“Pembangunan yang beraras pada kebudayaan menjadi inti pemikiran dalam kerangka kegiatan Pra dan Kongres agar kebudayaan menjadi pilar utama pembangunan.”
– Muslimin A.R. Effendy
Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) adalah unit pelaksana teknis (UPT) dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia yang berada di daerah dengan tugas melaksanakan pelestarian cagar budaya dan objek pemajuan kebudayaan. Pembentukannya didasarkan pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI No. 33 Tahun 2022. Balai ini berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Kebudayaan. Pengasuh Halaman Budaya Sahewan Panarung Andriani SJ Kusni mewawancarai Kepala BPK Muslimin A.R Effendy pada Senin, 24 Juli 2023 di rumah dinas Jl. Pattimura No. 11, Palangka Raya.
RADAR SAMPIT: Selamat sore, Pak Muslimin. Terima kasih atas waktu dan kesediaan menerima kami untuk diwawancarai. Pertama-tama, boleh ceritakan sedikit tentang diri Bapak? Lahir di mana, kapan, sebelum ke Kalimantan Tengah tugas di mana?
MUSLIMIN: Saya lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang heterogen. Bapak saya turunan Gowa yang sudah lama merantau ke Nusa Tenggara Barat, kemudian bertemu Ibu saya lalu kawin-mengawin. Saya 9 bersaudara, anak keenam, dilahirkan 17 Agustus 1967 pada hari Jumat. Pendidikan SD, SMP, SMA, saya selesaikan di Bima, tempat kelahiran saya kemudian melanjutkan Program Studi Sejarah di Universitas Hasanuddin, lalu lanjut di program pascasarjana S2 dan S3 bidang Ilmu Sejarah di Universitas Indonesia, Depok. Di samping bekerja sebagai pengajar, dosen Universitas Hasanuddin di Departemen Ilmu Sejarah, saya juga mengabdikan diri sebagai birokrat, suatu kombinasi antara dunia akademik dan dunia praktisi yang mengharuskan saya berbagi dan mengkombinasi dua bidang yang kadang tidak selalu sejalan antara apa yang kita pelajari dengan prakteknya. Tapi itu menarik buat saya, melihat terutama, misalnya apakah kebudayaan kita dalam batas tertentu sudah menganut proses purifikasi dalam perkembangannya atau justru mereka bermain pada wilayah yang terasa hambar. Orang tidak merasakan kehadirannya tapi gaungnya terdengar dengan baik. Saya sudah terbiasa sejak kecil mendiskusikan hal-hal tertentu dengan Bapak saya terutama. Beliau adalah contoh dan teladan yang baik dan banyak mengilhami jalan kehidupan saya. Saya 4 tahun bertugas di BPCB (Balai Pelestarian Cagar Budaya) Kalimantan Timur yang wilayah kerjanya satu pulau Kalimantan. 5 provinsi, 56 kabupaten/kota. Januari 2023, Pemerintah melaksanakan reorganisasi di lingkungan Dirjen Kebudayaan dengan membentuk UPT baru guna mengintegrasikan dua instansi berbeda dengan fungsi berbeda yakni BPCB (fokus pada benda) dan BPNB (Balai Pelestarian Nilai Budaya, fokus pada nilai) yang sifatnya komplementer. Wilayah kerja mengalami pemekaran. Kalau dulu satu pulau, sekarang menjadi dua provinsi di Kalimantan. Provinsi Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan berkantor di Palangka Raya, namanya BPK Wilayah XIII. BPK Wilayah XIV berkedudukan di Samarinda, wilayah kerjanya Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara, sedangkan BPK Wilayah XII, berkedudukan di Pontianak membawahi satu provinsi saja, Kalimantan Barat. Tugas inti hanya empat: Pertama, melakukan perlindungan budaya baik benda maupun tak benda; Kedua, melakukan pengembangan kebudayaan; Ketiga, pemanfaatan warisan budaya yang tujuannya tidak semata-mata diarahkan untuk memajukan kebudayaan tapi juga menghidupi ekosistem kebudayaan secara luas; Keempat, melakukan koordinasi, konteksnya pembinaan kebudayaan. Siapa yang dibina? Komunitas, pelaku budaya, penghayat kepercayaan, kelompok-kelompok seni. Mitra kami di daerah adalah dinas yang membidangi masalah kebudayaan. BPK di Kalimantan Tengah efektif beroperasi mulai Juli 2023. Banyak gagasan dan mimpi kami.
RADAR SAMPIT: Dari pengalaman sebagai akademisi dan birokrat, apa cara paling efektif melestarikan kebudayaan?
MUSLIMIN: Pertama adalah pelibatan masyarakat secara masif. Kita tidak bisa membuat program aksi tanpa dukungan masyarakat. Kita menempatkan Pemerintah itu, sebetulnya hanya sebagai regulator dan fasilitator. Semua implementasi bentuk, regulator. Untuk itu harus mudah dipahami dan dilaksanakan di level bawah. Selama beberapa dekade jalan kebudayaan itu, kita diarahkan untuk bersatu dalam keragaman tapi tidak diperlihatkan beragam dalam kesatuan. Paradigma ini berkembang dalam waktu cukup panjang. Kebudayaan adalah salah satu jalan pembangunan yang mau-tidak mau harus direspon dengan perspektif yang bertumpu pada kebudayaan. Seharusnya itu yang menjadi arah kebijakan pembangunan kita. Jadi, bukan kalau ada kesalahan, ditimpakan kepada kebudayaan. Contoh sederhana, korupsi sudah merajalela dan korupsi seolah-olah sudah menjadi budaya kita. Kadang-kadang, saya miris mendengarnya, bahwa semua kesalahan ditimpakan kepada kebudayaan padahal desain manusia untuk mengembangkan kebudayaan dengan cara dan proses belajar itu mengharuskan kita melewati tahap perkembangan tertentu dengan proses pembelajaran yang juga sangat intens. Jadi, kita tidak (boleh) selalu melihat kebudayaan sebagai bagian yang dianggap bisa mengganggu pertumbuhan atau perkembangan pembangunan. Paradigma itu yang ingin kita ubah. Kebudayaan itu adalah jalan pembangunan terbaik sebetulnya.
RADAR SAMPIT: Pelibatan masif masyarakat dalam pelestarian kebudayaan yang Bapak katakan, konkritnya seperti apa?
MUSLIMIN: Bisa dalam banyak cara. Pertama, dari penyusunan desain pembangunan kita, dalam bentuk musrenbang. Di situ sebetulnya tahapan pembicaraan mengenai bagian dari kebudayaan itu dilibatkan. Artinya, segala perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan itu harus melibatkan masyarakat. Ada kegiatan-kegiatan pada event-event tertentu di berbagai level. Selama ini, kesan saya selama berkecimpung dalam bidang ini, seolah-olah masyarakat itu hanya diundang dan dihadirkan sebagai penonton, tidak sebagai pelaku. Sekarang kita balikkan model itu bahwa masyarakatlah yang menjadi inti dan tumpuan kebudayaan. Bukan mereka sekedar menjadi tontonan dan obyek tetapi menjadi subyek. Banyak contoh bisa kita tunjukkan bagaimana pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan kebudayaan khususnya pelestarian. Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sudah mengembangkan model pelestarian berbasis masyarakat terutama masyarakat yang tinggal di sekitar situs atau masyarakat yang menjadi bagian dari inti kebudayaan itu. Dengan cara pelibatan seperti itu, ke depan diharapkan kita tidak akan mengeluhkan lagi bahwa pelestarian kebudayaan itu menjadi pekerjaan utama pemerintah tapi pilar utama kita justru ada di tengah masyarakat. Di Kalimantan Timur ketika saya bertugas, ada banyak program yang kita rancang dengan melibatkan ibu-ibu rumah tangga, pelajar, mahasiswa, peneliti, dosen, dari berbagai kelompok masyarakat dan mereka turut serta di dalam, mengambil bagian dalam pelestarian itu. Secara sederhana, pelestarian yang kami maksudkan tidak hanya semata bertumpu kepada kegiatan atau aktivitas riil. Dalam cara sederhana misalnya, orang diberi kesempatan melakukan postingan dengan latar obyek kebudayaan atau warisan-warisan kebudayaan yang ada atau mereka diberikan ruang yang cukup untuk memberikan apresiasi bagi pelestarian itu. Dengan cara apa? Misalnya, mereka mengevaluasi kinerja pemerintah dalam hal pelestarian. Mereka juga mengevaluasi apakah kerja-kerja kebudayaan yang dilakukan pemerintah selama ini benar atau tidak, dengan melibatkan masyarakat atau tidak. Pelibatan bukan hanya pada akhir kegiatan, tapi dari hulunya. Perencanaan, pelaksanaan, pelaporan, dan seterusnya. Itu bagian dari proses. Dialektika kebudayaan yang baik sebetulnya itu, menurut saya.
RADAR SAMPIT: Sebelumnya kita pernah bertemu dalam suatu diskusi dan Bapak bercerita mengenai Anugrah Kebudayaan, waktu masih di Kaltim. Apakah cara itu efektif dalam upaya melakukan pelestarian kebudayaan dan apakah ada dampaknya?
MUSLIMIN: Oh ya, betul. Tahun 2020, saya menggagas satu event yaitu pemberian apresiasi kepada masyarakat yang memiliki kepedulian dan dedikasi tinggi terhadap pelestarian kebudayaan. Ada 10 kategori yang diambil berdasarkan bagian-bagian dalam UU Pemajuan Kebudayaan. Tradisi lisan, bahasa, permainan rakyat, manuskrip, macam-macam dari 10 OPK itu. Apakah dia itu pelestari kebudayaan yang sifatnya untangible atau dia semata-mata bergerak di luar wilayah mainstream. Bergerak dalam tanda petik liar, tidak terkoordinasi dalam kelompok-kelompok utama dalam perkembangan kebudayaan. Misalnya, ada pemain keliling yang menawarkan kegiatan-kegiatan kebudayaan yang dapat memberikan hiburan menarik kepada satuan pendidikan paling rendah, kelompok bermain, TK dan SD. Di Samarinda itu ada kelompok pemain, saya lupa namanya, yang dedikasinya puluhan tahun mengembangkan kesenian tradisi. Kita melihat, penting orang-orang seperti ini kita apresiasi. Setelah saya diskusikan dengan teman-teman di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi, mereka merespon baik dan itu menjadi program aksi provinsi sejak tahun 2021. Kita bikin tim penilaian dan penjurian sejak tahapan administrasi sampai verifikasi lapangan, apakah data yang mereka usulkan itu sesuai benar dengan kenyataan lapangan. Kita coba lihat kembali rekam jejaknya, apakah pernah menerima penghargaan sebelumnya dari Pemerintah, dari organisasi atau lembaga-lembaga lain, sebagai pertanda bahwa mereka memang orang-orang yang berdedikasi di bidangnya. Di awal, kami menetapkan standar agak tinggi. Hasilnya menjadi role model bagi kegiatan anugrah kebudayaan lain. Dan saya kira ini langkah baik dalam rangka melestarikan kebudayaan. Tidak hanya para pelakunya yang diapresiasi tapi juga aspek-aspek budaya yang mereka kembangkan. Jadi, ada dua strategi pemajuan kebudayaan sekaligus yang dilakukan. Pertama, orangnya dengan melihat kinerja para pelaku budaya. Dalam pengertian apa yang mereka pikirkan, lakukan, lalu apa apresiasi yang patut kita berikan atas dedikasi itu. Kedua, dampak domino yang dihasilkan dari kegiatan itu apa yang dapat menjadi contoh baik bagi perkembangan kebudayaan ke depan. Dan ternyata ada banyak sebetulnya yang tidak tercover oleh kami. Di situ juga terungkap, betapa banyak pelaku budaya kita yang tidak diperhatikan oleh negara.
RADAR SAMPIT: Kenapa tidak diperhatikan?
MUSLIMIN: Saya pikir, nah ini juga kealpaan kita. Pada level paling rendah misalnya di Pemerintahan Desa, kecamatan, maupun kabupaten, tidak mendidik mereka sebagai bagian dari industri, dalam tanda petik, industri kreatif yang bisa dikembangkan. Ini adalah potensi besar, paling tidak untuk lingkungan terbatas. Atraksi-atraksi yang mereka jaga kemudian mereka pentaskan di panggung-panggung itu perlu kita wadahi dalam bentuk mengembangkan komunitasnya, memberikan ruang mengekpresikan kebudayaan. Sebetulnya itu PR paling besar. Pemerintah tidak lupa tapi begitu banyak yang ditangani sehingga butuh perhatian dari kelompok-kelompok yang ada di bawahnya. Maka kita merancang, kegiatan kebudayaan itu dimulai dari level paling bawah, tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, kemudian nasional melalui pekan kebudayaan daerah lalu pekan kebudayaan nasional. Tahapan itu yang ingin dirancang.
RADAR SAMPIT: Terkait salah satu tugas inti BPK, saya ingin menyoroti tugas pengembangan kebudayaan, apakah salah satu tujuannya untuk memajukan kebudayaan? Kalau iya, budaya apa/siapa yang dijadikan dasar pemajuan di Kalteng?
MUSLIMIN: Iya. Kami tidak akan memisahkan dari seluruh rangkaian tradisi atau kebudayaan yang ada di daerah ini. Semua akan coba kami petakan melalui program aksi secara bertahap. Kalau dulu, kita membuat desain program aksi berdasarkan kecenderungan etnisitas mayoritas penduduk, apa yang paling dominan. Sekarang, tidak lagi. Kami mengakomodasi seluruh kebutuhan riil di masyarakat, artinya kami membuat platform rencana aksi yang bisa mengakomodasi kepentingan berbagai pihak. Kedengarannya sangat idealistik, ya. Tapi dengan cara seperti itu, kita tidak terkooptasi dalam kepentingan atau sekat-sekat yang membatasi ruang kita berkebudayaan. Kami mencoba keluar dari frame yang selama ini dibentuk bahwa kebudayaan yang berkembang itu adalah kebudayaan yang berasal dari orang-orang besar atau bangsa-bangsa mayoritas yang dominan. Kami pikir, semua kebudayaan berinteraksi dan memberi pengaruh masing-masing dan apa yang berkembang sekarang adalah hibridasi dari kebudayaan yang berkembang sebelumnya. Kebudayaan yang sifatnya nonmaterial, ini sangat movable, mudah berpindah-pindah karena terkait dengan orang, gagasan, kami berikan atensi khusus terutama kebudayaan yang bisa menumbuhkembangkan tradisi untuk orang bisa tetap survive. Tahun ini kami melakukan kajian tentang ketahanan pangan yang dalam pemetaan kami, ada beberapa kelompok di beberapa daerah semakin tergusur dan cara mereka bertani secara tradisional semakin hilang. Kenapa? Karena mereka beralih profesi dan lahan mereka untuk berkebun dan berladang sudah diokupasi oleh negara lewat operasi perusahaan-perusahaan besar. 11 Agustus nanti, kami akan lakukan studi di Pulang Pisau dibantu teman-teman dari BRIN. Kenapa ketahanan pangan lokal kita semakin ambruk di tengah kepungan sumber-sumber pangan baru. Masyarakat Dayak tidak lagi meramu dan menemukan makanan di hutan karena lahan mereka atau sumber-sumber daya alam yang ada sudah semakin berkurang maka sekarang mereka beralih profesi menjadi buruh tani, buruh tambang, buruh kelapa sawit. Apakah pemerintah tidak punya kepedulian untuk memberikan lahan alternatif atau pemerintah mengarahkan untuk masuk ke dalam modernitas? Saya pikir, sementara masyarakat Dayak belum siap merespon modernisasi secara baik. Ada banyak faktor. Masalah akses ke dunia pendidikan, akses ke sumber daya keuangan, dan seterusnya. Ini rencana program, akan diterbitkan dalam bentuk buku. Kenapa penting? Literasi perlu kami kembangkan sebagai bagian dari proses penyadaran diri untuk bersama memikirkan atau melihat kebijakan-kebijakan apa yang tepat untuk dimunculkan dalam rangka membuat ekosistem menjadi lebih baik. Dulu, tidak ada ancaman kelaparan karena sumber bahan pangan cukup tersedia di kebun, di hutan. Sekarang tidak. Kenapa sekarang orang berpindah konsumsi ke nasi, tidak lagi sorgum dan umbi-umbian, itu kan bagian dari kerja kebudayaan juga. Nah, studi kajian ketahanan pangan arahnya kepada itu sebetulnya.
RADAR SAMPIT: Dari sekian banyak gagasan dan rencana, apa yang diprioritaskan?
MUSLIMIN: Pertama, dalam waktu dekat kami akan merancang satu pra kongres kebudayaan. Ketika membaca dan berdiskusi dengan Pak Kusni, mungkin gagasan sudah ada tapi tahap implementasi belum sementara di daerah lain sudah berkali-kali kongres itu diselenggarakan. Apa tujuannya? Untuk mendengarkan apa keluh-kesah pemangku kebudayaan termasuk juga dari institusi negara. Hambatan dan apa solusi yang tepat mengenai kegiatan pembangunan kebudayaan ini, maka kita rancang dalam dua tahap kegiatan. Pertama, pra-kongres. Lalu, kongres. Kita melakukan roadshow di beberapa daerah untuk menghimpun berbagai informasi dan berdiskusi dengan para tokoh, budayawan, kira-kira apa strategi kebudayaan yang paling pas. Istilah strategi kebudayaan ini sudah lama. Pak Kusni tahu persis, sejak tahun 60an sudah didengungkan. Pidato kebudayaan misalnya oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Mohtar Loebis, sudah lama, tapi itu hanya gaung tanpa program aksi yang direncanakan secara baik. Nah, tugas kita generasi sekarang, merancang desain pembangunannya. Salah satu cara saja itu, kongres kebudayaan dengan tahapan tadi, pra kongres kemudian kongres. Kenapa perlu ada tahapan? Ibarat bikin Pekan Olahraga Nasional, ada Porda, ada PON. Berjenjang begitulah. Saya paham, ini tidak mudah karena akan berhadapan dengan banyak benturan. Benturan itu justru datang bukan dari kelompok-kelompok marjinal tapi dari kelompok yang dominan, the ruling party, kelompok-kelompok mainstream. Mungkin gugatan mereka, apa pentingnya ini diselenggarakan? Lalu, kelompok-kelompok kecil juga berharap banyak, apa kami ikut dipotret di dalam pra kongres dan kongres itu? Dipotret dalam pengertian, apakah mereka menjadi bagian dari inti pembicaraan itu? Apakah hanya dihadirkan sebagai penonton atau pendengar saja? Jadi, saya tidak menggunakan platform yang mendikotomi kebudayaan berdasarkan konsep etnisitas tapi kita melihat kebutuhan secara keseluruhan. Kalau begitu, apa yang kita inginkan ke depan? Agar desain pembangunan kebudayaan itu betul-betul menjadi sumber inspirasi bagi daerah, pemerintah daerah, dan menjadi strategi bersama dalam rangka pembangunan nasional. Kita mencari akar permasalahan sikap resistensi masyarakat, ambruknya ketahanan pangan lokal, konflik, intoleransi, segregasi sosial, karena apa, tentunya dari perspektif kebudayaan. Intinya, kebudayaan menjadi tulang punggung pembangunan. Mudah-mudahan rencana ini tidak dilihat dalam perspektif kepentingan praktis. Saya bukan politisi, bukan orang yang suka membelanjakan persoalan.
RADAR SAMPIT: Kapan rencananya kongres dilaksanakan?
MUSLIMIN: Rencana saya, September.
RADAR SAMPIT: Bisa terkejar? Mengingat tadi Bapak mengatakan ada pra kongres.
MUSLIMIN: Nah, itu dia. Pra kongres itu Agustus. Ini juga yang menjadi bahan pikiran saya. SDM kami sangat terbatas. Itu juga jadi masalah.
RADAR SAMPIT: Kira-kira bisa dilaksanakan targetnya? Persiapan sejauh mana sekarang?
MUSLIMIN: Mari kita coba dahulu. Sekarang baru identifikasi soal dan isu-isu yang akan dibicarakan dalam pra kongres. Jumat lalu, saya sudah bicarakan dengan Bu Diah (Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah). Beliau merespon baik. Saya diminta menyerahkan semacam TOR supaya Beliau bicarakan dan diskusikan dengan Pak Gubernur.
RADAR SAMPIT: Target minimal dan maksimal dari Kongres Kebudayaan?
MUSLIMIN: Munculnya rumusan baku tentang strategi pembangunan kebudayaan di Kalimantan Tengah. Strategi itu dicapai dengan cara apa. Tidak lagi bertumpu pada visi-misi, itu kan hal yang dibayangkan, sangat idealistik. Apa caranya? Lalu, kelompok mana yang bisa mengeksekusi? Jadi kita bukan hanya bicara caranya tapi juga kelompok pemangkunya, pendanaannya bagaimana. Sedetail itu.
RADAR SAMPIT: Terakhir, apa yang ingin dicapai dari rencana program Kongres Kebudayaan?
MUSLIMIN: Ini adalah langkah strategis awal yang kita lakukan untuk menghimpun berbagai gagasan, ide, solusi terhadap permasalahan kebudayaan yang kita hadapi. Hubungan pembangunan yang beraras pada kebudayaan menjadi inti pemikiran kita di dalam kerangka kegiatan pra dan kongres nanti agar kebudayaan menjadi pilar utama pembangunan. Masyarakat Kalimantan Tengah, saya paham, mereka mencintai kebudayaannya tapi kecintaan itu harus diwujudkan dalam bentuk aksi nyata. Tidak hanya dalam bentuk slogan. Jadi hasil kongres nanti, ada semacam panduan baku yang menjadi pedoman kerangka kerja kebudayaan. Kami tidak ingin mengambil semua peran yang diemban banyak instansi tapi kami berikan peran kepada instansi yang memang menangani hal itu. Kami ingin menjadi semacam gerbang untuk membantu menjelaskan arah kebijakan pembangunan di bidang kebudayaan, dengan dukungan berbagai stakeholder.
RADAR SAMPIT: Kami mengucapkan terima kasih atas penjelasan Bapak. Itu bahan berharga.[]