Halaman Masyarakat Adat | 9 Juli 2023 | Catatan Kusni Sulang: MENANTI NAGA MUNCUL

Penyunting: Andriani SJ Kusni

Naga (bahasa Dayak, jata), lambang penguasa alam atas dalam filosofi budaya Kaharingan Suku Dayak, sculpture di taman kota di depan Kantor Gubernur Kalimantan Tengah. Foto/Dok: Andriani SJ Kusni, 2010

Waktu kecil, subuh-subuh, Kakek selalu mondar-mandir di sekitar di mana saya tidur sambil menuturkan berbagai cerita. Saban subuh ceritanya berbeda-beda dan cerita-cerita almarhum sampai sekarang masih saya ingat serta menjadi bahan berharga untuk saya telisik dan pahami ulang. Kebiasaan orang tua-orang tua bercerita ini, sekarang bisa dikatakan sirna dari masyarakat Dayak–salah satu musabab Orang Dayak menjadi asing angkatan dirinya sendiri.

Salah satu cerita Kakek itu mengisahkan bahwa pada suatu ketika, entah kapan, naga warna-warni akan muncul di permukaan sungai. Pada saat itu, seluruh pulau termasuk kampung-halaman kita akan digenangi bah besar yang menimbulkan kerusakan hebat. Tapi setelah itu, kenyamanan, keamanan, kesejahteraan yang dirindukan anak manusia, akan hadir di tengah-tengah kehidupan. Ada kehidupan baru yang manusiawi setelah musibah atau kejadian besar.

Setelah sekian puluh tahun tak kembali, di suatu hari, saya  pulang ke Kasongan, Katingan, kampung kelahiran yang terletak hanya kurang lebih 60 (enam puluh) kilometer dari Palangka Raya. Orang-orang kampung mengatakan bahwa beberapa saat lalu, serombongan buaya dari Teluk Landuken, tidak jauh dari Kasongan, berbondong-bondong menghilir meninggalkan Landuken, sarang mereka. Saya tanyakan apakah buaya yang lari dari rumah mereka itu berwarna-warni? Dijawab: Tidak. Mana pula ada buaya berwarna-warni. Saya tidak mengomentari jawaban ini. Hanya dari jawaban demikian, di masyarakat sedang berlangsung keterputusan budaya selain sejarah. Tentang larinya buaya-buaya itu dari rumah mereka, saya menduga karena Teluk Landuken di mana mereka berumah sudah penuh air raksa–buah kerja penambangan emas. Jumlah air raksa di teluk sudah tidak bisa mereka tanggungi lagi. Bangau, burung bakaka pun, sejak ikan di sungai mulai berkurang, sudah tidak pernah lagi saya temui. Demikian juga ribuan kunang-kunang. Tapi justru air sungai Katingan yang demikian pulalah yang dikonsumsi oleh Uluh Katingan.

Dengan kacamata sekarang, saya memahami kisah munculnya naga warna-warni diiringi suatu musibah bahkan bisa disebut kekacauan besar, perubahan mendasar itu terjadi setelah timbulnya gerakan sosial besar yang menggoncangkan bumi dan langit. Terjadi  penduduk tidak lagi mampu menahan segala rupa bentuk himpitan. Kehidupan baru terjadi menyusul perombakan mendasar. Ini adalah cara Uluh Katingan mencatat sejarah dan menyimpulkan pengalaman.

Bayangkan saja sekian puluh tahun saya meninggalkan Kasongan, pelabuhan klotok, dahulu tepian menambatkan perahu, sampai detik ini tidak mengalami perubahan berarti. Perubahan yang terjadi adalah terbongkarnya hutan tropis Kéréng Pangi, keruhnya air sungai Katingan dan kalau diterjuni, kita merasa seperti digigit keras oleh hewan ajaib. Orang-orang menyebutnya merkuri. Luar biasanya, saya tidak pernah mendengar orang-orang berbincang tentang perbedaan kemajuan manusiawi dengan kerusakan, baik di kalangan Orang Sekolahan dan para petinggi Katingan.

Beberapa tahun yang lalu, lembaga di mana sekarang saya menyumbangan tenaga dan pikiran dengan harapan menjadi sarana mewujudkan mimpi terhadap negeri, termasuk Dayak di dalamnya (Dayak bagi saya adalah suatu pendekatan dalam pemberdayaan manusiawi sesuai filosofi hidup-mati Dayak: ‘réngan tingang nyanak jata’ [anak enggang, putera-puteri naga], bukan berkarakter etnosentrisme,) mengirim dua orang teman ke  Kalimantan Utara (Kaltara, sekarang provinsi tersendiri). Sepulang dari Kaltara, dua teman tersebut mengisahkan bahwa keadaan Dayak di Kaltara sangat menyedihkan. Tidak berdaya dan jadi bulan-bulan perusahaan besar swasta atau investor. Mereka pun tidak melihat cahaya yang mengisyaratkan bahwa penderitaan yang sedang mereka dera itu bukanlah takdir.

Di ujung labirin kegelapan, ada cahaya. Bahwa matahari itu tidak runtuh dan masih ada. Saya mengikuti terus perkembangan Dayak di seluruh anak benua Pulau Borneo, terutama di Kalimantan Timur (Kaltim), lebih-lebih setelah pemerintah Pusat memutuskan pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke daerah tersebut.

Berita-berita yang saya terima belakangan ini melukiskan bahwa masyarakat Dayak Kaltara sekarang mengalami suatu perkembangan maju. Unjuk rasa perlawanan membela diri, mempertahankan dan merebut hak mereka yang hilang. Adanya unjuk rasa dengan tuntutan yang jelas, saya pahami bahwa perlawanan itu tidak spontan, tapi dilakukan dengan kesadaran, terarah dan terorganisasi. Spontanisme dan sporadik tidak akan memberikan hasil berarti dan mendasar, tapi salah-salah bisa menambah deraaan. Betapa pun secara jumlah, Orang Dayak tidak banyak, bahkan menjadi minoritas di kampung lahir mereka sendiri, jika ada kesadaran, jika terorganisasi, kata-kata mereka akan mempunyai daya paksa.

Kesadaran yang kuat akan mencegah seseorang menjadikan dirinya sebagai barang dagangan. Penyakit memperdagangkan diri bukan tidak ada di kalangan Dayak. Bahkan cukup mengkhawatirkan. Mudah-mudahan geliat kebangkitan Dayak di Kaltara dan di mana pun di anak benua ini merupakan isyarat akan munculnya kawanan naga warna-warni sebagaimana kisah Kakek di atas. Apabila Dayak mengkomoditaskan diri, bisa dipastikan naga warna-warni itu tidak akan muncul, bahkan seperti kawanan buaya Landuken, akan lari dari rumahnya.

Selain berlawan, hal lain tak kalah penting adalah membentuk barisan sumber daya manusia (SDM) yang  panjang dan kokoh, terus-menerus dan terencana. Manggatang Utus, Dayak Berdaya, tidak akan mungkin dilakukan oleh SDM yang tanggung. Apalagi jika terjerumus ke dalam jual-beli gelar dan nilai. Memperdagangkan pendidikan, membeli gelar dan nilai sekedar hanya untuk nampak mentereng, patut dihindari. Bahkan patut kita nyatakan sebagai tindak khianat dan bunuh diri Utus. Saya bisa mencanangkan hal begini karena saya pun pernah berkecimpung di dunia pendidikan, termasuk pendidikan tinggi di Tanah Dayak. Deretan data saya miliki. Naga warna-warni akan muncul pada saat ada barisan SDM Dayak yang tangguh. Jalan ke sana adalah jalan minoritas kreatif.

Yang patut menjadi perhatian kita bersama adalah keadaan Dayak di sekitar IKN. Nasib mereka akan lebih dari Betawi dan mulai nampak pada hari ini. Jumlah mereka sangat sedikit, tidak terorganisasi, minim kesadaran dan kemampuan. Dalam bahasa Orang Dayak Ngaju, keadaan mereka disebut sebagai ‘umpan maram’ (umpan busuk) IKN.

Keadaan minoritas ini lebih terancam lagi pada saat etnik-etnik lain mengaku sebagai masyarakat adat Kaltim sehingga berhak menuntut pengakuan dan perlindungan sebagai Masyarakat Adat Kaltim dengan segala hak-wajibnya, terutama yang berhubungan dengan sumber daya alam dan teritori. Secara teori, etnik baru sekalipun mayoritas, bukanlah masyarakat adat Kaltim  Masalah ini seyogyanya menjadi perhatian serius para petinggi berbagai tingkat. Menyelamatkan Dayak sekitar IKN kiranya layak menjadi perhatian semua terutama Dayak di seluruh anak benua bernama Borneo ini. Saya meyakini ada jalan keluar adil ketika berlangsung diskusi jujur dan terbuka dengan maksud baik. Boleh wakil raja-raja ikut serta, tapi lapisan akar rumput pun jangan ditinggalkan. Raja tidak ada dahulu tanpa warga akar rumput. Republik Indonesia pun tidak akan ada tanpa rakyat Indonesia.

People are the center. No one should be left behind. Rakyat adalah poros. Tak seorang pun boleh ditinggalkan di belakang”, (AIPI–S20, 2022 (dari Yunita T. Winarto, antropolog, Komisi Kebudayaan AIPI). “Ensuring that no one is left behind – How do we protect the poorest and most vulnerable from the crisis and empower them to realize the SDGs. Menjamin bahwa tak seorang pun yang ditingggalkan di belakang. Bagaimana melindungi mereka yang termiskin dan terpapa dari krisis serta bagaimana memberdayakan mereka guna melaksanakan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan” (Statements Office of the High Commissioner for Human Rights, 06 July 2021).

Patut dicatat bahwa pepatah Tiongkok Kuno “yang menabur angin akan menuai badai” dalam kasus IKN ini pun masih relevan. Tidak percaya? Kepada Orang Dayak, pertanyaan saya: Apakah kalian betul masih merupakan anak enggang putra-putri naga ataukah hanya nama saja yang Dayak tapi secara hakiki sudah bukan?***


Menyoal Eksistensi Masyarakat Adat

Oleh: Zenwen Pador*

Dalam opini “Hutan IKN Harusnya Hutan Masyarakat” (Kompas.id, 6/6/2023), R .Yando Zakaria menuliskan Hutan kota di Ibukota Negara Nusantara (IKN) ke depan haruslah dapat menjadi hutan (adat) sebagaimana yang dikonsepsikan dalam kehidupan masyarakat adat. Antara lain, hutan adat dimaksud juga bisa menjadi sumber kehidupan ke depan, seperti untuk mendapatkan bahan-bahan makanan dan obat-obatan.

Namun dalam bagian akhir tulisannya, Yando mengingatkan bahwa kita harus cermat dalam menentukan siapa masyarakat adat dan juga masyarakat lokal di kawasan itu agar tidak menimbulkan masalah baru. Untuk itulah, menurut Yando kajian yang lebih dalam diperlukan.

Saya kira inilah problem krusialnya, yaitu menentukan siapa masyarakat adat dan masyarakat lokal di kawasan IKN tersebut. Pertanyaan lanjutannya adalah: siapa yang berwenang menentukan, pemerintah atau masyarakat adat sendiri?

Pertanyaan lanjutan ini, sepertinya belum tuntas sampai saat ini. Di banyak daerah, menentukan siapa yang berhak disebut sebagai komunitas masyarakat adat sepertinya masih menjadi persoalan yang berlarut-larut. Perbedaaan persepsi tidak hanya terjadi antara Pemerintah dengan masyarakat adat sendiri.

Permasalahannya kemudian, ada tarik-menarik yang terjadi antara sesama kelompok dalam masyarakat adat bersangkutan. Kelompok tertentu misalnya merasa lebih berhak disebut sebagai masyarakat adat, sementara kelompok lain juga merasa memiliki hak yang sama. Muaranya adalah berkaitan dengan kewenangan pengelolaan sumber daya alam yang diklaim menjadi milik masyarakat adat bersangkutan. Konflik pada akhirnya tidak hanya vertikal tetapi juga horisontal.

Sekalipun sejak lama Pemerintah telah mengeluarkan peraturan terkait keberadaan dan eksistensi masyarakat adat, misalnya Menteri Dalam Negeri pernah mengeluarkan Permendagri No. 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat. Kementerian Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga pernah mengeluarkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 10/2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu. Terakhir peraturan tersebut diganti dengan Permen No. 18/2019 tentang Tata Cara Penatausahaan Tanah Ulayat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat.

Namun berbagai beleid itu nampaknya tidak bisa diimplementasikan dengan baik. Konflik pengusahaan tanah dan sumber daya alam belum sepenuhnya bisa terselesaikan dan akumulasinya akan menjadi bom waktu yang bisa meletus tanpa terduga.

Permasalahannya sekian banyak peraturan yang dibuat Pemerintah dinilai miring oleh sebagian kelompok masyarakat adat sebagai bentuk intervensi negara yang ujung-ujungnya dirasakan masyarakat adat sebagai upaya meminggirkan masyarakat adat dari hak ulayat dan sumber daya alam yang diyakini menjadi kewenangan penuh masyarakat adat.

Versi Pemerintah

Dalam Permendagri No. 52/2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, gubernur dan bupati/walikota diberi kewenangan melakukan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat. Langkah awalnya, bupati/walikota membentuk panitia masyarakat hukum adat yang beranggotakan sekretaris daerah sebagai ketua dan Kepala SKPD yang membidangi pemberdayaan masyarakat sebagai sekretaris. Selanjutnya sebagai anggota adalah kepala bagian hukum, camat dan kepala SKPD terkait.

Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dilakukan melalui tahapan identifikasi, verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat, dan penetapan masyarakat hukum adat. Identifikasi dilakukan dengan melibatkan masyarakat hukum adat atau kelompok masyarakat dengan mencermati sejarah masyarakat hukum adat, wilayah adat, hukum adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Setelah dilakukan verifikasi dan validasi, hasilnya diumumkan kepada masyarakat hukum adat setempat dalam waktu 1 (satu) bulan.

Bila tidak ada keberatan, bupati/walikota melakukan penetapan pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat berdasarkan rekomendasi panitia masyarakat hukum adat dengan keputusan kepala daerah. Bila masyarakat hukum adat keberatan terhadap keputusan tersebut, dapat mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Pertanyaannya kemudian sudah berapa keputusan yang dikeluarkan bupati/walikota di seluruh Indonesia tentang penetapan dan pengukuhan masyarakat hukum adat sebagaimana diatur dalam Permendagri tersebut? Sepertinya inilah persoalannya. Tidak ada data resmi tentang pengukuhan masyarakat hukum adat dimaksud sejak peraturan tersebut dikeluarkan.

Perkiraan saya, Permendagri tersebut tidak dapat diimplementasikan. Mendapat resistensi dari masyarakat adat mengingat dominannya kewenangan dan keterlibatan pejabat pemerintahan. Sebaliknya sangat minim peran serta masyarakat adat sendiri yang hanya dijadikan obyek penetapan. Masyarakat adat tidak diposisikan sebagai subyek dalam proses identifikasi sampai penetapan.

Model Pengakuan Ideal?

Dalam RUU Tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Adat yang disusun oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), masyarakat adat berwenang melakukan identifikasi secara mandiri tanpa melibatkan aparatur pemerintahan. Hasil identifikasi diverifikasi oleh panitia pengakuan masyarakat adat yang keanggotaannya mencerminkan unsur pemerintah, unsur akademisi, masyarakat adat dan masyarakat sipil.

Untuk masyarakat adat yang wilayahnya lintas kabupaten/kota, verifikasi dilakukan oleh panitia pengakuan masyarakat adat provinsi. RUU juga mengamanatkan pembentukan komisi perlindungan dan pengakuan masyarakat adat yang salah satunya berwenang melakukan verifikasi pengukuhan masyarakat adat lintas provinsi. Hasil verifikasi disampaikan kepada presiden untuk ditetapkan.

Sayangnya sampai saat ini RUU Masyarakat Adat belum juga disahkan menjadi UU. Sementara itu persoalan di lapangan terkait isu keberadaan masyarakat dan perlindungan masyarakat adat masih terus mengemuka antara lain terkait pembangunan Ibukota Negara Nusantara (IKN).

Maka menjadi sangat penting dan prioritas sekali bagi Pemerintah dan DPR untuk segera menegaskan sikap terkait pengesahan RUU Masyarakat Adat yang sudah hampir 15 tahun terkatung-katung dan mengendap di DPR. Kita berharap ada kompromi kebijakan yang terbaik bagi pengakuan dan penetapan masyarakat adat, sehingga RUU Masyarakat Adat bisa segera disahkan.

*Zenwen Pador, Praktisi Hukum Sumber Daya Alam, Peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Hukum Indonesia (eLSAHI). Artikel ini adalah opini pribadi penulis (https://www.mongabay.co.id/2023/06/26/menyoal-eksistensi-masyarakat-adat/). Tulisan ini disiar ulang sebagai bahan acuan dalam ajakan mendiskusikan tema IKN dan masyarakat Dayak, terutama di Kaltim. Dayak Kaltim merupakan bagian dari seluruh Dayak di anak benua, Borneo. Lihat pula tulisan Kusni Sulang di Harian ini mengenai Draf Konsepsi Peraturan Otorita IKN.


Kusni Sulang-Andriani SJ Kusni
Halaman Masyarakat Adat, Radar Sampit, Minggu, 9/7/2023. Pengasuh: Kusni Sulang & Andriani SJ Kusni, Redaktur: Heru P., Penata Letak: Hadi

Leave a comment