Halaman Masyarakat Adat | 7 April 2024 | Catatan Kusni Sulang: SEJARAH, RUANG TERBUKA HIJAU, TEMPAT PARKIR DAN PEMAJUAN ZAMANI

Radar Sampit, Minggu, 7 April 2024 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Gedung KONI Kalteng
Gedung KONI Kalteng (kaltengdaily)
Gedung KONI Kalteng
Gedung KONI di Jl. Tjilik Riwut No. 1, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Sabtu, 6/4/2024. Di halaman gedung terlihat alat berat dan tumpukan material terkait aktivitas pembongkaran. Foto: Andriani SJ Kusni

Gedung KONI yang dibangun pada tahun 1974, 17 tahun setelah Kalimantan Tengah (Kalteng) berdiri sebagai provinsi otonom seusai pemberontakan bersenjata rakyat—terutama masyarakat Dayak—setelah Lebaran ini akan dibongkar dan dijadikan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH).

Gedung ini diresmikan oleh Wakil Presiden Sultan Hamengku Buwono IX pada 1 Agustus 1975. Awalnya digunakan sebagai Gedung DPRD Kalteng di mana banyak keputusan-keputusan yang berperan dalam perkembangan Katleng telah diambil sedangkan Gedung DPRD Kalteng yang sekarang (terletak di depan Tugu Soekarno), tadinya digunakan sebagai Kantor Gubernur. Karena itu, Gedung KONI  dipandang sebagai salah satu gedung bersejarah dan pada tempatnya dijadikan sebagai cagar budaya.

Permintaan untuk menjadikan Gedung KONI diberikan status cagar budaya sudah pula diajukan dan didaftarkan di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi sebagaimana diperlihatkan oleh dokumen-dokumen seperti Surat Edaran Pelindungan Cagar Budaya Gedung KONI Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 2288/F.F4/KB.09.02/2024 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dan Surat Permohonan Peninjauan Kembali Pendaftaran Gedung KONI/Eks DPRD Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 800/1054/DPKKO-Umpeg/IV/2024 Pemerintah Kota Palangka Raya Sekretariat Daerah.

Surat Edaran Pelindungan Cagar Budaya Gedung KONI Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 2288/F.F4/KB.09.02/2024 Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Direktorat Jenderal Kebudayaan

Surat Permohonan Peninjauan Kembali Pendaftaran Gedung KONI/Eks DPRD Provinsi Kalimantan Tengah Nomor 800/1054/DPKKO-Umpeg/IV/2024 Pemerintah Kota Palangka Raya Sekretariat Daerah

Sekalipun Gedung KONI itu “telah masuk ke dalam daftar Objek yang Diduga Cagar Budaya, Pemerintah Provinsi Kalteng tetap berencana membongkar Gedung KONI Palangka Raya dengan alasan, menurut Wakil Gubernur Kalteng Edy Pratowo “menata kawasan sekitarnya secara komprehensif, termasuk membangun Ruang Terbuka Hijau (RTH). Dengan demikian, Bundaran Besar benar-benar menjadi sebuah tempat yang menciptakan multiplier effect (dampak ganda), di antaranya pertumbuhan ekonomi pariwisata hingga sarana edukasi dan rekreasi yang memadai.”

Gubernur Sugianto Sabran (mengutip Wakil Gubernur Edy Pratowo) menjelaskan, pembangunan RTH tersebut direncanakan dengan memugar atau membongkar bangunan eks Gedung KONI atau gedung DPRD lama yang ada saat ini.

Apabila diperlukan, juga termasuk kantor Dispora dan kantor Disnakertrans saat ini sebab kantor atau gedung pemerintahan itu sudah tidak layak dari sisi estetika jika berada di kawasan bundaran.

“Akan lebih tepat jika Bundaran Besar saat ini menyatu dengan kawasan Ruang Terbuka Hijau, dilengkapi playground taman bermain edukatif bagi anak-anak, serta bangunan satuan pendidikan Taman Kanak-Kanak,” kata Sugianto Sabran (https://kalteng.antaranews.com/berita/683181/wagub-kalteng-ada-keinginan-rth-dan-tempat-bermain-di-bundaran-besar).

Sementara Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kalteng Salahuddin mengetengahkan alasan-alasan pembongkaran sbb:

Maka dari itu, pihaknya (Salahuddin –KS) mengaku terkejut saat mengetahui Gedung KONI diduga sebagai cagar budaya. “Jadi jika dibilang saat ini muncul diduga cagar budaya, kenapa baru sekarang, tidak dari enam tahun lalu, mengingat enam tahun yang lalu membuat bangunan terintegrasi dengan bangunan sekitarnya tersebut, kita mengundang semua tokoh masyarakat termasuk budayawan yang ahli tentang cagar budaya, arsitek. Jadi kami saat ini hanya melanjutkan saja,” imbuhnya.

Salahuddin menyampaikan, kewenangan terkait cagar budaya merupakan kewenangan yang memiliki aset (https://kalteng.tribunnews.com/2024/03/27/gedung-koni-kalteng-di-bundaran-besar-palangkaraya-segera-dibongkar-perencanaan-sejak-6-tahun-lalu).

Setelah mengetahui rencana ini, gelombang penolakan pun datang dari berbagai pihak: dari para ahli, anggota-anggota DPRD Kota dan Provinsi, anggota DPD-RI, kalangan mahasiswa, gereja, dan lapisan masyarakat lainnya.

Argumen penolakan umumnya berangkat dari makna sejarah dan pendidikan dari gedung-gedung tua seperti Gedung KONI, yang sesungguhnya bukan tanpa preseden di provinsi ini.

Bahkan pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi melalui Dirjen Kebudayaan pun telah bersurat kepada Gubernur Kalteng, H. Sugianto Sabran, menyampaikan tiga hal:

  1. Pertama, Gedung KONI di Bundaran Besar Kota Palangka Raya telah masuk daftar objek diduga cagar budaya (ODCB) dengan potensi ditetapkan menjadi cagar budaya.
  2. Kedua, sesuai Undang-undang No. 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, maka selama dalam proses pengkajian, setiap objek diduga cagar budaya yang didaftarkan, akan dilindungi dan diperlakukan sebagai cagar budaya.
  3. Ketiga, agar rencana terkait gedung KONI tersebut ditunda hingga ada pertemuan dengan Tim Ahli Cagar Budaya Nasional (https://kaltengdaily.com/kabar-terkini/kemendikbudristek-ri-minta-pembongkaran-gedung-koni-kalteng-ditunda/).

Dalam penolakan terhadap rencana pembongkaran Gedung KONI Palangka Raya ini, yang disampaikan bukan hanya protes, tetapi saran-saran jalan keluar atau alternatif pun dikemukakan.

Terhadap pendapat-pendapat ini, Wakil Gubernur Kalteng Edy Pratowo hanya mengatakan, “Ya, kita termasuk mendengarkan semuanya,” (https://prokalteng.jawapos.com/pemerintahan/pemprov-kalteng/28/02/2024/respon-surat-teras-narang-soal-rencana-pembongkaran-gedung-.koni-ini-penjelasan-wagub-kalteng/).

Tapi yang sering saya alami bahwa yang didengar itu biasanya dibiarkan masuk dari telinga kiri, segera keluar dari telinga kanan. Apalagi kalau menyimak argumen Salahuddin bahwa “Apakah itu diduga cagar budaya, menurut saya, itu merupakan kewenangan yang memiliki aset dan secara sah aset tersebut kepunyaan pemprov. Jadi sudah semestinya pihak pemprov yang lebih berhak menentukan, apakah Gedung KONI tersebut dijadikan cagar budaya atau tidaknya.” Pandangan yang memperlihatkan pendekatan kekuasaannya begitu kuat: “Boleh mengatakan apa saja, yang menentukan adalah saya karena saya yang berkuasa”.

Pandangan begini sama sekali tidak memedulikan apakah yang disampaikan dan ‘pura-pura’ didengar itu, benar atau salah secara hakekat. Suatu sikap yang disebut oleh Merton sebagai ‘kepribadian birokratik’ (bureaucratic personality), walaupun dalam praktek, pemahaman terhadap peraturan-peraturan oleh para birokrat itu patut dipertanyakan.

Alasan-alasan yang dikemukakan oleh Salahuddin sebenarnya sangat lemah. Ketiadaan tempat parkir, keamanan gedung sudah tak terjamin, sudah mengajak diskusi para pihak enam tahun silam. Mantan Plt Ketua KONI Kalteng, Christian Sancho mengatakan bahwa gedung KONI masih layak dipakai tidak seperti yang disebut oleh Salahuddin sedangkan mengenai diskusi dengan para pihak yang disebut oleh Salahuddin, menurut Sancho, “Rapat terkait pembongkaran tersebut yang diundang sangat terbatas, orang-orang yang diundang, merupakan orang-orang yang tidak bisa berbicara seperti saya,” tambah Sancho (https://kalteng.tribunnews.com/2024/03/01/gedung-koni-kalteng-masih-layak-pakai-bangunan-bersejarah-saat-pembentukan-provinsi?page=2).

Terbatasnya ruangan ini membuat saya tidak bisa membahas seluruh argumen dari Wakil Gubernur dan  Salahuddin poin per poin. Yang mau saya garis bawahi bahwa penghancuran benda sejarah seperti yang mungkin dijadikan cagar budaya, sama dengan melenyapkan bukti sejarah tentang suatu peristiwa atau hal-ikhwal. Yang dihancurkan tidak bisa kembali lagi. Hilang. Bukti-bukti pun hilang oleh penghancuran itu. Jika langkah begini diteruskan,  akan beralasan orang mengatakan bahwa Dayak, Kalteng adalah manusia dan daerah primitif walaupun ada mobil,internet, dan lain-lain.

Jika ini terjadi maka apa yang bisa dibanggakan Dayak dan Kalteng, orang dan daerah yang tak punya sejarah. Secara psikologis akan berkembang pengingkaran diri, mentalitas rendah diri, dasar pembenaran Dayak tidak layak memegang penyelenggaraan Negara dan daerahnya. Bunuh diri budaya akan berkembang. Bukti bunuh diri budaya yang saya sinyalir ini memiliki banyak bukti.

Singkatnya: Penghancuran cagar budaya, yang mungkin dijadikan cagar budaya dan bukti-bukti sejarah adalah suatu kesalahan besar, tindak anti-kebudayaan dan  berdampak generatif apalagi atas nama tempat parkir. Sejarah akan mencatatnya memang, tapi tidak dengan penghormatan.

Pemajuan zamani tidak akan terwujud dengan menjadikan diri primitif.***


Halaman Masyarakat Adat asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 7 April 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi
Halaman Masyarakat Adat asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 7 April 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi

Halaman Budaya Sahewan Panarung | 31 Maret 2024 | Catatan Kebudayaan Andriani SJ Kusni: SAKULA BUDAYA DAN KONSOLIDASI HASIL

Radar Sampit, Minggu, 31 Maret 2024

Ugak (berbaju merah) melatih anak asuhnya main (bela diri Dayak) di Sakula Budaya Handep-Hapakat di ruang terbuka karena ruang gereja yang dipinjamkan oleh Geraja Kalimantan Evangelis Desa Sumur Mas tidak cukup menampung jumlah peserta. Latihan dilakukan tanpa iringan gendang dan gong. Hanya gerak dan suara pelatih yang memberi aba-aba. (Foto dan Dok.: Kusni Sulang/2024)

Sovie sedang melatih anak-anak asuhnya menari di Sakula Budaya Handep-Hapakat. Latihan menari pun dilangsungkan dengan musik dari telepon genggam yang suaranya antara terdengar dan tidak. (Foto dan Dok.: Kusni Sulang/2024)

Tiap kali latihan main, Ugak selalu mengenakan lawung (ikat kepala) Merah-Putih. Foto dan Dok.: Kusni Sulang/2024

Sakula Budaya Desa Sumur Mas Kecamatan Téwah, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng) pada 2 Maret 2024 sudah selesai. Kepada para pelatih dan para peserta diberikan sertifikat yang telah dibingkai rapi, sedangkan untuk pemerintah desa dan kepala sekolah SD dan SMP diberikan sertifikat penghargaan atas partisipasi aktif mereka dalam menyelenggarakan Sakula Budaya.

Sakula Budaya memang dinyatakan selesai tapi kegiatan kebudayaan desa tidak berakhir dan terus berlanjut. Mengapa berlanjut dan bagaimana melanjutkannya?

Para pihak seperti pemerintah desa, pihak sekolah, kepolisian Kecamatan Téwah dan para orang tua peserta Sakula serta para peserta Sakula itu sendiri sangat mengharapkan kegiatan berlanjut. Mereka sangat merasakan kegunaaan adanya Sakula Budaya ini dan juga melihat sedang ditunggu oleh perspektif yang cerah.

Ketika masa Sakula berakhir dan acara tamat Sakula diselenggarakan meriah dengan sambutan dari Dirjen Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalteng dan Kabupaten, para orang tua para peserta Sakula dan guru-guru SD dan SMP bernafas lega, berkata, “Akhirnya kita berhasil.”

Kelegaaan ini gampang dipahami karena Sakula Budaya ini sesungguhnya dimulai terutama bermodalkan semangat dan niat memberikan sesuatu untuk tujuan “Manggatang Utus”.

Penyelenggara yang terdiri dari Yayasan Borneo Institut, Fairventure World Wide (yang kemudian berubah menjadi Good Forest Indonesia), Pemdes, SD dan SMP Desa, awalnya tidak memiliki kelengkapan apa pun. Gendang. gong, kecapi, rebab, kangkanong, pengeras suara, dan lain-lain tidak ada.

Melihat keadaan itu, warga desa mencari pinjaman gong dan gendang. Pemangku adat desa, Mantir Herlison menebang sebatang pohon umtuk dijadikan dua buah kecapi yang digunakan untuk mengiringi pelajar mempraktekkan Karungut. Kusni Sulang, seorang pencinta budaya yang turut membantu penyelenggaraan Sakula, tanpa keengganan “mengemis” bantuan ke berbagai pihak dan mendapatkan bantuan gendang baru dari Kardinal Tarung (Damang Jekan Raya, Palangka Raya), sebuah kecapi dari Hansli Gonak (Kepala Dinas  Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gunung Mas), teman-teman Jerman yang sempat berkunjung secara spontan menyumbangkan dana untuk membelikan peralatan-peralatan mendesak seperti pengeras suara berukuran kecil yang diperlukan untuk latihan menari. Bahkan empati nyata juga datang dari Andrew, teman Kusni Sulang di Universitas Pittsburgh, Amerika Serikat.

Nampak bahwa kebersamaan merupakan kekuatan yang bisa memberikan hasil di luar bayangan. Kebersamaan bisa digerakkan oleh niat dan tujuan baik dan ketulusan—sesuatu yang langka dalam masyarakat kita hari ini, tapi masih tersisa. Masih ada.

Teringat keadaan demikian, pada acara tamat Sakula, para pelatih, para peserta, orang tua-orang tua anak-anak dan  pihak Pemdes bernafas lega bahkan ada yang meneteskan air mata. Menanggapi reaksi demikian, Kusni Sulang mengatakan kepada mereka, “Kita sudah memulai sesuatu dan kita akan jalan terus ke depan. Bukan ke belakang. Dayak itu artinya sama dengan pejuang, bukan pengemis!”

Ide, sikap dan semangat demikianlah yang dituangkan dalam slogan Sakula:”Dayak Hingkat, Dayak Batarung, Dayak Manang. Sakula Budaya: Manggatang Utus” (Dayak Bangkit, Dayak Berjuang, Dayak Menang. Sakula Budaya (untuk) Manggatang Utus”.

Adakah dampak dari slogan ini pada masyarakat desa?

Nampaknya ada. Terdapat beberapa petunjuk. Waktu penyelenggaraan Sakula Budaya di Desa  Linau, Kecamatan Rungan, warga desa mengira Sakula Budaya itu hanya belajar  main, karungut dan seni lainnya. Ketika mendengar adanya lahap (pekikan tarung diteriakkan) disusun oleh slogan di atas, nampak jelas air muka warga desa yang selalu hadir menonton anak-anak mereka latihan, berubah. Seperti orang tersentak. Baru tahu pesan inti penyelenggaraan Sakula.

Di Desa Sumur Mas, setelah sadar akan pesan slogan, setiap melatih, Ugak Sang Pelatih selalu mengenakan ikat kepala (lawung) Merah-Putih. Di desa ini juga, seorang peserta anak SD bercerita penuh antusiasme tentang keindahan alam air terjun 12 lapis yang menurutnya pasti tak ada di bagian dunia lainnya. Ia juga berkisah kepada Kusni Sulang tentang jahatnya penjajahan Jepang. Kemudian, Kusni Sulang ditanyai oleh warga desa.

“Apakah Bué (Bhs Dayak Ngaju: kakek) seorang veteran?”

“Saya veteran?”

“Ya, betul kan, Bué seorang veteran?”

“Bué terlalu kecil pada masa perang gerilya menghalau Belanda dulu, tapi semua anggota keluarga Bué terlibat dalam perang itu,” jawab Kusni.

Cerita-cerita di atas memperlihatkan bahwa pesan slogan Sakula menjalar sampai ke pikiran dan perasaan warga desa. Slogan yang masih diingat oleh peserta didik dan selalu dipekikkan dengan penuh semangat. Serukan saja kata Dayak dengan mengangkat tangan ke atas, maka akan langung terdengar jawaban penuh semangat, “Hingkat, Batarung, Manang dan Manggatang Utus”.

Pasti sikap begini bukanlah kebetulan. Artinya, semangat dan pemahaman yang disebarkan oleh Sakula Budaya di desa, bisa dijadikan bekal spiritual untuk perubahan maju. Dayak itu mau berubah maju.

Untuk melangkah jauh dalam melakukan perubahan maju, yang pertama-tama diperlukan adalah pemajuan pola pikir dan mentalitas bagaimana membuat seluruh warga—terutama yang terpuruk—Hingkat, Batarung untuk Manang dan Manggatang Utus yang seniscayanya.

Lebih lanjut dijelaskan dan ditunjukkan secara konkret, bagaimana hingkat dan batarung, bagaimana manang dan manggatang utus. Penjelasan akan lebih efektif ketika sejarah, filosofi dan nilai-nilai budaya lokal digunakan sehingga etnisitas dan kearifan lokal adalah metode pendekatan yang tak ada kaitannya dengan etnosentrisme. Etnosentris bukan etnosentrisme.

Untuk mengkonsolidasi hasil-hasil yang dicapai melalui Sakula Budaya dan agar kegiatan kebudayaan di desa berlanjut, pada 23 Maret 2024 di Gereja Kalimantan Evangelis desa yang biasa digunakan sebagai tempat latihan, seusai pembagian sertifikat Sakula kepada para peserta, pihak pemerintah desa, pemangku adat dan penyelenggara Sakula Budaya mengadakan rapat bersama untuk menetapkan langkah-langkah tindak lanjut. Rapat memutuskan mendirikan organisasi kebudayaan berakta  notaris, dinamai Sanggar Budaya Handep-Hapakat Desa Linau dengan Yater Sahabu sebagai ketua sanggar dan Mantir Herlison sebagai wakil ketua. Selain itu, rapat konsolidasi menetapkan jadwal kerja yang mesti diselesaikan.

Rapat konsolidasi itu memaknai sanggar sebagai wadah melakukan kegiatan kebudayaan dan kebudayaan tidak  terbatas pada kesenian. Kesenian sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat, hanyalah salah satu dari tujuh unsur kebudayaan yaitu: sistem peralatan hidup, mata pencaharian, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem pengetahuan dan religi. Kebudayaan adalah hal-hal yang bersangkutan dengan budi atau akal (Koentjaraningrat,(1974:19).

Sanggar Budaya inilah selanjutnya yang akan meneruskan pekerjaan Sakula Budaya yang dalam waktu dekat akan diselenggarakan di desa lain, masih di Kabupaten Gunung Mas. Terbayangkan oleh pembaca jika pada suatu hari, desa-desa  Kalteng  mempunyai Sakula Budaya dan selanjutnya memiliki organisasi kebudayaan masing-masing?

Pelestarian, revitalisasi, transformasi dan pemajuan kemajuan lokal pada saat itu tidak lagi sebatas pernyataan-pernyataan formal standar karena tujuan tersebut mendapatkan cara pelaksanaannya secara terorganisasi dan terencana.***


Sajak Magusig O Bungai
Aku Gaér (Aku Khawatir)



Amas Bukit Naga
Amas Batu Apui
Amas pètak-danum
Mampabèlum lèwu
Bara nyélu ka nyélu


(Emas Bukit Naga
Emas Bukit Apui
Emas kampung-halaman
Menghidupkan lèwu)

Amas panénga
Kataun-kajénta Hattala Ranying
Panguasa karé langit
Bulan matanandau
Akan Utus Dayak-Panarung itah


(Emas anugerah
Tanda kasih sayang Hatatala Ranying
Penguasa seluruh langit
Bulan matahari
Ke Utus Dayak Paanarung kita)

Panjang késah-sarita akangkuh je nakan harian
Huran yuh huran auh ah, amas inggaú
Baranjung-ranjung amas indinu
Baya mbuhen o tambi-bué
Panjang-haї aku
Léwu tatap tapilihi
Huma-séruk tatap baya-baya kia
Nahuang sakula masih bahali?


(Panjang kisah-cerita kepadaku yang lahir belakangan
Dahulu ya dahulu dituturkan, emas dicari
Berkeranjang-keranjang emas diperoleh
Tapi mengapa o kakek-nenekku
Besar dewasaku
Kampung-halaman masih saja tertinggal
Rumah tinggal tetap saja bagai sedia kala
Mau sekolah pun tak ada biaya)

Tahining kuh hung silan léwu
Tégé suara paham nyaring
Diá eh suara riwut-barat, oi aring
Suara té suara buldozer uluh luar
Manggaú amas pétak-danum itah imbongkar

(Di sebelah kampung kudengar
Ada suara nyaring benar
Pasti bukan suara angin ribut, adikku
Suara itu gemuruh bulldozer orang luar
Memburu emas kampung-halaman kita dibongkar)

Aku gaer tambi-bué
Aku gugup mina-mana
Umai-Aba
Je tatisa akangku
Baya rutik jatun am baguna


(Aku khawatir kakek-nenek
Aku gugup paman-tante
Ayah-ibu
Yang tersisa untukku
Hanyalah sampah tanpa guna)


Februari 2024


Halaman Budaya Sahewan Panarung asuhan Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni. Radar Sampit, Minggu, 31 Maret 2024. Redaktur: Heru Prayitno, Penata Letak: Rafi