Wawancara dengan Aryo Nugroho, Salah Seorang Anggota Tim Penasehat Hukum Kades Kinipan Wilem Hengki
Radar Sampit, Minggu, 27/2/2022 | Pewawancara: Andriani SJ Kusni
Pada 17/2/2022, dalam upaya mendalami kasus Kades Kinipan dan Kinipan, pengasuh ruangan Halaman Masyarakat Adat Radar Sampit, telah menemui dan mewawancarai Aryo Nugroho, salah seorang anggota Tim Penasehat Hukum Kades Kinipan Wilem Hengki. Aryo Nugroho juga adalah Ketua LBH Palangka Raya. Upaya ini diharapkan bisa berlanjut ke pihak-pihak lain sehingga masalah Kinipan dan Kades Kinipan berada dalam ruang terang bagi masyarakat. Berikut kutipan wawancaranya:
T: Sebelumnya terima kasih atas kesediaan memenuhi undangan wawancara dari kami untuk siaran Halaman Masyarakat Adat di Harian Radar Sampit. Bisa diuraikan kembali untuk para pembaca, bagaimana duduk perkara dan kronologis peristiwa Kasus Kades Kinipan menurut Tim Penasehat Hukum (TPH) dan Jaksa Penuntut Umum? Ada perbedaankah dan mengapa ada perbedaan?
J: Pertama-tama kami juga mengucapkan terima kasih telah diundang karena cukup penting untuk menjelaskan duduk persoalan ini pada masyarakat. Bagi kami sendiri, ini hal yang belum pernah dilakukan khususnya di lingkungan LBH Palangka Raya yang berada di bawah naungan YLBHI yaitu menangani kasus korupsi. Korupsi adalah satu kejahatan yang luar biasa tapi dalam Kasus Kades Kinipan, Pak Willem Hengki ini, ada yang beda dan mungkin bisa jadi satu modus baru yang dikembangkan terkait kriminalisasi. Memang pada kenyataannya banyak persoalan yang terjadi yang pernah menjadi pengalaman. Kepala desa yang selama ini berani bersama masyarakat menolak investasi tidak banyak. Kalaupun ada, berdasarkan pengalaman kami, itu juga tak lepas dari kriminalisasi. Untuk diketahui, persoalan ini, Kasus Kinipan, sebenarnya sudah lama. LBH Palangka Raya baru hadir di Kalimantan Tengah per 2019. Waktu itu kami belum begitu intens karena masih baru. Di tahun 2020, viral Kasus Pak Effendy Buhing dan teman-teman. Nah, pada waktu itu baru kami dikontak AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Kalteng untuk melakukan pendampingan. Akhirnya, bergabung bersama beberapa organisasi lain, terbentuklah Koalisi Keadilan untuk Kinipan sehingga dalam advokasi Kinipan termasuk Kasus Kades Kinipan ini, tidak membawa identitas organisasi sendiri-sendiri namun identitas koalisi. Secara umum menurut kami, peristiwa yang menimpa Pak Hengki adalah satu posisi yang serba sulit. Mengapa begitu? Karena proses peristiwanya adalah dia membayarkan pekerjaan yang sudah ada di tahun 2017 dan pembayarannya di tahun 2019. Awal mula ceritanya, di 2017, sebenarnya tidak hanya jalan yang dipersoalkan hari ini atau jalan usaha tani yang dikenal warga sebagai Jalan Pahiyan. Di 2017, ada hasil musyawarah warga yang menginginkan adanya prioritas pembangunan jalan usaha tani. Itu ada tiga jalan: Urawan, Jelayan, dan Pahiyan. Urayan dan Jelayan masuk di APBDes dan terselenggara melalui swakelola dengan pihak ketiga dimana yang mengerjakan adalah CV Bukit Pendulangan. Karena hanya dua jalan padahal permintaan warga tiga jalan, namun karena tidak dianggarkan dan anggaran sudah habis, maka berkomunikasilah kepala desa dengan pihak CV Bukit Pendulangan agar dibantu pengerjaannya tapi penganggrannya di 2018. Kenapa ini penting diceritakan? Karena orang pasti bertanya, kok perusahaan mau, belum dibayar tapi sudah mengerjakan sesuatu. Sebenarnya sudah ada kerjasama antara Desa Kinipan dan CV Bukit Pendulangan. Seharusnya ini dianggarkan di 2018. Kepala desa sebelumnya selesai 2017. Ada masa transisi dimana di 2018 ada pejabat sementara dari pihak kecamatan. Sebenarnya sudah diminta untuk menganggarkan di 2018, tapi tidak dilakukan bahkan ada penagihan dari CV Bukit Pendulangan ke pejabat sementara tapi dalam jawabannya, pejabat sementara mengatakan statusnya bukan definitif sehingga tak punya kewenangan atas itu, bahasanya begitu. Akhirnya di 2018, pemilihan kepala desa. Ada lima calon. Nah ini juga harus diungkap, Pak Hengki dipilih secara demokratis dan dia tertinggi diantara calon-calon lain. Setelah pelantikan di akhir 2018, datanglah CV Bukit Pendulangan menagih pembayaran kerja di 2017 dengan menunjukkan perjanjian kerja antara Desa Kinipan dan CV Bukit Pendulangan di 2017. Masuk 2019 awal. Terkait penagihan tersebut, Kepala Desa Pak Hengki, memanggil tokoh-tokoh dan warga, apakah ini benar, apakah ini perlu dibayar, dan segala macam. Akhirnya ada musyawarah desa, musrenbang desa yang memprioritaskan pembayaran tagihan itu. Memang kita mengakui bahwa ada kelemahan dalam kasus Pak Hengki ini. Kelemahannya apa? Satu, walaupun sudah diminta tapi CV Bukit Pendulangan tidak memberikan dokumen hasil pekerjaan. Seharusnya dalam kontrak itu ada laporan progress ya, 50%, 60%, sampai 100%. Nah ini yang tidak ada. Sebenarnya hal ini juga membuat bingung karena tidak pernah ada ceritanya desa mempunyai hutang. Maka dibuatlah dalam APBDes itu seolah-olah membuat jalan baru. Karena tidak ada laporan nilai kontrak di 2017 senilai 400 juta sehingga Kades Kinipan melakukan upaya lagi dengan menghitung ulang. Ketemu konsultan dan diperoleh hasil hitung ulang 350 juta. Sebenarnya sudah ada efisiensi dari 400 juta menjadi 350 juta. Sampai pada tahap tagihan itu dibayarkan, sebelumnya juga sudah konsultasi ke inspektorat, BMD, kecamatan sampai wakil bupati. Intinya sama bahwa pekerjaan itu ada artinya tidak fiktif, ya silahkan dibayarkan. Kasus ini mulai, sebagaimana kami sampaikan dimana-mana, ada surat perintah dari Bupati Lamandau di tahun 2019 kepada Inspektorat Kabupaten Lamandau agar memeriksa adanya dugaan korupsi atau penyalahgunaan dana desa. Yang menarik adalah sebelum ada hasil pemeriksaan inspektorat atas perintah bupati, Polres Lamandau sudah mulai penyelidikan dengan meminta keterangan sejumlah warga, walapupun bahasanya undangan klarifikasi, tapi sebenarnya ini sudah satu indikasi proses penyelidikan. Pertanyaannya, darimana kepolisian punya indikasi bahwa itu sudah terjadi padahal belum ada laporan dari inspektorat. Dalam hal ini kita akui ada kesalahan administrasi yang sebenarnya bisa diselesaikan secara internal pemerintahan atau ada aparat penegak hukum pemerintahan aktif dan itu secara terang dan jelas ada di undang-undang administrasi pemerintahan, diselesaikan dulu baru bisa dilanjutkan ke aparat penegak hukum. Pada kenyataannya, ini belum dilaksanakan. Yang menarik adalah dalam laporan hasil pemeriksaan inspektorat tidak menyatakan adanya kerugian negara walaupun ada bahasa pembayaran atau SPJ fiktif. Nah, SPJ fiktifnya itu karena obyek yang dikerjakan itu di tahun 2017 tapi dibayarkan di 2019 sehingga perhitungannya di 2019 tidak banyak aktivitas, tidak membuat jalan baru, gitu. Memang ada beberapa bagian yang dibuat. Nah itulah yang dihitung dan dianggap bisa dipertanggungjawabkan sementara sisanya tidak. Ini akhirnya membuat perbedaan persepsi. Kalau nyambung langsung ke sikap penyidik sampai Jaksa Penuntut Umum, dia mempersoalkan kejadian di 2019 walaupun di dakwaan menyangkut juga di 2017 sehingga saat kami melakukan tanggapan atau keberatan atas dakwaan Penuntut Umum, kami sampaikan Penuntut Umum tidak menggambarkan secara terang pekerjaan di 2017 itu sudah dibayarkan atau belum sementara di dalam dakwaan menyebutkan ada pembuatan jalan di 2017, ada perjanjian kerja tapi tidak menyebutkan sudah dibayar atau belum sehingga menurut kami ada pengkaburan. Proses ini kami yakini sebagaimana dijelaskan tadi. Jalannya ada, sampai sekarang, bisa dicek. Jadi bukan fiktif.
T: Tadi dikatakan, kelemahan kasus ini adalah kesalahan administrasi. Apakah itu menjadi perhatian Penuntut Umum?
J: Tidak. Mereka akhirnya tidak juga menggunakan hasil pemeriksaan inspektorat karena dalam berkas perkara yang kami terima itu tidak ada malah mereka menggunakan hasil kajian dari PU (Dinas Pekerjaan Umum-ASK) dan dari BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan-ASK) terkait adanya kerugian negara sehingga tidak ada disebutkan telah diselesaikan secara internal tadi. Ini memang langsung diarahkan ke aparat penegak hukum padahal sebenarnya kami menemukan juga di 2018 ada kesepakatan antara Kemendagri kalau tak salah dengan kejaksaan dan kepolisian bahwa proses dugaan tindak pidana korupsi diselesaikan dulu di bagian pemerintahan.
T: Bagaimana perkembangan kasus ini sekarang? Apa yang akan dilakukan Tim Penasehat Hukum selanjutnya?
J: Pertama, ini sudah akan memasuki sidang yang keempat untuk minggu depan (Senin, 21/2/2022-ASK), agendanya adalah putusan sela dimana tanggapan kami atas dakwaan atau eksepsi di tanggal 7 Februari, meminta apa yang didakwakan tidak diterima, kasus dihentikan dan Pak Hengki dibebaskan dari tahanan. Di awal persidangan, 31 Januari, kami memang memohon peralihan penahanan, dari tahanan rutan menjadi tahanan kota dengan penjamin 3 orang, salah satunya istri Pak Hengki dan dua dosen, Pak Paulus dari FISIP-UPR dan Bu Luis dari Fakultas Hukum UPR. Akhirnya, di sidang ketiga (14/2) dengan agenda tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum terhadap eksepsi terdakwa yaitu Kepala Desa Kinipan Willem Hengki, hakim mengabulkan permohonan ini sehingga posisi Pak Kades sudah tidak di rutan tapi tahanan kota.
T: Dari pengamatan kami berdasarkan informasi-informasi terkumpul dari berbagai sumber, Kasus Kades Kinipan ini menyangkut soal-soal (1) Penyalahgunaan (power abuse) dan kepongahan kekuasaan; (2) Menyangkut soal hubungan konsekuensi logis antara politisi yang jadi pedagang dan pedagang politisi; (3) Politik investasi: apakah investor yang mengatur penyelenggara Negara atau Negara yang mengatur investor; (4) Penegakan hukum sehingga berdampak pada kriminalisasi masyarakat akar rumput. Bagaimana pendapat TPH?
J: Yang bisa kami sampaikan, dalam hal ini yang kami advokasi bukan Pak Hengki selaku pribadi tapi beliau selaku bagian dari masyarakat adat Laman Kinipan. Permohonan memang dari komunitas. Mengapa? Ini kaitannya dengan poin (3), kami melihat bahwa persoalan Kinipan ini bukan persoalan hukum an sich yang bisa dilihat kasat mata tapi ada unsur politik juga. Apakah ada hubungan terkait investasi? Iya karena wilayah yang diakui sebagai wilayah adat yang sudah dideklarasikan secara terang-terangan sejak 2016 berjumlah sekitar 16.000 hektar kemudian datang PT Sawit Mandiri Lestari (selanjutnya disingkat PT SML-ASK) dimana orang-orang yang menjadi pimpinannya hari ini masih orang dekat bahkan ada kaitan keluarga dengan pemegang kekuasaan saat ini. Jadi begini, ada dua konsesi yang berada di wilayah adat Kinipan. Satu, perkebunan sawit PT SML. Dua, HPH PT Amprah Mitra Jaya. Kita tahu, ada dokumennya, bupati saat ini adalah pimpinan di PT Amprah Mitra Jaya sebelumnya. Secara politik, pasti ada kaitan walaupun sekarang posisinya sebagai bupati dan tidak di perusahaan itu lagi.
T: Pernah mendapat ancaman selama kasus ini berlangsung?
J: Belum. Kalau untuk Pak Hengki, kami sampaikan bahwa upaya kriminalisasi terhadap beliau tidak hanya saat sekarang. Tapi sebelumnya, beliau melaporkan ke kepolisian warga Kinipan yang menjual lahan sekitar 100 hektar ke PT SML. Setelah dilaporkan, ada tindak lanjut dari kepolisian dan gelar perkara di lahan sengketa, lokasinya agak di atas, cukup jauh dari Kinipan, harus naik perahu dan segala macam. Setelah gelar perkara selesai, tiba-tiba ada yang membakar pondok dan pohon. Tidak diketahui siapa yang bakar. Atas kejadian itu, Pak Hengki dipanggil dan dimintai keterangan bersama empat orang lainnya. Ini aneh. Satu sisi tadi laporan penjualan lahan desa, di sisi lain masalah pembakaran diangkat juga. Dan akhirnya terkait penjualan potensi desa itu tidak ada tindak lanjut dari pihak kepolisian, juga pemanggilan soal kebakaran tidak ada tindak lanjut. Yang paling nyata di 2020, waktu ramai-ramainya kasus Effendi Buhing. Sebelum Effendi Buhing, ada penahanan terhadap beberapa orang, salah satunya adalah staf Kaur Pemerintahan Desa Kinipan, Riswan. Di Agustus 2020, Pak Hengki selaku kades mendampingi Riswan memberi keterangan di kepolisian walaupun pada akhirnya langsung dibawa ke Polda. Nah disitu sebenarnya terjadi intimidasi. Ada ucapan dari pihak penyidik kurang lebih begini ‘sudah kamu ngaku saja bahwa kamu yang punya alat ini, barang bukti’. Kita ketahui bersama, yang disangkakan atau dituduhkan itu adalah mencuri chainsaw-alat potong kayu-dengan kekerasan. Padahal cerita yang sebenarnya adalah di lokasi sengketa itu sudah ada bagian terbuka dan di pinggir yang terbuka itu mereka bikin rumah jaga. Waktu itu memang sudah ada pasukan tapi bukan Pasukan Merah tapi Prajah Motanoi. Nah, ada kesepakatan-kesepakatan. Intinya, perusahaan menghentikan aktivitas sebelum ada kesepakatan yang akan dijadwalkan pertemuannya. Sebelum pertemuan itu, pihak perusahaan rupanya bekerja. Mendengar bunyi chainsaw, datanglah kawan-kawan ini untuk bertanya. Melihat yang datang ada pakai atribut, mereka kabur. Chainsaw ditinggal. Dalam kasus Pak Hengki, saat beliau mendampingi Riswan di Polres Lamandau, ada warga yang mau menitipkan atau memberikan chainsaw ke istri kades yaitu istri Pak Hengki. Karena suaminya belum pulang, istrinya menolak. Dia juga tahu persoalan terkait pencurian dan diduga kuat bahwa chainsaw inilah yang akan dijadikan barang bukti. Karena takut ini akan jadi masalah, warga yang bersangkutan dimintai keterangan dan membikin surat pernyataan bahwa yang menyuruh warga tersebut mengantarkan chainsaw ke rumah kades adalah oknnum kepolisian. Surat pernyataan itu ada. Nah, dari sini kan sudah terlihat rangkaian betapa sesuatu yang tidak ada tapi diada-adakan dan dikait-kaitkan. Kami juga memunculkan dalam eksepsi bahwa saat bertemu pejabat tinggi di Lamandau, secara verbal Pak Hengki menerima langsung ucapan ‘Hati-hati kamu. Saya masih punya waktu empat tahun sebagai pejabat dan kalau saya tidak masukkan kamu ke penjara, jangan sebut saya sebagai pejabat’. Di Kinipan ini, menariknya adalah ada beberapa tokoh sentral. Ada Pak Effendi Buhing, Kades. Persoalan ini sudah lama. Sebelum PT SML, ini wilayah HPH-nya Tanjung Lingga sehingga sangat sulit untuk tidak mengaitkan ini dengan pemegang kekuasaan sekarang. Dan memang sejak awal ada penolakan terkait Tanjung Lingga. Konsekuensi logis terkait investasi dan segala macamnya, saya pikir begini, kenapa Willem Hengki dibidik? Atau dibungkam. Atau dikriminalisasi. Pertama, ada kaitan erat dengan wilayah adat Kinipan yang sampai hari ini belum diakui. Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau menyatakan bahwa masih ada sengketa batas desa. Dalam hal ini, posisi kades sangat vital terkait administrasi pemerintahan juga administrasi kewilayahan. Pada akhir 2021, sudah ada keputusan Bupati Lamandau terkait penetapan batas desa walaupun masih ada satu desa yang belum dimana desa ini memang sudah masuk wilayah konsesi. Hanya Kinipan yang nolak. Fakta lain yang menarik adalah penghentian sementara Kades Kinipan. Tim PH dan warga baru tahu bahwa Kades Kinipan dihentikan sementara oleh Bupati Lamandau setelah beliau di Palangka Raya, artinya proses persidangan sudah berjalan. Sidang pertama itu kan 31 Januari. Surat tersebut bertanggal 7 Januari. Sementara di tanggal 12 januari, Pak Hengki masih menghadiri undangan dari kecamatan membahas musrenbang padahal statusnya sudah dihentikan sementara berdasarkan surat bupati per tanggal 7 Januari. Kami juga kaget, baru tahu saat proses persidangan tanggal 31 membuat kami berpikir ini berkaitan dengan kekuasaan, politik, investasi. Setahu kami, sudah ada penunjukan kepala desa baru, sementara. Imbasnya, yang seharusnya menjadi bagian kan ada kaur pemerintahan, ada sekretaris desa tapi tak berani mengambil amanah menggantikan sementara karena adanya kriminalisasi. Ini dampak psikologis bagi masyarakat akar rumput.
T: Ancaman belum ada, bujukan-bujukan?
J: Sejauh ini belum ada.
T: Hal baru adalah solidaritas warga akar rumput terhadap Kades Willem Hengki dan kasus-kasus terkait Kinipan. Bagaimana tumbuhnya solidaritas begini di kalangan masyarakat yang didominasi oleh hedonisme dan mengingat dasar budaya Dayak yang menurut Kusni Sulang, tidak mengenal solidaritas tapi barter?
J: Kalau kami lihat, solidaritas itu tumbuh dari mereka sendiri. Sebagaimana disampaikan Bung Kusni, di waktu Tanjung Lingga, memang ada solidaritas tapi untuk perang. Melalui interaksi-interaksi, ada upaya mencari bagaimana cara merekatkan sebagai saudara, sahabat, yang kalau ada kesusahan, ada sakit, tanpa harus ditanya, pasti bantu secara sukarela tanpa iming-iming segala macam. Pengalaman saya sendiri juga, mereka sudah tercampur dengan dunia luar. Ini tidak bisa dipungkiri. Semua sudah masuk tapi mereka tidak bangga, khususnya yang tua-tua. Ada yang pernah kami wawancara, sampai saat ini masih aktif, Pak Kardinus. Dia dulunya tukang manjat pohon ambil madu. Beliau mengatakan ‘hutan itu toserba, mal bagi mereka. Semua ada di situ’. Dari kaum ibu-ibu bahkan ada yang mengatakan ‘hutan adalah harga diri mereka’, sementara bapak-bapaknya sudah mulai tergiur dengan uang terkait lahan yang digarap, gimana kompensasinya, dan segala macam. Terkait solidaritas, di awal pelimpahan dari kepolisian ke kejaksaaan di Lamandau, mereka datang, aksi. Untuk makan, mereka bawa jala dari kampung, untuk lauk makan bersama. Karena sebagian juga anggota pasukan (Pasukan Merah-ASK), enggak boleh makan daging dan segala macam. Di aksi yang berlangsung kemarin, di penangguhan, di tingkat kejaksaan, di kepolisian, di peralihan penahanan, ada 40 sampai 50-an orang siap jadi penjamin.
T: Makan tanggung sendiri?
J: Walaupun di sini masak sama-sama, ya. Ada solidaritas juga dari kawan-kawan LSM misal membuat kaos, dijual, lalu hasil penjualan sebagian diberikan untuk perjuangan. Ini bagian dari refleksi juga sebagaimana yang saya saksikan sendiri selama ini. Ada beberapa kasus, stop di masalah kriminalisasinya dan tidak menyentuh persoalan pokoknya. Kami menilai bahwa LSM terlalu memanjakan masyarakat. Masyarakat boleh dibilang tak mengeluarkan apa-apa, semuanya dipenuhi akhirnya kriminalisasi jalan, persidangan jalan, kehabisan. Kami berpikir dan sepakat, ini nggak bisa. Harus bersama-sama. Harus juga ada solidaritas dari warga. Dalam kasus Pak Hengki, ini kami sampaikan di awal bahwa proses akan panjang, butuh logistik segala macam. Kami minta terus-terang harus ada sumbangsih dari warga. Waktu itu, langsung mereka cari.
T: Mereka sepakat?
J: Ya. Pendekatan kami coba ubah. Tidak hanya pemberdayaan ekonomi semata. Kami tak ingin mengulangi cara dulu. Sampai terakhir rencana tanggal 21 (maksudnya 21/2 lalu-ASK), dipastikan warga akan turun kembali. Kami menganggap, dalam kasus Pak Hengki ini, tekanan massa cukup efektif.
T: Berapa banyak yang rencananya akan turun tanggal 21?
J: Sekitar 50-an.
T: Cukup jauh.
J: Ada 600 km, PP 1200-an km. Di sidang pertama, ada yang hitung.
T: Biaya sendiri?
J: Biaya sendiri.
T: Seberapa kuat kesadaran hukum masyarakat Kinipan khususnya dan Dayak umumnya maka mereka mampu menempuh jalan legal? Apa yang niscaya dilakukan di daerah pedesaan agar warga mempunyai kesadaran hukum yang memadai?
J: Satu, dari semua proses itu ternyata baru di awal tahun lalu ada semacam upaya penyadaran, belajar bersama. Kami lebih percaya diri membahasakannya sebagai belajar bersama. Diselenggarakan oleh koalisi. Kami dari LBH, bagian hukumnya terkait paralegal. Walaupun penerimaannya tidak begitu apa ya, sebenarnya posisi hari ini itu masyarakat sudah jenuh, ada ketidakpercayaan pada hukum tapi karena ketidakberdayaan, mau apalagi. Bicara kesadaran hukum kalau dengan cara-cara yang sudah dilakukan, waktu sesi kami, warga menyampaikan ‘Kami sudah bosan’, bahkan ada ‘Saya sudah tidak percaya lagi kepolisian di Lamandau’. Respon ini wajar menurut kami melihat apa yang terjadi pada Pak Effendi Buhing, Riswan, Kades Kinipan sehingga mereka merasa antipati. Bahwa mereka menghormati proses dan segala macam, ya itu mau-nggak mau. Kalau bicara tingkat kesadaran hukum yang ideal, pengetahuan hak dan kewajiban, cara untuk memperoleh hak-hak tersebut, warga memang belum sampai ke sana. Sementara mengenai hukum adat yang asli, juga belum sampai ke sana. Ada kendala bahasa, kelelahan mental melalui proses yang panjang, dan lain-lain jadi kami hanya memberitahukan ini hak-hak yang diatur dalam konstitusi, ini cara mendapatkannya. Pendekatan yang coba dilakukan adalah masyarakat Kinipan mengerti hak-hak mereka secara aturan perundang-undangan. Masih dalam proses itu. Setidaknya, kalau mereka meyakini bahwa perjuangan mereka mendapatkan pengakuan diatur dalam undang-undang, mereka tahu sudah sesuai jalur.
T: Tim Penasehat Hukum apakah dibayar? Oleh siapa kalau dibayar? Ataukah pembelaan ini berangkat dari komitmen sosial Tim Penasehat Hukum?
J: Pertama, di lingkup YLBHI-LBH Palangka Raya dan Koalisi Keadilan untuk Kinipan, untuk kasus ini tidak ada yang membayari. Dari hati. Dan sebenarnya secara konstitusi pun, advokat boleh melakukan pendampingan secara cuma-cuma. Memang banyak yang menduga, aksi massa hari demi hari, rapi banget, nggak mungkin. Pasti ada… ada yang mengatakan begitu, tapi saat dipersidangan, sanggahannya dari Pak Hengki sendiri waktu kami menyampaikan eksepsi tentang intimidasi verbal pejabat tinggi tadi, dia langsung berkaca-kaca. Saat selesai, hakim tanya, dia bilang ‘Ini untuk warga. Saya bilang sama masyarakat saya sudah siap. Saya titipkan keluarga saya’. Ucapan dia kedua, ‘Dengan Tim PH, saya tidak memberikan apapun, tidak memberikan sepeserpun . Kalau saya salah, tidak usah dibela’. Itu ucapan dia di rutan. Kalau ada yang mengatakan itu settingan, kenyataannya seperti itu. Kami sudah komitmen sejak awal pendampingan komunitas. Kami tak mendapatkan bayaran sepeserpun untuk mengadvokasi kasus Pak Hengki.
T: Terima kasih, Bung Aryo, atas waktunya.
J: Siap.