WAWANCARA DAMANG BASEL | Bagian Ketiga

Jangan Biarkan DAD, Damang, dan Mantir Ditertawakan

Wawancara Khusus Andriani S. Kusni untuk Radar Sampit dengan Damang Basel Ahat Bangkan, Kecamatan Sabangau

Dalam edisi lalu, Radar Sampit telah menerbitkan wawancara Andriani S. Kusni dengan Damang Basel yang selain menjelaskan secara kritis Perda No. 16 Tahun 2008 juga menyatakan keprihatinannya yang sangat terhadap kategori damang dan mantir yang oleh warga masyarakat adat disebut ‘humasnya PBS’.

Berikut adalah wawancara dengan Damang Basel Ahat Bangkan, Damang Kecamatan Sabangau yang dilakukan oleh Andriani S. Kusni untuk Harian Radar Sampit. Dalam edisi ini Damang Basel berbicara tentang hutan adat, tugas damang serta perlunya kesatuan pemahaman dan apresiasi tentang Perda No.16 Tahun 2008, Pergub No.13 Tahun 2009 dan tentang Masyarakat Adat sendiri. Sebab selama ini terjadi kesimpangsiuran pemahaman dan apresiasi sehingga penerapannya juga menjadi simpang-siur sesuai dengan pemahaman masing-masing. Jika salah pemahaman, penerapannya pun akan salah. Kesalahan akan berdampak buruk bagi seluruh masyarakat.

RS: Bagaimana bisa terjadi  bahwa damang disebut oleh warga masyarakat adat sebagai ‘humasnya PBS’?

DB: Ini merupakan salah satu soal yang membuat saya sangat prihatin. Salah satu sebabnya  karena masalah pemahaman dan persepsi. Pemahaman dan persepsi terhadap Perda 16/2008, Pergub 13/2009, adat dan hukum adat  oleh  DAD (Dewan Adat Dayak), damang  dan mantir harus sama tentang lembaga adat, Perda 16, Pergub 13 dan masyarakat adat Dayak itu sendiri. Harus dipahami secara keseluruhan, jangan sampai keliru pemahamannya. Pemahaman mereka harus satu. Karena kalau  pemahaman salah, penerapannya pun tidak benar. Kalau DAD, damang dan mantir salah tentang hal-hal di atas, mereka akan ditertawakan orang. Dipandang sebelah mata. “Apa itu? DAD, damang dan mantir macam itu?” Ketika DAD, damang, mantir dipandang sebelah mata, pada saat itu kewibawaan mereka pun hilang.

Contoh tentang pemahaman yang keliru ini terjadi pada  tahun 2011. Ada seorang damang mengeluarkan surat tanah seluas 800 ha hutan produksi yang ia anggap hutan adat. Itu sangat keliru. Hutan adat itu ada kriteria-kriterianya. Kalau ia hutan adat, berarti bukan tanahnya. Itu hak-hak di atas tanah itu saja yang menjadi milik dan hak adat. Misalnya hutan jelutung. Jelutung di atas tanah itu adalah milik atau hak adat. Kalau ada orang lain menggunakan lahan itu untuk penggunaan lain lalu membabat hutan itu, termasuk jelutung di atasnya. Ia, si pengguna lahan itu, mempunyai kewajiban memberikan kompensasi. Karena dengan hilangnya hutan jelutung itu, berapa orang kehilangan usaha. Kompensasi bukan untuk tanahnya, tetapi untuk pohon jelutung yang ditebang itu.

Kemudian di daerah udik sana. Hutan tengkawang. Itu tanahnya bukan tanah adat. Tapi tengkawang di atas tanah itu ada hak adat. Kalau perusahan besar swasta  membabat hutan tengkawang itu dibabat untuk kepentingan usahanya, dia harus memberi kompensasi. Paling tidak dan idealnya seperti dikatakan oleh gubernur menyediakan 20% dari lahan itu diberikan kepada masyarakat itu sebagai kompensasi dari hilangnya hutan jelutung di atasnya. Sebab dengan pembabatan hutan di atas lahan itu, masyarakat kehilangan sumber penghasilan. Kehilangan tempat berburu, kehilangan pohon tengkawang yang dipanen setiap tahun. Bayangkan dengan pembabatan hutan itu, berapa keluarga yang kehilangan mata  pencaharian, kehilangan sumber kehidupan. Berapa mulut yang harus tidak bisa diisi karena kehilangan hutan tengkawang mereka. Nah ini harus diberi kompensasi. Ini yang diurus oleh damang, mantir. Bukan memberi wewenang kepada damang dan mantir untuk mengizinkan orang membabat hutan. Tidak. Tanah-tanah yang sudah ratusan tahun, kebun karet, kebun rotan  yang ditinggali oleh lima-enam turunan di situ, sampai cucu-cicit pemilik asalnya tidak lagi mengetahui nama datu, nenek moyang  mereka yang membuka kebun dan tanah yang mereka diami, tapi sampai detik ini belum ada surat kepemilikan tanah tersebut, nah ini kewenangan damang untuk mengeluarkan suratnya. Ini yang harus dilakukan oleh damang. Bukan untuk membuka lahan baru. Inilah yang ditugaskan oleh Peraturan Gubernur No.13 Tahun 2009 itu.

RS: Contoh-contoh yang diberikan oleh Pak Damang menunjukkan bahwa di kalangan para damang dan mantir, belum ada kesamaan pemahaman tentang Perda No.16/2008 dan Pergub No.13/2009 serta masyarakat adat itu sendiri. Kalau pemahaman saya benar, contoh-contoh Pak Damang mau mengatakan bahwa sosialisasi kedua peraturan tersebut belum merata padahal Perda sudah menjelang usia 4 tahun sejak diterbitkan bulan Desember 2008, Pergub yang diterbitkan pada 25 juni 2009  berusia tiga tahun lebih. Tapi kesimpangsiuran masih saja berlangsung. Pemahaman sendiri-sendiri tetap terjadi. Keadaan tersebut juga mengatakan bahwa terdapat masalah mutu pada sumber daya manusia atau SDM  pada lembaga-lembaga adat Dayak.  Bagaimana menangani masalah ini agar tujuan Perda dan Pergub tercapai?

DB: Benar. Oleh karena itu pada setiap pertemuan antar damang dan mantir atau pertemuan dengan DAD, saya selalu menggarisbawahi pentingnya, mendesak agar para damang dan mantir tidak henti-hentinya, terus-menerus diberikan bekal. Bekal pengetahuan dan pengertian.

RS: Bagaimana kalau untuk keperluan peningkatan mutu SDM lembaga-lembaga adat Dayak ini jika diadakan pelatihan mulai dari per kecamatan pada semua kabupaten/kota? Bukan pelatihan insidental atau sesekali, tapi teratur, terjadwal, misal dua kali pelatihan dalam setahun selama  sebulan atau seminggu atau dua minggu?

DB: Menurut saya bagus. Bagus sekali.Saya kira sangat bagus dan patut diprogramkan per kecamatan. Dan dalam hal ini hendaknya diperhatikan kecamatan mana yang dijadikan prioritas. Kalau menurut pendapat saya, yang harus diprioritaskan adalah daerah-daerah yang rawan. Damang-damang dan mantir daerah-daerah rawan inilah yang patut terlebih dahulu diberikan perbekalan. Diberikan pengertian. Diberikan pengetahuan. Selama ini, pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan lebih banyak mengundang para damang dan mantir untuk duduk manis guna mendengarkan ceramah-ceramah yang jauh dari pemahaman mereka. Jauh dari permasalahan nyata yang mereka hadapi di lapangan. Sehingga begitu selesai pertemuan dan ceramah-ceramah itu, mereka pulang tanpa membawa pengetahuan dan pemahaman apa pun yang tersisa di ingatan.

RS: Apakah dalam pembuatan Perda No. 16 Tahun 2008 para damang dilibatkan?

DB: Ada. Memang ada dan dilibatkan. Untuk menyusun Perda ini telah diselenggarakan dua pertemuan. Pertama pada tahun 2006 ada rapat damang se-Kota, tahun 2007 ada rapat damang se-Kalteng lagi. Kemudian pada tahun 2008 baru pengesahan. Dalam pertemuan-pertemuan ini telah berlangsung perdebatan hangat. Dalam pertemuan para damang yang diselenggarakan pada tahun 2007 itu hanya sebatas dalam Kota Palangka Raya. 2007 baru pertemuan para damang se-Kalteng. Kemudian pada tahun 2008 sebelum pengesahan ada lagi pertemuan para damang se-Kota Palangka Raya beserta para tokoh-tokoh adat se-Kota. Waktu itu saya masih ingat benar, alm. Damang Jekan Raya sebelum jadi damang, saya pun belum jadi damang pada waktu itu, antara kami  telah terjadi debat sengit tentang banyak soal. Isi  debat-debat ini diserap untuk memperbaiki draft Perda sebelum disahkan. Sebelum disahkan draftnya disosialisasikan ke kalangan para damang-mantir. Banyak kemajuan dan perbaikan terjadi. Yang tidak perlu dibuang, yang kurang ditambah.

Yang dulu saya sangat tidak setuju yaitu tentang satu pasal yang menyebutkan bahwa damang harus dikokohkan oleh Dewan Adat. Dulu saya menghendaki pasal ini dibuang saja. Tidak diperlukan. Karena menurut saya, begitu damang itu sudah dipilih, dilantik oleh walikota, ia sudah bisa menjalankan tugas, tanpa harus dikokohkan oleh Dewan Adat. Karena menurut saya, pasal itu tidak harus, sebaliknya memberikan kesempatan kepada Dewan Adat melakukan banyak intervensi terhadap tugas damang. Sedangkan pekerjaan damang tidak boleh diintervensi, meski pun ia berada di dalam satu lembaga, tapi lembaga kedamangan merupakan lembaga sentral yang tidak boleh dicampuri.

RS: Sehingga dengan posisi tidak boleh dicampuri itu, damang bisa melakukan fungsi pengawasan sosial?

 DB: Ya, betul!

RS: Lalu bagaimana para damang ini melakukan fungsi pengawasan sosial terhadap pemerintah, dll selama ini? 

DB: Karena pemahaman para damang simpang-siur, terus-terang saya sangat prihatin terhadap soal ini. Karena peranan dan fungsi damang selama ini tidak berlangsung seperti yang diharapkan dan seharusnya. Sehingga apa yang apa yang tersurat dan tersirat di Perda No.16/2008 dan Pergub No.13/2009 tidak bisa terlaksana, misalnya tentang apa peranan damang itu.

Telah disiarkan di Harian Radar Sampit, Halaman Masyarakat Adat, 9 September 2012

WAWANCARA DAMANG BASEL | Bagian Kedua

PERDA NO. 16 TAHUN 2008 BUKAN PERDA YANG SEMPURNA

Wawancara Khusus Andriani S. Kusni untuk Radar Sampit dengan Damang Basel Ahat Bangkan, Kecamatan Sabangau

Pada edisi minggu lalu kami sudah menyiarkan cuplikan wawancara Andriani S. Kusni untuk Radar Sampit dengan Damang Kecamatan Sabangau, Damang Basel Ahat Bangkan tentang hinting pali. Hinting pali oleh Damang Basel dianalogikan sebagai “police line” (garis polisi). Soal hinting pali ini kami angkat karena ia banyak dilakukan oleh warga masyarakat adat dalam konflik dengan Perusahaan Besar Swasta (PBS) sebagai bentuk perlawanan non kekerasan, tapi praktek ini oleh pihak tertentu dipandang sebagai monopoli agama tertentu. Pendapat ini disanggah keras oleh Damang Basel.

Dalam edisi kali ini, wawancara dengan Damang Basel kami lanjutkan tentang perlunya penyatuan pemahaman tentang Perda No. 16 Tahun 2008, Peraturan Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah No.13 Tahun 2009 Tentang Tanah Adat dan Hak-Hak Adat di Atas Tanah di Provinsi Kalimantan Tengah, tentang adat dan hukum adat, peran dan tugas damang serta mantir. Pemahaman yang simpang-siur akan membuat tindakan pun simpang-siur. Untuk itu Damang Basel (DB) menekankan pentingnya peningkatan pemahaman Sumber Daya Manusia (SDM) para pemangku adat.

Berikut adalah cuplikan wawancara yang dilakukan oleh Andriani S. Kusni untuk Radar Sampit (RS) mengenai soal-soal tersebut.

RS: Dalam Kasus Balikpapan yang damang ambil sebagai contoh untuk menjelaskan efektifnya  hinting sebagai langkah awal penanganan masalah, Damang mengatakan bahwa Perda No. 16 Tahun 2008 ‘membatasi gerak damang pada keadaan darurat’. Bagaimana penjelasan rincinya?

DB:  Bukan Perda No. 16 Tahun 2008 itu  yang membatasi gerak damang. Perda No 16 Tahun 2008 itu hanya mengakomodir apa yang dipraktekkan dan kenyataan selama ratusan tahun di kalangan masyarakat adat Dayak Kalimantan Tengah. Praktek selama ratusan tahun di Tanah Dayak ini yaitu para damang hanya bekerja di wilayah kerjanya. Seluruh Kalimantan Tengah dibagi dalam wilayah kedamangan. Seorang damang mempunyai wilayah kerja sebesar satu kecamatan, terkadang lebih. Sekarang setelah adanya Perda No. 16 Tahun 2008, jika ada keadaan luar biasa, ia bisa bertugas di wilayah lain tapi harus mendapat penugasan dari  Dewan Adat Dayak (DAD) baik Kota, kabupaten ataupun provinsi. Misalnya kasus Sekda Provinsi Kalimantan Tengah dengan Kapolres Kotim beberapa waktu lalu. Kapolres Kotim digugat di depan pengadilan adat oleh Sekda karena Kapolres Kotim dipandang menghina. Untuk menyelesaikan masalah ini secara adat, seorang damang dari Sampit diajak oleh DAD Provinsi untuk turut menjadi anggota Let Perdamaian Adat di Palangka Raya. Saya sendiri ke Balikpapan Kalimantan Timur untuk turut menyelesaikan pertikaian soal tanah antara orang Bugis dan Dayak dengan penugasan dari DAD Provinsi.

 RS: Apakah ada bagian yang perlu dievaluasi dari Perda 16 Tahun 2008 itu?

DB: Ada. Memang ada. Kalau kita lihat benar-benar, Perda No. 16 Tahun 2008 itu tidak bisa disebut sebaga perda yang sempurna, apalagi sangat sempurna sebab ada bagian-bagian yang kurang pas atau kurang. Tapi dengan segala kekurangannya, Perda No. 16 Tahun 2008 itu adalah suatu terobosan atau langkah awal yang baik. Adanya perda ini membuat lembaga-lembaga adat Dayak Kalimantan Tengah jadi mempunyai payung hukum dan arah yang jelas. Sebelumnya memang ada Perda tentang lembaga adat. Saya lupa tahunnya.

RS: Pada masa pemerintahan Gubernur Warsito Rasman?

DB: Ya, pada masa Gubernur Warsito. Tapi perda yang ada pada waktu itu arahnya tidak jelas. Sebelum Warsito, Pak Suparmanto sebagai gubernur pun menaruh perhatian pada lembaga adat itu, ada perda sebelumnya tapi arahnya tidak jelas. Saya masih ingat pak Suparmanto dalam pertemuan di rumah jabatan. Gubernur mengkritik Orang Dayak yang malu mengenakan ‘blangkon Dayak’, maksudnya lawung. Beliau sendiri sangat menyukai ‘blangkon  Dayak’ itu. Sering mengenakannya, membuat, dan membagi-bagikannya. Tapi ini bukanlah hakekat masalah lembaga adat, adat, dan hukum adat. Walaupun demikian, kita perlu berterimakasih atas perhatiannya pada kebudayaan kita.

Oleh karena Perda No. 16 Tahun 2008 itu bukan pula perda yang sempurna, mungkin nanti pada waktunya ia akan direvisi. Saya pikir kalau perda tentang kedamangan sebaiknya tersendiri tidak campur aduk dengan DAD. DAD itu adalah sebuah lembaga kemasyarakatan biasa sedangkan lembaga kedamangan adalah lembaga pengadilan adat yang ada sejak dulu. Tapi kalau dipisahkan dari DAD, ada segi kurangnya yaitu posisi lembaga adat, lembaga kedamangan lemah dilihat dari segi hukum. Dalam Perda No. 16 Tahun 2008 yang sekarang, walaupun lembaga adat, damang menduduki posisi sentral, tapi ada pasal-pasal yang membuat DAD bisa mengintervensi pekerja damang. Misalnya pasal-pasal yang menyebut bahwa damang baru sah jika sudah dikokohkan DAD. Hal ini tidak sesuai dengan sejarah dan tradisi lembaga kedamangan itu sendiri yang independen.

RS: Bagaimana tentang pemilihan damang sekarang?

DB: Sudah bagus karena ada ketentuan-ketentuan yang jelas. Dulu damang itu seumur hidup bahkan semacam warisan. Misalnya di Kapuas, ada yang turun-temurun menjadi damang. Demikian juga di Bartim. Tapi mungkin saja sebab tidak gampang mencari orang yang punya perhatian dan kemampuan jadi damang sedangkan anak atau cucu damang oleh praktek keseharian mengikuti kegiatan bapaknya sebagai damang sehingga secara tidak langsung belajar, mengetahui dan menguasai pekerjaan kedamangan. Karena itu wajar saja jika kemudian anaknya menjadi damang. Apalagi sekarang mencari orang yang menaruh perhatian, kemampuan, dan pengetahuan jadi damang sangat sulit. Menjadi damang tidak dibatasi oleh agama yang seseorang anut. Misalnya Kapuas Hilir, Kahayan Kuala yang banyak menerima pengaruh pesisir. Yang jadi damang adalah Dayak Muslim. Jadi yang menjadi  damang tidak ditentukan oleh agama. Patokannya adalah kemampuan. Asal ia mampu. Jadi kita tidak melihat agamanya tapi kemampuan. Misalnya di Sabangau ini, hanya dua mantir yang tidak Islam. Selebihnya semuanya mantir adalah Dayak beragama Islam.

RS: Jadi apakah benar bahwa  masyarakat Dayak memandang  “agamamu agamamu, agamaku agamaku, tapi adat milik bersama?

DB: Benar sekali. Memang sejak Rapat Damai Tumbang Anoi 1894 berlaku pandangan demikian. Rapat Tumbang Anoi 1894 itu dihadiri oleh para haji, pendeta dan  diakon juga. Mereka setuju adat dayak bukan monopoli satu agama.

 RS: Mengapa bisa Orang Banjar yang  tak tahu apa-apa tentang adat dan hukum adat Dayak tapi bisa terpilih jadi damang?

DB: Banjar adalah sub suku Dayak, kecuali di Martapura ada pedagang yang orang Arab dan  menetap di Martapura. Mereka bukan Dayak tapi datang langsung dari Tanah Arab. Bahkan turunan Nabi Muhammad. Orang Banjar yang memang Banjar tidak menyebut diri Banjar karena pengaruh orang Arab itu. Tapi orang Kalimantan Selatan di luar itu adalah orang Dayak. Meratus, Loksado, Tabalong, Kupung, Bakumpai adalah orang Dayak. Yang Banjar memang Banjar, menurut Tjilik Riwut adalah Dayak. Dayak Pesisir.

RS: Bagaimana dengan Orang non Dayak yang  sama sekali bukan Dayak seperti Bugis,  Papua. Bisa tidak jadi damang?

DB. Kalau memang bukan Suku Dayak tidak bisa. DAD adalah organisasi adat Orang Dayak, beda dengan AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), perhimpunan Masyarakat Adat seluruh Indonesia. Pernah terjadi, Damang Bukit Batu mengangkat seorang Jawa jadi mantir. Orang Jawa ini heran sendiri. “Saya tak ngerti sama sekali adat Dayak. Saya bingung mengapa saya ditunjuk jadi mantir adat,” ujarnya. “Siapa yang menunjuk dan ngusulkan bapak jadi mantir?” tanya saya. “Ya…damang.” “Kalau begitu bapak datang saja ke damang, minta dia untuk membuat surat pernyataan bahwa bapak tak bersedia jadi mantir karena tak mengerti adat Dayak”, usul saya kepada teman Jawa ini.

Baring Hurung sebuah daerah transmigrasi di Kotim misalnya. Di situ tidak ada Orang Dayak. Kalau di seluruh kabupaten tak ada orang Dayak, tak perlu ada DAD dan damang. Jika tak ada Orang Dayak, seperti di Kapuas Kuala, untuk apa membentuk DAD dan menunjuk seorang damang. Tak usah mengurus Orang Jawa dengan adat Dayak. Mereka punya paguyuban. Paling yang patut dilakukan adalah menjalin kerjasama, koordinasi. Di Klampangan mayoritas Jawa. Mantir Klampangan hanya mengurus yang Dayak. Tapi yang Jawa memang sangat sering meminta bantuan mantir dan damang setempat untuk menangani masalah antar mereka. Ya, kita tangani secara adat Dayak. Jadi lembaga adat Dayak ini untuk semua orang. Jika mereka minta tolong maka kita urus secara adat kita sesuai permintaan mereka. Di Sabangau banyak orang dari luar, terutama Jawa, yang kita urus. Mereka melihat bahwa lembaga adat dipandang sebagai kepentingan bersama. Karena adat Dayak dipandang sebagai rambu. Misalnya pada tahun 2011, seorang  lelaki Riau, ponakan Walikota Pangkal Pinang kawin dengan seorang perempuan Dayak secara adat. ”Di Riau kami pun punya adat dan hukum ada,” ujarnya. “Tapi di Riau beda dengan di sini yang dilengkapi dengan surat. Ini bagus,” tambahnya. Jadi pada dasarnya lembaga kedamangan tidak khusus mengurus orang Dayak. Misalnya di Sabangau ini, siapapun datang kemari minta masalah mereka diselesaikan secara adat. Ya kita urus sesuai adat. Di sini banyak kasus terjadi antar mereka yang non Dayak seperti Jawa dengan Jawa, orang Banjar. Ya kita urus.

 RS: Ada beberapa tudingan pada DAD bahwa  DAD  tak murni membela kepentingan  masyarakat adat. Tapi ada gejala menjual-beli adat. Komentar Pak Damang?

DB: Benar. Tetapi saya melihatnya hal itu bukan DAD secara organisasi tapi oknum-oknum yang menggunakan kesempatan, memanfaatkan kedudukannya di DAD. Dan perbuatan demikian bukan hanya terjadi di DAD,  tapi malah  juga dilakukan oleh damang dan mantir. Di Kotim, ada suara sumbang tentang para damang dan mantir demikian. Mereka disebut oleh warga masyarakat adat sebagai  “damang dan mantir yang jadi humasnya PBS”. Kalau humas dalam arti positif tak apa, bisa jadi jembatan antara masyarakat adat dan PBS,  untuk kepentingan masyarakat adat. Tapi masalah tidak demikian, melainkan  untuk kepentingan diri sendiri. Saya sangat prihatin terhadap keadaan ini karena orang melihatnya tidak sebagai oknum tapi DAD, sebagai damang dan mantir secara keseluruhan. Ini tugas berat bagi kami untuk membenahinya segera kalau tidak mau ditertawai orang, kehilangan wibawa dan dipandang sebelah mata.***

Telah disiarkan di Harian Radar Sampit, Halaman Masyarakat Adat, Minggu, 2 September 2012