Gubernur Kalimantan Tengah Larang Masyarakat Adat Dayak Bawa Mandau?

Oleh: Arya Ibrahim* | Disunting oleh: Andriani SJ Kusni

Sugianto Sabran, Gubernur Terpilih yang kedua kali di Provinsi Kalimantan Tengah, melarang Masyarakat Adat Dayak untuk unjuk rasa dan saat kegiatan adat dilarang membawa mandau, senjata khas Dayak di Kalimantan. Pernyataan ini viral di media sosial dalam video yang berdurasi kurang dari satu menit.

Banyak netizen sangat kecewa atas pernyataan ini. Bahkan ada yang meminta jika benar Sugianto Sabran orang Dayak, tidak pantas melarang bawa mandau karena mandau, perisai, dan baju adat adalah bagian yang tak terpisahkan dari adat Dayak. Pun, di dalam kegiatan masyarakat seperti unjuk rasa maupun ritual adat, belum ada yang sampai saling melukai akibat membawa mandau.

Dalam tatanan adat Dayak, jika ada yang sampai mengunakan mandau untuk mengancam keselamatan dan sempat terluka, yang bersangkutan pasti akan menerima hukuman adat. Bagi sebagian Masyarakat Adat Dayak, terkena hukuman adat adalah sangat memalukan bagi dia dan keluarganya.

Jadi Gubernur Kalimantan Tengah, Sugianto Sabran jangan khawatir yang berlebihan jika saat unjuk rasa ataupun dalam kegiatan ritual adat Dayak ada yang membawa Mandau.

Saran saja untuk gubernur, tingkatkan pembangunan di Kalimantan Tengah yang lebih maju lagi, berdayakan dan fasilitasi masyarakat Adat Dayak untuk berkarya dibidangnya. Itu lebih baik daripada membuat pernyataan yang dapat melukai perasaan masyarakat Adat Dayak.

Jika boleh berkaca dari suku lain di Indonesia, tidak ada larangan juga jika Orang Jawa pake baju adat Jawa sambil membawa keris, Orang Sunda membawa kujang, Orang Aceh membawa rencong, dan lain-lain. Ini adalah warisan budaya Nusantara yang wajib dipertahankan dan dilestarikan, bukan malah ditengelamkan. Karena itu, pernyataan gubernur kurang bijaksana.

Staf pengajar Hukum Adat Fakultas Hukum Universitas Tanjung Pura, Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat dan Sekretaris Jenderal Majelis Hakim Adat Dayak Nasional, Salfius Seko, SH, MH (Panglima Antayot) mengatakan, mandau merupakan simbol persaudaraan, bukan perbuatan kriminal.

“Pertama, kita harus melihat makna filosofis dari mandau yakni merupakan simbol persaudaraan, simbol ksatria, simbol penjaga, tanggung-jawab dan kedewasaan,” kata Salfius Seko menanggapi pro dan kontra keberadaan mandau yang selalu dibawa ke tempat-tempat umum, sebagai salah satu senjata tradisional Suku Dayak di Pulau Borneo, Minggu, 28 Februari 2021. Oleh karenanya, menurut Salfius Seko, keberadaan mandau seperti sebuah keharusan dan sangat penting bagi masyarakat Dayak baik dalam upacara adat kelahiran, kematian, pengadilan (sidang adat), maupun penyembuhan. Mandau dan Suku Dayak ibarat pakaian dan tubuh, saling melengkapi dan tak bisa terpisahkan.

Kedua, mandau merupakan senjata dan alat yang mengakar dari seni budaya peradaban tempa logam masyarakat Dayak membentuk identitas adat sakral masyarakat Dayak. Karena itu, mandau mengandung makna filosofis dan makna sosial yakni sebagai simbol kehormatan dan jati diri seseorang. Dijelaskan Salfius Seko, dalam kehidupan sehari-hari Suku Dayak, mandau dilihat sebagai senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya, kemanapun ia pergi mandau selalu dibawanya, di samping itu mandau juga berfungsi sebagai simbol seseorang (kehormatan dan jati diri).

Jika dilihat dari makna filosofis mandau sebagai simbol penjaga, maka menyimpan mandau di dalam rumah harus dilihat sebagai simbol penjaga bagi penghuni rumah tersebut, sehingga penghuni rumah merasa aman. “Sedangkan menggunakan mandau didalam rumah harus dilihat dalam konteks tertentu, misalnya ritual adat, perlengkapan tarian adat, dan perlengkapan upacara adat,” ungkap Salfius Seko. “Dengan demikian, menyimpan dan menggunakan mandau dapat dibenarkan secara adat sepanjang bermakna simbolik sebagai penjaga dan digunakan untuk keperluan tertentu yang terkait dengan ritual adat dan upacara adat serta kelengkapan adat,” ungkap Salfius Seko.

Oleh karenanya, lanjut Salfius Seko, seseorang yang menyimpan mandau dan menggunakannnya dalam konteks tersebut tidak dapat dikualifikasi melanggar ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951.[]

*  Penulis, tinggal di Kalimantan Barat

Tak Ada Perubahan Politik Tanpa Ada Tekanan Politik

Catatan untuk Generasi Maluku Tercerahkan

Penulis: Ikhsan Tualeka*

“Maluku butuh tindakan afirmatif oleh negara dan untuk itu diperlukan gerakan kolektif yang dapat menaikkan posisi tawar politik. Tak ada perubahan politik tanpa ada tekanan politik.”

Beberapa waktu terakhir sebelum menulis catatan ini, saya dapat banyak telepon, Messenger Facebook, pesan di WhatsApp dan Instagram yang mengkonfirmasi realitas di luar dugaan. Ternyata orang-orang Maluku ‘tercerahkan’ begitu banyak tapi masih memilih diam atau menjadi silent majority.

Mereka disebut tercerahkan karena sejatinya mampu melihat persoalan Maluku dengan proporsional dan objektif, namun belum banyak yang mau bersuara. Hal ini bisa jadi karena mereka menilai momentumnya belum tepat, atau menunggu hingga gerakan perubahan makin terkonsolidasi.

Kelompok tercerahkan ini punya kesamaan penilaian, bahwa persoalan besar di Maluku itu adalah soal paradigma pembangunan, kemiskinan, kualitas pendidikan dan kesehatan yang rendah, serta ketidakmampuan pengelolaan sumber daya alam. Bukan persoalan separatisme yang hanya kerap dibesar-besarkan.

Bahkan ada yang berpendapat, isu separatis justru dapat digunakan atau dikapitalisasi sehingga menjadi pintu masuk dalam mainstreaming atau pengarusutamaan isu Maluku dan meningkatkan posisi tawar politik daerah yang masih miskin dan tertinggal ini. Bagaimana caranya, itu dapat dirumuskan, asalkan mau berpikiran terbuka dan duduk bersama.

Setidaknya kontraksi politik, atau isu kekecewaan dan perlawanan publik dapat digunakan dalam strategi komunikasi politik, agar pesan-pesan politik jauh lebih lebih efektif merangsek ke dalam jantung kekuasaan. Sehingga suara-suara yang selama ini tak terdengar akan bisa lebih didengar.

Memang salah satu masalah komunikasi politik orang Maluku selama ini adalah pada ‘mainstreaming’ isu lokal sehingga menjadi pembahasan atau diskursus nasional. Dampaknya, persoalan yang dialami di daerah akhirnya terus mengendap bersama penderitaan rakyatnya.

Alih-alih mencari cara guna memantik perhatian yang lebih besar untuk Maluku, seperti yang dapat dilihat dalam dukungan yang diberikan pemerintah pusat kepada sesama daerah yang punya latar sejarah pergolakan politik dan upaya disintegras–Aceh dan Papua–banyak generasi muda Maluku justru kerap kali tidak menunjukan persatuan dalam mendorong isu atau persoalan Maluku.

Saling sikut terkadang lebih menonjol dari pada sinergi dan kolaborasi. Kritik-kreatif yang diarahkan dan diupayakan untuk mendesak dan mengingatkan pemerintah pusat pun bisa dengan gampang dicap atau tuding ‘jangan-jangan ini separatis’.

Kondisi ini yang menjadikan orang Maluku ibarat dua orang yang terperosok ke dalam sumur, meski sama-sama ingin keluar, tapi malah bertikai di dasar sumur. Kalau begini realitasnya, sampai mati, tidak ada yang bisa keluar dari sumur.

Sama seperti banyak di antara anak muda Maluku yang lebih memilih saling meniadakan, ketimbang saling mendukung. Saling melemahkan bukan menguatkan, menjadikan posisi tawar Maluku dalam konfigurasi dan kancah politik nasional menjadi lemah.

Kelemahan politik ini berdampak pada Maluku belum benar-benar menjadi prioritas dalam skema pembangunan nasional. Kecilnya alokasi APBN–padahal tantangan pembangunan di Maluku tidaklah sedikit–serta adanya sejumlah regulasi yang tidak berpihak atau justru merugikan Maluku sebagai provinsi kepulauan, adalah fakta bahwa Maluku masih ditinggal dan akhirnya terus tertinggal.

Kondisi kekinian Maluku masih belum banyak berubah dari waktu ke waktu. Orientasi pembangunan pendidikan yang belum benar-benar diarahkan untuk dapat menjawab dan memacu pertumbuhan ekonomi dan industri berbasis pada sumber daya alam yang dimiliki, menjadikan potensi laut Maluku masih sekadar pajangan atau hanya dikeruk oleh oligarki.

Sebagai lumbung ikan dunia, tak terlihat ada implikasi ekonomi yang signifikan bagi Maluku. Ibarat digambarkan dalam satu cerita rakyat, yang mengisahkan satu keluarga hidup miskin dalam gubuk, tepat di bawah timbunan harta karun peninggalan leluhurnya.

Di Maluku, angka kemiskinan tinggi, pengangguran juga demikian, indeks pembangunan manusia rendah, gizi buruk kerap ditemukan, kematian ibu dan bayi saat persalinan masih tinggi. Belum lagi rusaknya lingkungan akibat penambangan liar dan perambahan hutan terus berlanjut, adalah sejumlah kenyataan pahit yang harus dihadapi daerah yang katanya sangat kaya ini.

Kecakapan dan kemampuan pemerintah, eksekutif dan legislatif di daerah atau lokal memang juga menjadi faktor penting sejumlah masalah belum terurai dengan benar. Namun pemerintah pusat juga punya andil dan dosa besar atas realitas yang paradoks ini.

Karena itu, mendesak adanya perhatian pemerintah pusat menjadi salah satu titik tekan yang perlu terus dilakukan sebab Maluku tak akan pernah maju dan bersaing dengan daerah lain, keluar dari ketertinggalan, jika tak ada perhatian dari otoritas terkait di pemerintah pusat.

Perhatian yang diperlukan saat ini adalah soal proporsi alokasi anggaran yang memadai dan kewenangan yang lebih besar dalam mengelola potensi alam. Tanpa itu jangan berharap lebih, karena Maluku akan tetap merayap, sementara daerah lain sedang berlari.

Semoga ke depan gerakan kolektif yang mau didorong bersama dalam mengarusutamakan isu Maluku dapat diinisiasi dan terus dilakukan. Komunitas ‘Beta Kreatif’ pernah bikin Paspor Maluku dan Mata Uang Maluku sebagai bagian dari cara kreatif dalam mengkritik dan menarik perhatian pemerintah.

Memang harus diakui, dampak politiknya belum signifikan, mungkin agar resonansinya lebih kuat, perlu ada gerakan politik kreatif yang lebih besar. Misalnya ada puluhan atau bahkan ratusan anak muda yang pawai, mengajukan tuntutan bersama-sama sambil mengacungkan simbol protes, semacam Paspor dan Mata Uang Maluku atau simbol lainnya yang disepakati bersama. Apalagi didukung oleh para politisi, wakil rakyat diberbagai jenjang terutama yang duduk di Senayan, tentu nuansa dan pengaruh politiknya akan menggentarkan. Jika itu terjadi, bukan saja menjadi isu nasional, bahkan internasional.

Selain itu, mungkin juga ke depan akan lahir gerakan dan upaya-upaya lainnya yang dilakukan secara kolektif sehingga di satu sisi anak-anak muda Maluku lebih terkonsolidasi dan giat memacu diri untuk terus maju. Sementara pada sisi yang lain dapat mendorong perhatian yang lebih besar, agar Maluku benar-benar diperhatikan dan diperlakukan secara adil.

Ambon, 24 Mei 2020

* Masalah pokok yang diketengahkan tahun lalu oleh Ikhsan Tualeka masih berlangsung hari ini. Maluku bertarung melakukan perubahan karena “untuk itu diperlukan gerakan kolektif yang dapat menaikkan posisi tawar politik. Tak ada perubahan politik tanpa ada tekanan politik” . Perlawanan dari suatu “gerakan kolektif” demikian apakah ada di Tanah Dayak bernama Kalimantan Tengah? Ikhsan Tualeka adalah Founder IndoEast Network.

CATATAN KUSNI SULANG: Tentang Larangan Membawa Mandau

Radar Sampit, Minggu 4/4/2021 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Mandau dipinggang salah seorang demonstran dalam aksi massa di Bundaran Besar Kota Palangka Raya, 11/2/2012, yang diorganisir Dewan Adat Dayak Kalimantan Tengah menolak kehadiran FPI di Provinsi Kalimantan Tengah. Foto: Andriani SJ Kusni, 2012

Pernyataan Sugianto Sabran yang kembali terpilih untuk kedua kalinya sebagai Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) tentang “larangan membawa mandau” menjadi viral di media sosial. Reaksi menyesali pernyataan tersebut bukan hanya datang dari kalangan Dayak di Kalimantan Tengah tapi juga dari orang-orang Dayak di provinsi lain, terutama Kalimantan Barat.

Dalam webinar yang diselenggarakan oleh Huma Uka Bakésah, 31 Maret 2021, bertema “Masyarakat Adat Kalteng, Siapa yang Memperjuangkan?”, Panglima Batamad Kalteng, mantan Kolonel Kopassus, Yuandrias, Dipl. PSC, MA. ketika ditanya oleh moderator, mengatakan bahwa yang dilarang adalah membawa mandau di tengah publik seperti unjuk rasa misalnya.

Saya tidak tahu apakah Yuandrias mendapat mandat gubernur untuk memberi penjelasan mengenai Larangan Membawa Mandau ini. Yuandrias tidak mengatakan mendapat mandat dari gubernur sehingga validitas pernyataan korektifnya masih bisa dipandang sebagai tidak valid mewakili Gubernur Kalimantan Tengah. Penjelasannya lebih bersifat pendapat pribadi. Karena itu, penjelasan korektif  seyogyanya diberikan langsung oleh Gubernur Kalimantan Tengah sendiri atau yang ditugaskan.

Koreksi terhadap yang dipandang keliru perlu dilakukan sebagai wujud tanggung-jawab publik. Apalagi pernyataan kontroversial begini sebenarnya terjadi bukan hanya kali ini tapi pernah terjadi sebelumnya seperti pernyataan Sugianto Sabran mengenai keinginannya memasang ayat-ayat atau tulisan-tulisan berhuruf Arab di Bandara Tjilik Riwut.

Pada 4 Desember 2017, Sugianto Sabran saat Rapat Kerja Keuangan Daerah Regional II yang dihadiri 17 provinsi dan dibuka oleh Plt. Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri, Syarifuddin, menyampaikan pesan bahwa “Membangun tidak lagi bawa tombak dan mandau, tapi dengan kerja keras dan inovasi, kita hormati setiap tamu yang datang dan berusaha. Kita harus harmonis, tidak perlu ikut-ikutan masalah yang ada di Jakarta, yang di Pontianak, dan lainnya”. Dia juga merasa kesal dengan pertikaian demi pertikaian yang dilakukan para elit politik di Jakarta. Hal itu selain tidak menunjukkan sikap konstruktif sebagai negarawan juga menjadi kendala laju pembangunan.

Sugianto Sabran mencontohkan bagaimana dekade lalu Negara China tidak ada apa-apanya karena keterbatasan sumber daya alam dan sumber daya finansial. Tapi oleh kelengahan Indonesia saat ini, malah kondisinya berkebalikan. Pertumbuhan ekonomi, teknologi, dan sosial kemasyarakatan China cukup pesat, menyalip kondisi Indonesia yang sebetulnya kaya sumber daya alam dan finansial saat itu.

“Kita banyak menciptakan orang pintar tapi tidak punya akhlak, banyak jadi rusak. Bandingkan dengan orang desa yang tidak banyak yang pintar, tapi punya hati nurani dan menggunakannya,” tandasnya (lihat: https://www.borneonews.co.id/berita/80961-gubernur-membangun-tidak-lagi-saatnya-bawa-tombak-dan-mandau).

Walaupun secara substansi pernyataan Sugianto Sabran ini membuka ruang polemik, tapi ruang itu kali ini tidak saya masuki agar fokus pada soal Larangan Membawa Mandau.

Apakah Mandau itu? Betulkah ia “simbol kegigihan perjuangan” seperti tafsiran Sugianto Sabran?

Dari segi sejarah dan kebudayaan, saya melihat mandau adalah produk kebudayaan pada suatu periode sejarah tertentu. Jika dikaitkan dengan upaya pemberdayaan sebagai dasar dari pembangunan maka upaya-upaya seyogyanya dilakukan dengan menerapkan pendekatan kebudayaan. Partisipasi masyarakat lokal (baca: Dayak) akan bisa digerakkan melalui pendekatan kebudayaan ini.

Pumpung Haї misalnya, adalah bentuk partisipasi masif warga desa untuk menangani persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Tapi pastisipasi masif begini tidak akan didapat jika berangkat dari premis bahwa warga desa itu bodoh. Dalam kata-kata Sugianto Sabran: “orang desa tidak banyak yang pintar”.

Di Tanah Dayak Kalimantan Tengah, saya melihat terdapat gejala bunuh diri budaya secara sukarela. Orang-orang mengaku diri Dayak tetapi kurang, untuk tidak mengatakan TIDAK menghargai budaya Dayak-nya sendiri. Tidak sedikit keluarga sebagai entitas terkecil masyarakat tidak menggunakan bahasa Dayak sebagai alat komunikasi dalam entitas terkecil tersebut. Yang digunakan sebagai alat komunikasi dengan anak-cucunya adalah bahasa Banjar dan atau bahasa Indonesia. Jika gejala bunuh diri budaya ini berlanjut,  bukan tidak mungkin bahasa Dayak akan kehilangan penutur dan akhirnya punah sehingga menjadi Dayak hanyalah satu predikat tanpa isi. Ada kekosongan. Mengutip sosiolog Perancis Alain Touraine, “Kekosongan jauh lebih berbahaya daripada bencana itu sendiri. Karena kekosongan memberi ruang luas untuk bermanuver segala manipulasi”.

Larangan Membawa Mandau saya anggap salah satu perwujudan nyata dari bunuh diri budaya ini dan malangnya kasus tersebut berasal dari penanggung-jawab pertama penyelenggaraan Negara di Tanah Dayak Kalimantan Tengah.

Selain itu, Larangan Membawa Mandau juga menunjukkan kurangnya perhatian kita pada sejarah Dayak Kalimantan Tengah umumnya dan sejarah budaya Dayak khususnya. Penelitian, penulisan, penerbitan, dan penafsiran kita tentang data-data sejarah dan budaya sangat minim dilakukan.

Di Kalimantan Tengah terdapat paling tidak terdapat 31 lembaga pendidikan tinggi tapi tidak ada satupun yang mempunyai Fakultas atau Prodi Sejarah dan Antropologi.

Kecuali itu, Larangan Membawa Mandau memunculkan pertanyaan sejauh mana tanggung-jawab lembaga semi formal yang menganggap diri bertanggungjawab pada masalah budaya Dayak. Menghamburkan “gelar-gelar Dayak” tidak disertai dengan pendalaman soal melalui penelitian, penulisan, penerbitan, dan kajian.

Larangan Membawa Mandau jadinya hanyalah salah satu puncak dari gunung es permasalahan budaya dan sejarah Dayak Kalimantan Tengah. Lembaga-lembaga pendidikan tinggi, dinas-dinas terkait kiranya bukanlah alamat salah untuk ditanyai pertanggungjawabannya.

Kiranya tidak salah pula jika berharap bahwa pada masa-masa mendatang, hal-hal kontroversial negatif tidak terulang lagi.[]


Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu, 4/4/2021

DAHLAN ISKAN: Haus Kerongkongan

01 April 2020

Oleh : Dahlan Iskan

INI bisa dibilang mengejutkan, pun bisa dibilang tidak. Sudah agak lama para pengamat ekonomi memprediksi: BUMN kelompok infrastruktur tinggal tunggu waktu. Sulit atau sulit sekali.

Tapi kondisi sebenarnya memang masih harus menunggu terbitnya laporan keuangan kinerja tahun 2020. Toh mereka pasti mengumumkannya kepada publik. Mereka perusahaan publik–ada keharusan untuk itu.

Yang ditunggu itu tiba. Selasa lalu.

Hari itu terbit laporan keuangan mereka. Semuanya menjadi jelas. Waskita Karya misalnya, rugi tidak kepalang tanggung: sampai Rp 7 triliun. Wijaya Karya tidak sampai rugi. Tapi labanya terjun bebas: dari Rp 2,2 triliun menjadi kurang dari Rp 200 miliar. PT PP turun dari Rp 800 miliar tinggal Rp 128 miliar. Pun BUMN infrastruktur yang lain.

Pekerjaan infrastruktur memang gegap gempita tahun-tahun terakhir. Tapi bisnis tetaplah bisnis: punya perilakunya sendiri. Dan perilaku itu bersumber dari satu napas: uang.

Pekerjaan jalan tol misalnya, memang luar biasa banyak. Mereka bisa memiliki sendiri tol itu atau hanya mengerjakan milik orang lain. Sebagian BUMN infrastruktur ngeri dengan besarnya modal yang harus disiapkan. Mereka memilih jadi kontraktor saja. Tapi ada BUMN yang ambisius sekali: memiliki tol itu sekaligus mengerjakannya. Uang bisa dicari, kata mereka. Tapi sekuat-kuat pengusaha infrastruktur, kelas Indonesia, tetap saja harus mengandalkan sumber dana dari pihak ketiga: bank dan obligasi. Atau right issue di pasar modal.

Tapi sekuat-kuat bank, ia harus tunduk pada peraturan di bidang perbankan: ada batas dalam jumlah pemberian kredit pada satu grup perusahaan–one obligor. Dana bank adalah napas nomor satu mereka. Maka ketika perusahaan sudah tidak bisa lagi pinjam dana bank–karena sudah mencapai batas atas–bencana tahap 1 pun datang.

Katebelece dari dewa pun tidak akan ditakuti bank.

Ketika bencana tahap 1 itu datang, harapan tinggal pada obligasi, MTM dan sejenisnya. Tapi pemilik dana obligasi pun tahu: mana perusahaan yang masih bisa cari pinjaman bank dan mana yang sudah mentok. Di sini pemilik dana obligasi bisa memainkan bunga. Dana bisa saja tetap tersedia–asal bunganya tinggi.

Tahap 2 itu pun ada batasnya: sampai obligasi itu jatuh tempo. Begitu perusahaan terbukti gagal bayar obligasi, pilihannya tinggal pada satu lubang: menerbitkan obligasi baru dengan bunga lebih tinggi lagi.

Perkiraan saya, merosotnya kinerja keuangan mereka sebagian besar akibat kemakan bunga tinggi.

Sebenarnya masih ada jalan lain: right issue di pasar modal–menambah jumlah saham yang dijual ke publik. Tapi BUMN punya batasan: tidak boleh menjual saham ke publik melebihi 50 persen–takut mayoritasnya jatuh ke asing. Rasanya semua BUMN infrastruktur kini sudah mentok di limit itu. Dengan demikian right issue bukan termasuk pilihan lagi.

Sebenarnya masih ada sumber dana lain. Murah sekali. Tapi dana itu justru sudah lebih dulu dipakai: yakni dana dari sub kontraktor. Inilah sumber dana tersembunyi yang penting sekali. Jarang yang menyadari ini: ketika sub-kontraktor tidak kunjung dibayar maka sebenarnya mereka itulah sumber dana terdepan BUMN infrastruktur.

Dan mereka itulah yang kini lebih menjerit dari BUMN itu sendiri. Itu karena sub-kontraktor adalah perusahaan yang modalnya lebih kecil. Dan lagi, sub-kontraktor itu juga mengambil materialnya dari perusahaan yang lebih kecil lagi. Ujung-ujungnya yang paling kecil itulah yang paling menderita.

Mungkin saja BUMN-BUMN itu tidak merasa menderita.

Di BUMN yang seperti itu tidak terlalu dipikirkan oleh komisaris dan direksinya. Toh perusahaan itu bukan milik direksi dan komisarisnya. Bahkan mungkin jabatan direksi dan komisaris di sana masih jadi rebutan.

Ini berbeda dengan di swasta. Yang kondisi seperti itu sudah membuat direksinya tidak bisa tidur–sampai pun tidak bisa lagi ereksi.

Memang masih tetap ada jalan keluar di BUMN infrastruktur itu: Waskita Karya misalnya, bisa jual jalan tol miliknya. Kalau itu dilakukan langsung kerugian itu berubah menjadi laba. Walhasil, tidak wajar saja terlalu panik. Tapi siapa yang mau beli jalan tol di masa yang begini sulit? Tentu ada saja orang yang kelebihan uang. Masalahnya tinggal ini: mau dijual dengan harga berapa? Pemilik uang akan selalu punya pikiran: di zaman yang sulit harga barang harus murah. Pemilik jalan tol akan selalu menghitung: dengan harga murah itu apakah akan balik modal.

Akhirnya akan kembali ke hukum dasar bisnis: siapa yang efisien dialah yang unggul. Waskita akan bisa cepat menjual asetnya kalau bisa menawarkan dengan harga menarik. Tapi bagaimana bisa membuat harga menarik kalau biaya untuk membuat jalan tol itu dulu sudah terlanjur tinggi–baik biaya konstruksinya maupun biaya-biaya bedak dan gincunya?

Beberapa kali saya berharap lewat Disway bulan-bulan lalu: semoga SWF segera jalan. Dan dana dari Amerika, Uni Emirat Arab, Jepang dan Kanada itu segera masuk ke SWF. Ada yang sudah kehausan sampai kerongkongan. (Dahlan Iskan)

Sumber: https://www.industry.co.id/read/83379/dahlan-iskan-beberkan-napas-bumn-karya-sudah-di-kerongkongan-tinggal-tunggu-waktu