MBAH MANGUN GUGUR MEMBAWA CITA-CITANYA.

CERDIG 122307. (cerita Digul)


– Oom Pontjo Pangrawit  yang hebat.
Oleh : Tri Ramidjo

Aku tidak tahu siapa mbah Mangun. Aku hanya mendengar cerita ibuku. Nama lengkapnya mbah Mangun adalah Mangun Atmodjo. Konon  menurut cerita ibuku mbah Mangun ini adalah keturunan ningrat. Keturunan darah biru. Apakah benar darahnya biru aku tak tahu, sebab kata ayahku mbah Mangun ini juga suka menyanyikan lagu “Darah Rakyat” dan tentunya darah rakyat berwarna merah dan tidak biru.

Aku pernah bertanya kepada ayahku, apa cirri-ciri khas keturunan ningrat itu dan ayahku menjelaskan, bahwa di tanah Jawa keturunan ningrat itu, di depan namanya selalu diberi embel- embel Raden Mas atau Raden ( RM atau R ) yang menurut cerita ayahku keturunan ningrat atau keturunan raja-raja Jawa adalah keturunan-keturunan orang-orang  yang kerjanya ongkang-ongkang, makan enak, rumah bagus, isteri lebih dari satu – yah, pokoknya keturunan penindas.

Ketika kutanyakan mengapa raja-raja dan keturunannya  disebut penindas ayahku menjelaskan, bahwa yang namanya raja  tidak pernah mengerjakan sesuatu  dengan menggunakan tenaganya sendiri tapi semua apa saja yang diinginkannya  dikerjakan oleh orang lain, oleh hamba-hambanya.  Sampai-sampai mau mengenakan pakaian pun hamba-hambanya yang memakaikan. Apa tidak keterlaluan menindasnya  terhadap orang lain.

Aku berfikr dan berfikir. Pantas ayahku tak suka disebut  Den Dar atau Raden Dardiri. Raden itu turunan penindas, to. Dan ayahku tidak suka menjadi turunan penindas. Penindas, ya penindas itu adalah hal yang sangat buruk. Kerja bersama menikmati hasil  kerja secara bersama-sama itu lebih baik. Dan ajaran ayahku itu terpatri teguh dalam hatiku yang paling dalam.

Mbah Mangun Atmodjo kata ibuku keturunan ningrat berasal dari Solo. Ya, di Solo menurut cerita ibuku ada keraton. Dan yang namanya keraton itu adalah bangunan megah tentu saja terbuat dari batu atau beton. Di keraton itulah  bersemayam atau tinggal ratu atau raja. Raja adalah penguasa  absolut yang memerintah kerajaannya. Itu di zaman kerajaan. Sekarang ini bukan lagi zaman kerajaan, zamannya sudah berubah.  Begitulah cerita ibuku.

Aku senang mendengar cerita ibuku. Menurut ibuku di zaman purba dahulu………dahulu sekali menurut ibuku,  manusia yang lahir di bumi  ini hidupnya sangat rukun.  Tidak ada yang lebih kaya atau lebih miskin.  Mereka berburu bersama,  mencari buah-buahan bersama, tinggal bersama-sama, pokoknya mereka sangat rukun  membagi semua hasil kerja mereka secara adil. Mereka tidak mengenal yang namanya uang.

Ibuku tidak menceritakan mendetail tentang masyarakat waktu itu  dan hanya menceritakan sepotong-sepotong  perkembangan masyarakat kuno, perbudakan, zaman kerajaan atau zaman feudal, zaman kapitalisme kejam harus dibinasa dan seterusnya.
Lalu ibuku menyanyi :

Kapitalisme kejam,
Harus dibinasa,
Kaum yang bekerja.
Seluruh dunia,
Bersatulah, bersatulah.
Merebut kemenangan,
Kaum pekerja, Kaum pekerja.
Hidup harus gemilang.

Nah begitulah cerita ibuku yang telah meninggal pada usia 89 tahun pada  hari Rabu 24 Mei 1989. Ibuku orang desa yang sejak kecil hidup di pesantren. Pernah mengikuti ayahnya yaitu kakekku ke daerah Lombok Nusa Tenggara Timur untuk melakukan siar agama Islam.

O ya, maaf, aku akan menuliskan cerita mbah Mangun Atmodjo yang keturunan ningrat itu, kan. Baiklah.
Mbah  Mangun yang keturunan ningrat atau darah biru itu ayahnya adalah pengikut setia Pangeran Diponegoro.   Jiwa melawan kolonialis Belanda berakar tumbuh di dalam hatinya  seperti juga  oom Pontjo Pangrawit  ahli gending yang juga berasal dari Solo  yang menurut cerita temanku salah sebuah gamelan yang dibuat oom Pontjo Pangrawit ini, kini tersimpan di Australia sebagai benda peninggalan sejarah.

Ada cerita ayahku yang menarik tentang oom Pontjo Pangrawit ini.  Daripada nanti aku lupa baiklah aku sisipkan sepenggal ceritanya di sini, ya.  Oom Pontjo Pangrawit adalah tetangga dekat rumah kami di kampung B. Rumahnya berdekatan dengan rumah mbah Kiyahi Haji Muchlas ayahnya mas M.H. Lukman (wk. Ketua CCPKI) yang di zaman peristiwa G30S hilang tak tentu rimbanya dan mati tak tahu di mana makamnya, tentu saja dibunuh secara sadis oleh algojo-algojo orba Suharto.

Dibelakang rumah oom Pontjo Pangrawit ini ada sebatang pohon kluwih yang sangat besar,   rimbun dan di bawah pohon  itu ada sebuah sumur yang airnya sangat jernih. Di sumur itulah ayahku dan abangku Darsono sering mengangsu air dengan memikulnya memakai dua kaleng minyak tanah. Ya, memikul air dari sumur oom Pontjo ke rumahku itu  lumayan jauh dan aku belum mampu mengerjakan pekerjaan itu.

Biasanya yang kami pakai adalah air hujan yang kami tampung dengan drum atau tong yang dibuat oleh abangku Darsono dengan memakai seng. Abangku Darsono sangat pintar membuat alat-alat dari seng tanpa dipatri misalnya ember, oven untuk membuat kuwe dll. Air hujan itu lah yang kami gunakan untuk minum dan masak. Air hujan sangat jernih tapi katanya merusak gigi karena tidak mengandung kalsium. Enthlah aku tidak tahu. Masa bodoh mau gigi rusak kek enggak rusak kek, toh gigi yang rusak itu  lama-lama dibawa mati juga. Hehehehe.

Di rumah oom Pontjo Pangrawit ini penuh dengan alat musik gamelan ada gambang, bonang, saron dan entah apalagi namanya aku tak tahu. Semuanya adalah buatan Oom Pontjo. Beliau pintar sekali menabuh gamelan dan bahkan dengan kaleng-kaleng susu yang dibuatnya gamelan itu bisa melagukan lagu Darah Rakyat, Internasionale,  lagu 1 Mei, Mariana Proletar,  de Rode Vandel dll. Aku sudah lupa lagu de rode vandel tapi yang lain aku masih ingat nootnya.

Oom Pontjo itu menurut ayahku adalah ahli gending di kraton. Tahu, apa kesenangannya? Kegemarannya adalah nyeret. Ketika kutanyakan kepada ayahku apa nyeret itu, maka jawab ayahku : nyeret itu kebiasaan jelek sekali dan tak perlu ditiru yaitu menghisap candu.

Pada tanggal 12 November 1926  meletus pemberontakan rakyat  melawan   Belanda. Pemberontakan  ini bukan hanya di Jawa tapi juga meluas ke Sumatra dan tempat-tempat lainnya. Semua anggota dan pimpinan gerakan yang menentang Belanda ditangkapi dan bahkan pesantren-pesantren pun di obrak-abrik, pimpinannya ditangkapi  dan  diasingkan ke Tanah Merah Boven Digul. Demikian pulalah oom Pontjo Pangrawit ini yang menjadi anggota PKI,  tak luput dari penangkapan.

Di dalam tahanan oom Pontjo Pangrawit ini merasakan badannya sangat lemah dan tak berdaya. Kenapa? Karena ketagihan nyeret atau menghisap candu. Dia minta kiriman candu dan isterinya mengiriminya secara sembvunyi-sembunyi. Begitu menghisap candu, oom Pontjo menjadi trengginas gesit dan bisa berbicara berapi-api.  Tentu saja teman-teman mengkritiknya habis-habisan. Kata temannya : “bung Pontjo,  sampean ini betul anggota PKI atau anggota gadungan. Masak anggota PKI  kalah sama umpling candu.”

Tentu saja oom Pontjo tidak mau menerima kritikan seperti itu, sebab dia merasa berjuang anti Belanda sungguh-sungguh dan masuk menjadi anggota PKI  juga benar-benar secara sadar dan bukan ikut-ikutan.

Keesokan harinya dia tidak mau menghisap  candu. Umpling candu yang terbungkus timah itu diletakkan di lepekan  (piring kecil)  dan dia deleming (berbicara kepada diri sendiri). “E, umpling candu. Sakbenere kowe sing merintah aku opo aku sing merintah kowe. Aku iki Pontjo Pangrawit anggota PKI aku emoh mbok perintah. Mulai dino iki aku sing merintah kowe. Kowe kudu tunduk karo aku. Ngerti?”

Nah begitulah  pada hari itu oom Pontjo tergolek tidur tak berdaya, tapi dia tetap bertahan tak mau menyentuh  umpling candu itu.  Selama seminggu dia tergeletak tak mau makan hanya minum.

Di hari ke tujuh dia buang air dan kotorannya berwarna kehitam-hitaman. Isi perutnya terkuras habis. Oleh teman-teman setahanan dia di beri minuman teh  manis hangat. Keringat kekuar dari tubuhnya dan kemudian  oom Pontjo mau menyuap nasi.  Katanya baru kali itu oom Pontjo merasakan nikmatnya makan nasi.
Sesudah makan oom Pontjo merasa segar dan mulailah dia menyanyi :

Bangunlah kaum yang terhina,
bangunlah kaum yang lapar,
Kehendak yang mulia dalam dunia senantiasa tambah besar,
lenyapkan adat dan faham  tua, kita rakyat sedar sedar…………..dst. “.

Oom Pontjo menyanyikan  lagu itu sampai selesai dan kemudian menyanyikan lagi Darah Rakyat masih berjalan menderita sakit dan miskin.

Teman-teman seselnya mendiamkannya saja. Dan akhirnya dia beteriak :
“aku menang, aku menang.”
Dan diambillnya umpling candu di lepekan itu dan  dibuangnya ke WC, lalu kembali duduk bersama riungan teman-temannya.

Teman-temannya menyalami  dan berpelukan dengan oom Pontjo.  Sukses bung, sukses, Kalau mau terus berjuang kita pasti menang.
Nah itulah sekelumit cerita ayahku tentang oom Pontjo Pangrawit.

Sekarang aku harus teruskan cerita ibuku tentang Mbah Mangun  yang  gugur membawa cita-citanya.
Ketika itu  tanggal 8 April 1928.  Baru satu tahun  Tanah Merah Boven Digul dihuni oleh orang-orang pergerakan yang dibuang oleh kolonialis Belanda.
Udara cerah waktu itu dan sungai Digul yang bening airnya itu  mengalir deras seperti biasanya.  Ada anak-anak yang berperahu dan ada juga yang sedang mandi di tepian sungai Digul yang berkerikil dan berpasir hitam itu.

Matahari bersinar terang dan agak panas. Orang –orang yang mandi  sudah selesai dan kembali ke rumahnya masing-masing.  Mbah Mangun yang baru saja selesai makan siang turun ke sungai membawa piring-piring, panci  dan alat2 masak bekas beramai-ramai menikmati daging buaya. Ya, dua hari sebelumnya ada yang mancing dan mendapat seekor buaya yang lumayan besarnya.

Sebenarnya ransum (makanan) yang diberikan oleh Belanda cukup baik, ada rondvlees, ikan sardin, daging kornet , bruinebonen  dll.  tapi ikan segar dan daging segar memang tidak ada.
Bagi  mereka yang suka daging, daging buaya pun merupakan daging segar yang mungkin nikmat. Aku sendiri belum pernah mencoba dan tidak ingin mencoba memakannya.

Begitulah mbah Mangun dan beberapa orang temannya  menyembelih buaya hasil pancingan itu dan  memasaknya dengan bumbu-bumbu yang lengkap. Lezat, lezat sekali kata mbah Mangun.
Begitulah, mbah Mangun sambil mandi di sungai Digul  mencuci piring-piring dan alat dapur lainnya.

Ketika itu dua orang anak yang sedang bermain  perahu  mendayung ke arah hulu sungai Digul  melewati  tepian tempat  mbah Mangun mandi sambil berkata keras.  “Mbah, hati-hati   di sebelah hilir ada seekor buaya kuning sedang berenang ke hulu. “ kata kedua anak itu yang tak lain adalah  Parno dan abangku Darsono.

“Biar, biar saja,  wong buaya dagingnya juga enak”,  jawab mbah Mangun.
Sebentar kemudian abangku Darsono yang mengemudikan perahu menoleh ke belakang.
Aklangkah terkejutnya,  buaya yang ada di hilir mengangkat  kepalanya dan mbah Mangun melintang di mulut buaya itu.  Parno dan abangku Darsono sambil berteriak-teriak meminggirkan perahunya dan naik ke darat.
“Mbah Mangun diterkam buaya, mbah Mangun diterkam buaya.”

Penduduk Tanah Merah Digul berlarian ke tepi sungai Digul. Ada yang, membawa parang, panah, dll.  Sepasukan militer KNIL  segera datang. Di tepian sungai Digul menjadi ramai sekali. Bunyi dor, dor dor berulang-ulang terdengar menembaki buaya kuning yang ganas itu. Buaya itu sebentar-sebentar mengangkat kepalanya ke permukaan air tapi kemudian menyelam kembali. Hanya tembakan  bedil rupanya tak mampu membunuh buaya ganas itu.

“Bung Suro, pinjam belatinya”, kata oom Darsono kepada ayahku.  Ayahku memberikan  pisau belatinya kepada oom Darsono.  Ayahku  memang tak pernah melepaskan pisau belati itu dari pinggangnya. Sudah menjadi kebiasaannya sejak muda  tak pernah ketinggalan pisau belati walaupun ayahku sangat sabar dan tak pernah bertengkar atau berkelahi.  Pisau belati ayahku dilengkapi dengan tali kulit untuk diikatkan ke pergelangan tangan sehingga tak mudah terlepas dari tangan.

Oom Darsono (namanya sama dengan nama abangku ) perawakannya lebih kecil daripada ayahku. Tapi gerakannya gesit, pandai berenang dan pintar olah raga beladiri silat SH. Oom Darsono ini berasal dari semarang.
Dengan cekatan  hanya mengenakan celana pendek, oom Darsono berenang ke arah buaya di tengah sungai  Digul dan langsung buaya itu ditungganginya. Rupanya oom Darsono ini punya ilmu Djoko Tingkir barangkali.

Berkali-kali diuhunjamkannya pisau belati yang sangat tajam itu, diodet-odetnya perut buaya dan akhirnya buaya itu mati lemas ditarik berenang kepinggir.  Sungguh luar biasa. Jenazah mbah Mangun masih berada di mulut  buaya itu.  Beramai-ramai dengan pikulan dan entah apa lagi mulut buaya itu dingangakan dan berhasillah mbah Mangun dikeluarkan dari mulut buaya kuning yang ganas itu.

Nah itulah cerita menyedihkan ibuku, cerita mbah Mangun Atmodjo yang  gugur dalam perjuangan untuk mencapai kemerdekaan dan  membawa pergi cita-citanya.  Semoga saja anak cucunya meneruskan  cita-cita mbah Mangun yang walaupun kemerdekaan Indonesia sudah tercapai, kita belum terlepas dari kolonialisme model baru  atau nekolim. Bukan hanya anak cucu mbah Mangun tetapi siapa saja yang mencintai  tanah air dan rakyat, marilah cita-cita perjuangan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur kita  lanjutkan.

Mbah Mangun Atmodjo gugur pada  tanggal 8 April 1928 dan  dimakamkan di pemakaman ujung Kampung “B”.  Pemakaman kampung “B” inilah satu-satunya  tempat pemakaman pejuang-pejuang PKI = PERINTIS KEMERDEKAAN INDONESIA yang dibuang ke Tanah Merah Digul.  Di situ juga terdapat makam oom Ali Archam, oom Marco, oom Entolenoh dll.

Patah tumbuh, hilang berganti,
Mati satu, lahir seribu.
Kalau kakek pandir di Tiongkoik bisa memindahkan gunung.
Maka putra putri Indonesia  pasti mampu menghancurkan angkara murka,
Sisa-sisa orde baru    Suharto dan kroni-kroninya.

Tangerang  Kamis Wage 13 Desember 2007.  jam 01.21 WIB tengah malam.
Note  : maaf, aku gak sempat koreksi. Silahkan yang membaca mengoreksi sendiri .

Sumber: ChanCT <SADAR@netvigator.com>, ‘ MBAH MANGUN GUGUR MEMBAWA CITA-CITANYA’, _In” <GELORA45@yahoogroups.com>
Date: Monday, 28 June, 2010, 9:52 PM

Mampukah Indonesia Mengikuti Tradisi Politik Jepang?

Reflekis Sunny:  Di Jepang ada kata “gomenasai” [ma´af]. Kata ini atau permintaan maaf diucapkan oleh pemimpin perusahaan atau juga pada para politikus di depan umum. Lihat saja kepada pemilik dan pemimpin perusahaan Toyota datang dari Japengan meminta maaf di d kongres USA.
Hatoyama, waktu pemilihan umum bahwa dia  berjanji akan batalkan kontrak pangkalan militer US di pulau Okinawa, hal ini tidak dapat digenapi dan terpaksa harus harus berhenti dengan permintaan maaf.
Di Indonesia  tidak ada tradisi ini. Di Indonesia waktu pemilu macam-macam janji diucapkan, setelah dipilih oleh rakyat dan kursi empuk kekuasaan diduduki, janjinya dilupakan dan bukan itu saja malah menjadi bunglong korupsinya. Dari pemilu ke pemilu oknom-oknom yang sama muncul  untuk dinominasikan sebagai wakil rakyat.
Contoh klasik paling jelas, lihat saja pada Soeharto  dan konco-konconya serta para pendukungnya tak pernah minta maaf atas pembunuhan dan kekejaman yang dilakukan. Tingkah laku ini juga diteruskan pemerintahan sekarang rezim kekuasaan  SBY dan konco-konconya.  Salah satu faktor, mungkin pembunuhan, kebencian atau kesalahan  dibenarkan oleh agama menyebabkan orang tidak perlu melakukan permintaan maaf atau merasa menyesal atas tindakan yang merugikan sesama mahluk manusia.
Mampukah Indonesia Mengikuti Tradisi Politik Jepang?
Oleh : Harry Veryanto Sihite

di Indonesia, budaya kepemimpinan serta budaya politik masih saja menyisakan sejumlah masalah besar. Kendati bangsa ini sudah lama mendeklarasikan kemerdekaannya, namun hingga kini upaya pengisian kemerdekaan itu melalui pencerminan sikap dan perilaku, khususnya

para pemimpin bangsa ini tetap saja belum mengalami perubahan. Tradisi mempertahankan kekuasaan kendati sudah diambang kesalahan tetap saja dipertahankan. Bahkan yang dicari bukannya solusi, tetapi alasan pembenaran agar mereka terhindar dari jerat hukum yang sedang melilitnya.

Berbeda jauh misalnya kalau dibandingkan dengan Jepang. Penulis melihat perbandingan yang cukup kontras ini setelah baru-baru ini seorang pemimpin Jepang mengundurkan diri karena menganggap telah gagal dalam menjalankan amanah tugasnya. Adalah giliran Yukio Hatoyama yang memberi pelajaran itu. Kegagalannya memenuhi janji kampanye, yakni memindahkan pangkalan militer AS di kawasan penduduk padat di kepulauan bagian selatan, Okinawa, ke kawasan pantai yang lebih sepi di pulau itu, serta skandal pendanaan politik yang melibatkan dirinya bersama Sekjen Partai Demokratik Jepang Ichiro Ozawa, menjadi alasan bagi Perdana Menteri (PM) Jepang itu mengundurkan diri.

Hatoyama merupakan PM Jepang keempat yang mengundurkan diri dalam empat tahun terakhir. Hatoyama memenangi Pemilu Agustus 2009 berkat janjinya memindahkan Pangkalan Futenma milik AS di Okinawa atas desakan warga setempat. Namun, meski baru 8 bulan memimpin, dia memutuskan mundur karena tak berhasil menepati janji. Akhir-akhir ini PM Jepang itu memang terus mendapat tekanan.

Bahkan berdasarkan jajak pendapat beberapa media setempat, 61 persen dari responden menolak kabinet Hatoyama. Apa yang dilakukan Hatoyama dan beberapa perdana Menteri “Negeri Matahari Terbit” sebelumnya sangat bertolak belakang dengan yang diperlihatkan kebanyakan pemimpin di Nusantara. Di Indonesia, seorang pemimpin akan berjuang dengan berbagai cara mempertahankan kedudukannya, meski nyata-nyata gagal memenuhi janji dan tak habis-habisnya mendapat penolakan dari masyarakat, serta didemo dan dihujat.

Bahkan pemimpin di negeri ini cenderung menjadikan kekuasaan turun-temurun, berlanjut ke istri, anak, dan saudara. Tidak salah apabila ada pendapat bahwa urat malu para pemimpin di Indonesia sudah putus. Meski nama mereka berulang kali disebut-sebut terkait penyelewengan uang negara, diduga melakukan hal-hal terkait korupsi, tak satupun di antaranya yang bersedia mundur atau hanya sekadar meletakkan jabatan untuk sementara hingga kasus mereka terang benderang. Bahkan ketika bukti sudah kuat dan vonis sudah jatuh, tak sedikit di antara pemimpin yang jelas-jelas bobrok tetap keukeuh menyatakan diri mereka tidak salah.

Pernah Ada

Di Indonesia, budaya semacam itu memang pernah ada. Adalah Bung Hatta, wakil presiden pertama RI, yang telah menunjukkan jiwa dan semangat dari budaya politik itu. Dia mengundurkan diri sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956. Pengunduran diri itu setahun sebelumnya sudah diajukan. Hatta tidak ingin terhanyut dalam kekuasaan yang mulai tidak dikontrol lagi karena demokrasi mulai dibelokkan Soekarno menjadi demokrasi terpimpin. Setelah Hatta resmi mundur, dwitunggal Soekarno- Hatta yang telah melekat di hati rakyat selama lebih satu dasawarsa sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 retak.

Setelah itu, Soekarno melenggang sendiri sebagai presiden tanpa didampingi wakilnya hingga akhir kekuasaan dan akhir hidupnya. Dalam konteks berbeda, Soeharto juga mengundurkan diri sebagai presiden kedua RI di masa jabatan keenam, 21 Mei 1998, setelah aksi mahasiswa besar-besaran dalam gelombang reformasi yang tidak bisa dihindari. Keputusan Soeharto sangat berbeda dengan apa yang diambil Hatta. Soeharto mundur karena tekanan dan desakan, sedangkan Hatta karena inisiatif sendiri dan diajukan beberapa kali.

Dalam banyak aspek, masa pemerintahan Soeharto yang dikenal sebagai era Orde Baru justru banyak mematikan budaya politik yang telah ditanam para pendiri bangsa. Praktis, masa Orde Baru telah mengubah tradisi dan budaya politik Indonesia yang membekas hingga sekarang meskipun reformasi telah menjungkirbalikkan sistem dan tatanan politik lama. Tapi, budaya instan, korup, dan mengutamakan jabatan dan kepentingan kelompok makin kentara.

Tidak heran apabila dampak dari budaya instan dan korup di kalangan pejabat dan penyelenggara negara membuat mereka mempertahankan jabatan mati-matian.

Meskipun ada indikasi penyalahgunaan kewenangan, atau bahkan indikasi melakukan korupsi, mereka tidak mau mundur. Ironisnya, mereka terus berdalih dan mencari pengacara hebat untuk membela perbuatan dan mempertahankan kekuasaan. Mereka pun berdalih mundur bukan budaya Indonesia. Pelajaran politik berharga dari Jepang perlu direnungkan para pejabat dan penyelenggara negara.

Karena itu, seharusnya para pemimpin Indonesia belajar ke Jepang untuk membangkitkan kembali “urat malu”. Pemimpin bangsa ini seharusnya terketuk dan sadar bahwa jabatan adalah amanah yang harus dijalankan, bukannya dijadikan untuk aji mumpung, berbuat sesuka hati, apalagi untuk mengumpulkan kekayaan pribadi dengan berbagai cara guna dimanfaatkan sampai tujuh keturunan. Agar seorang pemimpin benar-benar amanah, maka budaya malu memang harus selalu dijaga.

Sebagai sesama bangsa Timur, pemimpin di Indonesia seharusnya malu atas apa yang dilakukan pemimpin dari Jepang yang dengan sportif dan dalam waktu singkat melepas jabatan karena tak berhasil memenuhi janji. Beberapa pemimpin negara Eropa saja-yang menurut anggapan bangsa Timur tak memiliki latar belakang budaya malu-ada yang berani mundur dari jabatan, tentunya sudah sangat keterlaluan apabila pemimpin Indonesia tetap ngotot menguasai jabatan hanya karena alasan dipilih rakyat, meski tak mampu berbuat apa-apa. Bukti banyak pemimpin di Indonesia tak mampu memenuhi janji mereka sendiri sudah cukup banyak.

Tapi nyatanya, kita belum pernah mendengar seorang pemimpin Indonesia mundur dengan alasan tak mampu menepati janji. Jika pun ada yang “cabut”, itu karena alasan lain, termasuk karena dimundurkan atasannya. Pemimpin di negeri ini lebih banyak yang berani malu ketimbang yang amanah. Buktinya kasus korupsi, kolusi, dan nepotisme tetap marak. Sanggupkah bangsa ini keluar dari jerat korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya.? Tentu jawabannya akan terlihat secara nyata bila negeri ini mampu menjadi pewaris tradisi politik Jepang, tradisi mundur bila ternyata gagal mengemban amanah rakyat. ***

Penulis adalah Mahasiswa FH Universitas HKBP Nommensen.
Sumber: sunny <ambon@tele2.se>,  ‘Mampukah Indonesia Mengikuti Tradisi Politik Jepang?’,  Tuesday, 29 June, 2010, 6:36 AM

_

Pluralisasi Narasi Sejarah Kemerdekaan Indonesia

Komentar Dari Sunny:

Diskusi-dikusi ini hanya diskusi saja, sebab tidak akan berpengaruh apapun terhadap perkembangan di kepulauan Nusantra, pertama  pemerintahnya bermain lempar batu dengan sembunyi tangan dan berbicara dengan lidah bercabang.
Sesuai penyelidikan unversitas Hidayallah yang dipublikasi dalam majalah Majemuk, Januari-Feburari 2008, dikatakan bahwa 70% dari kaum muslimin tidak menyetujui adanya pluralisme.



DISKUSI PANEL LEIDEN (1)
Pluralisasi Narasi Sejarah
Kemerdekaan Indonesia
Selasa, 22 Juni 2010, 16:26:46 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

Leiden, RMOL. Pada hari Sabtu (19/6) lalu di Universtas Leiden diselenggarakan Diskusi Panel  dengan tema “Pluralisasi Narasi Sejarah Kemerdekaan Indonesia”.

Diskusi Panel tersebut digelar oleh Panitia Penyelenggara, yang terdiri dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Leiden dan PPI Amsterdam, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) di Leiden, Jaringan Kerja Indonesia (JKI) di Belanda, Stichting (Yayasan) Indonesia Media, Stichting Sapu Lidi dan Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda di Den Haag.

Panel diskusi yang dimulai pukul 10.00 sampai pukul 16.00 yang dihadiri sekitar 80 peserta itu dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama mengupas tentang Pluralisasi Narasi Sejarah Kemerdekaan Indonesia Dan sesi kedua membicarakan soal mengenai Implikasi Pluralisasi Narasi Sejarah Kemerdekaan Indonesia

Berikut ini bagian pertama laporan A.Supardi Adiwidjaya, koresponden Rakyat Merdeka Online mengenai seminar tersebut.

Ketika sekelompok intelektual Belanda baru-baru ini menandatangani petisi menuntut pemerintah mereka untuk ‘sepenuhnya mengakui’ kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, perdebatan muncul di Belanda. Proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 tampaknya menyisakan berbagai isu yang belum tuntas namun dengan kapasitas yang kurang untuk menyelesaikannya. Ini termasuk proses yang sedang berjalan mengenai ‘state-formation’ dan ‘nation-building’ dari bangsa yang baru lahir ini.

Di sini, berbagai aspek mungkin bisa ditemukan dalam dalam fondasi dari isu-isu yang tidak pernah terucapkan (untuk mengatakan tidak tuntas) yang terjadi pada 1945-1950. Periode ini adalah masa ketika kedua bangsa Indonesia dan Belanda mengalami tahun-tahun yang bergolak: pembentukan Republik di satu sisi dan ‘hukum dan ketertiban’ di sisi lain. Beberapa isu dan cerita telah diajukan dan dibahas secara mendalam, namun banyak yang belum diketahui dalam masing-masing masyarakat Belanda dan Indonesia.

Demikian latar belakang yang diungkap oleh Panitia  Penyelenggara, yang menjadi dasar digelarnya Diskusi Panel dengan tema “Pluralisasi Narasi Sejarah Kemerdekaan Indonesia” pada hari Sabtu (19/6) lalu di Universitas Leiden tersebut.

Sekaitan ini, dalam bincang-bincang khusus dengan Rakyat Merdeka Online, salah seorang inisiator diselenggarakannya diskusi, Alpha Amirrachman yang saat ini sedang studi di Universiteit van Amsterdam menyatakan, latar belakang pertemuan ini adalah untuk mengeksplorasi  kisah-kisah yang mungin belum pernah terungkap, yang terjadi antara tahun 1945 sampai dengan tahun 1949 dari keduabelah pihak, baik pihak Indonesia maupun pihak Belanda. Supaya ada pemahaman kenapa pihak Belanda menganggap suatu peristiwa seperti ini, tetapi pihak Indonesia memandang peristiwa yang sama  dari sudut yang berbeda.

Misalnya saja, yang paling banyak diketahui umum itu adalah apa yang disebut oleh kita agresi militer, tetapi pihak Belanda aksi itu disebut dengan  “ketertiban umum”. Itu salah satunya.

Kita juga berusaha mencari narasi-narasi yang sifatnya lebih personal, yang kita bisa dapatkan dari mereka-mereka  yang memang sudah lama sekali, yang dalam pledoi itu  ikut berperan. Tetapi juga keluarga-keluarga mereka bisa menceritakannya.

Jadi pada intinya, ingin membangun hubungan yang baik dengan membangun pengertian bahwa sejarah itu bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Dan kita mengharapkan, narasi-narasi ini bisa masuk ke bidang yang mendasar: bidang penelitian, pendidikan dan bidang media.

Di  bidang penelitian secara scientific kita berusaha dengan metodologi yang tepat, menurut Alpha, menggali narasi-narasi yang ada mungkin melalui interview. Karena di pihak Belanda sendiri,  terdapat berbagai kelompok yang punya pandangan berbeda.

Pertama, di pihak Indonesia juga banyak kelompok-kelompok yang mungkin mengartikan suatu peristiwa dengan sudut pandang yang berbeda. Jadi itu kita akan berusaha simpulkan.

Dan kedua, dari pihak bidang pendidikan, kita akan berusaha untuk bisa masuk ke sekolah. Kita membayangkan, sekolah Indonesia dan sekolah Belanda punyai buku sejarah yang di-share.

Jadi di dalam buku sejarah itu ada pandangan Indonesia, ada pandangan Belanda mengenai  peristiwa yang sama, misalnya. Jadi, anak Indonesia juga tahu, ternyata pada saat itu di Belanda ada juga kelompok yang tidak mau dengan tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda ketika itu, misalnya.
Demikian juga hal yang sebaliknya. Ini mungkin dalam satu sisi sangat bisa emosional, tapi kita berusaha untuk bisa merangkum sebuah cerita yang ada untuk bisa membangun sebuah kesepemahaman  apa yang terjadi dimasa yang lalu untuk hal yang bisa lebih baik di masa yang akan datang. Khususnya bukan saja buat hubungan kedua negara level pemerintah, tetapi juga level masyarakat.

“Secara keseluruhan, saya dan saya kira, juga teman-teman panitia penyelenggara panel diskusi ini  juga mengharapkan, bahwa diskusi ini  menjadi awal langkah dari suatu proses yang mungkin panjang dan bermakna untuk kedua bangsa,” ujar Alpha.

Menurut Alpha, kedua bangsa selama ini mempunyai banyak perbedaan melihat suatu peristiwa dan itu harus bukan di-clearkan, tetapi dibuka, bahwa satu pihak harus bisa menerima,  jika pihak lain mempunyai pendapat lain dalam suatu peristiwa.

Ini bisa meningkatkan pemahaman kita semua, apa yang terjadi dimasa lalu untuk mempererat hubungan, tetapi juga tidak melupakan apa yang terjadi di masa lalu. Secara kritis kita melihat, tetapi juga dengan bersahabat menuju masa depan.

Yang penting dialog antara Indonesia dan Belanda terus berjalan. Dan  upaya menggali, karena bukan hanya di Belanda, tetapi juga di Indonesia kita juga harus mencari tahu narasi-narasi yang ada. (Bersambung).[rap]

DISKUSI PANEL LEIDEN (2)
Belanda Hanya Menerima 17 Agustus 1945
Sebagai Fakta Sejarah Awal Kemerdekaan RI
Rabu, 23 Juni 2010, 11:59:42 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

Leiden, RMOL. Seminar atau diskusi panel ini, sebagaimana diungkapkan oleh professor dari Universitas Twente, Nico Schulte Nordholt dalam makalahnya, berasal dari peluncuran petisi, di mana dia sebagai salah seorang penandatangannya.

Dalam petisi tersebut para penandatangan mengajukan permohonan kepada pemerintah Belanda untuk mengakui 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Sehubungan dengan petisi dimaksud, dalam presentasinya berjudul “Mengungkap narasi-narasi yang tersembunyi dari kemerdekaan Indonesia: Perspektif  Belanda”, Nico Schulte Nordholt menggaris bawahi dua poin.

Pertama, latar belakang dan alasan utama untuk meluncurkan petisi pada kesempatan perayaan 60 tahun penandatanganan Perjanjian Meja Bundar (KMB), 27 Desember 1949. Dan pada saat yang sama Nico Schulte menjelaskan perbedaan penting dengan perjanjian yang telah ada antara pemerintah Indonesia dan Belanda mengenai 17 Agustus 1945, yang dirumuskan pada tanggal 15 Agustus 2005 oleh Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot pada saat itu.

Dan kedua, akan menyebutkan empat narasi (cerita) yang berbeda dalam masyarakat Belanda mengenai 17 Agustus 1945. Dalam narasi-narasi tersebut, isi dan tujuan petisi dimaksud mendapatkan penentangan dan hal itu mencerminkan berbagai kepekaan dalam masyarakat Belanda mengenai tanggal tersebut.

Dalam buku-buku sejarah Belanda, menurut Nico Schulte, khususnya di sekolah, masih secara umum merujuk pada 27 Desember 1949 sebagai saat pemerintah Belanda mentransfer kedaulatan atas Hindia Belanda kepada pemerintah Republic United States of Indonesia, yaitu pada waktu itu masih minus Nieuw Guinea, saat ini dikenal sebagai Papua. Dari perspektif Indonesia hal tersebut dianggap sebagai suatu keanehan.

“Ketika saya menyebutkan ini di Indonesia saya  biasanya menerima respons berikut: Kedaulatan apa yang harus ditransfer tahun 1949? Ini sudah diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945. Ini adalah masalah Anda (Belanda) yang butuh waktu hampir 4,5 tahun untuk menerima proklamasi kami,” tutur Nico.

Tetapi, seperti respons yang sopan sekalipun, lanjut Nico, tidak mencerminkan kemarahan yang nyata, atau kadang-kadang bahkan perasaan tersinggung yang mendalam di pihak Indonesia. Ketika kedaulatan itu diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta tidak hanya menganggap seluruh wilayah bekas koloni dari Sabang sampai Merauke, tetapi proklamasi ini juga memandang negara baru itu sebagai Kesatuan Republik dan bukan sebagai struktur negara yang didorong oleh atas perundingan Indonesia di Den Haag, Belanda pada 1949.

Oleh karena itu, dengan alasan yang jelas, dalam waktu satu tahun kemudian perjanjian tanggal 27 Desember 1949 ini dibubarkan oleh Presiden Soekarno. Ini menyebabkan setidaknya dua kelompok di masa kini masyarakat Belanda, berada dalam lintasan yang tragis.

Pemerintah Belanda butuh waktu lebih dari 50 tahun sebelum mereka siap untuk meratifikasi sikapnya terhadap 1949. Yaitu, ketika di Den Haag, pada tanggal 15 Agustus 2005, di kesempatan Hari Peringatan pembebasan Pasifik dari pendudukan fasis Jepang, Menteri Luar Negeri Belanda, Ben Bot, membuat pernyataan sejarah yang diulang dua hari kemudian di Jakarta, ketika ia menghadiri upacara bendera nasional di Istana Merdeka.

Pada kesempatan itu Ben Bot menyatakan bahwa pemerintah Belanda menerima 17 Agustus 1945 sebagai fakta sejarah awal kemerdekaan Indonesia.

Ia menambahkan, Pemerintah Belanda pada 1945 berdiri di sisi yang salah dari sejarah, dengan semua implikasi tragis yang mengikutinya di tahun-tahun sesudahnya.

Dia pada waktu itu secara eksplisit mengacu pada tahun 1945-1950, tetapi, tentu saja kita semua tahu bahwa implikasi tragis ini tidak berakhir pada 1950. (Bersambung).[rap]

DISKUSI PANEL LEIDEN (3)
Pengakuan Secara Politik dan Rasa Moral 17/08/1945 Sebagai Kelahiran Kemerdekaan Indonesia
Kamis, 24 Juni 2010, 15:10:20 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

Leiden, RMOL. Menurut Nico Schulte Nordholt, bagi para penandatangan petisi, sikap resmi Pemerintah Belanda yang dirumuskan pada tahun 2005 dirasa tidaklah cukup.

“Ada dua alasan. Pertama, kami yakin bahwa ‘penerimaan’ 17 Agustus 1945 sebagai fakta sejarah secara signifikan berbeda dari permohonan kami untuk sebuah pengakuan sejati secara politik dan rasa moral 17 Agustus 1945 sebagai kelahiran  kemerdekaan Indonesia.

Dengan menggunakan ‘penerimaan’ , lanjut Nico, memang suatu peristiwa historis, yaitu proklamasi tidak lagi ditolak. Tetapi dengan ‘penerimaan’ tidak mengakui makna yang lebih dalam dari proklamasi ini, yaitu fakta bahwa masyarakat Indonesia memiliki hak untuk memproklamasikan kemerdekaan mereka.

‘Pengakuan’, juga menyiratkan pengakuan gerakan nasionalis yang kuat telah mendorong proklamasi ini, dengan segenap implikasi politik, juga untuk saat ini.

“Secara pribadi saya percaya bahwa pemerintah Belanda, tidak hanya pada tahun 1945, tetapi sampai saat  ini, dengan tetap berpegang pada pernyataannya tentang ‘penerimaan’ , belum cukup mengakui kekuatan nasionalisme dalam masyarakat dan politik Indonesia,” terang Nico.

Meremehkan gerakan yang kuat ini, menurut Nico, tidak hanya menyebabkan semua upaya tragis yang ada, termasuk kekerasan, untuk melindungi (terutama ekonomi) kepentingan di paruh kedua tahun empat puluhan pada pada akhir abad ini, tetapi juga menyebabkan banyak ketegangan antara kedua negara pada tahun-tahun sesudahnya. Meskipun pemerintah kedua negara ini menyatakan bahwa hubungan antara kedua negara sangat baik.

Alasan kedua, penandatangan tidak akan puas dengan pernyataan Ben Bot di 2005, terkait dengan situasi Belanda. Meskipun Bot telah mengakui “implikasi tragis” sebagai implikasi dari “berdiri di sisi sejarah yang salah “, ia dengan cara yang sangat rahasia, merujuk ke berbagai narasi negatif warga Belanda waktu itu dan seterusnya.

Permohonan para pencetus petisi untuk benar-benar mengakui dalam secara politik dan moral 17 Agustus 1945 menyiratkan bahwa ini sulit terwujud. Kelompok-kelompok yang  menjadi korban keputusan historis yang salah akan terus menentang pengakuan murni 17 Agustus 1945 sebagai kelahiran kemerdekaan Indonesia.

Di antara berbagai kelompok yang menganggap diri mereka sebagai korban ‘sejarah’, di sini Nico menyebut empat kelompok.

Kelompok pertama, para veteran yang dikerahkan sebagai tentara Belanda Hindia Timur pada tahun-tahun 1945-1949. Banyak diantara veteran ini yang mengklaim bahwa dalam hal jika pemerintah Belanda akan mendukung permohonan tersebut, mereka tidak hanya menderita sia-sia, dan dalam retrospeksi, dapat dituduh melakukan kejahatan perang.

Kelompok kedua di masyarakat Belanda yang sangat menentang petisi ini terdiri dari orang-orang dengan latar belakang yang disebut Eurasia, sebagian besar keturunan orang tua Belanda dan Indonesia.

Banyak dari mereka telah sangat menderita dari kekejaman masa Bersiap. Bahkan jika mereka sendiri tidak mengalami kekejaman ini, generasi kedua atau bahkan generasi ketiga dari mereka yang melakukannya, mereka sangat emosional dan sering menolak ide pengakuan oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 17 Agustus 1945 sebagai hak dasar dari orang Indonesia.

Kelompok ketiga yang juga dapat dianggap sebagai ‘korban sejarah’ adalah Maluku dan Papua yang, untuk alasan yang berbeda, hidup dalam masyarakat Belanda. Orang-orang Maluku pada awalnya, sebagai mantan tentara KNIL, dikapalkan ke Belanda dengan keluarga mereka di bawah argumen palsu dari sebuah “sementara pengaturan” untuk menghindari amukan TNI.

Akan tetapi ternyata, mereka dan keturunan mereka saat ini tinggal permanen di beberapa kota di Belanda. Kelompok keempat  jumlahnya lebih kecil dari orang Maluku,tapi mungkin bahkan lebih tragis dalam hal posisi mereka dalam masyarakat Belanda, terdiri dari sekitar 3.000 orang Papua.

Sebagian besar mereka tiba di Belanda setelah 1969 ketika akhirnya wilayah Kesatuan Republik Indonesia telah sesuai dengan bekas koloni Belanda, dari Sabang sampai Merauke.

Orang-orang Papua ini termasuk dalam komunitas yang  pada tahun 1949 sudah diperlakukan berbeda oleh pemerintah Belanda dengan menuntut posisi khusus untuk ini daerah dalam Perjanjian KMB.

Selama dua puluh tahun berikutnya populasi ini telah ditipu oleh Pemerintah Belanda dengan pertama-tama menjanjikan mereka status politik independen. Tetapi ketika politik ini tidak lagi layak di konteks internasional pada tahun enam puluhan abad terakhir, pemerintah Belanda kemudian membiarkan mereka.

Orang Papua yang sejak saat itu dan seterusnya menghadapi lintasan sejarah mereka sendiri di bawah naungan RI, yang, pada saat ini masih banyak menyebabkan peristiwa tragis dan pelanggaran HAM. Orang Papua yang hidup dalam pengasingan di Belanda berbagi emosi dengan kerabat mereka di Papua.

Pemerintah Belanda, menurut Undang-Undang sendiri, juga memiliki suatu kewajiban moral untuk meningkatkan suara terhadap setiap pelanggaran hak asasi manusia di seluruh dunia.

Tetapi menurut Nico Schulte, lebih khusus ketika hal ini terjadi di Papua. Namun, ketika ternyata bahwa pemerintah ini tidak dapat benar-benar mengakui dan, kemudian, dengan cukup menjawab implikasi luas dari keputusan sejarahnya yang keliru, seperti di tahun 1945,  maka ia berdiri lemah vis-à-vis panggilan kewajiban moral pada saat ini terhadap masyarakat Papua untuk melindungi mereka dari pelanggaran hak asasi yang mendalam. (Bersambung).[rap]

DISKUSI PANEL LEIDEN (4)
Menyiapkan Diri untuk Bentuk-bentuk Hubungan Indonesia Belanda
Jumat, 25 Juni 2010, 15:12:31 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

Jakarta, RMOL. Wakil Kepala Perwakilan RI untuk Kerajan Belanda, Umar Hadi diundang hadir dalam Diskusi Panel tersebut sebagai salah seorang pembicara.

Memulai paparannya, Umar Hadi menyatakan, “Perkenankan saya menempatkan dua hal dalam: Pertama, saya berbicara pada kapasitas pribadi saya. Opini, sudut pandang dan argumen karenanya adalah milik saya sendiri.  Pendapat-pendapat ini tidak selalu mewakili Kedutaan Besar Republik Indonesia ataupun Pemerintah. Kedua, judul buat saya datang dari penyelenggara. Saya telah kesulitan untuk menghubungkan langsung dua ide utama: ‘narasi yang tersembunyi’ dan ‘bentuk-bentuk baru hubungan’. “

Umar Hadi menunjuk pada judul makalah, yang diusulkan Pantia Penyelenggara Diskusi Panel baginya, yang dimulai dengan kata praktis “Exploring” (Menjelajahi) . “Karenanya saya hanya akan menggunakan kebebasan untuk menjelajahi dua poin yang saya harap relevan: Apa arti dari sesungguhnya dua kalimat sederhana dalam deklarasi kemerdekaan Indonesia? Apa arti yang sesungguhnya dari ‘kemitraan komprehensif’ antara Indonesia dan Belanda?” ujar Umar Hadi.

Poin pertama, lanjut Umar Hadi, dua kalimat sederhana yang mengguncang dunia. “Kami Bangsa lndonesia dengan ini menvatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain dilaksanakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatny a.”

Kata kunci ini “menyatakan” atau “to declare”. Sekaitan ini, menurut Umar Hadi, pertanyaannya: dapatkah kita menyatakan kemerdekaan kita sendiri? Apakah kemerdekaan dapat dihasilkan dari tindakan sepihak? Hari ini, mudah kita katakan: ya! (Kosovo adalah kasus terbaru). Tapi tidak tahun 1945. Deklarasi kemerdekaan Indonesia mendapatkan reaksi keras. Penolakan dari Belanda tentu saja signifikan.

“Tapi, lebih dari itu, hukum internasional yang sudah ada disediakan kesempatan yang lebih baik untuk sistem kolonial untuk menang,” tegas Umar Hadi. Sebuah deklarasi, lanjut Umar Hadi, tidak secara otomatis membuat fakta hukum baru. Misalnya, ketika sseseorang menyatakan kepemilikan dari sesuatu, dia harus menunjukkan bukti bahwa ia memang berhak untuk membuat deklarasi itu.

Oleh karena itu, kembali ke pertanyaan sensitif: apakah wilayah jajahan memiliki hak atau tidak untuk menyatakan kemerdekaan sendiri. Pada 1945, hukum internasional mengatakan “Tidak”. Pada tahun 1945, hukum mengatakan bangsa terjajah tidak punya hak untuk kemerdekaan. Namun demikian, Indonesia menegaskan ide baru bahwa “kemerdekaan adalah hak asasi setiap bangsa dan sistem kolonial karena itu harus dihapuskan karena bertentangan dengan kemanusiaan dan keadilan”. Dan itu adalah kalimat pertama dari konstitusi Indonesia. Ini berfungsi sebagai dasar konseptual untuk deklarasi kemerdekaan Indonesia.

Hal ini juga menjelaskan kata kunci dalam kalimat yang kedua dari deklarasi: “pemindahan kekuasaan” atau “mengambil-alih kekuasaan “. Karena kemerdekaan adalah hak kita, kita tidak perlu menunggu transfer kekuasaan (atau “serah-terima kekuasaan”) – kami berhak untuk hanya mengambil-alih. Oleh karena itu, sebuah konsep baru: hak untuk kemerdekaan. Konstitusi Republik Indonesia, atau urutan nasional baru yang Indonesia ingin menetapkan, pada akhirnya didasarkan pada konsep baru. Sementara itu, Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, atau tatanan internasional baru yang ingin didirikan pemenang Perang Dunia II, gagal untuk mengenali konsep baru.

Piagam PBB tidak mengakui konsep pemerintahan sendiri (Art 73) dan pemerintahan sendiri melalui sistem perwalian (Art 76). Namun, hak penentuan nasib sendiri tidak diakui sebagai prinsip yang terkandung hak untuk kemerdekaan. Oleh karena itu, kemerdekaan hanya dapat diberikan jika disetujui oleh pihak penjajah. Kemudian transfer kekuasaan akan mengikuti.

Pada tanggal 14 Desember 1960, Perserikatan Bangsa-Bangsa diakui terlambat untuk mengakui hak menentukan nasib sendiri sebagai norma hukum baru (Res I5l4 “Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negara dan Rakyat Kolonial”). Sangat menarik untuk dicatat bahwa Konstitusi Indonesia dan PBB Piagam itu dibahas dan disimpulkan selama kurang lebih sama dalam jangka waktu tertentu yang bersamaan. Masa turbulensi saat utama global shift sedang berlangsung. Tatanan dunia berubah, cepat dan radikal. Norma-norma, nilai-nilai dan prinsip-prinsip baru yang global muncul.

Kemerdekaan Indonesia mewakili ide-ide baru, dan mendorong mereka maju. Sementara Piagam PBB harus mewakili tidak hanya ide-ide baru tapi juga kekuatan global dan kepentingan yang bermain.

Suatu kisah (narasi) yang mungkin untuk dieksplorasi lebih lanjut: kemerdekaan Indonesia tidak hanya (kurang teratur) proses dekolonisasi tetapi juga tanda penting dalam terciptanya sebuah tatanan dunia baru. Dalam ungkapan yang lebih sederhana: Indonesia bukan hanya melawan Belanda; Indonesia adalah untuk mengubah dunia.

“Poin kedua saya: sebuah “kemitraan” yang mengguncang dunia,” ujar Umar Hadi.

Umar Hadi berpendapat, fakta-fakta di sekitar “Perjanjian Kemitraan  Komprehensif Indonesia-Belanda” sudah dikenal. Pada bulan Agustus 2005, kemudian Menteri Luar Negeri Ben Bot mengadakan sebuah resepsi resmi di Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Ben Bot membuat pernyataan bersejarah yang menyatakan bahwa, dengan alasan politik dan moral, Belanda ‘mengakui’ 17 Agustus 1945 sebagai ‘hari ketika Indonesia menjadi sebuah negara merdeka’.

Selain itu, lanjut Umar Hadi, kemudian Ben Bot dan rekannya, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, sepakat untuk memulai negosiasi perjanjian payung yang akan menguraikan komitmen untuk memperluas dan memperdalam kerjasama
di segala bidang. Ini adalah catatan baik apa yang telah dilakukan dan apa yang dapat dan harus dilakukan; serta pernyataan visi.

“Pada bulan Januari 2009, menteri luar negeri Verhagen dan Wirajuda menorehkan inisial mereka pada dokumen. Oleh karena itu, siap untuk ditandatangani oleh dua kepala pemerintahan – semoga akhir tahun ini,” papar Umar Hadi.

Selanjutnya Umar Hadi memberikan beberapa catatan tentang bagaimana seharusnya sebuah kemitraan:
– Karena ini sejarah kita bersama, bukan sebaliknya. Mitra itu sejajar. Memiliki nilai dan visi bersama.
– Dengan-desain, bukan oleh-default. Hubungan yang terstruktur dan dilembagakan. Kolaborasi yang direncanakan dan dipikirkan secara mendalam.
– Berpusat pada masyarakat. Manfaat-manfaat nyata dan peluang baru. Interaksi yang kental. Model partisipatif dan pemberdayaan model.
– Kapasitas untuk berkontribusi secara signifikan ke seluruh umat manusia.

“Poin terakhir: mari kita membangun “monumen” damai,” ujar Umar Hadi mengakhiri paparannya. (Bersambung) [arp]

DISKUSI PANEL LEIDEN (5)
Kekuasaan Kolonial Bawa Peradaban Semu yang Sesungguhnya Bersifat Rasis
Minggu, 27 Juni 2010, 15:35:30 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

Jakarta, RMOL. Sabtu (19/6) lalu di Universtas Leiden diselenggarakan Diskusi Panel  dengan tema “Pluralisasi Narasi Sejarah Kemerdekaan Indonesia”.

Diskusi Panel tersebut digelar oleh Panitia Penyelenggara, yang terdiri dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Leiden dan PPI Amsterdam, Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) di Leiden, Jaringan Kerja Indonesia (JKI) di Belanda, Stichting (Yayasan) Indonesia Media, Stichting Sapu Lidi dan Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Kerajaan Belanda di Den Haag.

Panel diskusi yang dimulai pukul 10.00 sampai pukul 16.00 yang dihadiri sekitar 80 peserta itu dibagi dalam dua sesi. Sesi pertama membahas soal tentang Pluralisasi Narasi Sejarah Kemerdekaan Indonesia. Dan sesi kedua membicarakan soal mengenai Implikasi Pluralisasi Narasi Sejarah Kemerdekaan Indonesia.

Berikut ini bagian kelima laporan A.Supardi Adiwidjaya, koresponden Rakyat Merdeka Online mengenai seminar tersebut.

Hal yang cukup menarik dalam sesi pertama diskusi, seorang remaja Indonesia, Iskandar (berusia 15 tahun), murid tahun ketiga di Barlaeus Gymnasium Amsterdam, yang secara singkat menceritakan pelajaran sejarah di sekolahnya. Menurutnya, pada saat pelajaran sejarah di sekolah, tentang kolonialisme hanya disebutkan bahwa itu adalah zaman keemasan Belanda. Juga dengan pelajaran geografi, hanya dilampirkan gedung-gedung yang bagus zaman kolonial di Indonesia, tapi tidak disebutkan apa fungsi dari gedung-gedung itu dan juga tidak ada gambar rumah-rumah penduduk yang berada di kampung-kampung.

“Saya merasa peran Belanda di Indonesia terlalu samar, hanya permukaan saja diungkap. Nampaknya tidak ada keberimbangan. Saya mendapatkan kesan seolah-olah guru orang Belanda malu untuk bercerita secara mendetil tentang kolonialisme,” ujar Iskandar.

Menanggapi apa yang dikatakan oleh Iskandar, Prof Jan Breman (Universitas Amsterdam) menyatakan, “Ini menarik sekali dan ini mencerminkan khas situasi Belanda dan saya kira ini merefleksikan bukan hanya rasa malu, tapi menunjukkan ketidakpedulian dan perasaan ‘superior’ di pihak Belanda”.

Sekaitan ini, Prof Breman membeberkan contoh, bahwa Perdana Menteri Belanda yang baru saja turun ini pernah minta, agara Belanda kembali kepada mentalitas VOC untuk bisa maju. “Jadi kita sebenarnya bukan malu dengan masa lalu kita, tapi bangga dengan masa lalu kita,” ujar Jan Breman mengritik permintaan PM Belanda yang baru turun dimaksud.

Sebelumnya, dalam presentasi “Non-Acknowledgement by the Netherlands Goverment of Indonesia’s Declaraton of Independence” atau dalam bahasa Indonesia “Penolakan Pemerintah Belanda terhadap deklarasi kemerdekaan Indonesia”, Prof Breman menyatakan, sikap penolakan Belanda terhadap aspirasi masyarakat Indonesia untuk menyingkirkan dominasi kolonial banyak disebabkan oleh adanya anggapan umum bahwa kiriman uang dari koloni itu diperlukan untuk kesejahteraan berkelanjutan Belanda. Disajikan dalam slogan: Indie verloren rampspoed geboren (Hindia-Belanda hilang musibah datang).

Hal ini, menurut Jan Breman, harus dilihat dalam konteks historis, tahap akhir dari lintasan akhir‐kolonial. Gubernur Jenderal Belanda di awal 1930‐an mengatakan bahwa di Hindia Belanda akan membutuhkan waktu setidaknya seratus tahun lebih untuk siap dan mampu menjalankan pemerintahan sendiri.

Sehubungnan dengan ini, Breman berpendapat, pada akhirnya ini berbicara masalah kepentingan ekonomi, termasuk operasi-operasi militer di Indonesia adalah juga untuk melindungi kepentingan ekonomi. Dalam hal ini melindungi perkebunan tembakau, karet dan teh yang harus diamankan pada operasi militer yang disebut ‘operasi produk’.

Perang kolonial terakhir disebut police action (aksi polisional), menurut Breman, untuk membuatnya lebih bisa diterima tidak hanya di luar negeri tapi juga kepada orang‐orang Belanda. Propaganda resmi dan wartawan yang diikutkan yang harus memanipulasi berita. Dalam angan‐angan itu menunjukkan bahwa orang di jalan itu bersyukur atas kembalinya hukum dan ketertiban Belanda.

Memberi tanggapan atas manipulasi berita tentang “hukum dan ketertiban” Belanda tersebut, Jan Breman menunjuk pada buku yang ditulis oleh Louis Zweers, yang menceritakan kisah nyata tentang perang kejahatan seperti di Rawah Gedeh (Rawagede).

Kepentingan ekonomi berperan penting dalam memulai police action pertama dan kedua. Memutar kembali Republik dari daerah mana ia beroperasi, beroperasi produk. Operasi komoditi untuk menguasai daerah perkebunan dan memulihkan produksi komoditas yang sangat diperlukan untuk merevitalisasi perekonomian Belanda.

Bersamaan dengan itu, kekuasaan kolonial dianggap sebagai hak untuk mendominasi, sebagai misi peradaban. Namun, Jan Breman berpendapat,  gagasan bahwa kekuasaan kolonial membawa hukum dan ketertiban, dimana hal itu tidak ada. Ia (kekuasaan kolonial) membawa peradaban semu, yang sesungguhnya bersifat rasis. (Bersambung). [arp]

DISKUSI PANEL LEIDEN (6)
Tjitske Lingsma: Bagaimana Bangsa Belanda Dapat Belajar dari Bangsa Jerman
Senin, 28 Juni 2010, 12:41:49 WIB

Laporan: A. Supardi Adiwidjaya

Jakarta, RMOL. DALAM presentasinya, Tjitske Lingsma, wanita yang berfrofesi jurnalis lepas yang berbasis di Amsterdam ini, memulai paparannya tentang upacara peringatan 4 Mei – Hari Korban Perang yang merupakan Hari Nasional Belanda.

“Pada tanggal 4 Mei, di malam hari, negara ini (Belanda – red.) menjadi hening. Pukul delapan banyak orang – biasanya – menghormati dua menit keheningan nasional untuk mengingat warga dan tentaranya yang meninggal selama dan setelah Perang Dunia Kedua dalam konflik kekerasan. Artinya – kita menghormati warga Belanda yang menjadi korban selama perang,” ujar Tjitske.
Upacara tersebut, lanjut Tjitske, tidak termasuk korban teror oleh Belanda. Secara umum kami lebih memilih untuk menutup mata kami untuk kekerasan, rasa sakit dan penderitaan yang disebabkan oleh kita (Bealnda – red.). Bahkan dalam kasus yang jelas bersalah.
Menurut Tjitske, itulah yang dialami desa Rawagede di Jawa – saat ini disebut Balongsari. Menteri Luar Negeri Belanda, Maxime Verhagen, menyatakan “penyesalan mendalam ketika ia bertemu dengan saudara dari kemungkinan 431 orang yang terbunuh di Rawagede oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947”. Kemudian Verhagen menjelaskan dia tidak menawarkan permintaan maaf karena kata maaf menyatakan adanya hubungan pribadi, yang tidak ada di sana (ia lahir setelah pembantaian itu), dan karena ‘klaim’ yang mungkin terlibat.
Pertumpahan darah telah menjadi sorotan sejak sekelompok janda dan satu korban resmi menuntut tanggung jawab Belanda atas pembunuhan itu. Namun, menurut jaksa pemerintah Belanda kasus tersebut kadaluwarsa dan kompensasi tidak dibahas. Meskipun desa itu dijanjikan bantuan pembangunan dari pemerintah Belanda.
“Sementara itu, kasus ini tampaknya akan hilang dalam perdebatan semantik. Apa yang harus dipikirkan mengenai upaya oleh Duta Besar Belanda Nikolaos van Dam yang ditawarkan pemerintah Belanda ‘alasan’ terhadap adanya kekerasan pada periode 1945-1949. Apakah Van Dam menawarkan permintaan maaf resmi atau dia mengekspresikan penyesalan. Duta Besar sendiri mengatakan kata-katanya bisa ditafsirkan sebagai ‘permintaan maaf’, “ jelas Tjitske.
Kasus Rawagede, lanjut Tjitske, merupakan simbolik cara Belanda berurusan dengan masa lalu kolonialnya. Sementara fokus, misalnya di media, pada pembantaian tertentu, kerangka yang lebih luas, di mana pertumpahan darah itu terjadi, telah diabaikan. Tahun-tahun ‘politionele actie’ (aksi polisional) mencerminkan kejutan terakhir dari kekuasaan kolonial di wilayah besar kepulauan Indonesia, yang ditaklukan dengan kekerasan masa kurang lebih 350 tahun. Pertumpahan darah di Rawagede itu bukan pengecualian, tetapi cocok dengan pola berdarah yang membentang selama waktu yang sangat lama. Namun, dalam memori kolektif masyarakat Belanda masih merasakan Belanda hanya sebagai gubernur paternalistik dan bukan sebagai penjajah kejam.

Ketika tahun 2002 Belanda merayakan fakta bahwa 400 tahun sebelumnya, pada tahun 1602, Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) didirikan, upacara yang mengelu-elukan masa lalu kolonial terasa dominan. Kemudian Perdana Menteri Belanda Jan Peter Balkenende mendengungkan mitos lama, ketika ia memohon dengan asyiknya di Parlemen, dengan mengepalkan tinjunya di udara: “Katakanlah: Belanda sekali lagi mampu melakukannya.” Itu VOC-mentalitas.

“Beberapa tahun sebelumnya, tahun 2000, sebagai wartawan saya mengunjungi untuk pertama kalinya Maluku di mana perang sipil antara Kristen dan Muslim masih berlangsug. Penelitian saya ke akar konflik mengakibatkan konfrontasi pribadi dengan sisi-sisi gelap kolonialisme Belanda, yang saya jelaskan dalam buku saya ‘Het Verdriet van Ambon. Een geschiedenis van de Molukken’ ‘(Dukacita Ambon. Sebuah sejarah Maluku),” tutur Tjitske Lingsma lebih lanjut.

Ini adalah sejarah, kata Tjitske, di mana sebagai spesialis Anda pasti mengetahuinya dengan sangat baik. Tetapi bagi yang lain yang bukan ahli, seringkali cukup terkejut, ketika mereka membaca tentang apa yang terjadi di pulau-Banda – di mana kapal-kapal Belanda pertama kali mendarat pada tahun 1599. Ini kepulauan kecil merupakan satu-satunya tempat di dunia di mana pala tumbuh. VOC mencoba memonopoli perdagangan rempah-rempah yang sangat berharga ini.

Orang Banda menolak upaya ini dengan segala kemampuan mereka. Pada 1621 Gubernur-Jenderal VOC di Asia, Jan Pieterszoon Coen, berlayar ke kepulauan kecil ini untuk mengakhiri perlawanan semua dan menaklukkannya. Dalam waktu beberapa minggu tentara VOC membunuh sebagian besar penduduk Banda. Menurut plakat di sebuah monumen yang didirikan untuk para korban kolonialisme di kota Banda-Neira dalam perang de dengan VOC (pada tahun-tahun 1602-1621) sekitar enam ribu orang dibunuh, 789 orang diperbudak, sementara hanya 1.700 orang berhasil melarikan diri.

Menurut Tjitske, Pulau Banda yang menjadi tidak berpenghuni dibagi antara pejabat VOC yang menjadi pemilik perkebunan pala. Namun pulau-pulau Banda tersebut bukanlah satu-satunya tempat di Maluku dimana VOC melakukan kekejaman mengerikan. Setelah VOC menaklukkan Banda Ambon dan pulau-pulau sekitarnya untuk memaksa monopoli atas perdagangan cengkeh. Selama Perang Ambon mungkin puluhan ribu orang tewas dan seluruhnya pulau dibuat menjadi tidak berpenghuni.

Kejahatan-kejahatan perang itu dilakukan di abad ke-17. Sejarah-sejarah yang lebih baru menawarkan banyak contoh tragis lain. Seperti penaklukan Aceh (1873-1912) dan ‘pacification’ pulau seperti Lombok. Atau hanya memikirkan kapten Raymond Westerling dan Depot Speciale Troepen-nya (unit yang, seperti biasa, termasuk banyak orang Indonesia) yang pada 1946-1947 selama kampanye kontra teror mereka membakar habis desa-desa, menyiksa dan mengeksekusi orang-orang. Menurut perkiraan Belanda 3.130 orang tewas dalam operasi ini, sedangkan sumber Indonesia mengklaim 40.000 orang tewas. Perkiraan mungkin berbeda, tetapi jelas bahwa dalam perang kolonial terakhir ribuan dan ribuan orang tewas oleh pasukan Belanda dan Indonesia.

Korban perang Belanda selalu menuntut permintaan maaf dari Jepang karena kejahatan perang terhadap mereka selama Perang Dunia Kedua. Sama seperti orang-orang yang menderita di tangan Nazi Jerman itu ingin minta maaf atas kekejaman ini. Para korban dari kedua rezim mengerikan pantas untuk diakui. Sama seperti orang lain.

“Oleh karena itu akan pantas bagi pemerintah Belanda untuk meminta maaf atas suatu perbuatan yang tidak berlangsung bukan selama tiga tahun, tapi tiga abad. Isyarat itu mungkin tidak hanya menghilangkan rasa sakit dan penderitaan di kalangan di Indonesia,” jelas Tjitske.

Hal ini juga bisa menimbulkan pandangan yang lebih realistis di antara orang-orang Belanda pada masa kolonial mereka sendiri. Hal ini akan lebih dari memadai terutama sekarang, pada saat perubahan lokal, perubahan regional dan global yang membingungkan- sedangkan Belanda jauh lebih difokuskan pada diri mereka sendiri dan menunjukkan minat begitu banyak terhadap sejarah nasional mereka.

Dan mungkin tahun depan kita bisa mengundang Duta Besar Jerman yang mengatakan bahwa jika ia ditanya ia ingin berpartisipasi dalam peringatan nasional di Dam Square pada tanggal 4 Mei untuk meratap bersama-sama orang Belanda yang meninggal dalam perang sejak 1940. Tahun ini dia tidak diterima di Amsterdam. Bahkan meskipun tidak banyak negara telah mengambil penderitaan untuk menunjukkan penyesalan atas apa yang mereka lakukan secara serius sebagaimana yang dilakukan Jerman itu (meskipun banyak penjahat perang Jerman tidak lolos dari hukuman).

Tjitske menyebutkan Kanselir Willy Brandt yang berlutut di monumen untuk korban Pemberontakan Ghetto Warsawa, atau lebih baru pendirian Monumen untuk orang-orang Yahudi yang dibunuh di Eropa di Berlin.

Tjitske berpendapat, Belanda bisa belajar dari Jerman. Karena Belanda masih merasa sulit untuk membuat gerakan yang sama untuk perbuatan yang salah pada masa kolonial di Indonesia – yang hanya berhenti pada tahun 1949, tepat setelah pendudukan Nazi. (Cukup menarik, Belanda itu mendirikan sebuah monumen nasional untuk mengingat korban perdagangan budak yang dihapuskan pada 1863).

“Saya pikir, sudah waktunya untuk sepenuhnya mengakui 17 Agustus 1945 sebagai tanggal kemerdekaan Indonesia. Dan untuk mengambil tanggung jawab kita untuk meminta maaf dan menunjukkan penyesalan atas korban kekerasan, pembunuhan, penyiksaan, pelecehan dan teror yang kita lakukan di Nusantara,” ujar Tjitske mengakhiri paparannya.. (Bersambung) [arp]

Sumber: sunny <ambon@tele2.se>
Subject: Re: [GELORA45] DISKUSI PANEL LEIDEN (1 – 6) Pluralisasi Narasi Sejarah Kemerdekaan Indonesia
To: GELORA45@yahoogroups.com
Date: Monday, 28 June, 2010, 8:36 PM

SEKITAR DISKUSI PANEL LEIDEN, 19 JUNI 2010

Pagi ini saya baca di Rakyat Merdeka On Line — –  –

Laporan A.Supardi Adiwidjaya (1  s/d  5), koresponden Rakyat Merdeka Online mengenai

DISKUSI PANEL LEIDEN, dengan tema
Pluralisasi Narasi Sejarah Kemerdekaan Indonesia.

*    *    *

Saya kumpulkan lima laporan Bung itu dan membacanya sekali. Saya masih akan baca beberapa kali lagi.

Saya berterima kasih sekali atas laporan Bung itu, yang memberikan gambaran cukup luas mengenai jalannya
Diskusi Panel dan pendapat-pendapat yang diutarakan di situ. Adalah Bung Alpha yang memberitakannya di Facebook, bahwa ada laporan Bung  itu. Terima kasih pada Bung Alpha. Sebelumnya, dalam suatu percakapan tilpun Mbak Farida Ishayamenceriteraka nnya pada saya.

Laporan seperti yang dibuat Bung Supardi amat diperlukan, baik sebagai catatan dokumentasi maupun sebagai berita segar dari Belanda untuk pembaca di Indonesia.
Seingat saya adanya diskusi panel dengan tema seperti itu, baik mengenai partisipasi maupun temanya
adalah baru pertema kali ini.


Kesan saya membaca laporan Bung Supardi, —– petemuan itu merupakan permulaan yang sukses.
Maka bagaimana caranya memfollow-up- kannya. Supaya usaha yang positif tsb ditindak-lanjuti.

Kiranya ada baiknya Panitia penyelenggara segera menyusun dokumen-notulisasi mengenai Panel tsb.

Salam hangat,

Isa

Sumber:: “MEDIACARE-MEDIACARE-MEDIACARE” <mediacare@yahoogroups.com>
Date: Monday, 28 June, 2010, 9:53 PM

MEMELIHARA OPTIMISME MENEMUKAN KEMBALI INDONESIA

Jurnal Toddoppuli

Cerita Untuk Anmdriani S.Kusni & Anak-Anakku

Sudah menjadi rahasia umum bahwa negeri kita merupakan negara yang notorius (terkenal karena hal-hal negatif) akan korupsinya di bidang pengelolaan kekuasaan. Tindak pidana korupsi merambah ke seluruh tingkat pemerintahan, mulai dari tingkat paling atas hingga ke tingkat paling bawah. Sungut gurita korupsi melilit seluruh bidang kehidupan. Dalam pandangan para koruptor, kekuasaan , negara atau  pemerintahan identik dengan lahan subur bagi penghasilan. Akibatnya korupsipun merajalela. Kesimaharajalelaan ini makin menjadi-jadi oleh lemahnya kontrol social, apalagi oleh terkontaminasinya lembaga yudikatif oleh virus yang ditabur oleh sungut gurita korupsi ini. Membuat “penegakan hukum berada di antara ya dan tidak.” (Tajuk Rencana Harian Kompas, 28 Juni 2010). Menjadi kian bersimaharajalela lagi oleh sebab yang disebut oleh Hanta Yuda A.R,, analis Politik The Indonesian Institute sebagai “penyimpangan partai politik” berbentuk “tradisi politik dinasti dan politik uang” yang menjadi penyakit kronis partai-partai politik sehingga “terjadi penyimpangan-penyimpangan” (Harian Kompas,Jakarta, 28 Juni2010). Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh partai-partai politik ini juga mewujudkan diri dalam bentuk membangun kartel-kartel politik. Kartelisasi politik dan kartelisasi partai-partai politik “merujuk pada sebuah situasi di mana partai-partai politik secara bersamaan mengabaikan komitmen ideologis atau programatis, dan cenderung  bertindak sebagai sebuah kelompok yang mengejar kepentingan sendiri” (Kuskridho Ambardi, 2010; Harian Tempo, Jakarta, 21 Juni 2010). Ditunjukkan oleh kenyataan bahwa, sejak pemilu 1999, partai-partai politik di Indonesia lebih suka berramai-ramai bergabung dalam koalisi pemerintahan tanpa ada yang mau memisahkan diri menjadi. Kabinet Gus Dur dan Megawati ditandai oleh kemunculan koalisi besar yang melibatkan semua partai dalam pemerintahan. Mirip, dengan kabinet SBY pada periode 2004-2009 juga melibatkan semua partai, dan hanya menyisakan PDIP yang berada di luar  pemerintahan.Partai-partai yang semula berseberangan, bergabung untuk membentuk koalisi besar yang melampaui batas-batas ideologi dan program. Sehingga partai-partai ini kemudian terlihat mirip seperti sebuah kartel. Dengan adanya kartelisasi ini, maka terbentuklah mayoritas tanpa prinsip ideologis. Tanpa komitmen, kecuali komitmen kepada diri mereka sendiri. Partai politik menjadi kian jauh dari rakyat dan kepentingan rakyat. Sementara para cendekiawan yang semestinya bisa diharapkan, yang merasa tidak berdaya, frustrasi, lalu tidak sedikit yang  melakukan ‘’migrasi’’ dan ‘’ menjadi elite parpol’’ yang membelakangi ideologi dan program mereka sendiri. (Tata Mustasya, 2010). Dalam keadaan demikian, melihat Indonesia, seakan-akan kita berada di jalan buntu atau di sebuah lingkaran setan. Demikian jika kita melihat Indonesia dengan kacamata hitam pesimistik. Tapi Indonesia pun bisa dilihat dari kacamata optimistik. Optimisme ini bisa muncul jika kita percaya bahwa di negeri ini masih ada manusia, sehingga karena itu Indonesia masih merupakan tempat di mana kita bisa berharap. Terhimpun, terorganisasinya manusia yang masih ada inilah kemudian yang bisa memberikan optimisme. Optimisme juga bisa dipelihara jika kita memandang media massa, jurnalisme merupakan kekuatan keempat yang masih menjaga kredibilitas dan akurasinya, tidak bisa diremehkan. Apalagi jurnalisme mutakhir menunjukkan makin berkembangnya jurnalisme partisipatif dalam wujud jurnalisme warga (citizen journalism). Jurnalisme yang masih mempertahankan akurasi dan kredibilitasnya sebagai jurnalisme bisa bermain sebagai kontrol sosial, organisator, informator, pendidik dalam upaya Menemukan Kembali Indonesia. Unsur lain yang tidak kalah pentingnya adalah aktivitas cendekiawan organik dengan komitmen kuat.Mereka bisa bermain sebagai setitik api yang bisa membakar padang ilalang, serta menyulut bangkitnya nyala kesadaran serta memulai perjuangan di berbagai ranah dan lapisan. Cendekiawan organik yang berkomitmen serta mempunyai kredibilitas ini selain menyulut kesadaran, juga bisa membantu massa luas mengorganisasi diri untuk kemudian jadi actor pemberdayaan diri mereka sendiri, menjadi warga negara sesungguhnya dari Republik Indonesia, Yang dimaksudkan dengan cendekiawan organic tentu bukanlah mereka yang jauh dari badai-topan perjuangan massa, tapi menyatu dengan mereka di dalam badai-topan itu untuk waktu yang panjang.   Banyak cara praktis yang bisa dilakukan untuk tujuan ini. Salah satu yang penting, dan sekaligus mengawasi pemangku kekuasaan dengan pilihan politik mereka, adalah melalui analisa Anggaran Pendapat dan Belanja Daerah (APBD) serta mendapatkan Local Budget Index(LBI). Dengan menganalisa APBD, bisa dilihat dengan jelas watak pemangku kekuasaan. Apakah benar-benar memihak rakyat ataukah kepada diri pemangku kekuasaan itu sendiri, Keberpihakan ini akan menjadi kian gamblang jika anggaran Dinas demi Dinas disimak dan dianalisa. Ambil tiga Dinas utama yaitu Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Kesehatan dan Pendidikan. Selanjutnya hasil kajian dan analisa ini diumumkan, bila perlu diajukan ke pengadilan, apabila memang terbukti ada ketidakberesan. Penyebar-luasan hasil kajian dan analisa akan menyadarkan massa luas dan  mendorong lahirnya suatu pemerintahan yang bersih. Melalui kajian dan analisa APBD ini pula, kita akan mengerti apa arti meningkatnya APBD itu penting atau tidak bagi rakyat. Benarkah ia akan membawa kesejahteraan dan menguntungkan rakyat. Cara begini merupakan salah satu bentuk pengawasan masyarakat  oleh masyarakat (participative social control). APBD bukanlah rahasia negara seperti yang dikatakan oleh sementara pejabat. Penyebutannya sebagai “rahasia negara” hanyalah dalih untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan diketahui publik sehingga membuat APBD menjadi tidak transparan. Padahal  transparansi anggaran, dijamin oleh UU dan  merupakan keterbukaan pemerintah dalam menyediakan dan membuka akses informasi pada setiap tahapan perencanaan penganggaran secara sistematis.  Dalam operasionalisasi konsep ini mengandung kriteria ketersediaan dan aksesibilitas dokumen pada setiap tahapan perencanaan penganggaran. Sistematis, artinya informasi yang disediakan jelas dan memiliki informasi yang cukup. LBI adalah sebuah instrumen yang digunakan untuk mengukur tingkat transparansi, partisipasi dan akuntabilitas pada setiap tahapan perencanaan penganggaraan. LBI mengacu pada standar-standar internasional dalam pengelolaan anggaran dan kerangka hukum prencanaan  penganggaran Daerah. Melengkapi diri dengan keterampilan demikian, maka kontrol sosial terorganisasi bisa dilangsungkan secara cerdas. Dilakukan secara berkebudayaan sehingga efektif dan produktif. Dari sudut pandang optimistik pula, jika demikian, pemerintah yang bersih, ditemukannya kembali Indonesia, bukanlah hal yang imajiner. Juga di KalTeng.***

KUSNI SULANG

Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Palangka Raya (LKD-PR).

MEMPERHATIKAN BACAAN & TONTONAN ANAK-ANAK

Jurnal Toddoppuli

Cerita Untuk Andriani S.Kusni & Anak-Anakku

Apa yang kita dapatkan di rayon anak-anak tokobuku-tokobuku baik di Palangka Raya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan kota-kota besar lainnya di negeri ini? Di rak-rak rayon tersebut, buku-buku cerita anak-anak didominasi oleh cerita-cerita dari mancanegara seperti Eropa Barat, Jepang, Amerika Serikat. Sedangkan cerita-cerita lokal, kalaupun ada, jumlahnya sungguh tidak sebanding dengan cerita-cerita kanak-kanak terjemahan dari mancanegara. Keadaan serupa juga berlangsung di dunia tontonan, terutama televisi.

Untuk apa masalah bacaan dan tontonan anak-anak begini diangkat dan mengapa perhatian berbagai kalangan, terutama pihak para pendidik, orangtua dan lebih-lebih pihak Dinas-Dinas Pendidikan dan Kebudayaan ke permasalahan bacaan anak-anak ini sangat diharapkan?Alasan menarik perhatian pihak-pihak tersebut, sebenarnya kuranglebih sudah diketahui. Jika mengikuti teori tabula rasa, maka anak-anak TK, SD dan Sekolah Menengah adalah anak manusia yang sedang dalam proses pembentukan diri. Mereka tak ubay sebuah kertas kosong. Apa yang akan diterikan pada kertas kosong itu ditentukan oleh pendidikan yang diberikan kepada mereka. Kemerosotan di kalangan anak-anak muda Palangka Raya yang berita-beritanya banyak mengisi kolom-kolom halaman koran, bukanlah sesuatu yang kebetulan tetapi merupakan produk dari sistem dunia pendidikan di negeri ini. Bacaan dan lebih-lebih lagi tontonan (karena gampang diserap) mempunyai peran penting dalam pembentukan jiwa dan wacana anak-anak. Tokoh-tokoh Harry Porter, Donald Bebek, Micky Mouse, Barbie, Manusia Kelelawar (Bat Man), untuk menyebut beberapa saja, jauh sangat dikenal dan mempengaruhi jiwa anak-anak yang sedang tumbuh dan membentuk diri.  Sementara tokoh Tangkiling, Bandar, Sangumang, Pang Palui (yang diserobot oleh daerah lain dari KalTeng), Kayau Pulang, Tambun-Bungai , Panimba Tasik Panetek Gunung, dan lain-lain hanyalah tokoh-tokoh asing dari pengetahuan mereka. Bacaan dan tontonan telah mencerabut generasi penerus dari akar budaya mereka sendiri. Pendidikan telah turut andil mengasingkan generasi penerus dari kampung-halaman mereka sendiri atas nama modernistas. Hanya tempat tinggal secara geografis saja mereka di KalTeng, tetapi secara budaya bukan Uluh KalTeng karena dibentuk sejak balita. Tidak sedikit Uluh Itah yang hanya genealogis saja bernama Dayak,tapi secara kebudayaan, budaya Dayak asing dari pengenalan.  Dikhawatirkan keadaan begini merupakan petunjuk betapa secara kebudayaan sebenarnya kita sudah terjajah dan kita bangga pada keterjajahan karena memandangnya sebagai modernitas.

Sadar keadaan seperti di atas, Bruder Markus yang bertanggungjawab atas sekolah-sekolah Yayasan Siswarta, Palangka Raya, sesuai dengan motto Yayasan : ‘’Membangun Manusia Pembangun” sejak beberapa lama telah secara berprakarsa menerbitkan cerita bergambar bernuansa KalTeng. Cerita bergambar pertama yang diterbitkan dan disiarkan melalui Majalah Siswarta, berjudul “Anak-anak Gerilyawan Ujung Hurung”, sebuah cerita karya Andriani S. Kusni & JJ. Kusni berlatarbelakang masa perang gerilya melawan Belanda di Katingan. Cerita bergambar ini ditulis dalam tiga bahasa: Dayak Ngaju, Indonesia dan Inggris. Upaya berprakarsa mencari alternatif pemencahan soal ini sampai sekarang terus dilanjutkan. Bruder Markus mengambil langkah begini karena sadar akan arti bacaan dan tontonan, kebudayaan secara umum,  bagi pembentukan “anak bangsa” menjadi “Manusia Pembangun”. Bacaan dan tontonan termasuk masalah strategis menyangkut hari esok bangsa, wajah jiwa manusia penanggungjawab timbul-tenggelam bangsa dan negeri, tapi yang kurang mendapat pengindahan oleh kalangan pendidik, termasuk orangtua.***

KUSNI SULANG

Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Palangka Raya (LKD-PR).

Video Sex Sang Idola, Matra Politik Pencitraan

Oleh: Hartoyo

Terkait video porno yang beredar, Ariel dan Luna Maya dianggap tidak
jujur. Mereka masih mengelak sebagai pelaku dalam video itu, meski tanpa kalimat yang tegas. Bila Anda menilai Ariel dan Luna tidak jujur, pilih Pro!

Itu adalah salah satu polling yang dibuat oleh media di internet  terkait video sex.  Bukan hanya kejam,  polling tersebut telah merenggut hak pribadi seseorang atas seksualitasnya.   Selain itu, apa yang dilakukan media itu  sama sekali tidak mengikuti kaedah-kaedah jurnalis yang harus  tetap menghormati hak asasi manusia, terutama hak yang paling personal atas tubuh.   Urusan kamar orang lain bukan hal yang patut dibawah keranah publik, kecuali jika ada unsur kekerasan.  Polling justru menunjukkan ketidakdewasaan media dalam memberitakan hal-hal yang bersifat pribadi.   Sehingga ingin mengajak  masyarakat bersama-sama mempersalahkan pasangan selebritis sebagai orang tidak bermoral.

Bukan hanya itu, ketika kita  menonton televisi  sekarang ini yang disajikan seputar  berita video sex tersebut.  Sehingga dari mulai  masyarakat kelas atas sampai kelas bawah menghabiskan waktu hanya untuk membicarakan urusan kelamin selebritis tersebut.   Minimal berita video sex ampuh meredam bahkan sedikit “menghilangkan”  isu-isu krusial yang terjadi di Indonesia sekarang ini, seperti persoalan Bank Century, Gayus maupun kenaikan tarif dasar listrik.

Sekarang ini polisi ingin  menunjukkan bahwa telah bekerja maksimal sehingga berhasil menjadikan salah satu bintangnya sebagai tersangka karena telah meresahkan masyarakat.  Kalaupun video sex itu memberikan dampak buruk pada masyarakat khususnya anak-anak, semestinya urusan video porno sudah sejak dulu bisa diberantas oleh pejabat kepolisian.  Tapi sudah menjadi rahasia umum  mudahnya masyarakat termasuk anak-anak dengan uang Rp 5.000 sudah bisa mendapatkan satu buah video porno di”emperan” toko di kota Jakarta.  Polisi sama sekali mandul bahkan cenderung membiarkan  peredaran video porno tanpa aturan yang dijalankan dengan jelas.   Untuk kasus ini yang seharusnya polisi melindungi hak pribadi seseorang malah seolah-olah  menjadi lembaga yang serius bekerja memberantas video porno di Indonesia.

Kondisi sekarang sebagian masyarakat, termasuk negara sudah merasa paling suci dan bermoral daripada ketiga artis tersebut.  Bukan hanya penghujatan ditujukam kepada tiga artis tersebut tetapi sampai hak akses mendapatkan penghasilan juga  hilang.  Menurut keterangan Wakil Kepala Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Zainuri Lubis bahwa Penyidik menetapkan salah seorang selebritis  sebagai tersangka pada kasus video sex itu dengan jeratan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman hukuman penjara maksimal 12 tahun.  Kemudian Pasal 282 tentang Kesusilaan dan Pasal 27 Ayat (1) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.  Polisi menggunakan  UU Pornografi dan ITE, dua kebijakan yang penuh kontroversi tersebut.

Menurut penulis,menahan selebritis dan menjadikan sebagai tersangka semakin membuat jelas ketidak profesionalan kinerja polisi dalam  menganalisa suatu persoalan.  Polisi tidak mampu menentukan mana sebenarnya yang menjadi korban dan mana pelakunya.  Mana urusan ruang private dan mana ruang publik sudah tidak jelas lagi dalam kasus ini.   Penulis sebagai orang yang pernah disiksa dan dilecehkan secara seksual oleh anggota polisi, jujur sangat sulit sekali penulis mempercayai kinerja polisi dalam kasus video sex ini .  Belum lagi fakta yang terjadi banyaknya mafia kasus berkeliaran di lingkungan kepolisian,  yang katanya menjadi salah satu tempat penegakan keadilan dan kebenaran. Dalam kasus video sex itu juga sangat mungkin sekali ini menjadi lahan subur bagi para mafia kasus beroperasi.

Sebagai anak bangsa, penulis sangat   prihatin dengan beredarnya video sex tersebut apalagi sampai dapat diakses dengan mudah oleh remaja dan anak-anak.  Karena video sex ini, Menteri Kominfo Bapak Tifatul Sembiring beberapa kali begitu semangatnya membuat pernyataan yang lebih kurang maksudnya ingin menunjukkan kemoralan dirinya.

Mengamati pernyataan menteri tersebut, penulis kemudian berpikir  apakah Bapak Menteri yang satu ini  tidak pernah melakukan adegan sex yang mungkin mirip dengan video sex itu?  Atau apakah menteri yang satu ini tidak dilahirkan dari proses adegan sex tersebut? Semestinya Kementerian Kominfo fokus mengatur distribusi film-film porno yang beredar di internet dan tayangan di televisi yang tidak bermutu bagi anak-anak.   Bukan malah menempatkan diri seolah-olah jauh dari segala yang “berbau” sex sehingga ingin menampilkan diri lebih bermoral dari ketiga artis tersebut.

Karena ketakutan yang membabi buta dan ketidaksiapan negara untuk melindungi anak-anak, sampai siswa-siswi menjadi sasaran razia hand phone  di sekolah-sekolah.   Sebuah tindakan yang berlebihan  yang dilakukan oleh pemerintah. Bukannya memberikan pendidikan sex yang baik kepada anak sejak dini tetapi malah terus menabukan sex tersebut.  Menurut banyak penelitian  bahwa  pendidikan sex yang diberikan sejak dini kepada anak oleh keluarga, lembaga agama maupun sekolah, jusru membantu dan meyelamatkan anak dari korban video sex.

Menurut penulis bahwa dalam konteks video sex tersebut, persoalannya bukan pada videonya tetapi lebih pada bintang yang ada didalam video itu.  Kalau bintang video itu tidak cantik,ganteng dan terkenal maka publik, Negara dan media tidak akan merespon seperti sekarang ini.   Dalam konteks ini memiliki tubuh yang indah dan menawan telah dipersalahkan.   Selebritis tersebut sudah tidak mempunyai otoritas terhadap tubuhnya sendiri untuk dapat menikmati secara merdeka atas kehendaknya.

Masyarakat melalui lembaga-lembaga formal (agama dan Negara) telah merenggut dan memenjarakan hak personal khususnya seksualitas seseorang dengan ukuran mana yang baik dan mana yang buruk. Sudah tidak ada lagi ruang pribadi yang bebas bagi warga negara yang patut untuk dirayakan sendiri.  Seksualitas sang idola itu telah direnggut dan layak dinikmati sebagai tubuh publik.   Pada sisi lain seksualitas sang idola telah diatur sedemikian rupa oleh media, negara dan masyarakat mengikuti apa yang diingini oleh publik.  Sang  idola dalam hal ini sudah tidak pernah menjadi dirinya sendiri untuk bebas menikmati tubuhnya sendiri.

Situasi ini, menurut Michel Foucault  seorang philosof Perancis abad 19 dalam bukunya Sejarah Seksualitas,  Negara telah menggunakan kekuasaannya untuk  melakukan kontrol dan atas  tubuh (sexsualitas) warga negaranya.   Dalam konteks ini tubuh sang idola telah menjadi objek kekuasaan Negara.   Hal ini dijelaskan oleh Haryatmoko, seorang Pastor dan juga dosen Filsafat Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, bahwa ini merupakan fenomena yang dinamakan dengan Mantra Politik.  Maksud Negara dan masyarakat yang sebenarnya jauh lebih tidak bermoral telah menjadikan “tumbal” atau mengorbankan sang idola untuk menutupi kesalahannya sendiri.

Sehingga ingin  menunjukkan kepada publik bahwa kami adalah pemerintahan atau orang yang bermoral.  Mantra Politik inilah yang sekarang ini banyak digunakan oleh penguasa untuk menutupi prilaku amoral mereka sendiri sendiri, seperti para koruptor dan mafia kasus. Atau disebut juga dengan politik pencitraan.

Dari kejadian ini sebagai seorang muslim yang pernah  membaca sejarah  Yesus,  ada satu kisah antara Yesus denagn seorang pekerja sex.  Ketika  orang-orang yang akan melempari Maria Magdalena seorang pekerja seks yang akan dihakimi massa : Kemudian Yesus mengatakan bahwa jika ada diantaramu yang tidak berdosa, lemparilah perempuan ini hingga mati.  Dan tidak seorangpun melakukan hal itu.   Cerita itu seharusnya dapat menjadi refleksi bagi  kita semua, apakah kita merasa lebih suci dan bermoral dari ketiga sang idola tersebut? Jawablah dengan jujur!!

Sumber :
http://www.ourvoice .or.id/index. php?option= com_content&view=article&id=133:video- sex-sang- idola-matra- politik-pencitra an&catid=41:opini

Salam

Hartoyo
Sekretaris Umum Ourvoice
Telp : 021-92138925
http://ourvoice. or.id
http://forum. ourvoice. or.id

Biarlah Tentara Mencoblos

REFLEKSI: Himbauan bandwagon SBY yang berupa seruan agar supaya memulihkan hak pilih tentara, saya tanggapi sebagai gagasan yang keblinger. Gagasan itu keblinger karena kondesi kesadaran militer (TNI) dan polisi sampai saat ini nampak masih tetap kental dikuasi oleh ideologi orde baru yang anati Demokrasi dan anti HAM. Ini tercermin dalam sikap dan kebijakan presiden SBY dalam memegang kekuasaan politik yang dimulai sejak dari tahun 2004 sampai sekarang ini, sama sekali tidak mencerminkan adanya reformasi sejati dalam tubuh TNI dan Polisi. Keadaan seperti itu didukung oleh kenyataan bahwa sejak SBY berkuasa sampai sekarang ini, tak ada satupun masalah pelanggaran berat HAM yang berhasil dituntaskan, sebagai contoh misdalnya:

Tradedi Mei 1998 yang berbentuk pelanggaran berat HAM terhadap etnis Tionghoa, dimana militer diduga keras terlibat didalammya tak kunjung tertuntaskan, yang masih tetap aktuil lagi yaitu pembunuhan secara sadis terhadap tokoh HAM MUNIR dalam perjalanannya menuju Amsterdan dengan pesawat terbang GIA, sampai sekarang ini juga tak kunjung tertuntaskan bahkan dipeti Es-kan. Sikap  presiden SBY seperti ini merefleksikan bahwa pembunuhan manusia oleh militer Indonesia hanya dipandang sebagai hal yang biasa saja, oleh karena itu takperlu dipersoalkan. Demikinalah etika dan moral Militer dan Polisi yang terkesan dalam masyarakat kita dewasa ini. Belum lagi jika kita hubungkan dengan perkembangan sekarang ini yang diperkuat oleh adanya MAFIA hukum yang sudah mengurita dalam tubuh kepulisian; Pasti NKRI akan lebih runyam lagi jika seruan SBY dilaksanakan.

Kita semua tahu bahwa Militer (TNI) dibangun dengan maksud sangat jelas, yaitu sebagai alat untuk mempertahankan negara, membela kedaulatan negara, mempertahankan teritoroal negara, dan melindungi Rakyat; Jadi TNI tidak direncanakan (di design) sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan politik dari suatu aliran politik tertentu (Golkar) seperti jamannya rezim orde baru, dimana TNI digunakan sebagai alat yang hanya untuk menyokong tegaknya pemerintahan fasisme militer di erea rezim militer jendral TNI AD Soeharto.

Ditinjau sari sudut pandang  filsafat, militer itu adalah manusia biasa, oleh kerana militer adalah juga manusia, maka ia tak dapat dipandang secara terpisah dari sisfat-sifat manusia pada umumnya.

Menurut  pemikiran Etika dan politik dari seorang filsuf yang bernama Sir Francis Bacon (1561-1626), dikatakan bahwa: Manusia digerakan oleh hasrat untuk meraih kekuasaan sampai tak terbatas. Dalam hal ini tak ada kehendak bebas dalam diri manusia.

Kebenaran kata-katan Bacon tersebut diatas dibenarkan oleh pengalaman impiris yang kita saksikan selama 32 tahun kekuasaan militer (TNI) dibawah pimpinan jendral TNI AD Soeharto. Meskipun sekarang ini jendral Soeharto sudah di-“lengser“-kan, akan tetapi dalam praktek selama 12 tahun “reformasi“, ideologi Soeharto masih tetap nampak mencengkam dikalangan para jerndral TNI, seperti misalnya jendral Soesilo Bambang Yudoyono (SBY). Dugaan seperti ini didukung kuat  oleh adanya suatu kenyataan bahwa Jendral Soeharto yang sudah terkenal sebagai pelanggar berat HAM dan pencipta budaya KKN telah dinobatkan sebagai pahlawan Nasional  oleh jendral SBY yang sekarang ini menjadi presiden di NKRI.

Diakui atau tidak diakui, budaya sebagian masyarakat kita dan terutama penguasa NKRI sampai sekarang ini masih belum bisa atau belum mau memahami  bahwa pembantaian massal (1965-1966) terhadap 3 juta rakyat Indonesia yang tak bersalah, adalah merupakan penomena kejahatan besar kemanusiaan yang tak dapat dilupakan, yang pernah dilakukan oleh Tentara Indonesia atas perintah pimpinan  militer fasis orde baru Soeharto.

Meskipun sekarang ini bangsa Indonesia yang katanya sudah hidup di era reformasi, tapi eroninya etika dan moral militer (TNI) dan polisi masih saja mencerminkan etika dan moral orde baru yang setiap saat dapat berubah menjdi serigala terhadap rakyat  miskin.  Singkatnya masyarakat Indonesia dewasa ini masih belum siap untuk menerima pesan SBY yang menyerukan Biarlah Tentara Mencoblos.

Ditinjau dari sudut pandang Demokrasi, bangsa Indonesia dan sebagian besar elite politiknya, namapaknya masih belum matang dalam menerina dan menaggapi soal Demokrasi, mereka nampak  masih  secara membuta dalam menerima dan memahami gagasan Rouseau dalam memandang Demokrasi. Demokrasi dipandangnya sebagai “Kekuasaan mayoritas”, dipadukan dengan gagasannya tentang ”aspirasi umum”. Gagasan Rouseau tentang “perjanjian sosial” dan tentang “ aspirasi umum” adalah khayalan belaka. Rouseau tidak melihat bahwa di dalam masyarakat dimana dia hidup, ada klas-klas dan ada pertentangan serta perjuangan klas yang sengit. Maka gagasan itu dimanfaatkan oleh burjuasi untuk menutupi kenyataan itu. Pikiran Rouseau bahwa pendapat mayoritas pada dasarnya melalui pemilihan yang dasarnya benar, oleh burjuasi dipakai untuk membenarkan politiknya.

Pengalaman impiris ang kita alamami di Indonesia yaitu pemilu 2009 yang direkayasa dengan kecurangan-kecurang an dan uang, telah mengusung PD dan SBY untuk menyatakan dirinya mewakili mayoritas, meskipun sesungguhnya dilihat dari posisi yang sebenarya (tanpa uang dan kecurangan), mereka berada dalam kedudukan minoritas. Demikianlah yang kita saksikan di negeri kita pada pemilu dan pilpres 2009.

Survival of the fittest, yaitu siapa yang menang bersaing, adalah yang benar. Dengan cara apa dan bagiamana  bisa menang tidak dipersoalkan. Demikianlah tingkatan kesadaran yang dianut oleh para elite politik bangsa Indonesia.

Keadaan seperti itu menunjukkan bahwa Demokrasi yang dianut di Indonesia sekarang ini belum bapat menjamin terbentuknya pemerintahan yang sesuai dengan keteraturan- keteraturan yang ada dalam Pancasila 1 Juni 1945 dan UUD 45. Untuk tujuan itu Indonesia masih berada dipersimpangan jalan. Oleh kerana itu grakan Demokrasi masih harus terus dilanjutkan.

Dengan alasan-alasan seperti tersebut diatas itulah, maka gagasan SBY dalam bentuk seruan untuk membolehkan militer nyablos (hak pilih dan memilih) harus ditolah mentah-mentah, karena bisa dipercaya akan menimbulkan dampak terjadinya  kekuasaan otoriterisme militer model baru dalam bentuk, dan secara hakekat akan berdampak hilangnya Demokrasi dan terulangnya kembali kekuasaan otoriterisme militer, yang tak segan-segan akan menggunakan topeng Pancasila seperti dizaman rezim militer fasis Soeharto, karena syarat-syarat untuk itu sudah tersedia.

Roeslan.
Sumber: Roeslan <Roeslan@t-online.de>, ‘ Biarlah Tentara Mencoblos’, in: GELORA45@yahoogroups.com, Monday, 28 June, 2010, 5:31 PM

Biarlah Tentara Mencoblos

http://www.tempoint eraktif.com/ hg/opiniKT/ 2010/06/25/ krn.20100625. 204464.id. html

Jum’at, 25 Juni 2010 | 00:45 WIB

Sudah saatnya anggota Tentara Nasional Indonesia memberikan suara dalam pemilihan umum. Tidak ada alasan menundanya lagi karena tentara memiliki hak yang sama seperti warga negara biasa. Dengan merevisi sejumlah undang-undang yang melarangnya, penggunaan hak pilih itu mestinya bisa diterapkan pada pemilu mendatang.

Gagasan untuk memulihkan hak pilih tentara itu digulirkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat bertemu dengan wartawan di Cianjur, Jawa Barat, pekan lalu. Ia mengatakan, sudah lama hak asasi ini dicabut dari tentara. Hanya, ketika polemik semakin panas, belakangan Presiden seolah berusaha mengeremnya.

Perbincangan mengenai hak pilih tentara, juga polisi, sebenarnya tak perlu dilakukan dengan malu-malu, apalagi dianggap tabu. Dalam negara yang demokratis, mereka memang memiliki hak-hak yang sama dengan warga sipil. Konstitusi kita pun memberikan kedudukan yang sama bagi setiap warga negara di muka hukum dan pemerintahan.

TNI menggunakan hak pilih juga bukan hal yang asing sama sekali, karena mereka telah melakukannya dalam pemilu 1955 dan pemilihan pun berlangsung demokratis. Tentara tidak lagi mencoblos justru ketika TNI mendominasi panggung politik selama era Orde Baru. Tapi mereka mendapat kompensasi amat besar: memiliki fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. TNI juga ikut mengendalikan Golkar, partai yang selalu menang mutlak pada era Presiden Soeharto.

Barulah pada era reformasi, dwifungsi TNI dihapus. Sebagai institusi, TNI tidak lagi menjadi kekuatan politik, tapi memfokuskan diri pada fungsi mempertahankan negara secara militer. Konsekuensinya, Fraksi TNI-Polri di MPR dan DPR ditiadakan. Golkar pun menjadi partai yang mandiri. Bersamaan dengan reformasi TNI ini, secara perseorangan tentara juga tak boleh menggunakan hak memilih dan dipilih dalam pemilu.

Hak individu itulah yang hendak dipulihkan. Adapun sebagai institusi, sampai kapan pun TNI harus tetap netral. Pemulihan ini, terutama hak memilih, tak akan menimbulkan guncangan pada masyarakat. Yang perlu dipikirkan hanyalah kesiapan TNI dan Polri sendiri memberikan keleluasaan bagi anggotanya untuk memilih secara bebas. Mungkin tentara dan polisi perlu membaur dengan masyarakat umum ketika mencoblos, agar komandannya tak bisa mendeteksi pilihan mereka.

Lain halnya hak untuk dipilih. Sungguh sulit membayangkan, seorang perwira tentara yang masih aktif terjun menjadi calon legislator partai tertentu, lalu kembali ke markas TNI setelah gagal masuk DPR. Penggunaan hak untuk dipilih seperti ini amat berbahaya karena akan mendorong TNI menjelma jadi kekuatan politik. Markas TNI akan menjadi mirip markas partai. Dengan kata lain, aturan sekarang bahwa anggota TNI/Polri yang masih aktif tidak boleh mencalonkan diri dalam pemilihan umum masih perlu dipertahankan.

Sungguh tidak bijak bila pengurangan hak dipilih itu masih diikuti dengan pencabutan hak memilih yang berkepanjangan. Pemerintah dan DPR harus segera memulihkannya dengan merevisi beberapa undang-undang, seperti UU Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden. Tak perlu menunggu hingga 2019, biarlah tentara dan polisi memberikan suara pada pemilu 2014.