YOSEPH TUGIO TAHER TENTANG BUKU “PIKIR ITU PELITA HATI”

Sambutan Yoseph Tugio Taher, Buku Karya Suar Suroso “Pikir Itu Pelita Hati”

Posted by’Chan CT’ SADAR@netvigator.com [GELORA45] toGELORA_In,
Aug 31 at 2:06 PM

SAMBUTAN CHALIK HAMID

Penerbit ULTIMUS sudah menerbitkan karya Suar Suroso:
PIKIR ITU PELITA HATI, ILMU BERFIKIR MERUBAH DUNIA,
DARI MARXISME SAMPAI TEORI DENG XIAOPING.
BUNG KARNO memiliki cita‐cita luhur dan tinggi untuk membangun bangsa dan negara Indonesia. Sejak perjuangan pembebasan negeri hingga tercapainya kemerdekaan RI, Bung Karno senantiasa berjuang dengan teguh dan tanpa kompromi melawan kaum kapitalis dan imperialis serta budak‐budaknya, baik di dalam maupun di luar negeri.

Setelah tercapai kemerdekaan, lagi‐lagi Bung Karno menunjukkan niat dan tujuan bahwa negeri Indonesia jangan sampai dikuras oleh modal asing. Bung Karno memiliki sikap bahwa negeri Indonesia yang sudah dibebaskan dengan darah dan keringat, harus dibangun oleh bangsanya sendiri dengan menggunakan tenaga para pemuda Indonesia. Ia berusaha agar pembangunan negeri dilakukan oleh putra‐putri Indonesia, terbebas dari para ahli dan teknisi asing. Oleh sebab itu, sejak semula Bung Karno berusaha membangun kader‐kader muda dengan mengirimkan mereka untuk belajar ke luar negeri, di samping yang ditempa di berbagai universitas di dalam negeri. Bung Karno, melalui Kementerian Pendidikan, mengirim para
pemuda/i belajar ke Amerika Serikat dan Kanada, ke negeri‐negeri Eropa Barat seperti Jerman, Perancis, Inggris, dan Belanda. Tidak kurang banyaknya juga dikirim ke Rusia (dulu pusat Uni Republik Sosialis Sovyet), Bulgaria, Hongaria, Republik Ceko (dulu bergabung dengan Slowakia menjadi Cekoslowakia), Rumania, Polandia, dan Albania. Banyak pula dikirim ke Tiongkok, Jepang, Korea, Australia, hingga Kuba. Namun, pada akhirnya cita‐cita luhur dan besar Bung Karno itu mengalami kegagalan sebagai akibat berhasilnya jenderal fasis Soeharto merampas kekuasaan dari tangan pemerintahan sah Bung Karno.

Soeharto dengan kejam menjadikan Bung Karno sebagai tahanan rumah dan akhirnya meninggal dunia karena penyakitnya tidak mendapatkan pengobatan yang layak. Soeharto berhasil merekayasa Tap MPRS No.25/1966 yang melarang keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan melarang ajaran Marxisme–Leninisme di Indonesia. Soeharto juga berhasil menelurkan Tap MPRS No.33/1967, di mana Presiden Soekarno dinyatakan sebagai pengkhianat karena memihak PKI. Dengan demikian, seluruh kekuasaan negara RI sepenuhnya jatuh ke tangan Jenderal Soeharto dan dengan leluasa ia melakukan pembunuhan terhadap rakyat Indonesia. Tidak tanggung‐tanggung ia telah membunuh 3 juta rakyat Indonesia, mengasingkan ribuan patriot dan pejuang ke Pulau Buru. Penjara di seluruh Indonesia penuh sesak, pemerkosaan dan pencabulan terhadap kaum wanita yang dilakukan oleh ABRI terjadi di mana‐mana.

Demikian pula yang terjadi terhadap warga Indonesia yang berada di luar negeri. Terhadap para mahasiswa terutama yang belajar di Eropa Timur dilakukan pemaksaan. Beberapa KBRI orba di berbagai negara Eropa Timur memaksa para mahasiswa agar mengakui pemerintahan Soeharto sebagai pemerintahan yang sah. Namun, sebagian besar mahasiswa tidak mau mengakui kekuasaan Soeharto, mereka tetap mengakui Bung Karno sebagai Presiden RI dan bahkan mengutuk pemerintahan Soeharto.

Sebagai akibat perlawanan ini, beberapa KBRI orba Soeharto memanggil dan mencabut paspor para mahasiswa ikatan dinas (mahid) tersebut. Mereka kehilangan identitas dan terpaksa menjadi staatenloos (tidak memiliki kewarganegaraan). Mereka ini banyak terdapat di berbagai negeri, terutama di Eropa Barat seperti di Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, dan negeri‐negeri
Eropa Timur seperti di Republik Ceko, Rusia, Hongaria, Polandia, Albania, Bulgaria, dan bahkan juga di Tiongkok, Hongkong, Kuba, dan Australia. Bersama dengan orang‐orang Indonesia lain yang pernah mendapat tugas di berbagai ormas internasional dan lembaga negara seperti KBRI, para mahid itu menjadi orang‐orang gelandangan di negeri orang. Sia‐sialah pengetahuan yang mereka peroleh dengan menamatkan studi yang mestinya diabdikan di Indonesia sesuai dengan keinginan dan harapan Bung Karno.

Suar Suroso, pengarang buku Pikir Itu Pelita Hati’ yang sedang kita hadapi ini merupakan salah seorang korban kebiadaban rezim fasis Jenderal Soeharto. Paspornya dirampas oleh KBRI di Moskow ketika itu. Ia termasuk orang yang dilarang pulang ke negeri leluhurnya, Indonesia. Betapa banyak orang sepertinya menjadi “orang kelayaban” di luar negeri, istilah yang dilontarkan Gus Dur ketika ia menjadi Presiden RI.

Saya kemukakan beberapa nama sekedar contoh sebagai orang yang tergusur dari negerinya. Duta Besar RI untuk RRT, Djawoto, dilantik Bung Karno bertugas di Beijing. Ia tak diizinkan pulang dan meninggal dunia di negeri Belanda. Saudara Sukrisno, pernah menjadi Dubes RI di Rumania dan Vietnam, meninggal dunia di Belanda dan dikubur di negeri itu. Saudara M. Ali Chanafiah, Dubes RI di Sri Langka, meminta suaka di Stockholm, Swedia. Kemudian kembali ke Indonesia dan meninggal dunia di sana. Saudara A.M. Hanafi, Duta Besar RI untuk Kuba, di zaman reformasi kembali dan meninggal dunia di Indonesia. Saudara Tahsin, Duta Besar RI di Mali, tidak bisa pulang
ke Indonesia, lalu minta suaka dan meninggal dunia di negeri Belanda.Beberapa nama lain yang pernah bertugas di berbagai lembaga internasional dan instansi negara di luar negeri: Yusuf Adjitorop (Josep Simanjuntak), anggota Politbiro CC PKI, Ketua Delegasi CC PKI di Tiongkok, meninggal dunia di Beijing; Wijanto Rachman, bertugas di Konakri, Guinea, meminta suaka dan meninggal dunia di Belanda; Agam Wispi, seorang penyair terkenal Indonesia, meninggal dunia di Belanda; A. Suhaimi, pemimpin redaksi harian Gotong Rojong Medan, meninggal dunia di Belanda; A.S.Munandar, dosen Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, meninggal dunia di Belanda; Z. Afif, dosen bahasa Indonesia di Universitas Kwangchow, meninggal dunia di Swedia; Sobron Aidit, dosen bahasa Indonesia di Universitas Beijing, meninggal dunia di Perancis; Anwar Dharma, wartawan Harian Rakjat Jakarta di Moskow, meninggal dunia Beijing; Kamaludin Rangkuti, dosen bahasa Indonesia di Bejing, meninggal dunia di
Belanda; Azis Akbar, sastrawan dari Medan, meninggal dunia di Jerman; Ibrahim Isa, perwakilan tetap Indonesia di Organisasi Internasional Solidaritas Rakyat‐Rakyat Asia–Afrika (OISRAA) di Kairo, kini berdomisili di Amsterdam, Belanda; Francisca Pattipilohy, kini bertempat tinggal di Amsterdam; Suar Suroso, mewakili Pemuda Indonesia dalam Gabungan Pemuda Demokratik Sedunia (GPDS) di Budapest, kini berdomisili di Tiongkok; Francisca Fanggidaej, berangkat ke luar negeri mengikuti Konferensi Yurist Internasional dan pernah mengikuti Konferensi Pemuda Asia Tenggara Kalkuta di India, meninggal dunia di Belanda; Umar Said, pemimpin redaksi harian Ekonomi Nasional Jakarta, meninggal dunia di Paris, Perancis; Utuy Tatang Sontany, pengarang drama (dramaturg) terkenal Indonesia, meninggal dunia di Moskow; Setiati Surasto, wakil SOBSI di Gabungan Serikat Buruh Sedunia berkedudukan di Praha, Republik Ceko, meninggal dunia di Swedia. Beberapa nama tokoh lainnya
adalah: Nungcik A.R.,Ketua Fraksi PKI dalam DPR GR meninggal dunia di Tiongkok; G.H. Simamora, meninggal dunia di Tiongkok; Rollah Sjarifah, penterjemah banyak karya Marxisme meninggal dunia di Belanda; Darmini mantan wakil Gerwani pada GWDS, Sofyan Waluyo, meninggal dunia di Swedia; Margono, wakil Pemuda Rakyat di Markas GPDS meninggal dunia di Paris; Budiman Sudharsono, anggota MPRS, mantan Ketua Umum IPPI, wakil sekjen DPP Pemuda Rakyat meninggal dunia di Paris; Willy Hariandja, meninggal dunia di Tiongkok; Supangat, meninggal dunia di Belanda; Aslam Hariadi, meninggal dunia di Belanda; Rustomo, meninggal dunia Tiongkok; Rumambi, meninggal dunia di Tiongkok; Zaelani, anggota Politbiro CC PKI, meninggal dunia di Belanda; Surjo Subroto, meninggal dunia di Belanda; Kondar Sibarani, meninggal dunia di Jerman; Supeno, pimpinan Kantor Berita Antara meninggal dunia di Belanda; Suryono, meninggal dunia di Belanda; Didi Wiharnadi wakil sekjen SOBSI dan
Suparna Sastradiredja, tokoh Sarbupri, meninggal dunia di Belanda. .

Saya sengaja menuliskan nama‐nama tersebut di atas agar orang bisa mengetahui apakah tokoh‐tokoh tersebut masih hidup atau sudah meninggal dunia. Dengan demikian bisa diketahui di mana kuburnya. Sekaligus orang akan mengetahui betapa kejamnya perlakuan orde baru yang dikepalai Jenderal Soeharto terhadap warganya. Dalam nama nama tersebut di atas belum termasuk nama para mahid (mahasiswaikatan dinas) yang dilarang pulang ke Indonesia dan meninggal di luar negeri serta dikuburkan di negeri orang.

Sebenarnya Presiden Gus Dur pernah melakukan niat baik untuk memulangkan orang‐orang Indonesia yang terhalang pulang dan bergelandangan di luar negeri. Awal tahun 2001 ia mengirimkan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, agar memulangkan mereka ke Indonesia. Yusril pun berusaha mengumpulkan masyarakat Indonesia di Kedutaan Besar RI di Belanda. Ia menjelaskan bahwa dalam waktu dekat ia akan mengembalikan “orang‐orang kelayaban” itu ke tanah tumpah darahnya. Namun, setelah ia kembali ke Indonesia, ia pun melupakan janji yang pernah ia ucapkan. Ia mendapat tekanan dari partainya, PBB (Partai Bulan Bintang), seolah‐olah Yusril akan menghidupkan kembali komunisme di Indonesia. Sebuah pandangan yang tidak sesuai dengan kenyataan konkret di Indonesia, dan akhirnya menteri terhormat ini bungkam seribu bahasa. Tak lama kemudian Gus Dur pun terjungkal dari kursi kepresidenan. Usaha pemulangan para mahid itu pun lenyap bagaikan secangkir air tumpah
ke pasir.

Tulisan ini sudah menerawang jauh, hampir meninggalkan tugasnya sebagai kata sambutan terhadap terbitnya buku Pikir Itu Pelita Hati. Menurut pendapat saya, buku Suar Suroso yang kesepuluh ini hampir mirip dengan buku‐buku terdahulu, sejak yang pertama hingga yang kesembilan, Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno, kecuali buku ketujuh—Jelita Senandung Hidup dan kedelapan—Pelita Keajaiban Dunia. Dua buku, ketujuh dan kedelapan itu, merupakan kumpulan puisi yang menyenandungkan tanah air Indonesia, keindahan alamnya, kekayaan buminya, kecintaan rakyat terhadap negerinya. Di luar dua buku ini, buku‐buku lainnya saling bertautan dan saling mengisi, merupakan sejarah perkembangan masyarakat pada zamannya.

Oleh sebab itu, buku‐buku ini sangat berguna bagi siapa pun, terutama bagi generasi muda dan penerus bangsa, agar bisa belajar dengan baik dalam meneliti perkembangan masyarakat dengan berbagai ideologi dan ajaran‐ajaran keyakinan yang berkembang sesuai dengan zamannya. Kita bisa belajar bagaimana berbagai ajaran Hindu, Buddha, Kejawen, bahkan sampai masuknya Islam ke Indonesia. Namun juga merupakan satu kenyataan, kita tidak bisa menampik, merasuk dan berkembangnya ajaran Marxisme–Leninisme lewat karyakarya Alimin, Tan Malaka, Njoto, D.N. Aidit, dan bahkan Bung Karno dengan tulisannya Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.

Sangat menarik dimuatnya dalam buku ini sebuah bantahan seolah Mao Zedong menghasut Aidit untuk mengadakan sebuah gerakan di Indonesia ketika Bung Karno menderita sakit. Bantahan demikian ini sangat diperlukan dalam usaha pelurusan sejarah yang dipelintir oleh orde baru, terutama untuk pembelajaran bagi generasi muda. Termasuk pelurusan anggapan bahwa PKI turut sebagai dalang G30S.

Dalam kumpulan puisi Di Negeri Orang, Nurdiana menulis sebuah puisi dengan judul “Adat Hidup”. Penulis Nurdiana tak lain adalah nama pena Suar Suroso dalam penulisan puisi. Dalam puisi itu ia menuliskan:

Bila dahaga,
sungguh terasa nikmatnya air,
di kala lapar,
terasa benar lezat makanan;
kapan kepanasan,
terasa nyaman embun di pagi hari;
ketika dingin,
amat terasa hangat api membara;
bilamana gelap dicengkam kelam,
betapa terasa terang sang Surya;
semasa terkurung di penjara,
alangkah terasa bahagia kebebasan.
Dan di kala terpaksa berkelana di pengasingan,
terasa nian
indahnya kampung halaman.

Buku Pikir Itu Pelita Hati, karya kesepuluh Suar Suroso ini mengandung banyak bahan pelajaran yang perlu diketahui oleh siapa pun, terutama bagi generasi muda penerus bangsa untuk meraih kemerdekaan penuh, terbebas dari neo‐kolonial dan neo‐liberal.

Presiden Jokowi ketika membagikan buku‐buku kepada anak‐anak generasi muda selalu berpesan, “Membacalah, dan bangsa ini akan terhindar dari buta karena ketidaktahuan.”

Pada tanggal 16 Mei 2015, Suar Suroso genap berusia 85 tahun. Dalam usia tua ia masih terus kreatif melahirkan berbagai macam tulisan. Tentu saja kita menunggu karya‐karya Bung Suar selanjutnya yang sangat dibutuhkan anak bangsa.

Amsterdam, 10 Februari 2015

AGAMA LOKAL WARISAN BESAR NUSANTARA

Sinar Harapan Online

Agama Lokal Warisan Besar Nusantara

Penganut kepercayaan atau agama lokal kesulitan menunjukkan identitas keagamaannya.

 

Sinar Harapan / Lukas Setiadi

Ilustrasi

Jauh sebelum agama yang berasal dari mancanegara masuk, masyarakat Indonesia—dulu Nusantara—sudah memiliki agama dan kepercayaan sendiri. Mereka juga telah mengenal Tuhan yang tidak berwujud, dengan segala maha, layaknya apa yang diajarkan agama-agama impor. Namun, bukan hal yang mudah bagi mereka untuk menunjukkan identitas ketuhanannya.

Peristiwa Gerakan 30 September 1965 menjadi awal mula para penghayat kepercayaan untuk memeluk agama-agama dari mancanegara secara terpaksa. “Pada saat peristiwa G 30 September terjadi, kami beramai-ramai memeluk agama Katolik. Pilihan itu karena adanya ilham untuk berlindung di bawah pohon cemara putih,” kata Dewi Kanti, seorang penganut Sunda Wiwitan.

Mayoritas penganut Sunda Wiwitan menganut agama Katolik juga dilatarbelakangi sejarah kelam “pembantaian” oleh DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Sejak saat itu, jumlah penganut agama Katolik mengalami kenaikan yang luar biasa secara kuantitas. “Kalau kami tidak memeluk salah satu agama ketika itu, kami pasti jadi sasaran karena dianggap ateis, tidak bertuhan,” tutur Dewi.

Pemerintahan Orde Baru (Orba) di bawah Soeharto telah menentukan, hanya lima agama yang boleh dijadikan identitas dalam kartu tanda penduduk (KTP). Agama itu adalah Hindu, Buddha, Islam, Katolik, dan Kristen. Saat angin reformasi berembus, di bawah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Konghuu diresmikan sebagai agama yang boleh dipeluk, berdampingan dengan lima agama yang telah dinyatakan resmi sebelumnya.

Kesulitan untuk menunjukkan identitas itu juga dialami orang Samin yang menganut agama Adam dan orang Dayak yang menganut Kaharingan. Pemerhati sejarah Moh Rosyid dari Sekolah Tinggi Ilmu Agama Islam Negeri (STAIN) Kudus menyatakan, karena Wong Samin tidak melakukan ritual ibadah yang jelas seperti agama yang lain, mereka dicap sebagai komunitas yang tidak beragama.
“Warga Samin yang tidak tahan dengan perlakuan pemerintah Orde Baru yang juga dilakukan pemerintah desa di tingkat paling bawah, akhirnya menanggalkan jatidiri Saminnya. Ada juga yang kemudian meninggalkan desanya dan mengembangkan ajaran Samin di daerah lain,” kata Rosyid.
Dalam perkembangan zaman yang makin modern, anak-anak Wong Samin pun kemudian terpaksa sekolah di sekolah umum. Masalah baru pun muncul. Di sekolah itu anak-anak Wong Samin “dipaksa” mengikuti pelajaran agama (Islam, Kristen, Katolik). Padahal mereka tidak mengenal agama itu.

Agama Kaharingan, sebagai agama asli Suku Dayak, saat ini betul-betul punah di Provinsi Kalimantan Barat. Para bekas pemeluk Agama Kaharingan, akhirnya sekarang memilih agama tradisi besar, seperti Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Pasca-operasi penumpasan pemberontakan Pasukan Gerilya Rakyat Serawak/Persatuan Rakyat Kalimantan Utara (PGRS/Paraku) di sepanjang perbatasan dengan Malaysia, 1967-1977, masyarakat suku Dayak Uud Danum yang masih menganut agama Kaharingan, diinstruksikan untuk mengubah keyakinan sesuai yang direkomendasikan pemerintah agar tidak dicap komunis gaya baru yang identik dengan PGRS/Paraku.

“Jadi, program pengagamaan Suku Dayak pasca-operasi penumpasan PGRS/ Paraku telah menyebabkan punahnya agama Kaharingan di Kalimantan Barat periode 1967– 1977,” kata Zainuddin Isman, antropolog Universitas Muhammadyah, Pontianak. Paksaan tersebut berlangsung hingga sekarang.
Namun, Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Zudan, membantah adanya diskriminasi tersebut. Menurutnya, UU No 24/2014 tentang Administrasi Kependudukan mengamanatkan, KTP elektronik mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah NKRI, yang memuat elemen data penduduk. Dalam KTP elektronik, tercantum keterangan tentang “agama”, bukan “agama/kepercayaan”.
Oleh karena itu, yang dicantumkan dalam kolom tersebut adalah “agama yang dianut penduduk pemegang KTP, bukan aliran kepercayaan yang dianut. Bagi penduduk agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan,” katanya.
Ia menjelaskan, penghayat kepercayaan berhak memperoleh semua jenis pelayanan pencatatan peristiwa penting (kelahiran, kematian, perkawinan, perceraian, pengakuan anak, pengesahan anak, dan peristiwa penting lainnya) dalam pencatatan sipil sebagaimana umumnya penduduk Indonesia.
“Sebagaimana diatur dalam Pasal 81 PP No 37/2007, perkawinan penghayat kepercayaan dapat dicatatkan apabila perkawinan tersebut dilakukan di hadapan pemuka penghayat kepercayaan yang ditunjuk organisasinya,” ucapnya. Organisasi tersebut harus telah terdaftar pada kementerian yang bidang tugasnya secara teknis membina organisasi penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.  Untuk menentukan atau penunjukan pemuka penghayat kepercayaan diperlukan adanya organisasi.
Pembentukan organisasi penghayat yang harus terdaftar supaya tertib administrasi, adanya kepastian pemuka penghayat, pertanggungjawaban pelaksanaan perkawinan, serta kelancaran pelaksanaan perkawinan. “Bukan untuk mempersulit proses perkawinan para penghayat,” serunya.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri, Soedarmo mengutarakan, Kemendagri akan mengingatkan kembali kepala daerah untuk segera mempercepat pembuatan peraturan daerah (perda) terakit pelayanan terhadap penghayat kepercayaan. “Kami akan dorong pemda untuk segera merealisasikannya,” ujarnya. Menurutnya, penghayat kepercayaan harus dilindungi karena mereka bagian dari bangsa. Mereka juga merupakan warisan besar yang dimiliki bangsa ini. (Aju)

Sumber : Sinar Harapan

KARIKATUR SINAR HARAPAN

Sinar Harapan Online

Karikatur

Motor Show

26 Agustus 2015

Gusur

24 Agustus 2015

MafiaHarga

21 Agustus 2015

kesempatan Politik

18 Agustus 2015

Kari 180815

14 Agustus 2015

07 Agustus 2015

03 Agustus 2015

Pilkada2015

24 Juli 2015

Karikatur

23 Juli 2015

Karikatur

22 Juli 2015

Karikatur

21 Juli 2015

KARTUN OPINI

15 Juli 2015

Rupiah

14 Juli 2015

Ilustrasi THR

10 Juli 2015

Alutsista

02 Juli 2015

Narkoba

02 Juli 2015
Mudik

30 Juni 2015

Lebaran Sale

MENELUSURI JEJAK TUHAN

Sinar Harapan Online

Menelusuri Jejak Tuhan

Agama-agama lokal di Nusantara merupakan salah satu unsur kebudayaan Austronesia.

29 Agustus 2015 17:02
 

Antara Foto / Budi Candra Setya

RITUAL SUKU OSING – Seorang anak menarikan tarian Seblang Olehsari di Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (28/7). Seblang Olehsari merupakan tarian magis ritual suku Osing yang bertujuan untuk bersih desa dan menolak bala.

Apakah Tuhan itu dan bagaimana rupanya? Di Indonesia, di masa lalu, rupa Tuhan muncul dalam berbagai bentuk, tergantung mata pencahariannya. Ia adalah sesuatu yang tidak sama dengan manusia. Sebaliknya, Ia adalah sesuatu yang lebih di luar manusia.

Sejarawan dari Universitas Padjajaran (Unpad), Widyo Nugrahanto, mengungkapkan rupa Tuhan telah muncul jauh sebelum budaya dan agama dari mancanegara masuk ke daratan Indonesia—dulu Nusantara. Rupa Tuhan itu kemudian muncul dalam kepercayaan atau agama-agama lokal di tingkat kesukuan.

Dari sisi sejarahnya, agama-agama lokal di Nusantara merupakan salah satu unsur kebudayaan Austronesia. Setiap suku memiliki perbedaan tentang Yang Maha Kuasa, yang harus disembah. Suku yang hidup di daerah agraris akan menyembah Dewi Kesuburan. Suku yang bermatapencaharian di laut akan menyembah Dewa Angin ataupun Petir.
Penggunaan dewa atau dewi karena adanya konsep Bumi dan langit. Bumi mewakili perempuan, langit mewakili simbol lelaki. “Awal mulanya kepercayaan timbul berdasarkan mata pencaharian,” ujarnya kepada SH, Rabu (26/8).

Namun, bangsa Austronesia yang menyebar di berbagai pulau di Nusantara memiliki bahasa yang sama dalam menyebut nama Tuhan, dengan sebutan Sang Hyang, artinya sesuatu yang melebihi kita. Itu bisa dilihat dari bahasa yang digunakan di Sunda Tua, Jawa, dan Bali.

“Nenek moyang kita menyembah roh. Awalnya dinamisme, mereka beranggapan semua benda di dunia ini memiliki daya gerak. Itu kemudian berubah menjadi bukan daya gerak, melainkan benda memiliki roh. Di situlah awalnya animisme. Itu lalu berubah lagi, bukan sekadar roh atau jiwa, melainkan Maha, yang dijuluki dengan Sang,” tuturnya.

Penemuan kata Sang itu menjadi titik awal, mereka menemukan ketuhanan. Sang tersebut muncul dalam berbagai macam gambar di laut maupun gunung. Namun, kebanyakan Sang pada masa itu tidak berwujud.

“Wujud Sang berubah berdasarkan suku-suku. Ada yang berwujud dan tidak berwujud,” katanya. Perbedaan wujud Sang terjadi karena perkembangan pola pikir yang berasal dari internal maupun eksternal.

Ada dua teori penyebaran kebudayaan, yakni Monogenesis dan Poligenesis. Monogenesis adalah munculnya kebudayaan di satu tempat kemudian menyebar ke mana-mana seperti aliran sungai. Polygenesis, kebudayaan muncul di mana-mana, tetapi tidak seperti aliran sungai yang mengalir di mana pun.
Sinkretis

Perkembangan agama-agama lokal tersebut mulai tereduksi ketika Indianisasi pada awal abad pertama Masehi. Indianisasi ini mewarnai tata cara yang dipakai untuk menyebut Sang. “Di sana mulai ditambahi dewa. Ada tiga dewa dalam Hindu,” katanya.

Meski demikian, tata cara penyembahan Hindu-Buddha yang masuk ke Indonesia dilakukan secara sinkretis, berdampingan dengan upacara ala Austronesia. Salah satu upacara ala Austronesia yang masih tersisa saat ini adalah Serentaun.
Upacara ini merupakan penghormatan pada Dewa Kesuburan yang dilakukan oleh masyarakat Sunda agraris. Upacara ini merupakan ucapan syukur atas keberhasilan panen setelah satu tahun bekerja keras di pertanian. “Mereka bersyukur dengan cara berbagi dengan tetangganya,” ujarnya.
Contoh perkawinan antara budaya Hindu dan Austronesia muncul pada masyarakat Bali. Dalam upacara Galungan atau Nyepi, masyarakat Bali membawa simbol-simbol nasi gunungan. “Itu asli Austronesia. Hindu di India tidak seperti itu. Nasi gunungan mewakili bentuk Gunung Mahameru,” tuturnya.

Gunung dalam budaya Jawa menjadi perlambang kesucian karena dianggap sebagai penyambung antara langit (lelaki) dan Bumi (perempuan). Konsep ini kebalikan dari budaya Sunda. “Hujan adalah proses pembuahan, sehingga membuahkan kesuburan,” ucapnya.

Masa akhir Austronesia ditandai dengan kemampuan nenek moyang membuat punden berundak sebagai tempat ibadah, dengan cara memberikan sesaji kepada Tuhan mereka. Pada masa itu, Sang Yang bukan lagi animism, melainkan politeisme. Sisa-sisa kebudayaan ini masih ada. “Dalam masyarakat Jawa, setiap tempat ada penguasanya yang disebut danyang atau Tuhan kecil. Di sana ada proses ritual tersendiri untuk menghormatinya. Namun, sembahyang adalah ritual untuk menyembah Tuhan yang Sang,” katanya.

Penyebaran Hindu-Buddha ke Indonesia terjadi ketika Iskandar Zulkarnaen (Alexander The Great) melakukan ekspansi ke India. Akibat ekspansi itu, banyak pendeta lari ke timur menuju pulau di Indonesia. Pelarian ke timur ini dilatarbelakangi cerita Ramayana. Dalam cerita itu, Hanoman ditugasi mencari pohon Sang Jiwani untuk menyembuhkan Laksmana.

“Perintahnya ke arah matahari terbit di timur. Mereka terus menemukan gunung bersalju,” ujarnya. Namun, ada perbedaan mengenai gunung tersebut. Ada yang berpendapat gunung tersebut adalah Gunung Kinabalu, sebagian lainnya menyebut Gunung Jaya Wijaya. “Saat itulah mereka menyebarkan pengaruhnya, kemudian terjadi percampuran,” ucapnya.

Dalam penyebarannya, pengaruh India tersebut tidak sampai ke Indonesia Timur. Penyebaran mereka hanya ke wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi Selatan, Bali, dan Lombok. Kebudayaan mereka paling banyak bertahan di Pulau Jawa dan Bali. “Tapi yang di Bali itu Hindu sinkretis,” ujarnya.

Ada empat teori besar terkait penyebaran agama Hindu-Buddha ini. Teori satria menyebutkan, penyebaran dilakukan dengan cara penaklukan yang dibuktikan dengan penghancuran Sriwijaya. Teori Waisya menyebutkan, penyebaran agama melalui perdagangan yang terjadi antara Indonesia dan India. “Orang India beli padi dan tarum ke Indonesia,” katanya.

Teori Brahmana menyebutkan, selain penaklukan dan perdagangan, datang pula kaum Brahmana. Mereka kemudian mengajari agama. “Keempat adalah teori arus balik. Orang-orang Indonesia berlayar ke India kemudian mereka membawa kembali ajaran itu ketika pulang,” ujarnya.Setelah Hindu-Buddha, budaya dan agama dari Timur Tengah datang Indonesia. Islam datang pada abad VII, IX, dan XIII. “Tapi itu debatable karena ada yang menyebutkan abad XV. Peran Tiongkok dalam penyebaran Islam luas sekali,” katanya.

Untuk sampai ke Indonesia, mereka menggunakan jalur perdagangan yang sama dengan India. Mereka saat itu belum mengetahui keberadaan Selat Malaka sehingga berlayar melalui pantai barat Sumatera. Setelah mengetahui keberadaan Selat Sunda, mereka berlayar ke utara dan mendarat di Jawa. “Setelah menemukan Malaka, kemudian Jawa, mereka masuk pada bandar perdagangan. Penyebaran Islam ke Indonesia karena adanya dorongan politis, ekonomi, dan agama. Dorongan politis itu diwujudkan dalam pembentukan kerajaan-kerajaan. Perdagangan diwujudkan dengan masuknya kaum muslim tersebut menjadi bandar-bandar dagang. Dorongan agama dengan cara membentuk pesantren-pesantren,” tuturnya.

Penyebaran Islam merata hampir di seluruh wilayah Nusantara. “Namun, ada yang pengaruhnya kuat, ada yang sedikit,” ucapnya. Belakangan pada abad XVI, agama Nasrani masuk dengan cara kolonilaisasi oleh bangsa-bangsa Eropa, yakni Belanda, Inggris, Portugis, dan Spanyol. Namun, dalam praktiknya, negara-negara tersebut memiliki karakteristik kolonialisasinya. Belanda dan Inggris adalah negara yang mempraktikkan imperialisme di bidang ekonomi. “Jadi, yang diperas ekonominya,” ujarnya.

Portugis dan Spanyol melaksanakan imperialism secara budaya. “Jadi, dipaksakan penghancuran budaya-budayanya,” ujarnya. Daerah-daerah yang tidak terlalu kuat pengaruh Islamnya menjadi tujuan penyebaran agama Nasrani.

Kenapa agama-agama lokal di Indonesia akhirnya tersisih dibandingkan agama dari mancanegara? Widyo mengatakan, perbandingan agama luar negeri dan lokal bagaikan industri rumahan (home industry) yang bermodal kecil dan kapitalis yang bermodal besar. “Banyak tempat yang disucikan orang Jawa direbut agama-agama dari luar negeri,” katanya.  (*)

Sumber : Sinar Harapan

BANJIR PEKERJA DARI NEGERI PANDA

Majalah TEMPO

LAPORAN UTAMA
SENIN, 31 AGUSTUS 2015
Banjir Pekerja Dari Negeri Panda

ELASAN pekerja asal Cina memanggul besi menuju area pembangunan cerobong pembangkit listrik di Kecamatan Kendawangan, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, awal Agustus lalu. Para buruh berseragam abu-abu lusuh itu mengangkut tanah galian menggunakan gerobak sorong di sekitar cerobong yang menjulang. Sebagian lain mengangkut material dengan motor penarik gerobak. Sejumlah mandor, juga asal Cina, mondar-mandir melintas mengendarai sepeda motor rakitan Indonesia.

PT China Hongqiao dan PT Winning Investment memboyong para pekerja asal Cina itu sejak Juni lalu. Kedua kontraktor tersebut bermitra dengan PT Citra Mineral Investindo, anak usaha Harita Group, membentuk perusahaan konsorsium PT Well Harvest Winning Alumina Refinery. Perusahaan patungan ini sedang membangun smelter bauksit yang akan memproduksi alumina 4 juta ton per tahun.

Pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 160 megawatt dikebut untuk menyuplai setrum ke smelter. Tempo, yang berkunjung ke area pembangunan smelter pada awal Agustus lalu, menyaksikan para pekerja Cina tersebar di seluruh kawasan pembangunan pabrik.

General Manager Operations Well Harvest, Achmad Risbandi, mengacungkan jempol terhadap kinerja ratusan pekerja Cina itu. Mereka dinilai cekatan sehingga cerobong asap telah berdiri 129 meter dari target 150 meter hanya dalam dua bulan. “Etos kerjanya luar biasa,” katanya kepada Tempo, Rabu, 5 Agustus lalu. Walhasil, pembangunan smelter, yang ditargetkan rampung tahun depan, sudah mencapai 70 persen.

Maraknya buruh asal Cina di proyek smelter membuat Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Bambang Gatot heran. Ia memastikan instansinya tidak menerbitkan rekomendasi permohonan penggunaan tenaga kerja asing untuk level pekerjaan kuli.

Tenaga asing yang direstui, menurut Bambang, sebagian besar adalah teknisi mesin, tenaga perawatan, dan operator peralatan. Tenaga kerja Cina diperlukan karena petunjuk penggunaan alat berbahasa Mandarin. “Tenaga kerja asing itu jabatannya teknisi mesin, maintenance, dan masih ada pendamping. Kalau kuli kasar, enggaklah,” ucapnya. Para pekerja asal Cina tersebut bersifat sementara, dengan masa kerja rata-rata 4-6 bulan. Setelah proyek berakhir, mereka harus angkat kaki.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014, untuk mendatangkan satu tenaga kerja asing, perusahaan sponsor wajib merekrut tenaga kerja lokal sebagai pendamping. Ini merupakan syarat agar permohonan menggunakan tenaga kerja asing disetujui. Pendampingan dimaksudkan agar ada transfer teknologi dan pengetahuan kepada tenaga lokal. Dengan demikian, ke depan, tenaga ahli tidak perlu lagi “impor”.

Tenaga pendamping itu ditemui Bambang saat berkunjung ke smelter nikel milik PT Sulawesi Mining Investment di Morowali, Sulawesi Tengah, Ahad dua pekan lalu. Pekerja lokal itu menjadi mitra tenaga kerja Cina yang banyak dipakai dalam pembangunan pabrik senilai US$ 635 juta tersebut. Bambang mengklaim kemampuan tenaga lokal meningkat dengan menjadi pendamping pekerja Cina.

Kuli asal Negeri Panda juga banyak ditemukan di sejumlah proyek pembangkit listrik dan semen. Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Muji Handaya mengatakan semula kuli Cina dipakai untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Air Asahan di Sumatera Utara, lima tahun lalu.

Kini setidaknya 136 pekerja asal Cina masih memadati pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap Celukan Bawang di Kabupaten Buleleng, Bali. Tujuh ratus tenaga kerja Cina juga membanjiri pembangunan pabrik semen PT Cemindo Gemilang di Bayah, Kabupaten Lebak, Banten, ketika Kementerian Ketenagakerjaan melakukan inspeksi mendadak, Juni lalu. “Kalau disebut kuli, ya, mereka pekerja kasar, tinggalnya di bedeng-bedeng,” kata Muji.

****

SEDERET persyaratan harus dipenuhi untuk memperoleh izin mempekerjakan tenaga asing. Ketatnya aturan bertujuan menekan jumlah tenaga dari luar negeri, yang belakangan terus berdatangan. Dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2014, perusahaan wajib mengutamakan tenaga kerja domestik. Mengacu aturan ini, jenis pekerjaan kasar seharusnya menggunakan tenaga lokal.

Muji Handaya mengatakan pengetatan aturan sengaja dibuat karena prinsip pelayanannya adalah pengendalian tenaga impor. Faktanya, jenis pekerjaan yang bisa dikerjakan buruh lokal pun ternyata diberikan kepada asing. Inilah yang membuat Muji mengutus anak buahnya mengecek keabsahan tenaga asing di sejumlah proyek infrastruktur.

Ia menerjunkan Tim Pengawas Kementerian Ketenagakerjaan untuk menggelar inspeksi mendadak pekerja asing di PLTU Celukan Bawang, 17 Agustus lalu. Dua bulan sebelumnya, Tim Pengawas juga mendatangi proyek pabrik semen milik Cemindo Gemilang di Lebak, Banten. Tim menemukan ratusan orang Cina bekerja sebagai buruh.

Anehnya, Muji mengklaim pekerja asing itu mayoritas dilengkapi izin mempekerjakan tenaga asing (IMTA), yaitu dokumen yang menerangkan sah-tidaknya orang asing bekerja di Indonesia. Padahal, berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 247 Tahun 2011, tenaga asing hanya boleh mengisi jabatan yang memerlukan keahlian tertentu.

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri memastikan tenaga kerja asing yang diizinkan hanya menempati posisi tenaga ahli. “Kalau ada tenaga kerja asing level bawah, misalnya operator, itu pasti ada pelanggaran, pasti kami tindak,” ujarnya Jumat pekan lalu.

Bila beleid itu dipatuhi, tenaga asing tanpa keahlian spesifik tidak mungkin bisa menggenggam IMTA. Namun yang terjadi di lapangan sebaliknya. “Secara administrasi mereka legal,” kata Muji.

Lolosnya IMTA bagi kuli asal Cina tidak membuat heran seorang calo yang biasa menjajakan jasa pengurusan izin mendatangkan tenaga asing. Seorang kuli asing bisa mengantongi izin karena memanfaatkan “kelemahan” pejabat di bagian pelayanan perizinan.

Pejabat bagian pelayanan tidak ketat menerapkan syarat: satu pekerja asing harus didampingi satu tenaga lokal. Dalam prosedur, dokumen biodata pekerja lokal harus dilampirkan bersamaan dengan biodata si tenaga asing.

Seorang calo bercerita, biodata tenaga lokal pendamping hanya formalitas. Ia selalu meminta “klien”-nya menyerahkan biodata karyawan yang disebut sebagai tenaga pendamping. Ia meyakinkan, perusahaan tidak perlu khawatir karena pejabat Kementerian Ketenagakerjaan jarang mengecek keabsahannya. “Kalau ada pengecekan, ya, pura-pura sebagai tenaga pendamping,” katanya.

Walhasil, arus tenaga asing masuk deras, mayoritas tidak memiliki pendamping. Pekerja asing tanpa pendamping lokal ini biasanya adalah buruh, yang belakangan menjadi sorotan publik.

Memasukkan tenaga asing yang tidak memenuhi syarat bukan perkara sulit. Seorang calo menceritakan pengalamannya memasukkan dua koki masakan tradisional Cina yang hanya tamatan sekolah dasar. Mereka didatangkan oleh pengusaha restoran Cina di Jakarta. Karena hanya lulusan SD, keduanya menabrak ketentuan.

Untuk meloloskan mereka, calo menyogok pejabat di bagian pelayanan perizinan yang tersebar di Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja (Binapenta) dan Direktorat Jenderal Imigrasi. Besarannya variatif, mulai Rp 1 juta sampai Rp 5 juta di setiap tahapan proses. Belakangan, dua koki Cina itu tiba dan bekerja di Jakarta.

Tidak sulit menemukan calo perizinan. Mereka bertebaran di teras dan kantin Kantor Pelayanan Pengajuan Penggunaan Tenaga Asing di kantor Direktorat Jenderal Binapenta Kementerian Ketenagakerjaan di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan.

Salah satu calo memungut Rp 8,5 juta untuk mengurus izin satu orang tenaga kerja asing. Ia menjamin, dengan tarif itu, perusahaan sponsor memperoleh izin mempekerjakan tenaga asing (IMTA) dan kartu izin tinggal terbatas (kitas). Harga ini belum termasuk setoran US$ 100 per tenaga kerja asing per bulan sebagai penerimaan negara bukan pajak.

Selain memudahkan, praktek suap mempersingkat waktu pengurusan izin. Bila menggunakan jalur resmi, perlu waktu tujuh pekan hingga tiga bulan untuk mendapatkan IMTA dan kitas. Tapi, melalui calo, prosesnya lebih singkat, menjadi tiga pekan sampai satu bulan.

Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing Rahmawati Yaunidar mengatakan proses perizinan telah menerapkan standar internasional (ISO). Rantai perizinan diperpendek untuk mempercepat pelayanan dengan memangkas tahap pengajuan kawat persetujuan visa (TA-01), yang berlaku mulai Senin pekan ini. Soal adanya praktek suap, Rahmawati membantah. “Itu tidak benar.”

Adapun Direktur Jenderal Imigrasi Ronny F. Sompie tidak memberikan jawaban soal adanya dugaan praktek suap dalam penerbitan telex visa (jaminan tenaga kerja asing untuk mengantongi visa kerja) dan kitas. Panggilan telepon dan pesan pendek yang dikirimkan Tempo tidak ditanggapi.

Menteri Hanif memastikan praktek suap bisa ditekan dengan perizinan menggunakan sistem online dan pelayanan satu pintu. “Regulasi sudah dipermudah, prosedurnya lebih sederhana dan lebih cepat,” ujarnya.

****

MEMBANJIRNYA pekerja asal Cina membuat Tim Pengawas Kementerian Ketenagakerjaan mulai rajin menggelar inspeksi mendadak, belakangan. Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan Muji Handaya berencana menerjunkan tim di proyek smelter bauksit di Ketapang dan smelter nikel di Morowali. “Kami akan mengecek IMTA-nya,” katanya.

Inspeksi mendadak juga kerap dilakukan petugas imigrasi. Seperti yang dilakukan Kantor Imigrasi Kelas 2 Kota Singaraja, Bali. Kepala Imigrasi Singaraja Muhammad Hanif Rozariyanto memerintahkan tujuh anak buahnya mengecek dokumen kitas setiap pekerja asal Cina di PLTU Celukan Bawang, Senin pekan lalu. Hasilnya, semua tenaga kerja mengantongi dokumen resmi. “Tidak ditemukan pelanggaran keimigrasian,” ujarnya.

Dalam inspeksinya, Tim Pengawas Kementerian Ketenagakerjaan menggali alasan kontraktor membawa ratusan buruh kasar asal Cina. Menurut Muji, kontraktor bisa berkomunikasi dengan lancar jika menggunakan tenaga kerja asal Cina. Targetnya, pekerjaan selesai tepat waktu sesuai dengan kontrak.

Si Zefu, Chairman Dongfang Electric Corporation Limited, menyatakan tidak ingin proyeknya terhambat persoalan bahasa. Dongfang merupakan perusahaan besar penyedia generator dan manufaktur pembangkit listrik untuk PLTU di Teluk Naga Tangerang dan Pacitan. “Kami punya tenggat yang harus dipenuhi,” kata Zhou Jie, menerjemahkan pernyataan Zefu, yang hanya berbahasa Mandarin, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Menteri Hanif memahami keinginan kontraktor membawa pekerja dari negaranya. Agar tidak menghambat, syarat tenaga kerja asing harus berbahasa Indonesia dihapus dari Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015. “Ini untuk mendukung percepatan investasi.”

Tak hanya mencoret aturan wajib berbahasa Indonesia, Muji Handaya menilai longgarnya keran bagi tenaga asing di Indonesia juga berkaitan dengan rekomendasi dari kementerian teknis. Ia memberi contoh, tenaga kuli Cina di PLTU Celukan Bawang bisa mendapatkan IMTA karena telah mengantongi rekomendasi dari Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Rekomendasi kementerian teknis menjadi kunci diterbitkannya IMTA oleh Kementerian Ketenagakerjaan. “Kalau tidak ada rekomendasi, IMTA tidak akan terbit,” ujarnya.

Jarman, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, menampik tudingan Muji. Instansinya tidak pernah menerbitkan rekomendasi pekerja kelas kuli, tapi tenaga level penasihat dan tenaga ahli. Pekerja asing juga wajib mengantongi sertifikat kompetensi dari negara asal. Cara ini untuk menekan tenaga kerja asing yang diusulkan kontraktor. Hasilnya, Jarman mengklaim bisa memangkas 60 persen tenaga kerja asing yang diusulkan kontraktor. “Kami merekomendasikan hanya tenaga teknik bidang ketenagalistrikan.”

Sementara antar-kementerian saling tuding, arus masuk pekerja asing makin deras. Hingga Mei 2015, tenaga kuli asal Cina yang masuk ke Indonesia sudah mencapai 25 ribu orang, jauh melampaui angka tahun lalu-sebesar 16 ribu. Padahal Indonesia memiliki 7,4 juta penganggur lulusan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama yang tidak bisa menikmati kue proyek infrastruktur.

Akbar Tri Kurniawan, Ayu Prima Sandi, Pingit Aria (jakarta), Singgih Soares (ketapang)

KENYATAAN TOLERANSI DI INDONESIA

SP Logo

Tiga Pemuda Hancurkan Perlengkapan Gereja Tureng, NTT
Senin, 31 Agustus 2015 | 7:14

Patung Tuhan Yesus Kristus. [Google]
Patung Tuhan Yesus Kristus. [Google]

[JAKARTA] Perlengkapan kapela (gereja) di Kampung Tureng, Desa Nggalak, Kecamatan Reok Barat, Kabupaten Manggarai, Nusa Tengga Timur (NTT) dihancurkan dan diporakporandakan oleh tiga orang pemuda yang diduga teroris, Sabtu (29/8) malam.

“Tadi malam sekitar jam 10.00 WIB, ada tiga orang pemuda tak dikenal masuk ke Kampung Tureng,masing-masing memikul tas. Mereka berjalan menuju gereja. Tadi pagi, ketika kami mau ibadah patung gereja yakni Patung Tuhan Yesus setinggi tiga meter hancur, ruangan sakristi atau penyimpanan perlengkapan ibadah porak-poranda. Kemungkinan besar dilakukan tiga pemuda yang mengaku tadi malam akan menuju Labuan Bajo (Ibu Kota Manggarai Barat) itu,” kata Stefanus, seorang warga Tureng, kepada SP Minggu (30/8).

Gereja Tureng letaknya sekitar 500 meter dari rumah warga (Kampung Tureng). “Kami tak curiga ketika mereka berjalan menuju gereja maklum malam kan gelap. Ketika kami tanya, mereka jawab, menuju Labuan Bajo,” kata dia.

Anehnya anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa)  di Desa Nggalak melarang kejadian itu dilaporkan kepada polisi. “Jangan dibesar-besarkan karena belum tahu siapa yang melakukan,” kata Stefanus menirukan larangan dari anggota Babinsa itu. Stefanus enggan menyebut nama anggota Babinsa itu karena takut.

Kapolres Manggarai, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP)Tony Binsar ketika dikontak SP tidak menjawab.

Teroris sepertinya sudah mulai masuk daratan Flores. Pada 18 April 2015, Polres Manggarai Barat dan Tim Densus 88 menangkap, Syarif, seorang teroris di Desa Ranggawatu, Kecamatan Sanonggoang, Manggarai Barat, NTT.  Syarif merupakan penembak Kapolsek Wera Polda Nusa Tenggara Barat tahun 2013. [E-8/L-8]

PIDATO KALLA DI SEOUL

ANTARA News

Pidato Kalla di Seoul: Ideologi Ekstrem Rusak Perdamaian

Jumat, 28 Agustus 2015 13:44 WIB
Pidato Kalla di Seoul: ideologi ekstrem rusak perdamaian

Wakil Presiden Jusuf Kalla. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Seoul, Korsel, (ANTARA News) – Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam pidatonya pada Konferensi Tingkat Tinggi Perdamaian di Seoul, Korea Selatan, mengatakan ideologi ekstrem dapat merusak perdamaian di suatu kawasan.

“Harmoni atau konflik dapat menjadi buruk jika terdapat ideologi ekstrem di kawasan itu,” kata Wapres di Hotel Grand Intercontinental, Seoul, Jumat siang.

JK mendapat undangan untuk menjadi pembicara utama dalam konferensi yang diselenggarakan oleh Federasi Perdamaian Universal pada 28 Agustus 2015.

Wapres mengatakan konflik di sejumlah wilayah di dunia tidak dapat mudah diselesaikan karena beberapa upaya penyelesaiannya menggunakan kekerasan maupun senjata.

Terkait Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), Wapres mengatakan gerakan itu hadir akibat kekosongan pemerintahan di sejumlah negara Timur Tengah sehingga kelompok radikal mencoba menguasai kepemimpinan.

“Apa yang terjadi, kenapa ISIS menghancurkan negara itu, ada alasannya. Masalah ekonomi, sosial dan sumber daya alam adalah satu hal yang biasa menjadi isu utama dalam konflik dunia,” kata JK, sapaan akrab Wapres Jusuf Kalla.

JK mengatakan hal yang dibutuhkan adalah melakukan harmonisasi kepada sesama manusia dan negara untuk menghindari konflik bersenjata.

“Tanpa harmoni, suatu negara mudah dihancurkan, dan itulah yang memicu perang. Perang adalah akhir perdamaian, sama seperti perdamaian adalah akhir dari peperangan. Namun perdamaian tetap lebih baik dari perang,” kata Wapres.

JK menegaskan perang menyebabkan masyarakat menderita khususnya perempuan dan anak-anak.

“Karena tanpa harmoni dapat menyebabkan peperangan sehingga dapat menyebabkan kemiskinan dan ketidakharmonisan. Saya harap kedamaian dan harmoni menjadi tujuan bersama,” jelas Wapres.

Dalam kunjungannya ke Seoul, Wapres juga melakukan pertemuan dengan sejumlah pengusaha asal “Negeri Ginseng” untuk mendorong investasi mereka di Indonesia.

Sejumlah perusahaan Korsel yang telah diterima oleh JK antara lain Posco, Hyosung, Hanwha, LSIS, Green Cross, Samsung Electronics, Kepco.

Selain itu, Wapres juga telah menemui Perdana Menteri Korsel Hwang Kyo-ahn dan menerima Menteri Perdagangan, Industri serta Energi Yoon Sang-jik membahas potensi investasi dan peningkatan kuota tenaga kerja Indonesia di “Negeri Ginseng”.

Editor: Unggul Tri Ratomo

TIONGKOK AKAN GARAP PROYEK KERETA CEPAT JAKARTA-BANDUNG

ANTARA News

Tiongkok Yakin Garap Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Tiongkok yakin garap proyek kereta cepat Jakarta-Bandung

Pengunjung mengamati miniatur kereta cepat dalam Pameran Kereta Cepat Dari Tiongkok di Jakarta, Kamis (13/8/15). Pemerintah Indonesia merencanakan pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dan Pamerintah Tiongkok merupakan salah satu pihak yang menawarkan kerjasama dalam pembangunan kereta cepat tersebut. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Jakarta (ANTARA News) – Pemerintah Tiongkok yakin akan terpilih menjadi mitra dalam menggarap megaproyek kereta cepat Jakarta-Bandung berdasarkan pengalaman yang juga pernah menggarap proyek yang sama di kawasan tropis di salah satu provinsi di Tiongkok, Pulau Hainan.

Duta Besar Tiongkok untuk Indonesia Xie Feng dalam konferensi pers di Kementerian Koordinator Kemaritiman, Jakarta, Senin mengatakan Tiongkok sudah membangun kereta cepat Hainan, di mana kondisi iklim dan geologis mirip dengan Indonesia.

Xie menambahkan kereta cepat dengan panjang total 308 kilometer tersebut, sudah berhasil beroperasi selama lima tahun.

“Tiongkok merupakan satu-satunya negara yang berhasil membangun dan mengelola kereta cepat dengan kecepatan 350 kilometer per jam, dan juga merupakan satu-satunya negara yang berhasil mengelola kereta cepat di kawasan tropis, sedang dan dingin,” ucapnya.

Dia mengatakan Tiongkok mulai membangun kereta cepat sejak tahun 2003, artinya dengan pembangunan kereta cepat secara skala besar, kini jarak operasi rel kereta cepat Tiongkok telah melampaui 17.000 kilometer, menduduki 55 persen dari jumlah total jarak operasi rel kereta cepat tinggi sedunia.

Xie menambahkan jarak jalur kereta cepat yang berkecepatan 300 kilometer per jam mencapai 9.6 ribu kilometer atau sekitar 60 persen dari total jalur kereta cepat di seluruh dunia.

Saat ini, lanjut dia, tiap tahun kereta cepat di seluruh dunia mengangkut penumpang 1.7 miliar orang, di antaranya kereta cepat Tiongkok mengangkut penumpang 0,91 miliar orang.

“Ketiga data ini sudah melebihi 50 persen dari data sedunia,” ujarnya.

Proyek kereta api cepat Indonesia yang diwacanakan sekelas Shinkansen dengan kecepatan 300 kilometer per jam akan melayani rute Jakarta-Bandung.

Namun, dalam dokumen studi kelayakan Jepang, terdapat wacana rute kereta cepat ini juga akan melayani konektivitas ke Cirebon, bahkan hingga Surabaya.

Untuk rute Jakarta-Bandung, kereta cepat akan memangkas waktu tempuh perjalanan dari dua hingga tiga jam menjadi sekitar 34 menit.

Jepang sudah terlebih dahulu melakukan studi kelayakan tahap pertama dan menyerahkan proposal kepada pemerintah RI.

Menurut data Bappenas, dari proposal Jepang diketahui biaya pembangunan rel dan kereta cepat sebesar 6,2 miliar dolar AS.

Sedangkan, Tiongkok melakukan studi kelayakan setelah Jepang. Berdasarkan proposal, Tiongkok menawarkan proyek senilai 5,5 miliar dolar AS.

Editor: Unggul Tri Ratomo

EMIL SALIM KRITISI PROGRAM KERETA CEPAT

ANTARA News

Emil Salim Kritisi Program Kereta Cepat

Kamis, 27 Agustus 2015 13:00 WIB
Emil Salim kritisi program kereta cepat

Dokumentasi sejumlah penumpang berjalan seusai turun dari kereta Commuter Line jurusan Jakarta-Bogor di Stasiun Bogor, Jawa Barat, Selasa (21/7) Di tengah pemerataan dan interkoneksi sistem transportasi massal yang belum terwujud, pemerintah mewacanakan membangun jaringan kereta api cepat Jakarta-Bandung. (ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

… Apakah pembangunan ini high priority?…

Jakarta (ANTARA News) – Ahli ekonomi senior, Prof Dr Emil Salim, mengritisi rencana program kereta cepat Jakarta-Bandung tidak sejalan dengan upaya pemerintah mengatasi ketimpangan sosial di masyarakat. Jika kereta api cepat dengan biaya sekitar Rp60 triliun ini jadi beroperasi, waktu tempuh Jakarta-Bandung cuma 34 menit saja.

Pada sisi lain Tanah Air, masyarakat masih banyak yang belum bisa menikmati air bersih dan energi listrik.

Dalam Seminar Nasional XXVI Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, di Gedung LIPI, Jakarta, Kamis, Salim mengatakan, program kereta cepat tidak lebih prioritas jika dibandingkan dengan pembangunan “tol laut”.

“Saya menyambut baik ‘tol laut’, tapi di tengah-tengah program ‘tol laut’ muncul kereta api cepat di Jawa,” kata pengajar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis di Universitas Indonesia itu.

Dia mengatakan, pembangunan kereta cepat tidak memiliki pengaruh yang besar jika dibandingkan dengan “tol laut” yang jangkauannya sangat luas.

Investor asing –Jepang dan China alias Tiongkok– dia anggap hanya menyasar proyek kereta cepat Jakarta-Surabaya karena sekali mendapatkan proyek Jakarta-Bandung maka otomatis proyek yang lebih besar akan terealisir karena sistem operasionalnya akan sama.

“Investasi ini menyangkut pula pembangunan infrastruktur telekomunikasi, kereta, rel, dan lain-lain. Apakah pembangunan ini high priority?,” kata Salim.

Dia cenderung lebih mendukung program pemerintah yang mampu mengatasi ketimpangan sosial, mengingat 82 persen sumbangan PDB masih berasal dari Jawa, Sumatera dan Bali, dua persen dari Papua, dan 18 persen dari wilayah lain.

“Di mana suara partai yang sering mendengungkan mengenai keadilan sosial,” kata Salim, yang menjadi salah satu think tank ekonomi pemerintahan Orde Baru, yang terkenal dengan stabilitas dan pertumbuhannya itu.

Beberapa pertimbangan pemerintah dalam menentukan mitra proyek kereta cepat antara lain kebutuhan investasi, penerapan teknologi, penggunaan tingkat kandungan dalam negeri, harga tiket kepada penumpang, dan juga potensi efek ekonomi yang dihasilkan.

Proyek kereta api cepat Indonesia yang diwacanakan sekelas Shinkansen dengan kecepatan 300 kilometer per jam akan melayani rute Jakarta-Bandung.

Namun, dalam dokumen studi kelayakan Jepang, terdapat wacana rute kereta cepat ini juga akan melayani konektivitas ke Cirebon, bahkan hingga Surabaya.

Untuk rute Jakarta-Bandung, kereta cepat akan memangkas waktu tempuh perjalanan dari dua hingga tiga jam menjadi sekitar 34 menit.

Jepang sudah terlebih dahulu melakukan studi kelayakan tahap pertama dan menyerahkan proposal kepada pemerintah. Menurut data Bappenas, dari proposal Jepang diketahui biaya pembangunan rel dan kereta cepat sebesar 6,2 miliar dolar AS.

Sedangkan, China melakukan studi kelayakan, setelah Jepang. Proposal China senilai 5,5 miliar dolar AS.

Kompetisi Jepang dan China soal ini sangat gencar, termasuk memasang materi berita-iklan secara jor-joran di banyak media massa dan pameran di mal-mal ternama Jakarta.

Editor: Ade Marboen