KABUT ASAP & PILKADA
Oleh Kusni Sulang
Ketika Lembaga Kebudayaan Dayak Kalimantan Tengah (Kalteng) bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional menyelenggarakan diskusi tentang baik-buruknya tambang, terutama tambang batu-bara, di Desa Mekar Jaya, Kecamatan Parenggean, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) pada 27 Mei 2015 lalu, kepala desa menjelaskan bahwa mereka sedang bersiap-siap menghadapi musim kemarau dengan bencana kabut asap yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan. Adanya persiapan demikian menumbuhkan harapan pada diri saya bahwa kemarau tahun ini, Kalteng akan bebas dari bencana kabut asap yang menyiksa dan menimbulkan banyak kerugian bagi kehidupan sehari-hari penduduk. Kalau pun bencana tersebut masih ada, pada harapan yang tumbuh itu terbayang ia tidak akan separah tahun 2014. Agustus tiba disusul oleh September tiba dengan kenyataan yang menghancurkan harapan tersebut. Bencana kabut asap bukannya berkurang tapi justru lebih parah dari tahun silam. Asap bahkan menyusup ke ruang-ruang rumah tempat tinggal dari pagi hingga malam, berlanjut hingga pagi lagi.Sementara penyelenggara Negara berteriak lantang agar pembakar lahan dan hutan ditangkap dan dihukum. Media massa cetak lokal memberitakan bahwa ada beberapa pembakar lahan yang ditangkap tapi mereka adalah pekerja upaha dengan bayaran Rp.100.000,- serta petani-petani biasa dengan tradisi berladangnya. Sementara perusahaan-perusahaaan yang junlahnya bervariasi (kadang-kadang dikatakan berjumlah tujuh, kadang-kadang berjumlah 12) yang diduga sengaja membakar lahan tidak satu pun yang disentuh. Hukum nampak hanya diberlakukan untuk wong cilik. Penyebab kebakaran hutan dan lahan pun ditimpakan pada wong cilik, yaitu petani kecil ladang berpindah. Tapi apakah kabut asap akan sebegini parah, jika penyebabnya adalah petani ladang berpindah yang menggarap ladangnya dengan cara membakar sejak ratusan tahun lakukannya? Menuding mereka sebagai salah satu penyebab kebakaran hutan, apakah lalu mereka dilarang berladang? Lalu hidup dari mana lagi mereka? Ini namanya kesewenang-wenangan seperti yang dilukiskan oleh pepatah Tiongkok Kuno: “raja boleh membakar rumah, penduduk tak boleh menyalakan tungku”. Sehingga penangkapan dan diproses-hukumkannya wong cilik ini mengesankan tidak lebih untuk memperlihatkan bahwa penyelenggara Negara mau menciptakan citra bahwa mereka bekerja dan tegas dalam melaksanakan hukum tanpa tebang pilih. Perusahaan-perusahaan besar dalam kenyataan menjadi kebal hukum (impunity) karena kekuatan uang dan tumbuhnya suburnya kolusi. Walau pun perusahaan-perusahaan besar swasta (PBS) ini seperti ditunjukkan oleh Kepala Bidang Pengawasan Pengamanan (Dishhutbun) Kotim Adrianus Salampak bahwa “pihaknya menemukan 12 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sengaja melakukan pembakaran untuk membuka lahannya” (Kalteng Pos, Palangka Raya, 10 September 2015). Impunitas PBS-PBS memperlihatkan bahwa dalam politik, investorlah yang mengatur pemerintah, bukan penyelenggara Negara yang mengatur investor. Karena itu, meskipun pemerintah Kotim menemukan perusahaan-perusahaan yang melakukan pembakaran lahan, namun menurut Adrianus, pihaknya tidak bisa mengambil tindakan tegas terhadap PBS-PBS tersebut. “Kendalanya karena kami saat ini tidak memiliki Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS), untuk menindak dan melakukan penyidikan”.
Padahal Presiden Joko Widodo ketika melihat langsung lokasi kebakaran hutan di Desa Pulau Geronggang, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, didampingi beberapa pejabat tinggi, termasuk Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo dan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti menginstruksikan aparatnya bertindak tegas terhadap para pembakar hutan. “Saya perintahkan ditindak setegas-tegasnya, sekeras-kerasnya, untuk perusahaan yang tidak mematuhi. Tidak sekali dua kali disampaikan karena mereka sebetulnya juga harus bertanggung jawab.” (http://www.sinarharapan.co/news/read/150908266/mempertanyakan-kebakaran-hutan).
Dengan alasan demikian, maka perintah Presiden Jokowi untuk menindak PBS-PBS pembakar hutan, “ setegas-tegasnya, sekeras-kerasnya”, menjadi tidak dilaksanakan. Sementara di pihak lain, pemberian izin secara tumpang-tindih dengan gampang dilakukan. Dengan tidak dilaksanakannya perintah Presiden ini oleh kepala-kepala daerah maka jangan diharap aka nada tindakan kongkret untuk menangani bencana asap yang mendera Kalteng. PBS-PBS pembakar hutan dan lahan tetap tak tersentuh hukum. Mereka tidak akan pernah jera melakukannya. Dari kenyataan ini nampak bahwa kekuasaan untuk menyelenggara Negara diperlakukan sebagai ladang subur untuk meraup uang oleh pemegang kekuasaan.
Jika dihubungkan dengan pilkada, terutama untuk melihat kemampuan dan rekam jejak petahana, untuk mengetahui kualitas seorang kepala daerah, kemampuan menangani dan mencegah bencana kabut asap, sebenarnya bisa dijadikan salah satu tolok-ukurnya. Sejarah mengatakan bahwa kata-kata kampanye dan pencitraan, tidak pernah bisa dipercayai. Pilkada bukanlah peluang memilih Negarawan tapi kalau ikut memilih, memilih politisien yang tidak akan menghalau bencana kabut asap dari kehidupan. Negarawan lahir dari gerakan massa. []
Politik Ekonomi Kebakaran Dan Asap: Melangkah Ke Solusi Jangka Panjang
Oleh Herry Purnomo
Lima puluh tahun lalu, Indonesia kaya dengan hutan lebat. Dan kemudian bum! Antara 1980 dan 2000 – ledakan penebangan kayu terjadi. Diikuti dengan penebangan kayu ilegal – selanjutnya, ledakan lain dalam 10 tahun sejak 2000, dan kemudian ledakan sawit mengikuti.
Hutan primer yang lebat digunduli dan berubah menjadi hutan terdegradasi, kemudian ditebang dan dibakar, disiapkan untuk perkebunan sawit dan kayu dengan skala berbeda.
Transformasi bentang alam ini memberi manfaat dan kerugian bagi aktor berbeda. Tetapi kebakaran dan asap menjadi bagian transformasi bentang alam.
Pemerintahan Presiden Joko Widodo, Indonesia berkomitmen mengurangi – atau bahkan menihilkan – kejadian kebakaran di Indonesia. Dan walaupun beberapa peningkatan dibuat, kebakaran dan asap berlanjut.
Tahun ini, Indonesia menghadapi El Niño, yang akan menyebabkan cuaca lebih kering dan meningkatkan kejadian kebakaran dan asap.
Solusi diperlukan, karena aksi selama ini sebagian besar memerangi kebakaran dan tidak secara sistematis mentautkannya dengan politik dan ekonomi kebakaran. El Nino menyebabkan cuaca lebih kering dan bisa meningkatkan intensitas kebakaran dan asap.
Mengkaji kebijakan dan perundangan kebakaran (yang berjalan maupun yang tidak) memetakan aktor, jejaring dan ekonomi, menyediakan peta tata ruang yang jelas dan transparan, serta melibatkannya dengan pembuat kebijakan dan praktisi kunci adalah jalan penting mengurangi kebakaran dan asap.
DIPERLUKAN RENCANA TATA RUANG
Tidak jelasnya rencana tata ruang berpengaruh dalam menghambat upaya penurunan kebakaran. Pada temu konsultatif pemangku kepentingan di Pekanbaru pada 25 Maret, perlunya memiliki kesepakatan dan rencana tata ruang yang bisa ditegakkan menjadi catatan khusus. Namun, ini tidaklah cukup.
Semua pemangku kepentingan perlu kembali duduk dan mendiskusikan pemetaan tata ruang dan mencoba mencapai kesepakatan. Menegosiasikan kepentingan konservasi, legalitas, bisnis, penghidupan lokal, reduksi emisi karbon dll. sangat penting, seraya juga memahami solusi “ideal” mungkin tidak ada.
Ketika mendiskusikan sejarah wilayah terdegradasi, negosiasi seharusnya mendiskusikan tidak hanya ruang tetapi juga durasi. Misalnya, sebuah wilayah yang dikonversi secara ilegal dari wilayah konservasi menjadi sawit, bisa tetap sawit untuk beberapa tahun tertentu untuk mengkompensasi investasi sektor swasta atau masyarakat lokal.
Perlu untuk duduk bersama menegoisasikan kepentingan konservasi, legalitas, bisnis, penghidupan lokal, pengurangan emisi karbon mencapai kesepakatan. Namun, setelah periode waktu terencana ada waktu merestorasi menjadi hutan.
Transaksi lahan ilegal dapat, dan memang terjadi dalam lahan konsesi dan lahan negara, ketika wilayah itu tidak benar-benar diamankan. Tuntutan ekonomi untuk lahan terdegradasi, terbakar n dan sawit merupakan penyebab besar transformasi hutan primer menjadi perkebunan tanaman yang memberi manfaat besar bagi aktor tertentu.
Pemerintah perlu menciptakan disinsentif terhadap kebutuhan lahan terdegradasi, terbakar dan tertanami sawit dengan menetapkan standar legalitas atas lahan yang telah dijual.
MENGHENTIKAN AKTIVITAS ILEGAL
Mendeteksi, mengantisipasi dan menindak kejahatan terorganisasi yang terlibat dalam transaksi lahan ilegal penyebab kebakaran dan asap harus dilakukan oleh institusi hukum. Pada saat yang sama, melatih polisi, jaksa dan hakim terkait hukum hutan dan lingkungan harus dilakukan.
Presiden Joko Widodo telah menetapkan satuan tugas untuk menyelesaikan konflik hutan di Indonesia.
Satuan tugas akan merupakan kolaborasi antara Kementerian Lingkungan Hidup and Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Agraria, serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Untuk menjamin keberhasilan satuan tugas ini, kesadaran publik melalui media massa dan media sosial mengenai pentingnya mengurangi kebakaran dan asap diperlukan.
MENCEGAH DEGRADASI GAMBUT
Degradasi gambut adalah sumber utama emisi karbon Indonesia akibat kebakaran. Gambut tidak hanya soal ekosistem berharga, tetapi juga soal orang yang tinggal di sana.
Untuk mengurangi kebakaran lahan gambut, kita perlu segera mengembangkan penghidupan dan sumber penghasilan bagi masyarakat asli dan lokal yang tinggal di lahan terdegradasi. Ini mencakup tanaman tahunan, hortikultur, agroforestri dan penanaman pohon sesui dengan kedalaman gambut, dan terkait industri skala kecil sepanjang rantai nilai.
Pada saat yang sama, masyarakat yang tinggal di lahan gambut yang baik juga perlu bantuan mengembangkan penghidupan dan sumber penghasilan mereka – melalui bantuan pembayaran jasa lingkungan dan REDD+.
Untuk mengurangi kebakaran lahan gambut, kita perlu segera mengembangkan penghidupan dan sumber penghasilan bagi masyarakat asli dan lokal yang tinggal di lahan terdegradasi
Memperkuat dan menyediakan dukungan finansial untuk organisasi akar rumput seperti Masyarakat Peduli Api akan menjamin efektivitas mereka mendukung deteksi kebakaran dan sistem peringatan dini.
Inisiatif lokal pada level skala-mikro seharusnya merestorasi lahan gambut dengan membendung kanal, membasahi gambut dan menanam Jelutung, karet dan nanas.
Meningkatkannya pada level bentang alam atau unit hidrologi akan memerlukan pemikiran lebih dalam dan pendekatan multi-pemangku kepentingan karena air adalah sumber langka dan dapat menjadi sumber konflik di musim kering.
Merencanakan dan mengeksekusi manajemen level air dalam skala lanskap melalui – antara lain aksi – bendung kanal, akan menjamin keadilan baik bagi aktor skala kecil maupun besar.
Pembangunan masyarakat dan penghidupannya peru ditempatkan untuk melanggengkan restorasi gambut. Berbagi praktik terbaik inisiatif lokal dan sektor swasta dalam restorasi ekosistem gambut serta mendorong adopsi praktik tersebut akan membantu menciptakan keseragaman.
Akhirnya, mengurangi kebakaran dan asap tidak hanya sebuah daftar “TINDAKAN” yang harus diikuti seperti dipaparkan di atas, tetapi juga BAGAIMANA melakukannya dan SIAPA yang seharusnya melakukan itu.
BAGAIMANA DAN SIAPA
Kita dapat menggunakan ‘pendekatan bentang alam’ untuk menyatukan pertanian, konservasi, dan perebutan penggunaan lahan lain untuk menjawab pertanyaan BAGAIMANA. Dalam pendekatan ini, pemerintah, petani kecil dan pemangku kepentingan lain akan terpanggil untuk mempertimbangkan keragaman tujuan mereka dalam bentang alam, memahami penyebab, menyusun prioritas, bertindak dan memantau kemajuan.
Memahami SIAPA sejatinya adalah “pemangku kepentingan kebakaran” sebagai kunci menuju keberhasilan pendekatan bentang alam. Pendekatan ini akan dipandu oleh sepuluh prinsip pendekatan bentang alam, yang menekankan manajemen adaptif, pelibatan pemangku kepentingan dan keberagaman tujuan.
Aksi bersama di antara negara anggota ASEAN – untuk mengurangi kebakaran dan asap melalui dialog berlanjut, pengumpulan dana dan aksi nyata di lapangan – perlu dilakukan untuk merealisasikan visi ASEAN bebas-asap 2020.
Akhirnya, berpikir global, mengaitkan dengan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) diperlukan untuk mendapat dukungan masyarakat nasional dan internasional.
* Herry Purnomo adalah ilmuwan berbasis di CIFOR di Bogor. Untuk informasi lebih jauh mengenai kebakaran dan asap Indonesia, silahkan hubungih.purnomo@cgiar.org.[Sumber : Kabar Hutan, 02 September 2015].