Catatan Kusni Sulang: Mencari Jalan Pemartabatan Diri

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Siswanton, Ketua Panitia Persiapan Penetapan Desa Adat Kecamatan Manuhing Raya, menabuh gong, cara tradisional Dayak untuk mengundang warga desa berkumpul. Sampai berapa jauh gaung gong penetapan desa adat ini akan terdengar dan disambut, termasuk oleh mereka yang tengah mencalonkan diri jadi gubernur-wakil gubernur, bupati dan wakil bupati sekarang? Foto dan Dokumentasi: Kusni Sulang, 2020
Kunjungan lima fraksi DPRD Gunung Mas dipimpin oleh Evandi ke desa-desa Kecamatan Manuhing Raya untuk mendengar aspirasi warga tentang desa adat. Foto dan Dokumentasi: Kusni Sulang, 2020
Catatan Kusni Sulang: Mencari Jalan Pemartabatan Diri
Panitia penyelenggra referendum Desa Adat Tumbang Mantuhe sedang melakukan persiapan referendum 30 Januari 2020. Foto: Risqy. Dokumentasi: Kusni Sulang, 2020.

Ketika mengikuti proses penetapan desa adat mulai dari awal hingga referendum di lima desa Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas dari tanggal 29 Januari hingga 1 Februari 2020, kegiatan-kegiatan yang diikuti oleh seluruh warga lima desa ini mengingatkan saya pada rangkaian perjalanan saya ke Tanah Papua pada tahun-tahun 1990-an.

Tujuan penetapan desa adat tidak lain untuk mengembalikan hak-hak asal-usul  masyarakat adat dan hak tuan atas kampung-halaman warga adat. Sementara pihak memahami bahwa desa adat dianggap sebagai kembali ke masa lalu sedangkan kita hidup di masa yang serba digital. Penganut pandangan ini tidak melihat bahwa masyarakat adat, termasuk hukum adat itu senyatanya tidak statis tetapi  dinamis. Sebagai contoh, sikap terhadap listrik , sendok, garpu,  komputer, dan lain sebagainya.

Desa adat yang kita maksudkan bukanlah desa adat yang menolak adanya listrik, sendok, garpu,  komputer, dan teknologi kekinian. Desa adat yang ingin dibangun adalah desa adat kekinian yang tanggap zaman. Desa adat yang diberdayakan, dibangun dan dikembangkan tanpa lepas akar dan menyerap hal-hal positif dari manapun datangnya. Desa adat yang diberdayakan, dibangun dan dikembangkan dengan metode dua pemaduan: pemaduan unsur-unsur baik dari budaya lokal dan hal-hal positif dari luar yang diserap dan dijadikan milik sendiri. Tujuannnya adalah  agar desa adat terwujud menjadi tempat layak bagi kehidupan manusiawi bagi anak manusia. Kehidupan manusiawi seperti inilah dinamakan hidup bermartabat (manusiawi). Tujuan begini dalam sejarah budaya Dayak menjadi visi-misi hidup-mati manusia Dayak yang dirumuskan oleh sastra lisan Dayak Ngaju sebagai “réngan tingang nyanak jata” serta konsep-konsep turunannya yang lain.

Tentu saja tujuan-tujuan desa adat seperti tertuang dalam konsep-konsep Dayak di atas secara nalar akan tidak diterima oleh pihak-pihak tertentu yang kepentingan-kepentingannya berbeda. Kepentingan-kepentingan apapun tercermin dalam pikiran  dan sikap atau perilaku. Karena pikiran, sikap dan perilaku pada dasarnya melukiskan keadaan masyarakat terutama strata sosial dan kepentingan-kepentingan strata-strata sosial tersebut. Strata sosial dominan di daerah perdesaan Kalimantan Tengah (Kalteng), terutama masyarakat Dayak, hari ini adalah strata yang berada di jalan yang  menuju ke arah proletarianisasi.

Wacana “manggatang utus” intinya tidak lain dari mencegah melajunya proses proletarianisasi ini dan upaya ini tidak bisa terwujud hanya dengan “busa bibir” atau air liur. Harus ada cara-cara konkret. Cara-cara konkret yang mempunyai payung hukum adalah jalan desa adat. Bukan lima skema perhutanan sosial yang pelaksanaannya pun di Kalimantan Tengah sangat seret. Tidak lancarnya pelaksanaan lima skema perhutanan sosial ini sebab utamanya tentu para petinggi penyelenggara Negara di Kalimantan Tengah tahu dengan sangat persis yaitu kepentingan ekonomi dan kemauan politik.

Lima Skema Perhutanan Sosial adalah peminjaman hak kepada masyarakat untuk menggunakan kawasan hutan atau lahan yang sebelum berdirinya Republik Indonesia adalah milik masyarakat adat sedangkan melalui penetapan desa  adat, hak-hak asal-usul tersebut dikembalikan  kepada masyarakat lokal. Oleh sebab itu sikap terhadap desa adat merupakan salah satu tolok-ukur utama tentang kesungguhan keberpihakan para calon gubernur-wakil gubernur, calon bupati-wakil bupati, para calon anggota legislatif dan semua petinggi penyelenggara Negara terhadap warga  akar rumput daerahnya.

Karena kepentingan dan kesadaran warga di daerah, perbedaan itu majemuk, sikap mereka terhadap gagasan UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa pun berbeda-desa. Guna menghargai kemajemukan ini maka referendum merupakan jalan keluar.

Pertanyaan hakiki dalam referendum di pedesaan Kalimantan Tengah jadinya adalah: Apakah Orang Dayak mau hidup bermartabat, menjadi Dayak bermartabat, menjadi subyek atau tidak? Oleh sebab itu, jumlah peserta dan  hasil  referendum tentang desa adat ini bisa dijadikan indikator mengenai kualitas Dayak hari ini. Indikator tentang semangat pemartabatan diri dan atau keasyikan menjadi jipen (budak) kekinian? Berpihak tidaknya para politisi pada penetapan desa adat  sekaligus mengatakan kepada siapa sesungguhnya mereka berpihak.[]

Halaman Masyarakat Adat, Radar Sampit, Minggu 09/02/2020

MENANTI DESA ADAT, MENGAPA LAMBAT?

Oleh: Yando Zakaria*

Penyunting: Andriani SJ Kusni

  • Desa adat. Secara umum, tak ada perbedaan hak dan kewajiban antara desa dan desa adat. Perbedaan dua nomenklatur ini terletak pada kewenangan, struktur kelembagaan, dan dasar pembentuk dari desa dan desa adat.
  • Jalur perubahan status desa dan kelurahan saat ini jadi desa adat sebagai langkah pengembalian hak-hak masyarakat adat. Intinya, “sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui” alias dengan jadi desa adat, persyaratan untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah dan hutan adat terpenuhi.
  • Sejauh data tersedia, respon pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota dalam memanfaatkan peluang penerapan nomenklatur desa adat masih rendah. Baru ada dua inisiatif berarti di tingkat provinsi, Sumatera Barat dan Bali.
  • Guna mendorong desa adat, perlu upaya-upaya khusus. Beberapa langkah strategis perlu dilakukan. Pertama, menyusun peraturan pemerintah tentang desa adat. Kedua, sosialisasi tentang peluang dan tantangan nomenklatur desa adat di berbagai daerah yang relevan. Ketiga, mengembangkan kapasitas para pihak yang berkepentingan dengan penerapan nomenklatur desa adat ini.
Pra-Pumpung Haї penetapan desa adat di Kecamatan Manuhing Raya, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Upacara manéték pantan menyambut rombongan DPRD Gunung Mas yang sedang reses dan hadir dalam Pra-Pumpung Haї. Foto: Dokumen Yando Zakaria/2019

Warga lima desa se-Kecamatan Manuhing Raya mendengarkan penjelasan Yando Zakaria tentang Desa Adat dalam Pra Pumpung Haї, 29 November 2019 di Desa Samuї. Foto. Dok.: Kusni Sulang/2019

Matahari bersinar terik. Peluh mengalir di sekujur badan. Di beberapa bagian ada gumpalan awan hitam menggelantung. Pertanda akan turun hujan. Meski begitu, 10 perempuan paruh baya dan seorang lelaki dengan usia lebih muda seakan tak peduli. Mereka terus saja manasai (menari) diiringi petikan sape (semacam gitar) yang terdengar monoton. Wajah memancarkan kegembiraan.

Hari itu, 29 November 2019. Menurut rencana, berlangsung pra pumpung hai (musyawarah menurut adat-istiadat setempat) dengan tema “Apa itu desa adat?” Kegiatan ini harus ada mengingat banyak pertanyaan soal rencana perubahan status desa dan kelurahan di kecamatan itu jadi desa adat.

Borneo Institute telah mendampingi masyarakat di desa-desa Kecamatan Manuhing Raya, Gunung Mas, Kalimantan Tengah ini sekitar lima tahun terakhir. Diawali dengan program penanaman sejuta pohon dan tanaman kehidupan, berkembang pada usaha-usaha berkaitan dengan program perhutanan sosial. Juga upaya mendapatkan pengakuan atas hutan adat yang didaku komunitas setempat sebagai bagian dari tanah adat mereka.

Guna memperkuat kapasitas community organizer dalam melaksanakan tugas-tugas lapangan dan memotivasi kelompok-kelompok dampingan, pada pertengahan Juni lalu digelar temu refleksi di bawah tajuk “Pemberdayaan Masyarakat Adat Dayak.” Kegiatan ini diikuti kepala desa/lurah, BPD, dan tokoh-tokoh masyarakat dari enam desa dan satu kelurahan di Kecamatan Manuhing Raya. Dalam pertemuan sehari itu dibahas permasalahan yang sedang dihadapi dan peluang-peluang tersedia untuk mengatasi persoalan masyarakat di daerah itu. Dari sana lahirlah pemahaman, tersedia jalur perubahan status desa dan kelurahan saat ini menjadi desa adat sebagai langkah pengembalian hak-hak masyarakat adat yang bahkan dianggap lebih baik dibandingkan program penerbitan surat keterangan tanah adat (sebagaimana diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 13/2013 tentang Surat Keterangan Tanah Adat), juga dari apa yang sedang diupayakan sejumlah elit politik setempat melalui program Dayak Misik yang memiliki semangat individualisasi tanah adat semata. Intinya, “sekali dayung (jadi desa adat), dua-tiga pulau terlampaui” alias persyaratan untuk mendapatkan pengakuan hak atas tanah dan hutan adat terpenuhi.

Pada hakekatnya, nomenklatur desa adat adalah salah satu jalan memenuhi ketentuan pengakuan hak masyarakat adat sesuai amanat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012. Dengan menjadi desa adat, komunitas adat yang bersangkutan akan jadi subyek hukum dan memiliki wewenang mengatur dan mengurus ulayat atau wilayah adat, salah satu dari sekian hak asal-usul desa adat yang diakui melalui UU Desa yang baru itu.

Panitia persiapan penetapan desa adat di Kecamatan Manuhing Raya pun dibentuk. Diketuai Siswanton, tokoh masyarakat setempat. Kepala desa/lurah sebagai penanggungjawab kegiatan lanjutan di tingkat desa/kelurahan masing-masing. Panitia persiapan bertugas melalukan proses pendalaman ide peralihan status ini di tingkat desa atau kelurahan melalui musyawarah dengan warga desa atau kelurahan.

Pendek cerita, organisasi pendamping, para pimpinan desa atau kelurahan dan tokoh-tokoh masyarakat lain telah bersepakat, untuk memperoleh keputusan akhir perlu referendum tingkat desa. Ada tiga pilihan ditawarkan dalam refendum yang paling lama dijadwalkan Maret 2020 ini: pertama, setuju jadi desa adat; kedua, tak setuju jadi desa adat; ketiga, tidak berpendapat.

Setelah hampir 70 tahun usia kemerdekaan Republik Indonesia, kali pertama kebijakan negara tentang desa — atau disebut dengan nama lain– tidak lagi terperangkap dalam upaya penyeragaman. Seturut asas rekognisi yang dikandung dalam Pasal 18 (sebelum amandemen) dan Pasal 18B ayat (2) (pasca amandemen) Undang-undang Dasar 1945, UU Nomor 6/2006 tentang Desa–kemudian disebut UU Desa– mengakui keberadaan dua jenis desa, yaitu desa dan desa adat, atau disebut dengan nama lain.

Sebagaimana disebutkan pada Pasal 6, kedua-duanya merupakan “… kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan negara kesatuan Republik Indonesia.”

Pada dasarnya, sebagai fakta sosial, tentu ‘desa adat’ bukanlah sesuatu yang sama sekali baru ataupun diada-adakan. Sekadar menyebut dua contoh, desa adat umum terdapat di Bali dan disebut desa pekraman, dan apa yang disebut nagari di Sumatera Barat.

Melalui UU Desa, berbeda dengan apa yang terjadi pada masa sebelum ini, desa adat tak lagi sekadar fakta sosial dan budaya. Melainkan ‘derajat ditinggikan’ sebagai ‘fakta politik dan hukum.’ Hal ini secara eksplisit tercerminkan oleh pemberian hak pada desa adat itu untuk ‘mengatur dan mengurus pemerintahan dan pembangunan’ sebagaimana diamanatkan Pasal 6 itu.

Secara umum, tak ada perbedaan hak dan kewajiban antara desa dan desa adat. Perbedaan dua nomenklatur ini terletak pada kewenangan, struktur kelembagaan, dan dasar pembentuk dari desa dan desa adat. Sebagaimana diatur pada Pasal 19, baik desa maupun desa adat pada dasarnya memiliki kewenangan sama. Meski begitu, sebagaimana diatur Pasal 103, sesuai asas rekognisi (pengakuan) sebagaimana diatur Pasal 3, desa adat dapat dikatakan memiliki kewenangan lebih luas daripada desa.

Perbedaan itu terletak pada keluasan makna hak asal usul pada desa adat yang mencakup hal-hal: pertama, pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasaran susunan asli; kedua, pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat; ketiga, pelestarian nilai sosial budaya desa adat; keempat, penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat dalam wilayah selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah; kelima, penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan desa adat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; keenam, pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di desa adat; ketujuh, pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat desa adat.

Pada dasarnya, nomenklatur desa adat adalah salah satu upaya mewujudkan amanat konstitusi. Sejak awal, kontitusi Indonesia telah mengakui hak-hak ‘susunan asli’ di Indonesia. Hal ini terlihat jelas pada Penjelasan untuk Pasal 18 UUD 1945. Pada butir II disebutkan, “dalam territoir negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan“Volksgemeenschappen,” seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan lain-lain. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli karena itu dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa itu dan segala peraturan negara mengenai daerah ini akan mengingat hak-hak asal-usul daerah itu.

Amanat Konstitusi

Meski begitu, alih-alih menerjemahkan ke dalam kebijakan lebih operasional, yang terjadi pada masa-masa berikutnya justru pelanggaran ataupun pengingkaran terhadap sejumlah hak asal-usul seperti hak sosial-ekonomi, sosial-politik, dan hak-hak sosial-budaya yang melekat dalam ‘susunan asli’ itu. Ia juga menimbulkan dampak sosial dan ekologi yang tak kecil. Belakangan muncul Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 yang menegaskan kembali pengakuan yang ada dalam UUD 1945.

Karena itu, dalam konteks pengakuan hak-hak masyarakat hukum adat–sebagaimana diamanatkan konstitusi–nomenklatur desa adat ini adalah satu upaya melibatkan masyarakat adat dalam kegiatan pemerintahan dan pembangunan yang selama ini menyingkirkan mereka. Nomenklatur desa adat pada dasarnya sebagai upaya menyelesaikan masalah hubungan negara dan masyarakat (hukum) adat yang memang sangat beragam itu. Keberagaman itu tak hanya berdasarkan hal-hal yang bersifat turunan seperti kategori ras, kelompok etnik, dan agama. Juga, berbeda dari hal-hal bersifat capaian seperti kemampuan adaptasi lingkungan sosial, ekonomi, dan budaya, yang berpangkal pada sistem teknologi dan sistem mata pencarian. Pengakuan negara akan keberagaman ini tergambarkan ke dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika yang dilanjutkan dalam pengaturan konstitusi.

Secara praktis, kehadiran nomenkatur ini juga diharapkan sebagai titik awal bagi penyelesaian sengketa atau konflik penguasaan dan pengusahaan sumber daya agraria dengan jumlah terus meningkat. Juga konflik tata batas desa dan kawasan hutan (negara). Meski begitu, sepertinya momentum perubahan yang terbuka itu, tidak atau belum termanfaatkan optimal. Padahal penerapan nomenklatur desa adat memerlukan persiapan sedemikian rupa agar distorsi dari politik desentralisasi juga otonomi pada tingkat komunitas–mulai sejak reformasi bergulir—tak terulang atau justru makin parah.

Belum Optimal

Sebagaimana banyak disebutkan para ahli politik, desentralisasi dan otonomi komunitas terdistorsi, terwujud dalam sejumlah fenomena ‘patologi sosial’ semacam elite capture, diskriminasi antar etnik atau diskriminasi antar penduduk lokal dan pendatang juga kekerasan berbasis kelompok etnik, atau kembalinya ‘raja-raja kecil’.

Soal kemungkinan terjadi sejumlah distorsi, UU Desa telah melengkapi diri dengan sejumlah norma hukum. Harapannya agar dapat mengatasi persoalan-persoalan itu. Contoh, desa adat dapat mengatur dan melaksanakan pemerintahan berdasar struktur pada susunan asli. Meskipun begitu, untuk menjamin asas-asas pengaturan desa lain terlaksana, pemerintahan desa adat tetap harus bisa menyelenggarakan “fungsi permusyawaratan dan musyawarah desa adat sesuai susunan asli atau bentuk baru dengan prakarsa masyarakat desa adat”. Ini diatur dalam Pasal 108 UU Desa.

Demikian pula, Pasal 104, pelaksanaan kewenangan berdasarkan hak asal-usul harus memperhatikan prinsip keberagaman. Bahkan, untuk memastikan pemerintahan desa adat dapat berjalan sebagaimana mestinya, pada Pasal 98 ayat (2) diatur pula, “pembentukan desa adat setelah penetapan sebagaimana ayat (1) dengan memperhatikan faktor penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan desa, pembinaan kemasyarakatan desa, serta pemberdayaan masyarakat desa dan sarana prasarana pendukung”.

Pada akhirnya, sejauh tak diatur khusus pada Bab XIII tentang ‘Ketentuan Khusus Desa Adat’, sebagaimana Pasal 111 ayat (2), ketentuan tentang desa berlaku juga untuk desa adat. Artinya, pengakuan terhadap nomenklatur desa adat bukan tanpa merujuk pada asas pengaturan desa (Pasal 3) dan asas penyelenggaraan pemerintahan desa, sebagaimana Pasal 24. Meski begitu, sejauh data tersedia, respon pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota dalam memanfaatkan peluang penerapan nomenklatur desa adat masih rendah. Setidaknya hanya ada dua inisiatif berarti di tingkat provinsi, Sumatera Barat dan Bali.

Perlu Upaya Khusus

Hingga kini, peraturan daerah provinsi tentang pengaturan desa adat seperti amanat Pasal 109 hanya terwujud di Sumatera Barat dengan penetapan Perda Sumatera Barat Nomor 7/2018 tentang Nagari. Perda ini mengamanatkan pengaturan lebih lanjut dalam peraturan daerah kabupaten dan kota. Sayangnya, sudah hampir dua tahun berlalu, perda penetapan desa adat di kabupaten maupun kota di Sumatera Barat tak kunjung terjadi.

Di Bali, karena ada penolakan dari berbagai kalangan, yang muncul Peraturan Daerah Bali Nomor 4/2019 tentang Desa Adat. Ia sama sekali tak menyebut UU Desa No 6/2014 dalam konsiderannya. Jadi, dualitas di Bali tetap berlangsung. Sampai tingkat tertentu ketegangan antara desa dinas dan desa adat di Bali terus berlanjut meski tak lagi muncul dalam perdebatan di ranah publik.

Dalam situasi demikian, wajar saja bila penetapan desa adat seperti Pasal 98 di seantero negeri belum lagi beringsut. Untuk itu, perlu upaya-upaya khusus. Beberapa langkah strategis perlu dilakukan. Pertama, menyusun peraturan pemerintah tentang desa adat. Kedua, sosialisasi tentang peluang dan tantangan nomenklatur desa adat di berbagai daerah yang relevan. Ketiga, mengembangkan kapasitas para pihak yang berkepentingan dengan penerapan nomenklatur desa adat ini.

Untuk itu, inisiatif di Manuhing Raya perlu disambut walau dengan harap-harap cemas.[]

R. Yando Zakaria

Penulis adalah pakar antropologi juga peneliti Pusat Etnografi Komunitas Adat di Yogyakarta. Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis. Terima kasih atas sumbangan tulisan ini, Bung Yando.

Telah siar di Harian Radar Sampit, Halaman Masyarakat Adat, Minggu 19 Januari 2020.

BERITA-BERITA SEPUTAR EKS TAPOL PAPUA, FILEP KARMA

 

 

 

EKS TEPOL FILEP KARMA BEBERKAN PEMBEBASAN PAKSA DIRINYA
Senin, 30 November 2015 | 10:00 WIB

TEMPO.CO, Jayapura – Aktivis Papua Merdeka, Filep Jacob Semuel Karma, 56 tahun, menganggap pembebasan terhadap dirinya dari Lembaga Pemasyarakatan II-A (LP) Abepura, Papua, sangat tidak manusiawi. Proses pengeluaran terhadap Filep yang dilakukan secara paksa ini, diakuinya terjadi pada Rabu, 18 November 2015, pukul 13.00–14.30, waktu setempat.

“Proses pengeluaran saya ini sangat tidak manusiawi. Sebab binatang yang dipelihara sekalipun, sebelum dilepas ke alam bebas, perlu waktu beradaptasi. Sebelas tahun saya ditahan di lapas, namun saya tidak diberikan waktu untuk beradaptasi. Apakah saya, seorang manusia Papua tidak lebih berharga daripada binatang?” kata Filep dalam keterangan tertulisnya kepada Tempo, Senin, 30 November 2015.

(Baca: Dibebaskan, Tapol Papua Filep Karma Syok)

Eks tahanan politik (tapol) Papua ini mengadakan konferensi pers hari ini dengan sejumlah wartawan mengenai pembebasan dirinya dari LP yang dilakukan secara mendadak. Filep yang dibui selama sebelas tahun karena tuduhan makar, menolak pemberian remisi hukuman. Ia ingin menjalani seluruh masa hukumannya selama 15 tahun secara utuh.

Filep mengaku ia ditekan secara psikologis dan tidak diberikan kesempatan untuk berbicara dengan pengacaranya. Ia hanya diberi waktu satu jam untuk berpikir di hadapan Johan Jarangga selaku Kepala Divisi LP Kanwil Kemenkumham Papua, Bagus Kurniawan selaku Kepala LP, dan beberapa staf LP lain.

Awalnya, Filep dipanggil Hanafi yang merupakan Kasi Binadik LP Abepura melalui Irianto Pakombong, seorang staf LP Abepura. Kemudian, dalam ruang kerjanya, Hanafi membacakan kutipan surat yang menurutnya dari Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham tentang Daftar Nama Penerima Remisi Dasawarsa, termasuk Filep Karma yang dinyatakan mendapat tiga bulan remisi. Dalam prosesi ini disaksikan Irianto Pakombong.

Kemudian, lanjut Filep, Johan Jarangga, Bagus Kurniawan, dan beberapa staf LP dan Kanwil Kemenkumham Papua masuk ke ruang kerja Hanafi. “Mereka menekan saya untuk keluar dari lapas hari itu juga, satu jam setelah kutipan surat yang disebut dari Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham dibacakan,” kata Filep.

Namun, Filep mengaku
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/30/078723336/eks-tapol-filep-karma-beberkan-pembebasan-paksa-dirinya

Namun, Filep mengaku sampai dikeluarkannya ia dari LP, ia tidak diberikan tembusan atau fotokopi surat yang disebut dari Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham Negara Kolonial Rasialis Indonesia tentang Daftar Nama Penerima Remisi Dasawarsa yang memuat namanya tersebut. “Melihat atau membacanya pun tidak. Hingga saat ini, saya meragukan surat keputusan yang menjadi dasar mengeluarkan saya dari Lapas Abepura,” tuturnya.

Pada 2005 pun, Mahkamah Agung pernah mengajukan kasasi ihwal penahanan Filep. Namun, Filep sendiri tidak pernah merasa surat hasil keputusan tersebut dari MA. “Saya hanya menerima selembar kopi dari faksimile yang tidak jelas dan sangat meragukan yang digunakan untuk menahan saya,” katanya.

Meskipun Filep protes terhadap pembebasannya tersebut, ia hanya diberikan waktu satu hari sebelum dikeluarkan secara paksa dari LP Abepura pada 19 November 2015.

Filep-begitu dia sering disapa-ditahan sejak 2004 setelah divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jayapura karena kasus makar. Filep divonis bersama rekannya, Yusak Pakage, yang dihukum sepuluh tahun bui. Keduanya ditangkap polisi pada 1 Desember 2004, setelah memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Abepura, Kota Jayapura, Papua. Pada Rabu, 18 November 2015, Filep akhirnya dibebaskan. Namun, Filep sendiri mencurigai tindakan yang dilakukan terhadapnya tersebut.

Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham I Wayan Dusak yang dihubungi Tempo pagi ini menjelaskan, keputusan pembebasan eks tapol Papua dilakukan Kepala Kanwil Kemenkumham Papua. “Bukan dari Dirjen. Dirjen hanya mengikuti undang-undang,” kata Dusak.

Penjelasan lebih rinci, Dusak meminta Tempo menghubungi Kanwil Kemenkumham Papua.

LARISSA HUDA | MARIA RITA
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/30/078723336/eks-tapol-filep-karma-beberkan-pembebasan-paksa-dirinya/2

 

 

BEBASNYA FILEP KARMA BIKIN NUANSA POLITIK DI PAPUA BERDENYUT
Selasa, 1 Desember 2015 – 00:50 wib

Saldi Hermanto
Jurnalis

TIMIKA – Bebasnya tahanan politik (tapol) Papua, Filep Karma, ditengarai bakal menambah nuansa politik di Papua kembali berdenyut. Meski indikasi pengibaran bendera Bintang Kejora khususnya di wilayah Timika, Papua, di HUT Organisasi Papua Merdeka (OPM) pada 1 Desember belum bisa diprediksi aparat keamanan.

“Karena dengan bebasnya Filep Karma itu bisa mengubah nuansa politik di Papua. Soal pengibaran tidak ada informasi yang kami dapat,” kata Kapolres Mimika, AKBP Yustanto Mujiharso, usai apel siaga pengamanan 1 Desember di Kantor Pusat Pelayanan Masyarakat Polres Mimika, Senin (30/11/2015).

Di Timika sendiri, ada empat titik lokasi yang akan diantisipasi oleh aparat keamanan, yakni Jalan Sosial yang merupakan sekretariat dari Komite Nasional Papua Barat (KNPB), areal Pasar Gorong-Gorong, areal makam tokoh OPM Kelly Kwalik di samping lapangan Timika Indah, dan lapangan Jayanti Sempan.

Selanjutnya, berdasarkan informasi intelijen baik dari TNI maupun Polri, bahwa kegiatan peringatan 1 Desember akan dilakukan kelompok KNPB dengan menggelar ibadah syukur di sekretariat kelompok tersebut. Sedangkan kegiatan lainnya di luar kegiatan keagamaan, tidak diizinkan aparat keamanan setempat.

“Informasi kegiatan mereka ibadah syukur dan itu hubungan manusia dengan Tuhan, jadi silakan saja. Kita antisipasi saja kemungkinan atas indikasi-indikasi yang akan terjadi nanti,” terang Kapolres.

Peringatan 1 Desember diklaim kelompok-kelompok berseberangan ideologi dengan NKRI di Papua sebagai hari jadi OPM. Biasanya pada 1 Desember maupun 1 Mei atau peringatan-peringatan hari besar masyarakat Papua, kelompok-kelompok tersebut pada lokasi dan wilayah tertentu mengibarkan bendera Bintang Kejora.
(Ari)
http://news.okezone.com/read/2015/12/01/340/1258603/bebasnya-filep-karma-bikin-nuansa-politik-di-papua-berdenyut

Senin, 30 November 2015 06:37
Jelang 1 Desember, Rakyat Papua Resah Ada Mobilisasi Aparat

Jawapos.COM PAPUA- 1 Desember selama ini disebut-sebut sebagai Hari Kemerdekaan Papua Barat dan 14 Desember sebagai HUT Melanesia. Biasanya pada tanggal-tanggal krusial tersebut, beberapa kelompok mengibarkan bendera bintang kejora.

Hal ini mendapat perhatian serius aparat keamanan di Papua. Akhir pekan lalu, Polda Papua sudah menggelar rapat dengan TNI, DPRP, MRP dan tokoh masyarakat menyikapi ancaman keamanan.

Terkait hal tersebut, Plt Ketua Komnas HAM Papua, Frits Ramandey meminta aparat keamanan untuk melakukan upaya-upaya persuasif mengantisipasi 1 Desember dan 14 Desember.

”Jadi kalau ada orang atau kelompok masyarakat yang mau memperingati dengan bentuk doa atau sejenisnya, itu harus direspon dengan cara-cara konstruktif,” kata Ramandey pada Cendrawasih Pos (Jawa Pos Group).

Frits juga meminta kepada kelompok atau organisasi yang akan memperingati 1 Desember agar mempertimbangkan aspek keamanan, sehingga tidak mengundang reaksi berlebihan dari aparat.

”Sehingga tidak ada korban lagi. Itu harus menjadi perhatian,” pintanya.
http://www.jawapos.com/read/2015/11/30/12054/jelang-1-desember-rakyat-papua-resah-ada-mobilisasi-aparat

Frits berharap aparat keamanan maupun kelompok-kelompok yang akan memperingati 1 Desember agar bisa menahan diri.

“Kalau ada masyarakat yang berkumpul, lalu mau melakukan doa atau sejenisnya, itu harus dilihat sebagai sikap politik. Jangan direspon dengan cara kekerasan. Itu akan menghasilkan efek terhadap aparat dan negara,” jelas Frits.

Terkait dengan 1 Desember, Frits mengatakan Komnas HAM Papua telah mendapat pengaduan dari masyarakat utamanya di wilayah Mambreamo dan Nabire mengenai penambahan personel keamanan yang membuat masyarakat resah.

“Antisipasi dari pihak keamanan itu penting, tetapi bukan mobilisasi. Secara sikologis masyarakat akan panik, karena masyarakat punya trauma terhadap penanganan satu Desember beberapa tahun lalu, yang mengakibatkan korban,” tandasnya.

Sementara itu, Kapolda Papua, Irjen Pol. Drs. Paulus Waterpauw, M.Hum, menyebutkan bahwa pihaknya telah menyiapkan 237 personel untuk mengawal ancaman keamanan di tanggal 1 Desember. Personel ini nantinya akan dibackup oleh personel Kodam XVII/Cenderawasih, Lantamal V Jayapura dan Lanud Jayapura.

“Dalam waktu dekat akan disusun kegiatan sinergi antara Kepolisian dengan TNI untuk melakukan upaya-upaya cipta kondisi,” jelas Waterpauw.

Untuk wilayah Kota Jayapura, menurut Waterpauw ada beberapa lokasi yang akan menjadi perhatian yaitu Lapangan Trikora Abepura dan Taman Imbi.
http://www.jawapos.com/read/2015/11/30/12054/jelang-1-desember-rakyat-papua-resah-ada-mobilisasi-aparat/2

“Untuk Kabupaten Jayapura di makam Theys juga sedang dikoordinasikan untuk dilakukan pengamanan. Di daerah-daerah seperti Timika, Yahukimo, Jayawijaya dan Keerom juga juga telah dilakukan pengamanan,” tegasnya.

Kapolda Waterpauw meminta masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal atau tindakan yang melanggar hukum atau keluar dari koridor hukum yang berlaku di negara ini.

“Kami pasti akan tindak tegas apabila ada yang melakukan pelanggaran,” pungkasnya.(Cepos/afz/JPG)
http://www.jawapos.com/read/2015/11/30/12054/jelang-1-desember-rakyat-papua-resah-ada-mobilisasi-aparat/3

Soal Filep Karma, Ini Respons Kanwil Kemenkumham
Senin, 30 November 2015 | 13:09 WIB

TEMPO.CO, Jakarta – Kepala Divisi Pemasyarakatan (Kadiv PAS) Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Papua, Johan Yarangga, menampik anggapan eks tahanan politik (tapol) Filep Jacob Semuel Karma, 56 tahun, yang mengatakan bahwa pembebasan dirinya dilakukan secara paksa. Menurutnya, semua prosedur yang diberikan kepada Filep sudah sesuai peraturan. Bahkan, Johan beranggapan bahwa apa yang dilakukan Filep saat ini tak lebih dari sekadar sensasi kepada publik.

“Jangan kita keluar dari itu (pokok permasalahan) karena orang politik itu kan biasa. Cari-cari kesalahan pemerintah. Padahal upaya pemerintah untuk memperhatikan warga negaranya sudah dilakukan dengan baik. Ini adalah cara Filep untuk mencari perhatian saja,” kata Johan Yarangga kepada Tempo, Senin, 30 November 2015.

(Baca:Eks Tapol Filep Karma Beberkan Pembebasan Paksa Dirinya)

Johan mengatakan, tidak ada unsur pemaksaan yang dilakukan terhadap Filep. Adapun keputusan yang dikeluarkan pihak lapas sudah sesuai dengan putusan hakim yang sah, baik itu penahanan maupun pembebasannya. Filep juga tidak diizinkan untuk tetap berada di dalam lapas karena pihak lapas sudah tidak ada dasar lagi untuk menahan Filep.

“Saya pikir kami tidak melakukan secara paksa untuk warga binaan yang di dalam lapas. Kalau orang itu ditahan kemudian dibebaskan, tentunya ada putusan dari hakim. Berdasarkan peraturan perundang-undangan, ada kriteria dan aturan yang mengikat dan harus dilaksanakan terhadap warga binaan,” kata Johan.

Menurut Johan, lapas telah memberitahukan ihwal pembebasan Filep satu hari sebelumnya. Dari pihak lapas, Johan mengatakan tidak ada bentuk dorongan atau ancaman terhadap Filep. Justru sebaliknya, Johan mengaku bahwa pihaknya melakukan suatu pendekatan yang manusiawi.

“Saya beritahukan pada dia, ‘bahwa kau (Filep) akan bebas dari lapas’, itu bukan paksaan. Bentuk paksaan itu seperti apa? Harus diberitahukan (pembebasannya), tidak bisa kami diam-diam,” kata Johan.

Johan sendiri tidak mempermasalahkan apa yang dikatakan Filep kepada media. Menurutnya, dari pihak lapas sudah melaksanakan aturan pemerintah dengan sebaik-baiknya. “Apabila seandainya aturan tidak dilaksanakan, berarti pemerintah yang tidak memperhatikan hak-hak bagi warga binaan di lapas sesuai dengan peraturan yang berlaku,” kata Johan.

(Baca:Dibebaskan, Tapol Papua Filep Karma Syok)

Dalam proses pembebasan terhadap eks tapol Filep, Johan mengaku bahwa pembebasan yang dilakukannya terhadap Filep sudah mempertimbangkan unsur kemanusiaan bagi warga binaan di lapas. Jadi pemberian remisi kepada warga binaan menjadi mutlak dan harus diberikan apabila tahanan sudah menjalani proses pidana dan bagi mereka yang berkelakukan baik.

“Tidak bisa kita tunda-tunda. Kalau kami tunda berarti kami melakukan kesalahan baik dalam pemberian pelayanan maupun pemberian hak-hak bagi warga binaan masyarakat,” kata Johan.

Dalam keterangan resmi Filep Jacob Semuel Karma, disebutkan bahwa pembebasan yang dilakukan terhadapnya dari Lapas II A Abepura sangat tidak manusiawi. Proses pengeluaran terhadap Filep secara paksa ini diakuinya terjadi pada hari Rabu, 18 November 2015, pukul 13.00-14.30 waktu setempat.

Filep divonis 15 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jayapura karena kasus makar. Filep divonis bersama rekannya, Yusak Pakage, yang dihukum 10 tahun bui. Keduanya ditangkap polisi pada 1 Desember 2004, setelah memimpin pengibaran bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Abepura, Kota Jayapura, Papua.

Pada Rabu, 18 November 2015 lalu, Filep akhirnya dibebaskan. Namun Filep sendiri mencurigai tindakan yang dilakukan terhadapnya tersebut. Ia menolak remisi yang diberikan pemerintah dan memutuskan menjalani hukumannya hingga berakhir pada 2019.

LARISSA HUDA
http://nasional.tempo.co/read/news/2015/11/30/078723390/soal-filep-karma-ini-respons-kanwil-kemenkumham

JALAN BERBATU-BATU PENDIDIKAN SENI ACEH

Serambi Indonesia
JALAN BERBATU-BATU PENDIDIKAN SENI ACEH
Senin, 23 November 2015 14:02

Oleh Teuku Kemal Fasya

KEBERADAAN Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Aceh yang sudah mulai memasuki tahun kedua tidak otomatis membuat proyek kesenian berjalan mulus. Hadirnya lembaga pendidikan tinggi seni memang diharapkan menjadi blok historis baru, tapi ia berada di dunia yang kompleks dengan dinamika sosial-budaya dan sistem politik yang berlaku.

Namun hadirnya ISBI ini tetap harus dianggap sebagai terobosan di dunia pendidikan dan pembangunan. Orientasi pembangunan nasional selama ini cenderung sentralistis dan ekonomika-teknokratis belum menjawab model pembangunan seutuhnya. Manusia sesungguhnya bukan makhluk satu dimensi yang hanya sadar pada ekonomi (homo economicus), tapi juga makhluk estetis dan etis. Karena berkah itu pula ruang nalar dan imajinasi berkembang dalam peradaban manusia.

Demikian pula, pembangunan nasional harus melibatkan keunggulan lokal, sehingga Indonesia tidak terjebak pada Russification –memakai istilah Partha Chaterjee, pemikir poskolonial dan subaltern– yang hanya memandang proyek pembangunan dari sudut Merdeka Utara (Istana Presiden), Lapangan Banteng Timur (Kantor Kemenko Perekonomian), dan Senayan (DPR RI).

Demikian sikap terbaca ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhono-Boediono berencana menghadirkan perguruan tinggi seni baru di luar pulau Jawa pada 2011. Saat itu proyek prestisius itu ingin membangun empat perguruan tinggi sekaligus di Aceh, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Papua.

Namun proses persiapan dokumen pendirian dan daya dukung daerah hanya menyisakan dua daerah, yaitu Aceh dan Papua. Imperatif pendirian ISBI didasarkan SK Kemendikbud No.42/P/2012 Tanggal 8 Maret 2012. ISBI Aceh dirancang di bawah supervisi ISI Padang Panjang dan kemudian berkolaborasi dengan Dewan Kesenian Aceh (DKA), kaum akademisi, dan aktivis Aceh.

Otonomi kampus
Seperti tesis tulisan ini, hadirnya perguruan tinggi seni tidak langsung menghadirkan keajaiban. Infrastruktur kesenian dan kebudayaan, dukungan politik, dan apresiasi masyarakat ikut menentukan apakah sebuah pendidikan seni dapat memberikan nuansa estetika dan artistika dalam kehidupan yang lebih menyemesta.

Namun kita tidak bisa ngeles. Kehadiran perguruan tinggi jelas sebuah peluang untuk menstimulasi infrastuktur dan lintas pelaku lainnya (stakeholders) untuk berkolaborasi membangun visi, misi, dan program pembangunan yang bernuansa seni dan kebudayaan. Kemandirian pengelolaan perguruan tinggi dituntut prima sebagai lokomotif. Dengan Tri Darma perguruan tinggi (pendidikan-pengajaran, penelitian, dan pengabdian masyarakat) ada banyak ruang bagi perguruan tinggi untuk merancang proyek pendidikan secara mandiri dan tidak “menyusu” dengan blok-blok kekuasaan di luarnya.

Tantangan yang terbesar bagi pengelola ISBI sendiri adalah bagaimana menerjemahkan visi yang telah dirumuskan oleh tim pendiri ISBI (yang saat itu digawangi Prof Mahdi Bahar dan Teuku Kamal Sulaiman sebagai ketua DKA): “Mewujudkan lembaga pendidikan tinggi seni dan budaya yang menghasilkan insan akademis, kreatif, mandiri, berkepribadian, dan berkebudayaan Melayu.” Diksi Melayu yang digunakan dalam kalimat visi itu dimaknai dengan “peradaban utama Asia Tenggara yang memiliki ciri khas linguistik, kultur islami, dan sosiobiologis yang independen dari peradaban besar lainnya”.

Frasa ini menunjukkan ISBI Aceh jelas memiliki visi kosmopolit yaitu dunia Melayu (yang dalam definisi Tan Sri Ismail Husein terentang dari sejak Madagaskar Afrika Timur hingga Okinawa Asia Timur). Aspek pengembangan kreativitas seni dan pendidikan tidak untuk didikte mengikuti langgam doktrinal keagamaan tertentu. Demikian pula Islam yang diabsorsi dunia Melayu pun tidak harus berwajah Arab atau Sudanik Afrika dengan fenomena anti-modernisme kebudayaan dan bidah. Kesenian dan keislaman dalam dunia Melayu dapat berkembang sebagai proyek yang saling berkelindan dan menjadi percontohan bagi tujuh dunia peradaban Islam lainnya.

Ekspresi seni
Tantangan semakin besar demi melihat bagaimana program studi kesenian itu dijalankan secara ideal. Di ISBI Aceh saat ini terdapat lima prodi: Seni Murni, Tari, Musik Nusantara, Kriya, dan Teater. Dunia pendidikan seni, sebagai rumpun ilmu humaniora memiliki langgam dan metode yang berbeda dengan rumpun ilmu lainnya seperti ilmu alam (natur wissenschaften), teologia, dan sosial. Bahkan dimensi ilmu sosial yang dekat dengan ilmu humaniora saja masih memiliki distingsi, meskipun kini dikenal konsep lintas disiplin (interdisciplinary) di mana antarrumpun saling bertemu dan memperkaya khazanah, metode, dan praktik; apatah lagi dengan ilmu teologia.

Ruang belajar seni seperti teater dan tari misalnya, memiliki dimensi epistemologis dan strategi-aksiologis yang mungkin tidak dikenal oleh rumpun ilmu teologia atau agama. Pada aspek epistemologis dan etis, ilmu tari dan teater jelas memiliki jalan pengajaran sendiri agar sesuai dengan standar etika dan estetika universal. Dalam pengajaran tersebut, eksplorasi atas tubuh pasti terjadi. Makna gerak tubuh dan gestur wajah memberikan nilai artistik, dan itu tidak bisa terbaca jika memakai baju kurung serba panjang.

Belum lagi kita bicarakan aspek artistik, fashion, dan dramaturgi yang mengikutinya sebagai seni pertunjukan. Jika pengetahuan ini dikomunikasi secara sewenang-wenang dengan pengetahuan agama Islam apalagi dengan ortodoksi tafsir, maka yang terlihat adalah kontradiksi. Maka pernyataan “seni harus sesuai dengan syariat Islam” adalah penyataan yang bukan saja memberikan makna pejoratif pada kesenian, tapi sekaligus kepada pengetahuan Islam sendiri.

Islam kemudian didomestifikasi kepada satu mazhab tafsir, yaitu ortodoksi seperti yang berkembang di Afganistan pada rejim Taliban atau Wahabisme di Saudi Arabia. Di sisi lain, syariat yang digunakan dalam konteks ini juga reduksionis, hanya politik regulasi berupa qanun. Seharusnya frasa yang dikembangkan adalah pemerintah dan masyarakat Aceh selayaknya mendukung perkembangan pengetahuan seni sehingga Aceh bisa kembali berperadaban gemilang seperti era lalu. Aspek historisitas Islam dan normativitas seni harus dipertemukan secara benar dan tidak sewenang-wenang.

Trauma konflik
Inilah tantangan yang harus diupayakan dengan kerja keras. Memang kompleksitas politik akibat trauma konflik masa lalu membuat Aceh tertinggal, tapi harus secepatnya pulih. Salah satunya melalui gerakan kesenian dan kebudayaan. Jika seni masih dipertentangkan secara absurd dengan agama Islam, maka sesungguhnya kita masih sakit sebagai masyarakat. Nanti akhirnya kesenian yang diluluskan sensor adalah –seperti satirisme pelukis Sudjojono: “mooi indie” (Hindia molek)– dengan cerapan pengetahuan seni banal atas apa yang dirasa serba bagus, patriarkal, romantis bagai di surga, tenang, dan serba teratur (Stanislaus Yangni, 2012: 15). Jika itu terjadi maka seni tidak pernah sampai pada tujuan kreatif dan penciptaan karena ekspresi yang terbelenggu di luar nalar estetika.

Mungkin yang berkembang di sini malah “mooi Aceh” yang sesungguhnya replikasi estetika teror yang serba klise dan Arabisme, seperti kini sedang digencarkan oleh mantan artis pop dan politikus yang senang menggunakan abaya, khimar, celak, berjubah, dan jenggot. Sesekali mengutip satu-dua ayat Quran dengan tafsiran nir adekuat untuk mencitrakan kesalehan. Dengan pengetahuan tanggung, sebagai representasi artis dan politikus mudah pula melakukan takfirisme (penyalah-nyalahan aktivitas di luar ibadah) yang membuat ruang berkesenian menjadi serba salah dan canggung.

Jika itu terjadi maka gerakan pengetahuan seni di Aceh masih buntu. Jalan menuju perkembangan kesenian yang sehat masih cukup jauh, terjal, dan berbatu-batu.

 

* Teuku Kemal Fasya, pendiri dan dosen Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI) Aceh. Email: kemal_antropologi2@yahoo.co.uk

PARADOKS SEPARATISME DAN REALITAS KEMISKINAN STRUKTURAL DAN PERMANEN PENDUDUK ASLI PAPUA

Opini0

Oleh : Socratez Sofyan Yoman

“Adalah logis Indonesia menjadi Negara gagal karena sejak penyerahan kedaulatan nasional dari Belanda ke Indonesia tidak pernah ada usaha kolektif berupa pembangunan nasional yang sistematik, koheren, konsisten, terarah, dan kontinu. Yang selama ini dilakukan oleh penguasa Negara silih berganti adalah pembangunan bidang ekonomi berdasarkan resep penalaran ekonomika, Bank Dunia, IFM, dan lembaga finansial internasional lainnya. Kedua usaha ini memang saling terkait, tetapi jelas berbeda secara fundamental dalam tujuan dan ukuran suksesnya”.  (Daoed Joeseof, Alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon-Sorbonne, Opini  Kompas, Kamis, 12 Juli 2012, hal.6).

Wajah dan representasi  Kegagalan Negara Indonesia dapat diukur salah satunya dari realitas kehidupan Penduduk Asli  Papua.  Kemiskinan penduduk Asli Papua sangat nyata dan telanjang di depan mata kita. Kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Tanah Papua sangat melimpah. Emas, perak, ikan, hutan,rotan, minyak ada di Tanah Papua. Papua memberikan sumbangan terbesar kepada Indonesia setiap tahun. Contoh: PT Freeport  perusahaan milik Amerika ini memberikan sumbangan pajak  kepada Indonesia (Jakarta) Rp 18 Triliun setiap tahun.  Ini belum termasuk, sumbangan pajak dari  British Petrolium (BP) milik Inggris di Bintuni, Manokwari dan  pajak minyak yang diproduksi di Sorong.    Sementara rakyat Papua pemilik dan ahli waris Tanah yang kaya raya ini dibantai seperti hewan dengan diberikan stigma separatis, makar dan anggota OPM. Dan juga dibuat tak berdaya dan dimiskinkan permanen secara struktural,  sistematis  oleh penguasa Pemerintah Indonesia.

Misi utama Indonesia menganeksasi, menduduki dan menjajah Papua ialah kepentingan ekonomi dan politik. Untuk mempertahankan dan mengkekalkan  kepentingan ekonomi dan politik itu, pemerintah Indonesia selalu menggunakan semua instrumen hukum, Undang-Undang,  kekuatan politik dan keamanan untuk menangkap, mengejar, menembak mati, membunuh, menculik, menyiksa dan memenjarakan Penduduk Asli Papua dengan  label separatisme. Memang, ironis, nasib dan masa depan Penduduk Asli Papua dalam Indonesia. Pemerintah Indonesia dengan tangan besi, kejam dan brutal yang benar-benar menghancurkan harkat, martabat, hak-hak dasar dan masa depan Penduduk Asli Papua di atas Tanah leluhur mereka.

Barometer Indonesia Negara gagal juga dilihat dari beberapa indikator  pada skala Nasional. Pertama, Pilar Negara seperti nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi Negara dan bangsa dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusi Negara RI tidak diterapkan dengan baik dalam bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, bahkan sama sekali tidak berfungsi atau bisa dikatakan lumpuh. Kedua, kekerasan dan kejahatan Negara  terhadap  warga Negara   meningkat tajam. Rakyat sipil diperhadapkan dengan kekuatan Negara.  Ketiga, korupsi merajalela di birokrasi Pemerintah, aparat penegak hukum dan munculnya pahlawan-pahlawan koruptor yang benar-benar merusak dan meruntuhkan sendi-sendi Negara RI. Keempat, kekerasan dan kejahatan atas nama agama dan arogansi mayoritas terhadap penduduk minoritas dan pelakunya tidak pernah ditangkap dan diproses hukum. Hukum diskriminatif bertumbuh subur di Indonesia. Kelima, lemahnya penegakkan hukum di Indonesia. Hukum berpihak kepada penguasa dan orang-orang yang memiliki kedudukan dan yang banyak uang. Keenam, meningkatnya secara tajam kemiskinan dan jurang besar antara kaya dan miskin yang terlihat di depan mata kita di mana-mana di seluruh Indonesia. Ketujuh, banyak Partai Politik dan kepentingannya yang tidak memperjuangkan kepentingan rakyat, Negara dan bangsa tapi lebih mementingkan dan mengutamakan kepentingan dan kemajuan partai politik. Banyak partai politik menciptakan jurang besar disintegrasi sosial  dan disharmoni kebangsaan yang benar-benar melumpuhkan solidaritas sebagai warga Negara. Ingat! Separatisme sesungguhnya sudah subur di Jawa dekat ibu kota Negara RI bukan di Tanah Papua. Contoh: Negara Islam Indonesia (NII), pelarangan dan penutupan Gereja-gereja di Jawa dan pelarangan Gereja GKI Yasmin  Bogor oleh seorang Walikota Bogor. Apakah ini bukan gerakan separatis?  Semboyan Bhineka Tunggal Ika tercabik-cabik di depan  mata penguasa yang sedang menindas Penduduk Asli Papua.

Kembali pada paradox Separatisme, Realitas kemiskinan struktural dan permanen di Papua. Kesan saya, ada konspirasi ekonomi dan politik antara dua Negara dan bangsa.  Pemerintah Amerika Serikat,  menempatkan Pemerintah Indonesia di Tanah Papua sebagai “satpam” penjaga  “kebunnya” Amerika Serikat,   PT Freeport,  yang sedang merampok, melakukan pencurian, dan penjarahan besar-besaran hak milik Penduduk Asli Papua. Pemerintah Indonesia sebagai “satpam” penjaga ini juga mendapat beberapa keuntungan: Dia (Indonesia) mendapat royalti 18 Triliyuan setiap tahun. Sementara menjadi penjaga, dia membantai dan memusnahkan Penduduk Asli pemilik Tanah.  Indonesia juga mendatangkan penduduk Indonesia dipindahkan ke Papua yang dikemas dengan Program Transmigrasi dan di tempatkan di lembah-lembah subur di seluruh Tanah Papua. Perampokan Tanah milik Penduduk Asli Papua  dan menyingkirkan (memarjinalkan) mereka bahkan penduduknya dibunuh secara kejam atas nama pembangunan nasional.  Pemerintah Amerika Serikat mempunyai kepentingan ekonomi di Indonesia dan Papua, sedangkan Pemerintah Indonesia sebagai “satpam” penjaga mempunyai kepentingan ekonomi dan politik untuk menguasasi Tanah Papua dengan memusnahkan (genocide)  Penduduk Asli Papua dengan stigma Separatisme, OPM dan berbagai bentuk pendekatan.

Sudah waktunya Pemerintah Indonesia menjadi malu dan harus berterima kasih banyak kepada Penduduk Asli Papua yang menyumbangkan Rp 18 Triliyun dari hasil tambang emas Papua kepada Indonesia setiap tahun. Sebaliknya, apa yang didapat oleh Penduduk Asli Papua dari Negara Indonesia? Tapi, sayang, Presiden SBY tanpa rasa malu dan dengan gemilang  mengkampanyekan bahwa Separatisme harus dihentikan. Tujuan Presiden RI, SBY,  mengkampanyekan  isu separatisme di Papua adalah: Pertama,  untuk menyembunyikan  kejahatan dan kekerasan terhadap kemanusiaan, kejahatan ekonomi,  kegagalan melindungi dan membangun penduduk Asli Papua. Kedua, untuk menyembunyikan kemiskinan Penduduk Asli Papua yang menyedihkan di atas kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Ketiga, untuk membelokkan akar masalah Papua yang dipersoalkan Penduduk Asli Papua tentang status politik, sejarah diintegrasikannya Papua ke dalam wilayah Indonesia melalui PEPERA 1969 yang cacat hukum, dan pelanggaran HAM yang kejam. Seperti disampaikan Paskalis Kossay: “sumber permasalahan dari konflik di Papua bukan hanya sekedar masalah ketidaksejahteraan masyarakat ataupun kegagalan pembagunan. Kenyataan yang ada di Papua sebenarnya persoalan sejarah politik yang berkelanjutan. Orang Papua merasa proses integrasi Papua ke NKRI itu tidak adil dan tidak demokratis” (Papua Pos, Sabtu, 14 Juli 2012).   Keempat, membelokkan atau mengalihkan perhatian dari  rakyat Indonesia dan komunitas Internasional tentang kegagalan  Otonomi Khusus.  Kelima, pemerintah Indonesia berusaha membelokkan dukungan kuat untuk dialog damai antar rakyat Papua dan  Pemerintah Indonesia ke isu separatisme.  Keenam, persoalan pelik dan kompleks yang berdimensi vertikal antara Pemerintah Indonesia dan rakyat Papua yang sudah berlangsung empat dekake sejak 1Mei 1963- sekarang ini mau dialihkan atau direduksi ke masalah orizontal dengan mengkriminalisasi gerakan dan perlawanan moral seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Freddy Numbery, dalam opini Kompas, Jumat, 6 Juli 2012, hal. 6 dengan topik: “Satu Dasawarsa Otsus Papua” menyatakan: “ Sumber-sumber agraria milik masyarakat adat dieksploitasi dalam skala besar tanpa menyejahterakan pemiliknya. Sebaliknya marjinalisasi berlangsung di mana-mana. Pelurusan sejarah yang juga diamanatkan Undang-Undang Otsus tidak pernah disentuh. Persoalan kekerasan oleh Negara tidak diselesaikan, malah bereskalasi. Penambahan pasukan dari luar terus berlangsung tanpa pengawasan. Kebijakan demi kebijakan untuk Papua sudah diterapkan Jakarta, tetapi tak bertaji menyelesaikan masalah”.

Sementara Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar pada Kompas, Jumat, 8 Juni 2012,  menyatakan: “Polisi dan pemerintah tidak hanya gagal menjamin rasa aman masyarakat, tetapi juga tidak pernah memberikan kepastian hukum, seperti menangkap pelaku penembakan gelap dalam tiga tahun terakhir. Khawatir terjadi pengambinghitaman kelompok seperatis melalui tuduhan-tuduhan semata dan diikuti dengan penangkapan semparangan. Pertanyaan mendasar adalah siapa yang mampu melakukan kekerasan, teror, dan pembunuhan misterius secara konstan? Peristiwa demi peristiwa ini merendahkan kehadiran aparat keamanan di Papua”.

Sedangkan Direktur Eksekutif Imparsial, Poengky Indarti pada Suara Pembaruan, Jumat, 8 Juni 2012, hal. 14,  mengatakan: “Para pelaku penembakan misterius adalah orang atau kelompok terlatih. Motif politik semakin kuat, mengingat stigma yang selalu dilabelkan pada Papua adalah daerah separatis. Akan tetapi mengingat kelompok-kelompok tersebut berada di tengah hutan, tidak terkonsolidasi, adalah sangat janggal jika kelompok tersebut yang selalu dituding Pemerintah sebagai pelaku penembakan misterius yang terkjadi di Papua selama ini”.  Cornelis Lay, dosen Ilmu Pemerintahan dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menilai, ada inkonsistensi pemerintah dalam mendekati persoalan di Papua. Pemerintah mengaku melakukan pendedekatan kesejahteraan untuk meredam bara konflik. Namun, misalnya, saat terjadi persoalan di Papua, yang datang adalah Menko Polhukam bersama Panglima TNI dan Kepala Polri. Ini kan wajah pendekatan keamanan, bukan kesejahteraan”. (Kompas,  Rabu, 4 Juli 2012, hal. 15).

Pemerintah Indonesia dengan sukses mengkekalkan, mengabadikan, melembagakan dan melegalkan secara permanen stigma separatis, makar dan anggota OPM terhadap Penduduk Asli Papua. Semua stigma itu menjadi instrumen permanen dan surat ijin untuk menjastifikasi tindakan-tindakan kekerasan dan kejahatan kemanusiaan terhadap Penduduk Asli Papua.  Ruang ketakutan diciptakan sengaja, dipelihara  oleh aparat keamanan dengan stigma Separatis dan OPM  supaya: (a)  Penduduk Asli Papua dibungkam dan  tidak berani melakukan perlawanan untuk mempertahankan martabat (dignity),  demi masa depan yang penuh harapan, lebih baik,  damai  di atas  Tanah  leluhurnya; (b) Aparat keamanan mendapat dana pengamanan.

Kemiskinan Penduduk Asli Papua bukan merupakan warisan nenek moyang dan leluhur rakyat dan bangsa Papua. Karena sejarah membuktikan bahwa sebelum Indonesia datang menduduki dan menjajah Penduduk Asli Papua, Orang Asli Papua   adalah orang-orang kaya, tidak bergantung pada orang lain, mempunyai sejarah sendiri, hidup dengan tertip dengan tatanan budaya yang teratur, tidak pernah diperintah oleh orang lain. Penduduk Asli Papua adalah orang-orang yang merdeka dan berdaulat atas hidup, dan hak kepemilikan tanah dan hutan yang jelas secara turun-temurun. Orang Asli Papua sudah ada di Tanah ini (Papua) sebelum namanya Indonesia lahir.  Kemiskinan Penduduk Asli Papua adalah merupakan hasil (produk)  dari  sistem pemerintahan dan penjajahan ekonomi yang dilakukan oleh Indonesia dengan sengaja, sistematis dan jangka panjang atas nama  pembagunan nasional yang semu.

Solusi dan keputusan politik yang legal Pemerintah Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus  yang disahkan melalui lembaga resmi DPR RI dan didukung komunitas Internasional dan juga diterima sebagian rakyat Papua dan sebagian besar dipaksa menerima Otsus. Sayang,  Otonomi Khusus itu dinyatakan oleh banyak pihak, termasuk Negara Asing Pemberi donor dana bahwa  telah gagal . Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang lebih rendah dari UU No. 21 Tahun 2001.  UP4B adalah instrumen Pemerintahan SBY untuk memperpanjang dan meng-kekal-kan pendudukan, penjajahan, kejahatan,  kekerasan Negara, penderitaan, kemiskinan, ketidakadilan dan marjinalisasi Penduduk Asli Papua.

Jadi, kesimpulannya, yang jelas dan pasti tanpa ragu-ragu:  Pemerintah Indonesia berusaha dan bekerja keras untuk mencuci tangan, melempar tanggungjawab dan menyembunyikan diri atas kegagalan,  kejahatan terhadap  penduduk Asli Papua (pelanggaran HAM) yang kejam dan brutal, mengalihkan kemiskinan struktural dan permanen yang diciptakan Negara terhadap Penduduk Asli Papua selama ini  dengan mengkampanyekan Separatisme harus dihentikan.  Kampanye ini untuk  memperlihatkan kepada rakyat Indonesia dan komunitas internasional bahwa   kekerasan di Papua dilakukan oleh Penduduk Asli Papua dengan membunuh Mako Musa Tabuni pada siang bolong dengan cara kriminal, kejam dan watak premanisme. Pemerintah Indonesia berlindung dibalik stigma separatisme.  Indonesia telah gagal menjaga martabat manusia Papua, sebaliknya Pemerintah  selalu merendahkan martabat rakyat Papua dengan stigma Separatis dan OPM. Pemerintah Indonesia sudah lama memperlihatkan wajah kekerasan dan anti kedamaian.  Pemerintah gagal mengintegrasikan rakyat Papua ke dalam Indonesia tapi hanya berhasil mengintegrasikan Papua secara politis dan ekonomi. Penduduk Asli Papua berada diluar dari integrasi ideologi dan nasionalisme Indonesia.  Walaupun pendidikan dan kurikulum yang diterapkan  di Papua dari tingkat Taman Kanak-Kanak-Perguruan Tinggi  adalah sistem pendidikan Nasional Indonesia.

Kompas, pada Rabu, 20 Juni 2012 melaporkan: “Posisi Indonesia Memburuk. Urutan 63 Indeks Negara Gagal. Dalam Indeks Negara Gagal (Failed States Index/FSI) 2012 yang dipubikasikan di Washington  DC, Amerika Serikat, Senin (18/6), Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178 Negara. Dalam posisi tersebut, Indonesia masuk kategori Negara-negara yang dalam bahaya (in danger) menuju Negara gagal”.  Berkaitan dengan laporan dari lembaga riset nirlaba The Fund for Peace (FFP) yang bekerja sama dengan Foreign Policy (Kebijakan Luar Negeri) yang menyatakan Indonesia menuju Negara gagal atau masuk dalam kategori Negara gagal, saya sudah berkali-kali menyampaikan kegagalan Negara  dalam opini saya sebelum laporan resmi ini diumumkan.     Seperti telah dimuat dalam Tabloit Jubi dan Bintang Papua, Kamis, 06 Oktober 2011: “TNI Gagal Melindungi dan Menjaga Integritas Manusia di Tanah Papua” dan pada  Pasific Post, Selasa, 20 Maret 2012 dan Bintang Papua, Kamis, 22 Maret 2012” Pemerintah Indonesia Gagal Membangun dan Melindungi Penduduk Asli Papua”.

“Tinggal soal waktu saja kita senang atau tidak, mau atau tidak akan kehilangan Papua karena kita gagal merebut hati orang Papua dan itu kesalahan bangsa sendiri dari awal”. (Dr.Adnan Buyung Nasution, S.H. :  sumber: Detiknews, Rabu, 16 Desember 2011).      “Di atas batu ini saya meletakkan peradaban orang Papua, sekalipun orang memiliki kepandaian tinggi, akal budi dan marifat (termasuk:  Otonomi Khusus dan UP4B),  tetapi tidak dapat memimpin bangsa ini, bangsa ini akan bangkit dan memimpin dirinya sendiri”. ( Wasior, Manokwari, 25 Oktober 1925, Pdt. I.S. Kijne).  Shalom.

Penulis: Ketua Umum Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis Papua.

POLRI JADI PENGACAU DI PAPUA

Oleh : Victor Yeimo *

AKP Kiki Kurnia: “Kami Siap Untuk Bentrok”.

“Victor, kami sudah siap lakukan chaos dan bentrok dengan anda semua”, itulah kata-kata yang dilontarkan oleh seorang AKP Kiki Kurnia yang memimpin ratusan polisi dengan senjata lengkap kemarin (1/12) saat menghentikan long mars mahasiswa dan rakyat. Saya sangat sedih mendengar kata-kata yang tidak sepantasnya dikeluarkan oleh Polisi yang selama ini menunjukan dirinya sebagai pihak keamanan. Apakah polisi ingin aman atau mau bikin tidak aman?

Saat saya pimpin aksi long march menuju ke Expo Waena untuk selanjutnya mengikuti ibadah perayaan 1 Desember di Sentani, Polisi yang dibeck up TNI sudah menutup akses rakyat Papua Barat yang akan melakukan ibadah. Sejak hore hari (30/11), lapangan Theys H. Eluay yang merupakan lapangan milik perjuangan bangsa Papua Barat telah dikuasai TNI.Polri, padahal seluruh organisasi masyarakat sipil, jauh-jauh sebelumnya telah menyampaikan bahwa mereka akan melakukan Ibadah perayaan di tempat ini.

Polisi pada 19 November lalu masuk kedalam ruang ibadah di Aula STAKIN Sentani dan berusaha menghentikan saya yang sedang memberikan sambutan setelah ibadah, dan kini 1 Desember 2012 kemarin rakyat mau ibadah di makan Theys H. Eluay tapi dilarang, diblokade, dan ditangkap dengan kekuatan militernya. Pertanyaannya, mengapa TNI Polri sengaja kuasai lapangan itu dan tanpa malu membuat acara bakar batu dengan segelintir warga yang digiuri dengan rupiah.

Bila Polisi bertugas untuk keamanan, kenapa justru pihak keamanan memberikan rasa tidak aman terhadap warga yang melakukan aktivitas ibadah secara damai? Apakah lapangan Theys H Eluay yang merupakan milik rakyat pribumi Papua Barat itu hanya diperbolehkan pemakaiannya untuk TNI dan Polri? Bila hukum itu adil, mengapa komandan Polisi AKP Kiki Kurnia tidak dikenakan pasal penghasutan kekerasan? Padahal dirinya jelas-jelas menghasut aksi masa yang saya pimpin untuk lakukan kekerasan di depan ruas jalan RS Dian Harapan kemarin.

Jika polisi melarang Mahasiswa untuk mengkampanyekan stop AIDS pada peringatan hari kemerdekaan Papua Barat, kenapa harus dilarang? apakah polisi tidak ingin kompanye penyadaran HIV AIDS dilakukan? Bukankah ini bukti bahwa polisi melindungi dan menyukseskan pemusnahan etnis di Papua Barat? Kenapa polisi larang rakyat beribadah untuk memaknai hari kemerdekaan bangsa Papua Barat? Kenapa polisi lebih melihat motivasi politik ekonominya dari pada memahami niat baik rakyat yang ingin memaknai 1 Desember 2012 sebagai hari AIDS sedunia, pembukaan natal dan peringatan hari kemerdekaan bangsa Papua Barat?

Saya memimpin massa rakyat saya dengan aman dan terkendali. Saya sudah berikan jaminan diri saya untuk ditangkap atau ditembak bila ada perbuatan pidana yang dilakukan massa, tetapi kenapa dalam long march yang aman kami dibubarkan paksa dan ditangkap seperti binatang? Sebenarnya, siapa yang membuat pidana? apakah rakyat atau polisi?

Polisi bukan saja menghasut kekerasan terjadi, tetapi kemarain (1/12) polisi melalui Kapolresta Alfred Papare membuat pembohongan publik. Saya dan massa rakyat tidak melempar batu ke Polisi, namun dalam pernyataan sesuai yang diliput beberapa media bahwa Kapolresta mengatakan kami melempar. Di era yang terbuka begini, kenapa harus saling tipu disaat semua orang melihat bahwa polisi kemarin tanpa alasan langsung memblokade, menangkap dan menyerang massa dengan gas air mata. Setelah saya “melepaskan diri” dari Polsek Abepura, saya tidak pernah ditelepon Kapolresta Jayapura, Alfred Papare seperti yang dinyatakan Wakapolda Papua, Paulus Waterpau kepada media Tabloid Jubi.

Lebih Baik Kapolda Jadi Kadinsos
Ide Kapolda Papua, Tito Karnavian untuk bagi-bagi sembako, bagi-bagi bantuan kepada basis rakyat gunung orang Papua di Jayapura dan Kabupate Jayapura membuat saya sedikit bertanya. Apakah Kapolda sudah beralih fungi dari Kepala kepolisian yang harus menjaga keamanan dan menjadi Kepala Dinas sosial yang harus memberikan bantuan sosial kepada rakyat. Apakah negara ini sudah tidak waras? Uang untuk bantuan ke rakyat dikucurkan ke Kapolda dan Kapolda mengambil alih fungsi Departemen sosial.
Bagi saya, upaya Kapolda untuk meredam dan menghancurkan basis perjuangan Papua Merdeka terlihat spekulatif, juga sangat tidak tepat. Silahkan saja bila Kapolda dan Republik Indonesia menganggap bahwa Ideologi dapat dibeli dengan rupiah. Puluhan juta hingga ratusan dikucurkan ke Asrama Rusnawa Uncen yang selama ini menjadi basis perjuangan, dan Polisi sangat berharap mahasiswa memandang mereka sebagai orang-orang benar, orang-orang baik hati. Wah, lagi-lagi, lebih baik Institusi Polisi di Jayapura diganti sebagai Dinas Sosial atau Dinas pendidikan agar hal-hal menyangkut perbaikan Asrama Uncen dan Kesejahteraan mahasiswa sekalian diambil alih oleh Polisi saja.
Apakah Indonesia berpikir, uang dapat meredam ideologi orang Papua Barat untuk Merdeka? Saya yakin orang-orang Papua yang diberikan uang dan bantuan materi dari Polisi hanya sekedar memanfaatkannya, karena dalam diri orang Papua Barat keinginan untuk Papua Merdeka susah sangat mendarah daging. Jadi silahkan saja, polisi setengah mati dan buang-buang uang kepada orang Papua. Silahkan saja dulang simpati dan bermimpin medapat dukungan rakyat yang sudah membenci NKRI sejak awal pendudukan diatas tanah ini. Hampir setengah abad penerapan kebijakan NKRI di Papua Barat, uang dan segala model pembangunan sudah tidak mampu menjadikan orang Papua Barat menjadi manusia Indonesia. Papua akan bangkit dan bangun dirinya sendiri.

 

Ide Separatis dan Teroris Jadi Proyek TNI Polri

Tidak ada separatis dan teroris di Papua Barat, yang ada hanyalah rakyat yang tuntu hak penentuan nasib sendiri yang secara legal dilindungi oleh hukum internasional. Ide separatis dan teroris diciptakan oleh negara untuk memojokan perjuangan legal orang Papua Barat, juga diciptakan oleh TNI Polri yang memiliki nafsu perluasan teritori TNI.Polri dan uang. Demi uang saja, negara tipu aparat negara dan aparat negara tipu negara alias “baku tipu rame”.

Organisasi saya, KNPB berjuang secara damai dan tidak ingin melakukan aksi-aksi kekacauan yang justru akan mempertebal kantong TNI.Polri untuk uang. Makanya, Polri tidak suka aksi damai, karena dalam situasi yang aman dan damai TNI.Polri akan dirudung miskin. Banyak institusi keamanan di Republik Indonesia dengan ratusan pasukannya yang harus dibiayai negara. Apalagi di Papua, saat ini banyak milisi sipil dibentuk NKRI, disana ribuan warga sipil direkrut dan mereka harus dibiayai. Semua dibuat untuk tujuan “baku rampas” alokasi keamanan dari Pemerintah Indonesia di Papua Barat yang dikucurkan atas nama “berantas separatis dan teroris”.

Maaf, saya dan kelompok saya tidak akan kasih makan TNI Polri jadi tidak perlu kriminalisasi atau sengaja taru bom-bom itu di tempat KNPB berada untuk tujuan stigmanisasi agar proyek uang dapat terus dijaga. Ini cara-cara yang lasim dan kami bosan dengan cara-cara itu. Rakyat pintar, dan semakin pintar. Mereka sudah diajari oleh tipu muslihat penjajah. Cara-cara seperti itu pada akhirnya akan memudarkan citra NKRI di Papua Barat. Jadi lebih baik tidak usah susah paya mencari citra. Oh ya, kemarin di Guyana salah satu Anggota Parlemen sempat mengatakan kepada Benny Wenda “Penindasan itu sendiri akan membakar semangat perjuangan rakyat untuk berjuang memerdekakan diri”.

Kenapa tidak bunuh saya atau kurung saya. Kenapa saya dilepaskan? Oh, bukankah itu kecolongan. Sampai ketemu di baku dapat. Disana, dijalan-jalan aksi demo. Sedang ku tanam benih perlawanan disini, dan engkau penjajah ikut menyuburkannya dengan kelakukanmu. Terima kasih penjajah yang terus mengajar kami menjadi manusia pemberontak sejati.

*) Ketua Umum Komite Nasional Papua Barat (KNPB)
Editor : Victor Mambor

DEGEUWO:LUMBUNG EMAS DAN KONFLIK

tabloidjubi.com

DEGEUWO:LUMBUNG EMAS DAN KONFLIK

Opini2

Oleh : Marko Oktovianus Pekei

Kebanyakan masyarakat Indonesia tentu tahu bahwa Propvnsi paling timur di Indonesia ini adalah salah satu daerah  rawan konflik. Kapan saja konflik bisa muncul. Segudang konflik yang muncul, tak kunjung tuntas. Hingga ini, berbagai persoalan tak dikelola secara baik hingga tuntas, sebaliknya hanya sebatas kata-kata yang menenangkan suasana. Persoalan tersebut bukan hanya keinginan orang Papua untuk  melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yakni ‘Merdeka’ saja, tetapi persoalan lain  yang berhubungan dengan sumber daya alam. Diantaranya; persoalan penambangan liar di areal pendulangan emas di Degeuwo, Kabupaten Paniai, Papua. Padahal, sebelumnya kawasan ini masih hutan belantara.

Kondisi geografis Degeuwo

Kampung Degeuwo terletak di hutan belantara yang jaraknya jauh dari kota Nabire dan Paniai. Masyarakat lokal (warga Degeuwo) biasanya memilih berjalan kaki dari Paniai menuju ke kampungnya (Degeuwo) sekalipun harus menginap semalam di pertengahan jalan. Situasi ini kemudian dimanfaatkan Aparat Keamanan dengan mengadakan akses transportasi udara seperti helikopter milik TNI AU dari Nabire tujuan ke kampung tersebut meskipun kampung bukan wilayah kabupaten Nabire. Dengan demikian, para pengusaha dan masyarakat non lokal memilih menggunakan transportasi udara sekalipun harus mereka carter atau membayar ongkos tiket yang sangat tinggi.

Masuknya Perusahaan

Pendulangan emas Degeuwo bermula  sejak masyarakat lokal menemukan butiran emas di sepanjang kali Degeuwo pada  tahun 2003. Sejak itu, Degeuwo menyedot perhatian berbagai pihak, terutama pengusaha. Media massa baik cetak maupun elektronik mulai marak memberitakan temuan tersebut. Sejak dikabarkan media,  Kampung Degeuwo dilirik sejumlah pihak dan mulai didatangi. Meskipun satu-satunya transportasi ke kampung tersebut menggunakan pesawat berbadan kecil dengan cara carter (menyewa).

Sejumlah orang, baik Papua maupun non Papua termasuk para pengusaha dan aparat keamanan mulai hijrah  ke tempat ini. Ketika tiba, mereka mulai mendirikan camp dan berusaha membuka lahan baru. Langkah selanjutnya menetap dan melakukan aktivitas pendulangan.

Dengan demikian, sekalipun Degeuwo terletak di tengah hutan belantara yang jauh dari kota, dalam sekejab berubah menjadi sebuah kota yang ramai di kunjungi orang.

Ketika masyarakat sudah cukup banyak di kampung tersebut, kemudian berkembang pesat menjadi kota seprti ‘texas’ di tengah hutan. Para pengusaha dan pedagang berupaya secepat mungkin untuk mendirikan rumah. Kios dan rumah-rumah makan juga menyusul dibuka. Rumah ibadah dibangun. Tempat-tempat hiburan malam seperti kafe dan diskotik termasuk tempat bilyar dibuka oleh para pengusaha. Minuman keras (miras) mulai meraja lela. Tak memakan waktu lama, wanita-wanita PSK (Pekerja Seks Komersial) didatangkan ibarat stok masuk barang.

Suasana ini terbangun di dua kampung, yakni kampung Nomouwo dan Kampung Bayabiru. Sementara itu, lokasi-lokasi yang dibuka untuk melakukan aktivitas penambangan berjumlah sebanyak 9 lokasi.

Para penambang melakukan aktivitas penambangan dengan menggunakan fasilitas yang bervariasi. Para penambang yang umumnya masyarakat lokal melakukan pendulangan dengan menggunakan kuali (wajang). Para penambang non lokal kebanyakan menggali tanah seperti sumur baik di sekitar rumahnya maupun di tempat lain. Ada pengusaha yang melakukan eksplorasi dengan cara membuat terowongan bawah tanah. Lainnya lagi, menggunakan alat-alat berat seperti exavator. Ini merupakan fasilitas yang digunakan para penambang untuk melakukan aktivitas penambangan.

Konflik

Pasca Degeuwo menjadi perhatian publik, banyak orang dari berbagai kalangan berdatangan dari berbagai daerah. Orang menempuh semua jalur baik jalan darat maupun jalur udara menuju ke kampung tersebut karena emas di kampung tersebut cukup menjanjikan. Namun, sangat disayangkan, Degeuwo tidak hanya menjadi tempat aman, tetapi juga para penambang kemudian diperhadapkan dengan berbagai persoalan yang menarik perhatian publik. Persoalan-persoalan yang muncul tentu mengganggu kelancaran aktivitas menambang. Beberapa persoalan pasca eksplorasi tambang di Degeuwo dapat digambarkan berikut.

Pasca kampung Degeuwo ramai didatangi orang luar menuntut masyarakat lokal berpikir memetakkan lokasi-lokasi disekitarnya sebagai hak milik. Lokasi-lokasi yang sebelumnya tidak dipersoalkan kepemilikannya, kini menjadi perdebatan antar warga setempat. Hal ini disebabkan karena setiap warga merasa lokasi-lokasi tertentu yang sebelumnya hutan diklaim sebagai hak ulayatnya. Kini perdebatan bahkan permusuhan diantara masyarakat lokal muncul. Situasi ini seringkali tidak berakhir dengan suatu kesepakatan, sebaliknya,  cenderung berpikir mendapatkan keuntungan dari lokasi tersebut.

Masalah lain soal lahan, ketika para pendatang (non Papua) datang, mebus sebidang tanah dengan cara barter ibarat seperti jaman Belanda dulu. Mereka membayar dengan  barang atau uang kepada salah satu pihak yang mengkalim tanah itu miliknya. Pihak yang tidak kebagian,  menuntut bagiannya. Dalam konteks ini, persoalan muncul sebatas intern masyarakat lokal. Persoalan ini muncul akibat belum jelasnya kepemilikan dan tapal batas antar lokasi. Selain itu, masyarakat lokal tidak memiliki akses untuk memanfaatkan sumber daya alam sehingga cenderung berharap untuk mendapatkan keuntungan dari siapa saja yang akan memanfaatkan lahanya.

Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat Adat Suku Wolani, Mee dan Monni, Tobias Bagubau mengatakan penerapan hukum rimba menjadi sumber konflik horizontal di Degeuwo. Rakyat saling rebut hak ulayat dengan mengorbankan sesamanya. “Saya kecewa, rakyat lokal yang selalu menggunakan hukum rimba. Rakyat ini terkesan tidak tau yang namanya menghargai hak sesamanya,” kata Tobis. Lebih lanjut ia mengatakan, masyarakat selalu mengedepankan egonya untuk merebut hak sesamanya. Rakyat selalu klaim dan merebut tanah adat. Mereka yang kuat, berhasil merebut dan mengambil tanah serta isinya. Semisal, konflik antara Suku Mee dan Suku Wolani akibat tewasnya seorang Kepala Suku Wolani yang memiliki dan menguasai wilayah pertambangan emas yang terdapat di wilayah Wege Degeuwo. Insiden itu membuat Suku Wolani harus menuntut denda berupa uang sebesar Rp. 5 milyar. Lantas, Suku Mee hanya menyediakan uang senilai Rp. 180 juta serta dua ekor babi dan menawarkan kepada Suku Wolani, namun Suku Wolani tidak mau menerima dan masih menuntut supaya pihak Suku Mee harus memenuhi sesuai permintaan. Akhirnya,  saling serang kembali terjadi di kota Nabire yang mengakibatkan banyak orang terluka dan beberapa orang meninggal dunia. Persoalan tersebut hingga kini belum selesai. Dalam situasi tertentu, sering muncul saling curiga antar pihak.

Pengusaha dan Masyarakat

Dalam pengelolaan sumber daya alam, persoalan yang seringkali muncul ialah konflik antara pengusaha dan masyarakat lokal. Masing-masing pihak berdiri pada posisinya, yakni pengusaha dengan kepentingan bisnis dan masyarakat lokal dengan kepentingan hak ulayat. Misalnya konflik antara masyarakat lokal dengan para Pengurus Yayasan Amai Mini (YAM) dipolisikan oleh warga yang terdaftar sebagai nasabah pada yayasan tersebut, karena diduga telah membohongi mereka. Dikatakan bahwa yayasan tersebut sudah sekian lama belum membayar dana yang dijanjikan kepada nasabahnya yang telah menyerahkan emas kepada yayasan tersebut. Pihak yayasan menjanjikan pembayaran yang lebih tinggi dari pengusaha emas lainnya, namun janji tersebut tidak ditepati dalam jangka waktu yang cukup lama.

Menurut pengakuan seorang ibu Pekepa, seorang warga yang mengaku emas hasil dulangannya sebanyak 320 gram, telah diserahkan secara bersama kepada YAM, namun sudah lama tidak pernah dibayar. Dirinya merasa telah ditipu karena meskipun berkali-kali dijanjikan akan dibayar. Tapi, sampai sekarang belum juga terealisasi. “Sekarang mau bayar atau kembalikan saja emas kami sebanyak itu,” ujarnya.  Ironisnya lagi, kekerasan tidak hanya terjadi antara masyarakat lokal, tetapi juga terjadi antara para pengusaha.

Tahun 2007 lalu,  terjadi perselisihan antara dua orang pengusaha, yakni Boy Rakinaung dan Ny. Selly Sanadi. Perselisihan yang diawali masuknya salah satu dari mereka ke lokasi milik yang lain. Perselisihan ini ditangani oleh aparat keamanan, tetapi tidak membuahkan hasil. Akhirnya, penyelesaian perselisihan ini kemudian difasilitasi Dewan Adat Setempat. Penyelesaian kasus ini berakhir dengan pembayaran kerugian dari pihak Boy Ranung kepada pihan Ny. Selly Sanadi. Menurut beberapa warga dan pendulang disekitar Degeuwo, perselisihan ini sempat melibatkan oknum aparat keamanan setempat dari Polres Nabire.

Persoalan antara masyarakat lokal dengan penguasa tersebut kemudian diperkeruh akibat para pengusaha tambang di Degeuwo seringkali melibatkan aparat keamanan (TNI dan Brimob) agar usahanya tetap berjalan lancar tanpa gangguan dari pihak lain. Keterlibatan aparat keamanan seringkali membuka peluang muncul tindakan-tindakan kekerasan ketika masyarakat lokal menuntut hak ulayat tanahnya. Hal ini disebabkan karena ketika masyarakat lokal menuntut hak ulayatnya, para pengusahapun melimpahkan kewenangannya kepada aparat keamanan untuk menyikapi tuntutan tersebut. Akibatnya, aparat keamanan yang membac-up pengusaha biasanya bersikap represif terhadap masyarakat lokal haknya.  Salah satu kasus yang terjadi misalnya, salah seorang warga yang bernama, Sefanya Anoka ditembak oknum polisi akibat adanya tuntutan masyarakat lokal atas hak ulayat tanahnya kepada salah satu pengusaha.

Selain masyarakat lokal menjadi korban atas tuntutan hak ulayat tanahnya, merekapun seringkali menjadi korban kekerasan aparat ketika mereka dianggap telah mengganggu fasilitas milik penguasa maupun para pendatang baru. Penembakan terhadap 4 pemuda setempat oleh Brimob ketika keempat pemuda tersebut hendak main bilyard. Menurut pengakuan seorang dari keempat pemuda tersebut, karena mengambil stick dan bola bilyard yang ada di ruang belakang salah seorang dari mereka dikira pencuri maka Ibu Yona (pemilik tempat) melaporkannya kepada Brimob. Tiga orang Brimob yang bersenjata lengkap ke tempat bilyard dan membubarkan keempat pemuda. Namun, keempat pemuda tersebut lama dan merasa diri dilawan, maka ketiga Brimob tersebut langsung menembak mati tanpa mengeluarkan tembakan peringatan. Seorang warga yang juga teman dari keempat korban mencoba untuk membantu mereka dan menyampaikan sikap protesnya kepada anggota Brimob, akhirnya iapun ditembak.

Aparat keamanan vs TPN OPM

Konflik yang muncul bukan hanya konflik antar warga atau para penambang, tetapi juga konflik antar kelompok bersenjata. Senjata dipergunakan sebagai alat yang ampuh dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan tertentu. Senjata dianggap akan mampu melemahkan semua kekuatan. Barangkali ini merupakan dasar pikiran bagi para pihak pemicu konflik bersenjata di Degeuwo.  Konflik bersenjata di Degeuwo antara Aparat dan Tentara Pembebasan Nasional (TPN) Organisasi Papua Merdeka (OPM) sering muncul dalam situasi yang tak terduga. Aksi-aksi pemalangan, penodongan dan penganiayaan sering mewarnai para pendulang. Aksi-aksi semacam ini dilakukan dengan tujuan agar kelompoknya mendapat sesuatu dari para pengusaha emas baik langsung berupa emas maupun berupa uang dalam jumlah besar.

Ironisnya, meskipun sekian banyak aparat keamanan (TNI dan Brimob) membeckap para pengusaha, namun OPM seringkali mengambil alih dan mengendalikan situasi di Degeuwo. Mereka menuntut apa yang diinginkan dan hilang seketika bila keinginannya sudah terpenuhi. Sementara, pada situasi tertentu, terjadi penembakan dan seringkali tidak jelas bahwa kontak senjata tersebut entah dari pihak mana. Namun, sangat disayangkan bahwa aksi-aksi kekerasan bersenjata tersebut justru masyarakat sipillah yang menjadi korban. Selain korban masyarakat sipil, aparat keamanan juga menjadi korban dalam aksi kekerasan yang terjadi. Misalnya yang diungkapkan seorang Pengusaha, Primanto pasca aksi kekerasan yang menewaskan Peltu Sunaryo (anggota TNI) disusuk dua kali dengan pisau dibagian dada. Korban lain ialah Ibu Ros (pengusaha), ditikam dibagian dada dan Acep (penambang) ditikam dibagian leher.

Menurut Primanto,  pelaku masuk melalui pintu belakang. Di pintu belakang ada bekas cungkilan. “Jadi, kami simpulkan pelaku masuk lewat pintu belakang. Anehnya, rumah-rumah milik pengusaha itu bersambung-sambung dan ada rumah yang jaraknya 1 meter saja tetapi tidak ada yang  mendengar teriakan atau apa-apa dari ketiga korban. Kami menduga pelaku adalah orang terlatih,” katanya. Konflik bersenjata ini, seringkali aparat keamanan menuduh masyarakat lokal bekerjasama dengan OPM untuk melakukan aksi-aksi tertentu. Akibatnya,  mereka (masyarakat lokal)  menjadi korban penganiayaan, dipukul dan disiksa bahkan adapula yang langsung ditembak mati.  Sementara itu, OPM pun seringkali menekan masyarakat lokal agar mereka tidak melapor kepada aparat  keamanan. Ksempatan lain, anggota polisi yang bersama-sama sekelompok TPN OPM keluar masuk di lokasi tambang tersebut. Sebenarnya, kedua kelompok bersenjata mau memanfaatkan situasi di Degeuwo untuk mendapatkan keuntungan dari para pengusaha maupun para penambang lainnya.

Berdasarkan data Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Dekenat Paniai tahun tahun  2013 ini, sedikitnya  53 kasus kekerasan terjadi di Degeuwo. Dari kasus itu, korban meninggal sebanyak 26 orang. Dari jumlah itu,  dua orang aparat keamanan. Selanjutnya,  42 orang warga sipil terluka.

Lingkungan Hidup

Kegiatan pertama yang dilakukan dalam rangka menambang emas ialah melakukan eksplorasi, maka tentu mempengaruhi ekosistem alam disekitarnya. Para pengusaha maupun penambang mau tidak mau harus menebang pohon dalam jumlah besar dengan rupa-rupa kebutuhan. Selain untuk kepentingan mendirikan rumah, merekapun menebang pohon dengan kepentingan tiang-tiang penyangga terowongan dalam tanah, membuat pagar untuk memindah-mindahkan aliran sungai dan sebagai pembersihan permukaan tanah dan selanjutnya melakukan penggalian sekitar sungai yang ada urat emas. Akibatnya, daerah sekitarnya menjadi gundul dan mudah erosi.

Penambangan emas di Degeuwo yang diwarnai dengan mengeksplorasi alam tentu berdampak pada kelansungan hidup manusia. Dampak tersebut bukan hanya sekedar dampak positif, tetapi juga dampak negatif yang langsung dirasakan masyarakat lokal. Pasca eksplorasi hutan, muncul erosi dan banjir. Selain itu, para pengusaha memanfaatkan kali-kali yang ada untuk melakukan penyaringan bahkan melakukan penambangan dipinggiran kali dengan cara menggali tanah guna pendulangan. Aktivitas ini mengakibatkan air kabur dan dangkal.

Lantaran demkian, air yang tadinya layak dikonsumsi, tak layak lagi untuk dikonsumsi. Penggundulan tanah dan eksplorasi juga telah menyebabkan kali dan sungai menjadi dangkal dan tercemar. Selain itu, tambang emas ilegal itu juga menghancurkan ekosistem alam. Kerusakan lingkungan keburu terjadi sebelum Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) diterapkan.

Kesehatan

Selain masalah lingkungan, masyarakat lokalpun diperhadapkan dengan persoalan lain, yakni dunia hiburan yang menjadi sesuatu yang baru bagi masyarakat lokal. Puluhan tempat hiburan tidak hanya berfungsi sebagai tempat melepas lelah atau refresing, namun mayoritas menjadi  tempat pemuas dahaga nafsu. Para PSK yang didatangkan dari berbagai kota selalu siap melayani para pengunjung. Suasana ini membuka peluang peredaran penyakit HIV/AIDS. Dari aktikvitas itu, puluhan warga lokal dan PSK terpaksa meninggal dunia karena terjangkit penyakit mematikan itu.

Berdasarkan data dari Dewan Adat Daerah Paniai, akhir tahun 2012 lalu, di Kampung Nomouwo tercatat  20 rumah Kafe, 18 rumah Bilyar. Dewan adat juga mencatat puluhan PSK. Lembaga adat ini tak merinci jumlah total pekerja seks tersebut. Sedangkan di lokasi Bayabiru, terdapat kafe, tempat karaoke, bilyard  di sembilan 9 lokasi. Ketua Dewan Adat Paniai, Jhon Gobay mengatakan bahwa sederetan persoalan ruwet tersebut, kini jadi masalah sosial. Warga sekitar telah terinveksi HIV/AIDS. Berdasarkan hasil pantauan Dinas Kesehatan Kabupaten Paniai pada juni 2012 tercatat  203 orang terinfeksi setelah diperiksa.

Peran Pemerintah

Pada  10 Oktober 2013 lalu, Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe, meminta tambang emas Degeuwo yang berada di Kabupaten Paniai segera ditutup. Lantaran, Sekretaris Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi Papua, Fred Boray mengatakan rencana penutupan tambang emas di Degeuwo ini dikarenakan lokasi tersebut tidak memberikan keuntungan bagi masyarakat sekitarnya. “Di lokasi ini marak bisnis prostitusi yang cara pembayarannya ditukar dengan emas,” kata Fred. Fred menegaskan, dalam prakteknya, kepala daerah setempat justru tidak melaksanakan instruksi Gubernur Papua tersebut. “Sebenarnya wilayah itu sudah harus kita intervensi, karena sampai sekarang jumlah penambangnya hampir 10 ribu orang lebih,” ujarnya.

Fred menjelaskan, penambangan emas tersebut hampir sebagian besar pengusaha tida mengantongi surat izin. Meski demikian, emasnya terus dikeruk. Padahal, dalam aturan pemerintah, jika belum mengantongi izin maka dilarang. Seharusnya, pemerintah kabupaten setempat serius menyelesaikan kasus Degewo. Pemerintah Daerah juga harus mematuhi permintaan  Gubernur Enembe yang meminta menutup penambangan tersebut.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Perdamaian dan Resolusi Konflik di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

 

Editor : MUSA ABUBAR

TRADA YANG BISA BUNUH KEBAIKAN

Editor’s Choice, Opini2

Anak-anak Papua (ist/Google)

“Kita bisa. Kita kuat jika terus bersama-sama,”tutur Kaka Nona sambil tersenyum kepada Mata dan kawan-kawan. Kata-kata dan senyuman Kaka Nona selalu membuat Mata dan teman-temannya selalu tersenyum. Gembira.

Lalu sambil menari , Mereka ramai-ramai meniti rimba, naik turun gunung, melewati rawa dan sungai. Mereka menggantungkan hidup kepada alam tanpa kenal waktu. Tapi mereka kelelahan begitu cuaca tiba-tiba panas atau dingin, silih berganti.

“Kita lahir di zaman transisi. Ketika berusaha belajar kehidupan baru terputus akibat revolusi. Kita harus lari memulai lagi dari nol. Kita celaka jika sampai kelaparan,”tutur Mata menyadari kehidupan rimba yang makin sulit itu.

“Benar! Ayah ibu bernafsu mengajarkan gaya hidup baru, kemudian mereka telah tiada. Kita kehilangan pegangan hidup. Kita jadi kumpulan orang yang harus bertahan di arena pertarungan. Perjuangan kita menentukan pilihan pada arus kehidupan yang terus mengalir menjadi berat,”tutur Kaka Nona.

Mereka lantas kembali menelusuri jalan rimba. siang dan malam. Makin jauh mereka pergi. Lebih jauh berjalan meninggalkan rumah untuk mencari makanan.mempertahankan hidup.

“Waktu kita belum tiba. Kita butuh waktu. Perjuangan kita belum selesai. Kita harus bergerak terus menerus tanpa titik, hingga waktu menjawab pencaharian dan kita akan kembali, dengan makanan yang cukup,” Kaka Nona memompa semangat kepada Mata dan teman-temannya yang mulai terlihat menyerah.

“Ia kaka. Kita akan terus bergerak,” respon mereka serentak.

Tapi rupanya upaya itu sia-sia. Lebih jauh lagi mereka berjalan, tak bahan makanan yang dijumpai. Apa boleh buat. Dengan kepala tertunduk, mereka pun balik badan kembali ke pondok. Harapan satu-satunya ada pada daun-daunan yang tumbuh di sekitar pondok. Daun-daunan yang sebelumnya tak pernah mereka jamah dan mamah. Konsekuensinya hanya dua; baik atau buruk.

“Nyawa saya pertaruhkan untuk kalian. Biar saya yang duluan mencoba makan daun ini. Kalau saya sakit, kamu tidak boleh makan,”kata Kaka Nona. Diapun segera memetik daun itu, menguburnya terlebih dahuku di debu panas kemudian menguyahnya.

Sepintas tak terjadi apa-apa. Tapi beberapa lama kemudian, Kaka Nona diserang panas tinggi. Mulutnya terkatup tidak bisa bicara. Tubuhnya terhuyung-huyung ketika mencoba bergerak. Mata dan teman-temannya ketakutan.

Seketika merekapun ikut terhuyung-huyung. Mereka panik dan berkerumun sekitar Kaka Nona. Satu persatu dilanda kebingungan,dan mulai memikirkan diri sendiri -sendiri . Maka pecahlah kebersamaan itu.

Tinggal Mata seorang diri yang masih setia menemani kaka Nona. Sedang yang lain sibuk beradu mulut. ada yang menebarkan teror. Anarki sedang berlangsung.

“Kemana mereka ini. Orang-orang bicara seolah-olah peduli satu sama lain. Kenyataannya mereka mengurus diri mereka dan menari-nari di atas penderitaan,”gumam Mata melihat kekacauan i itu.

Pikiran Mata terbelah dua; mencari makanan atau menjaga kaka Nona. Kalau mencari makan, Ia bisa kehilangan Kaka Nona. Musuh atau binatang buas bisa datang menyerang, Kalau masih bersama, meskipun kelaparan. Paling tidak dia masih sanggup melarikan diri, membawa Kaka Nona

“Kita harus bersama, tetap utuh dalam barisan,” Mata memutuskan untuk menjaga Kaka Nona. Dalam lapar dan dahaga. Mata menerawang, mengenang masa-masa indah bersama ayah dan ibu.

“Kalau mereka ada, saya tidak akan pernah menghadapi situasi buruk ini,”gumamnya sambil menatap langit yang membisu.

Di sekitarnya, terhampar wajahwajah lelah dan lapar. Mereka berjalan kepayahan. Kian lama, kian banyak orang yang mendatangi pondok mereka. Mengira disana ada makanan dan harapan hidup. Wajah-wajah yang tak lagi dihiasi senyum dan kata-kata kebaikan. “Mereka mungkin terlalu trauma menghadapi situasi ini,”gumam Mata.

“Ini,”tiba-tiba di depan Mata, berdiri seorang lelaki. Tangannya menyodorkan sebuah kantung yang terlihat penuh terisi.

“Waa,”tutur Mata sambil menerima pemberian.dipeluknya erat kantong itu. Rasanya, seperti kerikil-kerikil batu di dalamnya. Mata mengangkat kepala, si lelaki pemberi itu sudah hilang entah kemana. Mata lemas, “ini hanya kerikil, mana ada orang baik di tengah-tengah anarki seperti ini,” gumamnya sambil meninggalkan kantong itu tanpa mencoba membukanya .

Saat hendak bergegas, tiba-tiba ada suara berteriak entah dari mana “Hei, kantongmu ketinggalan,” . Mata terhenyak, dan entah kenapa dia memungut lagi kantong itu. Begitu dibuka. Benar saja. Itu makanan, serupa biji-bijian. Bukan kerikil.

“Biji-biji ini terlalu keras dan bisa dapat merusak usus tetapi saya dan Kaka Nona harus makan,”gumamnya .

Hidup adalah saling tolong menolong satu sama lain, dalam situasi seburuk apapun. Orang sakit membutuhkan orang sehat. Orang miskin membutuhkan orang kaya. Tetapi orang ‘miskin’ itu tidak bisa tergantung terus menerus sejauh masih sehat dan kuat. (Mawel)


Editor : Syam Terrajana

KASUS THEYS H. ELUAY DAN ARISTOTELS MASOKA DAPAT DIBUKA KEMBALI DALAM YURISDIKSI PENGADILAN HAM

KASUS THEYS H. ELUAY DAN ARISTOTELS MASOKA DAPAT DIBUKA KEMBALI DALAM YURISDIKSI PENGADILAN HAM

Polisi saat datangi makam Theys dan intimidasi para peziarah di Sentani, 10/11/2015. Jubi/facebook

Oleh Gustaf Kawer, SH

Komentar Kasdam XVII/Brigjen TNI Herman Asaribab dalam harian Cenderawasih Pos, tertanggal 12 November 2015, yang menyatakan “kasus tewasnya Theys Hiyo Eluay telah selesai, dengan berbagai proses yang dilakukan oleh Pengadilan Militer, para pelaku telah diproses hukum sesuai hukum yang berlaku”, perlu diklarifikasi karena penyelesaian kasus Pembunuhan They Hiyo Eluay dan Penghilangan Paksa Aristoteles Masoka yang terjadi pada 10 November 2001, masih dapat dilakukan dalam Yuridiksi Pengadilan HAM, termasuk kasus-kasus pelanggaran Ham masa lalu lainnya yang terjadi di Papua, misalnya : Biak Berdarah, Pelanggaran Ham Abepura, Wasior, Wamena dan yang terkini kasus Pelanggaran Ham di Paniai.

Penyelesaian kasus ini dalam yuridiksi Pengadilan Militer dengan Terdakwa dari Oknum Anggota Kapassus I Letnan Kolonel Inf. Hartomo, Terdakwa II Kapten Inf. Rionardo, Terdakwa III Sertu Asrial, Terdakwa IV Praka Achmad Zulfahmi dan Terdakwa dalam berkas lain atas nama Terdakwa I Mayor Inf.Donni Hutabarat, Terdakwa II Lettu Inf. Agus Soeprianto, Terdakwa Sertu Lorensius Li tidak memberi rasa keadilan bagi korban, keluarga korban dan masyarakat Papua pada umumnya, karena kasus ini merupakan “Design Negara” yang tentunya pelakunya tidak sebatas penanggung jawab dilapangan dan pelaksana eksekusi dilapangan, tetapi melibatkan atasan atau yang memberi komando di level pusat hingga penguasa di Republik ini yang memerintah saat itu.

Pengungkapan kasus ini seharusnya merupakan yuridiksi Pengadilan Ham bukan Pengadilan Militer, selain itu proses di Pengadilan Militer sangat tertutup dan jauh dari korban, keluarga korban dan masyarakat di Papua, kita dapat melihat prosesnya yang jauh dari wilayah Papua atau tempat kejadian perkara, yakni di sidangkan di Mahkamah Militer Tinggi III Surabaya, proses persidangannya tidak diketahui oleh keluarga korban dan masyarakat umumnya, selain itu putusannya sangat tidak memberi keadilan bagi korban, keluarga korban dan masyarakat di Papua.

Dalam Putusan Mahkamah Militer Tinggi Surabaya, Nomor : PUT/13-K/MMT.III/AD/IV/2003, tanggal 21 April 2003, kita dapat melihat Putusan Terhadap Para Terdakwa yang sangat rendah hukumannya sebagai berikut : Terdakwa I Letnan Kolonel Inf. Hartomo, di vonis Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang”, dijatuhi pidana pokok selama 3 (tiga) tahun, 6 (enam) bulan penjara, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani, pidana tambahan di pecat dari Dinas Militer; Terdakwa II Kapten Inf. Rionardo, di vonis Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang”, dijatuhi pidana pokok selama 3 (tiga) tahun penjara, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani; Terdakwa III Sertu Asrial, , di vonis Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang”, dijatuhi pidana pokok selama 3 (tiga) tahun penjara, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani; Terdakwa IV Praka Achmad Zulfahmi, di vonis Terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana, “secara bersama-sama melakukan penganiayaan yang mengakibatkan matinya orang”, dijatuhi pidana pokok selama 3 (tiga) tahun penjara, dikurangkan dengan masa tahanan yang telah dijalani, pidana tambahan di pecat dari Dinas Militer.

Editor : Victor Mambor