Radar Sampit | Minggu, 29 Agustus 2021 | Penyunting: Andriani SJ Kusni
Drama Menunggu Godot ditulis oleh dramawan Inggris, Samuel Becket dalam bahasa Perancis ketika ia berada di Paris pada saat Perang Dunia II (1939-1945) dengan judul En attendant Godot.
Dipentaskan untuk pertama kalinya pada 5 Januari 1953 di sebuah gedung teater kecil bernama Théatre Babylone. Menurut James Knowlson, teman dan penulis biografi resmi Becket, penampilan publik pertama drama ini mendapat sambutan luar biasa baik dari kalangan elit seni di Paris maupun dari masyarakat.
“Ribuan orang yang mengklaim mereka berada di teater itu tidak mungkin berada di sana. Tidak ada kursi yang cukup untuk mereka,” kata tulis James Knowlson. “Mereka juga tidak mungkin menyadari bahwa pementasan berdana cekak itu akan menjadi salah satu momen penting dalam drama modern” (https://www.bbc.com/indonesia/majalah/2013/01/130107_budaya_menunggu_godot).
Dalam suasana Perang Dingin menyusul berakhirnya PD II, tahun 1955 lakon Beckett, Menunggu Godot ini, tiba di Amerika Serikat, lakon ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris (https://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/89) dengan judul Waiting for Godot, yang kemudian diindonesiakan oleh W. S. Rendra dan dipentaskan pada 1966 melalui pementasan Bengkel Teater yang ia pimpin.
Lakon Menunggu Godot ditulis oleh Beckett berlatarbelakang pengalamannya sendiri saat menantikan berakhirnya Perang Dunia II karena itu ia tahu benar psikologi orang yang menunggu berakhirnya bencana. Harapan, ketidakpastian dan keputusasaan bertcampur-baur. Hal ini diungkapkan melalui tiga tokoh dalam lakon Menunggu Godot-nya.
“Menunggu Godot” mengisahkan tentang tiga orang yang berbeda dalam karakter serta sikap hidup bertemu di suatu tempat yang sunyi di luar kota, di bawah sebatang pohon yang hampir ajalnya. Mereka ini adalah GOGO/Estradon, Vladimir, dan Pozzo. Mula-mula Gogo dan Vladimir yang merupakan dua orang sahabat karib datang di suatu tempat yang telah dijanjikan sebagai tempat pertemuan mereka dengan Tuan Godot. Dalam penantian mereka, lalulah seorang pengembara yang aneh dengan perbuatannya yang aneh pula, yang ditemani oleh “kuda beban”nya yang tidak lain adalah seorang manusia biasa yang telah tidak mempunyai harga diri lagi. Persoalan sesungguhnya hanya berkisar pada satu pangkal, yaitu penantian terhadap Tuan Godot yang tak pernah kunjung datang (Sumber: Majalah Djaja, Nomor 428, 4 April 1970).
Dalam disertasi S3-nya di Universitas Gadjah Mada, tahun 2001, SOEMANTO, C. Soebakdi, antara lain menulis “Lakon Waiting for Godot menyajikan manusia dalam kondisi putus asa tetapi sekaligus penuh harapan akan datangnya tokoh Godot yang tidak pernah datang” (http://etd.repository.ugm.ac.id/home/detail_pencarian/89).
Psikologi tiga tokoh dalam lakon Menunggu Godot ini membawa saya kepada suasana psikologi warga adat di Desa Luwuk Tukau, Tumbang Oroi dan Desa Tumbang Samuї yang melalui kepala desa masing-masing sudah menyurat ke DPRD Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng) agar desa mereka diubah statusnya dari Desa Dinas menjadi Desa Adat.
Semua syarat yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa sudah dipenuhi. Rekomendasi dari Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi pun sudah terbit. Rapat Dengar Pendapat di DPRD Gunung Mas juga sudah dilakukan.
Tatkala waktu berlalu sudah hampir dua tahun, permintaan warga adat tiga desa tersebut di atas masih saja tidak ada kabar lanjutnya dari pemerintah kabupaten. Kalau ditolak, apa alasan legal penolakan?
Apabila penyelenggara Negara adalah pelayan masyarakat, diam terhadap aspirasi warga negaranya adalah suatu kualitas pelayanan yang tentu tidak bisa dikatakan positif.
Apa yang dilakukan oleh DPRD Kabupaten Gunung Mas (cq. Fraksi Nasdem-Hanura) dalam sidang yang menanyakan kepada Pemerintah (cq. Eksekutif) soal tindak lanjut permohonan warga tiga desa Kecamatan Manuhing Raya dalam Rapat Paripurna Masa Persidangan I Tahun Sidang 202, patut dihargai.
Dalam Sidang Paripurna tersebut Fraksi Nasdem-Hanura antara lain telah menyampaikan: “Mohon dijelaskan kembali tindak lanjut permohonan Masyarakat Kecamatan Manuhing Raya tentang Perubahan Desa Dinas menjadi Desa Adat. Sejauh mana hingga saat ini tindak lanjut yang sudah dilakukan oleh Panitia Pembentukan Masyakarat Hukum Adat Kabupaten Gunung Mas”
Melalui pertanyaan atau permohonan keterangan ini, DPRD Kabupaten Gunung Mas memperlihatkan bahwa mereka berperan sebagai pengawas dan penyambung lidah serta aspirasi warganegara. Melaksanakan tugas sebagai Wakil Rakyat sesuai sebutan Dewan Perwakilan Rakyat–yang oleh rasa kecewa, singkatannya dipelintir dalam arti sangat negatif.
Pertanyaan selanjutnya: Seberapa lama dan seberapa jauh sikap begini terjaga?
Dalam hubungan permintaan warga tiga desa tersebut di atas, kiranya patut dicatat benar bahwa yang diminta adalah perubahan status dari desa dinas menjadi desa adat, BUKAN meminta hutan adat. Mengalihkan permintaan dari desa adat menjadi hutan adat adalah suatu sikap yang tidak aspiratif. Sikap yang tidak mengapresiaasi aspirasi warga adat.
Hal lain yang membuat warga adat Provinsi Kalteng ini–yang secara sejarah merupakan Provinsi Adat–seperti tokoh-tokoh lakon Menunggu Godot, adalah mangkraknya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat (Hukum) Adat di tingkat Provinsi.
Sudah enam tahun Raperda ini mangkrak, walaupun pernah dijanjikan di depan publik akan segera diterbitkan sebagai Perda pada tahun silam dan tahun sebelumnya.
Ada perbedaan yang tidak kecil antara kata-kata dan pernyataan yang sesungguhnya yang tentu saja tidak menaikkan angka rapor yang disebut DPR.
Dalam keadaan bercampur-baurnya antara harapan dan keputusasaan seperti orang Menunggu Godot, pertanyaannya: Apakah warga adat Kalteng mau terus menjadi Penunggu Godot? Apakah warga adat Kalteng membiarkan aspirasi yang disalurkan melalui kata-kata menjadi seperti ludah dan atau benang basah?
Sejarah daerah ini jika dipelajari akan memberitahukan kita tentang apa yang mesti dilakukan. Adakah yang takut sejarah?[]