Halaman Budaya Sahewan Panarung | 16 Juli 2023 | Catatan Andriani SJ Kusni: SEJARAH DAN KALIMANTAN TENGAH

Radar Sampit, Minggu, 16 Juli 2023

”Sejarah bukanlah beban ingatan melainkan penerangan jiwa.”
–          John Dalberg-Acton (1834 –1902), sejarawan, penulis, dan politikus Inggris

Bahwa manusia tidak belajar banyak dari pelajaran sejarah adalah yang terpenting dari semua pelajaran sejarah.”
–          Aldous Leonard Huxley (1894-1963), penulis dan filsuf Inggris

“Sejarah menjelaskan siapa kita dan mengapa kita seperti ini.”
–          David Gaub McCullough (1933-2022), sejarawan Amerika Serikat

Berfoto bersama setelah rapat di Disbudpar Provinsi mengenai LKTS 2023. Dari kiri ke kanan: staf Disbudpar Provinsi Kalteng (berseragam), Yusri Darmadi, S. S. (juri), Kusni Sulang (juri), Prof. Drs. Kumpiady Widen, M. A., Ph. D (ketua juri), Maria Doya Aden, A. Par., M.Si. (Kepala Bidang Sejarah, Pelestarian Cagar Budaya, dan Permuseuman), Aldila Putri Aseana, S. S., M. Si. (narahubung LKTS 2023). Foto/Dok.: Andriani SJ Kusni, 27/6/2023

Menyongsong peringatan Hari Proklamasi 17 Agustus 1945, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Tengah (Disbudpar Kalteng) menyelenggarakan Lomba Karya Tulis Sejarah (LKTS) untuk tingkat SLTA sederajat serta perguruan MA dan perguruan tinggi Tahun 2023.

Lomba sejenis pernah diselenggarakan pada tahun 2019, diikuti oleh 29 siswa dan 5 orang mahasiswa, tapi hanya untuk Kota Palangka Raya sedangkan LKTS yang sekarang terbuka untuk peserta dari seluruh Kalteng.

Menurut keterangan dari pihak yang terlibat langsung dalam kegiatan, peserta lomba kali ini untuk tingkat SLTA dan sederajat, mencapai jumlah 50 peserta, sedangkan untuk tingkat perguruan tinggi mencapai 20 peserta. Peserta bisa peorangan dan bisa juga kolektif.

Yang menjadi dasar pandangan Disbudpar Kalteng menyelenggarakan lomba ini, sebagaimana dijelaskan dalam Petunjuk Teknis, bahwa: “Akar identitas Budaya Bangsa adalah kesadaran akan nilai Sejarah, kesadaran yang mengingatkan akan asal-usul budaya, peristiwa yang dialami dan suatu harapan masa depan bersama. Apabila ingatan kesejarahan itu hilang, maka identitas budaya akan musnah pula”.

Barangkali makna belajar dan tahu sejarah, bukan sebatas agar ingat, tetapi juga paham sebab-musabab terjadinya suatu peristiwa sejarah, dan dampaknya pada hari-hari kemudian. Karena sebagaimana dikatakan oleh para sejarawan Mazhab (L’École) des Annales, masa silam, hari ini dan esok mempunyai kesinambungan. Memahami masa silam, mengerti sejarah, seperti dikatakan oleh John Dalberg-Acton  (1834 –1902), sejarawan, penulis, dan politikus Inggris, memberikan “penerangan jiwa”. Jika menggunakan kata-kata sejarawan Amerika Serikat, David Gaub McCullough (1933-2022), “Sejarah memberi tahu siapa kita dan mengapa kita seperti ini.”

Tahu apa-siapa diri kita dan mengapa kita seperti ini, tentu bukan (hanya) soal ingatan. Tapi soal jiwa yang terang.

Jiwa yang terang, akan memahami arah dituju, berupaya tidak mengulangi kekeliruan terdahulu, menjadi lebih arif dan tahu benar makna prinsip apabila tidak ingin jadi ‘keledai’ yang bolak-balik tersandung di batu serupa. Karena itu, bisa dikatakan bahwa sejarah bukan masa silam tanpa arti tapi sesuatu yang hidup bersama kita hari ini.

Mengerti benar peristiwa sejarah, sekali lagi bukan sekedar ingat tapi memahaminya, menjadi urgen di tengah-tengah pertarungan sengit berbagai kepentingan, terutama kepentingan politik sebagai ungkapan terpusat bermacam kepentingan, terutama kepentingan ekonomi, yang menyusup ke bidang sejarah. Oleh sebab itu, sejarah menjadi salah satu medan pertarungan sengit. Dusta pun menjadi bidak pertarungan, sebagaimana diingatkan oleh Dr. Connie Rahakundini Bakrie melalui bukunya Kepak Cinta Pengawal Langit-Pentingnya Keberanian Bangsa Melawan Sebuah Dusta. Kepentingan-kepentingan ini pulalah yang membuat munculnya ketakutan pada sejarah.

Disebabkan oleh arti penting sejarah demikian, maka dalam pidato terakhirnya sebagai Presiden Republik ini, Bung Karno berseru: ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah” atau seperti yang dituangkannya dalam sajak “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”.

Dalam pemahaman saya, ‘melupakan’ dan atau ‘meninggalkan’ di sini, kalau ditafsirkan sebagai ‘ingat’ maka ‘ingat’ itu dalam pengertian ‘dipahami’. Dipelajari. Dengan dipahami, dipelajari, kita mengerti apakah yang disebut fakta itu benar-benar fakta ataukah dusta.

Keberanian melawan dusta dalam sejarah adalah konsekuensi logis dari cinta kepada tanah air dan kemanusiaan. Ungkapan ‘meluruskan sejarah’ yang lama digaungkan di kalangan akademisi, saya pahami bahwa dalam tulisan mengenai sejarah negeri ini, beredar banyak dusta. Dusta dijadikan salah satu alat kepentingan politik sehingga menulis sejarah yang tidak dusta merupakan suatu tuntutan hari ini. Akan sangat menyedihkan dan tidak bertanggung jawab apabila kepada khalayak disajikan dusta sebagai kebenaran.

Barangkali ada yang berkata bahwa ‘sejarah adalah sejarah para pemenang petarungan’. Benarkah demikian? Benar dan tidak. Benar jika dilihat dari kepentingan politik. Tapi, sejarah demikian menjadi sejarah politis, bersifat politis. Bukan sejarah sebagai ilmu.

Profesor Mohamad Arkoun dari Sorbonne, Paris–yang terjemahan buku-bukunya mulai saya baca saat duduk di semester 3 perkuliahan Teknik (atas internalisasi budaya berupa kebiasaan membaca apa saja ini, saya selalu berterima kasih pada almarhum Ayah yang lemari bukunya dipenuhi buku-buku beragam topik mulai dari sejarah, agama, matematika, hingga psikologi dan kepada Ibu yang mengajarkan cara membuat kliping resep masakan, mode, hingga kerajinan tangan di usia kanak saya)–membedakan dua macam sejarah: sejarah politis dan sejarah ilmiah. Sejarah politis lebih dekat menjurus ke arah dusta, sedangkan yang ilmiah akan mengatakan hitam sebagai hitam, putih sebagai putih. Dari segi ilmu pengetahuan adalah menjadi tidak benar bahwa sejarah adalah sejarah para pemenang. Barangkali ini pula dasar sementara para sejarawan menginginkan ‘pelurusan sejarah’ karena tulisan tentang sejarah Indonesia sekarang banyak ‘dusta’ jika meminjam istilah Dr. Connie Rahakundini Bakrie.

Bagaimana kedudukan sejarah di Kalimantan Tengah?

Dari 30-an universitas/perguruan tinggi yang terdapat di provinsi ini, baru Universitas PGRI (tak berapa lama lalu mendapat sanksi administratif berat dari Kemendikbudristek, lihat: https://radarmadiun.jawapos.com/pendidikan/801224805/catat-ini-daftar-52-pts-yang-melanggar-dan-kena-sanksi) yang mempunyai prodi ilmu sejarah. Sama dengan ilmu antropologi yang tidak diindahkan.

Dahulu di tahun-tahun 50-60-an, ilmu sosial, lebih-lebih sejarah dan antropologi dipandang sebagai ilmu yang tidak keren karena tidak mendatangkan uang setelah lulus. Sebenarnya pandangan ini di beberapa daerah masih berlangsung hingga tahun 90-an. Berbeda dengan jurusan kedokteran dan jurusan-jurusan yang setelah selesai berhak menyandang gelar insinyur. Pria yang menyandang gelar dokter dan insinyur, mereka akan jadi rebutan gadis-gadis dan disayangi mertua. Melalui contoh ini, saya mau menunjukkan status sosial khusus bagi penyandang gelar-gelar tersebut.

Kalau dihitung ke belakang dari sekarang, tahun 60-an sudah berlalu lebih setengah abad. Tapi walaupun sudah berlalu 63 tahun, sikap kepada sejarah dan antropologi di daerah ini masih belum mengalami perubahan membaik yang berarti.

Kusni Sulang pernah bercerita, waktu ia mengajar di salah satu universitas di Palangka Raya, sebelum memulai sebutlah ‘kuliah’, ia selalu bertanya kepada para mahasiswa seorang demi seorang daerah asal mereka, “Apakah kau tahu bahwa kampung asalmu adalah kampung bersejarah dan heroik?” Semua menjawab tidak tahu.

Ketidaktahuan tentang sejarah ini bukan hanya terjadi pada angkatan muda–yang sekarang disebut milenial–tapi juga pada angkatan-angkatan di atasnya. Ketidaktahuan sejarah dan juga budaya, menjadi ciri umum terdapat pada angkatan-angkatan itu cq. angkatan di bawah generasi Tjilik Riwut, Mahir Mahar, G. Obus sehingga Kusni Sulang sampai pada kesimpulan bahwa di Kalteng terjadi keterputusan sejarah. Kusni mengkhawatirkan angkatan-angkatan tersebut dan selanjutnya menjadi angkatan tanpa sejarah karena abai sejarah.

Angkatan tanpa sejarah adalah sebutan lain untuk tingkat masyarakat primer. Sementara generasi pemburu dan peramu mencatat sejarah mereka dalam berbagai cerita, lukisan di gua-gua, berbagai artefak, dan atau mitos walaupun secara teknologi, angkatan-angkatan tersebut jauh di belakang kecanggihan hari ini.

Selain terjadi keterputusan sejarah, Kusni Sulang juga melihat adanya gejala ketakutan pada sejarah. Disebabkan oleh ketakutan ini maka terjadi kompromi dalam penulisan sejarah agar tidak terjadi benturan politik (praktis).

Minat dan perhatian minim pada sejarah ini menyebabkan penggalian serta penelitian serius terhadap sejarah menjadi sangat kurang dilakukan. Pengetahuan sejarah, nampaknya terbatas pada mengunyah-ngunyah apa yang telah ditulis–itupun sangat terbatas. Akibatnya, terjadi keterasingan terhadap diri sendiri, tidak mengenal apa-siapa diri mereka sendiri. Yang tersisa dari sebutan Dayak barangkali hanya bersifat genealogis. Apa-siapa dan bagaimana Dayak sesungguhnya, apakah diketahui benar, menjadi sesuatu yang patut dipertanyakan.

Kalau Petunjuk Teknis yang dikeluarkan oleh Disbudpar Provinsi Kalteng untuk memandu LKTS 2023 ini berbicara tentang ‘identitas’, apakah dengan berlangsungnya keterasingan diri, identitas itu akan terwujud?

Barangkali, dampak negatif dari keterasingan diri akibat keterputusan sejarah ini masih belum atau kurang dipahami dan disadari sehingga keadaan demikian berlarut-larut. Bahkan beberapa tahun silam, ada pihak yang memandang bahwa kegiatan kebudayaan itu ‘hanya buang-buang dana saja’; hasil penelitian yang telah menelan tenaga, pikiran dan biaya tidak kecil berujung dengan berpindahnya hasil pekerjaan itu ke tukang loak sehingga bukan mustahil apabila Dinas kekurangan bahan dan data pada saat data-data itu diperlukan. Jika memang kegiatan kebudayaan dan penelitian dipandang hanya membuang-buang dana, mengapa Dinas Kebudayaan dan Pariwisata tidak dihapuskan saja?

Keadaan begini, dihadapan berlangsungnya keterputusan sejarah, minat dan perhatian tidak memadai terhadap sejarah, mengingatkan saya akan kata-kata Aldous Leonard Huxley (1894-1963) penulis dan filsuf Inggris, “Bahwa manusia tidak belajar banyak dari pelajaran sejarah adalah yang terpenting dari semua pelajaran sejarah.”

Dari penyelenggaraan LKTS Tahun 2023 yang diselenggarakan oleh Disbudpar Provinsi Kalteng, sekarang dipimpin oleh Adiah Chandra Sari, S. H., M. H., untuk perkembangan ilmu sejarah itu sendiri, tentu tidak bisa banyak yang diharapkan, sekalipun penulisan disebut sebagai tulisan ilmiah. Apalagi yang disebut penelitian, terutama penelitian perpustakaan guna mendapatkan data-data sekunder yang bisa dipastikan jumlah dan kualitasnya sangat terbatas. Ditambah lagi, peserta lomba adalah siswa-siswa tingkat SLTA dan sederajat serta para mahasiwa/i yang bidang studinya bukan bidang sejarah.

Tapi, LKTS ini patut diapresiasi karena para pesertanya jauh meningkat dibandingkan dengan lomba tahun 2019. LKTS menjadi penting dalam upaya menarik minat warga Kalteng, terutama kalangan ‘orang sekolahan’ terhadap sejarah dan para pesertanya sebab bisa jadi modal awal berharga dalam upaya membentuk barisan peneliti dan penulis di Kalteng jika terus dikonsolidasi. Kalteng memerlukan adanya barisan penulis dan peneliti yang besar dan handal.

Sekali lagi, saya menyampaikan penghargaan dan hormat atas upaya strategis Bu Adiah Chandra Sari, S.H., M.H. dan Tim, dalam menumbuhkan dan mengembangkan minat pada sejarah.

Bung Karno berpesan:

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarahmu yang sudah!

Hai bangsaku, karena jika engkau meninggalkan yang sudah,

engkau akan berdiri di atas vacuum

engkau akan berdiri di atas kekosongan

lantas engkau menjadi bingung dan perjuanganmu

paling-paling hanya akan berupa amuk

amuk belaka

Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap!

Kita, Orang Kalteng, Uluh Kalteng Beridentitas Kalteng, pasti tidak mau menjadi ‘kera terjepit di dalam gelap’, bukan? Karena kita, secara budaya, pun tak lain dari ‘Dayak Panarung’.***


Sajak Bung Karno*

Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah

Sekali lagi saya ulangi kalimat ini

membuang hasil-hasil positif dari masa yang lampau

hal itu tidak mungkin

sebab kemajuan yang kita miliki sekarang ini

adalah akumulasi dari pada hasil-hasil

perjuangan di masa yang lampau

Seorang pemimpin yaitu Abraham Lincoln berkata:

“One cannot escape history”

orang tak dapat melepaskan diri dari sejarah

Saya pun berkata demikian!

Tetapi saya tambah. Bukan saja

“One cannot escape history”

tetapi saya tambah: “Never leave history”

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah!

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarahmu yang sudah!

Hai bangsaku, karena jika engkau meninggalkan yang sudah,

engkau akan berdiri di atas vacuum

engkau akan berdiri di atas kekosongan

lantas engkau menjadi bingung dan perjuanganmu

paling-paling hanya akan berupa amuk

amuk belaka

Amuk, seperti kera kejepit di dalam gelap!


(dari “Amanat Proklamasi, 17 Agustus 1963”, hlm. 210) 

*  Sajak ini dikutip dari antologi puisi Bung Karno, Puisi-Puisi Revolusi Bung Karno, Buku Pertama, Cetakan 1 Juni 2002, disunting oleh Maman S. Tegeg, diterbitkan oleh Yayasan Seni dan Budaya Gema Patriot, Jakarta, dengan Kata Pengantar dari Hj. Rachmawati Soekarnoputri, tebal: xii + 127 halaman (94) puisi. Desain kulit muka oleh Fikri Susilo W.


Halaman Budaya SAHEWAN PANARUNG, Radar Sampit, Minggu, 16 Juli 2023. Pengasuh: Kusni Sulang dan Andriani SJ Kusni, Redaktur: Heru P., Penata Letak: Hadi

Leave a comment