Catatan Kusni Sulang: Menunggu Godot

Radar Sampit | Minggu, 29 Agustus 2021 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Tiga pemain dalam pementassan pertama Menunggu Godot di Theatre Babylone Paris tahun 1953. Berapa lama,warga adat Kalteng mau menjadi Penunggu Godot? Foto: bbc.com

Apakah warga adat Kalteng mau terus menjadi Penunggu Godot?

Drama Menunggu Godot ditulis oleh dramawan Inggris, Samuel Becket dalam bahasa Perancis ketika ia berada di Paris pada saat Perang Dunia II (1939-1945) dengan judul En attendant Godot.

Dipentaskan untuk pertama kalinya pada 5  Januari 1953 di sebuah gedung teater kecil bernama Théatre Babylone. Menurut James Knowlson, teman dan penulis biografi resmi Becket, penampilan publik pertama drama ini mendapat sambutan luar biasa baik dari kalangan elit seni di Paris maupun dari masyarakat.

“Ribuan orang yang mengklaim mereka berada di teater itu tidak mungkin berada di sana. Tidak ada kursi yang cukup untuk mereka,” kata tulis James Knowlson. “Mereka juga tidak mungkin menyadari bahwa pementasan berdana cekak itu akan menjadi salah satu momen penting dalam drama modern” (https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2013/01/130107_budaya_menunggu_godot).

Dalam suasana Perang Dingin menyusul berakhirnya PD II, tahun 1955 lakon Beckett, Menunggu Godot ini, tiba di Amerika Serikat, lakon ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (https://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/89) dengan judul Waiting  for Godot, yang kemudian diindonesiakan oleh W. S. Rendra dan dipentaskan pada 1966 melalui pementasan Bengkel Teater yang ia pimpin.

Lakon Menunggu Godot ditulis oleh Beckett berlatarbelakang pengalamannya sendiri saat menantikan berakhirnya Perang Dunia II karena itu ia tahu benar psikologi orang yang menunggu berakhirnya bencana. Harapan, ketidakpastian dan keputusasaan bertcampur-baur. Hal ini diungkapkan melalui tiga tokoh dalam lakon Menunggu Godot-nya.

“Menunggu Godot” mengisahkan tentang tiga orang yang berbeda dalam karakter serta sikap hidup bertemu di suatu tempat yang sunyi di luar kota, di bawah sebatang pohon yang hampir ajalnya. Mereka ini adalah GOGO/Estradon, Vladimir, dan Pozzo. Mula-mula Gogo dan Vladimir yang merupakan dua orang sahabat karib datang di suatu tempat yang telah dijanjikan sebagai tempat pertemuan mereka dengan Tuan Godot. Dalam penantian mereka, lalulah seorang pengembara yang aneh dengan perbuatannya yang aneh pula, yang ditemani oleh “kuda beban”nya yang tidak lain adalah seorang manusia biasa yang telah tidak mempunyai harga diri lagi. Persoalan sesungguhnya hanya berkisar pada satu pangkal, yaitu penantian terhadap Tuan Godot yang tak pernah kunjung datang (Sumber: Majalah Djaja, Nomor 428, 4 April 1970).

Dalam disertasi S3-nya di Universitas Gadjah Mada, tahun 2001, SOEMANTO, C. Soebakdi, antara lain menulis “Lakon Waiting for Godot menyajikan manusia dalam kondisi putus asa tetapi sekaligus penuh harapan akan datangnya tokoh Godot yang tidak pernah datang” (http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/89).

Psikologi tiga tokoh dalam lakon Menunggu Godot ini membawa saya kepada suasana psikologi warga adat di Desa Luwuk Tukau, Tumbang Oroi dan Desa Tumbang Samuї yang melalui kepala desa masing-masing sudah menyurat ke DPRD Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng) agar desa mereka diubah statusnya dari Desa Dinas menjadi Desa Adat.

Semua syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa sudah dipenuhi. Rekomendasi dari Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi pun sudah terbit. Rapat Dengar Pendapat di DPRD Gunung Mas juga sudah dilakukan.

Tatkala waktu berlalu sudah hampir dua tahun, permintaan warga adat tiga desa tersebut di atas masih saja tidak ada kabar lanjutnya dari pemerintah kabupaten. Kalau ditolak, apa alasan legal penolakan?

Apabila penyelenggara Negara adalah pelayan masyarakat, diam terhadap aspirasi warga negaranya adalah suatu kualitas pelayanan yang tentu tidak bisa dikatakan positif.

Apa yang dilakukan oleh  DPRD Kabupaten Gunung Mas (cq. Fraksi Nasdem-Hanura) dalam sidang yang menanyakan kepada Pemerintah (cq. Eksekutif) soal tindak lanjut permohonan warga tiga desa Kecamatan Manuhing Raya dalam Rapat Paripurna Masa Persidangan I Tahun Sidang 202,  patut dihargai.

Dalam Sidang Paripurna tersebut Fraksi Nasdem-Hanura antara lain telah menyampaikan: “Mohon dijelaskan kembali tindak lanjut permohonan Masyarakat Kecamatan Manuhing Raya tentang Perubahan Desa Dinas menjadi Desa Adat. Sejauh mana hingga saat ini tindak lanjut yang sudah dilakukan oleh Panitia Pembentukan Masyakarat Hukum Adat Kabupaten Gunung Mas”

Melalui pertanyaan atau permohonan keterangan ini, DPRD Kabupaten Gunung Mas memperlihatkan bahwa mereka berperan sebagai pengawas dan penyambung lidah serta aspirasi warganegara. Melaksanakan tugas sebagai Wakil Rakyat  sesuai sebutan Dewan Perwakilan Rakyat–yang oleh rasa kecewa, singkatannya dipelintir dalam arti sangat negatif.

Pertanyaan selanjutnya: Seberapa lama dan seberapa jauh sikap begini terjaga?

Dalam hubungan permintaan warga tiga desa tersebut di atas, kiranya patut dicatat benar bahwa yang diminta adalah perubahan status dari desa dinas menjadi desa adat, BUKAN meminta hutan adat. Mengalihkan permintaan dari desa adat menjadi hutan adat adalah suatu sikap yang tidak aspiratif. Sikap yang tidak mengapresiaasi aspirasi warga adat.

Hal lain yang membuat warga adat Provinsi Kalteng ini–yang secara sejarah merupakan Provinsi Adat–seperti tokoh-tokoh lakon Menunggu Godot, adalah mangkraknya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat di tingkat Provinsi.

Sudah enam tahun Raperda ini mangkrak, walaupun pernah dijanjikan di depan publik akan segera diterbitkan sebagai Perda pada tahun silam dan tahun sebelumnya.

Ada  perbedaan yang tidak kecil antara kata-kata dan pernyataan yang sesungguhnya yang tentu saja tidak menaikkan angka rapor yang disebut DPR.

Dalam keadaan bercampur-baurnya antara harapan dan keputusasaan seperti orang Menunggu Godot, pertanyaannya: Apakah warga adat Kalteng mau terus menjadi Penunggu Godot? Apakah warga adat Kalteng membiarkan aspirasi yang disalurkan melalui kata-kata menjadi seperti ludah dan atau benang basah?

Sejarah daerah ini jika dipelajari akan memberitahukan kita tentang apa yang mesti dilakukan. Adakah yang takut sejarah?[]


Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu, 29 Agustus 2021

Catatan Andriani SJ Kusni: Menghidupkan Sastra di Pulau Borneo

Radar Sampit | Minggu, 22 Agustus 2021

Repro.

Korrie Layun Rampan, lahir pada 17 Agustus 1953 di Samarinda, Kalimantan Timur. Serangan jantung mengakhiri kiprah sastrawan Dayak Benuaq ini  pada 19 November 2015 di Cikini, Jakarta.

Ketika dikunjungi oleh Masri Sareb Putra, seorang penulis Dayak kelahiran Sekadau, Kalimantan Barat, Korrie, dalam artikelnya berjudul Rumah Sastra Korrie Layun Rampan, Masri antara lain menulis: “Ada “titipan” Korrie pada saya, yang saya kira wajib dilunasi. Saya diminta meneruskan karya dan perbuatan-sastranya. Waktu itu (2015), kami berjanji berbagi mengumpulkan profil dan senarai karya sastrawan dan pengarang Dayak.”

Permintaan “meneruskan karya dan perbuatan-sastranya” ini oleh seorang penulis senior, Dodi Mawardi, dalam artikelnya bertajuk “Menanti Geliat Baru Sastra Orang Kalimantanditafsirkan sebagai “pesan khusus dari sastrawan besar Kalimantan yang sudah wafat–Korrie Layun Rampan–untuk meneruskan perjuangan tetap menghidupkan sastra di Pulau Borneo”.

Dalam upaya melaksanakan pesan ini maka Masri, menurut Dodi, “mengajak pegiat sastra di Kalimantan, khususnya Dayak, untuk bersama-sama bergerak dan menggeliatkan literasi fiksi di sana” (baca: Pulau Borneo-ASJK).

Artinya, menurut penafsiran Dodi Mawadi, meneruskan “perbuatan sastra” yang dimaksudkan oleh Korrie itu terutama atau sebatas “menggeliatkan literasi fiksi”Pulau Borneo, termasuk di Sabah dan Sarawak, sebagaimana dilakukan selama ini oleh berbagai pihak, terutama Dayak.

Guna mewujudkan keinginan diperlukan organisator, syarat dan cara konkret.

Organisator dan sponsor itu nampaknya berada di tangan Dr. Yansen Tipa Padan, M.Si, seorang Dayak kelahiran 14 Januari 1960, Pa’Upan, Krayan Selatan; mantan Bupati Malinau dua periode 2011-2016 dan 2016-2021 dan sekarang menjadi Wakil Gubernur Kalimantan Utara periode 2021-2025  berpasangan dengan Gubernur Zainal Arifin Paliwang, asal Makassar. Keduanya disokong kuat oleh organisasi saudagar Bugis.

Yansen mempunyai perhatian besar terhadap dunia tulis-menulis. Buku-bukunya yang sudah diterbitkan adalah Revolusi dari Desa: Saatnya dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya kepada Rakyat, dan Kaltara Rumah Kita. Perhatian terhadap dunia literasi ini kemudian ia lanjutkan dengan mendirikan ytprayeh.com yang diasuh oleh sebuah tim terdiri dari: Pelindung: Yansen Tipa Padan; Editor Konten: Pepih Nugraha; Lobi dan Marketing: Masri Sareb Putra; Bisnis dan Pengembangan: Dodi Mawardi; Desain Web/Aplikasi dan IT: Riki Kurniadi.

Dalam web dijelaskan bahwa ytprayeh.com didirikan sebagai “media warga, wadah bagi penulis yang berminat pada literasi, kebudayaan, kebangsaan, peradaban, serta pemikiran lintas agama, etnis, dan golongan dalam bentuk artikel, kajian, feature, dan analisis yang ditulis dari sudut pandang berbeda dari berita media arus utama. Kantor Pusat Lembaga ini terdapat di D’Mandiri Building 3nd Floor Merdeka 10, Malinau 55518, Kalimantan Utara. Keterangan tersebut menunjukkan bahwa sebagai sebuah lembaga, ytprayeh.com bersifat terbuka dan lintas etnik sebagaimana juga tercermin dalam komposisi tim pengasuh.

Oleh sifat lintas etnik demikian, maka agak sulit membayangkan bahwa sastra dalam bahasa lokal akan memperoleh tempat. Apabila sastra tidak terpisahkan dari bahasa, lalu sastra dalam bahasa, lalu sastra berbahasa, apakah yang digeliatkan dan mau digeliatkan oleh Korrie serta ingin dilanjutkan oleh Masri sebagai pengemban pesan?

Sifat lintas etnik lembaga sudah menunjukkan bahwa bahasa yang digunakan adalah Bahasa Indonesia sehingga sastra yang ingin digeliatkan juga adalah sastra berbahasa Indonesia. Bukan sastra berbahasa Dayak. Apalagi secara demografis Orang Dayak di Kaltara sudah tidak dominan lagi.

Penggeliatan sastra berbahasa Indonesia di Pulau Borneo ini juga nampak dari kegiatan-kegiatan Korrie semasa hidup. Tidak nampak tanda-tanda bahwa Korrie menaruh perhatian pada sastra berbahasa Dayak. Hal inipun tidak nampak pada Yansen. Yang diangkat oleh Yansen dalam paparannya di Seminar Kebudayaan Dayak di Gedung Bappenas Jakarta tahun 2020 adalah meminta dibukanya kesempatan untuk duduk di pos-pos strategis.

Pertanyaannya: Apakah tidak mungkin dilakukan secara bersamaan, penggeliatan sastra berbahasa daerah dan sastra berbahasa Indonesia? Tidak adanya atau minimnya perhatian pada bahasa daerah setempat akan mempercepat punahnya bahasa-bahasa daerah tersebut apalagi komposisi demografi yang terus berubah yang menempatkan Orang Dayak makin berada dalam posisi minoritas di kampung kelahiran sendiri.

Punahnya sebuah bahasa sama artinya dengan lenyapnya lumbung nilai dan kearifan beberapa generasi serta bisa menyebabkan kita menjadi orang asing terhadap diri kita sendiri. Kebhinnekaan yang merupakan suatu kekayaan dan modal untuk menciptakan sesuatu yang baru akan menjurus ke uniformitas yang tidak indah. Soempah Pemoeda Oktober 1928 antara lain menyebutkan bahwa “KETIGA: Kami Poetera dan Poeteri Indonesia, Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia”. Bukan “berbahasa satu”.

Korrie Layun Rampan pernah menjadi anggota DPRD Kutai Barat diusung oleh Partai Demokrat. Yansen Tipa Padan sekarang adalah salah seorang Wakil Ketua Umum Pimpinan Pusat Partai Demokrat. Warna partai ini pun tercermin dalam ytprayeh.com. Ada puisi yang menyanjung AHY, ketua umum  partai, ada juga rangkaian tulisan-tulisan Susilawati yang sangat berbau Partai Demokrat.

Membaca hal-hal demikian, saya jadi ragu apakah betul ytprayeh.com hadir untuk menggeliatkan sastra di Pulau Borneo. Keraguan ini muncul karena saya pikir, kalau tujuannya memang untuk menggeliatkan sastra di Pulau Borneo, seyogyanya diciptakan ruang seluas mungkin agar banyak kalangan bisa terlibat. Penonjolan Partai Demokrat dalam lembaga ini boleh jadi akan membuat ruang tersedia menjadi sempit sedangkan dunia seni termasuk sastra, seperti yang dikatakan oleh Naguib Mahfouz, penulis asal Mesir penerima Hadiah Nobel Sastra, “Art is a criticism of society and life, and I believe that if life became perfect, art would be meaningless and cease to exist.”

Independensi merupakan prasyarat bagi sastra-seni untuk bisa melakukan fungsi mengkritik masyarakat dan kehidupan.  Apakah ada independensi kalau sudah dikaitkan dengan partai politik dan politiknya?

Untuk menggeliatkan kehidupan sastra-seni di Pulau Borneo, terutama kebudayaan Dayak, perlu adanya lembaga independen yang mampu menghimpun semua kekuatan, selain konsep kebudayaan jelas yang mau diwujudkan.

Dalam upaya penggeliatan sastra-seni ini niscayanya sastra-seni lokal (baca Dayak) selayaknya tidak ditinggalkan. Menjadi Indonesia tidak berarti mengakhiri diri sebagai Dayak, sebagai Ambon, Papua, Makassar, dan lain-lain.

Menyingkirkan Budaya Ibu, apa gerangan bedanya dengan bunuh diri budaya dan atau mengajak orang untuk melakukan bunuh diri budaya?[]


Halaman Budaya Harian Radar Sampit . Minggu, 22 Agustus 2021.

Catatan Kusni Sulang: Kemerdekaan dan Masyarakat Adat Dayak

Radar Sampit, Minggu, 15 Agustus 2021 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Mimpi gerilyawan Dayak dahoeloe itu sekarang berkibar ibarat bendera lusuh dan sobek.

Gambar kemerdekaan Indonesia emas bersinar. Sumber: matanews.com

Ketika berangkat meninggalkan Kasongan, setelah lepas Sekolah Rakyat (SR), sekarang dinamakan Sekolah Dasar (SD), untuk melanjutkan pendidikan, para tetua dalam keluarga berkata dingin: “Tidak usah pulang jika kau tidak bisa mengganti cawat dengan dasi. Jika kepulanganmu tidak bisa memberikan apa-apa dalam usaha Manggatang Utus (memperbaiki kehidupan masyarakat sukumu).”

Kata-kata ini kemudian saya maknakan bahwa para tetua dalam keluarga menilai kehidupan Dayak Kalimantan Tengah masih tertinggal dan mereka memandang pendidikan merupakan salah satu cara keluar dari lingkaran ketertinggalan itu.

Tentu saja tantangan ini dalam usia anak lepas SR tidak bisa saya jawab. Sekarang pun belum bisa saya jawab, kecuali adanya keinginan untuk menjawab.

Waktu di SR, boleh dikatakan seluruh anggota keluarga, mulai dari ayah-ibu, paman dan mina (tante), hingga kakek dan nenek dengan cara masing-masing terlibat dalam perang gerilya menghalau Belanda yang oleh orang kampung disebut bakara (dalam bahasa Katingan berarti kera berkulit kekuning-kuningan).

Mereka turut bergerilya demi memperbaiki keluar dari ketertinggalan dan mendapatkan kehidupan yang baik sebagai anak manusia. Itulah arti Merdeka dan Merah Putih bagi mereka yang kemudian saya namakan sebagai Mimpi Gerilyawan Katingan.

Demi tujuan ini, saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana dua orang gerilyawan yang ditangkap, dipasung di sebuah tiang lalu disiksa oleh tentara Belanda. Dituduh menyembunyikan para gerilyawan, kakek ditendang oleh tentara Belanda hingga jatuh terguling-guling dari gubuk ladangnya, lalu ditahan bersama adik kandung perempuannya. Kakek dan nenek tetap bungkam, tidak berkata sepatah pun, walau dijanjikan mereka akan dibebaskan jika menunjukkan di mana persembunyian para gerilyawan. Yang memimpin penyiksaan dan penangkapan kakek adalah seorang Kiyaї (Wedana) Dayak juga.

Kemerdekaan dan dilambangkan dengan bendera Merah Putih dalam pengertian kehidupan manusiawi sangat diresapi oleh para gerilyawan dan mereka yang membantu. Keinginan ini, saya kira, jauh lebih kuat dari kesadaran berkeindonesiaan. Dipersatukan dan didorong oleh keinginan demikian maka organisasi-organisasi perlawanan bersenjata Dayak tumbuh dan berkembang di berbagai Daerah Aliran Sungai (DAS). Pertempuran demi pertempuran berkobar yang antara lain dituturkan oleh Profesor Dr. H. Rizali Hadi, dalam bukunya Tumbang Samba Kota Pahlawan di Tanah Dayak (Penerbit CV IRDH, Malang, 2019, i-xiii + 321 hlm).

Ketika Belanda berhasil dihalau, pertempuran fisik belum berakhir.

Pertempuran-pertempuran  yang kemudian menyusul bertujuan untuk menjadikan daerah Dajak Besar (sekarang menjadi  Kalimantan Tengah) sebagai provinsi otonom. Di depan Konferensi Para Gubernur Se-Indonesia ke-IV tanggal 17-18 Januari 1955, provinsi otonom ini oleh Gubernur Kalimantan, Milono, disebut sebagai Provinsi Dayak.

Konflik fisik tidak terelakkan karena perjuangan damai yang dilakukan oleh Orang Dayak di daerah tersebut tidak diindahkan oleh Jakarta.

Perjuangan bersenjata ini diakhiri melalui Perjanjian Perdamaian Madara 1957. Jakarta menerima tuntutan Orang Dayak agar daerah Dajak Besar menjadi provinsi otonom (lihat: Ludie Sahari Andung, “Damang Sahari Andung dan Pergerakan Serikat Kaharingan Dayak Indonesia (SKDI) dalam Memperjuangkan Pembentukan Provinsi Kalimantan Tengah”, 2006).

Dari perlawanan-perlawanan menghalau Belanda, kemudian perjuangan mendirikan Provinsi Kalimantan Tengah, nampak bahwa Orang Dayak itu mempunyai tradisi berpikir kritis dan berlawan. Dayak bukanlah manusia yang disebut sebagai “alat jinak” (docile tool). Saya kira, tradisi ini patut dipelihara dan mengapa tidak dikembangkan?

Apakah unjuk rasa ini merupakan penerusan tradisi berlawan Dayak Kalimantan Tengah? Hanya saja “Dayak Bersatu” sesuatu yang sulit diwujudkan karena selain adanya kepentingan-kepentingan tertentu, juga adanya mentalitas “semua pangkalima”, “semua merasa jagoan dan paling hebat”, sisa tradisi kayau-mangayau. Foto: Deo/2020

Apabila merujuk pada pernyataan Gubernur Milono dan dokumen-dokumen SKDI, ataupun Gerakan Mandau Talawang Panca Sila (GMTPS) maka nampak bahwa sebagai provinsi otonom, Kalimantan Tengah tidak lain dari provinsi adat. Basis sosial dan penggerak gerakan pun, seperti halnya  dengan perjuangan bersenjata menghalau Belanda, tidak lain dari warga adat dan tokoh-tokoh adat. Karena itu tidak mustahil untuk menguasai Tanah Dayak Kalimantan Tengah, Belanda melaksanakan politik desiviliasi ragi usang, dengan sasaran utama menghancurkan Dayak Kalimantan Tengah secara budaya. Politik yang dilanjutkan oleh Orde Baru (Orba).

Di samping penghancuran secara budaya, Orba melalui Undang-Undang menghancurkan masyarakat adat Dayak  Kalimantan Tengah, termasuk desa adat-desa adatnya entah itu bernama léwu atau nama lain, secara organisasi sehingga Dayak Kalimantan Tengah ibarat anak yatim-piatu.

Barangkali ada yang berpendapat bahwa Kalimantan Tengah tidak mengenal desa adat. Yang dikenal hanya kelembagaan adat seperti damang dan mantir.

Kepada yang berpendapat demikian, saya sarankan untuk melakukan penelitian sebelum berucap, terutama riset sejarah. Setelah melakukan penelitian, baru membuka polemik atau diskusi. Sebagai contoh, saya ambil struktur pengelolaan masyarakat desa Dayak dari Peruwan Kalimantan Barat. Strukturnya adalah sebagai berikut:

Sumber: https://kebudayaan-dayak.com/budaya/0-350/struktur.html

Sesuai keadaan setempat, melalui penelitian etnografis desa di Kecamatan Manuhing Raya, struktur pemerintahan “asli” desa yang hakekatnya tidak lain dari desa adat pun terdapat. Demikian juga di Katingan dan tempat-tempat lain.

Saya tidak tahu apa dasar mengatakan bahwa Kalimantan Tengah tidak mengenal desa adat dalam sejarahnya. Desa adat Dayak Kalimantan Tengah, saya dapatkan malah mengenal embrio trias-politika. Damang dan perangkatnya memegang peran yudikatif, bukan pemimpin pemerintahan. Pumpung Haї–pemegang kedaulatan tertinggi di desa doeloe. Doeloe artinya pernah dikenal dalam sejarah.

Desa adat Dayak bagi saya merupakan jalan keselamatan, jalan ke kemerdekaan bagi Dayak Kalimantan Tengah.

Melalui desa adat Dayak Kalimantan Tengah, Orang Dayak akan mendapat kesempatan menjadi merdeka. Berdaulat di kampung-halamannya sendiri. Desa adat merupakan pendekatan integral dalam menangani keterpinggiran atau keadaan daerah jajahan tipe baru atau diperlakukan seperti kelinci percobaan.

Desa adat sebagai metode dan pendekatan pemberdayaan tentu saja berbeda dengan metode dan pendekatan desa dinas.

Desa adat bersandar pada seluruh warga, sedangkan desa dinas bersandar pada segelintir elit desa dengan gaya kerja top-down (main perintah tanpa peduli apakah perintahnya itu tanggap keadaan atau seperti seorang kaisar turun dari kereta kencananya lalu memberi perintah ini dan itu).

Desa adat menerapkan metode bottom up dan partisipatif. Desa adat adalah desa yang membangun sedangkan desa dinas adalah pihak lain yang membangun desa. Desa jadi obyek (sekaligus proyek), sedangkan desa adat, desa menjadi subyek.

Saya memang pernah mendengar pendapat bahwa mengurus desa dinas saja sudah sulit, mengapa mesti mengubah status dari desa dinas menjadi desa adat.

Pandangan ini sesungguhnya mempertontonkan ketidakmampuan memimpin serta ketidakpahaman mengenai apa inti desa adat itu atau desa adat ia lihat sebagai ancaman terhadap kepentingannya, terutama kepentingan ekonomi.

Merdeka! Ya, negeri yang merdeka tapi masih terjajah.

Kemerdekaan itu masih jauh dari warga adat Dayak Kalimantan Tengah. Mimpi gerilyawan Dayak dahoeloe itu sekarang berkibar ibarat bendera lusuh dan sobek.

Rancangan Peraturan Daerah Raperda) Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat yang sudah disusun pun telah mangkrak selama enam tahun. Seorang teman bercanda getir, “Sampai Republik Indonesia bubar, Raperda itu tidak akan terbit.”

Pola pikir dan mentalitas penyelenggara Negara juga ibarat kain lusuh dan sobek-sobek. Tak lagi bisa digunakan untuk menutup aurat apa pun–wajah kemerdekaan kita hari ini.

Kalau Bung Karno mengatakan “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.“

Saya katakan, “Hari ini masih ada penjajahan internal. Lihatlah Kalimantan Tengah.”[]


Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu, 15 Agustus 2021.

Catatan Andriani SJ Kusni: Ortografi Bahasa Dayak Ngaju

Radar Sampit | Minggu, 8 Agustus 2021


Kepala Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah, Valentina Lovina Tanate (tengah), M.Hum dalam Diskusi Kelompok Terpumpun Pembahasan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembinaan Bahasa Indonesia dan Pelestarian Bahasa Daerah berlangsung pada Senin, 24 Mei 2021 di Aula Kahayan 1, Swiss-Belhotel Danum Palangka Raya. Dalam sambutannya Kepala Balai menyampaikan bahwa diskusi dilaksanakan sebagai upaya mematangkan naskah akademik dan rancangan peraturan daerah yang akan dibahas DPRD Provinsi Kalimantan Tengah pada masa sidang III nanti, yaitu pada September–Desember 2021. Foto://balaibahasakalteng.kemdikbud.go.id/3293-2/

Saat kami bertandang ke rumahnya, wartawan senior Kalimantan Tengah (Kalteng), pemegang kartu wartawan PWI seumur hidup, sering juga disebut sebagai “kamus berjalan sejarah Kalteng”, T. T. Suan bertutur:

Pada masa Profesor Dr. Priyono (seorang sastrawan yang antara lain menulis kumpulan cerita  MMM) menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pemerintahan Presiden Soekarno, salah satu permasalahan yang ramai didiskusikan adalah tari apa yang layak diangkat sebagai tari pergaulan nasional menggantikan Dansa Barat? Mula-mula yang dicoba adalah tari lenso dari Maluku, tapi setelah berlangsung beberapa tahun, nampaknya percobaan itu tidak membuahkan hasil yang diharapkan. Terakhir dalam upaya mencari tari pergaulan nasional lalu Menteri Priyono menetapkan tari Manasai dari Tanah Dayak. Menyusul ketetapan ini, kaset lagu Manari Manasai dalam bahasa Dayak Ngaju dengan lirik seperti yang dikenal sekarang, dicetak secara massal. Yang membawakan lagu itu adalah seorang penyanyi perempuan dari Jawa–T. T. Suan tidak menyebutkan namanya.

Lirik lagu karya Wolten Rudji (al,.) itu antara lain berbunyi:

Pukul gandang garantung..
Hayak dengan kangkanung..
Sambil tuntang Gantau..
Miar Mundur dan Maju..

Bahalai dan Salendang..
Iméténg intu kahang..
Ngaliling sangkai lunuk..
Je impéndéng hung béntuk..

Reff :
Ayu manari manasai,
Manari manasai.
Éla atun je mélai,

Ayu manari manasai, 
Manari manasai.
Éla atun je mélai,

“Kami sebagai Orang Dayak mendengar lagu itu yang dibawakan oleh seorang Jawa jadi tertawa semuanya,” tutur T. T. Suan.

“Mengapa?” tanya saya penuh rasa ingin tahu. “Apakah ada yang salah? Apa yang salah itu?”

“Suara penyanyi pilihan Menteri Priyono itu memang bagus. Tidak ada kesalahan yang ia lakukan. Hanya saja ketika mengucapkan kata melai yang ditulis dengan melai tanpa tanda lingual apapun, sang penyanyi mengucapkan huruf e sebagai e pepet, padahal seharusnya dilafalkan sebagai e taling (e keras).”

Bahasa-bahasa (daerah) di Indonesia mengenal beberapa aksara e dengan pelafalan berbeda yaitu ĕ è ê é ketika bahasa Indonesia masih menggunakan ejaan van Ophuijsen.

Sebagaimana ditulis oleh Astrophel dalam sebuah diskusi di forum Kaskus: “Masyarakat dunia mengenal bahasa Indonesia sebagai salah satu bahasa yang menganut prinsip konsistensi dengan sistem tulisan dan pengucapan yang seragam, sebagai contoh kata “padi” yang tetap dibaca /padi/. Bandingkan dengan bahasa Inggris pada kata “down” yang dibaca /daun/ atau bahasa Perancis pada kata “agneaux” yang dibaca /anyo/. Prinsip konsistensi menjadikan bahasa Indonesia selalu masuk dalam 5 bahasa yang paling mudah dipelajari menurut beberapa survei ilmiah linguistik. Dalam sebuah artikel, kesulitan terbesar masyarakat dunia dalam memahami bahasa Indonesia terletak pada dua hal, yakni afiks (imbuhan) dan fonologi (pengucapan).

Ketika bahasa Indonesia masih menggunakan ejaan van Ophuijsen (berlangsung dari 1901-1947), macam-macam fonologi e ini diadakan pembedaan melalui tanda lingual. Kemudian pada 19 Maret 1947 diganti dengan Ejaan Republik yang juga disebut sebagai Ejaan Soewandi yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 264/Bhg.A.

Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi kemudian pada tahun 1972 digantikan dengan Ejaan yang Disempurnakan (EYD). EYD ini pun hanya berlaku sampai tahun 2015. Sejak tahun 2015, berlakulah ejaan yang digunakan hingga hari ini.

Secara singkat, perkembangan ejaan bahasa Indonesia terbagi dalam beberapa periode yaitu: Periode Ejaan van Ophuijsen (1901-1947), Periode Ejaan Repulik (1947-1972), Periode Pembaharuan (1957, tak diberlakukan), Periode Ejaan Melindo (1959, batal diresmikan), Ejaan Baru atau Ejaan LBK (1967-1972, cikal-bakal EYD).

Ejaan Baru atau Ejaan LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, pendahulu Pusat Bahasa) adalah ejaan bahasa Indonesia yang dikeluarkan pada tahun 1967. Ejaan ini adalah kelanjutan dari Ejaan Melindo. Anggota pelaksananya pun, selain dari panitia LBK, juga beranggotakan panitia dari Malaysia. Ejaan ini tidak memiliki banyak perbedaan dengan EYD kecuali pada perincian-perincian kaidah saja. Gabungan panitia yang diketuai oleh Anton M. Moeliono saat itu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan yang kemudian diberi nama Ejaan Baru. Ejaan ini diresmikan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sarino Mangunpranoto, dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.062/67, tanggal 19 September 1967.

Perubahan yang terdapat pada Ejaan Baru atau Ejaan LBK, antara lain:

  • Huruf ‘tj’ diganti ‘c’, j diganti ‘y’, ‘nj’ diganti ‘ny’, ‘sj‘ menjadi ‘sy’, dan ‘ch’ menjadi ‘kh’.
  • Huruf asing: ‘z’, ‘y’, dan ‘f’ disahkan menjadi ejaan bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan pemakaian yang sangat produktif.
  • Huruf ‘e’ tidak dibedakan pepet atau bukan, alasannya tidak banyak kata yang berpasangan dengan variasi huruf ‘e’ yang menimbulkan salah pengertian.

Periode berikutnya adalah Periode Ejaan yang Disempurnakan (1972-2015); lalu Ejaan Bahasa Indonesia (sejak 2105 sampai hari ini).

Bahasa Dayak Ngaju, entah dengan alasan apa, dalam perkembangan ejaannya mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi dalam bahasa Indonesia. Padahal dengan mengikuti perubahan yang terjadi dalam ejaan bahasa Indonesia, bahasa Dayak Ngaju membuang kaidah-kaidahnya sendiri sebagai sebuah bahasa.

Saya kira mempertahankan kaidah-kaidah bahasa daerahnya sendiri, tidak ada kaitannya dengan separatisme atau nasionalisme yang merosot, dan lain sebagainya yang berbau politik.

Bahasa adalah sebuah ilmu. Sikap mengekor membabi-buta begini, saya khawatir turut mendorong perusakan dan penghancuran bahasa Dayak itu sendiri, semacam bentuk “bunuh diri budaya” kalau meminjam istilah dan pandangan Kusni Sulang bahwa menjadi Dayak, apalagi Dayak Kekinian, tidak ada pertentangannya dengan menjadi Indonesia dan anak manusia–warga planet kecil kita ini.

Kisah lain yang bisa dijadikan contoh ketika berbicara tentang bahasa Dayak Ngaju. Suatu hari sejumlah teman dari berbagai daerah di luar Kalteng bertandang ke rumah kami. Ketika kami berbicara soal bahasa Dayak Ngaju, saya mengambil sehelai kertas kosong dan menuliskan kata Oloh.

“Bagaimana kau membaca kata ini?” tanya saya kepada teman yang kebetulan berasal dari Tanah Pasundan.

“Oloh,” ujar teman Sunda itu. Saya lalu menuliskan kata Uluh dan kembali saya meminta teman Sunda saya itu membacanya. Teman Sunda itu pun membaca kata tersebut sebagaimana kata tersebut ditulis.

“Mengapa kau membacanya demikian?”

“Ya, karena demikian dua kata itu ditulis. Saya kira bahasa Dayak Ngaju dibaca dan atau diucapkan sebagaimana kata itu ditulis. Kata itu ditulis sesuai dengan bagaimana ia diucapkan,” jelas teman Sunda saya.

Masalah yang membuat T. T. Suan tertawa terpingkal-pingkal mendengar biduanita membawakan lagu Manari Manasai atau bagaimana teman Sunda saya membaca kata Oloh dan Uluh, saya kira dalam bahasa disebut masalah ortografi(s).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyebutkan bahwa ortografi berarti gambaran bunyi bahasa yang berupa tulisan atau lambang; sistem ejaan suatu bahasa (1999:708).

Dalam pengamatan saya, secara ortografis bahasa Dayak Ngaju mempunyai banyak persoalan. Terdapat kesimpang-siuran bahkan kekacauan. Antara cara menulis dan membaca terdapat perbedaan. Hal demikian menyulitkan, terutama bagi yang non-Dayak untuk belajar bahasa Dayak Ngaju.

Permasalahan konkret perbedaan cara menulis dan membaca kata-kata bahasa Dayak Ngaju ini akan berdampak serius jika dilakukan oleh buku yang dijadikan sebagai buku pegangan ajar-mengajar Muatan Lokal seperti misalnya pada buku Upon Ajar Basa Dayak Ngaju. Akan Kalas Epat, yang disusun oleh Hana Pertiwi dan Offeny A. Ibrahim yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kota Palangka Raya Jilid 4, Tahun 2009. Namun demikian, saya kira kekacauan atau kesimpang-siuran ortografis ini bukanlah hal yang fatal karena ia bisa ditanggulangi dengan melakukan pembakuan (standarisasi, penyeragaman) ortografi.

Soal pembakuan ini, termasuk pembakuan ortografi, telah diamanatkan oleh Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2014 Tentang Pengembangan, Pembinaan, dan Perlindungan Bahasa dan Sastra, Serta Peningkatan Fungsi Bahasa Indonesia (selanjutnya disingkat PP No. 57 Tahun 2014). PP ini merupakan turunan dari Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan dan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Siapakah yang memprakarsai dan mengorganisir kegiatan untuk pembakuan ortografis ini?

Kalau mengacu pada PP No. 57 Tahun 2014 maka prakarsa dan pengorganisasian berada di tangan Pemerintah Daerah (cq. Dinas terkait).  Pasal 9 PP tersebut mengamanatkan:

  1. Pemerintah Daerah mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra berdasarkan kebijakan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8.
  2. Pemerintah Daerah melaksanakan: a. Pengembangan, Pembinaan, dan Pelindungan Bahasa dan Sastra Daerah;

Konkretisasi awal pasal ini telah dilaksanakan pada Senin, 24 Mei 2021 di Aula Kahayan 1, Swiss-Belhotel Danum Palangka Raya. Balai Bahasa Kalteng dengan mengajak Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng telah menyelenggarakan Diskusi Kelompok Terpumpun Pembahasan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah tentang Pembinaan Bahasa Indonesia dan Pelestarian Bahasa Daerah.

Saya belum mendapatkan Draft Naskah Akademi dan Ranperda tersebut sehingga tak bisa memberi komentar mengenai isi Draft Naskah. Hanya saja sudah adanya Naskah Akademi dan Ranperda merupakan sebuah langkah maju dalam melaksanakan PP yang terbit pada tahun 2014. Menurut rencana, Naskah Akademi dan Ranperda tentang Pembinaan Bahasa Indonesia dan Pelestarian Bahasa Daerah akan dibahas oleh DPRD Provinsi Kalimantan Tengah pada masa sidang III nanti, yaitu pada September-Desember 2021.

Apabila rencana ini benar-benar terwujud maka nasib Ranperda tentang Pembinaan Bahasa Indonesia dan Pelestarian Bahasa Daerah jauh lebih baik dari Ranperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat yang sudah mangkrak selama enam tahun dan tak jelas kelanjutannya, walaupun entah berapa kali para anggota Dewan Yang Mulia telah berjanji akan segera menuntaskan dan menerbitkan Perda Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat Dayak Kalimantan Tengah.

Walaupun lagu “Lidah Tidak Bertulang” memang jadul dari segi penciptaan, secara isi lagu tersebut masih saja relevan dan makin relevan saja, apalagi sekarang. Relevansinya menunjukkan suatu kualitas pemilik lidah.

Apakah Perda tentang Pembinaan Bahasa Indonesia dan Pelestarian Bahasa Daerah itu nanti setelah disahkan bakal operasional atau tidak, adalah masalah lain.

Atas langkah maju dan solidaritas ini, sebagai Uluh Kalteng pada tempatnya kita menyampaikan terima kasih kepada Kepala Balai Bahasa Kalteng, Valentina Lovina Tanate, M.Hum, yang notabene bukan bergalur murni Dayak tapi anak bangsa berdarah Ambon.

Mudah-mudahan saja isi Perda itu, sekarang masih Ranperda, mengandung masalah pembakuan ortografi. Sementara soal pelestarian dan pengembangan bahasa Dayak Ngaju serta bahasa-bahasa Dayak lainnya, pasal-pasal Perda saya harapkan betul-betul bisa operasional.

Perda atau peraturan yang tidak operasional akan jadi percuma terbit. Jika bernuansa represif akan membahayakan kehidupan.[]


Halaman Budaya Sahewan Panarung Harian Radar Sampit, MInggu, 8/8/2021

CATATAN KUSNI SULANG: Semangat Oelnaineno dan Desa Adat

Radar Sampit – Minggu, 1/8/2021 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Warga desa Oelnaoneno bergotong royong membangun gedung SMA untuk anak-anak mereka. Foto: sekolah.data.kemdikbud.go.id
Siswa-siswa SMA Desa Oelnaineno di ruang kelas. Foto: sekolah.data.kemdikbud.go.id
Oenam tengah dihantam
masihkah kau membungkam?
centilkanlah kapitan-kapitan perkasa
sebab tiga gundukan karang nyaris binasa
walau gugur tetaplah nyanyi bolelebo
Palateee...aueee...

Dari: HE Tanouf, “Balada Sobe Sonbai” dalam: https://satutimor.wordpress.com/2014/04/07/dipelupuk-mata-nirmala/

Sajak HE Tanouf di atas adalah sebuah puisi yang ditulisnya untuk menghormati dan mengenang pahlawan Timor, Sobe Sonbai, seorang pejuang anti kolonialisme Belanda yang pantang tunduk sekalipun menjadi langganan penjara.

Kolonialisme Belanda memang telah dihalau, tapi kemiskinan dan kepapaan masih saja bercokol di Tanah Timor, Nusa Tenggara Timur (NTT). Daerah ini merupakan salah satu wilayah termiskin di Indonesia.

Dihadapan keadaan demikian, warga Timor apakah berpangku tangan?

Tidak, mereka tidak diam. Mereka bangkit bersama-sama untuk keluar dari keterpurukan tanpa menadah tangan. Semangat kebangkitan inilah yang diungkapkan oleh Tanouf dalam kata-kata “Oenam tengah dihantam/masihkah kau membungkam? tiga gundukan karang nyaris binasa”. Mereka kerahkan “kapitan-kapitan perkasa/ untuk keluar dari kungkungan marjinalisasi”. Lebih baik mati berdiri daripada hidup bertekuk-lutut.

Semangat inilah juga yang dihayati oleh 2.655 warga Desa Oelnaineno, sebuah desa terletak sekitar 140 kilometer dari Kota Kupang, Kabupaten Kupang. Kecamatan Takari yang terdiri dari 9 desa dan 1 kelurahan, yaitu: Desa Benu, Desa Fatukona, Desa Hueknutu, Desa Kaunik, Desa Noelmina, Desa Oesusu, Desa Tanini, Desa Tuapanaf dan Desa Oelnaineno serta Kelurahan Takari (Sumber: Pos Kupang). Artinya Desa Oelnaineno merupakan salah satu desa dari Kecamatan Takari.

Badan Pusat Statistik mencatat, pada Maret 2021, jumlah penduduk miskin di NTT sebanyak 1.169.310 orang atau setara dengan 20,99 persen dari total jumlah penduduk NTT.

Desa Oelnaineno merupakan salah satu kantong kemiskinan di NTT. Pengeluaran hampir semua warga di kampung itu di bawah garis kemiskinan, yakni Rp 415.116,- per kapita per bulan, hampir semua warga Oelnaineno hidup di bawah garis kemiskinan. Warga hidup dari bertani dan beternak dengan pendapatan tak menentu. Mereka sering gagal panen dan ternak pun mati akibat kemarau berkepanjangan yang terjadi hampir setiap tahun. Kemiskinan seakan abadi (https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/07/28/persembahan-warga-oelnaineno-bagi-bangsa?utm_source=headtopics&utm_medium=news&utm_campaign=2021-07-28).

Kemiskinan ini  kemudian mendorong perempuan-perempuan desa untuk keluar negeri menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW).

Menurut data Kompas, pada awal Januari 2021, empat pekerja migran ilegal asal NTT meninggal di Malaysia. Mereka meninggal dalam lima hari berturut-turut dengan berbagai sebab. Sepanjang 2020, terhitung 87 pekerja migran asal NTT meninggal di luar negeri.

Dari segi pendidikan, seperti umumnya dengan desa-desa pedalaman, juga tidak berkembang. Kalaupun ada SMP untuk melanjutkan pelajaran setelah lulus SD, sangat langka . Itupun untuk beberapa desa. SMA terdapat jauh di Kupang yang jaraknya 140 kilometer dari Oelnaineno. Anak-anak desa yang melanjutkan pelajaran ke tingkat SMA mesti berjalan kaki dari desa ke Kupang atau ke SMA terdekat. Karena itu mereka setiap pagi harus bangun pukul 03.00 pagi, mandi, sarapan, menyalakan obor, lalu berjalan kaki melewati hutan dan menyeberang kali ke SMA terdekat yang berjarak 12 kilometer. Banyak dari mereka, baik yang bersekolah di Kupang maupun SMA, anak putus sekolah.

Di NTT, jumlah anak putus sekolah cukup tinggi. Tahun 2019, sebanyak 111.000 orang.

Tetua-tetua kampung memandang bahwa keadaan begini tidak bisa berlanjut. Harus dihentikan.

Karena perubahan ditentukan oleh tingkat mutu sumber daya manusia (SDM) dan peningkatan SDM bisa dicapai melalui pendidikan maka dalam rapat diputuskan untuk mendirikan SMA di desa tanpa menunggu siapapun. Sekolah dipandang sebagai jalan keselamatan. Hasil rapat kampung menugaskan pembangunan ruang belajar itu dibagi setiap Rukun Tetangga (RT).

Untuk melaksanakan keputusan rapat desa ini, warga desa bergotong-royong membangun gedung SMA. Bangunan sekolah itu didirikan secara swadaya oleh masyarakat mulai tahun 2016. Sepuluh bangunan seragam berdiri membentuk formasi U. Atap dari daun, dinding dari pelepah, tiang kayu balok, dan lantai tanah. Setiap bangunan berukuran panjang 8 meter dan lebar 6 meter. Pada atapnya disusun daun berlapis. Dindingnya ditempel pelepah rapat. Daun dan pelepah diambil dari pohon gewang yang tumbuh liar di hutan. Berada di dalamnya terasa sejuk kendati di luar terik menghunjam dengan suhu hingga lebih dari 35 derajat Celsius (https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/07/28/persembahan-warga-oelnaineno-bagi-bangsa?utm_source=headtopics&utm_medium=news&utm_campaign=2021-07-28)

Warga desa Oelnaoneno bergotong royong membangun gedung SMA untuk anak-anak mereka. Foto: sekolah.data.kemdikbud.go.id

Untuk mendapatkan bahan-bahan bangunan warga desa beramai-ramai pergi ke hutan.

”Kami semua ramai-ramai ke hutan untuk cari bahan,” tutur Unismis Topmuti (45), tokoh masyarakat Oelnaineno.

Hasil hutan itu dipikul ramai-ramai ke kampung dengan waktu tempuh lebih dari dua jam. Medan jalan menanjak penuh batu karang.

Selain bahan dari alam, mereka juga membutuhkan bahan seperti paku yang harus dibeli menggunakan dana hasil urunan warga. Bangunan selesai setelah bekerja lebih dari empat hari. Untuk meja kursi di kelas, setiap siswa diwajibkan membawanya dari rumah, sedangkan biaya kebutuhan lain, seperti papan tulis, spidol, meja, dan kursi guru, diambil dari hasil urunan.

Setelah bangunan siap, persoalan yang kemudian dihadapi bagaimana mendapatkan guru.

Guna memecahkan soal ini, orangtua murid dan pemerintah desa berpikir keras mencari orang yang mau mengajar di pedalaman itu. Disepakati, orangtua murid siap menyumbang Rp 100.000,- per bulan untuk menggaji guru.

Orip Atte, guru mata pelajaran Biologi, menjadi orang pertama yang menyatakan kesediaannya untuk mengajar. Orip, anak Desa Oelnaineno sendiri, lalu mengajak kenalannya di desa tetangga dan beberapa dari Kota Kupang untuk membantu mengajar. Mengajar tanpa gaji. ”Ada yang dalam satu bulan, kami dikasih Rp 50.000,- untuk tiga orang. Kami tidak bisa paksa karena kondisi masyarakat memang miskin,” ujarnya.

Beberapa guru yang berasal dari luar kampung diinapkan di mes yang dibangun oleh warga kampung. Dengan keterbatasan, warga menyumbangkan makanan bagi guru, seperti umbi, kacang, dan sayur. Juga ayam peliharaan setiap dua atau tiga minggu sekali untuk asupan protein. Warga berusaha membuat nyaman guru yang mengabdi tanpa pamrih itu (https://www.kompas.id/baca/dikbud/2021/07/28/persembahan-warga-oelnaineno-bagi-bangsa?utm_source=headtopics&utm_medium=news&utm_campaign=2021-07-28).

Melalui lobi ke dinas-dinas terkait, sekarang SMA Desa Oelnaineno diresmikan menjadi SMA Negeri IV Takari.

Apa yang dilakukan oleh  2.655  warga Desa Oelnaineno, bagi saya seperti mengatakan beberapa hal esensial:

  1. Untuk keluar dari dari keadaan terpinggir pertama-tama diperlukan kemauan dan tekad berjuang secara kolektif;
  2. Semangat mandiri, membuang jauh-jauh mentalitas pengemis atau mentalitas budak;
  3. Daripada mengutuk malam lebih baik menyalakan lilin;
  4. Mengorganisasi diri bersama-sama;
  5. Mengerahkan semua potensi yang ada dalam masyarakat desa.

Ketika melakukan perjalanan di daerah pedesaan Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng), yang warganya merupakan guru besar-guru besar saya, saya mendapatkan bahwa dahulu di kalangan masyarakat Dayak, mengenal dan mempraktekkan lima  hal yang saya lihat pada warga Desa Oelnaineno yang berhasil membangun SMA mereka secara swadaya.

Di desa-desa Manuhing Raya pernah ada tradisi harubuh membangun jalan, membersihkan sungai, membangun  rumah, juga dalam membangun Sekolah Dasar dan gereja. Harubuh (beda dengan handép) tanpa menunggu uluran tangan dan belas kasihan siapapun.

Bahkan Provinsi Kalteng sendiri, sebagai Provinsi Dayak, didirikan berangkat dari empat sikap dan semangat tersebut di atas.

Keadaan yang dialami oleh Desa Oelnaineno, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan keadaan Orang Dayak sebelum Provinsi Kalteng berdiri. Hal ini tercermin misalnya dalam lukisan tentang trilogi  manusia ideal Dayak yang merupakan modal budaya bagi Orang Dayak yaitu: “mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh”  (gagah-berani, pandai-beradat/berbudi, berani berpikir dan bersikap out of the box dan tekun).

Sedangkn semangat “Uras Pangkalima” (Semua Panglima) sebenarnya bisa dikembangkan menjadi semangat dan kemauan mengembangkan potensi individual. Tidak dijuruskan kepada keliaran individual yang menolak organisasi. Memang berorganisasi merupakan salah satu titik lemah Masyarakat Dayak.

Barangkali hal-hal positif di masyarakat pedesaan dan budaya Dayak Kalteng  dahulu–yang sekarang nampak meredup–bisa dinyalakan kembali melalui pembentukan dan penetapan desa adat.

Desa Adat salah satu seginya adalah bentuk pengorganisasian kembali masyarakat adat secara tanggap zaman. ***


Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu, 1/8/2021