Catatan Akhir Tahun Kusni Sulang: Generasi Keempat

Telah siar di Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu 27/12/2020

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Tahun 2010 di Aula Jayang Tingang Kantor Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) berlangsung pertemuan antar para alumni berbagai universitas baik yang berada di Kalteng maupun di luar Kalteng.

Pertemuan yang berlangsung pada akhir periode pertama A. Teras Narang menjadi Gubernur Kalteng ini bisa disebut sebagai pertemuan besar, terutama dari segi jumlah peserta. Aula besar yang berkapasitas paling tidak menampung 500 orang itu penuh dengan para alumni berbagai universitas asal Kalteng.

Untuk menggali dan menampung bermacam ide mengenai berbagai bidang dari orang sekolahan tinggi Dayak (saya tidak menggunakan istilah cendekiawan), pertemuan semacam ini saya kira berguna, apalagi jika kemudian setelah dicernakan, lalu ditindaklanjuti dalam bentuk kebijakan penyelenggara Negara.

Kebijakan bermula dari ide. Yang diperlukan bukanlah ide yang bersifat text-book-ish tetapi ide yang dilahirkan melalui penelitian sehingga tanggap keadaan dan jawaban kebijakan relatif zamani.

Buku adalah tempat para peneliti sebelumnya menyimpan data-data, kesimpulan dan saran mereka, memang patut dipertimbangkan. Hanya saja situasi dan keadaan terus berkembang karena itu penelitian terus-menerus menjadi suatu keniscayaan. Kebijakan tanpa didahului dengan riset, sering tidak menjawab persoalan nyata, bahkan tidak jarang merupakan sangkan-paran keresahan sosial.

Hanya saja pertemuan para alumni multi-disipliner semacam ini sampai sekarang terbatas pada Pertemuan 2010 itu.

Seusai Pertemuan 2010 itu, seorang teman yang aktif terlibat dalam penyelenggaraannya, mengatakan kepada saya: “Dari sini (maksudnya dari Pertemuan 2010 itu) akan lahir para pemikir dan pemimpin Kalteng Generasi Keempat”. Mengomentari penilaian demikian tinggi dan harapan sohib tersebut, saya hanya mengatakan: “Waktu akan memberikan kita jawaban yang pasti”.

Beberapa hari lagi kita akan memasuki Tahun Baru 2021. Artinya dihitung sejak Pertemuan 2010 tersebut, waktu sudah berlalu 10 tahun dan memasuki 11 tahun. Saya masih mencari-cari para pemikir dan munculnya pemimpin yang dimaksudkan hingga hari ini sebagaimana saya juga terus menunggu-nunggu apa tindak lanjut dari Pertemuan 2010 itu. Sementara Gubernur-Wakil Gubernur silih berganti dengan kebijakan masing-masing. Yang saya cari dan tunggu belum juga ketemu. Bahkan saya bertanya-tanya pada diri: Mengapa alumni  universitas terkemuka yang meluluskan seorang mahasiswa Dayak dengan sebutan Doktor Cum Laude, misalnya, ketika kembali ke Kalteng lambat-laun sebutan cum laude itu seperti daun layu kurang air atau ibarat kerupuk masuk angin. Mlempem, ujar Orang Jawa.

Peristiwa-peristiwa sosial-politik-ekonomi dan budaya daerah sangat jarang dibahas di hadapan publik oleh para alumni pendidikan tinggi, baik yang di Kalteng maupun dari luar Kalteng, sehingga mengesankan bahwa 31 lembaga pendidikan perguruan tinggi di daerah ini, tak ubah sebagai kuil-kuil sunyi di daerah perbukitan nun jauh di pedalaman.

Dari segi jumlah, 31 lembaga  pendidikan tinggi di Kalteng ini setiap tahun meluluskan barisan sarjana. Pada tahun 2008, berdasarkan angka yang diberikan oleh Gubernur A. Teras Narang (dalam Harian Tabengan, Palangka Raya), saya hitung di antara penduduk Kalteng yang berjumlah 2,6 juta jiwa, saban 30-an warga terdapat seorang sarjana.

Pada tahun 2020, tentu perbandingan ini telah berubah, mungkin menjadi 1:15. Pertanyaannya mengapa para sarjana itu  tidak nampak daya dongkraknya terhadap masyarakat Kalteng. Bahkan terjadi kecenderungan membengkaknya pengangguran lulusan perguruan tinggi.

Tim Peneliti dari Lee Kuan Yew School of Public Policy National University Singapore dalam survei mereka tentang kesiapan dan daya saing Indonesia, pulau demi pulau, menghadapi pasar bersama ASEAN, dalam paparannya di Palangka Raya menyebutkan daya saing Kalteng masih jauh dari padan. Tiap tahun data-data mereka diperbaharui.

Pada tahun 2009 dalam percakapan dengan Dr. Purwanto dan Cornelis Lay (alm.) sebagai pimpinan Tim Riset dari Fisipol Universitas Gadjah Mada, di Hotel Aquarius, Cornelis antara lain mengatakan bahwa “Kalian akan maju melesat apabila kalian mendapat jalan yang tepat. Kalau tidak, kalian tak ubah orang tidur, bangun-bangun mendapatkan diri di ranjang yang sama”.

Apakah sekarang di tahun 2020 ini Kalteng sudah menemukan ’jalan yang tepat’ itu?

Awal Desember 2020 lalu, seorang teman yang petinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bercerita kepada saya bahwa ia lima tahun lalu pernah ke Kalteng. “Sekarang saya datang kembali kemari. Saya tidak melihat perubahan signifikan apapun di Kalteng,” ujarnya. Menggunakan kata-kata Cornelis Lay alm. selama lima tahun itu Kalteng “tak ubah orang tidur, bangun-bangun mendapatkan diri di ranjang yang sama”.

Di hadapan fenomena demikian nampaknya di kalangan alumni perguruan tinggi Kalteng, di dunia pendidikan kita, ada kesenjangan antara kuantitas dan kualitas. Kesenjangan ini berdampak pada kualitas sumber daya manusia sebagai aktor dan faktor kunci pemberdayaan dan perubahan maju di Kalteng. Jika ingin Kalteng berdaya dan berubah maju dengan cara yang melesat, pembangunan barisan sumber daya manusia yang bermutu, yang berkapasitas dan berdaya saing, penyelenggara Negara niscayanya mengutamakan penangangan masalah pendidikan. Ada program rinci, terencana, dan penyediaan dana yang paling tidak sesuai dengan amanat Bab III Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 dan Pasal 32. UUD 1945 Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga dan Keempat.

Dari segi kekayaan alam dan jumlah investor yang bekerja di Kalteng, belum lagi yang dari APBN, apabila penyelenggara Negara memang menaruh perhatian pada pembentukan barisan sumber daya manusia yang berkualitas, dan pengelolaan dana yang sehat terbuka, dalam hitungan saya, Kalteng mampu memberikan pendidikan gratis hingga SMA dan beasiswa  kepada para muda-mudi Kalteng. Beasiswa! Bukan bantuan insidental. Mengutamakan atau tidak pembentukan barisan sumber daya manusia Kalteng  yang tangguh menjadi juga tanggung jawab Gubernur-Wakil Gubernur, Bupati-Wakil Bupati. Dan perhatian terhadap masalah ini akan diperlihatkan oleh program yang ditawarkan dalam pilkada.

Program food-estate yang oleh salah satu pasangan calon gubernur-wakil gubernur dijadikan program andalannnya, bukanlah program pendidikan. Program Jakarta ini tinggal waktunya saja kita akan melihat dampak-dampak negatifnya untuk warga Kalteng, terutama masyarakat adat Dayak. Mengingat arti penting tersedianya sumber daya manusia tangguh berkualitas bagi pemberdayaan dan perubahan maju melesat Kalteng, siapapun yang terpilih menjadi gubernur-wakil gubernur Kalteng niscaya meninjau ulang programnya. Perhatian dan usaha-usaha konkret membangun barisan sumber daya manusia Kalteng yang tangguh, dari para petinggi generasi sekarang akan meringankan beban di pundak generasi keempat yang cepat atau lambat akan mengambil alih tampuk pimpinan daerah ini.

Generasi Keempat dalam hitungan saya, dimulai dari Angkatan Hausmann Baboe sebagai angkatan pertama; Tjilik Riwut dan angkatannya, sebagai generasi kedua; A. Teras Narang dan gubernur-wakil gubernur terpilih tahun 2020 sebagai angkatan ketiga; sedangkan angkatan keempat sekarang berusia lebih muda dari tiga angkatan terdahulu. Mereka ada di lembaga-lembaga pemerintah, perguruan tinggi, dll.

Generasi Keempat ini bisa menjadi harapan masyarakat Kalteng apabila mereka mampu menyimpulkan keunggulan dan kekurangan generasi pertama, kedua  dan ketiga.  Tentu yang saya maksudkan adalah penyimpulan ilmiah menyeluruh dan keras. Keras artinya berani mengatakan hitam pada yang hitam, putih pada yang putih. Keberanian dan kekerasan begini hanya mungkin apabila generasi tersebut mempunyai komitmen manusiawi sesuai visi-misi hidup-mati manusia Dayak: ‘réngan tingang nyanak jata’ (anak enggang putera-puteri naga), tidak bertekuk-lutut di hadapan ‘uang sang raja’ – raja yang mereduksi kemanusiaan dan nilai-nilai manusiawi. Menolak godaan oligarki.

Dalam melakukan penyimpulan keras begini, merupakan suatu keniscayaan bagi Generasi Keempat untuk belajar sejarah dan budaya lokal serta etnik-etnik yang ada di Kalteng.

Syarat dasar untuk melakukan penyimpulan keras demikian ada tersedia bagi Generasi Keempat karena umumnya mereka adalah orang-orang sekolahan. Tapi kualitas sesungguhnya Generasi Keempat inipun tetap ditentukan pada saat mereka memegang kekuasaan. Kekuasaan itu memabukkan. Kalau Generasi Keempat ini juga merosot saat berkuasa, Kalteng akan kian terpuruk. Ketika itu apa yang sudah diwanti-wantikan oleh  Raja Putih, nama lain dari James Brooke yang menguasai Sarawak. James Brooke (1841-1863), Si Raja Putih dari Sarawak berpesan:

“Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik: Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah dimana kalian tinggal, sumber penghasilan kalian, dan bahkan makanan yang ada di mulut kalian. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”

Jika Generasi Keempat berbuat demikian, maka sejarah akan mencatat bahwa mereka termasuk Generasi penghancur dan pengubur Dayak itu sendiri sambil menyebut diri Dayak.

Wajah perilaku Generasi Kelima yang datang menyusul pun tidak bakal jauh dari polah-tingkah Generasi Keempat. Ketika berkuasa, orang memang gampang merosot menjadi preman daripada menjadi  negarawan.[]

PERUBAHAN MAJU SEBAGAI HAKEKAT

Telah siar di Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu 13/12/2020

Naskah lengkap Pengantar/Catatan Kebudayaan Kusni Sulang yang dibacakan dalam Seremoni Serah-Terima Anugrah Kebudayaan Indonesia 2020 di Aula Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah, Kamis 10/12/2020

Kiri ke kanan: Kusni Sulang (penerima Anugrah Kebudayaan Indonesia 2020), DR. Guntur Talajan (Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah), Dewa Ayu Sulaksmi (Perwakilan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI) dalam seremoni serah-terima Anugrah di Aula Dinas Budpar Provinsi Kalimantan Tengah, kamis 10/12/2020. Foto: Andriani SJ Kusni
DR. Trecy Anden mewakili para pemberi pengantar/ testimoni mengenai Kusni Sulang, dalam seremoni serah-terima Anugrah Kebudayaan Indonesia 2020 di Aula Dinas Budpar Provinsi Kalimantan Tengah, kamis 10/12/2020.
Penyematan pin emas oleh perwakilan Kemendikbud RI-Dewa Ayu Sulaksmi kepada Penerima Anugrah Kebudayaan Indonesia 2020 Kategori Maestro Seni Tradisi Bidang Pemelihara Adat Dayak-Kusni Sulang. di Aula Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah, Palangka Raya, kamis 10/12/2020.

Direktorat Jendral Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam Suratnya tertanggal 26 November 2020 Tentang Pemberitahuan Apresiasi Anugerah Kebudayaan Indonesia Tahun 2020 antara lain menetapkan bahwa Kusni Sulang termasuk salah seorang penerima Anugerah tersebut untuk Kategori Maestro Seni Tradisi bidang Pemelihara Adat Dayak.

Pada tanggal 1 Oktober  2020, saya diminta menandatangani sebuah Surat Pernyataan bermaterai Rp 6.000,- yang antara lain berbunyi:

“… menyatakan dengan sesungguhnya bahwa saya bersedia diajukan menjadi Penerima Anugerah Kebudayaan. Apabila terpilih, saya siap melanjutkan aktifitas saya dalam bidang kebudayan dengan dibantu oleh pemerintah daerah.

Apabila saya tidak memenuhi pernyataan di atas, maka saya bersedia untuk menerima konsekuensinya sesuai dengan peraturan yang ada.“

Surat Pernyataan ini saya tandatangani dengan menambahkan kata-kata “atau tanpa dibantu” pada kalimat “Apabila terpilih, saya siap melanjutkan aktifitas saya dalam bidang kebudayan dengan dibantu oleh pemerintah daerah. Kata-kata ini saya tambahkan karena selama ini saya melakukan kegiatan, termasuk di bidang kebudayaan tanpa bantuan pemerintah daerah.

Yang menjadi pertanyaan adalah: Apabila pemerintah daerah tidak menunaikan peran dan tugasnya sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945 Perubahan Pertama, Kedua, Ketiga, dan Keempat Pasal 32 yaitu (1) “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin masyarakat dalam memerlihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya ”; (2) Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional” bahkan memandang kegiatan kebudayaan hanya kegiatan-kegiatan menghambur-hamburkan uang belaka, bahwa “sastra tidak interesan” dan pandangan serta sikap tidak konstitusional, apakah pemerintah daerah “bersedia untuk menerima konsekuensinya sesuai dengan peraturan yang ada “?

Berangkat dari amanat UUD 45 tersebut di atas, sebenarnya secara konstitusional tidak ada kewajiban saya untuk mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah atas Anugerah Kebudayaan ini. Ucapan terima kasih bisa disampaikan dan saya haturkan atas dasar tata krama yang jika tidak diindahkan akan dibuntuti oleh sanksi sosial-kebudayaan. 

Perihal Anugerah Kebudayaan yang diberikan kepada saya untuk Kategori Maestro Seni Tradisi bidang Pemelihara Adat Dayak, saya berpendapat kategori manapun dalam Anugrah ini, tidak ada yang bisa mencakup bidang kegiatan saya termasuk Kategori Maestro Seni Tradisi bidang Pemelihara Adat Dayak. Apalagi disebut “Pemelihara Adat Dayak”. Adat itu dinamik, berkembang, tidak statis, baik dalam bentuk maupun isi. Bahkan ada yang tidak zamani. Yang tidak zamani ini patut diketahui dan dimasukkan sebagai isi museum. 

Mengapa saya katakan bahwa kategori manapun tidak ada yang bisa mencakup bidang kegiatan saya termasuk Kategori Maestro Seni Tradisi bidang Pemelihara Adat Dayak – pandangan yang barangkali oleh sementara pihak dipandang sebagai kepongahan? 

Alasan saya bermula dari visi-misi hidup mati manusia Dayak yang oleh  sastra lisan Dayak Katingan seperti sansana kayau dirumuskan sebagai “réngan tingang nyanak jata” (anak enggang putera-puteri naga). Enggang lambang kekuasaan di atas, naga simbol kekuaaan di bawah. Visi-misi hidup mati manusia Dayak adalah membuat bumi, tanah air, kampung-halaman menjadi tempat  layak bagi kehidupan manusiawi.

Secara umum, bumi-tanah-air, kampung-halaman itu cirinya adalah kacau-balau, chaos. Tempat dan ruang ini disebut dalam kebudayaan Dayak sebagai Saran Danum Kalunen (Pantai Manusia, Pantai Kehidupan) sedangkan Saran Danum Sangiang (Pantai Ilahi) adalah tempat bermukim penguasa semesta. Kemudian penguasa semesta menugaskan Maharaja Bunu, manusia (Dayak) pertama turun ke Saran Danum Kalunen dengan tugas mengubah tempat dan ruang yang selalu riuh kekacauan itu menjadi tempat dan ruang manusiawi dengan berpatokan pada keadaan di Saran Danum Sangiang. Perubahan maju merupakan ciri utama dari semua kegiatan Manusia Dayak. Perubahan maju yang dimaksudkan adalah perubahan holistik. Menyeluruh. Mencakup semua bidang. Termasuk karya sastra-seni. Sastra-seni Dayak diciptakan untuk perubahan maju holistik itu.

Untuk mampu mewujudkan perubahan maju itu maka menurut sastra lisan Dayak diperlukan manusia ideal Dayak dengan tritunggal karakter yaitu mamut-ménténg, pintar-harati, maméh-uréh (gagah-berani, pintar-berbudi, berani melawan arus – berpikir dan bertindak out of the box, beyond the main stream – dan ulet atau rajin). Tiga karakter ini merupakan satu kesatuan, tidak boleh dipotong-potong atau dipisah-pisahkan. Penaklukan chaos hanya mungkin terwujud dengan memiliki tritunggal karakter Dayak ideal itu. Penaklukan chaos juga hanya mungkin melalui perjuangan. Pertarungan kalah-menang. Karena itu Dayak menyebut diri juga sebagai Utus Panarung (Turunan Petarung). Petarung bukan tukang kelahi tapi pejuang (‘warrior’ bukan ‘fighter’). Saya harap penampilan saya hari ini bisa ala kadarnya mencerminkan konsep filosofis ini. Yang pasti, saya tidak suka menjadikan Dayak sebagai komoditas. Memperdagangkan Dayak merupakan kemerosotan etis. Kejahatan moral.

Tiga karakter yang sesuai dengan visi-misi hidup-mati Dayak  untuk memanusiawikan tempat dan ruang serta waktu diungkapkan dalam semboyan Isen Mulang, lebih baik pulang nama daripada pulang fisik tanpa membawa kemenangan. Tertuang juga dalam lahap (pekikan tarung), lawung  bahandang, atau manakir pétak – barangkali juga ‘mangkok merah’.

Hari ini dengan latar musabab sejarah, sosial-politik-budaya dan ekonominya, tritunggal karakter Dayak ini sering nampak tereduksi pada mamut-ménténg, pengutamaan okol kurang akal. Budaya kekerasan. Hal ini tercermin antara lain pada talawang (perisai) sebagai perlengkapan perang dijadikan lambang Dayak Kalteng. Bandingkan dengan Sarawak dan atau Dayak Kalimantan Barat yang mengedepankan enggang sebagai lambang nilai Dayak yang inklusif – seperti halnya budaya manapun umumnya   

Kecuali itu, yang sangat mengkhawatirkan saya adalah gejala keterasingan Dayak dari budayanya sendiri, keterasingan, keterputusan dan ketakutan pada sejarah. Padahal Dayak punya sejarah, bukan etnik (dahulu disebut bangsa) tanpa sejarah. Ada memang para pihak yang mencoba merebut sejarah Dayak. Ada gejala ghettoisme budaya dan berkembangnya budaya ghetto. Hal ini menampakkan diri secara mencolok pada saat pilkada seperti sekarang. Gejala lain yang mengkhawatirkan juga adalah isyarat adanya Dayak mengkhianati Dayak, Dayak “memakan” Dayak.

Keadaan masyarakat Dayak Kalimantan Tengah (Kalteng) sekarang bisa dipaparkan secara sangat singkat sebagai berikut:

Secara singkat, sejak Soeharto dengan Orde Baru-nya menguasai Indonesia, Dayak Kalteng mengalami keterpurukan dan sekarang bisa disebut terpuruk total dan struktural. Karena itu, saya melihat Kalteng memiliki semua unsur-unsur dari daerah neo-kolonialisme di negeri yang melakukan kolonialisme internal. Keadaan ini sejak abad ke-19 sudah diwanti-wantikan oleh  Raja Putih, nama lain dari James Brooke yang menguasai Sarawak. James Brooke (1841-1863) pada waktu itu berpesan kepada Orang Dayak:

“Kumohon dengarkanlah kata-kataku ini dan ingatlah baik-baik: Akan tiba saatnya, ketika aku sudah tidak di sini lagi, orang lain akan datang terus-menerus dengan senyum dan kelemah-lembutan, untuk merampas apa yang sesungguhnya hakmu yakni tanah dimana kalian tinggal, sumber penghasilan kalian, dan bahkan makanan yang ada di mulut kalian. Kalian akan kehilangan hak kalian yang turun-temurun, dirampas oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya akan menjadi para tuan dan pemilik, sedangkan kalian, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan tidak akan menjadi apapun kecuali menjadi para kuli dan orang buangan di pulau ini.”

Celakanya, sejak Orde Baru hingga hari ini tidak ada satupun organisasi Dayak Kalteng yang kuat untuk berjuang dan membela diri. Kelembagaan Adat dianeksi kekuasaan dan dijadikan kuda tunggangan kepentingan politik. Para pemangku adat tidak sedikit yang menjadi kaki-tangan korporasi. Adat direduksi pada ritual-ritual tanpa memasuki soal esensial. Bukan tidak mungkin jika Orang Dayak Kalteng tidak mampu mengatasi keterpurukan total struktural ini, mereka akan menjadi “kuli dan orang buangan di pulau ini”.

Untuk bisa keluar dari keterpurukan total struktural ini, keadaan chaos kekinian, bisa dipastikan bahwa upaya-upaya keras untuk melakukan perubahan maju pun harus menyeluruh, tidak hanya sektoral. Karena itu, Anugerah Kebudayaan yang diberikan kepada saya untuk Kategori Maestro Seni Tradisi bidang Pemelihara Adat Dayak, saya berpendapat kategori manapun tidak ada yang bisa mencakup bidang kegiatan saya termasuk Kategori Maestro Seni Tradisi bidang Pemelihara Adat Dayak.

Melakukan perubahan maju manusiawi bagi saya sebagai Dayak tidak lain dari suatu kutukan seperti hal “Eros mengutuki Ahasveros hingga merangkaki dinding-dinding tua”. Sejak kecil umur 11 tahun, saya dituntut oleh orang-orang tua dalam keluarga – dari kakek-nenek, paman dan ayah-ibu  yang mengangkat bedil menghalau “bakara” – julukan untuk Belanda — dituntut untuk “mengganti cawat dengan dasi”; tidak boleh kembali tanpa tekad mengangkat harkat dan martabat Utus (Dayak).

Diasuh oleh latar belakang sejarah dan budaya demikian ketika melakukan segala kegiatan, termasuk di bidang sastra-seni, dalam benak saya tidak pernah terbersit sepintas pun tentang mendapatkan Anugerah, lebih-lebih lagi tidak untuk mengejar penghargaan dalam bentuk apapun. Penghargaan dan Anuegerah, termasuk Anugerah Kebudayaan yang hari ini diberikan kepada saya, sama sekali jauh dari standar utama saya yaitu perubahan maju masyarakat Dayak dan negeri ini. Tidak ada kebanggaan saya memperoleh Anugerah ini kecuali sesuai tata krama mengucapkan terima kasih. Akan lebih bermanfaat nyata apabila Anugerah begini tahun depan diberikan kepada pekerja-pekerja seni ulet dan kerja keras seperti Sanggar Balanga Tingang pimpinan Novi dan Denny. Saya harap untuk Kalteng Anugerah Kebudayaan tidak diberikan karena jatah daerah tapi karena nilai atau kualitas-kualitas tertentu.

Barangkali ada yang memandang dengan mata sebelah dan berkerenyit pula karena saya banyak menggarap tema-tema Dayak.

Saya mau menjelaskan bahwa Dayak sejak berabad-abad menjadi korban narasi. Narasi harus dilawan dengan narasi. Apakah orang-orang non-Dayak bisa menarasikan Dayak secara relatif tepat? Saya pastikan tidak. Karena itu, pada diri saya sampai hari ini berkembang keinginan semacam obsesi untuk menumbuhkan barisan narator lihai bermutu di kalangan Dayak seluruh pulau.

Tahun-tahun pertama saya memutuskan untuk menetap di Tanah Dayak, saya dan isteri selama setahun penuh konsekutif menyelenggarakan kelas belajar-kelas belajar penulis secara gratis untuk anak-anak Dayak.

Menulis memaksa orang untuk belajar dan mencoba menjadi nurani masyarakat dan zamannya. Menulis, bekerja di bidang sastra-seni, menuntut orang untuk berada paling tidak sejari di depan siapapun. Kalteng memerlukan barisan penulis yang kuat dan besar. Menulis sebagai bagian dari upaya melakukan perubahan maju.

Sejalan dengan obsesi ini pula, saya mendorong teman-teman saya menerbitkan Majalah Berbahasa Dayak Ngaju Panutung Tarung (Penyulut Perjuangan) setelah 100 tahun lalu Hausmann Baboe – Bapak Kebangkitan Dayak – menerbitkan Soeara Pakat, majalah berbahasa Dayak Ngaju. Melalui forum ini, saya mengharap semua Dayak Kalteng mau menyokong secara konkret Panutung Tarung yang mempunyai motto: Mampalawa Matanandau Bulan Pambélum Utus (Membuat Terang Matahari dan Bulan Kehidupan Utus).

Alasan lain: Segala perubahan maju yang ada di Tanah Dayak bukanlah hadiah dari siapapun. Tapi hasil perjuangan mandi darah Orang Dayak sendiri. Timbul-tenggelamnya Dayak berada di tangan Orang Dayak sendiri.

Alasan berikut: Apabila pembaca memperhatikan ketika berbicara tentang Dayak, saya selalu mencoba menggali nilai-nilai inklusif sehingga pengalaman Dayak bisa mempunyai guna bagi etnik-etnik lain, demikian pula sebaliknya. Misalnya dari sejarah Dayak, saya sampai pada hipotesa “minoritas kreatif” sebagai jalan keluar; dari Tragedi Sampit Tahun 2000, saya sampai pada pendapat tentang perlunya “kekuasaan paralel” ; dari pengalaman Dayak Kalteng pula, saya tiba pada saran “membangun dari pinggir”.

Pembangunan dan penetapan desa adat sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa merupakan jalan konkret membangun dari pinggir, memperkokoh kedaulatan rakyat, sedangkan Sakula Budaya adalah cara membangun manusia Republikan dan Berkeindonesiaan yang berkualitas melalui dua pemaduan: Pemaduan tradisi baik dengan kekinian yang positif.

Desa Adat adalah ruang  yang patut diisi melalui  berbagai program pemberdayaan holistik.

Sebagai perbandingan: Demokrasi Kota Athena berlangsung pada masa Yunani Kuno. Tapi masalah demokrasi tetap dibicarakan dan diterapkan hingga hari ini. Mengapa kalau saya bicara tentang Dayak dipandang sebagai tema cupet padahal jauh sebelum Republik Indonesia berdiri dengan nilai-nilai republikan dan keindonesiaannya, Dayak Kalteng mengenal Pumpung Haї – demokrasi langsung. Dari pengalaman sejarah Dayak Ngaju pula, saya sampai pada kesimpulan tentang Dayak Kekinian: Berdiri di Kampung Halaman, Memandang Tanah Air, Merangkul Bumi; Konsep Dayak adalah Dayak dan Yang Senasib dengan Dayak, dan lain-lain.

Lalu, dimana salahnya, bagaimana penjelasannya jika menulis tentang Dayak sama dengan mengurung diri di ruang sempit-pengap?

ANUGERAH KEBUDAYAAN ini merupakan langkah awal konkret Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam melaksanakan amanat UUD 45 terutama Pasal 32 dan pasal-pasal lain tentang kebudayaan dan HAM. Jika langkah awal konkret ini dikembangkan lebih jauh, bukan tidak mungkin terjadi desentralisasi pusat-pusat kebudayaan dan desentralisasi nilai sehingga keragaman bangsa ini menjelma sebagai rahmat, bukan peluang terbuka untuk berkembangnya kolonialisme internal terutama oleh pola-pola besarisme. Sejalan dengan ini, barangkali politik etnik yang jelas dan mengakar rumput patut dipikirkan adanya melalui regulasi.

Tersebarnya lembaga-lembaga pendidikan tinggi di berbagai provinsi sebenarnya berperan penting dalam desentralisasi pusat-pusat kebudayaan dan desentralisasi nilai apabila lembaga-lembaga ini tidak menjadi pabrik ijazah dan lulusannya tidak menjadi ‘tukang-tukang’ tanpa jiwa.

Barangkali arah Anugerah ini akan lebih berguna jika dengan konsep etnik-etnik sebagai minoritas kreatif. Tapi di atas segalanya, etnik-etnik ini patut menjadi minoritas kreatif, tanpa atau dengan Jakarta.

Palangka Raya, 10 Desember 2020

  • Disampaikan pada seremoni serah-terima Anugrah Kebudayaan Indonesia 2020 di Aula Dinas Budpar Provinsi Kalimantan Tengah.

Keterangan:

  • Pengantar Risalah Kebudayaan ini tak jadi dibacakan secara lengkap dalam seremoni serah-terima Anugrah Kebudayaan Indonesia 2020 di Aula Budpar Provinsi Kalimantan Tengah karena keadaan tidak memungkinkan setelah interupsi dari Kepala Dinas Budpar Provinsi, DR. Guntur Talajan.
  • Seremoni serah-terima Anugrah Kebudayaan Indonesia yang biasanya dihelat di Jakarta dan dihadiri seluruh penerima, oleh kondisi pandemi di ibukota maka Kemdikbud RI memutuskan diselenggarakan di Palangka Raya, Kalimantan Tengah atau daerah domisili penerima Anugrah.