Sentris maka sebagai Presiden, ia memutuskan untuk memindahkan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur–salah satu pertimbangan yang sejajar dengan alasan Bung Karno ketika ingin memindahkan IKN ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah (Kalteng).

Jawa-Sentris artinya segala-galanya terpusat di Jawa.

Tidak heran hal-hal penting seperti rumah sakit, sekolah-sekolah, infrastruktur terbaik, dan lain-lain, semuanya terdapat di Jawa. Padahal, daerah-daerah luar Jawa itu kaya akan sumber daya alam yang mendatangkan devisa untuk Negara. Tapi hasilnya sebagian terbesar digunakan untuk Jawa sehingga ketertinggalan dibandingkan dengan Jawa merupakan ciri daerah-daerah luar Jawa–lebih-lebih Indonesia Tengah dan Timur.

Oleh berlangsungnya ketimpangan begini, maka seperti pernah saya tulis di Harian ini, saya sempat merasa sangat gembira dengan meletusnya pemberontakan PRRI-Permesta pada 1958-1961, walaupun membuat kiriman pos wesel dari kampung menjadi macet dan saya harus dengan berbagai cara mencari cara bertahan hidup serta sering kelaparan.

Apa yang disebut oleh Presiden Jokowi sebagai ‘Jawa-Sentris’ itulah yang saya maksudkan dengan politik etnik untuk Indonesia yang terdiri dari banyak suku itu. Selama ini, politik etnik yang dipilih adalah politik Jawa-Sentris, termasuk dalam kategori ‘politik besarisme’.

Sebagai pulau yang berpenduduk paling banyak di negeri ini, seperti perahu yang sudah sangat sarat muat, saya memahami bahwa jika Jawa tidak diurus dengan baik, Jawa akan resah dan dampak keresahan di pulau terkecil dari lima pulau terbesar Indonesia itu akan berdampak ke pulau-pulau lain.

Tapi sekalipun demikian, karena Indonesia bukan hanya Jawa, agar kemajuan bisa merata, akan sepantasnyalah jika daerah-daerah, yang berarti suku-suku lain penghuni daerah-daerah lain dan disebut sebagai wilayah Republik Indonesia, tidak diabaikan. Pengabaian etnik daerah-daerah lain menghasilkan keterbelakangan dan menjadikan daerah-daerah lain itu sebagai ‘sapi perahan’ belaka, keadaaan demikianlah yang saya namakan penjajahan internal. Apalagi, ciri-ciri penjajahan itu lengkap terdapat di daerah-daerah tersebut, paling tidak di Kalimantan Tengah, sampai pada hari ini.

Saya khawatir, jika politik etnik Jawa-Sentris dan besarisme dilanjutkan, terutama dalam praktek, keberlanjutan eksistensi bangsa dan negeri ini akan mengalami gangguan tanpa jeda. Bumi Tambun-Bungai, Bumi Pancasila tidak mempunyai makna dalam kehidupan kecuali sebagai retorika politik politisien. Kalau pemahaman saya tidak salah, salah satu penyebab remuknya Yugoslavia sebagai bangsa dan Negara, terdapat unsur politik besarisme ini juga.

Dalam kehidupan langlang buana, saya pernah berkunjung ke beberapa daerah etnik minoritas di perdesaan Republik Rakyat Tiongkok (RRT), antara lain ke daerah Hei-Lung-kiang di Timur Laut.

Waktu itu musim dingin minus 40 (empat puluh) derajat. Tuan rumah, Tiongkok, tahu benar bahwa saya mempunyai perhatian besar selain pada masalah sastra-seni, juga terhadap politik etnik yang mereka terapkan. Daerah perdesaan yang saya kunjungi dihuni oleh etnik Korea, tentu saja juga dihuni oleh etnik Han sebagai etnik mayoritas.

Air bersih merupakan keperluan seluruh warga desa tanpa kecuali. Untuk itu, pemerintah menyediakan pompa air. Yang menarik perhatian, pertama-tama yang didahulukan dalam pengadaan pompa air itu adalah untuk warga dari etnik Korea. Perhatian penuh pemerintah pada etnik minoritas ini juga nampak pada pengadaan pabrik khusus dan pakaian khas Korea. Adanya perhatian penuh pemerintah ini membuat kehidupan etnik minoritas (dalam arti jumlah) berkembang setara dengan yang Han.

Dalam bidang pendidikan, untuk etnik-etnik minoritas ini diadakan universitas khusus yang dinamakan Universirtas Etnik Minoritas (Min Zu  Da Xué) yang memungkinkan sumber daya manusia berkualitas etnik-etnik minoritas ini bisa cepat tumbuh berkembang.

Kali lain, dari Australia melalui Hong Kong, saya kembali ke Tiongkok. Waktu itu diterapkan politik demografi ‘satu keluarga satu anak’. Politik demografi ini terutama diberlakukan untuk etnik Han sedangkan terhadap etnik-etnik minoritas, politik demografi ‘satu keluarga satu anak’ tidak diberlakukan dengan maksud agar laju jumlah mereka tidak terhambat.

Sementara di negeri kita, diterapkan politik keluarga berencana pukul rata. Bahkan, di daerah perdesaan Dayak Kalimantan Tengah yang jumlahnya sudah sedikit dibandingkan dengan etnik Jawa, Banjar, dan Bugis, terdapat desa-desa yang disebut Desa Teladan Keluarga Berencana. Tidakkah kebijakan begini membuat yang sudah minoritas menjadi tetap minoritas dan semakin minoritas?

Di bidang literasi, untuk etnik-etnik yang tidak punya aksara, pemerintah mengatur agar mereka mempunyai aksara guna mengembangkan sastra etnik mereka sendiri. Pengembangan sastra-seni etnik minoritas benar-benar didorong dan dikembangkan. Artinya, Tiongkok menerapkan politik etnik yang adil sehingga kemajuan etnik-etnik itu merata di seluruh negeri.

Tidak bisakah politik etnik yang adil begini diterapkan di negeri kita sehingga kesenjangan antar etnik tertangani? Politik ‘survival of the fittest’  atau laisser faire,laisser aller, yang kuat adalah yang menang, saya pastikan bukan politik etnik yang adil, apalagi politik etnik ‘Jawa-Sentris’ yang sejak lama dipraktekkan.

Salah satu bentuk konkretisasi Bhinneka Tunggal Ika adalah meninggalkan politik etnik ’Jawa-Sentris”, ‘besarisme’, dan mulai menerapkan politik etnik yang berkeadilan.

Lanjutan konkret dari ‘politik etnik yang berkeadilan’ ini adalah pembentukan dan penetapan desa adat, bukan lima skema perhutanan sosial yang saya anggap kebijakan akal-akalan. Pembentukan dan penetapan desa adat tidak lain mewujudkan secara nyata konsep Bhinneka Tunggal Ika, mengembalikan kedaulatan rakyat ke tangan rakyat, dalam pengertian sesungguhnya. Desa adat juga merupakan perwujudan nyata dari republikan dan berkeindonesiaan sebagai rangkaian nilai. Desa adat sebagaimana halnya dengan republik dan Indonesia sebagai rangkaian nilai berdiri hadap-hadapan dengan praktek penjajahan internal dalam berbagai bentuk. Karena itu, kemerdekaan sesungguhnya masih jauh dari kenyataan.

Praktek politik etnik yang lain, saya terima tuturannya dari Swedia.

Teman-teman saya yang berada di negeri Utara (Nordic) itu mengatakan bahwa jika kau dari Indonesia, pemerintah Swedia memfasilitasi Anda agar tetap menguasai baik Bahasa Indonesia. Arti praktis kebijakan ini, jika Swedia memerlukan tenaga yang menguasai Bahasa Indonesia, pemerintah tidak kalang-kabut untuk mencari tenaga penerjemah. Sementara di Indonesia, pemerintah pernah melarang penggunaan Bahasa Tionghoa yang pada zaman Pemerintahan Soekarno, koran-koran berbahasa daerah termasuk Tionghoa sangat dikembangkan.

Sehubungan dengan politik bahasa ini, yang menjadi pertanyaan: Apakah semboyan “Mengutamakan Bahasa Indonesia, Melestarikan Bahasa Daerah dan Menguasai Bahasa Asing” itu kebijakan yang sudah tepat? Apakah kebijakan ini tidak telah turut andil dalam kematian bahasa-bahasa daerah? Dalam perbandingan, menurut semboyan ini, bahasa daerah cuma dilestarikan, tidak perlu dikuasai, tidak juga diutamakan. Pertanyaan ini muncul dalam hubungan dengan politik etnik yang di dalamnya mencakup masalah bahasa dan sastra.

Apabila Office of the High Commissioner for Human Rights PBB menyatakan tentang keharusan Negara-Negara “Ensuring that no one is left behind – How do we protect the poorest and most vulnerable from the crisis and empower them to realize the SDGs. Menjamin bahwa tak seorang pun yang ditingggalkan di belakang. Bagaimana melindungi mereka yang termiskin dan terpapa dari krisis serta bagaimana memberdayakan mereka guna melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan”, pertanyaannya: Bagaimana mungkin keinginan demikian terwujud apabila yang dilaksanakan adalah politik etnik diskriminatif seperti halnya dengan politik etnik Jawa-Sentris dan besarisme? Bagaimana mungkin keinginan Bung Karno bahwa “Negeri ini, Republik Indonesia, bukanlah milik suatu golongan, bukan milik suatu agama, bukan milik suatu kelompok etnis, bukan juga milik suatu adat-istiadat tertentu, tapi milik kita semua dari Sabang sampai Merauke!“ terwujud jika tidak dipilih dan dilaksanakan politik etnik yang berkeadilan?

Memilih dan melaksanakan politik etnik yang berkeadilan,  tidak lain dari  wujud kecintaan pada rakyat dan kesetiaan serta penghayatan pada rangkaian nilai republikan dan berkeindonesiaan.

Perlakuan terhadap Dayak yang sangat lemah di daerah IKN akan memperlihatkan politik etnik apa-bagaimana yang akan dipilih dan diterapkan penyelenggara Negara.

Kalau politik etnik berkeadilan itu adalah hak semua etnik, kalau direnggut lalu mengapa dibiarkan? Meratap sampai terguling-guling pun pasti tidak memberikan kita apa-apa, selain keterpurukan yang kian menjadi.

Meratap dan mengemis bukanlah sikap yang tepat tanggap.***


Politik Identitas Etnis dalam Demokrasi

Oleh: Noviardi Ferzi* | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Pertama kali, batasan tentang politik identitas dicetuskan oleh feminis kulit hitam Barbara Smith dan Combahee River Collective pada tahun 1974. Pada awalnya, politik identitas berawal dari kebutuhan untuk membentuk kembali gerakan-gerakan yang selama ini mengutamakan kesamaan yang monoton dari pada nilai strategis perbedaan.

Demokrasi di tengah masyarakat yang plural tidak selalu mulus. Kita menghadapi berbagai persoalan. Harus diakui, pesta demokrasi seperti pemilihan kepala negara dan kepala daerah langsung turut mendorong politik identitas.

Kehidupan bangsa Indonesia menghadapi tantangan, salah satunya adalah merebaknya politik identitas yang mengedepankan identitas golongan atau simbol tertentu guna mendapatkan pengaruh politik.

Politik identitas yang dimaksud adalah politisi yang mengedepankan identitas seperti suku, ras, agama, dan identitas kedaerahan untuk meraih suara terbanyak ketimbang program kerja yang paling baik untuk kepentingan masyarakat atau politik yang berorientasi kerja.

Strategi Alami Politik

Politik identitas pada dasarnya sesuatu yang alamiah, nilai dan keyakinan yang ada dalam diri setiap manusia. Hanya saja, tingkat pendidikan, hukum, regulasi, nilai dan pemahaman tiap manusia pada setiap daerah bahkan negara untuk secara sadar tidak mengkedepankan ini, menjadi pembeda.

Buruknya, politik identitas membuat masyarakat terpecah. Mereka (para politisi-penyunting) tidak lagi peduli bagaimana mengembalikan agar masyarakat bersatu kembali sebagai bangsa yang berbeda tetap satu tujuan, Bhineka Tunggal Ika.

Dalam rangka memuluskan politik identitas di atas, tidak jarang para politisi memproduksi ragam berita bohong yang mendorong ujaran kebencian dan menyumbang perpecahan di masyarakat. Berita bohong atau lebih dikenal dengan sebutan hoax, sengaja dibuat oleh tim para pemenang untuk menjatuhkan lawan politik.

Sebelum media sosial berkembang, berita bohong lebih banyak beredar dari mulut ke mulut dan terbatas di masa atau wilayah tertentu. Seiring pertumbuhan internet, penggunaan media sosial pun berkembang luas dan karenanya berita bohong pun tumbuh dan berkembang. Berita bohong tidak lagi terkendali ketika media sosial kini berada di tangan para penggunanya melalui telepon genggam pintar (smart phone). Asal terhubung internet, semua informasi baik berita kredibel maupun berita bohong beredar. 

Politik Etnisitas

Identifikasi identitas etnik yang lazim dilakukan pada masyarakat multi etnik senantiasa diarahkan pada situasi dan konteks di mana seseorang berada.

Dalam konteks politik, terutama dalam pilkada, identifikasi identitas etnik menjadi hal penting dalam aktifitas politik. Identitas etnik adalah sesuatu yang problematik ketika dihadapkan dengan komunikasi politik, terutama dalam sistem pemilu yang demokratis. Hal tersebut bisa menjadi pembeda atau ko-identifikasi bagi pihak-pihak yang menggunakannya untuk tujuan meraih dukungan politik.

Pada awalnya politik identitas etnis lebih mengarah pada gerakan kaum yang terpinggirkan dalam kondisi sosial, politik dan kultural tertentu dalam masyarakat. Dalam perjuangan politiknya, penggunaan identitas etnis memberi hasil positif yang berpengaruh secara signifikan. Secara operasionalnya, politik identitas etnis adalah konsep kunci dalam arena politik yang memanfaatkan penggolongan manusia berdasarkan perbedaan yang disebabkan oleh ketimpangan atau ketidakadilan dalam pendistribusian sumber daya ekonomi, kekuasaan, wilayah, peluang kerja. Mendukung ini, Usman Hamid, salah seorang aktivis demokrasi mengatakan bahwa politik identitas di Indonesia telah digunakan sebagai alat untuk mengembalikan distribusi sumber daya.

Saat ini, politik identitas tidak dapat dihindari di dalam demokrasi. Bahkan politik identitas merupakan sebuah fenomena politik yang tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di belahan dunia lainnya dengan pola dan karakteristik sesuai dengan konteks yang terjadi di negara tersebut.

Dalam demokrasi, politik identitas merupakan tindakan pengorganisasian identitas tertentu secara politis yang sering kali digunakan dalam rangka penyaluran aspirasi untuk memengaruhi baik kebijakan maupun tujuan kekuasaan. Bila politik identitas digunakan secara berlebihan dan dimanipulasi dengan cara membenturkan identitas lain, tentunya akan menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat.

Lalu, apakah Politik Identitas baik?

Dalam hal ini, Francis Fukuyama menyebut politik identitas sebagai salah satu “ancaman utama” yang dihadapi demokrasi, mengalihkan energi dan berpikir jauh dari masalah yang lebih besar seperti meningkatnya ketidaksetaraan ekonomi. “Bagaimana kita bisa bersatu dalam sesuatu yang besar, ketika kita terus membelah diri menjadi faksi-faksi yang lebih kecil? Di jalan ini terletak, pada akhirnya, kehancuran dan kegagalan negara,” Fukuyama memperingatkan.

Jika logika politik identitas adalah untuk membagi kita menjadi potongan-potongan yang lebih kecil, urutan itu berakhir dan tak terhindarkan dengan identitas satu. Dan satu-satunya cara untuk melindungi dan menjunjung tinggi setiap individu adalah melalui hak dan prinsip yang luas, mencakup semua. Jadi, menurut Fukuyama, daripada menuju politik identitas, kita harus bergerak menuju politik solidaritas. Tetapi agar solidaritas itu bertahan, ia harus bergulat dengan politik identitas. Politik identitas, dengan segala kekurangannya, tidak bertentangan dengan visi nasional yang menyeluruh yang menjadikan kita satu.

Politik identitas yang berlebihan akan bermuara pada konflik SARA, tidak saja berimplikasi pada kualitas demokrasi tapi juga mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Idealnya, identitas yang dibawa ke dalam politik tersebut diperankan dalam koridor etika dan moral sehingga tidak ada hak orang lain yang dilanggar serta tidak mengganggu ketertiban umum.

Melihat kondisi masyarakat Indonesia yang belum sepenuhnya melek politik dan hukum, ditambah lagi derasnya arus informasi tanpa filter, maka dikhawatirkan merebak sikap emosional yang mudah tersulut sehingga berakibat timbul konflik vertikal maupun horisontal yang justru akan merugikan keutuhan bangsa Indonesia.

Kondisi Indonesia yang multi identitas jangan sampai menjadi sumber disintegrasi. Beragam identitas yang ada di Indonesia justru merupakan kekuatan utama bagi kemajuan bangsa.***

* Pengamat  (Sumber: https://jamberita.com/read/2022/02/08/5972089/politik-identitas-etnis-dalam-demokrasi/)


Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu, 23 Juli 2023
Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu, 23 Juli 2023. Pengasuh: Kusni Sulang & Andriani SJ Kusni, Redaktur: Heru P., Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 16 Juli 2023 | Catatan Andriani SJ Kusni: SEJARAH DAN KALIMANTAN TENGAH

Radar Sampit, Minggu, 16 Juli 2023

”Sejarah bukanlah beban ingatan melainkan penerangan jiwa.”
–          John Dalberg-Acton (1834 –1902), sejarawan, penulis, dan politikus Inggris

Bahwa manusia tidak belajar banyak dari pelajaran sejarah adalah yang terpenting dari semua pelajaran sejarah.”
–          Aldous Leonard Huxley (1894-1963), penulis dan filsuf Inggris

“Sejarah menjelaskan siapa kita dan mengapa kita seperti ini.”
–          David Gaub McCullough (1933-2022), sejarawan Amerika Serikat

Berfoto bersama setelah rapat di Disbudpar Provinsi mengenai LKTS 2023. Dari kiri ke kanan: staf Disbudpar Provinsi Kalteng (berseragam), Yusri Darmadi, S. S. (juri), Kusni Sulang (juri), Prof. Drs. Kumpiady Widen, M. A., Ph. D (ketua juri), Maria Doya Aden, A. Par., M.Si. (Kepala Bidang Sejarah, Pelestarian Cagar Budaya, dan Permuseuman), Aldila Putri Aseana, S. S., M. Si. (narahubung LKTS 2023). Foto/Dok.: Andriani SJ Kusni, 27/6/2023

Menyongsong peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 1945, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah (Disbudpar Kalteng) menyelenggarakan Lomba Karya Tulis Sejarah (LKTS) untuk tingkat SLTA sederajat serta perguruan MA dan perguruan tinggi Tahun 2023.

Lomba sejenis pernah diselenggarakan pada tahun 2019, diikuti oleh 29 siswa dan 5 orang mahasiswa, tapi hanya untuk Kota Palangka Raya sedangkan LKTS yang sekarang terbuka untuk peserta dari seluruh Kalteng.

Menurut keterangan dari pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan, peserta lomba kali ini untuk tingkat SLTA dan sederajat, mencapai jumlah 50 peserta, sedangkan untuk tingkat perguruan tinggi mencapai 20 peserta. Peserta bisa peorangan dan bisa juga kolektif.

Yang menjadi dasar pandangan Disbudpar Kalteng menyelenggarakan lomba ini, sebagaimana dijelaskan dalam Petunjuk Teknis, bahwa: “Akar identitas Budaya Bangsa adalah kesadaran akan nilai Sejarah, kesadaran yang mengingatkan akan asal-usul budaya, peristiwa yang dialami dan suatu harapan masa depan bersama. Apabila ingatan kesejarahan itu hilang, maka identitas budaya akan musnah pula”.

Barangkali makna belajar dan tahu sejarah, bukan sebatas agar ingat, tetapi juga paham sebab-musabab terjadinya suatu peristiwa sejarah, dan dampaknya pada hari-hari kemudian. Karena sebagaimana dikatakan oleh para sejarawan Mazhab (L’École) des Annales, masa silam, hari ini dan esok mempunyai kesinambungan. Memahami masa silam, mengerti sejarah, seperti dikatakan oleh John Dalberg-Acton  (1834 –1902), sejarawan, penulis, dan politikus Inggris, memberikan “penerangan jiwa”. Jika menggunakan kata-kata sejarawan Amerika Serikat, David Gaub McCullough (1933-2022), “Sejarah memberi tahu siapa kita dan mengapa kita seperti ini.”

Tahu apa-siapa diri kita dan mengapa kita seperti ini, tentu bukan (hanya) soal ingatan. Tapi soal jiwa yang terang.

Jiwa yang terang, akan memahami arah dituju, berupaya tidak mengulangi kekeliruan terdahulu, menjadi lebih arif dan tahu benar makna prinsip apabila tidak ingin jadi ‘keledai’ yang bolak-balik tersandung di batu serupa. Karena itu, bisa dikatakan bahwa sejarah bukan masa silam tanpa arti tapi sesuatu yang hidup bersama kita hari ini.

Mengerti benar peristiwa sejarah, sekali lagi bukan sekedar ingat tapi memahaminya, menjadi urgen di tengah-tengah pertarungan sengit berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik sebagai ungkapan terpusat bermacam kepentingan, terutama kepentingan ekonomi, yang menyusup ke bidang sejarah. Oleh sebab itu, sejarah menjadi salah satu medan pertarungan sengit. Dusta pun menjadi bidak pertarungan, sebagaimana diingatkan oleh Dr. Connie Rahakundini Bakrie melalui bukunya Kepak Cinta Pengawal Langit-Pentingnya Keberanian Bangsa Melawan Sebuah Dusta. Kepentingan-kepentingan ini pulalah yang membuat munculnya ketakutan pada sejarah.

Disebabkan oleh arti penting sejarah demikian, maka dalam pidato terakhirnya sebagai Presiden Republik ini, Bung Karno berseru: ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah” atau seperti yang dituangkannya dalam sajak “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”.

Dalam pemahaman saya, ‘melupakan’ dan atau ‘meninggalkan’ di sini, kalau ditafsirkan sebagai ‘ingat’ maka ‘ingat’ itu dalam pengertian ‘dipahami’. Dipelajari. Dengan dipahami, dipelajari, kita mengerti apakah yang disebut fakta itu benar-benar fakta ataukah dusta.

Keberanian melawan dusta dalam sejarah adalah konsekuensi logis dari cinta kepada tanah air dan kemanusiaan. Ungkapan ‘meluruskan sejarah’ yang lama digaungkan di kalangan akademisi, saya pahami bahwa dalam tulisan mengenai sejarah negeri ini, beredar banyak dusta. Dusta dijadikan salah satu alat kepentingan politik sehingga menulis sejarah yang tidak dusta merupakan suatu tuntutan hari ini. Akan sangat menyedihkan dan tidak bertanggung jawab apabila kepada khalayak disajikan dusta sebagai kebenaran.

Barangkali ada yang berkata bahwa ‘sejarah adalah sejarah para pemenang petarungan’. Benarkah demikian? Benar dan tidak. Benar jika dilihat dari kepentingan politik. Tapi, sejarah demikian menjadi sejarah politis, bersifat politis. Bukan sejarah sebagai ilmu.

Profesor Mohamad Arkoun dari Sorbonne, Paris–yang terjemahan buku-bukunya mulai saya baca saat duduk di semester 3 perkuliahan Teknik (atas internalisasi budaya berupa kebiasaan membaca apa saja ini, saya selalu berterima kasih pada almarhum Ayah yang lemari bukunya dipenuhi buku-buku beragam topik mulai dari sejarah, agama, matematika, hingga psikologi dan kepada Ibu yang mengajarkan cara membuat kliping resep masakan, mode, hingga kerajinan tangan di usia kanak saya)–membedakan dua macam sejarah: sejarah politis dan sejarah ilmiah. Sejarah politis lebih dekat menjurus ke arah dusta, sedangkan yang ilmiah akan mengatakan hitam sebagai hitam, putih sebagai putih. Dari segi ilmu pengetahuan adalah menjadi tidak benar bahwa sejarah adalah sejarah para pemenang. Barangkali ini pula dasar sementara para sejarawan menginginkan ‘pelurusan sejarah’ karena tulisan tentang sejarah Indonesia sekarang banyak ‘dusta’ jika meminjam istilah Dr. Connie Rahakundini Bakrie.

Bagaimana kedudukan sejarah di Kalimantan Tengah?

Dari 30-an universitas/perguruan tinggi yang terdapat di provinsi ini, baru Universitas PGRI (tak berapa lama lalu mendapat sanksi administratif berat dari Kemendikbudristek, lihat: https://radarmadiun.jawapos.com/pendidikan/801224805/catat-ini-daftar-52-pts-yang-melanggar-dan-kena-sanksi) yang mempunyai prodi ilmu sejarah. Sama dengan ilmu antropologi yang tidak diindahkan.

Dahulu di tahun-tahun 50-60-an, ilmu sosial, lebih-lebih sejarah dan antropologi dipandang sebagai ilmu yang tidak keren karena tidak mendatangkan uang setelah lulus. Sebenarnya pandangan ini di beberapa daerah masih berlangsung hingga tahun 90-an. Berbeda dengan jurusan kedokteran dan jurusan-jurusan yang setelah selesai berhak menyandang gelar insinyur. Pria yang menyandang gelar dokter dan insinyur, mereka akan jadi rebutan gadis-gadis dan disayangi mertua. Melalui contoh ini, saya mau menunjukkan status sosial khusus bagi penyandang gelar-gelar tersebut.

Kalau dihitung ke belakang dari sekarang, tahun 60-an sudah berlalu lebih setengah abad. Tapi walaupun sudah berlalu 63 tahun, sikap kepada sejarah dan antropologi di daerah ini masih belum mengalami perubahan membaik yang berarti.

Kusni Sulang pernah bercerita, waktu ia mengajar di salah satu universitas di Palangka Raya, sebelum memulai sebutlah ‘kuliah’, ia selalu bertanya kepada para mahasiswa seorang demi seorang daerah asal mereka, “Apakah kau tahu bahwa kampung asalmu adalah kampung bersejarah dan heroik?” Semua menjawab tidak tahu.

Ketidaktahuan tentang sejarah ini bukan hanya terjadi pada angkatan muda–yang sekarang disebut milenial–tapi juga pada angkatan-angkatan di atasnya. Ketidaktahuan sejarah dan juga budaya, menjadi ciri umum terdapat pada angkatan-angkatan itu cq. angkatan di bawah generasi Tjilik Riwut, Mahir Mahar, G. Obus sehingga Kusni Sulang sampai pada kesimpulan bahwa di Kalteng terjadi keterputusan sejarah. Kusni mengkhawatirkan angkatan-angkatan tersebut dan selanjutnya menjadi angkatan tanpa sejarah karena abai sejarah.

Angkatan tanpa sejarah adalah sebutan lain untuk tingkat masyarakat primer. Sementara generasi pemburu dan peramu mencatat sejarah mereka dalam berbagai cerita, lukisan di gua-gua, berbagai artefak, dan atau mitos walaupun secara teknologi, angkatan-angkatan tersebut jauh di belakang kecanggihan hari ini.

Selain terjadi keterputusan sejarah, Kusni Sulang juga melihat adanya gejala ketakutan pada sejarah. Disebabkan oleh ketakutan ini maka terjadi kompromi dalam penulisan sejarah agar tidak terjadi benturan politik (praktis).

Minat dan perhatian minim pada sejarah ini menyebabkan penggalian serta penelitian serius terhadap sejarah menjadi sangat kurang dilakukan. Pengetahuan sejarah, nampaknya terbatas pada mengunyah-ngunyah apa yang telah ditulis–itupun sangat terbatas. Akibatnya, terjadi keterasingan terhadap diri sendiri, tidak mengenal apa-siapa diri mereka sendiri. Yang tersisa dari sebutan Dayak barangkali hanya bersifat genealogis. Apa-siapa dan bagaimana Dayak sesungguhnya, apakah diketahui benar, menjadi sesuatu yang patut dipertanyakan.

Kalau Petunjuk Teknis yang dikeluarkan oleh Disbudpar Provinsi Kalteng untuk memandu LKTS 2023 ini berbicara tentang ‘identitas’, apakah dengan berlangsungnya keterasingan diri, identitas itu akan terwujud?

Barangkali, dampak negatif dari keterasingan diri akibat keterputusan sejarah ini masih belum atau kurang dipahami dan disadari sehingga keadaan demikian berlarut-larut. Bahkan beberapa tahun silam, ada pihak yang memandang bahwa kegiatan kebudayaan itu ‘hanya buang-buang dana saja’; hasil penelitian yang telah menelan tenaga, pikiran dan biaya tidak kecil berujung dengan berpindahnya hasil pekerjaan itu ke tukang loak sehingga bukan mustahil apabila Dinas kekurangan bahan dan data pada saat data-data itu diperlukan. Jika memang kegiatan kebudayaan dan penelitian dipandang hanya membuang-buang dana, mengapa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tidak dihapuskan saja?

Keadaan begini, dihadapan berlangsungnya keterputusan sejarah, minat dan perhatian tidak memadai terhadap sejarah, mengingatkan saya akan kata-kata Aldous Leonard Huxley (1894-1963) penulis dan filsuf Inggris, “Bahwa manusia tidak belajar banyak dari pelajaran sejarah adalah yang terpenting dari semua pelajaran sejarah.”

Dari penyelenggaraan LKTS Tahun 2023 yang diselenggarakan oleh Disbudpar Provinsi Kalteng, sekarang dipimpin oleh Adiah Chandra Sari, S. H., M. H., untuk perkembangan ilmu sejarah itu sendiri, tentu tidak bisa banyak yang diharapkan, sekalipun penulisan disebut sebagai tulisan ilmiah. Apalagi yang disebut penelitian, terutama penelitian perpustakaan guna mendapatkan data-data sekunder yang bisa dipastikan jumlah dan kualitasnya sangat terbatas. Ditambah lagi, peserta lomba adalah siswa-siswa tingkat SLTA dan sederajat serta para mahasiwa/i yang bidang studinya bukan bidang sejarah.

Tapi, LKTS ini patut diapresiasi karena para pesertanya jauh meningkat dibandingkan dengan lomba tahun 2019. LKTS menjadi penting dalam upaya menarik minat warga Kalteng, terutama kalangan ‘orang sekolahan’ terhadap sejarah dan para pesertanya sebab bisa jadi modal awal berharga dalam upaya membentuk barisan peneliti dan penulis di Kalteng jika terus dikonsolidasi. Kalteng memerlukan adanya barisan penulis dan peneliti yang besar dan handal.

Sekali lagi, saya menyampaikan penghargaan dan hormat atas upaya strategis Bu Adiah Chandra Sari, S.H., M.H. dan Tim, dalam menumbuhkan dan mengembangkan minat pada sejarah.

Bung Karno berpesan:

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarahmu yang sudah!

Hai bangsaku, karena jika engkau meninggalkan yang sudah,

engkau akan berdiri di atas vacuum

engkau akan berdiri di atas kekosongan

lantas engkau menjadi bingung dan perjuanganmu

paling-paling hanya akan berupa amuk

amuk belaka

Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap!

Kita, Orang Kalteng, Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng, pasti tidak mau menjadi ‘kera terjepit di dalam gelap’, bukan? Karena kita, secara budaya, pun tak lain dari ‘Dayak Panarung’.***


Sajak Bung Karno*

Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah

Sekali lagi saya ulangi kalimat ini

membuang hasil-hasil positif dari masa yang lampau

hal itu tidak mungkin

sebab kemajuan yang kita miliki sekarang ini

adalah akumulasi dari pada hasil-hasil

perjuangan di masa yang lampau

Seorang pemimpin yaitu Abraham Lincoln berkata:

“One cannot escape history”

orang tak dapat melepaskan diri dari sejarah

Saya pun berkata demikian!

Tetapi saya tambah. Bukan saja

“One cannot escape history”

tetapi saya tambah: “Never leave history”

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarahmu yang sudah!

Hai bangsaku, karena jika engkau meninggalkan yang sudah,

engkau akan berdiri di atas vacuum

engkau akan berdiri di atas kekosongan

lantas engkau menjadi bingung dan perjuanganmu

paling-paling hanya akan berupa amuk

amuk belaka

Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap!


(dari “Amanat Proklamasi, 17 Agustus 1963”, hlm. 210) 

*  Sajak ini dikutip dari antologi puisi Bung Karno, Puisi-Puisi Revolusi Bung Karno, Buku Pertama, Cetakan 1 Juni 2002, disunting oleh Maman S. Tegeg, diterbitkan oleh Yayasan Seni dan Budaya Gema Patriot, Jakarta, dengan Kata Pengantar dari Hj. Rachmawati Soekarnoputri, tebal: xii + 127 halaman (94) puisi. Desain kulit muka oleh Fikri Susilo W.


Halaman Budaya SAHEWAN PANARUNG, Radar Sampit, Minggu, 16 Juli 2023. Pengasuh: Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni, Redaktur: Heru P., Penata Letak: Hadi

Halaman Masyarakat Adat | 9 Juli 2023 | Catatan Kusni Sulang: MENANTI NAGA MUNCUL

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Naga (bahasa Dayak, jata), lambang penguasa alam atas dalam filosofi budaya Kaharingan Suku Dayak, sculpture di taman kota di depan Kantor Gubernur Kalimantan Tengah. Foto/Dok: Andriani SJ Kusni, 2010

Waktu kecil, subuh-subuh, Kakek selalu mondar-mandir di sekitar di mana saya tidur sambil menuturkan berbagai cerita. Saban subuh ceritanya berbeda-beda dan cerita-cerita almarhum sampai sekarang masih saya ingat serta menjadi bahan berharga untuk saya telisik dan pahami ulang. Kebiasaan orang tua-orang tua bercerita ini, sekarang bisa dikatakan sirna dari masyarakat Dayak–salah satu musabab Orang Dayak menjadi asing angkatan dirinya sendiri.

Salah satu cerita Kakek itu mengisahkan bahwa pada suatu ketika, entah kapan, naga warna-warni akan muncul di permukaan sungai. Pada saat itu, seluruh pulau termasuk kampung-halaman kita akan digenangi bah besar yang menimbulkan kerusakan hebat. Tapi setelah itu, kenyamanan, keamanan, kesejahteraan yang dirindukan anak manusia, akan hadir di tengah-tengah kehidupan. Ada kehidupan baru yang manusiawi setelah musibah atau kejadian besar.

Setelah sekian puluh tahun tak kembali, di suatu hari, saya  pulang ke Kasongan, Katingan, kampung kelahiran yang terletak hanya kurang lebih 60 (enam puluh) kilometer dari Palangka Raya. Orang-orang kampung mengatakan bahwa beberapa saat lalu, serombongan buaya dari Teluk Landuken, tidak jauh dari Kasongan, berbondong-bondong menghilir meninggalkan Landuken, sarang mereka. Saya tanyakan apakah buaya yang lari dari rumah mereka itu berwarna-warni? Dijawab: Tidak. Mana pula ada buaya berwarna-warni. Saya tidak mengomentari jawaban ini. Hanya dari jawaban demikian, di masyarakat sedang berlangsung keterputusan budaya selain sejarah. Tentang larinya buaya-buaya itu dari rumah mereka, saya menduga karena Teluk Landuken di mana mereka berumah sudah penuh air raksa–buah kerja penambangan emas. Jumlah air raksa di teluk sudah tidak bisa mereka tanggungi lagi. Bangau, burung bakaka pun, sejak ikan di sungai mulai berkurang, sudah tidak pernah lagi saya temui. Demikian juga ribuan kunang-kunang. Tapi justru air sungai Katingan yang demikian pulalah yang dikonsumsi oleh Uluh Katingan.

Dengan kacamata sekarang, saya memahami kisah munculnya naga warna-warni diiringi suatu musibah bahkan bisa disebut kekacauan besar, perubahan mendasar itu terjadi setelah timbulnya gerakan sosial besar yang menggoncangkan bumi dan langit. Terjadi  penduduk tidak lagi mampu menahan segala rupa bentuk himpitan. Kehidupan baru terjadi menyusul perombakan mendasar. Ini adalah cara Uluh Katingan mencatat sejarah dan menyimpulkan pengalaman.

Bayangkan saja sekian puluh tahun saya meninggalkan Kasongan, pelabuhan klotok, dahulu tepian menambatkan perahu, sampai detik ini tidak mengalami perubahan berarti. Perubahan yang terjadi adalah terbongkarnya hutan tropis Kéréng Pangi, keruhnya air sungai Katingan dan kalau diterjuni, kita merasa seperti digigit keras oleh hewan ajaib. Orang-orang menyebutnya merkuri. Luar biasanya, saya tidak pernah mendengar orang-orang berbincang tentang perbedaan kemajuan manusiawi dengan kerusakan, baik di kalangan Orang Sekolahan dan para petinggi Katingan.

Beberapa tahun yang lalu, lembaga di mana sekarang saya menyumbangan tenaga dan pikiran dengan harapan menjadi sarana mewujudkan mimpi terhadap negeri, termasuk Dayak di dalamnya (Dayak bagi saya adalah suatu pendekatan dalam pemberdayaan manusiawi sesuai filosofi hidup-mati Dayak: ‘réngan tingang nyanak jata’ [anak enggang, putera-puteri naga], bukan berkarakter etnosentrisme,) mengirim dua orang teman ke  Kalimantan Utara (Kaltara, sekarang provinsi tersendiri). Sepulang dari Kaltara, dua teman tersebut mengisahkan bahwa keadaan Dayak di Kaltara sangat menyedihkan. Tidak berdaya dan jadi bulan-bulan perusahaan besar swasta atau investor. Mereka pun tidak melihat cahaya yang mengisyaratkan bahwa penderitaan yang sedang mereka dera itu bukanlah takdir.

Di ujung labirin kegelapan, ada cahaya. Bahwa matahari itu tidak runtuh dan masih ada. Saya mengikuti terus perkembangan Dayak di seluruh anak benua Pulau Borneo, terutama di Kalimantan Timur (Kaltim), lebih-lebih setelah pemerintah Pusat memutuskan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke daerah tersebut.

Berita-berita yang saya terima belakangan ini melukiskan bahwa masyarakat Dayak Kaltara sekarang mengalami suatu perkembangan maju. Unjuk rasa perlawanan membela diri, mempertahankan dan merebut hak mereka yang hilang. Adanya unjuk rasa dengan tuntutan yang jelas, saya pahami bahwa perlawanan itu tidak spontan, tapi dilakukan dengan kesadaran, terarah dan terorganisasi. Spontanisme dan sporadik tidak akan memberikan hasil berarti dan mendasar, tapi salah-salah bisa menambah deraaan. Betapa pun secara jumlah, Orang Dayak tidak banyak, bahkan menjadi minoritas di kampung lahir mereka sendiri, jika ada kesadaran, jika terorganisasi, kata-kata mereka akan mempunyai daya paksa.

Kesadaran yang kuat akan mencegah seseorang menjadikan dirinya sebagai barang dagangan. Penyakit memperdagangkan diri bukan tidak ada di kalangan Dayak. Bahkan cukup mengkhawatirkan. Mudah-mudahan geliat kebangkitan Dayak di Kaltara dan di mana pun di anak benua ini merupakan isyarat akan munculnya kawanan naga warna-warni sebagaimana kisah Kakek di atas. Apabila Dayak mengkomoditaskan diri, bisa dipastikan naga warna-warni itu tidak akan muncul, bahkan seperti kawanan buaya Landuken, akan lari dari rumahnya.

Selain berlawan, hal lain tak kalah penting adalah membentuk barisan sumber daya manusia (SDM) yang  panjang dan kokoh, terus-menerus dan terencana. Manggatang Utus, Dayak Berdaya, tidak akan mungkin dilakukan oleh SDM yang tanggung. Apalagi jika terjerumus ke dalam jual-beli gelar dan nilai. Memperdagangkan pendidikan, membeli gelar dan nilai sekedar hanya untuk nampak mentereng, patut dihindari. Bahkan patut kita nyatakan sebagai tindak khianat dan bunuh diri Utus. Saya bisa mencanangkan hal begini karena saya pun pernah berkecimpung di dunia pendidikan, termasuk pendidikan tinggi di Tanah Dayak. Deretan data saya miliki. Naga warna-warni akan muncul pada saat ada barisan SDM Dayak yang tangguh. Jalan ke sana adalah jalan minoritas kreatif.

Yang patut menjadi perhatian kita bersama adalah keadaan Dayak di sekitar IKN. Nasib mereka akan lebih dari Betawi dan mulai nampak pada hari ini. Jumlah mereka sangat sedikit, tidak terorganisasi, minim kesadaran dan kemampuan. Dalam bahasa Orang Dayak Ngaju, keadaan mereka disebut sebagai ‘umpan maram’ (umpan busuk) IKN.

Keadaan minoritas ini lebih terancam lagi pada saat etnik-etnik lain mengaku sebagai masyarakat adat Kaltim sehingga berhak menuntut pengakuan dan perlindungan sebagai Masyarakat Adat Kaltim dengan segala hak-wajibnya, terutama yang berhubungan dengan sumber daya alam dan teritori. Secara teori, etnik baru sekalipun mayoritas, bukanlah masyarakat adat Kaltim  Masalah ini seyogyanya menjadi perhatian serius para petinggi berbagai tingkat. Menyelamatkan Dayak sekitar IKN kiranya layak menjadi perhatian semua terutama Dayak di seluruh anak benua bernama Borneo ini. Saya meyakini ada jalan keluar adil ketika berlangsung diskusi jujur dan terbuka dengan maksud baik. Boleh wakil raja-raja ikut serta, tapi lapisan akar rumput pun jangan ditinggalkan. Raja tidak ada dahulu tanpa warga akar rumput. Republik Indonesia pun tidak akan ada tanpa rakyat Indonesia.

People are the center. No one should be left behind. Rakyat adalah poros. Tak seorang pun boleh ditinggalkan di belakang”, (AIPI–S20, 2022 (dari Yunita T. Winarto, antropolog, Komisi Kebudayaan AIPI). “Ensuring that no one is left behind – How do we protect the poorest and most vulnerable from the crisis and empower them to realize the SDGs. Menjamin bahwa tak seorang pun yang ditingggalkan di belakang. Bagaimana melindungi mereka yang termiskin dan terpapa dari krisis serta bagaimana memberdayakan mereka guna melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan” (Statements Office of the High Commissioner for Human Rights, 06 July 2021).

Patut dicatat bahwa pepatah Tiongkok Kuno “yang menabur angin akan menuai badai” dalam kasus IKN ini pun masih relevan. Tidak percaya? Kepada Orang Dayak, pertanyaan saya: Apakah kalian betul masih merupakan anak enggang putra-putri naga ataukah hanya nama saja yang Dayak tapi secara hakiki sudah bukan?***


Menyoal Eksistensi Masyarakat Adat

Oleh: Zenwen Pador*

Dalam opini “Hutan IKN Harusnya Hutan Masyarakat” (Kompas.id, 6/6/2023), R .Yando Zakaria menuliskan Hutan kota di Ibukota Negara Nusantara (IKN) ke depan haruslah dapat menjadi hutan (adat) sebagaimana yang dikonsepsikan dalam kehidupan masyarakat adat. Antara lain, hutan adat dimaksud juga bisa menjadi sumber kehidupan ke depan, seperti untuk mendapatkan bahan-bahan makanan dan obat-obatan.

Namun dalam bagian akhir tulisannya, Yando mengingatkan bahwa kita harus cermat dalam menentukan siapa masyarakat adat dan juga masyarakat lokal di kawasan itu agar tidak menimbulkan masalah baru. Untuk itulah, menurut Yando kajian yang lebih dalam diperlukan.

Saya kira inilah problem krusialnya, yaitu menentukan siapa masyarakat adat dan masyarakat lokal di kawasan IKN tersebut. Pertanyaan lanjutannya adalah: siapa yang berwenang menentukan, pemerintah atau masyarakat adat sendiri?

Pertanyaan lanjutan ini, sepertinya belum tuntas sampai saat ini. Di banyak daerah, menentukan siapa yang berhak disebut sebagai komunitas masyarakat adat sepertinya masih menjadi persoalan yang berlarut-larut. Perbedaaan persepsi tidak hanya terjadi antara Pemerintah dengan masyarakat adat sendiri.

Permasalahannya kemudian, ada tarik-menarik yang terjadi antara sesama kelompok dalam masyarakat adat bersangkutan. Kelompok tertentu misalnya merasa lebih berhak disebut sebagai masyarakat adat, sementara kelompok lain juga merasa memiliki hak yang sama. Muaranya adalah berkaitan dengan kewenangan pengelolaan sumber daya alam yang diklaim menjadi milik masyarakat adat bersangkutan. Konflik pada akhirnya tidak hanya vertikal tetapi juga horisontal.

Sekalipun sejak lama Pemerintah telah mengeluarkan peraturan terkait keberadaan dan eksistensi masyarakat adat, misalnya Menteri Dalam Negeri pernah mengeluarkan Permendagri No. 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga pernah mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 10/2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu. Terakhir peraturan tersebut diganti dengan Permen No. 18/2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.

Namun berbagai beleid itu nampaknya tidak bisa diimplementasikan dengan baik. Konflik pengusahaan tanah dan sumber daya alam belum sepenuhnya bisa terselesaikan dan akumulasinya akan menjadi bom waktu yang bisa meletus tanpa terduga.

Permasalahannya sekian banyak peraturan yang dibuat Pemerintah dinilai miring oleh sebagian kelompok masyarakat adat sebagai bentuk intervensi negara yang ujung-ujungnya dirasakan masyarakat adat sebagai upaya meminggirkan masyarakat adat dari hak ulayat dan sumber daya alam yang diyakini menjadi kewenangan penuh masyarakat adat.

Versi Pemerintah

Dalam Permendagri No. 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, gubernur dan bupati/walikota diberi kewenangan melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Langkah awalnya, bupati/walikota membentuk panitia masyarakat hukum adat yang beranggotakan sekretaris daerah sebagai ketua dan Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris. Selanjutnya sebagai anggota adalah kepala bagian hukum, camat dan kepala SKPD terkait.

Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dilakukan melalui tahapan identifikasi, verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat, dan penetapan masyarakat hukum adat. Identifikasi dilakukan dengan melibatkan masyarakat hukum adat atau kelompok masyarakat dengan mencermati sejarah masyarakat hukum adat, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Setelah dilakukan verifikasi dan validasi, hasilnya diumumkan kepada masyarakat hukum adat setempat dalam waktu 1 (satu) bulan.

Bila tidak ada keberatan, bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi panitia masyarakat hukum adat dengan keputusan kepala daerah. Bila masyarakat hukum adat keberatan terhadap keputusan tersebut, dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Pertanyaannya kemudian sudah berapa keputusan yang dikeluarkan bupati/walikota di seluruh Indonesia tentang penetapan dan pengukuhan masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Permendagri tersebut? Sepertinya inilah persoalannya. Tidak ada data resmi tentang pengukuhan masyarakat hukum adat dimaksud sejak peraturan tersebut dikeluarkan.

Perkiraan saya, Permendagri tersebut tidak dapat diimplementasikan. Mendapat resistensi dari masyarakat adat mengingat dominannya kewenangan dan keterlibatan pejabat pemerintahan. Sebaliknya sangat minim peran serta masyarakat adat sendiri yang hanya dijadikan obyek penetapan. Masyarakat adat tidak diposisikan sebagai subyek dalam proses identifikasi sampai penetapan.

Model Pengakuan Ideal?

Dalam RUU Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat yang disusun oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), masyarakat adat berwenang melakukan identifikasi secara mandiri tanpa melibatkan aparatur pemerintahan. Hasil identifikasi diverifikasi oleh panitia pengakuan masyarakat adat yang keanggotaannya mencerminkan unsur pemerintah, unsur akademisi, masyarakat adat dan masyarakat sipil.

Untuk masyarakat adat yang wilayahnya lintas kabupaten/kota, verifikasi dilakukan oleh panitia pengakuan masyarakat adat provinsi. RUU juga mengamanatkan pembentukan komisi perlindungan dan pengakuan masyarakat adat yang salah satunya berwenang melakukan verifikasi pengukuhan masyarakat adat lintas provinsi. Hasil verifikasi disampaikan kepada presiden untuk ditetapkan.

Sayangnya sampai saat ini RUU Masyarakat Adat belum juga disahkan menjadi UU. Sementara itu persoalan di lapangan terkait isu keberadaan masyarakat dan perlindungan masyarakat adat masih terus mengemuka antara lain terkait pembangunan Ibukota Negara Nusantara (IKN).

Maka menjadi sangat penting dan prioritas sekali bagi Pemerintah dan DPR untuk segera menegaskan sikap terkait pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sudah hampir 15 tahun terkatung-katung dan mengendap di DPR. Kita berharap ada kompromi kebijakan yang terbaik bagi pengakuan dan penetapan masyarakat adat, sehingga RUU Masyarakat Adat bisa segera disahkan.

*Zenwen Pador, Praktisi Hukum Sumber Daya Alam, Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Indonesia (eLSAHI). Artikel ini adalah opini pribadi penulis (https://www.mongabay.co.id/2023/06/26/menyoal-eksistensi-masyarakat-adat/). Tulisan ini disiar ulang sebagai bahan acuan dalam ajakan mendiskusikan tema IKN dan masyarakat Dayak, terutama di Kaltim. Dayak Kaltim merupakan bagian dari seluruh Dayak di anak benua, Borneo. Lihat pula tulisan Kusni Sulang di Harian ini mengenai Draf Konsepsi Peraturan Otorita IKN.


Kusni Sulang-Andriani SJ Kusni
Halaman Masyarakat Adat, Radar Sampit, Minggu, 9/7/2023. Pengasuh: Kusni Sulang & Andriani SJ Kusni, Redaktur: Heru P., Penata Letak: Hadi