Upaya Melihat Kinipan Lebih Dalam

Wawancara dengan Aryo Nugroho, Salah Seorang Anggota Tim Penasehat Hukum Kades Kinipan Wilem Hengki

Radar Sampit, Minggu, 27/2/2022 | Pewawancara: Andriani SJ Kusni

Aksi menuntut pembebasan Kades Kinipan Willem Hengki, di depan Gedung Pengadilan Tipikor Palangka Raya saat sidang Putusan Sela berlangsung, Senin 21/2/2022. Foto: Andriani SJ Kusni
Aksi menuntut pembebasan Kades Kinipan Willem Hengki, di depan Gedung Pengadilan Tipikor Palangka Raya saat sidang Putusan Sela berlangsung, Senin 21/2/2022. Foto: Andriani SJ Kusni

Wawancara dengan salah seorang anggota Tim Penasehat Hukum Kades Kinipan Wilem Hengki, Aryo Nugroho, yang juga Ketua Lembaga Bantuan Hukum Palangka Raya. Foto: Kusni Sulang, Kamis, 17/2/2022

Pada 17/2/2022, dalam upaya mendalami kasus Kades Kinipan dan Kinipan, pengasuh ruangan Halaman Masyarakat Adat Radar Sampit, telah menemui dan mewawancarai Aryo Nugroho, salah seorang anggota Tim Penasehat Hukum Kades Kinipan Wilem Hengki. Aryo Nugroho juga adalah Ketua LBH Palangka Raya. Upaya ini diharapkan bisa berlanjut ke pihak-pihak lain sehingga masalah Kinipan dan Kades Kinipan berada dalam ruang terang bagi masyarakat. Berikut kutipan wawancaranya:

T: Sebelumnya terima kasih atas kesediaan memenuhi undangan wawancara dari kami untuk siaran Halaman Masyarakat Adat di Harian Radar Sampit. Bisa diuraikan kembali untuk para pembaca, bagaimana duduk perkara dan kronologis peristiwa Kasus Kades Kinipan menurut Tim Penasehat Hukum (TPH) dan Jaksa Penuntut Umum? Ada perbedaankah dan mengapa ada perbedaan?

J: Pertama-tama kami juga mengucapkan terima kasih telah diundang karena cukup penting untuk menjelaskan duduk persoalan ini pada masyarakat. Bagi kami sendiri, ini hal yang belum pernah dilakukan khususnya di lingkungan LBH Palangka Raya yang berada di bawah naungan YLBHI yaitu menangani kasus korupsi. Korupsi adalah satu kejahatan yang luar biasa tapi dalam Kasus Kades Kinipan, Pak Willem Hengki ini, ada yang beda dan mungkin bisa jadi satu modus baru yang dikembangkan terkait kriminalisasi. Memang pada kenyataannya banyak persoalan yang terjadi yang pernah menjadi pengalaman. Kepala desa yang selama ini berani bersama masyarakat menolak investasi tidak banyak. Kalaupun ada, berdasarkan pengalaman kami, itu juga tak lepas dari kriminalisasi. Untuk diketahui, persoalan ini, Kasus Kinipan, sebenarnya sudah lama. LBH Palangka Raya baru hadir di Kalimantan Tengah per 2019. Waktu itu kami belum begitu intens karena masih baru. Di tahun 2020, viral Kasus Pak Effendy Buhing dan teman-teman. Nah, pada waktu itu baru kami dikontak AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara) Kalteng untuk melakukan pendampingan. Akhirnya, bergabung bersama beberapa organisasi lain, terbentuklah Koalisi Keadilan untuk Kinipan sehingga dalam advokasi Kinipan termasuk Kasus Kades Kinipan ini, tidak membawa identitas organisasi sendiri-sendiri namun identitas koalisi. Secara umum menurut kami, peristiwa yang menimpa Pak Hengki adalah satu posisi yang serba sulit. Mengapa begitu? Karena proses peristiwanya adalah dia membayarkan pekerjaan yang sudah ada di tahun 2017 dan pembayarannya di tahun 2019. Awal mula ceritanya, di 2017, sebenarnya tidak hanya jalan yang dipersoalkan hari ini atau jalan usaha tani yang dikenal warga sebagai Jalan Pahiyan. Di 2017, ada hasil musyawarah warga yang menginginkan adanya prioritas pembangunan jalan usaha tani. Itu ada tiga jalan: Urawan, Jelayan, dan Pahiyan. Urayan dan Jelayan masuk di APBDes dan terselenggara melalui swakelola dengan pihak ketiga dimana yang mengerjakan adalah CV Bukit Pendulangan. Karena hanya dua jalan padahal permintaan warga tiga jalan, namun karena tidak dianggarkan dan anggaran sudah habis, maka berkomunikasilah kepala desa dengan pihak CV Bukit Pendulangan agar dibantu pengerjaannya tapi penganggrannya di 2018. Kenapa ini penting diceritakan? Karena orang pasti bertanya, kok perusahaan mau, belum dibayar tapi sudah mengerjakan sesuatu. Sebenarnya sudah ada kerjasama antara Desa Kinipan dan CV Bukit Pendulangan. Seharusnya ini dianggarkan di 2018. Kepala desa sebelumnya selesai 2017. Ada masa transisi dimana di 2018 ada pejabat sementara dari pihak kecamatan. Sebenarnya sudah diminta untuk menganggarkan di 2018, tapi tidak dilakukan bahkan ada penagihan dari CV Bukit Pendulangan ke pejabat sementara tapi dalam jawabannya, pejabat sementara mengatakan statusnya bukan definitif sehingga tak punya kewenangan atas itu, bahasanya begitu. Akhirnya di 2018, pemilihan kepala desa. Ada lima calon. Nah ini juga harus diungkap, Pak Hengki dipilih secara demokratis dan dia tertinggi diantara calon-calon lain. Setelah pelantikan di akhir 2018, datanglah CV Bukit Pendulangan menagih pembayaran kerja di 2017 dengan menunjukkan perjanjian kerja antara Desa Kinipan dan CV Bukit Pendulangan di 2017. Masuk 2019 awal. Terkait penagihan tersebut, Kepala Desa Pak Hengki, memanggil tokoh-tokoh dan warga, apakah ini benar, apakah ini perlu dibayar, dan segala macam. Akhirnya ada musyawarah desa, musrenbang desa yang memprioritaskan pembayaran tagihan itu. Memang kita mengakui bahwa ada kelemahan dalam kasus Pak Hengki ini. Kelemahannya apa? Satu, walaupun sudah diminta tapi CV Bukit Pendulangan tidak memberikan dokumen hasil pekerjaan. Seharusnya dalam kontrak itu ada laporan progress ya, 50%, 60%, sampai 100%. Nah ini yang tidak ada. Sebenarnya hal ini juga membuat bingung karena tidak pernah ada ceritanya desa mempunyai hutang. Maka dibuatlah dalam APBDes itu seolah-olah membuat jalan baru. Karena tidak ada laporan nilai kontrak di 2017 senilai 400 juta sehingga Kades Kinipan melakukan upaya lagi dengan menghitung ulang. Ketemu konsultan dan diperoleh hasil hitung ulang 350 juta. Sebenarnya sudah ada efisiensi dari 400 juta menjadi 350 juta. Sampai pada tahap tagihan itu dibayarkan, sebelumnya juga sudah konsultasi ke inspektorat, BMD, kecamatan sampai wakil bupati. Intinya sama bahwa pekerjaan itu ada artinya tidak fiktif, ya silahkan dibayarkan. Kasus ini mulai, sebagaimana kami sampaikan dimana-mana, ada surat perintah dari Bupati Lamandau di tahun 2019 kepada Inspektorat Kabupaten Lamandau agar memeriksa adanya dugaan korupsi atau penyalahgunaan dana desa. Yang menarik adalah sebelum ada hasil pemeriksaan inspektorat atas perintah bupati, Polres Lamandau sudah mulai penyelidikan dengan meminta keterangan sejumlah warga, walapupun bahasanya undangan klarifikasi, tapi sebenarnya ini sudah satu indikasi proses penyelidikan. Pertanyaannya, darimana kepolisian punya indikasi bahwa itu sudah terjadi padahal belum ada laporan dari inspektorat. Dalam hal ini kita akui ada kesalahan administrasi yang sebenarnya bisa diselesaikan secara internal pemerintahan atau ada aparat penegak hukum pemerintahan aktif dan itu secara terang dan jelas ada di undang-undang administrasi pemerintahan, diselesaikan dulu baru bisa dilanjutkan ke aparat penegak hukum. Pada kenyataannya, ini belum dilaksanakan. Yang menarik adalah dalam laporan hasil pemeriksaan inspektorat tidak menyatakan adanya kerugian negara walaupun ada bahasa pembayaran atau SPJ fiktif. Nah, SPJ fiktifnya itu karena obyek yang dikerjakan itu di tahun 2017 tapi dibayarkan di 2019 sehingga perhitungannya di 2019 tidak banyak aktivitas, tidak membuat jalan baru, gitu. Memang ada beberapa bagian yang dibuat. Nah itulah yang dihitung dan dianggap bisa dipertanggungjawabkan sementara sisanya tidak. Ini akhirnya membuat perbedaan persepsi. Kalau nyambung langsung ke sikap penyidik sampai Jaksa Penuntut Umum, dia mempersoalkan kejadian di 2019 walaupun di dakwaan menyangkut juga di 2017 sehingga saat kami melakukan tanggapan atau keberatan atas dakwaan Penuntut Umum, kami sampaikan Penuntut Umum tidak menggambarkan secara terang pekerjaan di 2017 itu sudah dibayarkan atau belum sementara di dalam dakwaan menyebutkan ada pembuatan jalan di 2017, ada perjanjian kerja tapi tidak menyebutkan sudah dibayar atau belum sehingga menurut kami ada pengkaburan. Proses ini kami yakini sebagaimana dijelaskan tadi. Jalannya ada, sampai sekarang, bisa dicek. Jadi bukan fiktif.

T: Tadi dikatakan, kelemahan kasus ini adalah kesalahan administrasi. Apakah itu menjadi perhatian Penuntut Umum?

J: Tidak. Mereka akhirnya tidak juga menggunakan hasil pemeriksaan inspektorat karena dalam berkas perkara yang kami terima itu tidak ada malah mereka menggunakan hasil kajian dari PU (Dinas Pekerjaan Umum-ASK) dan dari BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan-ASK) terkait adanya kerugian negara sehingga tidak ada disebutkan telah diselesaikan secara internal tadi. Ini memang langsung diarahkan ke aparat penegak hukum padahal sebenarnya kami menemukan juga di 2018 ada kesepakatan antara Kemendagri kalau tak salah dengan kejaksaan dan kepolisian bahwa proses dugaan tindak pidana korupsi diselesaikan dulu di bagian pemerintahan.

T: Bagaimana perkembangan kasus ini sekarang? Apa yang akan dilakukan Tim Penasehat Hukum selanjutnya?

J: Pertama, ini sudah akan memasuki sidang yang keempat untuk minggu depan (Senin, 21/2/2022-ASK), agendanya adalah putusan sela dimana tanggapan kami atas dakwaan atau eksepsi di tanggal 7 Februari, meminta apa yang didakwakan tidak diterima, kasus dihentikan dan Pak Hengki dibebaskan dari tahanan. Di awal persidangan, 31 Januari, kami memang memohon peralihan penahanan, dari tahanan rutan menjadi tahanan kota dengan penjamin 3 orang, salah satunya istri Pak Hengki dan dua dosen, Pak Paulus dari FISIP-UPR dan Bu Luis dari Fakultas Hukum UPR. Akhirnya, di sidang ketiga (14/2) dengan agenda tanggapan dari Jaksa Penuntut Umum terhadap eksepsi terdakwa yaitu Kepala Desa Kinipan Willem Hengki, hakim mengabulkan permohonan ini sehingga posisi Pak Kades sudah tidak di rutan tapi tahanan kota.

T: Dari pengamatan kami berdasarkan informasi-informasi terkumpul dari berbagai sumber, Kasus  Kades Kinipan ini menyangkut soal-soal (1) Penyalahgunaan (power abuse) dan kepongahan kekuasaan; (2) Menyangkut soal hubungan konsekuensi logis antara politisi yang jadi pedagang dan pedagang politisi; (3) Politik investasi: apakah investor yang mengatur penyelenggara Negara atau Negara yang mengatur investor; (4) Penegakan hukum sehingga berdampak pada kriminalisasi masyarakat akar rumput. Bagaimana pendapat TPH?

J: Yang bisa kami sampaikan, dalam hal ini yang kami advokasi bukan Pak Hengki selaku pribadi tapi beliau selaku bagian dari masyarakat adat Laman Kinipan. Permohonan memang dari komunitas. Mengapa? Ini kaitannya dengan poin (3), kami melihat bahwa persoalan Kinipan ini bukan persoalan hukum an sich yang bisa dilihat kasat mata tapi ada unsur politik juga. Apakah ada hubungan terkait investasi? Iya karena wilayah yang diakui sebagai wilayah adat yang sudah dideklarasikan secara terang-terangan sejak 2016 berjumlah sekitar 16.000 hektar kemudian datang PT Sawit Mandiri Lestari (selanjutnya disingkat PT SML-ASK) dimana orang-orang yang menjadi pimpinannya hari ini masih orang dekat bahkan ada kaitan keluarga dengan pemegang kekuasaan saat ini. Jadi begini, ada dua konsesi yang berada di wilayah adat Kinipan. Satu, perkebunan sawit PT SML. Dua, HPH PT Amprah Mitra Jaya. Kita tahu, ada dokumennya, bupati saat ini adalah pimpinan di PT Amprah Mitra Jaya sebelumnya. Secara politik, pasti ada kaitan walaupun sekarang posisinya sebagai bupati dan tidak di perusahaan itu lagi.

T: Pernah mendapat ancaman selama kasus ini berlangsung?

J: Belum. Kalau untuk Pak Hengki, kami sampaikan bahwa upaya kriminalisasi terhadap beliau tidak hanya saat sekarang. Tapi sebelumnya, beliau melaporkan ke kepolisian warga Kinipan yang menjual lahan sekitar 100 hektar ke PT SML. Setelah dilaporkan, ada tindak lanjut dari kepolisian dan gelar perkara di lahan sengketa, lokasinya agak di atas, cukup jauh dari Kinipan, harus naik perahu dan segala macam. Setelah gelar perkara selesai, tiba-tiba ada yang membakar pondok dan pohon. Tidak diketahui siapa yang bakar. Atas kejadian itu, Pak Hengki dipanggil dan dimintai keterangan bersama empat orang lainnya. Ini aneh. Satu sisi tadi laporan penjualan lahan desa, di sisi lain masalah pembakaran diangkat juga. Dan akhirnya terkait penjualan potensi desa itu tidak ada tindak lanjut dari pihak kepolisian, juga pemanggilan soal kebakaran tidak ada tindak lanjut. Yang paling nyata di 2020, waktu ramai-ramainya kasus Effendi Buhing. Sebelum Effendi Buhing, ada penahanan terhadap beberapa orang, salah satunya adalah staf Kaur Pemerintahan Desa Kinipan, Riswan. Di Agustus 2020, Pak Hengki selaku kades mendampingi Riswan memberi keterangan di kepolisian walaupun pada akhirnya langsung dibawa ke Polda. Nah disitu sebenarnya terjadi intimidasi. Ada ucapan dari pihak penyidik kurang lebih begini ‘sudah kamu ngaku saja bahwa kamu yang punya alat ini, barang bukti’. Kita ketahui bersama, yang disangkakan atau dituduhkan itu adalah mencuri chainsaw-alat potong kayu-dengan kekerasan. Padahal cerita yang sebenarnya adalah di lokasi sengketa itu sudah ada bagian terbuka dan di pinggir yang terbuka itu mereka bikin rumah jaga. Waktu itu memang sudah ada pasukan tapi bukan Pasukan Merah tapi Prajah Motanoi. Nah, ada kesepakatan-kesepakatan. Intinya, perusahaan menghentikan aktivitas sebelum ada kesepakatan yang akan dijadwalkan pertemuannya. Sebelum pertemuan itu, pihak perusahaan rupanya bekerja. Mendengar bunyi chainsaw, datanglah kawan-kawan ini untuk bertanya. Melihat yang datang ada pakai atribut, mereka kabur. Chainsaw ditinggal. Dalam kasus Pak Hengki, saat beliau mendampingi Riswan di Polres Lamandau, ada warga yang mau menitipkan atau memberikan chainsaw ke istri kades yaitu istri Pak Hengki. Karena suaminya belum pulang, istrinya menolak. Dia juga tahu persoalan terkait pencurian dan diduga kuat bahwa chainsaw inilah yang akan dijadikan barang bukti. Karena takut ini akan jadi masalah, warga yang bersangkutan dimintai keterangan dan membikin surat pernyataan bahwa yang menyuruh warga tersebut mengantarkan chainsaw ke rumah kades adalah oknnum kepolisian. Surat pernyataan itu ada. Nah, dari sini kan sudah terlihat rangkaian betapa sesuatu yang tidak ada tapi diada-adakan dan dikait-kaitkan. Kami juga memunculkan dalam eksepsi bahwa saat bertemu pejabat tinggi di Lamandau, secara verbal Pak Hengki menerima langsung ucapan ‘Hati-hati kamu. Saya masih punya waktu empat tahun sebagai pejabat dan kalau saya tidak masukkan kamu ke penjara, jangan sebut saya sebagai pejabat’. Di Kinipan ini, menariknya adalah ada beberapa tokoh sentral. Ada Pak Effendi Buhing, Kades. Persoalan ini sudah lama. Sebelum PT SML, ini wilayah HPH-nya Tanjung Lingga sehingga sangat sulit untuk tidak mengaitkan ini dengan pemegang kekuasaan sekarang. Dan memang sejak awal ada penolakan terkait Tanjung Lingga. Konsekuensi logis terkait investasi dan segala macamnya, saya pikir begini, kenapa Willem Hengki dibidik? Atau dibungkam. Atau dikriminalisasi. Pertama, ada kaitan erat dengan wilayah adat Kinipan yang sampai hari ini belum diakui. Pemerintah Daerah Kabupaten Lamandau menyatakan bahwa masih ada sengketa batas desa. Dalam hal ini, posisi kades sangat vital terkait administrasi pemerintahan juga administrasi kewilayahan. Pada akhir 2021, sudah ada keputusan Bupati Lamandau terkait penetapan batas desa walaupun masih ada satu desa yang belum dimana desa ini memang sudah masuk wilayah konsesi. Hanya Kinipan yang nolak. Fakta lain yang menarik adalah penghentian sementara Kades Kinipan. Tim PH dan warga baru tahu bahwa Kades Kinipan dihentikan sementara oleh Bupati Lamandau setelah beliau di Palangka Raya, artinya proses persidangan sudah berjalan. Sidang pertama itu kan 31 Januari. Surat tersebut bertanggal 7 Januari. Sementara di tanggal 12 januari, Pak Hengki masih menghadiri undangan dari kecamatan membahas musrenbang padahal statusnya sudah dihentikan sementara berdasarkan surat bupati per tanggal 7 Januari.  Kami juga kaget, baru tahu saat proses persidangan tanggal 31 membuat kami berpikir ini berkaitan dengan kekuasaan, politik, investasi. Setahu kami, sudah ada penunjukan kepala desa baru, sementara. Imbasnya, yang seharusnya menjadi bagian kan ada kaur pemerintahan, ada sekretaris desa tapi tak berani mengambil amanah menggantikan sementara karena adanya kriminalisasi. Ini dampak psikologis bagi masyarakat akar rumput.

T: Ancaman belum ada, bujukan-bujukan?

J: Sejauh ini belum ada.

T: Hal baru adalah solidaritas warga akar rumput terhadap Kades Willem Hengki dan kasus-kasus terkait Kinipan. Bagaimana tumbuhnya solidaritas begini di kalangan masyarakat yang didominasi oleh hedonisme dan mengingat dasar budaya Dayak yang menurut Kusni Sulang, tidak mengenal solidaritas tapi barter?

J: Kalau kami lihat, solidaritas itu tumbuh dari mereka sendiri. Sebagaimana disampaikan Bung Kusni, di waktu Tanjung Lingga, memang ada solidaritas tapi untuk perang. Melalui interaksi-interaksi, ada upaya mencari bagaimana cara merekatkan sebagai saudara, sahabat, yang kalau ada kesusahan, ada sakit, tanpa harus ditanya, pasti bantu secara sukarela tanpa iming-iming segala macam. Pengalaman saya sendiri juga, mereka sudah tercampur dengan dunia luar. Ini tidak bisa dipungkiri. Semua sudah masuk tapi mereka tidak bangga, khususnya yang tua-tua. Ada yang pernah kami wawancara, sampai saat ini masih aktif, Pak Kardinus. Dia dulunya tukang manjat pohon ambil madu. Beliau mengatakan ‘hutan itu toserba, mal bagi mereka. Semua ada di situ’. Dari kaum ibu-ibu bahkan ada yang mengatakan ‘hutan adalah harga diri mereka’, sementara bapak-bapaknya sudah mulai tergiur dengan uang terkait lahan yang digarap, gimana kompensasinya, dan segala macam. Terkait solidaritas, di awal pelimpahan dari kepolisian ke kejaksaaan di Lamandau, mereka datang, aksi. Untuk makan, mereka bawa jala dari kampung, untuk lauk makan bersama. Karena sebagian juga anggota pasukan (Pasukan Merah-ASK), enggak boleh makan daging dan segala macam. Di aksi yang berlangsung kemarin, di penangguhan, di tingkat kejaksaan, di kepolisian, di peralihan penahanan, ada 40 sampai 50-an orang siap jadi penjamin.

T: Makan tanggung sendiri?

J: Walaupun di sini masak sama-sama, ya. Ada solidaritas juga dari kawan-kawan LSM misal membuat kaos, dijual, lalu hasil penjualan sebagian diberikan untuk perjuangan. Ini bagian dari refleksi juga sebagaimana yang saya saksikan sendiri selama ini. Ada beberapa kasus, stop di masalah kriminalisasinya dan tidak menyentuh persoalan pokoknya. Kami menilai bahwa LSM terlalu memanjakan masyarakat. Masyarakat boleh dibilang tak mengeluarkan apa-apa, semuanya dipenuhi akhirnya kriminalisasi jalan, persidangan jalan, kehabisan. Kami berpikir dan sepakat, ini nggak bisa. Harus bersama-sama. Harus juga ada solidaritas dari warga. Dalam kasus Pak Hengki, ini kami sampaikan di awal bahwa proses akan panjang, butuh logistik segala macam. Kami minta terus-terang harus ada sumbangsih dari warga. Waktu itu, langsung mereka cari.

T: Mereka sepakat?

J: Ya. Pendekatan kami coba ubah. Tidak hanya pemberdayaan ekonomi semata. Kami tak ingin mengulangi cara dulu. Sampai terakhir rencana tanggal 21 (maksudnya 21/2 lalu-ASK), dipastikan warga akan turun kembali. Kami menganggap, dalam kasus Pak Hengki ini, tekanan massa cukup efektif.

T: Berapa banyak yang rencananya akan turun tanggal 21?

J: Sekitar 50-an.

T: Cukup jauh.

J: Ada 600 km, PP 1200-an km. Di sidang pertama, ada yang hitung.

T: Biaya sendiri?

J: Biaya sendiri.

T: Seberapa kuat kesadaran hukum masyarakat Kinipan khususnya dan Dayak umumnya maka mereka mampu menempuh jalan legal? Apa yang niscaya dilakukan di daerah pedesaan agar warga mempunyai kesadaran hukum yang memadai?

J: Satu, dari semua proses itu ternyata baru di awal tahun lalu ada semacam upaya penyadaran, belajar bersama. Kami lebih percaya diri membahasakannya sebagai belajar bersama. Diselenggarakan oleh koalisi. Kami dari LBH, bagian hukumnya terkait paralegal. Walaupun penerimaannya tidak begitu apa ya, sebenarnya posisi hari ini itu masyarakat sudah jenuh, ada ketidakpercayaan pada hukum tapi karena ketidakberdayaan, mau apalagi. Bicara kesadaran hukum kalau dengan cara-cara yang sudah dilakukan, waktu sesi kami, warga menyampaikan ‘Kami sudah bosan’, bahkan ada ‘Saya sudah tidak percaya lagi kepolisian di Lamandau’. Respon ini wajar menurut kami melihat apa yang terjadi pada Pak Effendi Buhing, Riswan, Kades Kinipan sehingga mereka merasa antipati. Bahwa mereka menghormati proses dan segala macam, ya itu mau-nggak mau. Kalau bicara tingkat kesadaran hukum yang ideal, pengetahuan hak dan kewajiban, cara untuk memperoleh hak-hak tersebut, warga memang belum sampai ke sana. Sementara mengenai hukum adat yang asli, juga belum sampai ke sana. Ada kendala bahasa, kelelahan mental melalui proses yang panjang, dan lain-lain jadi kami hanya memberitahukan ini hak-hak yang diatur dalam konstitusi, ini cara mendapatkannya. Pendekatan yang coba dilakukan adalah masyarakat Kinipan mengerti hak-hak mereka secara aturan perundang-undangan. Masih dalam proses itu. Setidaknya, kalau mereka meyakini bahwa perjuangan mereka mendapatkan pengakuan diatur dalam undang-undang, mereka tahu sudah sesuai jalur.

T: Tim Penasehat Hukum apakah dibayar? Oleh siapa kalau dibayar?  Ataukah pembelaan ini berangkat dari komitmen sosial Tim Penasehat Hukum?

J: Pertama, di lingkup YLBHI-LBH Palangka Raya dan Koalisi Keadilan untuk Kinipan, untuk kasus ini tidak ada yang membayari. Dari hati. Dan sebenarnya secara konstitusi pun, advokat boleh melakukan pendampingan secara cuma-cuma. Memang banyak yang menduga, aksi massa hari demi hari, rapi banget, nggak mungkin. Pasti ada… ada yang mengatakan begitu, tapi saat dipersidangan, sanggahannya dari Pak Hengki sendiri waktu kami menyampaikan eksepsi tentang intimidasi verbal pejabat tinggi tadi, dia langsung berkaca-kaca. Saat selesai, hakim tanya, dia bilang ‘Ini untuk warga. Saya bilang sama masyarakat saya sudah siap. Saya titipkan keluarga saya’. Ucapan dia kedua, ‘Dengan Tim PH, saya tidak memberikan apapun, tidak memberikan sepeserpun . Kalau saya salah, tidak usah dibela’. Itu ucapan dia di rutan. Kalau ada yang mengatakan itu settingan, kenyataannya seperti itu. Kami sudah komitmen sejak awal pendampingan komunitas. Kami tak mendapatkan bayaran sepeserpun untuk mengadvokasi kasus Pak Hengki.

T: Terima kasih, Bung Aryo, atas waktunya.

J: Siap.


Halaman Masyarakat Adat Radar Sampit, Minggu 27/2/2022.

Catatan Andriani SJ Kusni: MEMERIKSA CARA BERPIKIR KITA

Kusni Sulang-Andriani SJ Kusni, 2022
Halaman Budaya Sahewan Panarung, Radar Sampit, Minggu, 20/2/2022.

Sketsa Yumero berjudul Ekspedisi di Rumah Angker Sangga Buana Palangka Raya Sambil Bakar Terasi menarik perhatian saya karena kesimpulannya setelah melakukan ekspedisi ke rumah yang dikatakan angker itu.

Rumah Angker itu disebut angker karena diyakini rumah tersebut mempunyai penunggu yaitu seorang perempuan tua memakai blangkon dengan kedua tangan di atas perut.

Ketika berada di rumah angker tersebut, teman-teman Yumero mengatakan telah melihat si penunggu, sedangkan Yumero tidak melihat apa-apa. Terhadap makhluk gaib yang menunggu Rumah Angker, Yumero berada “pada posisi percaya dan tidak percaya karena secara ilmiah apa yang teman-teman penulis katakan sulit dibuktikan dengan logika berpikir manusia yang rasional”.

Yumero ikut serta ke Rumah Angker malam itu barangkali dengan maksud untuk membuktikan apakah benar rumah tersebut mempunyai penunggu seperti yang dikatakan oleh teman-temannya. Artinya, Yumero tidak bersikap apriori menolak kebenaran cerita teman-temannya, tetapi juga tidak serta-merta menerimanya. Sikap dan upaya berpikir sebagai manusia rasional ini barangkali tidak lepas dari kesukaan Yumero pada karya-karya filsafat seperti yang ia perlihatkan melalui tulisan-tulisan di blognya.

Di blog miliknya tersebut, Yumero mencoba menghayati pikiran-pikiran Jean Baudrillard, Plato, Socrates, Thales, Che Guevara, Mao Zedong, Paulo Freire, Pramoedya Ananta Toer,  dan lain-lain. Boleh  jadi minat pada karya-karya filsafat inilah yang membuat Yumero berusaha melihat dan memahami sesuatu secara rasional, tidak apriori, tidak menyederhanakan sesuatu sebagai hitam-putih.

Adanya angkatan muda berpikir rasional dan mau menyelami hakekat, saya dapatkan sebagai sesuatu yang langka dewasa ini. Lebih langka lagi adanya niat untuk berpikir dan bertindak rasional sekalipun ia harus melawan arus, seperti yang Yumero tuliskan:

“Apa yang terlintas dibenak kalian tentang Zeus, Poseidon ? Pasti sudah tidak asing lagi bukan? Nama-nama tersebut ialah nama-nama mitologi pada era Yunani Kuno di mana masyarakat Yunani dulunya sangat mempercayai dewa-dewi dan bahkan sampai pada memujanya dan rela melakukan apa saja. Jelas, pada masa itu kebanyakan masyarakat tahu apa yang mereka ketahui, tapi tidak tahu bagaimana cara mengetahui apa yang mereka ketahui, bahkan tidak pernah cukup berani mengkritisi kebiasaan berpikir yang turun temurun seperti itu, alhasil menjadi dogma akut. Berbeda dengan aktivitas filsafat mula-mula yang berawal dari kebiasaan yang diterapkan Thales yaitu berpikir dan bertindak layaknya di era sekarang kita sebut “Ilmuwan”. Pemikiran Thales yang berpindah pada logos dan endingnya menjebol cara berpikir mitologislah yang menginspirasi Aristoteles memberikan gelar kepadanya sebagai filsuf yang pertama (Abad 45 SM). Thales sebagai filsuf. dalam perjuangannya mewujudkan visi untuk menjebol cara berpikir mitologis saat itu sangat luar biasa, ia tampil beda dari kebanyakan orang-orang di zamannya yang rata-rata sama”.

Dalam webinar memperingati 30 tahun berdirinya Institute Dayakologi, Pontianak, Pastur Subandi dari Ketapang, Kalimantan Barat, secara khusus telah mengetengahkan perlunya berpikir rasional untuk perkembangan maju masyarakat Dayak. Walaupun soal berpikir rasional ini tidak dibahas lebih jauh dalam webinar dan tidak juga pernah saya dapatkan webinar-webinar tentang Dayak lainnya membicarakannya, tapi barangkali inti persoalan yang tetap relevan jika kita menginginkan perkembangan maju.

Dalam hubungan ini, saya pun jadi teringat pembicaraan singkat dengan alm. Cornelis Lay (1959-2020) dan Dr. Poerwanto di Hotel Aquarius pada tahun 2009. Cornelis antara lain mengatakan: “Pada saat kalian mendapatkan jalan yang tepat, ketika itu Kalimantan Tengah (Kalteng) akan maju melesat. Apabila tidak, maka ketika kalian bangun, kalian mendapatkan diri berada di ranjang yang sama”.

Apakah “jalan yang tepat” menurut Cornelis adalah jalan yang rasional seperti yang dipertanyakan oleh Pastur Subandi itu? Dalam webinar 30 tahun ulang tahun Institute Dayakologi, Kusni Sulang yang juga diundang sebagai pembicara menawarkan jalan “minoritas kreatif” sebagai pembuka jalan ke perkembangan maju.

Setelah menjelaskan apa itu konsep “minoritas kreatif”, Pastur Subandi kembali mempertanyakan Orang Dayak, “Apakah kalian siap melaksanakan konsep ini?” Pertanyaan yang sampai hari ini masih belum juga saya dengar jawaban yang tegas dari berbagai pihak Dayak, baik yang berada di penyelenggaraan Negara maupun kalangan-kalangan lain. Yang nyaring terdengar adalah tuntutan untuk diberikan pos-pos strategis di penyelenggaraan Negara. Yang juga riuh adalah suara pertengkaran sesama Dayak dan  kriminalisasi warga akar rumput yang menurunkan barisan demi barisan unjuk rasa; politik “memburu tukang sihir” (chasser les sorcieres) asyik dilakukan di tengah bau busuk hedonisme yang memerosotkan kemanusiaan seseorang. Sementara masalah pokok yaitu bagaimana cara berkembang maju melesat, apabila menggunakan istilah Cornelis Lay, seperti terabaikan atau jauh dari perhatian konkret.

Kusni Sulang sering menyebutkan bahwa kutub lain dari berpikir dan bertindak rasional adalah cara berpikir dan bertindak irasional–yang juga ia sebut sebagai pikiran dan tindakan berbau kemenyan.

Pengabaian terhadap masalah esensial tidak lepas dari akibat cara berpikir. Tindakan mulai dari pikiran.

Untuk bisa maju melesat barangkali kita perlu memeriksa cara berpikir, apakah sudah rasional ataukah masih berbau dupa? Segala sesuatu itu berubah, jika kita tidak menyertai gerak perubahan itu, kita akan kian tertinggal dan ditinggalkan.

Pada Abad 45 SM, Thales sudah memperingatkan kita yang hidup di tahun 2022 M ini akan keniscayaan bersikap tanggap zaman.[]

⃰  Andriani SJ Kusni, penulis dan jurnalis independen

CATATAN KUSNI SULANG: Dua Pendekatan Melawan Marjinalisasi

Radar Sampit, Minggu, 13 Februari 2022 | Penyunting: Andriani SJ Kusni

Salah satu penyelenggara pendidikan tinggi di Kota Palangka Raya diantara 31 penyelenggara pendidikan tinggi di Kalimantan Tengah. Foto: Andriani SJ Kusni, 2021

Soal pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur (Kaltim) membuat masyarakat Dayak kembali mencuat ke permukaan.

Pengalaman Orang Betawi yang kian terpinggir saat Jakarta menjadi IKN menjadi kekhawatiran umum di kalangan etnik Dayak, terutama mereka yang bermukim di lokasi yang ditetapkan sebagai tempat IKN. Kekhawatiran akan terpinggir seperti nasib Orang Betawi, ditambah kekhawatiran akan makin parahnya kerusakan lingkungan.

Pemindahan IKN dipandang sebagai permainan politik para oligarki dan elit di sekitarnya, bukan berangkat dari kepentingan rakyat, apalagi kepentingan rakyat setempat. Rakyat setempat dilihat oleh kelompok yang menolak pemindahan IKN ke Kaltim akan membuat masyarakat Dayak, terutama yang berada di lokasi IKN akan kian  terpinggir. Keadaan yang oleh para tetua Kalimantan Tengah dilukiskan sebagai “témpun pétak batana saré, témpun uyah batawah bélai, témpun kajang bisa puat” (punya tanah berladang di tepi, punya garam hambar di rasa, punya atap basah muatan).

Saya sendiri melihat bahwa Orang Dayak yang sekarang tinggal di lokasi IKN, cepat atau lambat, artinya hanya soal waktu saja, akan terhalau dan tersingkir. Jumlah mereka sangat sedikit dibandingkan dengan etnik lain; tingkat pendidikan yang pas-pasan; tidak terorganisasi sehingga daya tawar yang sangat lemah. Dari segi demografis, barangkali bukan kebetulan pula IKN ditempatkan di daerah Paser-Panajam ini.

Di samping mereka  yang khawatir, terdapat pula kelompok yang melihat pemindahan IKN ke Kaltim sebagai peluang besar bagi masyarakat setempat, termasuk bagi Orang Dayak. Alasannya: Kekuasaan Pusat berada di dekat mereka sehingga bukan tidak mungkin, pada suatu hari, Orang Dayak bukan hanya jadi menteri tapi bahkan jadi Presiden Republik Indonesia (Podcast Kaltim Post,  27 Agustus 2921 #17).

Keinginan untuk duduk di kekuasaan strategis tingkat pusat di kalangan elit tertentu Dayak nampak menonjol, antara lain kembali diperlihatkan dengan tuntutan agar Orang Dayak menjadi Kepala Otorita IKN. Tentu saja keinginan ini tidak salah, apalagi jika memang memenuhi syarat-syarat yang dituntut oleh posisi tersebut sehingga yang duduk di tempat itu adalah “the right man on the right place”.

Ketika Pemerintah Pusat sudah memutuskan untuk memindahkan IKN ke Kaltim, orang setempat (termasuk Dayak) tidak bisa berbuat apa-apa, walaupun menyatakan ketidaksetujuan. Jika demikian, masalahnya menjadi bagaimana semestinya menghadapi keadaan demikian.

Ketika mengikuti berbagai pendapat di berbagai media dan diskusi, saya dapatkan selain kekhawatiran bernasib seperti Orang Betawi, umum juga diakui bahwa Orang Dayak secara umum masih belum mampu bersaing dengan para pendatang  baru. Karena itu, jalan keluar sangat mendesak yang juga umum diterima adalah bagaimana Orang Dayak meningkatkan taraf atau kualitas sumber daya manusia mereka agar berdaya.

Peningkatan kualitas ini merupakan faktor kunci untuk mencegah jangan sampai keadaan  “témpun pétak batana saré, témpun uyah batawah bélai, témpun kajang bisa puat” (punya tanah berladang di tepi, punya garam hambar di rasa, punya atap basah muatan) berlanjut tanpa terkendali.

Peningkatan ini akan bisa dipercepat apabila pemerintah pusat, lebih-lebih lagi pemerintah daerah turun tangan melalui pemberian beasiswa (bukan sekedar bantuan insidental). Pendidikan terencana merupakan kunci perkembangan maju.

Dalam hal ini patut benar dicatat bahwa yang dikejar melalui pendidikan itu adalah ilmunya, bukan kertasnya. Apabila nilai dan ijazah yang didapat diperoleh dengan membeli maka tak usah berharap bahwa kualitas sumber daya manusia kita akan meningkat. Universitas dan perguruan tinggi hanya akan menjadi pabrik ijazah dan pengangguran. Bukan menjadi Tunjung Nyahu, Otak Daerah.

Apa artinya lalu jika manusia pemegang kertas begini menjadi penanggung jawab daerah, menjadi menteri atau Presiden? Membeli nilai dan ijazah saja merupakan petunjuk pelakunya tidak punya tanggung-jawab sosial dan kemanusiaan. Pembelian dan penjualan nilai dan ijazah adalah suatu kejahatan moral.

Dua Pendekatan

Dalam sejarah Kalimantan setelah Proklamasi Agustus 1945, terdapat dua pendekatan yang berbeda mengenai pemberdayaan Dayak.

Tjilik Riwut ketika menjadi Gubernur Kalteng (1957-1967) dalam kebijakannya mengutamakan pendidikan. Ia melihat bahwa pendidikan merupakan kunci pemberdayaan Dayak Kalteng.

Untuk itu, ia mencari anak-anak muda Dayak untuk disekolahkan di perguruan tinggi dalam dan luar negeri dengan beasiswa (bukan bantuan incidental!). Asrama-asrama pelajar-mahasiswa ia dirikan di Jawa. Di Yogyakarta, ia bangun asrama mahasiswa Palangka Raya di Jalan Pakuningratan dan masih ada hingga hari ini (bahkan diperluas).

Mahasiswa-mahasiswa penerima beasiswa ini merupakan investasi jangka panjang bagi Kalteng. Politik atau pendekatan pendidikan ini pun sebelumnya pernah dilaksanakan oleh Hausmann Baboe melalui Sjarekat Dayak (1919) dan Pakat Dajak-nya (1926).

Sementara di Kalimantan Barat (Kalbar), Gubernur Oevang Oeray nampaknya lebih mengutamakan merekrut Orang-Orang Dayak ke jajaran birokrasi. Ketika gubernur berganti, orang-orang rekrutan Oevang Oeray ini dinonjobkan atau tidak difungsikan lagi oleh politik “memburu tukang sihir” (chaser les sorciers).

Belajar dari kemajuan Republik Rakyat Tiongkok dan negeri-negeri  lain yang mengalami kemajuan pesat, juga tidak lepas dari pendekatan pendidikan sebagaimana dilakukan Tjilik Riwut  dahulu semasa menjabat sebagai Gubernur Kalteng. Jadi bukan pertama-tama pendekatan kekuasaan.

Pengalaman sejarah ini barangkali akan berguna bila kembali direnungi sungguh-sungguh jika ingin Dayak Maju melesat dan bukan mundur ke belakang karena kian terpinggir.[***]


Halaman Masyarakat Adat Harian Radar Sampit, Minggu, 13 Februari, 2022. Dokumen pribadi.