Telah siar di Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu 27/12/2020
Penyunting: Andriani SJ Kusni
Tahun 2010 di Aula Jayang Tingang Kantor Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) berlangsung pertemuan antar para alumni berbagai universitas baik yang berada di Kalteng maupun di luar Kalteng.
Pertemuan yang berlangsung pada akhir periode pertama A. Teras Narang menjadi Gubernur Kalteng ini bisa disebut sebagai pertemuan besar, terutama dari segi jumlah peserta. Aula besar yang berkapasitas paling tidak menampung 500 orang itu penuh dengan para alumni berbagai universitas asal Kalteng.
Untuk menggali dan menampung bermacam ide mengenai berbagai bidang dari orang sekolahan tinggi Dayak (saya tidak menggunakan istilah cendekiawan), pertemuan semacam ini saya kira berguna, apalagi jika kemudian setelah dicernakan, lalu ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan penyelenggara Negara.
Kebijakan bermula dari ide. Yang diperlukan bukanlah ide yang bersifat text-book-ish tetapi ide yang dilahirkan melalui penelitian sehingga tanggap keadaan dan jawaban kebijakan relatif zamani.
Buku adalah tempat para peneliti sebelumnya menyimpan data-data, kesimpulan dan saran mereka, memang patut dipertimbangkan. Hanya saja situasi dan keadaan terus berkembang karena itu penelitian terus-menerus menjadi suatu keniscayaan. Kebijakan tanpa didahului dengan riset, sering tidak menjawab persoalan nyata, bahkan tidak jarang merupakan sangkan-paran keresahan sosial.
Hanya saja pertemuan para alumni multi-disipliner semacam ini sampai sekarang terbatas pada Pertemuan 2010 itu.
Seusai Pertemuan 2010 itu, seorang teman yang aktif terlibat dalam penyelenggaraannya, mengatakan kepada saya: “Dari sini (maksudnya dari Pertemuan 2010 itu) akan lahir para pemikir dan pemimpin Kalteng Generasi Keempat”. Mengomentari penilaian demikian tinggi dan harapan sohib tersebut, saya hanya mengatakan: “Waktu akan memberikan kita jawaban yang pasti”.
Beberapa hari lagi kita akan memasuki Tahun Baru 2021. Artinya dihitung sejak Pertemuan 2010 tersebut, waktu sudah berlalu 10 tahun dan memasuki 11 tahun. Saya masih mencari-cari para pemikir dan munculnya pemimpin yang dimaksudkan hingga hari ini sebagaimana saya juga terus menunggu-nunggu apa tindak lanjut dari Pertemuan 2010 itu. Sementara Gubernur-Wakil Gubernur silih berganti dengan kebijakan masing-masing. Yang saya cari dan tunggu belum juga ketemu. Bahkan saya bertanya-tanya pada diri: Mengapa alumni universitas terkemuka yang meluluskan seorang mahasiswa Dayak dengan sebutan Doktor Cum Laude, misalnya, ketika kembali ke Kalteng lambat-laun sebutan cum laude itu seperti daun layu kurang air atau ibarat kerupuk masuk angin. Mlempem, ujar Orang Jawa.
Peristiwa-peristiwa sosial-politik-ekonomi dan budaya daerah sangat jarang dibahas di hadapan publik oleh para alumni pendidikan tinggi, baik yang di Kalteng maupun dari luar Kalteng, sehingga mengesankan bahwa 31 lembaga pendidikan perguruan tinggi di daerah ini, tak ubah sebagai kuil-kuil sunyi di daerah perbukitan nun jauh di pedalaman.
Dari segi jumlah, 31 lembaga pendidikan tinggi di Kalteng ini setiap tahun meluluskan barisan sarjana. Pada tahun 2008, berdasarkan angka yang diberikan oleh Gubernur A. Teras Narang (dalam Harian Tabengan, Palangka Raya), saya hitung di antara penduduk Kalteng yang berjumlah 2,6 juta jiwa, saban 30-an warga terdapat seorang sarjana.
Pada tahun 2020, tentu perbandingan ini telah berubah, mungkin menjadi 1:15. Pertanyaannya mengapa para sarjana itu tidak nampak daya dongkraknya terhadap masyarakat Kalteng. Bahkan terjadi kecenderungan membengkaknya pengangguran lulusan perguruan tinggi.
Tim Peneliti dari Lee Kuan Yew School of Public Policy National University Singapore dalam survei mereka tentang kesiapan dan daya saing Indonesia, pulau demi pulau, menghadapi pasar bersama ASEAN, dalam paparannya di Palangka Raya menyebutkan daya saing Kalteng masih jauh dari padan. Tiap tahun data-data mereka diperbaharui.
Pada tahun 2009 dalam percakapan dengan Dr. Purwanto dan Cornelis Lay (alm.) sebagai pimpinan Tim Riset dari Fisipol Universitas Gadjah Mada, di Hotel Aquarius, Cornelis antara lain mengatakan bahwa “Kalian akan maju melesat apabila kalian mendapat jalan yang tepat. Kalau tidak, kalian tak ubah orang tidur, bangun-bangun mendapatkan diri di ranjang yang sama”.
Apakah sekarang di tahun 2020 ini Kalteng sudah menemukan ’jalan yang tepat’ itu?
Awal Desember 2020 lalu, seorang teman yang petinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bercerita kepada saya bahwa ia lima tahun lalu pernah ke Kalteng. “Sekarang saya datang kembali kemari. Saya tidak melihat perubahan signifikan apapun di Kalteng,” ujarnya. Menggunakan kata-kata Cornelis Lay alm. selama lima tahun itu Kalteng “tak ubah orang tidur, bangun-bangun mendapatkan diri di ranjang yang sama”.
Di hadapan fenomena demikian nampaknya di kalangan alumni perguruan tinggi Kalteng, di dunia pendidikan kita, ada kesenjangan antara kuantitas dan kualitas. Kesenjangan ini berdampak pada kualitas sumber daya manusia sebagai aktor dan faktor kunci pemberdayaan dan perubahan maju di Kalteng. Jika ingin Kalteng berdaya dan berubah maju dengan cara yang melesat, pembangunan barisan sumber daya manusia yang bermutu, yang berkapasitas dan berdaya saing, penyelenggara Negara niscayanya mengutamakan penangangan masalah pendidikan. Ada program rinci, terencana, dan penyediaan dana yang paling tidak sesuai dengan amanat Bab III Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 dan Pasal 32. UUD 1945 Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat.
Dari segi kekayaan alam dan jumlah investor yang bekerja di Kalteng, belum lagi yang dari APBN, apabila penyelenggara Negara memang menaruh perhatian pada pembentukan barisan sumber daya manusia yang berkualitas, dan pengelolaan dana yang sehat terbuka, dalam hitungan saya, Kalteng mampu memberikan pendidikan gratis hingga SMA dan beasiswa kepada para muda-mudi Kalteng. Beasiswa! Bukan bantuan insidental. Mengutamakan atau tidak pembentukan barisan sumber daya manusia Kalteng yang tangguh menjadi juga tanggung jawab Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati. Dan perhatian terhadap masalah ini akan diperlihatkan oleh program yang ditawarkan dalam pilkada.
Program food-estate yang oleh salah satu pasangan calon gubernur-wakil gubernur dijadikan program andalannnya, bukanlah program pendidikan. Program Jakarta ini tinggal waktunya saja kita akan melihat dampak-dampak negatifnya untuk warga Kalteng, terutama masyarakat adat Dayak. Mengingat arti penting tersedianya sumber daya manusia tangguh berkualitas bagi pemberdayaan dan perubahan maju melesat Kalteng, siapapun yang terpilih menjadi gubernur-wakil gubernur Kalteng niscaya meninjau ulang programnya. Perhatian dan usaha-usaha konkret membangun barisan sumber daya manusia Kalteng yang tangguh, dari para petinggi generasi sekarang akan meringankan beban di pundak generasi keempat yang cepat atau lambat akan mengambil alih tampuk pimpinan daerah ini.
Generasi Keempat dalam hitungan saya, dimulai dari Angkatan Hausmann Baboe sebagai angkatan pertama; Tjilik Riwut dan angkatannya, sebagai generasi kedua; A. Teras Narang dan gubernur-wakil gubernur terpilih tahun 2020 sebagai angkatan ketiga; sedangkan angkatan keempat sekarang berusia lebih muda dari tiga angkatan terdahulu. Mereka ada di lembaga-lembaga pemerintah, perguruan tinggi, dll.
Generasi Keempat ini bisa menjadi harapan masyarakat Kalteng apabila mereka mampu menyimpulkan keunggulan dan kekurangan generasi pertama, kedua dan ketiga. Tentu yang saya maksudkan adalah penyimpulan ilmiah menyeluruh dan keras. Keras artinya berani mengatakan hitam pada yang hitam, putih pada yang putih. Keberanian dan kekerasan begini hanya mungkin apabila generasi tersebut mempunyai komitmen manusiawi sesuai visi-misi hidup-mati manusia Dayak: ‘réngan tingang nyanak jata’ (anak enggang putera-puteri naga), tidak bertekuk-lutut di hadapan ‘uang sang raja’ – raja yang mereduksi kemanusiaan dan nilai-nilai manusiawi. Menolak godaan oligarki.
Dalam melakukan penyimpulan keras begini, merupakan suatu keniscayaan bagi Generasi Keempat untuk belajar sejarah dan budaya lokal serta etnik-etnik yang ada di Kalteng.
Syarat dasar untuk melakukan penyimpulan keras demikian ada tersedia bagi Generasi Keempat karena umumnya mereka adalah orang-orang sekolahan. Tapi kualitas sesungguhnya Generasi Keempat inipun tetap ditentukan pada saat mereka memegang kekuasaan. Kekuasaan itu memabukkan. Kalau Generasi Keempat ini juga merosot saat berkuasa, Kalteng akan kian terpuruk. Ketika itu apa yang sudah diwanti-wantikan oleh Raja Putih, nama lain dari James Brooke yang menguasai Sarawak. James Brooke (1841-1863), Si Raja Putih dari Sarawak berpesan:
“Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik: Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah dimana kalian tinggal, sumber penghasilan kalian, dan bahkan makanan yang ada di mulut kalian. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”
Jika Generasi Keempat berbuat demikian, maka sejarah akan mencatat bahwa mereka termasuk Generasi penghancur dan pengubur Dayak itu sendiri sambil menyebut diri Dayak.
Wajah perilaku Generasi Kelima yang datang menyusul pun tidak bakal jauh dari polah-tingkah Generasi Keempat. Ketika berkuasa, orang memang gampang merosot menjadi preman daripada menjadi negarawan.[]