Jurnal Perdesaan Kusni Sulang | Ketika Léwu Berkembang Menjadi Desakota

Radar Sampit, Minggu, 12 Maret 2023

Penyunting: Andriani SJ Kusni | Redaktur: Heru | Penata Letak: Danny

Ujian terakhir dalam cara membangun peradaban ideal yang mendorong perilaku ideal manusia adalah dengan berani melihat melampaui jenis kelamin, warna kulit, asal etnis, perbedaan agama, dan perbedaan kelas untuk menemukan dan menghormati nilai setiap individu yang unik. Asli: The ultimate test on the way to establishing an ideal civilization encouraging ideal human behavior was to look bravely beyond gender, color, ethnic origin, religious difference, and class distinctions to discover and honor the value of each unique individual.
—        Aberjhani

Kita begitu cemas memikirkan masa depan, sampai-sampai kita mengabaikan masa kini, sehingga kita tidak benar-benar hidup di masa kini maupun di masa depan.
—        Paulo Coelho, Penulis dari Brazil 1947- (in: “Seperti Sungai yang Mengalir”)

Karaoke, tempat hiburan yang terletak di ujung Desakota Jakatan Raya. (Foto/Dok.: Kusni Sulang/2023)
Pasar Desakota Jakatan Raya. Foto/Dok.: Kusni Sulang /2023
Losmen Tunggal Jaya di Desakota Jakatan Raya (Foto/Dok.: Kusni Sulang/2023
Riam antara Desakota Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya. Foto/Dok.: Kusni Sulang/2023

Dalam  upaya mengembangkan Sakula Budaya mulai dari daerah perdesaan, saya dan teman-teman menjadi bolak-balik ke Linau, sebuah desa di dekat Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya, Kecamatan Rungan, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah (Kalteng).

Desa Linau, Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya terletak di tepi sungai yang sama yaitu Sungai Rungan sehingga kalau difoto dari udara agak sulit membedakan mereka dengan segera sebagaimana tidak gampang membedakan apakah itu hutan-rimba atau kebun karet atau rotan.

Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya adalah dua ‘desa’ yang terletak berhadap-hadapan berada di kedua tebing Sungai Rungan. Keduanya disambungkan oleh sebuah jembatan kecil selebar kurang lebih satu meter. Sementara, Desa Linau terletak di hulu, bisa dicapai dalam 20 menit bermobil.

Jalan menuju Desa Linau, beraspal tanpa lubang sehingga perjalanan bisa berlangsung tanpa kesulitan. Keadaan menjadi lain ketika sudah memasuki desa, apalagi pada saat atau sesudah hujan. Perbedaan keadaan  antara ‘desa’ Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya (yang berarti ‘tempat pertemuan yang ramai’), mulai dari keadaan fisik hingga ke segala bidang kehidupan.

Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya, saya sebutkan desa di antara tanda kutip sebab  saya dapatkan Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya–ibukota Kecamatan Rungan–mempunyai ciri-ciri yang tidak terdapat di daerah perdesaan sekitar, seperti di Desa Linau misalnya.

Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya walaupun masih mempunyai ciri-ciri daerah perdesaan tapi yang dominan adalah tanda-tanda kelengkapan sebuah kota. Karena itu, kedua tempat ini saya namakan desakota–bentuk permukiman yang banyak saya dapatkan di Kalimantan Tengah dewasa ini.

Bahkan ada ibukota kabupaten di di provinsi ini yang sesungguhnya belum bisa disebut sebuah kota, tapi baru berada pada taraf desakota.

Perkembangan hipotesa ini saya lihat juga di desa-desa seperti Karanganom, Jatinom dan kecamatan-kecamatan lain di Jawa Tengah (Jateng) di mana saya dibesarkan.

Desa Karanganom, Jatinom, dan lain-lain, tentu berbeda dengan kota-kota di Solo, Yogyakarta dan Klaten. Tapi sekalipun demikian, desakota-desakota tersebut mempunyai jalan-jalan yang beraspal (pada tahun 60-an, desa-desa dihubungkan oleh jalan tanah setapak), andong (kalau di Kalimantan Tengah, budaya sungai dan perahu) mulai diganti oleh sepeda motor dan mobil, mempunyai pasar dan toko-toko sebagai pusat kegiatan ekonomi (termasuk toko-toko alat bangunan), terhubungkan dengan jaringan internet dan telepon genggam, universitas tertentu mulai membuka cabang-cabangnya, mempunyai dokter dan apotik, rumah-rumah nampak kokoh sebagaimana layaknya orang tinggal menetap (sédentaire), budaya lokal mulai tergerus, para remaja mengenakan pakaian-pakaian dan berdandan ala kota yang mereka sebut sebagai ‘modern’, berbahasa pun menggunakan kosakata-kosakata yang mereka anggap sesuai zaman seperti guys, you, pergaulan muda-mudi mulai lebih leluasa, konsumerisme, hedonisme mulai dominan, dan lain-lain. Yang tidak terdapat adalah gedung-gedung kesenian atau tempat pertunjukan.

Apa yang saya lihat di desakota-desakota di Jawa Tengah, saya dapatkan kembali di Desakota Tumbang Jutuh dan Desakota Jakatan Raya dan tempat-tempat lain di Kalimantan Tengah.

Adanya perusahaan-perusahaan besar swasta (PBS) yang menyerbu Kalimantan Tengah secara masif sejak tahun 1970-an sesuai kebijakan politik dan ekonomi penyelenggara Negara (apalagi pembisnis dan politisi telah menjadi satu), menjadikan sebab pembeda penting dengan keadaan di desakota-desakota di Jawa Tengah.

Desa-desa di Kalimantan Tengah umumnya di kepung oleh PBS-PBS, entah itu HPH ataukah tambang dan perkebunan kelapa sawit. Invasi masif PBS-PBS ini, paling akhir adalah Pogram Food-Estate yang menimbulkan berbagai dampak negatif.

Tanah garapan pada tahun 2009 hanya tersisa 20 persen (penjarahan tanah ini terus berlangsung sehingga luas tanah garapan pun kian menyusut), konflik agraria terjadi dan tak selesai-selesai hingga hari ini, lapangan kerja pun menyempit terutama bagi Orang Dayak yang tidak biasa memburuh. Kegiatan-kegiatan PBS-PBS juga menyebabkan kerusakan berat terhadap lingkungan. Boleh dikatakan bahwa di antara 11 sungai besar di Kalimantan Tengah, tidak ada satupun yang bebas merkuri dan kerusakan serta tetap bisa dikonsumsi seperti sediakala. Air bersih merupakan masalah urgen mendesak.

Kalau saya perhatikan, yang dominan, apalagi di pasar Desakota Tumbang Jutuh dan Jakatan Raya, bukanlah Orang Dayak, tetapi orang-orang Banjar dan Jawa. Sejak berlangsungnya invasi masif PBS, komposisi demografis provinsi ini telah berubah secara drastis. Kalimantan Tengah sudah tidak lagi menjadi Provinsi Dayak seperti yang pernah dikatakan oleh Dr. Mubyarto (alm.).

Perubahan komposisi demografis ini  berdampak pada bidang-bidang kehidupan lain termasuk dalam soal keadilan gender. Perempuan dipandang tak ubah ibarat baju. Dikenakan kalau perlu, dibuang saat dianggap tak lagi diperlukan.

Dalam kondisi begini, kawin kontrak dan atau nikah siri menjadi jamak. Saya bertanya-tanya pada diri, apakah perkawinan semacam ini bisa disebut sebagai pelacuran terselubung atau nama lain dari pelacuran model baru? Yang jelas, sependek pengetahuan saya sebagai anak damang Katingan Hilir, pada masa penjajahan Belanda dan masa awal berdirinya Republik Indonesia, hal begini dahoeloe tidak pernah terjadi sebagaimana tercermin dalam pasal-pasal hukum adat Dayak berbagai Daerah Aliran Sungai (DAS). Saya tidak memandangnya sebagai suatu kemajuan yang dibawa serta oleh invasi PBS.

Desakota tumbuh dari desa memang seiring dengan invasi PBS tersebut. Di samping itu, kehadiran PBS ini membuat perdagangan narkoba, kekerasan dan pelacuran berkembang. Para pekerja PBS memerlukan doping ketika melakukan kerja fisik yang berat dan hal tersebut mereka dapatkan dari narkoba. Narkoba dan perdagangannya berada tidak jauh dari kekerasan dalam berbagai bentuk serta pelacuran baik terbuka maupun terselubung. Adanya karaoke, sebagai tempat hiburan dalam arti luas di ujung Desakota Jakatan Raya (di Kecamatan Manuhing Raya terdapat di Pasaré), tentu bukan kebetulan sebab “orang hidup tidak hanya dari dan untuk roti” (we live not for bread alone), tulis seorang sastrawan Rusia.

Di desakota-desakota di Jawa Tengah, tempat hiburan terbuka seperti ini belum pernah saya dapatkan. Benar bahwa warga desa memerlukan hiburan, tapi di Jawa Tengah mereka menggelar ketoprak dengan lakon-lakon antara lain diambil dari cerita-cerita wayang.

Kehausan akan hiburan begini, saya lihat benar ketika paman saya, Tiyel Djelau alm., membuka pasar di Kéréng Pangi, Kasongan, Katingan puluhan tahun silam. Para penambang emas terbuka di Kereng Pangi, berduyun-duyun datang dan berdangdut ria hingga larut malam. Apakah keadaan begini tidak seyogyanya membangkitkan niat untuk menggalakkan kegiatan-kegiatan hiburan sehat di perdesaan? Pelestarian budaya lokal niscayanya tidak sebatas ucapan formal standar, tapi perlu langkah-langkah konkret. Melalui kegiatan-kegiatan hiburan, kita semai nilai-nilai manusiawi dalam menyertai perubahan desa menjadi desakota–suatu perkembangan yang nampaknya ke depan akan terus berlanjut.

Guna memenuhi keperluan akan hiburan ini, di Desakota Jakatan Raya berlangsung pasar malam selama beberapa pekan. Seperti biasa, pada kesempatan ini para pedagang kecil membuka lapak dan berlangsung berbagai pertunjukan. Lagu-lagu Jawa diperdengarkan. Tapi tidak saya dengar adanya lagu-lagu Dayak. Tentu saja saya tidak berkeberatan apapun lagu-lagu Jawa atau daerah manapun diperdengarkan karena dengan cara demikian berbagai etnik bisa saling tukar budaya dan mengapa tidak kemudian saling serap.

Yang mau saya angkat di sini adalah masalah pasar malam dengan segala acara pertunjukannya sebagai sarana penyebaran budaya dan ide yang terkandung. Masalahnya di sini adalah pertahanan budaya Orang Dayak. Kalau pertahanan mereka tidak kuat, mereka akan tenggelam dan mencampakkan budaya mereka sendiri. Kalau kuat, maka apa yang dari luar itu bisa mereka jadikan acuan dalam mengembangkan budaya zamani mereka sendiri sehingga keragaman menjadi satu hal positif.

Hal-hal positif dari luar, melalui dua pemaduan, pemaduan hal-hal baik dari khazanah budaya yang sudah ada dengan hal-hal baik dari mana saja hanya akan efektif jika pertahanan budaya kita kuat. Jika tidak, kita akan menjadi epigon belaka dan atau tenggelam.

Apakah pertahanan budaya Orang Dayak cukup kuat? Tetua Desa Linau mengkhawatirkan budaya Dayak setempat makin tergerus karena itu mereka menyambut hangat adanya Sakula Budaya Bétang Tarung yang diselenggarakan di desa mereka.[**]


Kusni Sulang- Andriani SJ Kusni

Leave a comment