Halaman Budaya Sahewan Panarung | 14 April 2024 | Andriani SJ Kusni: SANSANA KAYAU

Radar Sampit, Minggu, 14 April 2024

Sansana Kayau dalam kehidupan sehari-hari di Desa Tumbang Liting, Kecamatan Katingan Hilir, Kalimantan Tengah. Foto dan Dok. Kusni Sulang

Sansana kayau adalah puisi lisan, diciptakan dan dinyanyikan langsung pada saat pergelaran. Di Daerah Aliran Sungai Katingan, terutama di Katingan Hilir dan Hulu, sansana kayau sampai sekarang masih hidup dan dinyanyikan, biasanya dipertunjukan pada saat pesta, upacara-upacara adat seperti menerima tamu dalam upacara pemotongan pantan, pesta perkawinan, bahkan dalam keseharian.

Puisi yang dinyanyikan tersebut diciptakan oleh penyair individual, kemudian disambut secara beramai-ramai oleh seluruh orang yang hadir. Para pelantun nyanyian puisi (disebut pasansan) bisa melantunkannya secara acapela (tanpa musik) dan bisa juga dengan iringan suling balawung dan kacapi.

Para Pasansana berdialog menggunakan puisi (sansana kayau), paduan antara kolektivitas dan individu. Pada puisi berbentuk sansana kayau ini, hubungan serasi antara individu dan kelompok dalam masyarakat Periode Bétang tergambarkan seperti juga dicerminkan dalam tari pergaulan Manasai–yang pada masa Pemerintahan Soekarno pernah diangkat secara resmi oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sebagai tari pergaulan nasional.

Dikarenakan Sansana Kayau diciptakan dan dilantunkan secara langsung (semacam karya improvivasi) dan tanpa menggunakan teks terlebih dahulu pada saat pementasannya, maka dari para pansansana dituntut penguasaan bahasa yang baik, dalam  hal ini Bahasa Katingan,  keterampilan, dan pengetahuan filsafat Kaharingan yang padan serta kecekatan membaca keadaan dan kecepatan menganalisanya. Dengan pengetahuan dan penguasaan serta keterampilan demikian, baru bisa diharapkan akan lahir karya sansana kayau yang bermutu tinggi.

Sansana Kayau menggambarkan hubungan Uluh Katingan (Orang Katingan) dengan alam, kekuasaan alam lain, hubungan antarmanusia. Artinya, sansana kayau dilahirkan oleh masyarakat Suku Dayak Katingan, oleh alam dan kehidupan manusia serta digunakan dalam kehidupan sampai hari ini.

Bentuk Sansana Kayau

Secara teknis bentuk (form) Sansana Kayau terdiri dari tiga bagian, yaitu: 1) Prolog; 2) Tubuh Sansana; 3) Epilog.

Prolog dan Epilog dinyanyikan bersama-sama dalam irama tertentu dengan kata-kata: Oi, nanai, nanai, nanai, nanananai, nanai, oiiii nanai.Setelah itu, Pansansana secara tunggal (soloist) menyanyikan puisinya dan pada akhirnya ditutup untuk kemudian dilanjutkan lagi dengan prolog. Pengulangan lirik untuk prolog dan epilog sama.

Subtansi

Subtansi pesan dan isi puisi terdapat pada Tubuh Sansana, puitisitas Tubuh Sansana terdapat pada keseluruhan Tubuh Sansana, baik di awal (aliterasi), di tengah ataupun di akhir (coda).

Sansana Kayau dengan gampang berkembang menjadi sebuah naskah cerita drama, novel atau roman, hal ini terbukti oleh adanya karya epik Sansana Bandar, Sansana Kayau Pulang (warisan para Pansansana terdahulu), dan lain-lain.

Dirangkum dari: https://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2010/04/


REVITALISASI TRADISI LISAN DAYAK NGAJU: SANSANA

Oleh: Basori* | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Sansana adalah puisi lisan, diciptakan dan dinyanyikan langsung pada saat pergelaran. Di daerah Aliran Sungai Katingan, terutama di Katingan Hilir dan Hulu, sansana sampai sekarang masih hidup dan dinyanyikan, biasanya di pertunjukan pada saat pesta, pada upacara-upacara adat seperti menerima tamu dalam upacara potong pantan, pesta perkawinan, bahkan dalam keseharian (Kusni, 2010).

Puisi yang dinyanyikan tersebut diciptakan oleh pesansana yang kemudian disambut secara beramai-ramai oleh seluruh orang yang hadir. Pasansana bisa melantunkannya secara acapela (tanpa musik) dan bisa juga dengan iringan suling Balawung dan Kacapi. Paduan antara kolektivitas dan individu dalam seni sansana menggambarkan hubungan serasi antara individu dan kelompok dalam masyarakat periode rumah Betang, hubungan yang juga dicerminkan juga pada tari pergaulan Manasai.

Karena sansana dituturkan secara langsung tanpa menggunakan teks, pada saat pementasannya, maka para Pasansana dituntut menguasai bahasa Dayak Ngaju yang baik, serta keterampilan dan pengetahuan filsafat Kaharingan (agama tua suku Dayak) yang memadai.

Sansana menggambarkan hubungan Uluh Dayak (orang Dayak) dengan alam, kekuasaan alam lain, hubungan antara manusia, artinya sansana dilahirkan oleh masyarakat Dayak Ngaju, oleh alam dan kehidupan manusia (Kusni, 2010).

Sansana biasanya digelar berhubungan dengan adanya suatu hajatan. Biasanya hajatan itu timbul dari janji-janji tertentu atau wujud rasa syukur karena telah tercapainya sesuatu yang diharapkan. Misalnya, seseorang berjanji kepada diri sendiri akan mengundang tukang sansana apabila mempunyai anak laki-laki tampan, tanaman padinya panen dengan memuaskan, perjalanan berhasil dengan selamat dan lancar, dan sebagainya. Sansana juga dapat digelar apabila seseorang atau keluarga menghendaki keluarga yang damai, murah rezeki, atau ingin menyatakan rasa syukur dan gembira atas lahirnya seseorang bayi dengan selamat dan sebagainya.

Cerita yang diangkat dalam sansana adalah cerita legendaris yang berisi kisah seorang tokoh super, yang memiliki banyak pengetahuan, pengalaman, kekuatan lahir batin, kecerdasan, serta budi pekerti yang luhur. Tokoh super ini disebut bandar. Dengan demikian dapat dikatakan, bandar sebenarnya bukan nama tokoh, tetapi gelar tokoh legendaris sehingga muncul sebutan Bandar Tumanggung, Penembahan, Bandar Panjantrahan, Bandar Ratu Anom, Bandar Huntup Batu Api, dan lain-lain.

Sansana dapat digolongkan dalam bentuk prosa liris karena cerita yang disampaikan berirama, meskipun iramanya sangat sederhana dan monoton. Di luar ciri tersebut, pilihan kata dalam sansana dan penyusunannya tampak agak menyimpang dari aturan-aturan bahasa Dayak Ngaju yang dipergunakan sehari-hari oleh masyarakat.

Pemilihan sansana sebagai subjek tulisan disebabkan banyaknya karya sastra masyarakat Kalimantan Tengah, khususnya masyarakat Dayak Ngaju yang belum secara tuntas diteliti. Salah satunya adalah seni sansana. Sampai saat ini, penelitian dan pendokumentasian sastra lisan Dayak Ngaju (dan Dayak pada umumnya) amat sedikit.

Sansana, sebuah proses bernyanyi yang diiringi kecapi sebagai alat musiknya dan ditujukan sebagai penghibur hati setelah seharian bekerja di ladang merupakan media mengomunikasikan misi kebaikan, penceritaan riwayat seseorang yang dianggap sangat terhormat dan sangat berjasa, serta tentang percintaan. Tetapi, belakangan kesenian ini sudah semakin hilang dari kebiasaan masyarakat. Hal itu disebabkan kecanggihan teknologi yang menawarkan lebih dari sekadar sebuah sansana, sedangkan upaya secara sistematis untuk mempertahankan keberadaan sansana sepertinya tidak terlaksana dengan baik. Hal ini terbukti dengan kurang menguasainya kaum muda dalam kesenian ini.

Kenyataan bahwa dalam perkembangan masyarakat dan peradaban yang mengharuskan masyarakat itu mengikuti perubahan yang ada, seolah sudah tidak bisa dihindari. Hal ini membuat masyarakat tersebut secara tidak sadar meninggalkan budaya lama kemudian menggantikannya dengan budaya yang baru. Seiring dengan kemajuan zaman, semakin tertinggal pula kesenian-kesenian daerah dari hati masyarakat. Hal ini pun terjadi pada masyarakat Kalimantan Tengah, khususnya Dayak Ngaju.

Satu hal yang bisa kita lihat adalah tidak adanya regenerasi dalam bidang kesenian, khususnya kesastraan yang benar-benar intens untuk melestarikan budaya tersebut. Untuk itulah kajian ini dilakukan, agar khasanah sastra yang ada dalam suku Dayak Ngaju ini tidak hilang begitu saja. Di samping itu, kajian ini juga dimaksudkan sebagai suatu upaya penulisan karya-karya sastra yang memang tidak ada, karena pada umumnya di Kalimantan Tengah berlaku sastra lisan sehingga jika tidak ada upaya intensif dalam pencatatan dan pembukuannya, akan hilang tanpa meninggalkan bekas ditelan oleh zaman yang bergerak demikian cepat. Di samping itu, nilai-nilai yang tekandung dalam sansana sebagai bahasa hati dan sosial akan hilang begitu saja jika tidak segera menjadi perhatian yang serius. Utamanya bagi kaum intelektual yang bergerak di bidang kebudayaan serta kesenian dan kesastraan.

Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah, masyarakat Dayak Ngaju, dan masyarakat umum. Untuk pemerintah, penelitian ini bermanfaat sebagai salah satu sumber dasar informasi dalam pengambilan keputusan daerah dan bahan pertimbangan bagi pelaksana pembangunan di lapangan. Untuk masyarakat Dayak Ngaju, penelitian ini dapat merangsang generasi muda untuk lebih mencintai sastra lisan Dayak Ngaju; menjadi bahan pertimbangan bagi dasar pengembangan diri masyarakat dalam bidang kesenian dan kebudayaan; serta lebih meningkatkan rasa kebanggan diri terutama dalam pembangunan bangsa menuju manusia yang bermartabat. Untuk masyarakat umum, penelitian ini dapat  merangsang para sastrawan, ilmuwan, dan seniman untuk menggali lebih dalam sastra lisan Dayak Ngaju dan bisa menjadi dasar penelitian lanjutan, serta membuka pengetahuan masyarakat luas tentang sastra lisan suku Dayak Ngaju.

Landasan Teori

Tentang revitalisasi, peneliti menggunakan teori Pudentia (2008) dan Sibarani (2012). Sibarani (2014: 299) menyatakan bahwa model revitalisasi lisan dan pelestarian tradisi lisan yang ditawarkan meliputi Sumber Daya Manusia (SDM) budaya yang bergerak dalam bidang tradisi lisan, metode revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan, dan paradigma revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan yang mencakup pelaku, pendukung, akademisi, pemerintah, promotor budaya, dan industriawan budaya. Kemudian, ia menambahkan bahwa komponen revitalisasi mencakup penghidupan/pengaktifan kembali, pengelolaan, dan pewarisan tradisi lisan serta tiga komponen pelestarian, yakni: perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan tradisi lisan.

Sibarani (2012: 307) menyatakan bahwa tipe revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan dapat dilakukan secara formal melalui pendidikan formal, secara nonformal melalui sanggar-sanggar atau lembaga-lembaga adat, dan secara informal melalui kesadaran sendiri belajar di masyarakat. Ketiga tipe revitalisasi dan pelestarian tradisi lisan itu sebaiknya dilakukan secara bersama-sama demi pewarisan tradisi lisan di masa mendatang.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan langkah-langkah penelitian etnografi. Langkah-langkah etnografi itu dipaparkan dalam bagian berikut:

  1. Membuat Catatan Etnografis. Membuat catatan etnografi merupakan tindakan sebagai jembatan antara temuan dan deskripsi, yang menghubungkan temuan dan deskripsi menjadi tunggal, proses yang komplit. Temuan-temuan menemukan caranya dalam akhir tulisan etnografi. Membaca catatan ini di lapangan akan menuju kepada temuan-temuan tambahan. Adanya umpan balik ketika menulis etnografi yang mengarah kepada temuan-temuan baru dan tambahan-tambahan untuk catatan etnografi. Bisa disimpulkan bahwa temuan etnografi akan dilanjutkan dengan membuat catatan etnografi dan berakhir pada deskriptif etnografi. Catatan etnografi akan mengumpulkan temuan-temuan dari sudut pandang penutur dan menuliskan etnografi akhir (deskripsi) yang merupakan perolehan yang teliti dari proses terjemahan.
  2. Menetapkan Situasi. Berdasarkan informasi dari para informan, peneliti menetapkan situasi yang akan diteliti. Spradley (1979: 39) menyatakan bahwa setiap situasi sosial diidentifikasi menjadi tiga bagian mendasar yaitu: tempat, aktor (pelaku), dan aktivitas. Dalam hal ini, lokasi atau tempat penelitian sesuai dengan hasil wawancara dan pengamatan peneliti, maka lokasi penelitian ditentukan di Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangka Raya dan Kecamatan Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan. Untuk aktor/pelaku, ditentukan berdasarkan  kriteria informan yang baik sesuai dengan pendapat Spradley.
  3. Melakukan Observasi Partisipasi. Spradley (1979: 54) menyatakan bahwa observasi partisipan melakukan observasi dengan dua tujuan: (1) untuk terlibat dalam aktivitas dan situasi tertentu, (2) untuk mengobservasi aktifitas, pelaku, dan aspek-aspek fisik dari situasi tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan obsevasi partisipasi dengan melakukan hal-hal yang berkaitan dengan pemerolehan informasi mengenai Sansana.
  4. Membuat Catatan Etnografi. Rekaman dalam penelitian ini mencakup rekaman secara audio-video untuk mendapatkan rekaman sansana dan wawancara sekaligus dapat mengobservasi kegiatan tersebut.

Sansana, Penciptaan, dan Persebarannya

Sebagai puisi lisan tradisional, umumnya penciptaan sansana berlangsung secara spontan atau langsung di depan khalayak pada saat pertunjukan. Setelah itu pesansana akan melantunkan sansananya sesuai dengan suasana yang terjadi saat itu. Sansana biasanya menceritakan tokoh-tokoh yang memiliki banyak pengetahuan, pengalaman, kekuatan lahir batin, kecerdasan, serta budi pekerti yang luhur. Tokoh-tokoh dalam sansana ini merupakan tokoh-tokoh pemimpin dalam masyarakat Dayak.

Pada saat ini, amat sedikit orang yang mampu menciptakan sansana. Masyarakat Dayak Ngaju sendiri sadar bahwa menciptakan sansana ternyata tidak mudah, kesulitan terutama ada pada penciptaan syair. Untuk dapat menciptakan sebuah syair yang indah, seseorang dituntut untuk memiliki pengetahuan yang memadai mengenai bahasa (Dayak Ngaju), wawasan yang cukup tentang kehidupan budaya masyarakat, keterampilan menggali dan mengolah tema, dan memiliki imajinasi yang kuat. Bahasa Dayak Ngaju sendiri saat ini mengalami pergeseran, terutama pada remaja dan anak-anak muda yang mulai menggunakan Bahasa Banjar dalam pergaulan mereka sehari-hari. Hal ini tentu saja memengaruhi keberadaan sansana itu sendiri, meski mungkin masih ada sebab lain yang lebih dominan.

Karena keterbatasan tersebut, umumnya, pencipta sansana dianggap sebagai seorang yang istimewa, meski dalam kehidupan bermasyarakat hal itu tidak memengaruhi sikap masyarakat, dalam arti ia tidak memeroleh perlakuan khusus.

Sejak mulanya, sansana tercipta sebagai media hiburan, pendidikan, dan ekspresi budaya masyarakat Dayak Ngaju. Berdasarkan pada hal tersebut, sansana tersebar luas di kalangan masyarakat di Kalimantan Tengah, dengan berbagai istilah yang melabelinya. Sansana, pada akhirnya menjadi lambang identitas masyarakat Dayak Ngaju. Sesuai dengan keberadaan etnik Dayak Ngaju sebagai kelompok etnik terbesar (dalam jumlah dan luas wilayah sebaran) di Kalimantan Tengah, seluas itu pula wilayah sebaran sansana. Tradisi migrasi etnik juga ikut memengaruhi proses persebaran sansana ke wilayah yang lebih luas.

Penyair sansana tidak lahir dari pendidikan formal. Juga tidak dari pewarisan yang turun-temurun dari generasi tua ke generasi di bawahnya secara sengaja. Penyair sansana lahir dari proses alamiah dengan adanya beberapa pemuda yang suka kemudian meniru dan belajar bagaimana bersansana. Mereka belajar dengan memerhatikan bagaimana seorang pasansana itu melantunkan nyanyian-nyanyian yang disesuaikan iramanya. Ada pula pewarisan model keturunan, seorang damang atau balian akan mewariskan kemampuannya dalam bersansana pada anaknya.

Dalam proses peniruan ini, tidak mustahil memunculkan perubahan bentuk dan pengembangan, termasuk di dalamnya adalah perubahan nada pada posisi tertentu. Dari sini terjadi proses resepsi produktif. Pilihan-pilihan kata yang digunakan amat tergantung pada pelantun dan suasana yang terjadi pada saat pelantunan. Sebagaimana umumnya sastra lisan, para penyair sansana juga tidak mencantumkan nama atau identitas penciptanya. Setiap sansana yang tercipta merupakan milik kolektif masyarakat. Hal ini terjadi sepanjang pewarisan sansana secara lisan.

Revitalisasi Sansana, Kekayaan Budaya Dayak Ngaju

Tradisi lisan, apa pun bentuknya kian memudar dan terancam seiring perubahan orientasi hidup dan kebudayaan masyarakatnya. Hal itu tidak bisa dimungkiri. Begitu juga dengan sansana, meskipun di daerah-daerah tertentu kita masih menemukan keberlangsungannya. Misalnya, di wilayah hulu Sungai Kahayan, Katingan, dan Kapuas, tradisi bersansana, karungut, deder, dan upacara-upacara tradisional yang tentunya dilengkapi dengan tradisi-tradisi lisan masih bisa kita dapati.

Berikut ini beberapa hal yang ditengarai menjadi sebab makin hilangnya sansana di kalangan masyarakat Dayak Ngaju:

Pertama, faktor intern masyarakat Dayak sendiri. Masyarakat tidak atau kurang bisa lagi menghargai diri dan budaya sendiri. Menjadi Dayak dan berbudaya Dayak dianggap sebagai “primitif” dan tidak modern. Menjadi tidak ”keren” kalau berdialog dengan siapa pun menggunakan bahasa Dayak (dengan lingkungan sesama Dayak sendiri bahkan). Keadaan ini membuat masyarakat diam-diam melakukan bunuh diri budaya, mengasingkan diri dari komunitas, dan kehilangan ketahanan budaya. Perubahan pola hidup menuju kemodernan telah memosisikan generasi muda semakin jauh berada di luar sansana. Mereka semakin menjauhi sansana karena kurang mampu berbahasa Dayak Ngaju, di samping irama sansana yang cenderung monoton dan membosankan jika dibandingkan dengan hingar-bingar musik luar.

Kedua, pergeseran pemakaian bahasa. Generasi muda masa ini lebih mahir berbahasa Banjar daripada berbahasa Dayak Ngaju. Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniati (2008) terhadap seratus responden mahasiswa etnik Dayak di Palangka Raya. Hasil penelitian itu menunjukkan  bahwa banyak mahasiswa etnik Dayak sudah tidak mahir lagi dalam berbahasa Dayak Ngaju.

Ketiga, pola persebaran dan pewarisan yang bersifat individual dan tidak terorganisasi dengan baik. Pewarisan dalam bentuk demikian nyata-nyata tidak efektif membentuk generasi penerus. Generasi muda masa ini sudah gagap budaya sendiri. Mereka lebih suka dengan permainan yang lebih “modern” dengan gitar, piano, drum, dan sebagainya.

Keempat, pendokumentasian yang tidak terbarukan lagi. Pendokumentasian sansana dengan kaset yang hanya bisa didengar melalui tape recorder terasa tidak ada artinya pada saat dunia sudah sangat akrab dengan media video youtube.

Kelima, peran media massa, RRI, yang makin mengurangi jumlah jam siar sansana. Media massa cetak pun sudah tidak ada lagi yang memuat syair-syair sansana. Penerbitan yang dilakukan oleh pemerintah daerah sangat terbatas dalam hal jumlah cetakan dan sebarannya.

Keenam, peran pemerintah yang diharapkan bisa menjadi benteng terakhir keberadaan sansana juga semakin berkurang. Media festival hanya menjadi semacam rutinitas tahunan yang bahkan tidak bergerak. Dari tahun ke tahun yang menghadiri dan mengikuti lomba adalah peserta yang itu-itu juga.

Festival yang diharapkan mampu menjadi jaring regenerasi nyata telah kehilangan fungsi dengan makin kuatnya keinginan untuk menjadi pemenang tanpa memerhatikan keberlangsungan regenerasi. Yang paling mendasar sebenarnya adalah masuknya tradisi lokal ini dalam kurikulum sekolah dalam materi muatan lokal atau ekstrakurikuler. Faktor ini tampaknya tidak digarap dengan sungguh-sungguh bahkan beberapa sekolah di Palangka Raya justru memasukkan bahasa Inggris sebagai muatan lokal (hal yang aneh). Pewarisan dan penyebaran lewat sanggar-sanggar seni juga belum kelihatan hasilnya.

Berkaitan dengan masalah-masalah tersebut, revitalisasi sansana menjadi penting untuk mulai dipikirkan dan menjadi program mendesak dalam upaya untuk melestarikan kebudayaan ini. Revitalisasi ini juga mesti mempertimbangkan bahwa sansana merupakan puncak kebudayaan Dayak. Segala sesuatu yang sudah mencapai puncak tentu tidak akan bisa berkembang lebih baik lagi. Langkah yang bisa diambil adalah menciptakan sesuatu yang baru atas dasar unsur-unsur yang sudah mencapai puncak itu. Tentu saja ini tidak bermaksud untuk menggugat atau bahkan mengganti sesuatu yang berada di puncak itu. Ini merupakan salah satu cara untuk mengembangkan dan sekaligus melestarikan kebudayaan dalam fungsinya. Sebagaimana seni campur sari dalam kebudayaan Jawa.

Beberapa langkah yang sangat mungkin untuk bisa dilakukan terkait dengan masalah tersebut antara lain: pertama, mengembalikan fungsi dan peran bahasa Dayak Ngaju sebagai bahasa pergaulan sehari-hari. Lingkungan keluarga menjadi garda depan untuk membiasakan diri menggunakan bahasa Dayak Ngaju; kedua, bahan ajar muatan lokal bahasa dan budaya Dayak Ngaju juga mesti disiapkan dengan baik. Hal ini tentu saja menuntut peran yang lebih banyak dari pemerintah daerah. Balai Bahasa Kalimantan Tengah sudah menyusun Tata Bahasa Dayak Ngaju, Kamus Dayak Ngaju. Hal ini perlu dilanjutkan dengan penyusunan bahan ajar muatan lokal; ketiga, pendokumentasian dengan media terbarukan. Sansana bisa dibuat dalam bentuk film animasi yang diharapkan akan menarik minat para pelajar untuk mengetahui dan belajar bersansana; keempat, pasansana harus lebih kreatif dalam bersansana, menciptakan pola baru dari pola-pola yang sudah ada. Kreatif memilih tema dan menggunakan kata.

Simpulan

Sansana sudah semakin kehilangan peminat seiring perkembangan teknologi. Apabila sansana tidak bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi ini, sansana akan semakin hilang. Apabila hal ini tidak diperhatikan secara sungguh-sungguh, dikhawatirkan kehidupan sansana akan surut dan hilang dalam satu generasi ke depan. Kusni, penyair Dayak yang tinggal di Paris, pernah mengungkapkan gagasan revitalisasi terhadap sansana dalam pertemuan Sastrawan Borneo, 2005. Tampaknya, hal itu perlu segera kita sambut sebagai bagian dari pemertahanan dan pengembangan sansana di masa mendatang. (Sumber: Jurnal Sastra Lisan, Volume 1, Nomor 1, 2021).

*Basori, Peneliti pada Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan Badan Riset dan Inovasi Nasional. Disunting berdasarkan keperluan penyiaran ini.


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 14 April 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Potensi Terpendam dalam Sastra Dayak Kalteng

Radar Sampit, Minggu, 28/8/2022

Oleh: Kusni Sulang | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

Tariganu bersama para tokoh seniman Sanggar Bumi Tarung
Foto Tariganu bersama para tokoh seniman Sanggar Bumi Tarung. Dilihat dari kiri ke kanan: Toga Tambunan (penyair), Djoko Pekik (maestro pelukis), Amrus Natalsya (maestro pematung), Tariganu (penyair yang juga pelukis), Muhammad Tempel Tarigan (mantan wartawan Merdeka Grup), dan Salim (pelukis). Foto diambil sebelum pameran tunggal pelukis Misbach Thamrin (sekarang tinggal di Banjarmasin) dibuka di Galeri Seni Jakarta, 2015. Sumber foto: FB Muhammad Tempel Tarigan.

Suatu pagi, Yanedi Jagau, Direktur Borneo Institut Palangka Raya tiba-tiba mendekati meja kerjaku, sambil menyodorkan sebuah buku antologi puisi menanyakan apakah saya kenal dengan penyairnya: Tariganu (cara menulisnya yang sebenarnya adalah Drs. Usaha Tarigan).

Saya memperhatikan antologi buku berjudul Elang itu sejenak sambil mengumpulkan ingatan yang saya sadar benar dayanya melemah oleh usikan usia.

“Mungkin iya, mungkin tidak, hanya nama itu sepertinya tidak asing bagi saya.”

Setiba di rumah, saya membaca lebih teliti antologi yang terdiri dari 98 puisi berbentuk degu atau dongkoi–salah satu bentuk puisi di dunia sastra lisan Dayak Kalimantan Tengah (Kalteng). Di samping itu, saya mencari informasi lanjut tentang Tariganu, sang penyair yang dilahirkan pada 9 Oktober 1938 di Medan, Sumtera Utara.

Informasi-informasi yang terkumpul itu mengembalikan ingatan bahwa benar, saya pernah berjumpa dengan Tariganu pada tahun 2005 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.

Ketika itu, berlangsung peluncuran dan bedah tiga buku saya yang diterbitkan oleh Ombak, Yogyakarta. Di antara hadirin terdapat Tariganu.

Ia memberiku satu kopie antologi puisi berbahasa Karo yang ia terbitkan. Ya, saya kembali ingat sekarang. Saya memanggilnya Bung Tarigan. Entah mengapa, percakapan singkat kami seperti pembicaraan antara dua sahabat lama tidak berjumpa. Barangkali  di dunia kesenimanan, hal demikian merupakan hal biasa. Sekarang pun saya ingat pertanyaan saya ketika menerima buku kumpulan puisi Karo yang ia tulis.

“Apa Bung percaya bahwa sastra daerah mempunyai hari depan di negeri ini?”

“Tentu saja, tapi lebih banyak dan lebih tentu lagi tergantung pada pendukung sastra daerah itu sendiri dan politik kebudayaan yang dipilih penyelenggara Negara.”

Ia menatap lurus ke mataku dan aku pun demikian. Tangannya kujabat erat sambil berucap: “Paham dan sepakat!”

“Tak usah kau katakan, aku tahu kau sepakat,” jawabnya mengguncangkan tanganku.

Sejak itu kami tidak pernah berjumpa lagi.

Hadirnya antologi puisi Elang pagi itu adalah pertemuan kami kembali. Antologi puisi berbentuk degu ini memunculkan banyak topik menarik untuk didiskusikan baik dalam bidang konsepsional maupun sastra itu sendiri.

Misalnya“Darah Medan Elang Taboyan”, proklamasi Tariganu tentang apa-siapa dirinya, saya kira selain paralel dengan apa yang sering saya ungkapkan “Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng” sebagai pengejawantahan nyata dari gagasan bhinneka tunggal ika, boleh jadi ia sekaligus menyiratkan apa-siapa dan bagaimana menjadi Indonesia itu, bagaimana hubungannya dengan ide “kemanusiaan itu tunggal”.

Dengan menyatakan diri sebagai seseorang yang ber-“Darah Medan” tapi juga adalah “Elang Taboyan”, penyair memperlihatkan bahwa akhirnya ia merasa sebagai orang Taboyan itu sendiri. Bukan sebagai orang Taboyan biasa tapi Taboyan yang “elang”. Karena merasa Taboyan adalah bagian dari dirinya, sampai-sampai Tarigan enggan menulis Dayak (dengan K) tapi menulisnya dengan Daya.

Barangkali Tarigan belum tahu bahwa dalam tahun 1992-an, dalam sebuah pertemuan internsional Dayak di Pontianak, peserta bulat-sepakat menghentikan polemik tentang nama etnik dengan menyebut diri sebagai Dayak. Jika tadinya Dayak dilontarkan untuk menghina, maka pertemuan internasional itu sepakat untuk mengubah hinaan tersebut dengan isi yang positif. Sikap ini menampakkan kesejajaran sikap dengan “Black is Beautiful” yang digagas dan dilontarkan Leopod Senghor dari Senegal dan Aime Cesar dari Guadaloupe, Karibia saat rasialisme terhadap orang-orang berkulit hitam sedang marak-maraknya.

Tarigan mempelajari sungguh-sungguh budaya suku Dayak Taboyan itu dan kemudian menemukan degu adalah bentuk puisi yang cocok untuk mengungkapkan diri.

Dalam sastra lisan Dayak, memang terdapat berbagai bentuk seperti sansana (dengan segala variasinya), tandak, karungut, deder, degu, dan lain-lain—bentuk-bentuk yang sampai sekarang masih jauh dari perhatian pengamat sastra.

Ketika Tarigan menemukan degu atau dongkoi sebagai pengungkap diri yang sesuai, nampak bahwa sesungguhnya jika dipelajari benar-benar maka bentuk-bentuk sastra lokal itu, sesungguhnya penuh potensi dan relevan untuk hadirnya sastra Indonesia Kekinian. Bentuk-bentuk lokal ini bisa dijadikan salah satu bahan penting dalam membangun kebudayaan baru yang zamani. Hal inilah yang dilakukan oleh Tariganu.

Dalam Kata Pengantarnya untuk antologi Elang, M.S. Hutagalung, kritikus sastra Indonesia dari Universitas Indonesia, memahami degu atau yang  juga disebut dongkoi–puisi rakyat suku Dayak Taboyan antara lain sebagai berikut:

“…degu atau dongkoi (adalah) puisi rakyat suku Taboyan di Kalimantan Tengah   Seperti biasanya, puisi rakyat ini pun dilagukan (bisa didapat pada youtoube–KS) dalam bentuk irama “piak koko” atau “sintang tuke”. Saya tertarik terutama pada kepadatan isinya dan kombinasi bunyi yang menarik.”

Pada tahun 70-an, penyair memberi keterangan mengenai bentuk persajakan tersebut dalam sebuah esainya yang berjudul “Catatan tentang Dongkoi Daya Taboyan”, yang dimuat dalam ruangan kebudayaan harian “Mimbar Mahasiswa”, Banjarmasin. Ia mengatakan bahwa, barangkali hanya sajak-sajak yang dikumpulkan Confusius di dalam Shi Jing, yang dapat dibandingkan dengan sajak-sajak kecil berbentuk degu.

Ditinjau dari segi bentuk terutama dalam hal rima, degu sama rumit, pelik dan ketatnya dengan puisi klasik Cina sejak kumpulan Shi Jing sebelum Masehi sampai Dinasti Tang (Abad ke-VIII). Degu selalu terdiri dari tiga larik (baris). Kata terakhir larik pertama senantiasa berirama dengan kata terakhir larik ketiga dan kata pertama larik pertama senantiasa berirama dengan kata terakhir larik kedua. Demikianlah rimanya seperti mata rantai melingkar.

Degu juga kaya dengan lambang-lambang dan kias. Kecuali dalam upacara kematian, degu dilagukan  juga waktu pesta-pesta panen,  jamuan, upacara perkawinan, waktu bercinta maupun waktu kerja.

Saya kira, masih ada bentuk sajak kecil yang agak mirip dengan degu ini yakni haiku Jepang. Dan barangkali masih ada bentuk-bentuk seperti ini di daerah lain.”

Penelitian barangkali bisa membantu orang Dayak mengenal khazanah budaya mereka dan menghentikan kehanyutan dan keterasingan diri.

Tariganu telah menunjukkan potensi sastra Dayak.[]


Tariganu, Penyair Asal Tanah Karo

Pengangkat Degu, Bentuk Puisi Dayak Taboyan Kalimantan Tengah

Ditutur ulang oleh Andriani SJ Kusni

Tariganu
Tariganu (Usaha Tarigan). Foto diambil dari https://karosiadi.com/ (03/04/2019)
Tariganu, Elang, Sajak-Sajak 1968-1974 dalam Bentuk Degu. Yayasan Bengkel Sastra, Jakarta, Cetakan II, 1998
Mari kemari banting kemudi
Ikut aku menghadap matahari!
Menghadap Matahari, 1981, Tariganu

Menurut karosiadi.com, Tariganu atau Drs. Usaha Tarigan lahir di dataran tinggi Tanah Karo (Karolanden), 9 Oktober 1938. Saat ipetelayoken (upacara mandi pertama di sungai waktu berusia 7 hari) diberi gelar Usahakita, merga Tarigan, bere Ginting, kempu Purba, binuang Sinulingga, kampah Ketaren, soler Sitepu.

Pendidikan terakhir di Universitas Peking (RRC) dan Universitas Indonesia (UI). Tariganu yang juga pelukis ini, menulis puisi sejak tahun 50-an, menerjemahkan puisi Chairil Anwar dan Amir Hamzah ke bahasa Tiongkok, pernah tinggal di Tiongkok saat menjelang zaman peralihan terjadi di Indonesia. Sempat mengajar sastra Cina di UI dan mendirikan Yayasan Bengkel Sastra ’78.

Sejumlah tulisannya pernah dimuat dalam antologi puisi tunggal maupun bersama antara lain Kemudikan Hari Menjadi Cerah, Balai Pustaka (1964). Kumpulan Sajak-Sajak Amir Hamzah dan Kumpulan Sajak-Sajak Chairil Anwar diterjemahkan oleh Tariganu ke dalam bahasa Tionghoa (Yayasan Kebudayaan Jamrud, 1965), Anggrek Hitam (1971), Elang dan Menghadap Matahari (Yayasan Bengkel Seni’78, 1981), Tembang Negeri Hijau kumpulan bersama Virga Bellan dkk (1986), Ritus Warna Ritus Kata antologi bersama Adjim Arijadi dan Ajammudin Tifani, (1994), antologi Kami Bicara: Kembang Setaman Prosa dan Puisi, LBH Jakarta (2006).

Tariganu juga menulis lebih dari 500 puisi dalam bahasa Karo yang diterbitkan dalam buku Pincala (Hasta Mitra, 2004) dan Bunga Dawa (Yayasan Bengkel Seni’78, 2010).

Musikalisasi puisi-puisi Tariganu juga sudah dilakukan. Diantaranya berjudul “Pincala”, “Leng-leng Keleng”, “I stasiun Semut”, “Karo Simalem”, “Kuakap”, “Rombak-ombak”, “Katanduana”, “Ralep-Alep”, dan lain-lain.

Tariganu, sang penyair, telah dipanggil Sang Pencipta pada tanggal 2 April 2019, di usia 81 tahun, pada pukul 20.00 WIB di RS Polri Kramat Jati. Berita duka yang membuat banyak orang-orang merasa kehilangan. Selamat jalan menuju keabadian. Lurus menuju Sang Khalik.

Pincala yang tertinggal tetap berkicau menyuarakan suara hati KINIKARON dan suara hati MANUSIA-MANUSIA MERDEKA!

…
Sebut kerina bintang-bintang
deleng-deleng meganjang
lau simaler page simole
kerangen kendit simelang
je kap aku
rende ngogeken puisi
puisi pincala bunga dawa
cinta langit cinta doni.

Puisi “Je Aku” oleh Tariganu, dari https://karosiadi.com/penyair-tariganu-berpulang/

Untuk hidup, selain berkecimpung di bidang sastra, seusai menyelesaikan pendidikan sastra di Universitas Indonesia dan Universitas Beijing, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), sekitar tahun 1965, Tariganu mulai berkecimpung dalam dunia bisnis. Di masa-masa mengelola pabrik crumb-rubber di daerah, ia terlibat dalam berbagai kegiatan sosial seperti aktif sebagai Ketua I GAPKINDO (Gabungan Produsen Karet Indonesia) cabang Jambi (selama di Jambi) dan cabang Kalimantan Selatan serta Kalimantan Tengah (Kalteng) selama berada di Banjarmasin.

Kegiatan sastra-seni, ia lakukan di luar jam-jam pekerjaan tersebut dengan bergabung dengan sanggar-sanggar seni sastra, lukis, patung, teater, dan sebagainya.

Saat berada di Kalteng-lah, ia berjumpa dengan sastra Dayak Taboyan lalu menggunakan bentuk degu ketika berpuisi dalam Bahasa Indonesia. Degu inilah yang kemudian ia himpun dalam antologi Elang (Cetakan II, 1998). Tariganu seperti menemukan dirinya dalam degu yang juga disebut dongkoi.

Selama berada di Kalteng, Tariganu intens mempelajari sastra dan budaya Dayak, terutama Taboyan. Bahkan ia memproklamirkan diri sebagai “Elang Taboyan”.[]


Sajak-Sajak Degu Tariganu

Prelude
Darah Medan elang Taboyan
Berlagu degu di pintu sejarah
Tebang goncang  di ujung layan

Pengembara
Kepada Arti & Goenawan

Riang ria mega kembara
Sahabat Daya Dusun Malang
Elang Putih dari Sumatra

Elang
Elang terbang laut lelawas
Tiada biawas dahan baelang*
Pikiran terang mata mawas

Keterangan: Baelang (bhs Banjar): bertandang

Palangka Raya
Kepada Dilun Ikas

Pasir kerikil Palangka Raya
Jantung penggetar sejuta anjir*
Pasang surut terang benua

Keterangan: anjir = terusan

Tjilik Riwut*
Meruah damba cinta nirmala
Menghidangi rimba pedalaman riah
Anjir di mimpi sarang laba-laba

Keterangan: Degu ini aslinya berjudul “Cilik Riwut”. Diubah menjadi “Tjilik Riwut” sesuai cara penulisan nama yang benar

Cerita Tanah Garapan
Kepada Ayat Rohaidi

Kereringat membiji jagung
Tanah digarap darah bersukat
Tanam padi kaki tersandung

Dongkai Daya Taboyan
Sejuta kulit durian
Tiupkan api sampai menyala
Suluh durian waris Taboyan

Sumber: Tariganu, Elang, Sajak-Sajak 1968-1974 dalam Bentuk Degu. Yayasan Bengkel Sastra, Jakarta, Cetakan II, 1998

Halaman Budaya SAHEWAN PANARUNG, Radar Sampit, Minggu, 28/8/2022
Halaman Budaya SAHEWAN PANARUNG, Radar Sampit, Minggu, 28/8/2022

Catatan Andriani SJ Kusni: Menghidupkan Sastra di Pulau Borneo

Radar Sampit | Minggu, 22 Agustus 2021

Repro.

Korrie Layun Rampan, lahir pada 17 Agustus 1953 di Samarinda, Kalimantan Timur. Serangan jantung mengakhiri kiprah sastrawan Dayak Benuaq ini  pada 19 November 2015 di Cikini, Jakarta.

Ketika dikunjungi oleh Masri Sareb Putra, seorang penulis Dayak kelahiran Sekadau, Kalimantan Barat, Korrie, dalam artikelnya berjudul Rumah Sastra Korrie Layun Rampan, Masri antara lain menulis: “Ada “titipan” Korrie pada saya, yang saya kira wajib dilunasi. Saya diminta meneruskan karya dan perbuatan-sastranya. Waktu itu (2015), kami berjanji berbagi mengumpulkan profil dan senarai karya sastrawan dan pengarang Dayak.”

Permintaan “meneruskan karya dan perbuatan-sastranya” ini oleh seorang penulis senior, Dodi Mawardi, dalam artikelnya bertajuk “Menanti Geliat Baru Sastra Orang Kalimantanditafsirkan sebagai “pesan khusus dari sastrawan besar Kalimantan yang sudah wafat–Korrie Layun Rampan–untuk meneruskan perjuangan tetap menghidupkan sastra di Pulau Borneo”.

Dalam upaya melaksanakan pesan ini maka Masri, menurut Dodi, “mengajak pegiat sastra di Kalimantan, khususnya Dayak, untuk bersama-sama bergerak dan menggeliatkan literasi fiksi di sana” (baca: Pulau Borneo-ASJK).

Artinya, menurut penafsiran Dodi Mawadi, meneruskan “perbuatan sastra” yang dimaksudkan oleh Korrie itu terutama atau sebatas “menggeliatkan literasi fiksi”Pulau Borneo, termasuk di Sabah dan Sarawak, sebagaimana dilakukan selama ini oleh berbagai pihak, terutama Dayak.

Guna mewujudkan keinginan diperlukan organisator, syarat dan cara konkret.

Organisator dan sponsor itu nampaknya berada di tangan Dr. Yansen Tipa Padan, M.Si, seorang Dayak kelahiran 14 Januari 1960, Pa’Upan, Krayan Selatan; mantan Bupati Malinau dua periode 2011-2016 dan 2016-2021 dan sekarang menjadi Wakil Gubernur Kalimantan Utara periode 2021-2025  berpasangan dengan Gubernur Zainal Arifin Paliwang, asal Makassar. Keduanya disokong kuat oleh organisasi saudagar Bugis.

Yansen mempunyai perhatian besar terhadap dunia tulis-menulis. Buku-bukunya yang sudah diterbitkan adalah Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat, dan Kaltara Rumah Kita. Perhatian terhadap dunia literasi ini kemudian ia lanjutkan dengan mendirikan ytprayeh.com yang diasuh oleh sebuah tim terdiri dari: Pelindung: Yansen Tipa Padan; Editor Konten: Pepih Nugraha; Lobi dan Marketing: Masri Sareb Putra; Bisnis dan Pengembangan: Dodi Mawardi; Desain Web/Aplikasi dan IT: Riki Kurniadi.

Dalam web dijelaskan bahwa ytprayeh.com didirikan sebagai “media warga, wadah bagi penulis yang berminat pada literasi, kebudayaan, kebangsaan, peradaban, serta pemikiran lintas agama, etnis, dan golongan dalam bentuk artikel, kajian, feature, dan analisis yang ditulis dari sudut pandang berbeda dari berita media arus utama. Kantor Pusat Lembaga ini terdapat di D’Mandiri Building 3nd Floor Merdeka 10, Malinau 55518, Kalimantan Utara. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa sebagai sebuah lembaga, ytprayeh.com bersifat terbuka dan lintas etnik sebagaimana juga tercermin dalam komposisi tim pengasuh.

Oleh sifat lintas etnik demikian, maka agak sulit membayangkan bahwa sastra dalam bahasa lokal akan memperoleh tempat. Apabila sastra tidak terpisahkan dari bahasa, lalu sastra dalam bahasa, lalu sastra berbahasa, apakah yang digeliatkan dan mau digeliatkan oleh Korrie serta ingin dilanjutkan oleh Masri sebagai pengemban pesan?

Sifat lintas etnik lembaga sudah menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia sehingga sastra yang ingin digeliatkan juga adalah sastra berbahasa Indonesia. Bukan sastra berbahasa Dayak. Apalagi secara demografis Orang Dayak di Kaltara sudah tidak dominan lagi.

Penggeliatan sastra berbahasa Indonesia di Pulau Borneo ini juga nampak dari kegiatan-kegiatan Korrie semasa hidup. Tidak nampak tanda-tanda bahwa Korrie menaruh perhatian pada sastra berbahasa Dayak. Hal inipun tidak nampak pada Yansen. Yang diangkat oleh Yansen dalam paparannya di Seminar Kebudayaan Dayak di Gedung Bappenas Jakarta tahun 2020 adalah meminta dibukanya kesempatan untuk duduk di pos-pos strategis.

Pertanyaannya: Apakah tidak mungkin dilakukan secara bersamaan, penggeliatan sastra berbahasa daerah dan sastra berbahasa Indonesia? Tidak adanya atau minimnya perhatian pada bahasa daerah setempat akan mempercepat punahnya bahasa-bahasa daerah tersebut apalagi komposisi demografi yang terus berubah yang menempatkan Orang Dayak makin berada dalam posisi minoritas di kampung kelahiran sendiri.

Punahnya sebuah bahasa sama artinya dengan lenyapnya lumbung nilai dan kearifan beberapa generasi serta bisa menyebabkan kita menjadi orang asing terhadap diri kita sendiri. Kebhinnekaan yang merupakan suatu kekayaan dan modal untuk menciptakan sesuatu yang baru akan menjurus ke uniformitas yang tidak indah. Soempah Pemoeda Oktober 1928 antara lain menyebutkan bahwa “KETIGA: Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia”. Bukan “berbahasa satu”.

Korrie Layun Rampan pernah menjadi anggota DPRD Kutai Barat diusung oleh Partai Demokrat. Yansen Tipa Padan sekarang adalah salah seorang Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Partai Demokrat. Warna partai ini pun tercermin dalam ytprayeh.com. Ada puisi yang menyanjung AHY, ketua umum  partai, ada juga rangkaian tulisan-tulisan Susilawati yang sangat berbau Partai Demokrat.

Membaca hal-hal demikian, saya jadi ragu apakah betul ytprayeh.com hadir untuk menggeliatkan sastra di Pulau Borneo. Keraguan ini muncul karena saya pikir, kalau tujuannya memang untuk menggeliatkan sastra di Pulau Borneo, seyogyanya diciptakan ruang seluas mungkin agar banyak kalangan bisa terlibat. Penonjolan Partai Demokrat dalam lembaga ini boleh jadi akan membuat ruang tersedia menjadi sempit sedangkan dunia seni termasuk sastra, seperti yang dikatakan oleh Naguib Mahfouz, penulis asal Mesir penerima Hadiah Nobel Sastra, “Art is a criticism of society and life, and I believe that if life became perfect, art would be meaningless and cease to exist.”

Independensi merupakan prasyarat bagi sastra-seni untuk bisa melakukan fungsi mengkritik masyarakat dan kehidupan.  Apakah ada independensi kalau sudah dikaitkan dengan partai politik dan politiknya?

Untuk menggeliatkan kehidupan sastra-seni di Pulau Borneo, terutama kebudayaan Dayak, perlu adanya lembaga independen yang mampu menghimpun semua kekuatan, selain konsep kebudayaan jelas yang mau diwujudkan.

Dalam upaya penggeliatan sastra-seni ini niscayanya sastra-seni lokal (baca Dayak) selayaknya tidak ditinggalkan. Menjadi Indonesia tidak berarti mengakhiri diri sebagai Dayak, sebagai Ambon, Papua, Makassar, dan lain-lain.

Menyingkirkan Budaya Ibu, apa gerangan bedanya dengan bunuh diri budaya dan atau mengajak orang untuk melakukan bunuh diri budaya?[]


Halaman Budaya Harian Radar Sampit . Minggu, 22 Agustus 2021.

LESTARIKAN BAHASA DAERAH

Ayo Lestarikan Bahasa Daerah
Jumat, 03 Oktober 2014, 16:00 WIB

Bahasa-bahasa yang tersebar di sejumlah negara di dunia perlu dilestarikan agar terhindar dari ancaman kepunahan. Dari total 2.303 bahasa di Asia, sekitar 879 bahasa terancam atau hampir punah. Terancam dalam arti bahasa tersebut dikuasai orang tua, tapi tidak diajarkan kepada anak-anak mereka. Hampir punah dalam arti orang tua tidak menggunakan bahasa tersebut. Di Indonesia, dari 706 bahasa, ada 330 bahasa yang terancam atau hampir punah.

Pakar Pendidikan Sheldon Shaeffer mengatakan, bahasa daerah atau bahasa ibu perlu digunakan dalam dunia pendidikan agar tetap lestari. Menurutnya, dunia pendidikan memegang peranan penting untuk kelestarian budaya daerah. Bahasa daerah yang aktif digunakan sebagai pengantar di sekolah berpotensi bisa terus hidup.

Penggunaan bahasa daerah  juga mampu membantu anak didik lebih memahami pelajaran yang diterima di sekolah. Pasalnya, di berbagai daerah tidak semua siswa mampu berbahasa Indonesia. Alhasil, penggunaan bahasa daerah di sekolah memiliki dua sisi positif. Di satu sisi, akan melestarikan bahasa, di sisi lain akan meningkatkan pemahaman siswa terhadap pelajaran yang diterima di sekolah.

Kebanyakan anak di daerah belum bisa berbahasa Indonesia. Kalau guru memaksa mereka menggunakan bahasa Indonesia, akan sulit. “Tapi jika pengantar menggunakan bahasa daerah, orang tua mereka bisa membantu mengajarkan di rumah,” kata Sheldon.

Ia menyayangkan sistem pendidikan di Indonesia tidak menggunakan bahasa adat sebagai pengantar. Sekolah-sekolah tidak menggunakan bahasa ibu sehingga para siswa tidak mengenal bahasa ibu mereka.

Sheldon mengatakan penting bagi guru untuk memahami fase belajar yang disesuaikan dengan perkembangan anak dalam berbahasa. Jika dalam kehidupan sehari-hari mereka biasa mendapatkan bahasa ibu maka hendaknya digunakan pula dalam pengantar di sekolah. Saat ini ia melihat masih banyak anak di pelosok nusantara yang menghadapi kendala dalam memahami pelajaran dan akhirnya prestasi belajar mereka tidak optimal.

Hasil survei yang dilakukan oleh Southeast Asian Minister of Education Organization Regional Centre of Quality Improvement of Teacher and Education Personal (SEAMO QITEP) in Language menunjukkan penggunaan bahasa daerah perlu dikembangkan oleh Pemerintah Indonesia, terutama di wilayah pelosok di Indonesia.

Direktur SEAMO QITEP Felicia Nuradi Utorodewo mengatakan bahwa program pendidikan multibahasa berbasis bahasa ibu memfokuskan daerah menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar yang selanjutnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantar.

Felicia mengatakan bahwa idealnya pada kelas 4 SD barulah para guru menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar di dalam kelas. Hal ini pula yang dilakukan di beberapa negara, seperti Filipina, Thailand, dan Kamboja. Negara tersebut mendapatkan dukungan dari kementerian pendidikan setempat dan UNESCO. Mereka menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar hingga kelas 3 SD. “Dari kelas 1-3 siswa diajarkan bahasa ibu, setelah itu kemudian bahasa kedua,” ujarnya.

Belum berpihak

Staf pengajar Universitas Lambung Mangkurat Jumadi mengatakan bahwa Kurikulum 2013 belum berpihak pada penggunaan bahasa daerah. Meski ada mata pelajaran muatan lokal alias mulok yang wajib diajarkan di sekolah, tidak semua sekolah mengajarkan bahasa daerah untuk kegaiatan mulok. Ada sekolah-sekolah yang berinisiatif untuk mengajarkan pelajaran membatik atau seni budaya daerah sebagai mulok. Hal ini, menurutnya, mengurangi potensi penggunaan bahasa daerah di sekolah meskipun tidak ada salahnya juga sekolah mengajarkan seni budaya daerah. Muatan lokal memang memberikan kebebasan bagi sekolah untuk menentukan apa yang akan diajarkan. “Yang suka membatik, sekolah akan memilih membatik sebagai mulok,” katanya.

Hal serupa juga dikemukakan Staf Ahli Dinas Pendidikan, Pemuda dan  Olahraga Provinsi Bali I Wayan Widana. Ia mengatakan bahwa penggunaan bahasa daerah cukup menemui banyak hambatan. Di Bali misalnya, masyarakatnya lebih tertarik menggunakan bahasa Inggris dalam kehidupan sehari-hari. Hal tersebut bukan tanpa alasan lantaran bahasa Inggris dinilai bisa mendatangkan uang. Padahal, bahasa Bali juga erat berkaitan dengan budaya dan ritual agama Hindu.

Staf  pengajar Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Udjang Basir mengungkapkan penggunaan bahasa daerah di Jawa Timur tak bisa lepas dari dukungan pemerintah. Bersama para guru bahasa daerah, wilayah Surabaya akhirnya bisa meng-goal-kan penggunaan bahasa daerah sebagai mulok yang wajib diterapkan di semua sekolah di Jawa Timur. Dengan instruksi dari gubernur, ternyata penggunaan bahasa daerah bisa dimasifkan di lingkungan sekolah.

Hal serupa juga dilakukan di Papua. Ketua PGRI Papua Nomensen ST Mambraku mengatakan, di Papua kini diupayakan makin memopulerkan bahasa daerah. Wilayah paling timur Indonesia ini memiliki lebih dari seratus bahasa daerah. Menurutnya, bahasa daerah sangat membantu dalam kegiatan belajar mengajar lantaran anak-anak lebih akrab dengan bahasa mereka sehari-hari. Jika tidak digunakan di sekolah, ia juga khawatir bahasa Papua akan hilang.

Meski demikian bahasa merupakan budaya yang tak cukup diajarkan di sekolah saja. Kepala Pusat Penelitian kebijakan (Puslitjak) Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Bambang Indsriyanto, mengatakan selain sekolah, komunitas di daerah juga perlu mendukung agar bahasa daerah bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. rep:dwi murdaningsih ed: hiru muhammad

BAHASA DAERAH SEMAKIN PUNAH
Rabu, 05 Maret 2014, 12:00 WIB
Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA —  Ratusan bahasa daerah yang ada di Indonesia, kian terancam punah. Di Indonesia diperkirakan ada sekitar 746 bahasa daerah. Namun yang berhasil dipetakan oleh Balai Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ada 594 bahasa daerah.

Kepala Balai Bahasa DI Yogyakarta, Tirto Suwondo mengatakan, kebanyakan bahasa daerah yang punah berada di luar pulau Jawa.  ‘’Kemungkinan bahasa daerah yang belum dipetakan tersebut punah karena tidak ada pemakainya lagi,’’ kata Tirto di kantornya, Selasa (4/3).

Pemetaan bahasa daerah tersebut dilakukan sekitar tiga atau empat tahun lalu. Jumlah bahasa daerah di Indonesia, menurut peneliti asing maupun dari Indonesia , jumlahnya tidak sama. Data terakhir menyebutkan jumlahnya sekitar 726 bahasa.

Tirto mengatakan, dari 400 lebih bahasa daerah yang berhasil dipetakan, jumlah penutur yang lebih  dari satu juta orang hanya ada 13 bahasa.  Antara lain Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Bugis, Bahasa Minang, Bahasa Bali.

Salah satu penyebab punahnya bahasa daerah karena jumlah penuturnya semakin sedikit. Biasanya, kata Tirto, bahasa daerah hanya dikuasai oleh para orang tua.  Sedangkan anak dan cucu mereka, kehidupannya sudah modern sehingga banyak yang menggunakan bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing. Tirto mengakui, bahasa daerah bisa tetap hidup selama penuturnya masih ada.

Bahasa Jawa, kata Tirto, pemakainya masih banyak. Namun dalam pergaulan anak-anak sekarang sudah tidak dipakai lagi. Untuk bahasa daerah yang jumlah pemakainya masih besar seperti  Jawa, Sunda dan Bali, di sekolah masih diajarkan. Bahkan untuk bahasa Jawa,  penuturnya tesebar di tiga provinsi yakni DIY, Jawa Tengah dan Jawa Timur).

Karena itu, dia memperkirakan bahasa Jawa belum akan punah namun mengalami penurunan jumlah penutur. ‘’Bahasa Jawa punahnya mungkin masih ratusan tahun,’’ kata Tirto.

Di sekolah formal mulai dari SD hingga SMA, saat ini  masih ada pelajaran bahasa Jawa. Pemda setempat pun, kata dia, masih gencar melakukan pembinaan bahasa Jawa kepada para guru. Disamping penuturnya masih banyak, keuntungan lain bahasa Jawa karena jenisnya tidak banyak.

Berbeda halnya dengan di Nusa Tenggara Barat misalnya, yang memiliki ragam bahasa daerah hingga 20 jenis. ‘’Akibatnya, pemerintah kesulitan untuk memilih bahasa mana yang akan dibina,’’ kata dia.

Meski masih terbilang banyak penuturnya, bahasa Sunda juga tergolong bahasa yang terancam punah. Kepala UPTD Balai Pengembangan Bahasa Daerah Jawa Barat, Husen M Hasan mengatakan, sudah banyak warga atau para pemuda khususnya yang meninggalkan bahasa Sunda.

Menurutnya, salah satu pengaruh yang terbesar adalah budaya asing yang masuk melalui media internet. Hasan mengatakan, globalisasi tidak bisa dihindari tapi upaya pencegahan agar budaya lokal tidak tergerus arus bisa dilakukan. Caranya, kata Hasan, para orang tua diimbau untuk selalu menggunakan bahasa Sunda sehari-hari di keluarganya masing-masing.

Dukungan pemerintah Jawa Barat, melalui pelajaran muatan lokal bahasa daerah yang wajib diajarkan di tingkat SD hingga SMP juga sangat mendukung. ‘’Tapi itu hanya dua jam pelajaran seminggu. Jadi yang paling penting itu dari keluarga sehari-hari,’’ katanya.

Di Sumatera Selatan (Sumsel), ancaman kepunahan bahasa daerah belum terlalu mengkhawatirkan.Kepala Balai Bahasa Provinsi Sumsel, Aminulatif Ikob, mengatakan berbagai bahasa daerah yang ada di daerah itu masih banyak penuturnya

Bahasa ibu di sejumlah daerah di Sumsel, kata dia, masih terus dipakai untuk berkomunikasi di masing-masing komunitas. ‘’Bahasa Palembang, bahasa Komering, bahasa Kayuagung, bahasa Enim dan bahasa Lintang bisa dengan mudah kita jumpai di tengah masyarakat,’’ katanya.

Peran pemerintah daerah dengan memasukkan bahasa daerah dalam mata pelajaran yang diajarkan setiap satu minggu sekali, diakuinya sangat membantu. Dengan cara ini, pelestarian bahasa daerah ke generasi muda diharapkan bisa tercapai.

Peneliti bahasa dan sastra Lampung, Evi Maha Kastri mengatakan, penggunaan bahasa Lampung secara lisan masih dipergunakan masyarakat terutama di daerah dan pinggiran kota. Sedangkan di perkotaan, ia menegaskan hanya kalangan tertentu terutama sesama orang Lampung yang menggunakannya.

Menurutnya, bahasa Lampung belum bisa dikatakan terancam punah, karena masih terpakai baik lisan dan tulisan di berbagai daerah atau ulun di Lampung. ‘’Saya kurang setuju kalau dikatakan terancam punah. Tapi,kalau terjadi pergeseran barangkali.  Terutama di perkotaan yang masyarakatnya multikultural,’’ ujarnya.  N neni ridarineni/maspril aries/mursalin yasland, c30 ed: andi nur aminah.

Informasi dan berita lain selengkapnya bisa dibaca di Republika, terimakasih.[]

IKHTIAR SELAMATKAN BAHASA

Senin, 08 September 2014, 12:00 WIB

Globalisasi dimafhumi tak hanya mengantarkan informasi dan modernisasi ke pelosok negeri. Satu hal yang juga menjadi korbannya adalah keberagaman lokal, utamanya bahasa daerah.

Pendataan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sejak lama sudah mengungkapkan kian berkurangnya penggunaan bahasa daerah. Tak hanya itu, bahasa daerah juga kian lama terancam punah. Sejumlah bahasa malah sudah mengalami nasib tersebut.

Pulau Kalimantan secara keseluruhan adalah wilayah dengan bahasa-bahasa yang beragam. Terlebih, daerah tersebut ditinggali suku-suku yang beragam.

Kekhawatiran tersebut juga menyergap pihak Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). “Diperlukan solusi konkret untuk mencegah bergesernya bahasa daerah akibat perkembangan dan kemajuan zaman, sehingga bahasa daerah tetap lestari,” kata Ketua Tim Legsikograf Balai Bahasa Kalsel Musdalifah, Ahad (7/9).

Terkait kekhawatiran itu, menurut Musdalifah, Balai Bahasa tak tinggal diam. Mereka akan mengundang para peneliti dari seluruh Indonesia untuk menggagas cara menyelamatkan bahasa-bahasa daerah.

Para guru besar dari berbagai universitas akan dikumpulkan di Kabupaten Banjar, Kalsel, 10-11 September 2014. Para ahli tersebut, kata Musdalifah, akan mendiskusikan berbagai hal yang berkaitan dengan pergeseran bahasa daerah di seluruh Indonesia sekaligus mencari solusinya.

Sebelumnya, Balai Bahasa Kalsel juga telah melakukan perekaman bahasa daerah yang hampir punah di provinsi setempat. Saat itu, Musdalifah bersama empat anggota tim turun ke lapangan untuk melakukan perekaman terhadap bahasa yang hampir punah di beberapa kabupaten. “Salah satu kabupaten yang kami kunjungi adalah Kabupaten Barito Kuala tepatnya di Kecamatan Berangas Desa Berangas Timur untuk melakukan perekaman Bahasa Dayak Berangas yang diperkirakan hampir punah,” ujarnya.

Di Indonesia, diperkirakan ada sekitar 726 bahasa daerah. Tapi, yang berhasil dipetakan ada 456 bahasa daerah. Kebanyakan bahasa daerah yang punah di luar Jawa. ”Kemungkinan bahasa daerah yang belum dipetakan tersebut punah karena tidak ada pemakainya lagi,” kata Kepala Balai Bahasa DIY Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tirto Suwondo, beberapa waktu lalu.

Dari 400 lebih bahasa daerah yang berhasil dipetakan tersebut, jumlah pemakai yang lebih dari satu juta orang hanya ada 13 bahasa. Di antaranya, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bugis, bahasa Minang, bahasa Bali.

Menurut tirto,penyebab punahnya bahasa daerah karena jumlah pemakainya semakin sedikit. Biasanya, bahasa daerah itu hanya dikuasai para orang tua, sedangkan anak-anaknya dan cucunya kehidupannya sudah modern, sehingga banyak menggunakan bahasa Indonesia, bahkan bahasa asing. antara ed: fitriyan zamzami

***
Bahasa Punah

Mapia (Papua)
Tandia (Papua)
Bonerif (Papua)
Saponi (Papua)

Terancam Punah:
Lom (Sumatera)
Budong-budong (Sulawesi)
Dampal (Sulawesi)
Bahonsai (Sulawesi)
Baras (Sulawesi)
Lengilu (Kalimantan)
Punan Merah (Kalimantan)
Kareho Uheng (Kalimantan)
Hukumina (Maluku)
Kayeli (Maluku)
Nakaela (Maluku)
Hoti (Maluku)
Hulung (Maluku)
Kamarian (Maluku)
Salas (Maluku)

Sumber: Balai Bahasa

Duh, 3.000 Bahasa di Dunia Terancam Punah

Rabu, 24 September 2014, 14:35 WIB

[ist]
Unesco
Unesco

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA– Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan PBB (UNESCO) menyebutkan sebanyak 3.000 dari 6.000 bahasa di dunia hampir punah, sebagian besar merupakan milik etnis minoritas.

“Hampir 50 persen hampir punah, terutama bahasa suku atau etnis minoritas,” kata mantan Direktur UNESCO wilayah Bangkok Sheldon Shaeffer di Jakarta, Rabu.

Dalam seminar internasional bertema “Penggunaan bahasa daerah/ibu untuk meningkatkan kompetensi siswa sekolah dasar” yang digelar SEAMEO QITEP in Language, Sheldon mengatakan pelestarian bahasa daerah mendesak dilakukan.
Ia mengatakan dari 6.000 bahasa di dunia tersebut sebanyak 40 persen berstatus terancam punah dan hanya 10 persen yang aman.

“Sekitar 96 persen bahasa-bahasa ini digunakan oleh hanya 4 persen populasi dunia,” ungkapnya.

Khusus di wilayah Asia, dari 2.303 bahasa, 879 bahasa terancam atau hampir punah. Sedangkan di Asia Tenggara, dari 1.253 bahasa, sebanyak 527 bahasa terancam atau hampir punah. Data ini dapat dilihat lebih rinci di ‘ethnologue languages of the world.

Pengertian hampir punah adalah orang tua tidak menggunakan bahasa tersebut. Sedangkan terancam artinya bahasa dikuasai orang tua, tetapi tidak digunakan dengan anak-anak mereka. Sheldon mengatakan punahnya sebuah bahasa akan menghilangkan identitas atau budaya tertentu. Karena itu bahasa daerah atau bahasa ibu harus dikembangkan atau dihidupkan lagi karena bahasa menyimpan sejarah, dan bahasa membantu pembelajaran.

Sekretaris Jendral Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Ainun Naim mengatakan pengembangan bahasa daerah di Indonesia dilakukan dengan integrasi pelajaran bahasa daerah dalam muatan lokal. “Muatan lokal dengan seni dan buadaya juga sebenarnya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan bahasa daerah,” ujarnya.[]

Balai Bahasa Rekam Bahasa Hampir Punah di Kalsel

Rabu, 23 April 2014, 18:08 WIB
Antara/Dewi Fajrian
Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).
Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARBARU — Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan melakukan perekaman bahasa daerah yang hampir punah di provinsi setempat.  Itu dilakukan untuk menyelamatkan bahasa yang menjadi ciri khas suatu daerah terutama di pelosok dan daerah pinggiran kota.

Ketua Tim Legsikograf Balai Bahasa Kalsel Musdalifah SS MPd di Banjarbaru, Rabu (23/4) mengatakan, pihaknya bersama empat anggota tim sudah turun ke lapangan untuk melakukan perekaman terhadap bahasa yang hampir punah pada beberapa kabupaten di provinsi setempat.

“Salah satu kabupaten yang kami kunjungi adalah Kabupaten Barito Kuala tepatnya di Kecamatan Berangas Desa Berangas Timur untuk melakukan perekaman Bahasa Dayak Berangas yang diperkirakan hampir punah,” ujarnya.

Disebutkan, empat anggota tim Legsikograf dari Balai Bahasa Kalsel yang terjun langsung ke lapangan melakukan perekaman bahasa adalah Siti Jamzaroh M Hum, Ahmad Zaini SAg MPd, Anasabiqatul Husna SS, dan Laila SPd.

Dijelaskan Musdalifah didampingi Siti Jamzaroh yang merupakan peneliti di Balai Bahasa Kalsel, pihaknya melibatkan tujuh nara sumber yang merupakan tetuha masyarakat Berangas yang masih aktif menggunakan bahasa daerah itu.

“Proses perekaman dilakukan di Balai Desa Berangas Timur Kecamatan Berangas Barito Kuala selama lima hari sejak Selasa (22/4) hingga Sabtu (26/4) dan hasilnya akan disusun kemudian dijadikan kamus Bahasa Dayak Berangas,” ungkapnya.

Dikatakan, tujuan perekaman adalah mengumpulkan seluruh kosakata dan sastra yang masih digunakan dan berkembang di lingkungan masyarakat Berangas baik tertulis maupun lisan sehingga bisa disusun dan ke depannya menjadi kamus bahasa dayak setempat.[]

 

Ratusan Bahasa Daerah di Indonesia Punah

Selasa, 04 Maret 2014, 14:48 WIB

Sekolah dwibahasa/ilustrasi

Sekolah dwibahasa/ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA –  Di Indonesia diperkirakan ada sekitar 726 bahasa daerah. Namun yang berhasil dipetakan ada 456 bahasa daerah. Kebanyakan bahasa daerah yang punah di luar Jawa.

”Kemungkinan bahasa daerah yang belum dipetakan tersebut punah karena tidak ada pemakainya lagi,”kata Kepala Balai Bahasa DIY Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tirto Suwondo di kantornya, Selasa (4/3).

Pemetaan bahasa daerah tersebut dilakukan sekitar 3-4 tahun yang lalu. Namun menurut peneliti asing maupun dari Indonesia yang meneliti bahasa daerah  di seluruh Indonesia tidak sama jumlahnya. Namun data terakhir menyebutkan jumlah bahasa daerah di Indonesia  sekitar 726 bahasa.

Dari 400 lebih bahasa daerah yang berhasil dipetakan tersebut, jumlah pemakai yang lebih dari satu juta orang hanya ada 13 bahasa antara lain: Bahasa Jawa, Bahasa Sunda, Bahasa Bugis, Bahasa Minang, Bahasa Bali.

Penyebab punahnya bahasa daerah karena jumlah pemakainya semakin sedikit. Biasanya bahasa daerah itu hanya dikuasai oleh para orang tua, sedangkan anak-anaknya dan cucunya kehidupannya sudah modern sehingga banyak menggunakan bahasa Indonesia dan bahkan bahasa asing.

Diakui Tirto bahasa itu hidup sehingga mau tidak mau akan punah bila pemakainya sudah tidak ada. Karena bahasa hidup, maka bahasa yang besar akan mendesak bahasa yang kecil pemakainya.

“Perekaman kosakata bahasa Dayak Berangas untuk mendokumentasikan kosakata dan berbagai tradisi serta sastra lisan yang pernah hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat tetapi mulai ditinggalkan bahkan hampir punah,” ujarnya.[]Q

Balai Bahasa Abadikan Bahasa Hampir Punah di Kalimantan

Rabu, 23 April 2014, 11:33 WIB

Antara/Dewi Fajrian

Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).
Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANJARBARU– Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan merekam bahasa daerah yang hampir punah di provinsi setempat untuk menyelamatkan bahasa yang menjadi ciri khas suatu daerah terutama di pelosok dan pinggiran kota.

Ketua Tim Legsikograf Balai Bahasa Kalsel Musdalifah SS MPd di Banjarbaru, Rabu, mengatakan pihaknya bersama empat anggota tim sudah turun ke lapangan untuk melakukan perekaman terhadap bahasa yang hampir punah pada beberapa kabupaten di provinsi setempat.

“Salah satu kabupaten yang kami kunjungi adalah Kabupaten Barito Kuala tepatnya di Kecamatan Berangas Desa Berangas Timur untuk melakukan perekaman Bahasa Dayak Berangas yang diperkirakan hampir punah,” ujarnya.

Disebutkan, empat anggota tim Legsikograf dari Balai Bahasa Kalsel yang terjun langsung ke lapangan melakukan perekaman bahasa adalah Siti Jamzaroh, Ahmad Zaini, Anasabiqatul Husna, dan Laila.

Dijelaskan Musdalifah didampingi Siti Jamzaroh yang merupakan peneliti di Balai Bahasa Kalsel, pihaknya melibatkan tujuh nara sumber yang merupakan tetuha masyarakat Berangas yang masih aktif menggunakan bahasa daerah itu.

“Proses perekaman dilakukan di Balai Desa Berangas Timur Kecamatan Berangas Barito Kuala selama lima hari sejak Selasa (22/4) hingga Sabtu (26/4) dan hasilnya akan disusun kemudian dijadikan kamus Bahasa Dayak Berangas,” ungkapnya.

Dikatakan, tujuan perekaman adalah mengumpulkan seluruh kosakata dan sastra yang masih digunakan dan berkembang di lingkungan masyarakat Berangas baik tertulis maupun lisan sehingga bisa disusun dan ke depannya menjadi kamus bahasa dayak setempat.

“Perekaman kosakata bahasa Dayak Berangas untuk mendokumentasikan kosakata dan berbagai tradisi serta sastra lisan yang pernah hidup dan berkembang di lingkungan masyarakat tetapi mulai ditinggalkan bahkan hampir punah,” ujarnya.

Ditambahkan, perekaman merupakan lanjutan kegiatan tahun lalu dengan lokasi berbeda yakni di Desa Alalak Utara Kota Banjarmasin dan menurut informasi nara sumber penutur aktif bahasa itu hanya tersisa sekitar 60 orang di Desa Alalak Utara sedangkan di Berangas lebih sedikit.

“Jumlah penutur aktif bahasa Dayak Berangas yang diperkirakan lebih sedikit itu menandakan bahasa daerah yang digunakan hampir punah sehingga kami berupaya menyelamatkannya sehingga ke depan bisa disusun menjadi sebuah kamus,” katanya.[]

PENDIDIKAN

Universitas Leiden Garap Perpustakaan Studi Bahasa Indonesia

Senin, 03 Maret 2014, 18:15 WIB
alternativesnews.org
Universitas Leiden
Universitas Leiden

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Universitas Leiden ingin memperkuat hubungan dengan Indonesia. Universitas tertua di Belanda ini mengunjungi Indonesia untuk makin mempererat hubungan. Hubungan Indonesia dan Leiden memang telah terjalin lama. Caspar Reinwardt, pendiri kebun raya Bogor, adalah profesor dan direktur kebun raya di Universitas Leiden.

Delegasi yang dipimpin oleh Rektor Carel Stolker ini mencari peluang kolaborasi baru dengan universitas, lembaga penelitian dan organisasi pemerintah.  Secara khusus, Stolker mendapatkan misi dari Leiden untuk mengembangkan perpustakaan studi Bahasa Indonesia.

“Kami akan melakukan kemitraan yang erat dengan rekan-rekan kami di Indonesia, juga akan dilakukan digitalisasi proyek-proyek ini sehingga materi yang tersedia dapat dinikmati oleh para sarjana di seluruh dunia,” kata Stolker.

Baru-baru ini, perpustakaan Universitas Leiden telah menjadi penanggung jawab atas koleksi buku-buku dari Royal Netherlands Institute of Southeast Asian Studies dan Karibia ( KITLV ) dan Royal Tropical Institute (KIT). Dikombinasikan dengan koleksi milik Leiden sendiri, akan tercipta pusat penelitian terbesar mengenai Indonesia di dunia.

Lebih dari 10 kilometer arsip yang terdiri dari buku-buku, jurnal, peta dan manuskrip, akan menjadi bagian dari perpustakaan Asian masa depan di Universitas Leiden. Sejak tahun 1969, sebagian besar buku-buku dan jurnal ini dibeli oleh KITLV yang berkantor kantor di Jakarta. Kegiatan ini akan terus dilakukan. Mulai tanggal 1 Juli KITLV juga akan mewakili Universitas Leiden di Indonesia .

Tak hanya itu, Universitas yang didirikan tahun 1575 ini menandatangani perjanjian dengan Universitas Indonesia (UI) dan Universitas Gadjah Mada (UGM). Leiden dan UI akan memfasilitasi pertukaran pelajar di bidang humaniora. Fakultas Kedokteran dari kedua universitas sepakat untuk memperpanjang kerjasama dan pertukaran mereka di bidang parasitologi.[]

Kamus Bahasa Lampung Pertama Dikembalikan ke Lampung

Kamis, 27 Februari 2014, 06:36 WIB
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilustrasi
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BANDARLAMPUNG — Kamus bahasa Lampung pertama yang disusun oleh Herman Neubronner van der Tuuk (1824–1894), ahli bahasa dan budaya Nusantara asal Belanda, setelah sekitar 1,5 abad tersimpan di Belanda, kini telah kembali ke Lampung.

Menurut Manager Lembaga Amil Zakat (LAZ) Lampung Peduli Umaruddin Ismail mendampingi J Panji Utama, wakil dari pihak yang berinisiatif mengembalikan kamus karangan H N van der Tuuk itu, di Bandarlampung, Kamis (27/2), kamus bahasa Lampung yang pertama disusun tersebut dibuat saat van der Tuuk menetap di Lampung (1868–1869), tepatnya di tepi Sungai (Way) Seputih.

Namun, informasi tersebut tidak banyak diketahui bahwa kamus tersebut selama ini tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda selama sekitar 1,5 abad lamanya. Bahkan, diperkirakan belum ada orang Lampung yang pernah melihat bentuk dan isi kamus tersebut.

Masyarakat Lampung melalui konsolidasi dan fasilitasi Lampung Peduli telah berupaya mendapatkan kembali kamus tersebut secara mandiri. Atas bantuan dan kerja sama dengan Kedutaan Besar Belanda, perpustakaan Universitas Leiden Belanda, dan Kepala Erasmus Taalcentrum Jakarta, kamus bahasa Lampung pertama karya H N van der Tuuk itu kini telah kembali ke Lampung.

Herman Neubronner van der Tuuk adalah yang pertama kali membuat kamus bahasa Batak, Bali, dan Lampung. Ahli bahasa dan pembuat kamus (leksikografer) itu juga menjadi editor kamus Melayu (Von den Wall), Jawa, dan lain-lainnya.

Menurut Panji Utama, kamus bahasa Lampung pertama karangan van der Tuuk dapat diibaratkan sebagai salah satu harga diri Lampung yang sekian lama terabaikan.

“Upaya untuk mendapatkan kembali kamus tersebut adalah langkah konkret yang telah dilakukan oleh masyarakat sebagai bagian dari upaya pengembangan dan pelestarian budaya, sejarah, dan bahasa Lampung,” katanya pula.[]

Allah melaknat orang yang menyuap dan orang yang menerima suap (HR Muslim )

Hati-hatilah terhadap dusta. Sesungguhnya dusta membawa kepada kejahatan dan kejahatan membawa kepada neraka. Selama seorang dusta dan selalu memilih dusta dia tercatat di sisi Allah sebagai seorang pendusta (pembohong)((HR. Bukhari))

PERTAHANKAN BAHASA LOKAL SEBAGAI IDENTITAS

PERTAHANKAN BAHASA LOKAL SEBAGAI IDENTITAS
Kamis, 03 September 2015, 22:16 WIB
Antara/Dewi Fajrian
Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).
Seorang perempuan membaca salah satu buku sastra daerah dalam Kongres Internasional II Bahasa-bahasa Daerah Sulawesi Selatan di Makassar (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG — Bahasa lokal, termasuk bahasa daerah beserta variasi dialeknya, harus dipertahankan sebagai pembangun identitas, kata Kepala Balai Bahasa Jawa Tengah Pardi Suratno.

“Orang Jawa, misalnya, diidentifikasi dari bahasa yang digunakan sehari-hari. Orang Bugis dikenal karena berbahasa Bugis, kemudian orang Madura, Sunda, dan sebagainya,” katanya di Semarang, Kamis (3/9).

Hal tersebut diungkapkannya usai kegiatan Language Maintenance and Shift (Lamas) V bertema “The Role of Indigenous Language in Constructing Identity” yang berlangsung pada tanggal 2–3 September 2015.

Menurut dia, bahasa merupakan wadah kebudayaan yang mencerminkan identitas pemiliknya, termasuk bahasa daerah, sehingga harus terus diajarkan, dilestarikan, dan dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari.

“Kalau di Jateng, kami mengapresiasi dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 9/2012 tentang Bahasa, Sastra, dan Aksara Jawa. Ini merupakan wujud kepedulian terhadap pelestarian bahasa daerah,” katanya.

Bahasa daerah yang digunakan di Jawa Tengah secara umum, kata dia, adalah bahasa Jawa. Namun, karena wilayah yang luas dan pengaruh kekuasaan zaman kerajaan, tercipta berbagai dialek bahasa.

“Berbagai dialek itu, misalnya bahasa Jawa Solo yang standar, kemudian ada dialek Banyumasan, Tegal, Pati, dan sebagainya. Umumnya, dialek-dialek ini berkembang di daerah pesisir,” katanya.

Sejalan dengan regulasi itu, kata dia, masyarakat lokal diperbolehkan untuk mengajarkan, melestarikan, dan memanfaatkan dialek-dialek khas yang diwariskan leluhurnya itu kepada generasi muda.

“Jadi, di Banyumas atau Tegal, misalnya, tidak harus mengajarkan bahasa Jawa sebagaimana Solo. Namun, mengajarkan dialek-dialek khas setempat, termasuk pula kesenian dan adat istiadatnya,” katanya.

Pardi juga mengingatkan bahwa bahasa daerah tidak hanya terdapat di Indonesia, tetapu juga terdapat di berbagai negara lain yang memiliki ciri khas tertentu, belum termasuk dialek yang menjadi variasinya.

“Oleh karena itu, kami undang mereka semua dalam Lamas ini yang menjadi ajang pertemuan dan komunikasi para pemerhati bahasa lokal, bahasa daerah di seluruh provinsi, termasuk luar negeri,” katanya.

Kegiatan tahun yang sudah rutin digelar sejak lima tahun lalu itu dihadiri oleh para pengajar bahasa daerah, bahasa Indonesia, dan bahasa asing dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia dan luar negeri.

“Dari luar negeri, ada pengajar dari Amerika Serikat, India, Libya, dan Malaysia. Kalau total peserta yang hadir ada 108 orang. Semua peserta diwajibkan untuk menyusun dan menyampaikan makalah,” ungkapnya.[]

RUU Bahasa Daerah Ditarget Kelar 2016
Senin, 15 Juni 2015, 17:01 WIB

DPF
enator asal Bengkulu Eni Khaerani

REPUBLIKA.CO.ID, BENGKULU — Rancangan Undang-Undang (RUU) bahasa daerah ditargetkan kelar tahun 2016. Senator asal Bengkulu Eni Khaerani mengatakan pihaknya sedang menyusun RUU Bahasa Daerah yang menjadi program legislasi nasional (prolegnas) prioritas tahun 2016. Tugas Komite di bidang pengajuan RUU adalah mengadakan persiapan, pembahasan, dan penyempurnaan materi draft RUU beserta naskah akademiknya.

“RUU ini akan diajukan sebagai usul inisiatif untuk dibahas bersama DPR RI dan Pemerintah. Targetnya selesai tahun 2016,” ujar anggota Komite III DPD RI dalam kunjungan kerja (kunker) Komite III DPD RI ke Bengkulu, Senin (15/6).

Dosen Universitas Muhammadiyah Bengkulu ini menambahkan, RUU itu akan mengatur perlindungan bahasa daerah yang menegaskan pelaksanaannya. RUU Bahasa Daerah tersebut urgen dan relevan mengingat 659 bahasa suku bangsa dengan 2.636 variasi dialektal sebagai pembentuk identitas negara Republik Indonesia dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Bahasa Indonesia merupakan refleksi dan serapan dari berbagai bahasa suku bangsa dan menjadi indentitas negara Republik Indonesia.

Kunker itu di antaranya menemui jajaran Pemerintah Provinsi Bengkulu, selain pimpinan/anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Bengkulu, Universitas Bengkulu, dan Pusat Bahasa Provinsi Bengkulu. Tujuan kunker adalah menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat dan daerah guna menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Bahasa Daerah sebagai usul inisiatif Komite III DPD RI. Untuk RUU yang sama, tim lainnya berkunjung ke sejumlah daerah.

Asisten III Bidang Administrasi Umum Sekretariat Daerah Provinsi Ir H Sudoto MPd, yang menerima delegasi kunker itu, menyatakan Pemerintah Provinsi Bengkulu mendukung RUU usul inisitif Komite III DPD RI tersebut. “Kekayaan tradisi dan budaya akan dapat dilestarikan dan berguna bagi masyarakat selama bahasa daerah masih hidup. Ketika bahasa daerah hidup, maka budaya akan hidup,” katanya.

Redaktur : Dwi Murdaningsih

FAHIRA IDRIS: TAK SEDIKIT BAHASA DAERAH PUNAH

FAHIRA IDRIS: TAK SEDIKIT BAHASA DAERAH PUNAH

bergerlora.com,Selasa, 31 Maret 2015

Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris‏ (Ist)Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris‏ (Ist)JAKARTA- Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) menyadari status vitalitas sebagian bahasa daerah, baik lisan maupun tulis, yang memprihatinkan karena punah, hampir punah, sangat terancam, terancam, dan potensial terancam. Status sebagian bahasa daerah tidak terancam karena penuturnya masih banyak.

“Tak sedikit yang terancam, hampir punah atau bahkan punah,” demikian Wakil Ketua Komite III DPD RI Fahira Idris senator asal Daerah Khusus Ibukota Jakarta dalam rapat dengar pendapat dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Badan Bahasa) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/3) lalu.

Kepada Bergelora.com ia merujuk vitalitas bahasa yang digolongkan enam kelompok, status sebagian bahasa daerah tersebut tidak terancam (not endangered languages) karena penuturnya masih banyak sebagai keberhasilan transmisi (peralihan) antargenerasi, tapi status sebagian bahasa daerah memprihatinkan karena statusnya punah (extinct languages) karena tanpa penutur, hampir punah (nearly extinct languages) karena penuturnya hanya terbatas generasi tua, sangat terancam (seriously endangered languages) karena generasi muda (anak-anak) tidak menggunakannya, terancam (endangered languages) karena penutur generasi muda (anak-anak) menurun, dan potensial terancam (potentially endangered languages) karena penuturnya hanya anak-anak sehingga statusnya tidak resmi.

Fahira Idris menegaskan komitmen pihaknya untuk menghasilkan Rancangan Undang-Undang (RUU) usul inisiatif bernama RUU tentang Bahasa dan Kesenian Daerah. Sebetulnya, kebijakan penanganan bahasa daerah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

“Keduanya mencerminkan kemauan politik negara yang nyata, tapi upaya penanganan bahasa daerah belum optimal,” ujarnya.

Upaya penanganan bahasa daerah belum optimal karena selama ini kebijakan dan program pengembangan, pembinaan, dan pelindungan bahasa daerah yang dilakukan pemerintah daerah (pemerintah provinsi/kabupaten/kota) dan pemerintah pusat (kementerian/lembaga) hanya parsial seperti pemerintah daerah melahirkan peraturan daerah (perda) dan kementerian mengeluarkan peraturan menteri (permen).

“Optimalisasinya belum yang seharusnya. Oleh karena itu, kami menginisiasi RUU usul inisiatif ini. Bahasa daerah sebagai bagian kebudayaan merupakan kearifan lokal yang merekatkan bangsa. Bahasa daerah berkontribusi dalam membentuk karakter bangsa. Merupakan tugas mulia untuk melestarikan bahasa daerah,” katanya.

Komite III DPD RI menyadari ancaman kepunahan bahasa daerah yang menggoyahkan kebudayaan daerah, kebutuhan penanganan bahasa daerah selevel undang-undang, dan undang-undang bahasa daerah yang merupakan kepentingan masyarakat dan daerah. Poin pentingnya ialah negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional, serta negara memberi kesempatan dan keleluasaan kepada masyarakat untuk melestarikan bahasa daerah. (Enrico N. Abdielli)

Jurnal Toddoppuli: MENGEMBANGKAN SASTRA DAN BAHASA DAYAK NGAJU

Cerita buat Andriani S. Kusni & Anak-Anakku

Pada November 2010 lalu, Dinas Kebudayaan Dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Palangka Raya mengadakan lomba menulis cerita rakyat Dayak dalam bahasa Dayak Ngaju. Perlombaan jenis ini, baru pertama kali diorganisasi oleh Disbudpar Kota. Hasilnya baru diumumkan pada 10 Desember 2010.

Sebelumnya pada Mei 2010, Disbudpar telah menyelenggarakan lomba penulisan cerita rakyat Dayak, tapi dalam bahasa Indonesia. Kedua lomba mendapat sambutan hangat dari 30-an penulis. Dalam rangkaian kegiatan memperingati Hari Bahasa, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, diikuti oleh 42 penulis usia 14-19 tahun. Sementara itu, Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah pada November 2010 di Sei Rungau menyelenggarakan pelatihan penulisan selama seminggu siang-malam diikuti oleh 20-an peserta. Pelatihan serupa kemudian juga diselenggarakan oleh Harian Kalteng Pos, diikuti oleh 40 peserta.

Jika para peserta ini bisa dipandangan sebagai penulis atau calon-calon penulis, maka di Kalteng paling sedikit terdapat 100-an orang penulis dan atau calon penulis. Suatu jumlah yang tidak kecil jika para penulis ini terus menulis dan memandang kerja menulis adalah suatu keharusan dan profesi seperti bidang lainnya. Kalaupun dari 100-an orang ini, separuhnya- artinya 50 orang saja-yang ajeg menulis, maka untuk Kalteng yang berpenduduk hanya 2,2 juta jiwa, jumlah ini sudah memadai. Walaupun sebenarnya keterampilan menulis niscayanya dimiliki oleh semua orang, apapun profesi  mereka.

Hanya saja hal yang tidak mendukung pengembangan dunia tulis-menulis di provinsi ini adalah sangat minimnya kemampuan menghargai terhadap para penulis dari pihak-pihak resmi dan yang berhubungan dengan dunia penulisan.  Sehingga untuk hidup di Kalteng dari menulis sangat tidak bisa dimungkinkan. Terutama bagi penulis lepas profesional. Untuk bisa hidup, mereka tidak punya pilihan lain kecuali menjual karya-karya mereka ke luar Kalteng. Kesulitan lain, yaitu terbatasnya penerbitan. Yang paling parah, sangat kurangnya penghargaan terhadap penulis nampak dalam bentuk pencantuman nama diri untuk karya orang lain.

Penulis sebagai cendekiawan diperlukan karena ia adalah pengawasan sosial, pendidik publik, dan juga oleh pengetahuannya yang luas serta mendalam, ia bisa menjadi perangsang pemikiran ke arah perubahan maju manusiawi melalui karya-karya mereka. Karena itu di Perancis ada yang disebut Parlemen Para Penulis Dunia,. Beranggotakan para penulis dari seluruh dunia. Filosof Jacques Derrida, sosiolog Pierre de Bourdieu pernah menjadi ketuanya.

Lomba menulis memang salah salah cara untuk menumbuhkan barisan penulis. Karena itu jerih-payah Disbudpar Kota patut dihargai. Hanya yang paling efektif adalah penghargaan pada penulis dan karya-karyanya. Yang banyak berperan dalam menentukan mutu lomba adalah Dewan Juri. Dewan Juri asal-asalan akan menentukan kadar lomba  serta karya yang dimunculkan. Mengenai juri lomba tulis-menulis ini di Kalteng nampak ada kecenderungan menggunakan orang-orang itu saja, tanpa melibatkan orang yang benar-benar banyak berkecimpung di dunia penulisan seperti kritikus seni-sastra, sosiolog, budayawan, sastrawan, serta tanpa kriteria yang jelas.  Sehingga bukan tidak mungkin dengan susunan Dewan Juri demikian, memberi nilai pun asal-asalan oleh apresiasi sastra-seni yang pas-pasan, untuk tidak mengatakan tidak punya.

Selain itu, saya kira, suatu lomba yang dilakukan secara teratur, atau mulai mau diselenggarakan secara teratur perlu rencana dengan capaian target yang jelas. Rencana misalnya: untuk apa lomba diadakan, apa yang dilakukan kemudian dengan hasil lomba itu, untuk pengembangan: target apa yang mau dicapai dalam lomba tahun ini, kemudian tahun berikutnya apa yang mau dicapai seperti penulisan cerita-cerita kontemporer dalam Bahasa Dayak Ngaju. Dalam menetapkan target capaian, kiranya perlu dijelaskan apa yang dimaksudkan dengan cerita rakyat. Apakah penuturan ulang ataukah termasuk cerita yang ditafsirkan. Lomba yang diselenggarakan untuk menghabiskan alokasi anggaran, tidak mempunyai makna besar.

Sebaiknya pula, anak-anak usia remaja 12 tahun-19 tahun tidak disatukan dengan penulis yang berumur. Melihat kualitas pendidikan dan apresaisi sastra-seni di Kalteng, terasa sangat ganjil seorang anak SMP kelas dua, usia 14 tahun, bisa mengalahkan para akademisi, peneliti dan penulis-penulis yang jam terbangnya lebih lama. Wacana  dan apresiasi sastra-seni anak-anak usia 12-19 tahun sangat meragukan jika sudah setara dengan penulis-penulis dengan jam terbang lebih lama. Apalagi untuk ukuran Kalteng. Akan lebih masuk akal jika untuk usia 12-14 tahun dimasukkan dalam kategori tersendiri. Keanehan ini juga terdapat pada lomba menulis anak-anak usia 14-19 tahun yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa Provinsi Kalteng. Sangat meragukan sekali jika ada anak-anak yang tahu detail satu pertempuran 10 November di Surabaya dan nama-nama senjata yang digunakan. Sedangkan pengetahuan sejarah angkatan sekarang terkesan ada semacam keterpenggalan sejarah. Sejarah Kalteng dan pahlawan-pahlawan Kalteng saja belum tentu anak-anak sekarang mengetahuinya.

Tentu saja keanehan begini di hadapan Tim Juri yang cermat dan masih menggunakan akal, tidak akan lolos. Dari gejala keanehan begini, saya mencium bau busuk mentalitas yang sakit berat. Jika pada masa mendatang, ada rencana untuk kembali menyelenggarakan lomba menulis atau lomba apa saja, hendaknya pemilihan dewan juri dipertimbangkan benar untuk tidak terbelenggu oleh suatu kebiasaan usang yang tidak tanggap zaman lagi. Paling tidak diperluas dengan tenaga-tenaga yang memang bidangnya.

Hasil lomba menulis cerita rakyat dalam bahasa Dayak Ngaju ini, untuk menyambut tekad Gubernur Kalteng  A. Teras Narang, agar muatan lokal di Kalteng, niscaya ada pelajaran sejarah Kalteng dan Bahasa Dayak Ngaju, maka cerita-cerita ini jika diterbitkan akan bisa secara konkret mengisi kekosongan bahan. Kecuali itu dengan menerbitkannya, maka ia bisa mengisi lemari arsip, menjawab nyata juga tuntutan  pelestrian budaya yang banyak dibicarakan, tapi kurang diimbangi dengan tindakan nyata.

Lomba penulisan cerita rakyat, juga berarti jika dilihat dari upaya mengembangkan sastra lisan ke tulisan. Arti penting ini lebih-lebih bagi Kalteng yang tradisi lisannya masih kuat, sehingga tradisi tulisan belum berkembang. Di samping itu, ia menunjukkan kemampuan Bahasa Dayak Ngaju sebagai pendukung kehidupan sastra. Bentuk lain yang konkret pula untuk memelihara dan mengembangkan Bahasa Dayak Ngaju yang cukup lama tidak diurus dengan sungguh-sungguh oleh dunia pendidikan dan masyarakat Kalteng. Dengan terdapatnya bentuk tulisan dari karya-karya lisan, sangat membantu usaha pengkajian dan perbandingan sastra. Mengapa Jurusan Bahasa Indonesia Unpar  kurang mengindahkan masalah sastra lokal sedangkan Unpar diharapkan sesuai sejarah dan harpan yang menyertai lahirnya Unpar bisa berperan dalam upaya pelestarian dan pengembangan budaya lokal? Kejadian serupa Fakultas Hukum tidak acuh pada hukum adat Dayak.

Kegiatan Disbudpar Kota memberikan perhatian pada Bahasa Dayak Ngaju pantas dihargai pula, betapapun masih merupakan ayunan  langkah pertama. Saya tidak tahu, dalam upaya memelihara, mengembangkan dan menstandarisasi Bahasa Dayak Ngaju, apakah pihak Disbudpar tidak memandang perlu adanya seminar Bahasa Dayak Ngaju dan perlunya menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Dayak? Pertanyaan ini saya kemukakan melihat betapa simpang siurnya cara menulis  dan memaknai kosakata dalam Bahasa Dayak Nagju sekarang. Sadar akan arti Bahasa Dayak Ngaju ini, Sarikat Dajak yang berdiri pada tahun 1919 dan Pakat Dajak yang melanjutkannya telah menyelenggarakan Konfrensi Bahasa Dayak Ngaju di Penda Katapi (Wawancara Dengan TT. Suan, Mei 2010 di Palangka Raya). Kondisi sekarang, jauh lebih baik daripada zaman Penda Katapi. Barangkali yang beda adalah kesadaran dan semangat.

Tanpa kesadaran (dan upaya nyata) akan arti bahasa, bahasa Dayak akan terancam punah seperti bahasa  Moronene Kabaena, Kabupaten Bolbana, Sulawesi Tenggara, dan ratusan lainnya, oleh pergeseran zaman, menyebabkan generasi muda tidak tertarik lagi mempelajari sastra lisan. Padahal dalam sastra lisan dan bahasa ‘’terkandung nilai-nilai dan fungsi tersendiri dalam kehidupan masyarakat pendukung khususnya dan umumnya bangsa Indonesia dalam konteks keanekaragaman budaya’’, ujar Azramal dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

KUSNI SULANG, Anggota Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah (LEKDA-KALTENG)

Catatan Kusni Sulang: SASTRA NUSANTARA ADALAH SASTRA KEPULAUAN

Cerita untuk Andriani SJ Kusni & Anak-Anakku

siaran budaya ganderang tingang, ASK 2010 -- 2
Siaran budaya “Nganderang Tingang” yang diinisiasi oleh Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni bekerja sama dengan Radio Bravo di Palangka Raya menampilkan para pekerja seni-sastra sebagai penyiar dan narasumber dalam rangka menyebarluaskan ide-ide kebudayaan kepada khalayak luas. Foto/Dok.: Andriani SJ Kusni, 2010

Jurnal Toddoppuli – Les Insolindes, Insulinde, barangkali adalah istilah lain dari Nusantara yang menunjukkan kepada suatu kawasan yang terdiri dari berbagai pulau. Pengertian sempitnya, barangkali identik dengan wilayah yang sekarang menjadi wilayah negara Republik Indonesia dan budaya Melayu sehingga mencakup Malaysia Barat dan Timur serta Brunei. Mungkin termasuk juga Filipina Selatan dan Muangthai Selatan serta Timor Leste.

Sedangkan dalam dunia sastra, saya kira istilah ini menunjukkan kepada karya-karya seni yang menggunakan berbagai bahasa di berbagai pulau dan daerah di wilayah Republik Indonesia sebagai sarana utama pengungkapan diri, pengungkapan rasa dan karsa. Jika pemahaman begini benar maka konsekuensi nalarnya bahwa yang disebut sastra Nusantara, tidaklah sebatas karya-karya sastra yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Sastra berbahasa Indonesia hanyalah menjadi salah satu saja dari sastra Nusantara atau sastra Indonesia.

Jika kita sepakat dengan pengertian Nusantara seperti ini maka kita akan memasukkan karya-karya besar seperti I La Galigo dari Tanah Bugis, Sansana Bandar, Sansana Kayau Pulang dari Tanah Dayak, pantun-pantun, gurindam dan seloka Melayu, karya-karya yang ditulis oleh warga dari etnik Tionghoa atau Indo sebagai bagian dari sastra Nusantara dan bukan hanya membatasinya pada karya-karya yang ditulis dalam bahasa Indonesia “Modern” yang secara usia sangat pendek usianya dibandingkan dengan karya-karya tersebut dan yang kita sangat kurang indahkan. Sedangkan sastra Indonesia jauh lebih tua usianya daripada sastra berbahasa Indonesia. Membatasi cakupan sastra Nusantara pada yang berbahasa Indonesia “modern” lebih memperlihatkan kepongahan, kekenesan dan kecupetan, atau sektarisme pandangan. Barangkali. Terdapat masalah jika dilihat secara ontologi sebagai sisa atau varian dari pandangan hegemonik “modernitas” dan yang disebut “besar” dan “puncak” sebagaimana yang dirumuskan dalam UUD ’45 dahulu.

Nusantara dan Indonesia adalah dua istilah berbeda makna jika dilihat dari periodisasi sejarah. Nusantara ada jauh sebelum Indonesia lahir. Sedangkan Indonesia dilihat dari segi politik menunjuk kepada wilayah Republik Indonesia. Wilayah Republik Indonesia ini, jika kita mau jujur dan realis, juga terdiri dari berbagai pulau dengan budaya masing-masing. Dengan sastra masing-masing pula. Kalau kita mengakui yang disebut Indonesia itu adalah wilayah Republik Indonesia maka sastra yang hidup dan terdapat di berbagai daerah dan pulau, termasuk sastra Indonesia juga, tidak hanya sebatas sastra berbahasa Indonesia. Tidak ada dominasi suku dan budaya besar atau kecil — yang bertentangan dengan prinsip bhinneka tunggal ika yang secara singkat disebut Indonesia dengan nilai republiken sebagai perekat.

Saya khawatir bahwa di sekolah-sekolah dan di publik justru pandangan sempit inilah yang dominan dan diajarkan. Pandangan menyempitkan yang disebut sastra Indonesia begini sama sekali tidak representatif. Kita fasih menyebut Indonesia, republik, bhinneka tunggal ika tapi apakah maknanya, belum dihayati benar. Pendekatan dan pemahaman salah tentang prinsip-prinsip ini, apalagi hanya sebatas barang hapalan, akan menjalar dan berdampak negatif ke berbagai bidang, terutama pendidikan dan pengajaran.

Dari segi ini, saya melihat karya Prof. Teeuw yang dijadikan pegangan dalam pengajaran sastra Indonesia menjadi sangat timpang. Sastra lokal sama sekali diabaikan. Padahal di segi lain, dalam kurikulum sekolah-sekolah, terdapat yang disebut “muatan lokal”. Barangkali pelaksanaan kurikulum ini ada tautannnya dengan penyediaan bahan lokal, kebijakan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan lokal, dan tidak kurang pentingnya, mungkin pada soal cara ajar-mengajar sastra di sekolah. Tidak kurang pentingnya adalah tulisan-tulisan apresiasi terhadap karya-karya sastra di surat kabar, radio dan televisi. Tapi di atas segalanya, barangkali yang perlu disepakati dahulu apakah yang disebut sastra Indonesia itu. Apakah hanya sebatas yang disebut karya-karya yang ditulis dalam bahasa Indonesia ataukah juga yang dituangkan dalam bahasa-bahasa lokal. Apakah sastra yang berbahasa Sunda dan Jawa yang sekarang cukup berkembang, baik melalui majalah, koran dan radio bisa dihitung sebagai sastra Indonesia atau tidak? Apakah sastra lisan seperti misalnya sansana kayau yang masih hidup di Tanah Dayak bisa dimasukkan sebagai bagian dari sastra Indonesia atau tidak? Apakah soal sastra lokal ada disentuh-sentuh oleh Prof. Teeuw? Mengapa kita harus menggunakan karya Teeuw sebagai pegangan dan bukan karya yang kita susun sendiri dan lebih mewakili Indonesia dan bersifat republiken? Sekedar pertanyaan.

Saya sendiri memandang bahwa semua sastra, baik yang ditulis dalam bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah, termasuk yang ditulis oleh orang-orang Indonesia di negeri orang, seniscayanya tergolong sastra Indonesia dan sastra Nusantara. Demikian juga sastra cyber — sebagai suatu perkembangan baru di dunia sastra kita. Tentu saja perkembangan dan keadaan ini akan membuat pekerjaan pengamat sastra Indonesia makin tidak sederhana jika mereka berniat bekerja cermat saat berbicara tentang sastra Indonesia dalam pengertian saya di atas. Tapi dengan kecermatan demikian agar ketika berbicara tentang Indonesia, agar benar bahwa Indonesia itu terlukiskan secara representatif, mendorong kita untuk lebih mengenal diri sendiri, tanah air sendiri disamping mengenal sastra dari bagian-bagian dunia lain sebagai pembanding sesuai prinsip bhinneka tunggal ika dari skala global.

Sastra Nusantara, termasuk sastra Indonesia, pada prinsipnya adalah kebhinnekaan, ika dalam kemanusiaan. Kebhinnekaan, tidak berati pengurungan diri di bawah langit satu dua pulau atau kampung kecil ketika dunia menjadi sebuah kampung kecil dunia dan sejarah pun menunjukkan bahwa sastra berkembang tidak karena kecupetan tapi karena keterbukaan. Saya bahkan berhipotesa bahwa pada dasarnya nilai yang didukung oleh sastra itu bersifat universal yang dituang dengan warna-warna lokal. Karena pada galibnya kebudayaan etnik, nasional dan dunia, saya lihat tak ubah sebuah bénang dinding (patch works). Etnik dan bangsa hanyalah perbatasan semu bagi kemanusiaan yang dilahirkan oleh kondisi sejarah tertentu sehingga kita perlu mengindahkannya guna mengejawantahkan kemanusiaan itu sendiri sesuai perkembangan dan proses.

Saya membayangkan bahwa dengan menerapkan sastra Indonesia sebagai sebuah konsep luas yang mengakui adanya perkembangan sastra di berbagai pulau dan daerah sebagai dasar, maka sastra negeri kita akan makin marak dan kian berwarna. Kian mengakar dan tidak terkucil. Sastra menjadi suatu keperluan masyarakat seperti halnya sansana kayau di Tanah Dayak merupakan ungkapan diri masyarakat, mulai dari penangkap ikan, penakik karet, pendulang emas, sampai kepada pemotong rotan di hutan-hutan dan jumpa orang sekampung. Sansana kayau sebagai salah satu bentuk sastra sama sekali tidak terasing dari kehidupan, tidak menjadi milik hanya segelintir kelompok masyarakat yang sering sibuk dan asyik dengan diri sendiri serta menilai lebih diri mereka dari yang lain. Dunia seakan berputar di sekitar diri mereka. Karena itu saya masih melihat bahwa sastra Nusantara (les insulindes), termasuk sastra Indonesia, pada dasarnya adalah sastra kepulauan. Membatasi sastra Indonesia hanya pada yang berbahasa Indonesia, barangkali menyangkal ciri Indonesia itu sendiri dan menyederhanakan apa yang dinamakan Indonesia.

Saya selalu merasa terilhami dan batin saya diperkaya, saban membaca puisi-puisi lokal dari daerah dan pulau manapun di Nusantara, termasuk pulau-pulau dan daerah-daerah di tanah air. Universal dalam nilai, berwarna-warni dalam bentuk penuangan. Barangkali penyelenggara negara, cq. bagian kebudayaannya, perlu mempertimbangkan penerapan politik kebudayaan yang memang republiken dan berkeindonesiaan, demikian juga para sastrawan-seniman sebagai aktor-aktris kebudayaan, kiranya perlu menjawab apakah sastra-seni Indonesia itu sesungguhnya? Saya lebih menekankan pengembangan kebudayaan dari bawah. Seperti yang dikatakan oleh penyair Tiongkok Kuno, “raja satu dan yang lain turun silih berganti, tapi rakyat tetap rakyat, tak bergonta-gonti”.

Berangkat dari pandangan inilah saya menghargai prakarsa-prakarsa seperti Ode Kampung, Tour de Java Sastra Makkasar, dan kegiatan-kegiatan sejenis.[]


Perjalanan Kembali, Musim Dingin 2008
————————————————————–
JJ. Kusni