SEKITAR “SOSIALISME DENGAN CIRI-CIRI TIONGKOK”

SEKITAR “SOSIALISME DENGAN CIRI-CIRI TIONGKOK”
Oleh Ibrahim Isa [<i.bramijn@chello.nl>]
in: GELORA45 <GELORA45@yahoogroups.com>,: Friday, 9 August 2013, 19:24
(1)
Ia memilih mengambil temaTiongkok untuk meraih gelar doktoralnya di Univesitas Wageningen (2000). Sikapnya terhadap Tionkgok amat bersahabat dan dalam masalah hubungan dua negeri, TM selalu menempatkan kepentingan memperkokoh saling-mengerti dan persahabatan antara Tiongkok dan Indonesia, di atas lainnya.
* * *Untuk lebih mengefektifkan kegiatan sosial di bidangnya, dan didorong rasa rindu Tanah Air, T.M. Siregar bersama istri memutuskan pindah ke Indonesia, dan memulai proses memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia, yang dengan sewenang-wenang direnggutkan oleh penguasa Indonesia ketika itu. Sayang, di Indonesia ia jatuh sakit dan tak lama kemudian meninggal dunia di Jakarta.
Oleh kawan-kawan dekatnya, TM Siregar akan senantiasa dikenang sebagai seorang patriot progresif yang kecintaan dan pengabdiannya pada Indonesia di atas segala-galanya. Hasratnya memperkokoh persahabatan antara rakyat Indonesia dan rakyat Tiongkok, kita saksikan a.l dengan skripsi doktoral yang dipilihnya: TENTANG TIONGKOK.
* * *
MENSTUDI TIONGKOK, MENCARI KEBENARAN DARI KENYATAAN <T.M. Siregar Meraih gelar Ph.D pada Universitas Wageningen>
* * *
Dalam rangka MENELUSURI SEKITAR PENTRAPAN “SOSIALISME DENGAN CIRI-CIRI TIONGKOK” , hari ini dimulai serentetan tulisan/artikel terkait masalah itu. Dimulai dengan republikasi Kolom I.I, tertanggal 09 Juni 2000 berjudul MENSTUDI TIONGKOK, MENCARI KEBENARAN DARI KENYATAAN <T.M. Siregar Meraih gelar Ph.D pada Universitas Wageningen> , sbb:
“MENSTUDI TIONGKOK, MENCARI KEBENARAN DARI KENYATAAN”
<T.M. Siregar Meraih gelar Ph.D pada Universitas Wageningen>
Sembilan Juni, 2000, bukanlah hari yang biasa-biasa saja bagi sahabat dekat saya, T.M. SIREGAR. Pada hari yang punya arti istimewa baginya itu, ia telah berhasil menyelesaikan _proefschriftnya_ yang berjudul “CHINA’S ECONOMIC REFORM: FROM RURAL FOCUS TOINTERNATIONAL MARKET”dan meraih gelar PH.D. pada Universiteit Wageningan , Nederland. Selain para undangan yang hadir dalam upacara peresmian , juga tampak Hasyim Saleh, wakil Dutabesar
Indonesia di Nederland. Prestasi ini dicapainya dalam keadaan yang tidak mudah bagi diri dan istrinya.
Pada upacara yang dipimpin oleh Prof. Dr. B. Beekman itu, telah diperdebatkan pelbagai masalah yang diajukan oleh para profesor dari Komisi seperti, mengenai peranan teori Mao Tsetung dalam transformasi ekonomi pedesaan, saling hubungan antara sistim ekono- nomi/politik di Tiongkok
dengan pemberlakuan HAM, pragmatisme dalam ekonomi, dll. Semua pertanyaan tsb telah dapat dijawab oleh T.M. Siregar.
.
T.M. Siregar sudah lebih dari 30 tahun bermukim di luar negeri. Sejak peristiwa 30 September 1965, ia tidak bisa kembali ke Indonesia, karena paspornya telah dicabut oleh pemerintah yang ketika itu sudah dikuasai oleh mantan Jendral Suharto. Pencabutan paspor tsb, disebabkan oleh sikapnya yang menolak untuk menandatangani pernyataan mengutuk G30S dan pemerintahan
Presiden Sukarno. Pernyataan tsb disodorkan oleh perwakilan Indonesia di Praha saat itu. Seorang atase militer Indonesia dari Praha, khusus dikirim ke Berlin untuk mendesak T.M. Siregar menandatangani pernyataan tsb. Ketika itu TM Siregar, atas tugas pemerintah Indonesia sedang belajar di “Hochschule fur Oekonomie in Berlin”

Mengapa T.M. Siregar mengambil tema salah satu bidang penting dari ekonomi Tiongkok, sebagai tema studi untuk post-graduate studynya? Keterangannya sederhana, tetapi prinsipil.

Alasannya ialah, karena rasa hormatnya pada suatu negeri yang, menurut Siregar, praktek aktualnya merupakan contoh yang baik dan , barangkali, mengandung kebenaran universal di dalam pengalaman tsb. Menurut Siregar, apa yang telah dicapai Tiongkok adalah penting untuk negeri-negeri yang sedang berkembang lainnya, juga untuk dunia yang sudah maju. Ia memilih Tiongkok sebagai obyek studinya, karena Tiongkok adalah sebuah negeri yang besar, berpenduduk 1,3 milyar, dengan tanggungjawab yang besar bagi rakyatnya dankemanusiaan.

Latar belakang lainnya mengapa Siregar memilih tema Tiongkok, ialah karena sejak 1968 sampai dengan 1981, ia berada di Tiongkok. Kemudian ia sekali lagi mengunjungi Tiongkok pada tahun 1993 untuk keperluan melengkapi studinya itu.

Karya studinya itu terdiri dari empat bagian. Bagian Pertama, menjelaskan tentang latar belakang sejarah masa sebelum Reform dan Keterbukaan (Opening-up). Bagian Kedua dan Ketiga, merupakan fokus utama dari proyek riset ini, yang menyoroti masalah Reform dan Keterbukaan (Opening-up), dengan titik berat pada perkembangan agrikultur dan perkembangan sektor-sektor non-agrikultur, yaitu _Village Township Enterprises (VTE_s)_. Bagian Keempat, merupakan prediksi mengenai prospek ekonomi Tiongkok dimasa mendatang.

* * *

Tiongkok adalah salah satu negeri sosialis yang bisa bertahan melewati kancah _perang dingin_, dan tidak ambruk dalam persaingan dengan negeri-negeri kapitalis Barat, khususnya Amerika Serikat. Dari situ Tiongkok telah menarik pelajaran dari pengalaman pembangunan sosialis di negeri sendiri dan dari negeri-negeri blok Sovyet lainnya , sebelum blok itu runtuh. Setelah mengambil kesimpulan, yang dianggapnya sesuai, Tiongkok menempuh jalan sosialisnya sendiri. Mengenai Tiongkok pasca _perang dingin_ ini, pada pokoknya, boleh dibilang terdapat tiga macam analisis dan penilaian yang berbeda-beda.
Pendapat yang Pertama:
Usaha kaum Komunis Tiongkok untuk menghapuskan sistim feodalisme dan kapitalisme di Tiongkok dan menggantikannya dengan sistim ekonomi sosialis menurut ajaran Marx, telah mengalami kegagalan. Seperti halnya kegagalan sosialisme di Uni Sovyet dan negeri-negeri blok Sovyet lainnya. Sistim kapitalisme yang ternyata lebih unggul, telah kembali
beroperasi dan berkembang di Tiongkok. Sekarang Tiongkok adalah negeri kapitalis. Ini analisis dan kesimpulan pendapat pertama.
Yang Kedua ,
Menilai bahwa Tiongkok, yang sejak berdirinya R.R.T. dianggap sebagai suatu negeri yang melakukan pembangunan ekonomi atas dasar ajaran sosialisme Marx sebagai pedoman teorinya, telah mengalami perubahan fundamental. Tiongkok Sosialis telah berubah menjadi Tiongkok yang menempuh jalan kapitalisme. Tiongkok bukan lagi negeri sosialis, demikian kesimpulan pandangan kedua.
Analisis dan kesimpulan Ketiga, sbb:
Tiongkok masih tetap sebuah negeri sosialis yang berpedoman pada ajaran dan teori Marxis. Menurut pendapat ini, atas dasar pengalamannya sendiri, Tiongkok telah menyesuaikan teori dan ajaran Marxis, dengan keadaan kongkrit Tiongkok. Dalam mengurus ekonomi negeri, dewasa ini Tiongkok mengkombinasikan sistim perencanaan sentral dengan mekanisme pasar, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Jalan baru yang ditempuh Tiongkok, tetap menuju ke sosialisme. Dewasa ini kebijaksanaan ekonomi yang baru, telah mendorong pertumbuhan ekonomi nasional yang pesat dan meningkatkan taraf hidup rakyat pada umumnya. Ini adalah analisis dan kesimpulan pendapat ketiga.
Kesimpulan mana yang lebih sesuai dengan kenyataan masih harus dibuktikan dalam proses selanjutnya.
Studi T.M. Siregar memberikan tambahan masukan dan mendorong orang berfikir, apa yang sebenarnya sedang terjadi di Tiongkok, khususnya yang menyangkut pembangunan ekonomi dari suatu negeri yang sedang berkembang, dan bagaimana pula haridepan dan dampaknya terhadap perkembangan ekonomi dunia di masa mendatang. Dalam hubungannya dengan Indonesia, hasil studi TM Siregar ini punya arti khusus, mengingat prakarsa Presiden Abdurrahman Wahid, untuk menjalin hubungan kerjasama yang lebih erat di berbagai bidang antara Indonesia dengan Tiongkok.
T.M. Siregar menyatakan, bahwa tujuan studinya itu, pertama-tama dan terutama, adalah untuk “MENCARI KEBENARAN DARI KENYATAAN”. Dalam studinya itu Siregar menggunakan kenyataan, eksperimen, dan literatur dari sumber aslinya. Ia juga mempertimbangkan bahan kritis, komentar dan literatur lainnya dari luar Tiongkok.

Dalam salah satu percakapannya dengan saya, Siregar menyatakan bahwa ia telah menyampaikan hasil studinya itu secara resmi kepada Presiden Abdurrahman Wahid, ketika beliau berkunjung ke Belanda dalam bulan Februari y.l. Kepada Dutabesar Indonesia di Belanda, Abdul Irsan, dengan mana ia Siregar sudah lama menjalin komunikasi, juga telah disampaikannya hasil studinya itu.

Menurut Siregar studinya itu, juga sebagai usaha penunaian tugas dan bukti tanggung jawabnya kepada negara dan pemerintah Indonesia, yang dalam 1964, ketika ia masih berfungsi sebagai Kepala Bagian Luarnegeri dari Departemen Transkopemada, telah mengirimkannya ke luar negeri untuk belajar ekonomi.

Di Indonesia dewasa ini, telalu amat sedikit pakar yang secara khusus melakukan studi tentang pembangunan ekonomi Tiongkok, khususnya tentang reform ekonomi pedesaan Tiongkok, yang melakukannya dengan suatu sikap yang tidak apriori, yang betul-betul obyektif. Dari segi ini, inisiatif dan studi yang dilakukan oleh T.M. Siregar, mungkin merupakan suatu penerobosan, yang akan bermanfaat untuk usaha-usaha serupa diwaktu mendatang. Maka usaha TM Siregar itu seyogianya perlu disambut, disokong dan dikembangkan.

Sejak berdirinya Orba, literatur mengenai Tiongkok, yang terdapat di Indonesia, apalagi literatur yang menyangkut studi mengenai masalah politik- ekonomi Tiongkok, amat dipengaruhi dan didominasi oleh politik resmi Orba yang ketika itu tidak bersahabat, kalau tidak hendak dikatakan suatu politik yang bermusuhan dengan Tiongkok.

Dari segi lain, T.M. Siregar, yang sudah hampir 80 umurnya itu, telah menunjukkan dan memberikan dorongan kepada teman-teman dan kawan-kawannya, bahwa umur bukanlah rintangan yang tidak dapat diatasi, untuk terus aktif berkecimpung di bidang ilmu. Ini bisa dilihat dari prakarsa yang direalisasinya bersama dengan sejumlah teman-teman, ketika beberapa tahun yang lalu bersama-sama mendirikan lembaga studi di Amsterdam, yaitu Stichting Azie Studies voor Onderzoek en Informatie_ yang berkecimpung di bidang studi dan informasi mengenai masalah-masalah Asia. Sampai sekarang TM Siegar adalah ketua dari _Stichting Azie Studies_ tsb.

Meskipun, diluar kehendaknya sendiri, ia terpaksa tidak bisa pulang, TM Siregar dengan efektif memanfaatkan kehadirannya di luarnegeri. Sampai saat ini TM Siregar bersama istrinya, berdomisili di Amsterdam.

Sebagai teman dekatnya, saya kira tidak salah bila saya katakan bahwa banyak teman yang mengenalnya dari dekat, akan sependapat dengan saya bila kita ucapkan selamat dan bahagia kepada TM Siregar dan kepada istrinya, yang keberadaannya disisinya , sebagai teman hidup yang setia, telah memberikan bantuan dan dukungan moral yang kuat pada suaminya.

Semoga harapan TM Siregar, agar studinya berhasil untuk menemukan sampai batas mana Tiongkok dapat berperan sebagai “model” bagi dunia dalam mencari solusi mengenai masalah-masalah sosial-ekonomi dan politik global, bisa terrealisasi. []

SARJANA LULUSAN MALUKU TERGANJAL SYARAT CPNS

Sarjana Lulusan Maluku Terganjal Syarat CPNS

Komentar “khairuddin siregar peace14051959@yahoo.com . in:[ppiindia]” ppiindia@yahoogroups.com, Thursday, 16 October 2014, 11:53

Keputusan yang tidak berkeadilan. Gaji pegawai negeri yang datang dari rakyat tidak mempunyai syarat akreditasikan? mohon perbesar kesadaran bernegara dari aparat Kementerian pedaya-gunaan aparatur negara jangan kami di diskriminasi karena pembangunan yang tidak mampu didistribusikan pemerintah secara baik dan benar. kami yang di daerah tidak mempunyai fasilitas belajar seperti apa yang ada di jawa maupun bali atau wilayah yang pendidikannya sudah mumpuni. kami anak manusia mempunyai potensi yang sama dengan anak lainnya namun karena kurang diperhatikansehingga menjadi anak bawang dalam negara republik ini.
Komentar’Sunny’ ambon@tele2.se in:[ppiindia]” ppiindia@yahoogroups.com, Thursday, 16 October 2014, 3:29

“Takdir kekuasaan neo-Mojopahit, makanya masuk katagori tidak laku.”

http://www.ambonekspres.com/index.php/aeheadline/item/2969-sarjana-lulusan-maluku-terganjal-syarat-cpns

• Kamis, Agu 21 2014 , Ditulis oleh amex

Pengamat: Akreditasi B, Bentuk Diskriminasi
AMBON, AE.—Pemerintah pusat mulai memperketat penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil, terutama dari sisi kualitas. Karena itu, dalam penerimaan CPNS kali ini, hanya perguruan tinggi yang memiliki minimal akreditas B dan jebolan universitas luar negeri saja bisa lolos. Jebolan universitas berakreditas C atau dibawah terancam tak bisa diterima.
Dari penelusuran Ambon Ekspres di link penerimaan CPNS Online milik Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, tertera salah satu syarat CPNS harus berasal dari universitas atau perguruan tinggi minimal berakreditas B atau lulusan luar negeri. Sementara akreditas C tidak disebutkan.
Syarat ini kembali dipertegas oleh pernyataan Kepala Bidang Perencanaan Sumberdaya Manusia Kemenpan-RB Syamsul Rizal. Kata dia, Kemenpan- RB tengah mendorong terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas, untuk menjadi PNS. Karena itu, untuk penerimaan CPNS, pemerintah tidak menerima pelamar lulusan universitas dengan akreditasi C. Hal itu berlaku baik di pusat maupun di daerah.
“Kami tentu menginginkan putra-putri terbaik untuk dapat masuk dalam jajaran Pegawai Negeri Sipil (PNS). Seperti Kementerian Keuangan dan Kementerian Luar Negeri, bahkan menetapkan pelamar harus dari universitas yang terakreditasi A,” terang Syamsul Rizal dilaman yang sama, Jumat (4/7) lalu.
Namun demikian, bagi lulusan universitas terakreditasi C, bisa melamar posisi CPNS yang membutuhkan kualifikasi Sekolah Menengah Atas (SMA).
Penjelasan Rizal berbeda dengan, apa yang disampaikan Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Eko Prasojo sebelumnya di laman Tanjungpinag Pos , edisi (15/7). Dia menyebut, secara nasional tidak ada syarat akreditasi di dalam mendaftar CPNS.
“ Secara nasional tidak ada syarat yang boleh mengikuti CPNS harus lulusan dari perguruan tinggi yang terakreditasi B. Namun kalau ada bisa saja syarat tersebut karena ditambah,” ungkap Eko sebagaiaman ditulis Tanjungpinang Pos.
Pengamat pendidikan Universitas Pattimura Ambon, Abraham Mariwy. SPd, Msi mengatakan, penerapan syarat akreditasi B bila diberlakukan untuk Perguruan Tinggi, maka dapat dipastikan, semua para lulusan dari semua PT di Maluku tidak berkesempatan untuk mengadu nasib dalam CPNS tahun ini.
“ Kalau syaratnya akreditasi universitas, maka lulusan Unpatti juga tidak dapat mendaftar sebagai CPNS, karena Unpatti juga masih akreditasi C,” katanya, Selasa (20/8).
Menurut Mariwy, akan lebih baik bila syarat akreditasi hanya diberlakukan pada tingkat Program study sebagai ujung tombak penyelengaraan akedemik dilingkungan Perguruan Tinggi.
Dikemukakan, proses untuk mendapatkan akreditasi bukan hal mudah. Butuh proses dan upaya yang serius dari semua pihak di kampus. Sehingga, tidak tepat bila syarat tersebut diberlakukan untuk Maluku yang memiliki keterbatasan untuk mendapatkan akreditasi.
“ Bagian dari syarat akreditas adalah tersedianya fasilitas di kampus yang memadai dan jumlah program studi yang telah diakreditasi sudah mencapi minimal 60 persen. Sementara kita di Maluku kan daerah bekas konflik, banyak fasilitas yang hancur sehingga butuh waktu untuk menyediakannya,” terangnya.
Akademisi Universitas Darussalam Ambon Zulfikar Lestaluhu mengatakan hal yang sama. “ Penetuan akreditasi B untuk penerimaan CPNS ini kan sebetulnya program pemerintah untuk peningkatan mutu sumber daya manusia PNS. Tapi, jangan dilupakan standar akreditasi B ini kan belum merata untuk untuk semua perguruan Tinggi di Indonesia,” kata Lestaluhu.
Disebutkan, sebagian besar PT di wilayaah Indonesia bagian barat rata-rata akreditasi B. Oleh karena itu, dengan penentuan seperti ini, tentu ini ada semacam diskrminasi terhadap calon PNS di derah.
“ Karena kita punya PTS maupun PTN di daerah di wilayah Indonesia Timur, termasuk Maluku ini pada umumnya punya akreditasi, baik prody maupun Universitas C. Jadi kalau seperti demikian, artinya mengurangi jumlah PNS yang dari Indonesia timur,” katanya.
Pembantu IV Rektor Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM), Nicholas Retraubun menilai penetapan syarat ini akan membatasi peluang para pencari kerja di beberapa daerah, termasuk Maluku yang lulus dari Perguruan Tinggi dengan akreditasi belum mencapai nilai B.
Menurut Retraubun, penetapan syarat ini akan membuat program pemerintah untuk menurunkan tingkat pengangguran di daerah ini tidak akan terbantu dengan penerimaan CPNS. Sebab, dari sekian pencari kerja saat ini, banyak diantaranya yang merupakan lulusan dari perguruan Tinggi yang belum berakreditasi B. “ Kalau pemerintah tetap menggunakan sistem ini, ya merugikan anak daerah yang tidak memenuhi syarat tersebut,” kata Retraubun kepada Ambon Ekspres, Rabu (20/9).
“ Ini jelas tidak adil. Pemerintah sudah mengizinkan pergutuan Tinggi beroperasi, tapi lulusannya tidak diterima. Ini kan masalah,” tegasnya.
Dikatakan, semua warga negara Indonesia yang telah lulus Perguruan Tinggi itu, sudah memenuhi syarat. Akreditasi hanya sebuah penilaian administrasi untuk menilai sisi penataan adminsitasi suatu perguruan Tinggi.
“ Akreditasi adalah masalah lembaga, sementara kualitas sumber daya manusia tergantung pada manusianya. Pertanyaanya, apakah SDM yang akreditasi kecil itu juga kecil, kan tidak juga. Kalau pemda butuh tenaga tehnik sipil, sementara lulusannya tidak memenuhi syarat akreditasi B, apakah yang daftar semua harus datang dari luar daerah, lalu dikemanakan para anak daerah ini?,” katanya. (CR3)

SARJANA KERTAS

Sarjana Kertas
Oleh: Rhenald Kasali
Komentar, “Ananto pratikno.ananto@gmail.com, in: [ppiindia]” <ppiindia@yahoogroups.com> Tuesday, 28 October 2014, 10:14

‘Maka, tak heran kalau banyak pegawai negeri sipil (PNS), juga pegawai BUMN dan swasta, berlomba-lomba melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 atau S-3. Sebab, hanya dengan cara itulah, mereka bisa naik jabatan menjadi kepala bagian, misalnya. Atau, kalau di BUMN, mungkin bisa menjadi general manager.’

salam,
ananto
=====

Sarjana Kertas
Oleh: Rhenald Kasali

SUATU pagi saya iseng menyimak iklan lowongan kerja di berbagai media cetak. Jangan salah paham, saya tidak sedang mencari-cari pekerjaan. Iseng saja. Ketika membaca iklan-iklan tersebut, ternyata di sana saya masih menemukan lowongan yang mencari tenaga kerja untuk kategori official development program (ODP) dan management trainee (MT).

Bagi mereka yang bergerak dalam bidang sumber daya manusia (SDM), istilah ODP atau MT menggambarkan bahwa perusahaan-perusahaan harus menempa dulu para fresh graduate yang direkrutnya sebelum menerjunkannya ke dunia kerja. Itu tentu membutuhkan investasi tersendiri yang tidak murah.

Beberapa perusahaan besar, saya tahu, memiliki semacam pusat-pusat pendidikan dan pelatihan untuk menempa para fresh graduate tersebut. Di sana, mereka diajari mulai sejarah perusahaan, tata nilai dan budaya kerjanya, sampai hal-hal praktis yang terkait dengan pekerjaan sehari-hari. Ada pula yang sampai memberikan soft skill-nya.

Semua itu –pakai bahasa langsung saja– cermin betapa kebanyakan fresh graduate kita belum siap kerja, mentalitas passenger. Mereka baru siap tempa. Sebagai seorang pendidik, itu tentu menjadi semacam otokritik untuk saya. Rupanya banyak materi pelajaran di perguruan tinggi yang tidak nyambung dengan kebutuhan industri.

Moral Hazard

Sekarang mari kita lihat potret yang lebih besar lagi. Menurut kajian McKinsey Global Institute, Indonesia (2012) menempati peringkat ke-16 perekonomian dunia dan memiliki 55 juta tenaga terampil (skilled worker). McKinsey memperkirakan, pada 2030 Indonesia akan menjadi negara terbesar ketujuh di dunia. Untuk sampai ke sana, kita membutuhkan 113 juta skilled worker.

Apa artinya? Di sini kita bicara mengenai skilled worker, tenaga terdidik yang betul-betul terampil. Betul-betul kompeten. Atau, kalau kita sederhanakan, siap kerja, bukan hanya bergelar S-1, S-2, atau S-3.

Celakanya, sistem pendidikan dan lingkungan sosial kita masih mengidolakan gelar. Bahkan, gelar pendidikan kerap berkorelasi positif dengan tingkat kesejahteraan. Masih banyak promosi jabatan di lingkungan instansi pemerintahan maupun BUMN yang ditentukan oleh gelar.

Maka, tak heran kalau banyak pegawai negeri sipil (PNS), juga pegawai BUMN dan swasta, berlomba-lomba melanjutkan pendidikan ke jenjang S-2 atau S-3. Sebab, hanya dengan cara itulah, mereka bisa naik jabatan menjadi kepala bagian, misalnya. Atau, kalau di BUMN, mungkin bisa menjadi general manager.

Bahkan, saat kampanye politik, gelar akademis, apalagi kalau sampai berderet, seakan membuat peluang seseorang untuk terpilih lebih besar. ”Daya jualnya” menjadi lebih tinggi. Kalau dia terpilih, pasti kesejahteraannya meningkat.

Pada banyak kasus, kondisi semacam itu memicu moral hazard: memperoleh gelar jauh lebih penting ketimbang mencari ilmu guna meningkatkan kompetensi. Jadi, asal bisa mencantumkan gelar S-1, S-2, atau S-3, meski perguruan tingginya entah berada di ruko sebelah mana atau numpang di salah satu sekolah, bukan persoalan. Bahkan, tak penting pula dosen-dosennya datang dari mana. Pokoknya asal bisa lulus dan bisa memperoleh gelar.

Kita juga bisa memotret fenomena itu dari maraknya bisnis jasa pembuatan skripsi, tesis, dan disertasi. Jasa-jasa itu tersedia karena para mahasiswa ingin cepat lulus dan memperoleh gelar sesuai dengan keinginan mereka.

Bahkan, ada yang caranya lebih kasar, jual beli ijazah. Cobalah masuk Google dan ketik kata kunci ”jual ijazah”. Di sana, kita akan menemukan iklan yang menawarkan gelar S-2 berbiaya Rp 2 juta–Rp3,5 juta, bergantung pilihan universitasnya. Untuk gelar S-3, tarifnya Rp2,5 juta–Rp 4 juta. Syaratnya, cukup kirim biodata dan transfer uang. Miris, bukan?

Skilled Worker

Fakta-fakta itu jelas berkaitan langsung dengan kompetensi skilled worker. Mereka memang menyandang gelar sarjana, baik S-1 atau bahkan S-2, tetapi semuanya hanya ”sarjana kertas”. Bukan atas dasar kompetensi yang dimilikinya.

Itu sebabnya 17 persen dari lulusan perguruan tinggi kita masih menganggur. Kisah tentang Ignatius Ryan Tumiwa, lulusan S-2 yang minta agar bisa membunuh dirinya secara legal, seakan-akan mengukuhkan potret tersebut. Dia frustrasi karena sudah bertahun-tahun lulus, tapi masih menganggur.

Kita tentu tidak boleh membiarkan hal semacam itu menjadi berlarut-larut. Akhir 2015 kita akan memasuki era ASEAN Economic Community (AEC). Supaya bisa bersaing, kita membutuhkan SDM-SDM yang kompeten. Bukan sarjana kertas.

Masalah yang terjadi di dunia pendidikan kita ini akan menjadi tantangan tersendiri, bukan hanya bagi pemerintahan Jokowi-JK, tetapi bagi kita semua. Di sinilah, saya kira, revolusi mental, termasuk dalam bidang pendidikan, akan menemukan relevansinya. []

JAWA POS, 24 Oktober 2014
Rhenald Kasali ; Pendiri Rumah Perubahan

PAPARAN AKIBAT TAMBANG TAK TERKONTROL

Paparan Akibat Tambang Tak Terkontrol
JAKARTA, KOMPAS — Pertambangan emas skala kecil di beberapa wilayah Indonesia menempatkan warga pada kondisi rentan terpapar logam berat merkuri. Itu karena petambang menempatkan alat produksi di sekitar permukiman penduduk.
”Intoksikasi merkuri tidak ubahnya bom waktu,” kata Stephan Bose-O’Reilly, spesialis kedokteran lingkungan pada University for Health Sciences, Medical Informatics, and Technology (UMIT) Austria, dalam pelatihan pengenalan merkuri dan dampaknya pada kesehatan masyarakat, Selasa (21/10), di Jakarta. Penelitiannya di Kalimantan dan Sulawesi menemukan sejumlah indikasi.
Menurut O’Reilly, penelitiannya di sebuah permukiman di Galangan, Kalimantan Tengah, menunjukkan, golongan paling rentan keracunan merkuri adalah pembakar amalgam (partikel emas). Di sana, dari 69 pembakar amalgam, sebanyak 41 orang di antaranya menunjukkan tanda keracunan. ”Dari hasil tes kandungan merkuri di darah, urine, dan rambut pembakar amalgam menunjukkan hasil lebih tinggi dibandingkan kelompok lain.”
Indikasi keracunan merkuri di antaranya tingginya kandungan dalam tubuh serta gejala seperti tremor, kesulitan mengoordinasikan tubuh, gangguan tidur, dan mengeluarkan liur dalam jumlah banyak. Meski demikian, orang dengan gejala seperti itu tetap harus menjalani pemeriksaan medis untuk memastikan memang akibat keracunan merkuri.
Tanda-tanda keracunan merkuri juga ditemukan pada kelompok mantan petambang dan pekerja anak serta penduduk bukan petambang yang bermukim di sekitar penambangan. Sejumlah warga bahkan memiliki alat pemroses di rumah mereka.
Hasil serupa ditemui di permukiman di Tatelu, Sulawesi Utara. Dari 61 pembakar amalgam, sebanyak 33 orang di antaranya (54,1 persen) menunjukkan tanda keracunan merkuri.
”Di daerah ini, tingginya konsumsi ikan memengaruhi tingkat keracunan,” ujar O’Reilly. Di daerah itu ada sungai yang mengalir menuju Teluk Bunaken. Zat merkuri di udara bebas itu menempel ke air dan udara.
Anak terpapar
Selain pada orang dewasa, efek buruk merkuri juga dirasakan anak-anak. Apalagi di dua daerah yang dijadikan sampel cukup banyak anak-anak yang bekerja di penambangan emas. Dua dari delapan pekerja anak-anak di Kalimantan Tengah menunjukkan tanda keracunan merkuri, sedangkan di Tatelu sembilan dari 51 anak menunjukkan tanda itu.
Yuyun Ismawati, Senior Advisor Bali Fokus, mengatakan, ada beberapa pemicu besarnya penggunaan merkuri untuk pengolahan emas di Indonesia. Salah satunya ketiadaan aturan yang melarang penggunaan merkuri.
”Ada aturan yang membolehkan penggunaan merkuri secara terbatas. Namun, tidak ada pengawasan,” kata Yuyun. Impor merkuri ilegal juga masih terjadi. (A01)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009658427

‘KEKUASAAN’ KARTEL PANGAN DAN MAFIA TANAH

‘Kekuasaan’ Kartel Pangan dan Mafia Tanah

Rekomendasi Komisi Ekonomi Nasional (KEN) untuk mengatasi kartel
komoditas pangan pada pekan lalu belum menjamin solusi untuk menekan
gejolak harga berlebihan. Namun, rekomendasi itu untuk memperkuat peran pemerintah yang nyaris tak berdaya berhadapan dengan para kartel. Pola yang mirip dan harus diatasi adalah mafia tanah dalam berbagai
skala dan modus. Belakangan, isu dana Bank Century pun, ‘ditunggangi’
para mafia tanah. Berikut ulasan wartawan SP Heri Soba.

Hampir
setiap tahun, ketika gejolak harga pangan melonjak tinggi, salah satu
sorotan pemerintah dan berbagai kalangan terkait adalah indikasi praktik
kartel dalam pasar komoditas pangan. Sorotan akan perlahan mereda
ketika harga komoditas pangan beranjak turun. Indonesia adalah negeri
kartel dan mafia. Hampir setiap lini bisnis di negeri ini sudah dicemari
praktik tercela itu. Tak mengherankan jika perekonomian nasional terus
terdistorsi. Harga barang dan jasa acapkali melejit tanpa sebab yang
jelas. Mekanisme pasar kerap lumpuh. Hukum penawaran dan permintaan
dibuat tak berdaya.

Kartel adalah perbuatan melawan hukum.
Berdasarkan pasal 11 Undang- Undang No 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, antarpelaku usaha
dilarang membuat perjanjian untuk memengaruhi harga dengan mengatur
produksi atau pemasaran suatu barang atau jasa, yang dapat mengakibatkan
terjadinya praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat.

Pekan lalu, Komisi Ekonomi Nasional (KEN) menyoroti secara khusus soal
kartel tersebut. Sekalipun hanya memberikan sejumlah rekomendasi untuk
mendorong berbagai solusi atas kartel, apa yang dilakukan KEN tersebut
patut diberi apresiasi. Apalagi, KEN merupakan lembaga pemerintah yang
diisi oleh berbagai kalangan akademisi, profesional, dan pengusaha, yang
dipimpin oleh konglomerat Chaerul Tanjung.

KEN mengadukan
praktik kartel lima komoditas pangan kepada Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Komoditas tersebut adalah gula, kedelai, beras, jagung,
dan daging sapi. Presiden pun telah menginstruksikan Menko Perekonomian
Hatta Rajasa untuk menindaklanjuti rekomendasi KEN tentang kartel
pangan.

Menurut Ketua KEN Chairul Tanjung, praktik kartel telah
menyebabkan harga lima komoditas pangan itu cenderung terus naik di
dalam negeri. Dia mencontohkan, harga gula pada 2009 masih sekitar Rp
6.300 per kilogram (kg), namun kini berkisar Rp 11.000-13.000 per kg.
Padahal, harga gula di pasar internasional hanya sekitar US$ 489,80 per
ton atau Rp 4.700 per kg. Hal serupa terjadi pada komoditas kedelai dan
daging sapi. Pada 2009, harga daging sapi hanya sekitar Rp 60.000 per
kg, sekarang menembus Rp 100.000 per kg. Akibatnya, banyak pedagang
bakso harus berhenti berjualan.

Sejumlah kalangan menilai,
keberadaan kartel pangan sangat merugikan konsumen maupun industri
pengolahan. Selain menguasai pasar, kelompok kartel terus berupaya
mendorong harga dan merusak ketahanan pangan dalam negeri. Melihat
keuntungan yang menggiurkan, mereka terus berupaya untuk mengimpor
komoditas pangan. Selama Januari-November 2012, data Kementerian
Pertanian dan Kementerian Perdagangan menunjukkan, Indonesia mengimpor
sekitar 16 juta ton komoditas pangan utama dengan total nilai mencapai
US$ 8,5 miliar (Rp 81,5 triliun). Rinciannya, nilai impor produk
serealia (padi, jagung, beras, dan sorgum) senilai US$ 3,26 miliar, gula
US$ 1,46 miliar, susu US$ 945,34 juta, serta kacang-kacangan dan buah
US$ 756,27 juta. Sedangkan impor tepung senilai US$ 560,66 juta, sayur
US$ 445,74 juta, kopi, teh, dan bumbu US$ 303,72 juta, daging US$ 136,8
juta, serta pangan utama lain US$ 548,05 juta.

Kartel importir
pangan di Indonesia diperkirakan meraup keuntungan Rp 13,5 triliun per
tahun. Keuntungan itu berasal dari 15% nilai impor komoditas pangan yang
setiap tahun sekitar Rp 90 triliun. Mereka diduga mengendalikan harga
dan pasokan komoditas pangan utama di dalam negeri seperti gula,
kedelai, beras, jagung, dan daging sapi.

Menurut Ketua Dewan
Kedelai Nasional Benny Kusbini seperti ditulis SP dan Investor Daily
pekan lalu, kegiatan kartel di Indonesia dilakukan eksportir di luar
negeri bekerja sama dengan orang Indonesia. Kartel ini diduga melibatkan
oknum pejabat pemerintah, DPR, penegak hukum, dan para politisi.

Chairul yang mengklain diri sebagai “anak singkong” menjelaskan,
struktur pasar komoditas pangan cenderung oligopolistis. Di pasar
internasional terdapat empat pedagang besar yang disebut ABCD, yaitu
Acher Daniels Midland (ADM), Bunge, Cargill, dan Louis Dreyfus. Mereka
menguasai sekitar 90% perdagangan serealia atau biji-bijian dunia.
Kecenderungan yang sama terjadi di pasar domestik. Importir kedelai
hanya ada tiga, yakni PT Teluk Intan (menggunakan PT Gerbang Cahaya
Utama), PT Sungai Budi, dan PT Cargill.

Di industri pakan
unggas yang hampir 70% bahan bakunya adalah jagung, menurut Chairul,
empat perusahaan terbesar menguasai sekitar 40% pangsa pasar. Sementara
itu, empat produsen gula rafinasi terbesar menguasai 65% pangsa pasar
gula rafinasi dan 63% pangsa pasar gula putih. “Untuk distribusi gula di
dalam negeri diduga dikuasai enam orang. Mereka adalah Acuk, Sunhan,
Harianto, Yayat, Kurnadi, dan Piko. Sebelumnya, pasar gula ini dikuasai
‘sembilan samurai’,” tutur dia.

Kartel juga terjadi pada
industri gula rafinas yang memperoleh izin impor raw sugar (gula mentah)
3 juta ton setahun yang dikuasai delapan produsen. Bagi sejumlah
kalangan, kartel bisa dibenarkan asalkan untuk kepentingan masyarakat.
Misalnya, Perum Bulog membeli gula petani dengan harga tinggi dan dijual
dengan harga layak.

Sebenarnya, kasus kartel kedelai yang
merebak pada pertengahan 2012 lalu juga sudah masuk dalam agenda Komisi
Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Ketua KPPU Nawir Messi mengatakan
sebagian besar kegiatan kartel pangan yang dilaporkan KEN telah atau
masih dalam proses investigasi lembaganya. Untuk menjaga kelangsungan
dan kerahasiaan investigasi, perkembangan yang dicapai KPPU tidak pernah
diungkapkan. “Jika kemudian KEN melaporkan ke Presiden dan itu dianggap
laporan ke KPPU juga, itu tidak menjadi persoalan. Kami akan jalan
bersama-sama” kata dia.

Nawir menegaskan, pihaknya tidak akan
melakukan investigasi jika tidak ada indikasi tindakan yang mengarah
kartel. Saat ini, KPPU tengah menginvestigasi perdagangan sejumlah
produk pangan, seperti kedelai dan daging. “Banyak investigasi KPPU
terhadap dugaan praktik kartel tidak pernah dipublikasikan, kemudian
akhirnya menjadi kasus dan masuk ke pengadilan. Beberapa contoh kasus di
masa lalu adalah kartel minyak goreng dan gula yang dilaporkan KEN,”
tambah dia.

Century dan Mafia Tanah Sebagaimana kartel pangan,
praktik mafia tanah juga menjadi batu sandungan yang cukup merepotkan
pemerintah. Dalam berbagai kesempatan, pemerintah dituding tidak berani
mengambil terobosan untuk mengatasi kendala infrastruktur yang membuat
biaya logistik di Indonesia sangat tinggi dibandingkan sesama negara
Asia Tenggara. Investasi pun terhambat untuk menorong pertumbuhan
ekonomi. Daripada susah, dipersulit, dan lebih mahal untuk membangun
investasi, para pengusaha lebih baik impor saja karena lebih murah dan
praktis. Resikonya, aktivitas investasi di berbagai sektor tidak
berjalan, banyak devisa terbuang, neraca perdagangan bergerak minus,
ekonomi Indonesia pun rapuh.

Kendala investasi yang dihadapi
tersebut persis seperti dampak dari persoalan kartel. Dalam praktik
kartel, tingginya keuntungan mendorong impor pangan terus terjadi.
Sejumlah negara juga menjual murah residual stock (sisa stok) sehingga
bisa dibeli dengan harga murah. Gula impor dari Australia pasti lebih
murah dibandingkan harga jual produsen di dalam negerinya. Jadi, untuk
apa susah-susah berinvestasi jika lebih untung impor.

Dalam
beberapa kesempatan, pemerintah pusat dan daerah seakan-akan dibuat tak
berdaya karena berhadapan dengan mafia tanah tersebut. Pembangunan
fasilitas umum, seperti jalan tol, rel kereta api, perluasan bandara,
atau berbagai fasilitas lainnya terhambat. Pada Agustus 2012 lalu, dalam
rapat sebuah koordinasi, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun resah
dengan ulah para makelar dan mafia tanah tersebut karena berdampak
langsung pada laju pertumbuhan ekonomi.

”Banyak sekali kaum
makelar yang cari manfaat untuk kepentingan pribadi, bukan kepentingan
rakyat,” kata Presiden SBY usai rapat koordinasi bidang perhubungan dan
pekerjaan umum di kantor Angkasa Pura II di Bandara Soekarno Hatta,
Tangerang, Banten. Pernyataan yang sama, ditekankan kembali oleh SBY
dalam pidatonya di Istana Negara pada pertengahan Oktober 2012, yang
menilai lambatnya pembangunan infrastruktur karena ulah para mafia
tanah.

Dikatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
maupun APBD untuk infrastruktur sering terhambat karena tak mudah bagi
pemerintah membebaskan lahan atau tanah. Pemerintah juga berharap tengah
menyiapkan peraturan presiden (Perpres) yang merupakan turunan dari
Undang-Undang Nomor 2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan
untuk Kepentingan Umum. Sayang, Perpres yang dimaksud belum jelas hingga
sekarang sehingga UU pun belum bisa diimplementasikan. Padahal. melalui
Perpres tersebut, sejumlah proyek infrastuktur dapat segera berjalan
tanpa terkendala pembebasan lahan.

Dalam rapat koordinasi itu,
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Hendarman Supandji juga
menyatakan, banyak tanah-tanah rakyat yang dikuasai mafia tanah. Harga
yang sudah disepakati pemerintah dan pemilik tanah sering menemui
kendala karena adanya pihak ketiga yang mempermainkan harga terlalu
tinggi.

Sebenarnya, ada banyak praktik mafia tanah lain yang
melibatkan berbagai kalangan, mulai dari pengusaha ‘hitam’ berkedok
investor, pejabat pemerintah, dan para penegak hukum, seperti kepolisian
dan kejaksaan. Salah satu yang belakangan mulai mencuat adalah kasus
tanah milik Yayasan Fatmawati yang dicaplok Kementerian Kesehatan (dulu
Departemen Kesehatan/Depkes) pada masa awal Orde Baru. Setelah putusan
kasasi Mahkamah Agung (MA) pada tahun 1999 memenangkan Yayasan
Fatmawati, pihak Depkes yang seharusnya membayar ganti rugi Rp 75
miliar, mengajukan jalan tengah alias jalan damai dengan sejumlah
persyaratan. Pihak yayasan mendapatkan ganti rugi Rp 50 miliar berupa
lahan seluas 22,8 hektare (ha) di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan, dan
persyaratan lainnya dengan membangun sejumlah sarana fasilitas
pendukung Rumah Sakit Fatmawati, seperti asrama perawat, kamar mayat,
rumah karyawan RS Fatmawati. Sejak mengajukan gugatan hingga menang,
kemudian melakukan penjualan atas lahan ganti rugi, Yayasan Fatmawati
memberikan kuasa resmi kepada Yohanes Sarwono, Stefanus Farok, dan Umar
Muchsin (Sarwono cs) dengan akte perjanjian. Menurut Stefanus, pihaknya
menjalankan kuasa sesuai akte notaris dan melakukan transaksi dengan
pihak ketiga sejak tahun 2003. Singkat cerita, setelah lahan tersebut
dibeli PT Graha Nusa Utama (GNU) yang belakangan mendapatkan suntikan
dana dari PT Ancora, milik Gita Wirjawan yang saat ini menjadi Menteri
Perdagangan, pihak yayasan justru melanggar kesepakatan dengan menjual
lagi lahan yang sama kepada pihak ketiga, yakni PT Mekaelsa. Atas
pelanggaran itu, maka pada 16 Januari 2012, Sarwono cs melaporkan Ketua
Yayasan Fatmawati dan bendahara/pembina, masing-masing Panji Hari
Soehardjo dan Dwi Librianto ke Markas Besar Kepolisian RI (Mabes Polri).
Keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka keterangan palsu akta
autentik atau melanggar pasal 266 KUHP dan 385 KUP oleh Mabes Polri.

“Setelah setahun kami tanyakan lagi status para tersangka tersebut,
pihak Mabes Polri hanya mengatakan tengah diproses,” kata Hermawi
Taslim, yang menjadi kuasa keluarga Stefanus Farok, di Mabes Polri,
Jakarta, Rabu (16/1). Ironisnya, Mabes Polri bukannya memproses Panji
dan Dwi, tetapi malah menahan Sarwono cs sebagai tersangka pencucian
uang dana Bank Century sebesar Rp 20 miliar yang disetorkan Sarwono cs
ke Yayasan Fatmawati. Memang PT GNU pernah meminjam dana dari Robert
Tantular (Bank CIC) pada kurun waktu 2003-2005 dan itupun sudah
dilunasi. Dalam pembayaran tahapan terakhir, PT GNU mendapatkan pasokan
dana dari PT Ancora (Ancora Land). “Mana mungkin transaksi pada
2003-2005 dikaitkan dengan dana Bank Century yang terjadi pada
2008-2009. Bukti Rp 20 miliar yang menjadikan kami tersangka pun
dibuat-buat, karena sudah digunakan pihak yayasan untuk membangun
sejumlah persyaratan dan fasilitas yang diminta. Dana Rp 20 miliar
inilah yang misterius dan dibuat seolah-olah ada pencucian uang,” kata
Stefanus.

Menurut pakar pencucian uang Yenti Garnasih dari
Universitas Trisakti dan pakar hukum pidana dari Universitas Islam
Indonesia (UII) Yogyakarta, Muzakir, tindak pidana pencucian uang hanya
bisa ditetapkan setelah ada bukti atas tindak pidana asal (predicate
crimes). Logikanya, dugaan pencucian uang oleh Sarwono cs bisa
dibuktikan jika tindak pidana dalam kasus Century sudah ditetapkan dalam
putusan pengadilan.

Dari transaksi dengan PT GNU maka sejak 29
April 2004, Yayasan Fatmawati telah sepenuhnya menyerahkan kepemilikan
hak atas tanah seluas 22,8 hektare yang tercantum dalam Sertifikat Hak
Pakai Nomor 82/Cilandak Barat. Bukti kepemilikan itu dalam bentuk lima
sertifikat yang dititipkan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akibat
adanya persoalan hukum yang berakhir damai antara PT GNU dengan Yayasan
Fatmawati.

Lebih parahnya lagi, kata kuasa hukum PT GNU
Muhammad Nasihan, pihak Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terkesan
arogan dan seakan-akan melampui kewenangannya karena sudah tiga kali
selama Januari 2013 ini berupaya menyerahkan sertifikat yang dititipkan
tersebut kepada pihak PT Mekaelsa yang dinilai Muhammad sebagai “mafia
perampok aset negara” tanpa dasar hukum yang kuat. “Bahkan, hari ini
(Senin, 28/1) pun PN Jakarta Selatan tengah memaksakan untuk menyerahkan
sertifikat tersebut kepada para mafia tersebut,” tegas seorang keluarga
korban.

Sarwono cs memang menjadi korban kriminalisasi yang
dimainkan para mafia tanah dengan memanfaatkan isu Bank Century. Dalam
beberapa kesempatan, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan angkat bicara
terkait dugaan keterlibatan dirinya dalam kasus dana talangan Bank
Century, seperti yang dicetuskan anggota Tim Pengawasan (Timwas) Kasus
Century DPR. Gita menegaskan, perusahaan afiliasi Ancora tidak menerima
dana apapun terkait dana Bank Century. Justru tudingan itu dibuat karena
ada pihak dengan “kekuatan besar” ingin merebut lahan milik Ancora Land
yang cukup strategis tersebut.

Kepolisian dan sejumlah
kalangan anggota Timwas Kasus Century pun gegabah seakan mendapatkan
amunisi alias bukti baru untuk mengangkat lagi kasus Century. Para
korban kriminalisasi tersebut menduga kuat bahwa semua permainan ini
dimotori seorang bos mafia tanah alias ST yang dikenal bisa “menyetir”
sejumlah pejabat kepolisian dan penegak hukum lainnya. “Jadi, urusan
makelar dan mafia tanah ini tidak mudah karena sejumlah jajaran penegak
hukum dan birokrat sudah bisa disetir. Wajar saja jika seorang Presiden
SBY pun akhirnya mengeluh,” kata Taslim yang dikenal dekat dengan Gus
Dur ini.

Kartel dan mafia tanah memang tidak mungkin hilang
dalam sekejap. Namun, jika seorang Presiden SBY saja nyaris tidak
berdaya, berarti tidak ada lagi orang “kuat” yang bisa berhadapan dengan
para pemain kartel dan mafia tanah. Apalagi, seorang Gita Wirjawan yang
berhadapan langsung dengan para kartel dan para mafia tersebut. Atau
jangan-jangan negeri ini harus dipimpin oleh para boneka dimana sebagian
besar rakyat Indonesia mau memberi tempat khusus bagi para kartel dan
mafia tersebut. Mungkin itulah yang membuat kartel dan mafia bisa
bertahan hingga saat ini. (***)

sumber: http://www.suarapembaruan.com/home/k…ia-tanah/29802

KEKUASAAN JOKOWI TINGGAL SEPERTIGA

Kekuasaan Jokowi Tinggal Sepertiga

Direbut Mega dan JK, Arbi Sanit Bilang Kekuasaan Jokowi Tinggal Sepertiga
Oleh Emka Abdullah, TEROPONGSENAYAN

Jumat, 31 Oktober 2014
Oleh Emka Abdullah, TEROPONGSENAYAN
TEROPONNGSENAYAN.COM, Sabtu, 25 Oktober 2014 – 06:36:56 WIB

JAKARTA–Tarik-ulur penyusunan Kabinet Jokowi-JK mengundang kritik dari banyak kalangan. Pengamat politik Arbi Sanit menilai, tarik-ulur yang pertontonkan Jokowi dalam penyusunan kabinet karena Jokowi tidak berdaya menghadapi campur tangan dari pihak lain.
“Kekuasaan Jokowi tinggal sepertiga. Yang sepertiga sudah diambil Megawati, dan sepertiga lainnya diambil JK,”ujar Arbi kepada TeropongSenayan, Jumat (24/10/2014).
Arbi menjelaskan, masuknya sejumlah nama calon menteri yang terkesan dipaksakan. Padahal sejumlah nama telah diberi ‘tanda merah’ oleh KPK dan direkomendasikan KPK untuk jadi menteri. Arbi mengibaratkan Jokowi sebagai wayang, Megawati dan JK sebagai dalang.
Arbi menduga Jokowi mendapat tekanan dari Megawati untuk memasukkan nama-nama tertentu sebagai calon menteri. Begitu juga nama-nama dari JK yang sebenarnya tidak sesuai dengan pandangan Jokowi.
Arbi memprediksi jika proses penyusunan kabinet Jokowi dilakukan dengan tekanan dan tarik-menarik kepentingan, hasilnya tidak akan dapat bekerja dengan baik. “Padahal ekspektasi masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi sangat tinggi,” papar Arbi.
Arbi mengaku sejak awal telah memprediksi bahwa Jokowi dapat memenangkan pilpres tetapi tidak dapat menjalankan pemerintahan dengan baik. Sebab, “Jokowi itu bukan tokoh besar. Ia hanya tokoh dari daerah yang hanya popularitas tapi tak punya leadership kuat,” papar Arbi mengakhiri pembicaraan.(ris)

Baca Juga
Yasonna Harus Naikkan Kemampuan Teknis
Menteri Harus Siap Tidak Populer
Jokowi Mulai Dikendalikan Neolib
Penggabungan Kehutanan dan LH Bisa Munculkan Konflik Kepentingan
Mestinya Jokowi Distabilo Kuning

Tentang Kami
Redaksi :
Ciputra World 1 Office Tower Lantai 28
Jl. Prof. Dr. Satrio Kav.3-5
Jakarta 12940, Indonesia

WAWANCARA KASDI, SI PENCARI KEADILAN YANG DIUSIR SATPAM KARENA TAK PUNYA PAKAIAN BAGUS

WAWANCARA Kasdi, si Pencari Keadilan yang Diusir Satpam MA: karena Tak Punya Pakaian Bagus

VIVAnews – Kasdi, 52 tahun, tinggal di Demak, Jawa Tengah. Sejak 2002, mata pencaharian Kasdi cuma menangkap ikan di rawa. Sehari, dia biasanya bisa mendapat 5-10 kilogram ikan sepat atau betik. Hasil tangkapannya itu dijual ke pengepul.

“Dari hasil menangkap ikan itu, saya paling besar dapat Rp50 ribu,” ujar Kasdi kepada wartawan VIVAnews di YLBHI, Jakarta, Kamis 13 November 2012.

Sebelumnya, Kasdi mencari uang dengan memburuh, jadi pekerja kasar di proyek bangunan. Namun, setelah anaknya yang kedua lahir dia tidak berani meninggalkan keluarga jauh-jauh. Sebab, anak ini suka kejang-kejang jika badannya panas. “Saya khawatir, maka dari itu saya alih profesi menangkap ikan di rawa saja. Biar penghasilannya tidak tetap, tapi saya tetap optimis,” katanya.

Kasdi punya dua anak, Sarmidi (24 tahun) dan Nova Arian (10 tahun). Saat ini, Sarmidi dibui di LP Kedung Pane, Semarang. Menurutnya, Sarmidi sebetulnya cuma korban rekayasa seorang petugas polisi. Dia dijebak lalu dituduh jadi pengedar narkoba. Sarmidi ditangkap 12 Desember 2011 dan oleh hakim Pengadilan Negeri Semarang divonis lima tahun penjara. Di mata Kasdi hukuman ini sangat tidak adil, karena dia hakulyakin anak sulungnya itu tak pernah melakukan kejahatan itu.

Karena itulah, Kamis, 13 Desember lalu, setelah upayanya di Semarang kandas, dia nekat mendatangi gedung Mahkamah Agung di Jakarta. Malangnya, di lembaga hukum tertinggi ini, dia diusir petugas satuan keamanan. Alasannya, karena dia datang cuma pakai sandal jepit.

Berikut petikan wawancara VIVAnews dengan Kasdi mengenai perkara yang sedang melilitnya dan alasannya mendatangi Mahkamah Agung.

Bagaimana Sarmidi bisa terlibat kasus narkoba?

Awalnya, anak saya yang kerja di perusahaan pemotongan kayu itu kenalan sama Triyono. Mereka berkenalan di batas kota saat acara Tahun Baru Hijriah.

Di daerah saya itu (Demak) ada budaya kelurin, tumpengan kalau Tahun Baru Hijriah. Orang-orang dari kampung pada datang. Disitu lah Sarmidi kenalan sama Triyono alias Eblek.

Beberapa minggu kemudian, Sarmidi dikenalkan Triyono ke temannya yang lain yaitu Afiyanto Agung Nugroho alias Ompong alias Kentos. Dia diajak bertemu di sebuah SPBU di Semarang.

Ternyata, Afiyanto itu salah satu anggota polisi yang sering keluar masuk tahanan karena kasus narkoba. Waktu itu Sarmidi belum tahu bahwa Afiyanto adalah polisi.

Setelah Sarmidi dan Afiyanto ngobrol beberapa lama, Triyono meninggalkan mereka. Kemudian Afiyanto menyuruh Sarmidi membeli ganja. Anak saya tidak mau. Sarmidi terus dipaksa sambil diberi uang Rp120 ribu. Akhirnya, ia mau juga dan mereka jalan ke suatu tempat untuk membeli ganja naik motor berboncengan.

Setelah ganja itu dibeli akhirnya mereka kembali ke tempat semula. Sampai di SPBU semula, Sarmidi memberikan ganja yang telah mereka beli ke Afiyanto. Tapi Afiyanto tidak mau menerimanya, malah menyuruh menyimpannya berikut uang kembaliannya.

Karena takut dan melihat gelagat yang tidak baik, Sarmidi membuang ganja tersebut. Tak lama setelah ganja dia buang, tiba-tiba datang seorang polisi bernama Adi Prasetiawan. Sarmidi lalu dibawa ke kantor polisi dan langsung ditahan.

Selama penahanan dan persidangan Sarmidi, berapa uang yang sudah Anda habiskan?

Waktu itu saya bolak-balik ke kantor polisi dan pengadilan selama berbulan-bulan. Untuk ongkos dan makan saat menjalani persidangan saya menjual rumah seharga Rp9 juta ke tetangga saya. Itu juga karena tetangga saya kasihan kepada saya dan berniat membantu. Malahan, rumahnya masih saya tempati sampai sekarang.

Tapi, setelah anak saya divonis lima tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Semarang, saya tidak rela. Saya lalu mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. Saya menyewa advokat, namanya Arwani. Saya dibuatkan Memori Kasasi oleh Arwani. Saya bayar dia Rp100 ribu. Lalu, Memori Kasasi itu dikasih ke Pengadilan Tinggi tapi tidak ada tanggapan juga.

Saya merasa sangat kesal sekali, lalu saya dan keluarga mendatangi DPRD Semarang. Di sana saya ceritanya demo. Di DPRD saya bertemu wartawan, lalu saya diberitakan.

Setelah beberapa hari saya melakukan aksi itu dan diberitakan wartawan, tiba-tiba datang seorang advokat dari Universitas Gajah Mada. Namanya Joko Suwito. Dia berniat membantu saya, tanpa pamrih. Dia datang ke rumah saya dan mengobrol. Setelah itu saya dibuatkan Memori Kasasi oleh Pak Joko Suwito dan katanya mau dikirimkan ke Mahkamah Agung.

Nah, maka dari itu saya datang ke Jakarta. Saya mau tanya ke Mahkamah Agung secara langsung apakah Memori Kasasi kasus anak saya ini sudah sampai belum? Saya mau minta keadilan, eh… baru sampai gerbang saja saya sudah diusir. Kata satpamnya, pakaian saya tidak layak dan cuma pakai sandal jepit.

Saat dilarang masuk Mahkamah Agung, bagaimana reaksi Anda?

Waktu ditolak di pintu MA, saya sangat drop. Saya bingung harus ke mana lagi… Saya sangat kecewa… Masa karena masalah pakaian dan sandal jepit saja saya tidak bisa menuntut keadilan? Saya tidak punya baju bagus. Baju saya sehari-hari ya ini. Sandal saya sehari-hari ya ini. Setiap hari saya bepakaian seperti ini. Saya orang kampung, saya tidak punya baju bagus…

Pekerjaan Anda sehari-hari menangkap ikan di rawa. Bisa bawa uang berapa sehari?

Hasil menangkap ikan itu paling besar saya dapat Rp50 ribu sehari. Kadang tidak dapat ikan sama sekali. Kalau pas dapat, rata-rata 5-10 kg. Tapi, seumur hidup saya, selama 10 tahun mencari ikan, pernah dapat 40 kg. Itu hanya sekali-sekalinya seumur hidup saya.

Ikan hasil tangkapan biasanya saya jual ke pengepul di pasar. Ikan yang saya tangkap banyak jenisnya ada ikan betik, ikan sepat, pokoknya ikan yang ada di rawa. Ikan betik hidup biasanya dihargai Rp7.000 per kilo. Kalau yang mati biasanya cuma Rp1.000 per kilo. Saya juga harus beli es batu, biar ikannya tidak busuk.

Sebelum menjadi pencari ikan, apa pekerjaan Anda?

Saya mulai bekerja mencari ikan sekitar tahun 2002. Dulunya saya bekerja di proyek bangunan. Tapi setelah anak saya yang kedua ini lahir saya tidak berani meninggalkan keluarga saya jauh-jauh. Karena anak saya yang kedua ini kalau suhu badannya panas suka kejang-kejang, makanya saya khawatir. Maka dari itu saya alih profesi menangkap ikan di rawa saja. Biar penghasilannya tidak tetap tapi saya tetap optimis

Jika tidak berhasil menangkap ikan, bagaimana Anda menghidupi keluarga?

Tidak dapat ikan, saya utang dulu ke warung. Nanti kalau saya mendapat ikan banyak saya bayar utangnya. Kalau ikan tidak laku paling dimakan sendiri. Tapi biasanya pasti laku karena sudah ada pengepulnya di pasar

Pernah sekolah?

Saya tidak sekolah, namanya juga orang kampung. Istri saya juga sama tidak pernah sekolah. Kalau anak saya yang pertama, Sarmidi sekolahnya sampai SD saja. Sudah lulus SD bantu-bantu saya bekerja. Kalau anak saya yang kedua, Novi baru kelas enam SD.

Bisa membaca dan menulis?

Kalau menulis saya tidak bisa sama sekali. Kalau baca saya bisa sedikit tapi tidak lancar. Namanya juga tidak pernah sekolah. Saya bisa baca juga diajarin anak saya.

Niat Anda ke Jakarta untuk apa?

Niat saya yang pertama ke Jakarta ini untuk meminta keadilan. Anak saya Sarmidi dijebak kasus narkoba, dia dituduh sebagai pengedar narkoba. Sekarang dia divonis lima tahun penjara.

Ke Jakarta naik kereta?

Saya datang ke Jakarta menumpang kereta ekonomi Tamang Jaya dari Semarang. Kami turun di Stasiun Senen. Saya tidak tahu bagaimana caranya ke Mahkamah Agung. Mau naik apa, saya juga tidak tahu. Jadi setelah sampai Stasiun Senen saya jalan kaki ke Mahkamah Agung. Dari MA saya pergi ke YLBHI, menumpang bajaj yang dibayarin wartawan.

Ongkos kereta berapa dan uangnya dari mana?

Tiket kereta api ekonomi harganya Rp33.500 per orang. Untuk ongkos tiga orang ke Jakarta Rp100.500 sekali jalan. Kebetulan saya sudah membeli tiket untuk pulang juga karena kalau beli di Jakarta takut mahal dan takut tidak kebagian tiket. Rencananya besok saya langsung pulang ke Semarang jam setengah empat sore.

Darimana dapat uang sewa kereta ini?

Untuk ongkos ke Jakarta ini, saya menjual delapan ekor ayam betina harganya Rp200 ribu. Ayam-ayam itu dijual ke tetangga saya. Saya juga terpaksa menjual sepeda motor Yamaha keluaran tahun 1981 dan sepeda ontel. Dijual ke tukang besi rongsokan, harganya Rp380 Ribu.

Sebelumnya pernah ke Jakarta?

Memang bukan pertama kali saya ke Jakarta. Dulu sekitar tahun 1978 waktu saya masih bujangan saya sempat kerja juga di Jakarta jadi buruh proyek.

Saya dulu kerja di proyek pembangunan gedung walikota, kalau tidak salah di Jalan S. Parman, seingat saya nama daerahnya Grogol. Tapi itu juga saya sudah lupa di mana tempatnya. Saya satu tahun kerja di proyek itu, pas proyeknya beres saya pulang lagi ke kampung terus ikut kerja di proyek yang lainnya.

Terus yang kedua kalinya waktu sebelum bulan puasa kemarin, sekitar bulan Juni 2012, saya seminggu di Jakarta. Saya nginep di YLBHI ini juga, waktu itu saya ditemenin sama mas Iyul dan mas Hamami yang orang YLBHI ini.

http://fokus.news.viva.co.id/news/read/374872-kasdi–saya-orang-kampung–tak-punya-pakaian-bagus

Baca juga :

Pakai Sandal Jepit ke MA, Sarmidi Larang Ayahnya Cari Keadilan
Kasus itu telah membuat keluarganya kian miskin.==> http://fokus.news.viva.co.id/news/read/374790-pakai-sandal-jepit-ke-ma–sarmidi-larang-ayahnya-cari-keadilan

KETIKA ORANG MISKIN CARI KEADILAN ==> http://jaringanantikorupsi.blogspot.com/2012/12/medianusantara-ketika-orang-miskin-cari.html

TOKOH DAYAK: USUT TUNTAS PENEMBAKAN WARGA ADAT

Tokoh Dayak: Usut Tuntas Penembakan Warga Adat  

SENIN, 27 OKTOBER 2014

BANJARMASIN, KOMPAS — Para tokoh adat Dayak meminta kepolisian mengusut tuntas kasus kekerasan yang dilakukan oknum aparat kepolisian terhadap warga masyarakat adat Dayak Meratus di Kalimantan Selatan. Polri juga harus berkomitmen tidak melakukan tindakan serupa di kemudian hari.
Kekerasan yang dilakukan aparat dalam operasi penertiban pembalakan liar di Kecamatan Mentewi, Tanah Bumbu, Selasa pekan lalu, menyebabkan Inus (35), warga masyarakat adat Dayak Meratus, tewas. Selain itu, tiga warga adat lainnya juga terluka. Mereka diduga terkena tembakan aparat kepolisian.
”Desakan untuk mengusut tuntas kasus penembakan warga masyarakat adat Dayak Meratus disampaikan para tokoh adat Dayak dalam pertemuan di Desa Malinau, Kecamatan Loksado, Hulu Sungai Selatan, Sabtu malam,” kata Ketua Pengurus Wilayah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kalsel Yasir Al Fatah, di Banjarmasin, Minggu (26/10).
Yasir mengatakan, pertemuan tersebut tidak hanya dihadiri para tokoh adat dari Kalsel, tetapi juga dari Kalimantan Tengah. Para tokoh pun akan menyampaikan beberapa tuntutan masyarakat adat dalam pertemuan dengan aparat kepolisian yang difasilitasi oleh Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming, Senin ini, di Batulicin.
Menurut Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Adat Dayak Nasional Haspan Hamdan, kekerasan yang dilakukan aparat kepolisian terhadap warga adat tidak boleh ditutupi. Pengusutan tuntas jauh lebih penting daripada penyelesaian dengan membayar adat kematian. ”Kami menghendaki rekonsiliasi antara masyarakat adat dan aparat kepolisian tidak hanya sebatas membayar tuntutan adat,” katanya.
Menurut Hamdan, kepolisian daerah Kalsel tidak hanya harus meminta maaf, tetapi juga harus menindak oknum yang diduga melepas tembakan kepada warga adat.
Kepala Bidang Humas Polda Kalsel Ajun Komisaris Besar Sunyipto mengatakan, tim investigasi yang dipimpin Kepala Bidang Profesi dan Pengamanan Polda Kalsel masih melakukan penyelidikan. Jika anggota terbukti salah, akan ditindak tegas.
Menurut Kepala Polda Kalsel Brigadir Jenderal (Pol) Machfud Arifin, di Banjarmasin, Jumat lalu, kasus penembakan terhadap warga adat itu sudah selesai. (JUM)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000009735669

RACHMAT GOBEL HARUS BUANG “TELOR BUSUK” WARISAN SBY

Rachmat Gobel Harus Buang ”Telor Busuk” Warisan SBY
Permendag Soal Timah

Komentar “‘Sunny’ ambon@tele2.se in:[nasional-list]” <nasional-list@yahoogroups.com> Thursday, 30 October 2014, 6:37

“Mengapa SBY sebagai profesor dan doktor ekonomi membuat dan menyimpan telur busuk?”

http://sp.beritasatu.com/ekonomidanbisnis/rachmat-gobel-harus-buang-telor-busuk-warisan-sby/68146
Rachmat Gobel Harus Buang ”Telor Busuk” Warisan SBY
Rabu, 29 Oktober 2014 | 10:54

[JAKARTA] Menteri Perdagangan, Rachmat Gobel harus membuang warisan ’’telor busuk’’ rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Telur busuk yang dimaksudkan adalah kebjakan tentang timah melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 44 Tahun 2014.
Meski diterbitkan tanggal 24 Juli 2014, Permen ini baru berlaku mulai 1 November 2014, jadi melempar masalah untuk pemerintahan baru Jokowi.
“Ini kerja mafia, tiba-tiba Kementerian Perdagangan (Kemendag) bikin aturan, padahal kementerian teknis tidak dilibatkan, yaitu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM),” ujar Ketua DPP Bidang Aksi Direktur Barisan Relawan Jokowi Presiden (Bara JP) di Jakarta, Rabu (29/10).
Syafti mengatakan, Permen ini jelas bermasalah dan berniat buruk. “Jika Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi memang berniat baik, maka seharusnya Permen langsung berlaku sejak ditetapkan. Tetapi kenapa baru berlaku di masa pemerintahan baru?” kata Syafti Hidayat dengan nada tanya.
Permen ini membuat penambang/eksportir besar yang menjual timah batangan, menanggung beban yang lebih kecil, tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10%, hanya membayar royalti 3%.
Sementara penambang/eksportir kecil dikenai syarat tambahan, yaitu berupa Izin Eksportir Terdaftar Timah Industri (IETTI), dan PPN 10%.
Anehnya lagi, dalam Permendag 44, untuk memperoleh IETTI, tidak ada syarat clear and clean (CC), yaitu kejelasan asal-usul bahan baku.
“Ini mengherankan, sebab untuk pengolahan/industri hasil tambang seperti zirconium (kode kimia Zr), mensyaratkan dukungan bahan baku dari perusahaan yang memperoleh sertifikat CC. Tidak mensyaratkan CC, artinya pemerintah tidak mau tahu dari mana asal timah, entah dari penambangan liar atau hasil curian, pokoknya bayar PPN 10%. Ini bisa ditafsirkan, hasil penambangan liar ’dicuci’ dengan PPN 10%. Ini gila. Apakah ini termasuk money laundering? Biar pakar yang bicara,” tutur Syafti.
Syafti meminta Menteri Perdagangan segera membatalkan Permen ini. Jika memang diperlukan, cukuplah memberi catatan kepada pemerintahan baru, tetapi jangan melempar “telor busuk” ke Jokowi.
Permen ini juga masuk ke ’wilayah’ Kementerian Perindustrian, maka sebaiknya segera dibatalkan. [PR/L-8]

APAKAH PUAN MAHARANI MENTERI TITIPAN IBU?

Jadi Menteri, Puan Tak Ingin Dianggap ‘Titipan’
Minggu, 26 Oktober 2014, 20:10 WIB

Komentar “‘Sunny’ ambon@tele2.se, in: [GELORA45]” GELORA45@yahoogroups.com, Monday, 27 October 2014, 1:02

” Kalau Puan tidak diberikan jabatan menteri, maka NKRI menjadi sangat aneh. Hehehehe”

http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/10/26/ne1z9w-jadi-menteri-puan-tak-ingin-dianggap-titipan

Pengumuman susunan Kabinet Kerja di Istana Merdeka, Jakarta, Ahad (26/10). (Republika/Tahta Aidilla)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Politikus PDIP yang terpilih sebagai Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Puan Maharani, tak ingin dianggap sebagai ‘titipan’. Puan, yang merupakan putri dari Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri, meminta publik agar melihat kiprahnya selama ini di dunia politik.

“Kita harus melihat kinerja yang alhamdullillah sudah saya lakukan sebagai orang yang ada di parpol. Nah posisi saya tentu saja bukan hanya karena keluarga atau anak ketua umum,” ujar Puan di Istana Merdeka, Ahad (26/10).

Puan mengklaim, selama ini ia telah berjuang untuk kepentingan rakyat dengan menjadi anggota DPR mewakili PDIP. Selain itu, ia juga mengklaim telah menjadi salah satu orang yang memperjuangkan terjadinya pemerintahan Jokowi-JK saat ini.

“Jadi saya berharap diberikan ruang kepada saya. Jangan sampai dikatakan karena anak atau keluarga atau titipan. Lihat dulu bagaimana kerjanya,” ucap dia.

Puan kemudian membeberkan proses seleksi yang dilaluinya sehingga terpilih menjadi menteri. Menurutnya, PDIP, sebagai partai pengusung Jokowi, mengusulkan sejumlah nama calon menteri pada presiden. Kemudian, Presiden Jokowi sendiri yang memilih nama-nama yang dianggap mampu memegang jabatan menteri.

Kendati demikian, Puan mengaku, tak dipanggil Jokowi untuk diwawancarai secara khusus. Sebab, menurutnya, Jokowi memang tak melakukan pemanggilan pada nama-nama yang sudah dia ketahui jelas rekam jejaknya.

Namun, Puan mengaku namanya tetap diikutsertakan dalam proses seleksi di KPK dan PPATK. “Alhamdullillah semuanya lancar. Kalau kemudian dianggap ada masalah ya tentu saja tidak mungkin sampai hari ini,” ujarnya yang mengaku belum mempersiapkan program kerja tersebut.[]