Sambutan Yoseph Tugio Taher, Buku Karya Suar Suroso “Pikir Itu Pelita Hati”
Penerbit ULTIMUS sudah menerbitkan karya Suar Suroso:
PIKIR ITU PELITA HATI, ILMU BERFIKIR MERUBAH DUNIA,
DARI MARXISME SAMPAI TEORI DENG XIAOPING.
SAMBUTAN
Yoseph Tugio Taher
PEMBUBARAN dan pengusiran paksa para jompo korban Peristiwa 1965 yang berkumpul dan bertemu untuk bersilaturahim dan menceritakan nasib masing‐masing serta untuk mendengarkan wejangan‐wejangan dari utusan pusat mengenai rencana pemerintah untuk para jompo korban Peristiwa 1965, dilakukan oleh para preman dan dibantu aparat pemerintah yaitu kepolisian setempat pada bulan Februari 2015 di Bukittinggi.
Ini adalah suatu contoh dan bukti yang gamblang bahwa jenderal fasis Soeharto yang sempat menguasai Indonesia selama 32 tahun bukan saja telah membawa Indonesia mundur jauh ke belakang, namun juga telah merusak hati nurani dan pikiran bangsa Indonesia sehingga menjadi bodoh dan bertindak semaunya laksana zombie tanpa menggunakan akal dan pikiran. Sangat disayangkan, hal ini justru terjadi di tanah Minang, di mana adat turun‐temurun menjadi landasan pokok pola berpikir manusia. Kejadian serupa juga pernah terjadi di beberapa tempat lain di Indonesia.
Di Minangkabau, semenjak dini, kaum muda telah dibekali dengan cara dan pola berpikir yang mengutamakan pemikiran, kenyataan, dan kebersamaan. Orang‐orang tua menurunkan segala nasihat dan petunjuk untuk kaum muda supaya bisa mengarungi lautan hidup dengan penuh akal pikiran yang baik, bukannya mengumbar segala kejahatan dan kebatilan yang akan menghancurkan dan memporak‐porandakan kehidupan manusia di bumi ini. Banyak contoh dan teladan yang telah diberikan oleh para tetua. Seharusnya kaum muda generasi bangsa bisa belajar darinya.
Namun, semenjak Soeharto yang dengan penuh kelicikan dan kebusukan dapat merebut kekuasaan di negeri ini pada tahun 1965, mulailah secara sistematis dilakukan penghancuran nilai‐nilai luhur atas kehidupan bangsa Indonesia demi melanggengkan kekuasaannya.
Kendatipun kekuatan rakyat telah berhasil mencampakkan fasis Soeharto dari tampuk kekuasaan, namun sistem yang dilahirkannya sudah menjadi warisan turun‐temurun dan alat ampuh bagi elite politik dalam mempertahankan kekuasaan sampai hari ini. Mereka tidak segansegan untuk membiayai preman‐preman bahkan alat negara untuk mempertahankan kedudukan.
Manusia tidak lagi melihat sesuatu berdasarkan fakta dan kenyataan, namun mengikuti arahan, ambisi, dan nafsu yang menjurus pada penghancuran total. Tanpa mengikuti dan mempertimbangkan pemikiran yang jernih. Rezim orba Soeharto menyembunyikan segala kebiadabannya dengan segala macam cara, seperti kebohongankebohongan dalam buku‐buku sejarah, pembuatan film Pengkhianatan G30S PKI, pembangunan Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, dan Buku Putih Kopkamtib 1978 yang mengumbar fitnah bahwa PKI tidak punya andil dalam Revolusi 1945. Padahal kalau kita mau membuka dan belajar dari kebenaran sejarah, Perdana Menteri Republik Indonesia, Amir Sjarifoeddin, tahun 1948 telah menunjukkan bahwa tokoh komunis ini ikut memimpin Republik Indonesia sebagai perdana menteri. Jelas sekali apa yang dikatakan dan ditulis dalam Buku Putih Kopkamtib 1978 adalah satu kebohongan besar dan merupakan pembodohan bangsa.
Setengah abad segala pembohongan dan pembodohan itu merajalela di bumi kita. Para pembohong serta pelaku pembiadaban itu masih terlindung sampai sekarang, sedang para korban didera siksa batin yang tak berkesudahan. Mereka yang tak berdosa sepertinya dipaksa untuk melupakan segala azab dan derita yang dilakukan oknum‐oknum biadab dan aparat pemerintah, hingga mereka mati satu per satu, tanpa adanya niat dan keberanian dari pemerintah untuk meminta maaf dan mengadili yang berdosa dan melakukan pengadilan in absentia bagi yang sudah tiada.
Sejarah akan mencatat, bahwa siapa pun yang menjadi penguasa dan memegang pemerintahan Indonesia, selagi masalah Peristiwa 1965, yaitu pemusnahan 3 juta manusia Indonesia dari satu golongan politik yang dikomuniskan, tidak diselesaikan secara tuntas, selama itu pula pemerintah akan senantiasa dihantui oleh sejarah kelam masa lalu. Dalam situasi demikian, dalam situasi di mana bangsa dan rakyat Indonesia sekarang telah meninggalkan dan melupakan cara pemikiran yang jernih berdasarkan fakta serta kenyataan, telah melupakan asas kebersamaan dan kegotong‐royongan dan menghancurkan nilai‐nilai luhur warisan nenek moyang, di saat kebiadaban merajalela tanpa menggunakan nalar dan pikiran, tak bisa lagi membedakan antara benar dan salah, pikiran siapakah yang tak akan tergugah oleh siksa derita kebiadaban yang melanda bangsa ini?
Di saat inilah seorang putra bangsa, Suar Suroso, menggugah dan mengajak kita semua untuk menggunakan akal pikiran guna melihat segala sesuatu melalui fakta, kenyataan, dan kebenaran, dengan mempersembahkan kepada kita tulisan barunya dalam sebuah buku berjudul Pikir Itu Pelita Hati.
Suar Suroso adalah seorang pemuda Indonesia yang lahir di kota Padang, Indonesia. Semenjak kecil, menerima didikan dan mengeluti ajaran‐ajaran Minangkabau dari ninik‐mamak dan para tetua. Ia dibekali dengan segala ilmu dan petunjuk, pepatah dan petitih yang diterima dan diolahnya dengan akal pikiran berdasarkan fakta, kenyataan, dan kebenaran. Pada masa remaja, Suar Suroso ikut berkiprah dalam Revolusi Bersenjata 1945 di Padang dan mendapat tanda penghargaan dari Gubernur Militer RI, Mr. Mohamad Nasroen.
Suar Suroso juga aktif dalam gerakan Pemuda Indonesia dan mewakili bangsa Indonesia dalam forum Internasional. Sebagai aktivis organisasi pemuda, ia dipercaya mewakili Indonesia dalam berbagai pertemuan pemuda internasional, seperti antara lain di Beijing, Wina, Kairo, Santiago‐Chili, dan mewakili Pemuda Rakyat dalam Gabungan Pemuda Demokratik Sedunia (GPDS) dalam kapasitas sebagai wakil presiden yang berkantor pusat di Budapest. Dalam kapasitas itu ia menghadiri berbagai kegiatan pemuda di Korea, India, Nepal, Sri Langka, Mesir, Maroko, Guinea, Mali, Senegal, Ghana, Jerman, Rumania, Denmark, Finlandia, Polandia, Albania, dan lain‐lain.
Mulai Septembar 1961, ia melanjutkan studi di Fakultas Fisika Universitas Lomonosov, Moskow. Setelah Peristiwa 30 September 1965, pada bulan Agustus 1966 paspornya dicabut oleh KBRI Moskow. Tahun 1967 dinyatakan personanon‐grata oleh pemerintah Sovyet karena memprotes kerja sama antar pemerintah Uni Sovyet dan pemerintah Indonesia di bawah rezim Soeharto. Sejak Februari 1967 meninggalkan Uni Sovyet dan bersama istri dan dua anaknya bermukim di Tiongkok. Sejumlah sajaknya dimuat dalam Di Negeri Orang, kumpulan sajak para penyair eksil di Eropa Barat. Karya‐karya yang sudah dibukukan: Asal‐Usul Teori Sosialisme; Marxisme sampai Komune Paris; Bung Karno, Marxisme, dan Pancasila; ‘Peristiwa Madiun’ PKI Korban Perdana Perang Dingin (Pustaka Pena); PKI Korban Perang Dingin (Era Publisher); Bung Karno Korban Perang Dingin (Hasta Mitra); Kumpulan Puisi Jilid I Jelita Senandung Hidup dan Jilid II Pelita Keajaiban Dunia (Ultimus); Marxisme Sebuah Kajian, Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah; Peristiwa Madiun, Realisasi Doktrin Truman di Asia (Hasta Mitra); dan Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno (Ultimus). Marxisme Sebuah Kajian, Dinyatakan Punah Ternyata Kiprah diterjemahkan dan terbit dalam bahasa Tionghoa dengan judul Makesi Zhuyi De Shijian Yu Fazhan oleh Penerbit Contemporary World Publisher, Beijing.
Buku Pikir Itu Pelita Hati ini merupakan buku kesepuluh Suar Suroso. Membaca dan mempelajari tulisan ini memberi kita pengetahuan yang akan membawa pada pemblejetan atas kebohongan kebohongan yang mengarah pada kebiadaban yang diakukan oleh fasis Soeharto serta semua pengikut dan antek‐anteknya.
Bab pertama Pikir Itu Pelita Hati bertemakan “Dari Pembodohan ke Pembiadaban Bangsa”. Kita dibawa untuk mengerti akan segala kebohongan yang telah dilakukan dan dilancarkan demi melakukan pembodohan bangsa, seperti misalnya fitnah dan pembohongan orba tentang “Mao menghasut Aidit”, pembodohan yang mengeramatkan Pancasila menjadi berhala, kebohongan tokoh‐tokoh orba seperti Nugroho Notosusanto, Arifin C. Noer, bahkan Kopkamtib dan penulispenulis seperti M. Fic, Jung Chang, dan lain‐lain yang semuanya mengarah pada pembodohan dan budaya main kuasa sebagai akar pembiadaban bangsa untuk mempertahankan dan melanggengkan kekuasaan fasisnya.
Begitu banyak jenis pembodohan yang berlangsung di zaman orba. Pembodohan merusak seperti jamur di musim hujan karena rakyat tidak dibekali cara berpikir ilmiah. Rakyat tidak dididik untuk berpikir secara fakta, kebenaran, dan kenyataan. Rakyat hanya dibekali dengan keharusan untuk percaya dan harus mengikut apa yang diperintahkan. Masa itu, bangsa tidak diajarkan untuk menggunakan otak, menggunakan pikiran, dan itu diwarisi sampai sekarang. Padahal dalam kehidupan sehari‐hari, sampai perubahan dalam masyarakat, manusia dibimbing oleh pikirannya. Pikiran ini lahir dari kerja otak. Kalau cara berpikir ngawur, maka hasilnya juga akan ngawur, tidak ada arti sama sekali.
Inilah kunci yang diberikan Suar Suroso dalam buku Pikir Itu Pelita Hati, bahwa: “Betapapun bersimaharajalelanya pembodohan sampai sekarang, pencerahan akan terus berlangsung. Kebebasan berpikir dan bersuara akan berkembang. Pembohongan‐pembohongan dan segala macam fitnah akan kian tertelanjangi. Untuk itu, satusatunya jalan ialah mendorong maju rakyat berpikir ilmiah. Berpikir ilmiah berarti mencari kebenaran dari kenyataan. Segala‐galanya bertolak dari kenyataan. Inilah pandangan materialisme.”
Namun sayang, orang‐orang yang pikirannya telah terkontaminasi pembodohan yang mengarah pada pembiadaban, memandang setiap yang disebut materialisme adalah komunis.
Yang menarik dalam tulisan ini, pada Bab II, Suar Suroso membicarakan secara terperinci masalah agama dan kepercayaan: “Cara Berpikir dan Berbagai Pandangan Hidup di Nusantara, dari Animisme sampai Kebatinan Jawa”. Tidak ketinggalan tentang Hindu, Buddha, Islam, Kejawen, bahkan Bhinneka Tunggal Ika, Walisongo, dan lain sebagainya. Tampak di sini bahwa penulis paham sekali seluk‐beluk tentang segala bentuk kepercayaan di Nusantara. Akan tetapi seperti apa yang dikatakan oleh Geoffrey Parrinder dalam buku World Relegions‐from Ancient History to the Present, bahwa “mempelajari agama yang berbeda tidak perlu berarti tidak setia pada kepercayaan sendiri, tetapi sebaliknya, kepercayaannya dapat diperluas dengan melihat bagaimana orang‐orang lain mencari kenyataan dan memperkaya pencarian mereka.”
Sesungguhnya, dalam mempelajari agama‐agama yang berbeda itu Suar Suroso tidak terjebak dengan sumber kepercayaan‐kepercayaan itu, namun percaya dan berdiri di atas kepercayaan sendiri.
Bahwa “Semenjak lahir dari kandungan ibu, manusia mulai menyusu, mengenal dan meraba untuk menghisap buah dada ibu, mulai melihat, mengenal keadaan sekitar menurut apa adanya, menurut kenyataan. Manusia mulai menggunakan otak, membedakan benda-benda yang ditemui, manusia berpikir secara materialis. Hidup dalam alam terbuka, manusia berkenalan dengan suasana sekelilingnya. Dari melawan haus dan lapar, melawan kedinginan dan kepanasan, manusia jadi berbuat, bertindak menggunakan tangan, melakukan kerja. Kerja syaraf menimbulkan perasaan. Pusat syarat, otak pun berfungsi, bekerja melahirkan pikiran. Jadi, kerja otot diiringi oleh kerja syaraf sampai kerja otak. Kerja otak adalah berpikir, maka kerja badan atau kerja fisik menyebabkan manusia berpikir. Dengan berpikir, lahirlah pikiran. Berpikir itu adalah kerja, hasilnya adalah pikiran. Pikiran adalah hasil pencerminan kenyataan. Pikiran yang bersumber atau bertolak dari kenyataan adalah materialis. Cara memandang hal ihwal dengan bertolak dari kenyataan adalah materialisme.” Semenjak manusia mulai berpikir sudah menggunakan pandangan materialis. Inilah kunci dari tulisan Suar Suroso dalam buku Pikir Itu Pelita Hati.
Dalam bab‐bab selanjutnya kita akan melihat pembelajaran terhadap teori‐teori tentang fakta, kenyataan, dan kebenaran yang dihasilkan dari kerja otak, pikiran, dan disebut materialisme, yang oleh orang‐orang dengan pikiran cupet dianggap sebagai tabu. Dimulai dari perkenalan tentang Marxisme dengan Bung Karno dalam karya Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme (1926) sampai hal‐hal yang merupakan fakta, kenyataan, dan kebenaran dalam ajaran Marxisme. Semua itu bisa kita hayati dengan menggunakan kerja otak, yaitu pikiran. Karenanya, Pikir Itu Pelita Hati adalah suatu karya tulisan yang sangat baik dan berguna sekali untuk bangsa yang masih terbelenggu dengan pembodohan dan kebiadaban yang diwariskan orba Soeharto.
Buku Pikir Itu Pelita Hati adalah seumpama cambuk buat orang-orang yang menjadi korban pembodohan yang menjurus pada pembiadaban. Generasi muda yang menggunakan nalar dan pikiran, yang menilai sesuatu dengan fakta, kenyataan, dan kebenaran, pasti akan menyambut gembira atas hadirnya buku Pikir Itu Pelita Hati ini.
Inilah pedang, inilah senjata, dan inilah dian yang akan membantu memberi penerangan dalam kegelapan masa kini.
Kepada penulis disampaikan salam dan terima kasih karena telah berhasil menyusun dan menulis buku yang berharga ini.
Australia, 5 Maret 2015
SAMBUTAN CHALIK HAMID
PIKIR ITU PELITA HATI, ILMU BERFIKIR MERUBAH DUNIA,
DARI MARXISME SAMPAI TEORI DENG XIAOPING.
Setelah tercapai kemerdekaan, lagi‐lagi Bung Karno menunjukkan niat dan tujuan bahwa negeri Indonesia jangan sampai dikuras oleh modal asing. Bung Karno memiliki sikap bahwa negeri Indonesia yang sudah dibebaskan dengan darah dan keringat, harus dibangun oleh bangsanya sendiri dengan menggunakan tenaga para pemuda Indonesia. Ia berusaha agar pembangunan negeri dilakukan oleh putra‐putri Indonesia, terbebas dari para ahli dan teknisi asing. Oleh sebab itu, sejak semula Bung Karno berusaha membangun kader‐kader muda dengan mengirimkan mereka untuk belajar ke luar negeri, di samping yang ditempa di berbagai universitas di dalam negeri. Bung Karno, melalui Kementerian Pendidikan, mengirim para
pemuda/i belajar ke Amerika Serikat dan Kanada, ke negeri‐negeri Eropa Barat seperti Jerman, Perancis, Inggris, dan Belanda. Tidak kurang banyaknya juga dikirim ke Rusia (dulu pusat Uni Republik Sosialis Sovyet), Bulgaria, Hongaria, Republik Ceko (dulu bergabung dengan Slowakia menjadi Cekoslowakia), Rumania, Polandia, dan Albania. Banyak pula dikirim ke Tiongkok, Jepang, Korea, Australia, hingga Kuba. Namun, pada akhirnya cita‐cita luhur dan besar Bung Karno itu mengalami kegagalan sebagai akibat berhasilnya jenderal fasis Soeharto merampas kekuasaan dari tangan pemerintahan sah Bung Karno.
Soeharto dengan kejam menjadikan Bung Karno sebagai tahanan rumah dan akhirnya meninggal dunia karena penyakitnya tidak mendapatkan pengobatan yang layak. Soeharto berhasil merekayasa Tap MPRS No.25/1966 yang melarang keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan melarang ajaran Marxisme–Leninisme di Indonesia. Soeharto juga berhasil menelurkan Tap MPRS No.33/1967, di mana Presiden Soekarno dinyatakan sebagai pengkhianat karena memihak PKI. Dengan demikian, seluruh kekuasaan negara RI sepenuhnya jatuh ke tangan Jenderal Soeharto dan dengan leluasa ia melakukan pembunuhan terhadap rakyat Indonesia. Tidak tanggung‐tanggung ia telah membunuh 3 juta rakyat Indonesia, mengasingkan ribuan patriot dan pejuang ke Pulau Buru. Penjara di seluruh Indonesia penuh sesak, pemerkosaan dan pencabulan terhadap kaum wanita yang dilakukan oleh ABRI terjadi di mana‐mana.
Demikian pula yang terjadi terhadap warga Indonesia yang berada di luar negeri. Terhadap para mahasiswa terutama yang belajar di Eropa Timur dilakukan pemaksaan. Beberapa KBRI orba di berbagai negara Eropa Timur memaksa para mahasiswa agar mengakui pemerintahan Soeharto sebagai pemerintahan yang sah. Namun, sebagian besar mahasiswa tidak mau mengakui kekuasaan Soeharto, mereka tetap mengakui Bung Karno sebagai Presiden RI dan bahkan mengutuk pemerintahan Soeharto.
Sebagai akibat perlawanan ini, beberapa KBRI orba Soeharto memanggil dan mencabut paspor para mahasiswa ikatan dinas (mahid) tersebut. Mereka kehilangan identitas dan terpaksa menjadi staatenloos (tidak memiliki kewarganegaraan). Mereka ini banyak terdapat di berbagai negeri, terutama di Eropa Barat seperti di Belanda, Jerman, Perancis, Swedia, dan negeri‐negeri
Eropa Timur seperti di Republik Ceko, Rusia, Hongaria, Polandia, Albania, Bulgaria, dan bahkan juga di Tiongkok, Hongkong, Kuba, dan Australia. Bersama dengan orang‐orang Indonesia lain yang pernah mendapat tugas di berbagai ormas internasional dan lembaga negara seperti KBRI, para mahid itu menjadi orang‐orang gelandangan di negeri orang. Sia‐sialah pengetahuan yang mereka peroleh dengan menamatkan studi yang mestinya diabdikan di Indonesia sesuai dengan keinginan dan harapan Bung Karno.
Suar Suroso, pengarang buku Pikir Itu Pelita Hati’ yang sedang kita hadapi ini merupakan salah seorang korban kebiadaban rezim fasis Jenderal Soeharto. Paspornya dirampas oleh KBRI di Moskow ketika itu. Ia termasuk orang yang dilarang pulang ke negeri leluhurnya, Indonesia. Betapa banyak orang sepertinya menjadi “orang kelayaban” di luar negeri, istilah yang dilontarkan Gus Dur ketika ia menjadi Presiden RI.
Saya kemukakan beberapa nama sekedar contoh sebagai orang yang tergusur dari negerinya. Duta Besar RI untuk RRT, Djawoto, dilantik Bung Karno bertugas di Beijing. Ia tak diizinkan pulang dan meninggal dunia di negeri Belanda. Saudara Sukrisno, pernah menjadi Dubes RI di Rumania dan Vietnam, meninggal dunia di Belanda dan dikubur di negeri itu. Saudara M. Ali Chanafiah, Dubes RI di Sri Langka, meminta suaka di Stockholm, Swedia. Kemudian kembali ke Indonesia dan meninggal dunia di sana. Saudara A.M. Hanafi, Duta Besar RI untuk Kuba, di zaman reformasi kembali dan meninggal dunia di Indonesia. Saudara Tahsin, Duta Besar RI di Mali, tidak bisa pulang
ke Indonesia, lalu minta suaka dan meninggal dunia di negeri Belanda.Beberapa nama lain yang pernah bertugas di berbagai lembaga internasional dan instansi negara di luar negeri: Yusuf Adjitorop (Josep Simanjuntak), anggota Politbiro CC PKI, Ketua Delegasi CC PKI di Tiongkok, meninggal dunia di Beijing; Wijanto Rachman, bertugas di Konakri, Guinea, meminta suaka dan meninggal dunia di Belanda; Agam Wispi, seorang penyair terkenal Indonesia, meninggal dunia di Belanda; A. Suhaimi, pemimpin redaksi harian Gotong Rojong Medan, meninggal dunia di Belanda; A.S.Munandar, dosen Akademi Ilmu Sosial Aliarcham, meninggal dunia di Belanda; Z. Afif, dosen bahasa Indonesia di Universitas Kwangchow, meninggal dunia di Swedia; Sobron Aidit, dosen bahasa Indonesia di Universitas Beijing, meninggal dunia di Perancis; Anwar Dharma, wartawan Harian Rakjat Jakarta di Moskow, meninggal dunia Beijing; Kamaludin Rangkuti, dosen bahasa Indonesia di Bejing, meninggal dunia di
Belanda; Azis Akbar, sastrawan dari Medan, meninggal dunia di Jerman; Ibrahim Isa, perwakilan tetap Indonesia di Organisasi Internasional Solidaritas Rakyat‐Rakyat Asia–Afrika (OISRAA) di Kairo, kini berdomisili di Amsterdam, Belanda; Francisca Pattipilohy, kini bertempat tinggal di Amsterdam; Suar Suroso, mewakili Pemuda Indonesia dalam Gabungan Pemuda Demokratik Sedunia (GPDS) di Budapest, kini berdomisili di Tiongkok; Francisca Fanggidaej, berangkat ke luar negeri mengikuti Konferensi Yurist Internasional dan pernah mengikuti Konferensi Pemuda Asia Tenggara Kalkuta di India, meninggal dunia di Belanda; Umar Said, pemimpin redaksi harian Ekonomi Nasional Jakarta, meninggal dunia di Paris, Perancis; Utuy Tatang Sontany, pengarang drama (dramaturg) terkenal Indonesia, meninggal dunia di Moskow; Setiati Surasto, wakil SOBSI di Gabungan Serikat Buruh Sedunia berkedudukan di Praha, Republik Ceko, meninggal dunia di Swedia. Beberapa nama tokoh lainnya
adalah: Nungcik A.R.,Ketua Fraksi PKI dalam DPR GR meninggal dunia di Tiongkok; G.H. Simamora, meninggal dunia di Tiongkok; Rollah Sjarifah, penterjemah banyak karya Marxisme meninggal dunia di Belanda; Darmini mantan wakil Gerwani pada GWDS, Sofyan Waluyo, meninggal dunia di Swedia; Margono, wakil Pemuda Rakyat di Markas GPDS meninggal dunia di Paris; Budiman Sudharsono, anggota MPRS, mantan Ketua Umum IPPI, wakil sekjen DPP Pemuda Rakyat meninggal dunia di Paris; Willy Hariandja, meninggal dunia di Tiongkok; Supangat, meninggal dunia di Belanda; Aslam Hariadi, meninggal dunia di Belanda; Rustomo, meninggal dunia Tiongkok; Rumambi, meninggal dunia di Tiongkok; Zaelani, anggota Politbiro CC PKI, meninggal dunia di Belanda; Surjo Subroto, meninggal dunia di Belanda; Kondar Sibarani, meninggal dunia di Jerman; Supeno, pimpinan Kantor Berita Antara meninggal dunia di Belanda; Suryono, meninggal dunia di Belanda; Didi Wiharnadi wakil sekjen SOBSI dan
Suparna Sastradiredja, tokoh Sarbupri, meninggal dunia di Belanda. .
Saya sengaja menuliskan nama‐nama tersebut di atas agar orang bisa mengetahui apakah tokoh‐tokoh tersebut masih hidup atau sudah meninggal dunia. Dengan demikian bisa diketahui di mana kuburnya. Sekaligus orang akan mengetahui betapa kejamnya perlakuan orde baru yang dikepalai Jenderal Soeharto terhadap warganya. Dalam nama nama tersebut di atas belum termasuk nama para mahid (mahasiswaikatan dinas) yang dilarang pulang ke Indonesia dan meninggal di luar negeri serta dikuburkan di negeri orang.
Sebenarnya Presiden Gus Dur pernah melakukan niat baik untuk memulangkan orang‐orang Indonesia yang terhalang pulang dan bergelandangan di luar negeri. Awal tahun 2001 ia mengirimkan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra, agar memulangkan mereka ke Indonesia. Yusril pun berusaha mengumpulkan masyarakat Indonesia di Kedutaan Besar RI di Belanda. Ia menjelaskan bahwa dalam waktu dekat ia akan mengembalikan “orang‐orang kelayaban” itu ke tanah tumpah darahnya. Namun, setelah ia kembali ke Indonesia, ia pun melupakan janji yang pernah ia ucapkan. Ia mendapat tekanan dari partainya, PBB (Partai Bulan Bintang), seolah‐olah Yusril akan menghidupkan kembali komunisme di Indonesia. Sebuah pandangan yang tidak sesuai dengan kenyataan konkret di Indonesia, dan akhirnya menteri terhormat ini bungkam seribu bahasa. Tak lama kemudian Gus Dur pun terjungkal dari kursi kepresidenan. Usaha pemulangan para mahid itu pun lenyap bagaikan secangkir air tumpah
ke pasir.
Tulisan ini sudah menerawang jauh, hampir meninggalkan tugasnya sebagai kata sambutan terhadap terbitnya buku Pikir Itu Pelita Hati. Menurut pendapat saya, buku Suar Suroso yang kesepuluh ini hampir mirip dengan buku‐buku terdahulu, sejak yang pertama hingga yang kesembilan, Akar dan Dalang Pembantaian Manusia Tak Berdosa dan Penggulingan Bung Karno, kecuali buku ketujuh—Jelita Senandung Hidup dan kedelapan—Pelita Keajaiban Dunia. Dua buku, ketujuh dan kedelapan itu, merupakan kumpulan puisi yang menyenandungkan tanah air Indonesia, keindahan alamnya, kekayaan buminya, kecintaan rakyat terhadap negerinya. Di luar dua buku ini, buku‐buku lainnya saling bertautan dan saling mengisi, merupakan sejarah perkembangan masyarakat pada zamannya.
Oleh sebab itu, buku‐buku ini sangat berguna bagi siapa pun, terutama bagi generasi muda dan penerus bangsa, agar bisa belajar dengan baik dalam meneliti perkembangan masyarakat dengan berbagai ideologi dan ajaran‐ajaran keyakinan yang berkembang sesuai dengan zamannya. Kita bisa belajar bagaimana berbagai ajaran Hindu, Buddha, Kejawen, bahkan sampai masuknya Islam ke Indonesia. Namun juga merupakan satu kenyataan, kita tidak bisa menampik, merasuk dan berkembangnya ajaran Marxisme–Leninisme lewat karyakarya Alimin, Tan Malaka, Njoto, D.N. Aidit, dan bahkan Bung Karno dengan tulisannya Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme.
Sangat menarik dimuatnya dalam buku ini sebuah bantahan seolah Mao Zedong menghasut Aidit untuk mengadakan sebuah gerakan di Indonesia ketika Bung Karno menderita sakit. Bantahan demikian ini sangat diperlukan dalam usaha pelurusan sejarah yang dipelintir oleh orde baru, terutama untuk pembelajaran bagi generasi muda. Termasuk pelurusan anggapan bahwa PKI turut sebagai dalang G30S.
Dalam kumpulan puisi Di Negeri Orang, Nurdiana menulis sebuah puisi dengan judul “Adat Hidup”. Penulis Nurdiana tak lain adalah nama pena Suar Suroso dalam penulisan puisi. Dalam puisi itu ia menuliskan:
Bila dahaga,
sungguh terasa nikmatnya air,
di kala lapar,
terasa benar lezat makanan;
kapan kepanasan,
terasa nyaman embun di pagi hari;
ketika dingin,
amat terasa hangat api membara;
bilamana gelap dicengkam kelam,
betapa terasa terang sang Surya;
semasa terkurung di penjara,
alangkah terasa bahagia kebebasan.
Dan di kala terpaksa berkelana di pengasingan,
terasa nian
indahnya kampung halaman.
Buku Pikir Itu Pelita Hati, karya kesepuluh Suar Suroso ini mengandung banyak bahan pelajaran yang perlu diketahui oleh siapa pun, terutama bagi generasi muda penerus bangsa untuk meraih kemerdekaan penuh, terbebas dari neo‐kolonial dan neo‐liberal.
Presiden Jokowi ketika membagikan buku‐buku kepada anak‐anak generasi muda selalu berpesan, “Membacalah, dan bangsa ini akan terhindar dari buta karena ketidaktahuan.”
Pada tanggal 16 Mei 2015, Suar Suroso genap berusia 85 tahun. Dalam usia tua ia masih terus kreatif melahirkan berbagai macam tulisan. Tentu saja kita menunggu karya‐karya Bung Suar selanjutnya yang sangat dibutuhkan anak bangsa.
Amsterdam, 10 Februari 2015