Sakula Budaya Bétang Tarung: Langkah Pertama di Jalan Panjang Menuju Dayak Zamani

Radar Sampit, Minggu, 5 Maret 2023

Oleh: Pebri Ayu Lestari* | Editor: Kusni Sulang | Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata letak: Danny

“Jika kita ingin melestarikan budaya, kita harus terus menciptakannya.”
—     Johan Huizinga

“Tanpa memori, tidak ada budaya. Tanpa ingatan, tidak akan ada peradaban, tidak ada masyarakat, tidak ada masa depan.”
—     Elie Wiesel

Para peserta Sakula Budaya Bétang Tarung Desa Linau, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, sedang menunggu giliran untuk memperagakan kebolehan masing-masing. Foto: Kusni Sulang/2023

Peserta Sakula Budaya Betang Tarung sedang memperagakan kebolehan main (istilah untuk seni bela diri Dayak) tingkat batarik di depan lawang saképéng. Foto: Pebri Ayu Lestari/2023

Para peserta Sakula Budaya Bétang Tarung membersihkan sampah di sekitar tempat latihan, kegiatan sederhana yang merupakan salah satu bentuk pendidikan lingkungan secara tak langsung. Foto: Pebri Ayu Lestari/2023

Saat ini, sudah sulit dijumpai generasi muda yang memiliki keterampilan bercocok tanam dan berkeinginan apalagi bertekad kuat untuk melestarikan kebudayaan dan pola interaksi dengan hutan.

Budaya warisan leluhur Dayak hanya berada di tangan generasi tua sehingga warisan tersebut berada dalam ancaman kepunahan jika tidak segera diatasi. Padahal “orang yang tidak mengetahui sejarah, asal usul, dan budaya masa lalunya seperti pohon tanpa akar”, tulis Marcus Garvey.

Bahaya kepunahan budaya ini, bahaya “menjadi seperti pohon tanpa akar” bukanlah sesuatu yang ilusioner di Tanah Dayak Kalteng dan  nampaknya juga dilihat serta disadari oleh pimpinan Fair Venture World Wide–sebuah lembaga yang bergerak di bidang sosial-bisnis dan di Kalimantan Tengah (Kalteng) yang melakukan penanaman kayu séngon–terutama pimpinan yang beretnik Dayak, cq. Bu Raya yang dalam hal ini namanya patut dicatat dan disebut.

Sadar akan keadaan demikian maka Fair Venture lalu berprakarsa melakukan upaya konkret dengan membuka Sakula Budaya yang pelaksanaannya dipercayakan kepada mitra lamanya, Lembaga Swadaya Masyarakarat (LSM) Borneo Institute (BIT). LSM ini kemudian menugaskan tim guna mengejawantahkan prakarsa. Saya, salah seorang yang  berada dalam tim tersebut.

Sebagai pemrakarsa dan sekaligus sponsor, Fair Venture memandang bahwa Sakula Budaya tersebut seyogyanya dimulai dengan kelas  untuk petani séngon usia 8-14 tahun. Hal ini berangkat dari pandangan bahwa anak-anak usia demikian anak-anak relatif masih bisa dibentuk sehingga merupakan angkatan yang dapat diharapkan menjadi penyelamat, penerus dan pengembang budaya Dayak–umumnya, mayoritas penduduk desa di Kalteng adalah Dayak—bisa menjadi basis sosial dan penggerak upaya menjadi Dayak Zamani.

Di satu pihak, dengan mulai dari kelas anak-anak dipandang sebagai bentuk pendekatan lebih lanjut dengan para petani séngon sehingga hubungan Fair Venture dan para petaninya bisa terjalin kian  akrab. Di sisi lain, Fair Venture menunjukkan secara nyata bahwa mereka bukan hanya menangani soal sosial-bisnis tetapi juga merambah ke bidang pendidikan dan kebudayaan. Dengan kata lain, Fair Venture menautkan konsep sosial-bisnis dengan kebudayaan dan pendidikan sesuai dengan kode etik lembaga dan makna dari gagasan sosial-bisnis itu sendiri.

Penautan ini tentu bukan saja menguntungkan para pihak yang terlibat, tetapi juga memberi manfaat kepada warga desa non petani séngon sehingga bisa menciptakan suasana sangat menguntungkan dalam bekerja dan berusaha. Tidakkah sepatutnya perusahaan-perusahaan besar (PBS) yang beroperasi di Kalteng atau di mana saja di negeri ini, seyogyanya melakukan hal begini juga, tidak hanya memburu laba sebesar-besarnya, sehingga kehadiran PBS-PBS dirasakan manfaat langsungnya oleh warga desa sekitar dalam kehidupan sehari-hari mereka?

Untuk memulai pekerjaan melaksanakan Sakula Budaya (kelas pertama, bisa disebut kelas percobaan yang  akan berakhir pada Mei 2023), pada 5-6 Desember 2022, tim berangkat ke desa-desa Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, untuk melakukan survei awal. Adapun desa-desa yang didatangi adalah Linau, Tumbang Baringei, Jangkit, Sangal dan Batu Puter.

Survei bertujuan untuk mengetahui keadaan fisik desa-desa, jumlah penduduk, kehidupan penduduk, keadaan jaringan komunikasi baik akses ke desa maupun jaringan seluler, jumlah anak-anak, kegiatan anak-anak seusai sekolah, kemampuan baca-tulis anak, intensitas anak-anak menggunakan telepon genggam, pengetahuan anak-anak tentang cerita-cerita rakyat dan sejarah desa, bentuk-bentuk kesenian yang masih hidup, siapa-siapa yang masih menguasai bentuk-bentuk kesenian tersebut, benda-benda kesenian apa yang ada di desa, dan sebagainya yang dirasa perlu.

Tentu saja, pertama-tama percakapan dimulai dengan memaparkan tujuan tim datang dan keinginan menyelenggarakan Sakula Budaya. Selanjutnya mendengarkan tanggapan warga desa. Setelah tahap ini selesai, tim melaju ke tahap berikut yaitu megumpulkan data-data sebagai bahan dalam menyusun rencana Sakula Budaya, terutama kurikulumnya. Adapun cara menggali dan mendapatkan keterangan tentang hal-hal yang diperlukan ini dilakukan melalui perbincangan langsung dengan anak-anak, orang tua anak-anak dan tetua léwu (nama desa adat di Kalteng), termasuk dengan warga desa-desa tetangga. Kenyataan bahwa tim terdiri dari orang-orang Dayak juga sangat memudahkan komunikasi dan memperoleh data sehingga untuk mendapatkan kepercayaan warga dari semua kalangan usia, hal yang bersifat kunci, tim tidak memerlukan waktu lama.

Dari survei pertama ke berbagai desa ini, tim bukan hanya mengetahui keadaan desa-desa, warga  dan anak-anak desa, tetapi juga apa yang mendesak mereka perlukan, antara lain berupa keperluan mendesak mereka akan perlindungan hukum, perlunya dibentuk kelompok paralegal di pedesaan, dan keinginan beralih status dari desa administratif menjadi desa adat, bukan lima skema perhutanan sosial. Di samping tentu saja mengharapkan Sakula Budaya bisa diselenggarakan di desa-desa mereka.

Keinginan dan harapan-harapan ini tentu saja kami catat dan sudah kami sampaikan ke pihak-pihak yang khusus menanganinya. Dalam diskusi di Palangka Raya dengan para pihak terkait itu, ke depan, pada kelas-kelas Sakula Budaya berikut, harapan-harapan dan keinginan warga desa ini bisa dimasukkan ke dalam mata pelajaran Sakula. Sakula akan berjalan baik jika mendapat dukungan dan pelibatan dari warga desa, dukungan muncul jika sesuai dengan kepentingan konkret warga. Bukan bertolak dari keinginan subyektif  pihak luar. Keinginan subyektif tidak bisa menggantikan keadaan obyektif. Untuk tahu keadaan obyektif, untuk tahu apa yang diinginkan lapisan masyarakat akar rumput dan strata-strata lainnya, diperlukan penelitian etnografis dengan metode-metode khasnya.

Menggunakan hasil survey tahap pertama ini, di samping mempertimbangkan karakter dan psikologi anak-anak usia 8-14 tahun yang masih suka bermain, maka kurikulum pun disusun. Gembira, bermain dan menyenangkan menuju ke pembentukan karakter merupakan unsur-unsur yang diperhitungkan benar dalam menetapkan kurikulum pewarisan nilai dan khazanah kebudayaan.

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan demikian maka kelas pertama Sakula Budaya ini ditetapkan mata pelajaran-mata pelajaran: (1) Main; seni beladiri Dayak Kalteng. Dahoeloe, sebelum Orde Baru mengendalikan dan menguasai Indonesia, setiap anak Dayak baik lelaki ataupun perempuan harus menguasai seni bela diri agar bisa melindungi diri dari segala ancaman fisik. Sisa-sisa tradisi ini masih terlihat nyata di masyarakat Dayak berbagai daerah aliran sungai; (2)  Sastra dan musik; melalui seni karungut. Secara singkat, karungut adalah syair, bukan pantun, yang dinyanyikan dengan iringan berbagai instrumen seperti kecapi, gong, suling balawung, rebab, gendang dan kangkanong. Sampai sekarang masih populer baik di kota maupun di daerah perdesaan; (3) Sejarah dan pengetahuan umum melalui mata pelajaran bakésah (bercerita, story telling istilah populernya); (4) Kehidupan kolektif melalui tari manasai–tari rakyat yang pada masa Pemerintahan Soekarno dahoeloe oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Prijono (yang juga seorang sastrawan dengan karya utamanya MMM)  ditetapkan sebagai tari pergaulan nasional. Tari ini masih hidup di kalangan masyarakat Dayak Kalteng. Masalah lingkungan, hidup sehat, disiplin, sopan-santun, arti penting bertani, dilakukan melalui mata pelajaran-mata pelajaran utama tersebut. Tidak dijadikan item khusus.

Dengan ketersediaan tenaga, dana dan berbagai pertimbangan lain, tim memutusan bahwa Sakula Budaya  kali ini dilangsungkan hanya di satu desa yaitu Desa Linau, Kecamatan Rungan, berjarak enam jam perjalanan berkendara mobil dari Palangka Raya.

Barangkali desa ini tidak tertera di peta, tapi ia ada dengan penduduk sekitar ratusan kepala keluarga yang semuanya dari etnik Dayak. Melalui penyelenggaraan pertama ini diharapkan akan diperoleh berbagai  pengalaman berharga untuk penyelenggaraan kelas-kelas berikut, baik untuk anak-anak maupun orang dewasa yang tentu saja dengan kurikulum dan metode berbeda.

Setelah kurikulum ditetapkan, pada 13-16 Januari 2023, tim kembali ke desa untuk mensosialisasikan kurikulum dan rencana sambil meminta masukan, mendaftarkan para peserta, memastikan para pengajar dan atau pelatih, meminta jadwal latihan dan atau pengajaran, memastikan tersedianya tempat dan alat-alat latihan yang diperlukan.

Selama ini dalam melakukan program pemberdayaan di daerah perdesaan, kami menerapkan prinsip tiga perpaduan yaitu bekerja sama dengan pemerintah desa, masyarakat desa dan pendamping. Prinsip tiga perpaduan ini pun diterapkan dalam menyelenggarakan Sakula Budaya.

Tim melapor dan menjelaskan kepada kepala desa (Kades) dan camat mengenai kegiatan dan rencana tim bersama warga desa sambil mengharapkan bantuan tempat latihan dan meminta Kades memberikan sambutan serta membuka secara resmi sakula pada hari dan tanggal yang ditetapkan. Permintaan ini semuanya dipenuhi oleh Kades. Bahkan pada hari-hari latihan, ia turut hadir menyaksikannya.

Yang sedikit di luar dugaan adalah jumlah anak-anak desa yang mendaftarkan diri untuk ikut serta. Mereka berdatangan untuk mendaftar. Bahkan ketika tim sudah berada kembali di Palangka Raya, sejumlah mereka mengirim WA  pendaftaran.

“Berbayar pun saya mau, asal saya bisa ikut, Ka,” tulis seorang anak.

Dibatasi oleh syarat obyektif, tim hanya mampu menerima 30 orang terdiri dari  11 orang perempuan dan 19 laki-laki kesemuanya dari Desa Linau Hilir.

Berita adanya Sakula Budaya untuk anak-anak ini lebih cepat dari angin beredar di desa-desa Kecamatan Rungan. Pertanyaan yang diajukan kepada tim, “Kapan desa kami mendapat giliran?”

Sementara warga Desa Linau Hulu memprotes, “Mengapa yang diikutsertakan hanya anak-anak dari Linau Hilir.”

Yang menjawab pertanyaan ini adalah tetua Desa Linau Hilir.

“Kami juga tidak mengira bahwa ide para ponakan dari Palangka Raya itu sungguh-sungguh terwujud. Tapi saya kira mereka akan melanjutkan sakula ini. Pada saatnya anak-anak Linau Hulu akan mendapat giliran.”

Antusiasme terhadap adanya Sakula Budaya ini tidak hanya datang dari anak-anak tetapi lebih-lebih dari pihak orang tua.

Selain merasa anak-anak mereka diurus, Sakula Budaya ini sebagaimana tertuang dalam karungut mereka, merupakan cara merawat dan mengembangkan budaya setempat. Tetua kampung sangat khawatir budaya Dayak tergerus oleh perkembangan dan keadaan daerah. Dengan kesadaran dan semangat demikian, para pelatih atau pengajar yang semuanya berasal dari Desa Linau, bekerja dengan penuh kegairahan. Tenaga-tenaga baru muncul memberikan dukungan.

Kegembiraan dan kebanggaan warga terpancar saat menyaksikan anak-anak desa mereka latihan. Barangkali mereka teringat akan kebudayaan Dayak dahoeloe, terkenang kembali akan apa yang mereka alami saat kecil diasuh oleh orang tua mereka. Latihan-latihan Sakula Budaya ini mengangkat kembali ingatan mereka.

Pentingnya ingatan begini dijelaskan oleh seorang sastrawan Israel, Elie Wiesel: “Tanpa memori, tidak ada budaya. Tanpa ingatan, tidak akan ada peradaban, tidak ada masyarakat, tidak ada masa depan.”

Pada saat ingatan ini berkembang menjadi gerakan, gerakan kebudayaan dari bawah, boleh jadi masa depan yang disebut Elie Wiesel itu mulai memperoleh bentuknya. Kebudayaan Dayak yang terancam tergerus zaman mulai menggeliat dan berkembang jika menggunakan kata-kata Freida Pinto.

Bisa berkembang karena Dayak mempunyai khazanah budaya warisan sebagai modal awal, penciptaan oleh generasi demi generasi akan melestarikan budaya tersebut dan membuatnya zamani sebab pelestarian dan zamani itu memerlukan kreativitas, merupakan satu kesatuan siklus. “Jika kita ingin melestarikan budaya, kita harus terus menciptakannya,” ujar Johan Huizinga.

Sakula Budaya yang sekarang sedang berjalan hanyalah langkah awal suatu perjalanan panjang melestarikan dan mengembangkan kebudayaan agar zamani. Sakula ini mengumpulkan kembali ingatan kolektif sebagai modal penciptaan hari ini.

Sekolah Budaya sebagai cara-model melestarikan dan mengembangkan kebudayaan lokal pada tahun 2011 pernah dilakukan oleh Borneo Culture Indonesia (BCI), Kalimantan Barat. Untuk mengembangkan keterampilan memainkan sapé, alat musik mirip kecapi di Kalteng, BCI bahkan memberikan beasiswa kepada para peserta (https://borneocultureindonesia.wordpress.com/2011 03/14/pelaksanaan-program-beasiswa-seni-budaya-bci-angkatan-i-instrumen-sape/). Sementara kawan-kawan di Papua lebih ambisius lagi. Mereka membangun Akademi Budaya Papua.

Sari pesan dari dua contoh ini adalah pelestarian dan pengembangan zamani hanya terjadi jika dilakukan dengan sistematik. Sakula adalah cara sistematik itu. Kalteng sedang memulainya dari bawah dengan karakter sendiri. Upaya ini akan cepat berkembang jika pihak penyelenggara Negara ikut turun tangan.[***]

*Penulis adalah penanggung jawab pelaksanaan Sakula Budaya Bétang Tarung Desa Linau, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah


Kusni Sulang-Andriani SJ Kusni

Leave a comment